CBD KDK (Komang Yenni Sarinadi)
CBD KDK (Komang Yenni Sarinadi)
KEJANG DEMAM
OLEH:
017.06.0002
PEMBIMBING
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya disertai dengan usaha, penyusunan laporan CBD Kejang Demam dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas mengenai studi kasus dan literature terkait Kejang
Demam mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, faktor risiko,
tatalaksana hingga komplikasi. Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa
bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih kepada:
1. dr. Anak Agung Made Sudiarta., Sp. A sebagai pembimbing yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan
2. Pasien dan keluarga pasien yang telah bersedia untuk diperiksa
3. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi
4. Keluarga dan teman sejawat yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk menyusun
laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan tugas ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................................ 2
2.1 Identitas Pasien .................................................................................................. 2
2.2 Anamnesis ......................................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................... 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................... 9
2.5 Diagnosis Kerja ................................................................................................. 9
2.6 Tatalaksana ........................................................................................................ 9
2.7 Follow up .......................................................................................................... 10
2.8 Prognosis ......................................................................................................... 18
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 19
3.1 Definisi Kejang Demam .................................................................................. 19
3.2 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Kejang Demam ......................................... 19
3.3 Etiologi Kejang Demam .................................................................................. 20
3.4 Faktor Risiko Kejang Demam ......................................................................... 21
3.5 Epidemiologi Kejang Demam ......................................................................... 23
3.6 Patofisiologi Kejang Demam ........................................................................... 23
3.7 Diagnosis Banding Kejang Demam ................................................................ 25
3.8 Penegakan Diagnosis Kejang Demam ............................................................. 27
3.9 Tatalaksana Kejang Demam ............................................................................ 29
3.10 Prognosis Kejang Demam ............................................................................. 34
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 36
BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 39
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang disebabkan oleh lonjakan suhu tubuh secara
tiba-tiba dengan demam lebih dari 38°C, tanpa penyebab lain yang memicu kejang
seperti infeksi sistem saraf pusat, kelainan elektrolit, penarikan obat, trauma,
predisposisi genetik atau epilepsi yang diketahui. Kejang demam kerap dijumpai dalam
praktik sehari-hari dan sering terjadi pada anak-anak dengan awitan usia antara 6 bulan
sampai 5 tahun, dengan puncak insiden pada usia 18 bulan. Hal ini terjadi karena anak
yang berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit oleh karena
sistem kekebalan tubuh yang belum terbangun secara sempurna (Setyo, 2021; Xixis et
al., 2022).
Prevalensi kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan
prevalensi berkisar 2–5%. Sedangkan di Asia prevalensi kejang demam meningkat 2
kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika. Departemen Kesehatan Republik
Indoensia tahun 2013, mencatat bahwa angka kejadian kejang demam berkisar 2-3%.
(Maghfirah dan Namira, 2022).
Kejang demam dikategorikan sebagai kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah jenis kejang demam terbanyak
(70%). Risiko berulangnya kejang demam setelah 1 episode sebesar 30%, 60% setelah
2 episode, dan 90% jika sudah terjadi 3 episode. Prognosis kejang demam umumnya
baik, namun bangkitan kejang demam dapat membawa kekhawatiran yang besar bagi
orang tua. Berulangnya kejang demam pada anak berhubungan dengan riwayat
keluarga dengan kejang demam, usia, suhu rendah saat episode pertama, jarak antara
kejang dengan onset demam, atau terdapat kejang demam kompleks (Hardika dan
Mahalini, 2019). Melihat prevalensi kejadian yang cukup sering dan risiko berulang
yang tinggi maka penting untuk dibahas mengenai kejang demam.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
a. Keluhan Utama :
Kejang
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien anak laki-laki berusia 2 tahun datang ke IGD RSUD Klungkung diantar
oleh keluarganya dalam keadaan sadar dengan keluhan utama kejang. Kejang
terjadi sebanyak 2x. Kejang pertama dikatakan terjadi di rumah sekitar pukul 12.30
wita (20 menit sebelum masuk rumah sakit). Nenek pasien menyatakan bahwa
kejang berlangsung selama kurang lebih 3 menit. Kejang berupa gerakan berulang
seperti menekuk dan lurus (gelojotan) pada tangan dan kaki, dengan mata tertutup
dan tidak ada keluar buih dari mulut. Setelah kejang berhenti, pasien dikatakan
sadar dan menangis serta nampak tidak ada kelemahan pada tubuh pasien. Keluarga
2
menyatakan di rumah sebelum kejang, pasien sempat mengalami demam yang
mulai terjadi pada siang hari sekitar pukul 12 siang, ketika itu suhu tubuh diukur
mencapai 39,5°C, kemudian oleh ayahnya pasien sempat diberikan obat penurun
panas berupa Sanmol sirup yang tersedia di rumah.
Selanjutnya untuk kejang yang kedua terjadi saat di rumah sakit yakni di ruang
rawat inap durian sekitar pukul 17.30 wita dengan gerakan yang sama seperti
sebelumnya dan berlangsung selama kurang lebih 1 menit, dengan suhu saat kejang
38,9°C, kemudian pasien diberikan tatalaksana oleh perawat yang berjaga, dan
diketahui setelah kejang pasien dalam keadaan sadar.
Keluhan lain yang dialami yakni seperti batuk (-), pilek (-), sesak (-), mual (-),
muntah (-), riwayat penurunan kesadaran (-), diare (-) disangkal oleh keluarga
pasien. Buang air besar (+) 1x pada pagi hari, buang air kecil (+) terakhir ganti
pampers pukul 19.00 wita. Pasien masih mau makan dan minum tetapi nafsu makan
dikatakan menurun.
3
e. Riwayat pengobatan
Sebelum ke IGD pasien sempat minum obat penurun panas (Sanmol Sirup)
f. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien merupakan anak tunggal
Pasien tinggal bersama ayah dan neneknya
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Berat badan lahir : 840 gram
Panjang badan lahir : 40 cm
Lahir : Riwayat lahir premature usia kehamilan 26 minggu,
lahir normal (partus spontan), riwayat dirawat
inkubator selama kurang lebih 3 bulan
Bayi : Tidak segera menangis
h. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Hepatitis B : 1x
DPT-HB-Hib : 4x
Polio : 5x
Campak : 2x
JE : 1x
i. Riwayat Nutrisi
ASI : Lahir- 3 bulan
Susu formula : Lahir-sekarang
MPASI bubur susu : 6 bulan
Bubur Tim : 9 bulan
Makanan Dewasa : 1 tahun hingga sekarang
- Pasien makan-makanan dewasa berupa nasi, lauk-pauk (tahu, tempe,
ayam, ikan, telur) dan sayur (toge, bayam, kangkung, sayur hijau, wortel
4
dan yang lainnya), mulai usia 1 tahun sampai sekarang sebanyak 3x sehari
tetapi dalam porsi yang sedikit karena pasien sering menolak untuk
makan..
- Pasien juga rutin minum susu setiap hari, berkisar 2-3 gelas per hari
- Pasien mendapatkan biskuit penambah gizi dari puskesmas
j. Riwayat Tumbuh-Kembang
Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : - (menurut penuturan orang tua dan nenek pasien,
pasien tidak melalui fase merangkak).
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 18 bulan
Berbicara : 12 bulan (menyebut 1 kata)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Pressent
a. Keadaan Umum : Tampak lemas
b. Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
c. Tanda Vital
Tekanan Darah : tidak dievaluasi
Denyut Nadi : 155x/menit
Suhu Aksila : 39,4 0C
Frekuensi nafas : 47x per menit
d. SpO2 : 99%
e. Status Antropometri
Berat badan : 9,66 kg
Tinggi badan : 85 cm
BB/U : -2,42 SD (Berat badan kurang/ underweight)
5
TB/U : -2,02 SD (Normal)
BB/TB : -2,26 (Gizi kurang/wasted)
IMT : 13,37
IMT/U : diantara -2 SD-3 SD (Gizi Kurang/wasted)
f. Status Generalis
Kepala Kesan normocephali dengan lingkar kepala
48 cm, ubun-ubun tertutup dan tidak
membonjol, rambut distribusi merata, tidak
ada nyeri tekan
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor, mata cekung (-) refleks
pupil (+/+).
Telinga Normotia, otorea (-/-), discharge (-/-),
serumen (-/-)
Hidung Bentuk normal, tidak ada nafas cuping
hidung, septum deviasi (-/-), discharge (-/-),
serumen (-/-), mukosa hiperemis (-/-), nyeri
tekan (-/-)
Tenggorokan tidak dapat di evaluasi
Mulut Bentuk normal, bibir pucat (-), kering (-),
sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),
Leher Bentuk leher normal, pergerakan leher bebas,
trakea di tengah.
Kelenjar getah bening Kelenjar getah bening di preaurikular,
retroaurikular, submandibula, submental,
supraklavikula dan aksila tidak tampak dan
tidak teraba pembesaran, nyeri tekan (-)
6
Thorax
Pulmo Inspeksi - Bentuk dada dalam batas normal
- Warna kulit sama dengan warna kulit
disekitarnya, kemerahan (-)
- Tidak nampak adanya massa
- Pergerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri
- Tidak terlihat adanya penggunaan otot
bantu pernafasan
Abdomen Inspeksi Asites (-), sikatrik (-), massa (-), distensi (-)
Auskultasi Bising usus (+) 8x/menit
Perkusi Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
7
Palpasi Supel, tidak ada defans muscular, turgor baik,
hepar tidak teraba pembesaran
Nyeri tekan
- + -
- - -
- + -
8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (Bokimia) 19 Januari 2023 14:22 wita
KIMIA KLINIK
Gula Darah
Glukosa Darah Puasa 100 Mg/dL 60-100
2.6 Terapi
Farmakologi
- IVFD Dextrosa 5%+¼NS wida infus, 30 tetes makro per menit
- Cefotaxim serb injeksi 1000mg/vial dengan dosis 3x350mg secara Intravena
- Diazepam 5mg/ml injeksi dengan dosis 3 mg bila kejang
9
- Sanmol 120mg/5ml sirup dengan dosisi 1 cth, selang seling dengan proris 1
cth setiap 4 jam jika demam 37,5°C
- Diazepam 3x2mg PO jika suhu diatas 38°C
- Intervensi diet tinggi energy tinggi protein dengan bentuk makan lunak tim,
frekuensi makan 3x makan utama (1x bubur saring, 2x nasi tim, 4x susu
pediasure 200cc)
- Kebutuhan nutrisi : energy=1170 kkal, protein= 23,4 gram, lemak= 32,5
gram, karbohidrat= 195,9 gram
Non-Farmakologi
2.7 Follow Up
No Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
1. 20/01/23 - Kejang (-) KU baik - Kejang Farmako:
- Demam Vital Sign Demam - IVFD Dextrosa
(+) T :38,60°C Komplek 5%+¼NS wida
- Mual (-) N :145 x/menit - Gizi infus, 30 tetes
- Muntah (-) RR : 32x/menit kurang makro per menit
- BAK (+) SpO2 : 99% - Cefotaxim serb
- BAB (-) BB : 9,66kg injeksi
- Makan dan Kepala: 1000mg/vial
minum (+) normochepali dengan dosis
tapi Mata: dalam 3x350mg secara
menurun batas normal IV
10
THT: dalam - Diazepam
batas normal 5mg/ml injeksi
Thorax: dengan dosis 3
Normochest, mg bila kejang
gerak dinding - Sanmol
dada simetris 120mg/5ml sirup
S1S2 tunggal, dengan dosisi 1
regular, murmur cth, selang seling
(-), gallop (-). dengan proris 1
Bronkovesicular cth setiap 4 jam
di seluruh jika demam
lapang paru, 37,5°C
wheezing (-), - Diazepam 3x2mg
ronkhi (-) PO jika suhu
Abdomen: diatas 38°C
distensi (-), - Intervensi diet
bising usus (+) tinggi energy
10x/menit, nyeri tinggi protein
tekan (-), dengan bentuk
11
2 21/01/23 - Kejang (-) KU: baik - Kejang Farmako:
- Demam Vital Sign: Demam - IVFD Dextrosa
(+) T : 37,8°C Komplek 5%+¼NS wida
- Mual (-) N : 134x/menit - Gizi infus, 30 tetes
- Muntah (-) RR : 34x/menit kurang makro per menit
- BAK (+) SpO2 : 99% - Cefotaxim serb
- BAB (+) BB: 9,66 kg injeksi
- Makan dan Kepala: 1000mg/vial
minum (+) normochepali dengan dosis
Mata: dalam 3x350mg secara
batas normal IV
12
10x/menit, nyeri tinggi protein
tekan (-), dengan bentuk
Ekstremitas: makan lunak tim,
dalam batas frekuensi makan
normal 3x makan utama
(1x bubur saring,
2x nasi tim, 4x
susu pediasure
200cc)
13
regular, murmur cth, selang seling
(-), gallop (-). dengan proris 1
Bronkovesicular cth setiap 4 jam
di seluruh jika demam
lapang paru, 37,5°C
wheezing (-), - Diazepam 3x2mg
ronkhi (-) PO jika suhu
Abdomen: diatas 38°C
distensi (-), - Intervensi diet
bising usus (+) tinggi energy
8x/menit, nyeri tinggi protein
tekan (-), dengan bentuk
Ekstremitas: makan lunak tim,
dalam batas frekuensi makan
normal 3x makan utama
(1x bubur saring,
2x nasi tim, 4x
susu pediasure
200cc)
14
Kepala: dengan dosis
normochepali 3x350mg secara
Mata: dalam IV
batas normal - Diazepam
THT: dalam 5mg/ml injeksi
batas normal dengan dosis 3
Normochest, - Sanmol
di seluruh 37,5°C
15
susu pediasure
200cc)
- Cek darah
lengkap ulang
16
- Makan dan BB: 9,80 kg - Cefat 125/5ml
minum (+) Kepala: sirup kering dosis
normochepali 2x1
Mata: dalam - Sanmol
batas normal 120mg/5ml sirup
THT: dalam dengan dosisi 1
batas normal cth, selang seling
Ekstremitas: 200cc)
dalam batas
normal
17
2.8 Prognosis
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak 6 bulan-5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38°C, dengan metode pengukuran
suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Keterangan
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolit lainnya.
2. Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak dapat disebut
sebagai kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari
3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta International League
Agains Epilepsy/ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonatus. (IDAI, 2016).
19
- Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
- Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan
berhenti sendiri.
3.2.2 Kejang Demam Kompleks
Kejang demam kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Keterangan:
- Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
- Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
- Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara
anak yang mengalami kejang demam.
- Kejang demam terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya (PPK RSUP Sanglah, 2017).
Kejang demam terjadi dengan demam lebih tinggi dari 38°C dan tidak ada
etiologi lain yang memicu kejang seperti dijelaskan di atas. Demam diartikan sebagai
suhu tubuh yang melampaui batas normal, yang dapat disebabkan oleh kelainan pada
otak ataupun disebabkan bahan-bahan toksik yang memengaruhi pusat pengaturan
suhu tubuh. Demam tertinggi yang diperlukan untuk menyebabkan kejang demam
adalah spesifik untuk individu karena suhu ambang kejang setiap anak bervariasi.
20
Sementara tingkat demam pada akhirnya merupakan faktor yang paling signifikan
dalam kejang demam, kejang ini sering terjadi karena suhu tubuh pasien meningkat.
Tidak ada penyebab spesifik demam yang lebih mungkin menyebabkan kejang
demam, namun infeksi virus daripada bakteri paling sering dikaitkan dengan kejang
demam. Virus tertentu, HHV-6, paling sering dikaitkan dengan kejang demam di
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di negara-negara Asia, virus influenza A
sering dikaitkan dengan kejang demam. Setiap demam dengan ketinggian yang
memadai dapat menyebabkan kejang demam (Xixis et al., 2022).
Infeksi virus adalah penyebab paling umum dari penyakit demam terkait dengan
kejang demam, yang terdeteksi hingga 82% dari anak dengan kejang demam. Demam
di atas 38°C dan durasi demam yang lebih pendek meningkatkan kemungkinan kejang
demam.
Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga meningkatkan risiko kejang
demam dan telah dijelaskan dalam 25- 40% anak yang mengalami kejang demam.
Digeneralisasikan epilepsi dengan kejang demam plus (GEFS+) adalah epilepsi
familial sindrom yang dapat bermanifestasi sebagai kejang demam pada individu.
21
Prevalensi kejang demam pada anak lebih tinggi dengan defisit neurologis yang
mendasarinya, seperti cerebral palsy atau keterlambatan perkembangan saraf. Kadar
seng dan besi serum rendah juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejang
demam. Beberapa faktor risiko lingkungan telah dikaitkan dengan peningkatan
kejadian kejang demam, termasuk ibu yang merokok dan stres.
Kekambuhan kejang demam terjadi pada 30-50% anak-anak berikut kejang demam
pertama. Setiap tambahan kejang demam meningkatkan risiko kekambuhan lebih
lanjut, menunjukkan bahwa mengalami kejang demam menyebabkan ambang batas
yang lebih rendah untuk kejang berikutnya Ini disorot oleh fakta bahwa suhu demam
lebih rendah terkait dengan risiko yang lebih besar dari kekambuhan kejang demam.
Anak-anak yang lebih kecil, yang memiliki riwayat keluarga kejang atau epilepsi
berisiko mengalami kejang kompleks, memiliki kemungkinan besar mengalai kejang
afebrile lebih lanjut atau epilepsi. Namun demikian, hubungan pasti antara kejang
22
demam dan epilepsi masih belum pasti. Korelasi antara keduanya mungkin karena
kelainan otak yang mendasarinya yang menjadi predisposisi untuk kejang demam dan
epilepsy (Sawires et al., 2022).
Usia pasti yang menyebabkan kejang demam sedikit bervariasi di seluruh literatur
medis dengan 6 bulan hingga 60 bulan (5 tahun) menjadi definisi kerja yang umum.
Kejang demam sangat umum terjadi hingga 4% anak-anak dalam kelompok usia ini.
Beberapa anak memiliki satu kejadian kejang demam, dan yang lain memiliki beberapa
kejadian selama masa kanak-kanak (Xixis et al., 2022).
Kejang demam adalah penyebab paling umum dari kejang di masa kanak-kanak,
dengan kejadian 2-5% di anak-anak Eropa dan Amerika. Insiden tampaknya tidak
terpengaruh oleh jenis kelamin. (Sawires et al., 2022)
23
berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga
pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa
Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan
masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.
Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke
dalam sel.
Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan
meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan
konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan
potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi.
Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi
terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx
sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat
menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik.
Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah
kurang dari dua tahun. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat
baik ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,
sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang
eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.
24
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan
dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum
matang neural Na+ /K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi
ion Na+ , K+ , dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan
repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh karena itu,
pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental
window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibanding
inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak
mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa developmental
window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang
mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa developmental window.
Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas
akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua
tahun Sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada umur di bawah
dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam berulang.
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang
dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah
menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama
adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat
dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah
autosomal resesif atau autosomal dominan. Bila kedua orang tuanya tidak mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
Apabila salah satu orang tua pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk
25
terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64% (Fuadi et al., 2016).
26
3.7 Diagnosis Banding Kejang Demam
- Menggigil karena demam tinggi, kondisi ini dapat dibedakan dari KD, yaitu
anak tetap sadar ketika menggigil
- Febrile syncope
- Breath holding attack: anak menahan napas untuk beberapa waktu sehingga
hilang kesadaran
- Reflex anoxic seizures: anak tiba-tiba lemas akibat nyeri atau syok
- Demam yang mencetuskan kekambuhan kejang pada epilepsy
- Infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis.
Kejang demam yang atipikal/tidak khas perlu dibedakan dengan epilepsi yang
mengalami kekambuhan karena demam, GEFS+ (Generalized/genetic epilepsy with
febrile seizures plus), dan FIRES (Febrile infection-related epilepsy syndrome) (Setyo,
2021).
27
3.8.2 Pemeriksaan fisik
- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Tanda vital: suhu tubuh, tekanan darah, nadi, frekuensi nafas
- Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, bruzinski I dan II, kernique, laseque
- Pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun-ubun besar (UUB) membonjol,
papil edema
- Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat: ISPA, otitis media akut, infeksi saluran
kemih dan lain sebagainya.
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, refleks fisiologis, refleks patologis
(IDAI, 2011).
3.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
demam atau kejang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yakni sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12
bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal yakni sebagai berikut:
a) Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b) Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
28
c) Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila
bangkitan bersifat fokal, untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Jika EEG awal ini tidak normal, pencitraan
adalah langkah selanjutnya.
4. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis (IDAI, 2016).
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya (IDAI, 2016).
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg (IDAI, 2016).
29
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme
tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis (IDAI, 2016).
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
30
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa
dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.
Keterangan:
31
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
- Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam (IDAI, 2016).
3.9.3 Edukasi Pada Orang Tua
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
a. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat (IDAI, 2016).
3.9.4 Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Anak Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
d. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
e. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
f. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
g. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
32
h. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam
rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan
(IDAI, 2016).
33
3.9.5 Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang.
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin
(vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait
vaksin (non vaccine-associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11).
Angka kejadian kejang demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak
yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000
anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan
parasetamol profilaksis (IDAI, 2016).
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum
maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama (IDAI, 2016).
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
34
- Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Bila
seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama (IDAI, 2016).
3.10.3 Faktor risiko terjadinya epilepsy
35
BAB IV
PEMBAHASAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan-5
tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38°C, dengan metode
pengukuran suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Pasien pada
kasus berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan diketahui bahwa pasien berusia 2
tahun 6 bulan dengan keluhan utama kejang yang terjadi sebanyak 2x dengan durasi
masing-masing kejang yakni sekitar 3 menit dan 1 menit, dengan bentuk kejang berupa
gelojotan pada tangan dan kaki dan diantara kejang pertama dan kedua pasien sadar.
Sebelum kejang pasien diketahui mengalami demam dengan suhu diatas 38°C.
Keluhan ini baru pertama kali di alami oleh pasien, tidak ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya.
Kondisi pasien mengarah kepada klasifikasi kejang demam kompleks. Kriteria
kejang demam kompleks yang terdiri atas kejang lama > 15 menit, kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam. Pada kasus memenuhi salah satu kriteria kejang demam kompleks
yakni kejadian kejang yang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Pemeriksaan fisik pasien pada kasus ditemukan hasil secara keseluruhan dalam
batas normal. Namun selain keluhan yang dialami pasien, yang juga menjadi perhatian
yakni status gizi pasien yang berdasarkan perhitungan berat badan per-usia masuk
kedalam kategori berat badan kurang sehingga hal ini juga turut diberikan tatalaksana
pengaturan diet yang sesuai kebutuhan berat badan ideal. Selain itu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk
mencari penyebab demam pada pasien. Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan hasil,
terjadi sedikit peningkatan pada kadar leukosit.
36
demam diberikan antibiotik Cefotaxim 3x350mg secara Intravena, antikonvulsan
diberikan Diazepam 5mg/ml injeksi dengan dosis 3 mg bila kejang, antikonvulsan
intermiten berupa Diazepam 3x2mg PO jika suhu diatas 38°C. Tatalaksana terkait gizi
berupa intervensi diet tinggi energy tinggi protein dengan bentuk makan lunak tim,
frekuensi makan 3x makan utama (1x bubur saring, 2x nasi tim, 4x susu 200cc).
Prognosis kejang demam secara umum baik, namun masih ada risiko berulangnya
kejadian kejang demam. Pada pasien ini, memiliki risiko untuk terjadinya kejang
demam berulang, karena faktor adanya riwayat kejang demam pada keluarga yakni
ayah pasien, kemudian interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang, dan keluhan ini pertama kali dialami oleh pasien dan berupa kejang
demam kompleks.
37
BAB V
PENUTUP
Pasien anak laki-laki berusia 2 tahun dengan keluhan utama kejang. Kejang
terjadi sebanyak 2x berlangsung selam 1-3 menit, berupa gerakan berulang seperti
menekuk dan lurus (gelojotan) pada tangan dan kaki, setelah kejang pasien sadar
dan menangis. Kejang di dahului dengan demam yang mencapai 39,5°C. Keluhan
ini pertama kali dialami pasien dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya. Pada pemeriksaan tanda vital terjadi peningkatan suhu tubuh, tanda
rangsang meningeal negative, pemeriksaan fisik kesan dalam batas normal,
pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap terjadi sedikit peningkatan
pada leukosit.
38
DAFTAR PUSTAKA
Eilbert W dan Chan C. 2022. Febrile seizures: A review. Review Article on Pediatric.
Hal: 1-6.
Fuadi, Bahtera T., Wijayahadi N. 2016. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
Anak. Sari Pediatri. 12 (3). Halaman 142-150.
Hardika MSDP dan Mahalini DS. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Kejang Demam Berulang Pada Anak Di Rsup Sanglah Denpasar. E-
Jurnal Medika. 8 (4). Hal:1-9.
IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2011. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid-1.
Jakarta. IDAI
Mosili P, Maikoo S, Musa, Mabandla V dan Qulu L. 2020. The Pathogenesis of Fever-
Induced Febrile Seizures and Its Current State. Neuroscience Insight. 15(1).
Hal: 1-7Panduan Praktik Klinik SMF IKA RSUP Sanglah. 2017
Sawires R., Buttery J., dan Fahey M. 2022. A Review of Febrile Seizures: Recent
Advances in Understanding of Febrile Seizure Pathophysiology and Commonly
Implicated Viral Triggers. Frontiers in Pediatrics. 9 (1). Hal: 1-8
Setyo H. 2021. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak Terkini. J Indon Med Assoc.
71(5). Hal: 241-247.
Xixis KL, Samanta D, Keenaghan M. Febrile Seizure. [Updated 2022 Jul 4]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
39