Laporan Kasus
Oleh:
dr. M. Khoirudin
Pembimbing:
dr. Hj. Ida Trikandiani, Sp.PD., FINASIM., MARS.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Tn. S, usia 73 tahun dengan
STEMI Anteroseptal + Hypertensive Heart Disease NYHA II + Hipertensi
Stage I + Bronkopneumonia
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam menjalani Program
Internship Dokter Indonesia (PIDI) angkatan IV tahun 2022 yang diselenggarakan
oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Ida Trikandiani, Sp.PD.,
FINASIM., MARS., selaku pembimbing yang telah memberikan arahan serta
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
dr. M. Khoirudin
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia (PIDI) angkatan IV tahun 2022 yang diselenggarakan
oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah
OKU Timur.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. Identifikasi
Nama : Tn. S
Tanggal Lahir : 4 Juli 1950 (72 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sidorejo
Pekerjaan : Petani Karet
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal MRS : 5 Januari 2023 pada pukul 02.00 WIB (melalui IGD)
No. Rekam Medis : 191669
2.2. Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis dari pasien dan
anak pasien pada tanggal 5 Januari 2023
2.2.1. Keluhan Utama
Nyeri dada
Selain itu, pasien mengeluhkan sesak napas sejak 2 minggu SMRS. Pasien
mulai merasakan sesak napas ketika berjalan dan bekerja. Pasien juga lebih nyaman
tidur dengan bantal tinggi daripada berbaring. Nyeri ulu hati (+), batuk (-), demam
(-). BAB dan BAK dalam batas normal.
b. Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Endoftalmus : Tidak ada
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-), injeksi sklera (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
Gerakan : Luas ke segala arah
c. Hidung
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
d. Telinga
Meatus Akustikus Eksternus : Lapang
Nyeri Tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri Tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik
12
e. Mulut
Bibir : Chelitis (-), pucat (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : Atrofi papil (-)
f. Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-), benjolan (-), distensi vena jugularis (+)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-),
tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O
Auskultasi : bruit (-)
g. Toraks (Paru)
Inspeksi : bentuk dada simetris, sela iga melebar (+), retraksi dinding
dada (-), venektasi (-), ptekie (-)
Statis : Simetris
Dinamis : Simetris
Palpasi : stem fremitus sama antara kanan dan kiri, nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi : redup di paru kanan dan sonor di paru kiri nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+) basah halus, wheezing (-/-)
h. Toraks (Jantung)
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan V linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicularis anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) reguler, murmur (+) pansistolik di
proyeksi katup trikuspid dan katup mitral, gallop (-)
13
i. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 5x/menit
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
j. Ekstremitas
Lengan : gerakan baik ke segala arah, eutonia
Tangan : kulit lembab, akral hangat, palmar eritem (-/-), tremor
(-/-), edema (-/-), clubbing finger (-), sianosis (-)
Tungkai dan kaki: akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), sianosis (-)
14
Interpretasi EKG
Komponen Temuan pada EKG Kesan Indikator Normal
Irama Irama sinus Normal Irama sinus
Gel. P Amplitudo 0,1 mV dan Normal Amplitudo ≤ 0,25 mV
durasi 0,08 detik Durasi ≤ 0,1 detik
Int. PR Durasi 0,16 detik Normal Durasi 0,12-0,20 detik
Komp. - Durasi QRS 0,12 detik - Narrow QRS - QRS: 0,06-0,12 detik
QRS - Pola rsR’ di V1 dan V2 - RBBB - Q: <1/3 R
dengan slurred S di V6 Inkomplit
- Pola qR di I, aVL dan rS - LPFB
di II, III, aVF + RAD
HR 1500 ÷ 14 = 107 x/menit - HR: 60-100 x/menit dan
Pola reguler reguler
Aksis Lead I: defleksi negatif RAD Normoaksis: lead I dan
Lead aVF: defleksi positif aVF terdefleksi positif
Lain-lain Koreksi QT interval dengan QT memanjang QT normal: <440
rumus Bazett: 532 milidetik milidetik
T bifasik (terdefleksi T bifasik mirip ST: sejajar isoelektris
negatif/inverted) pada lead pola Wellen’s T: terdefleksi positif
V2, V3, V4, dan V5 Syndrome kecuali di aVR dan V1
Kesan: Irama sinus, HR 107 x/menit reguler, RAD, RBBB inkomplit, LPFB, T bifasik
V2, V3, V4, dan V5 dengan prolonged QT interval → curiga iskemia miokard akut +
Susp. bifascicular block
17
Tabel 1. 4 Hasil pemeriksaan EKG Tn. S (05 Januari 2023; 08.30 WIB)
Interpretasi EKG
Komponen Temuan pada EKG Kesan Indikator Normal
Irama Irama sinus Normal Irama sinus
Gel. P Amplitudo 0,1 mV dan Normal Amplitudo ≤ 0,25 mV
durasi 0,08 detik Durasi ≤ 0,1 detik
Int. PR Durasi 0,16 detik Normal Durasi 0,12-0,20 detik
Komp. - Durasi QRS 0,12 detik - Narrow QRS - QRS: 0,06-0,12 detik
QRS - R di V3 = 0,1 mV (<0,3 - PRWP - Q: <1/3 R
mV)
HR 10 x 10 gel R = 100 x/menit - HR: 60-100 x/menit dan
Pola ireguler reguler
Aksis Lead I: defleksi negatif RAD Normoaksis: lead I dan
Lead aVF: defleksi positif aVF terdefleksi positif
Lain-lain Koreksi QT interval dengan QT memanjang QT normal: <440
rumus Bazett: 532 milidetik milidetik
- T bifasik (terdefleksi - STEMI ST: sejajar isoelektris
negatif/inverted) di V2 anterior T: terdefleksi positif
- T inverted di V5-V6 kecuali di aVR dan V1
- Elevasi ST lead V3-V4
dengan J point 0,3 mV
Kesan: Irama sinus, HR 100 x/menit ireguler, RAD, Poor R Wave Progression, T bifasik
V2, T inverted V5-V6 dengan ST elevasi di V3-V4 disertai prolonged QT interval →
STEMI anterior
18
2.5. Diagnosis
2.5.1. Diagnosis Kerja
STEMI Anterior + HHD NYHA II + Hipertensi Stage I + Bronkopneumonia dd/
Koch Pulmonum
2.6.2. Farmakologi
- IVFD Ringer laktat gtt XX/menit makro
- Suplementasi oksigen via nasal kanul 3 Lpm
- Inj. Fondaparinux 1x2,5 mg SC (H-1)
- Inj. Moxifloxacin fl 1x1 IV
- Loading Aspilet 160 mg tab PO → selanjutnya, Aspilet 1x80 mg tab PO
- Clopidogrel 300 mg tab PO → selanjutnya, Clopidogrel 1x75 mg tab PO
- ISDN tab 3x5 mg SL (k/p nyeri dada)
- Amlodipine tab 1x10 mg PO
- Digoxin 1x0,25 mg tab PO
2.7. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia
- Quo ad functionam : dubia
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
19
2.8. Follow Up
Tabel 1. 5 Follow Up Tn. S (06 Januari 2023)
S:
Sesak napas berkurang, nyeri dada (-)
O:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Sensorium: Compos mentis
Tekanan darah: 150/100mmHg
Nadi: 110 x/menit
Laju pernapasan: 24 x/menit
Temperatur: 36,5 oC
SpO2: 99 %
Status Lokalis
- Kepala: Normosefali
- Mata: edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
- Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan
- Mulut: Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-)
- Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-)
- Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), struma (-)
- Thoraks: Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
- Paru
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)
- Jantung
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula sinistra
Auskultasi: HR = 110 x/menit, reguler, BJ I-II ireguler, murmur (+) pansistolik di
proyeksi katup trikuspid dan mitral, gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi: datar, venektasi (-), spider nevi (-), caput medusa (-).
Auskultasi: Bising usus (+) 5 x/menit
Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-/-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok CVA (-/-), shifting dullness (-)
- Genitalia: Tidak diperiksa
20
- Ekstremitas: Palmar dan akral pucat (-), dingin (+), ptekie (+) edema pretibial (-),
CRT <2 detik
Farmakologi
- IVFD Ringer laktat gtt XX/menit makro
- Suplementasi oksigen via nasal kanul 3 Lpm
- Inj. Fondaparinux 1x2,5 mg SC (H-2)
- Inj. Moxifloxacin fl 1x1 IV
- Aspilet 1x80 mg tab PO
- Clopidogrel 1x75 mg tab PO
- ISDN 1 tab SL bila nyeri dada
- Amlodipine tab 1x10 mg PO
- Digoxin 1x0,25 mg tab PO
21
Status Lokalis
- Kepala: Normosefali
- Mata: edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
- Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan
- Mulut: Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-)
- Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-)
- Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), struma (-)
- Thoraks: Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
- Paru
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
- Jantung
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula sinistra
Auskultasi: HR = 110 x/menit, reguler, BJ I-II ireguler, murmur (+) sistolik di
proyeksi katup trikuspid dan mitral, gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi: datar, venektasi (-), spider nevi (-), caput medusa (-).
Auskultasi: Bising usus (+) 5 x/menit
Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-/-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok CVA (-/-), shifting dullness (-)
- Genitalia: Tidak diperiksa
- Ekstremitas: Palmar dan akral pucat (-), dingin (+), ptekie (+) edema pretibial (-),
CRT <2 detik
22
Farmakologi
- IVFD Ringer laktat gtt XX/menit makro
- Suplementasi oksigen via nasal kanul 3 Lpm
- Inj. Fondaparinux 1x2,5 mg SC (H-3)
- Inj. Moxifloxacin fl 1x1 IV
- Aspilet 1x80 mg tab PO
- Clopidogrel 1x75 mg tab PO
- ISDN 1 tab SL bila nyeri dada
- Amlodipine tab 1x10 mg PO
- Digoxin 1x0,25 mg tab PO
23
Status Lokalis
- Kepala: Normosefali
- Mata: edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
- Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan
- Mulut: Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-)
- Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-)
- Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), struma (-)
- Thoraks: Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
- Paru
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
- Jantung
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula sinistra
Auskultasi: HR = 110 x/menit, reguler, BJ I-II ireguler, murmur (+) sistolik di
proyeksi katup trikuspid dan mitral, gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi: datar, venektasi (-), spider nevi (-), caput medusa (-).
Auskultasi: Bising usus (+) 5 x/menit
Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-/-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok CVA (-/-), shifting dullness (-)
- Genitalia: Tidak diperiksa
- Ekstremitas: Palmar dan akral pucat (-), dingin (+), ptekie (+) edema pretibial (-),
CRT <2 detik
24
Farmakologi
- IVFD Ringer laktat gtt XX/menit makro
- Suplementasi oksigen via nasal kanul 3 Lpm
- Inj. Fondaparinux 1x2,5 mg SC (H-4)
- Inj. Moxifloxacin fl 1x1 IV
- Aspilet 1x80 mg tab PO
- Clopidogrel 1x75 mg tab PO
- ISDN 1 tab SL bila nyeri dada
- Amlodipine tab 1x10 mg PO
- Digoxin 1x0,25 mg tab PO
25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ventrikel kiri oleh sulkus interventrikuler anterior. Ventrikel kanan dan kiri secara
umum membentuk pemukaan diafragmatik (inferior) dari jantung. Permukaan
inferior dari atrium kanan dimana vena kava inferior berada juga membentuk
bagian dari permukaan diafragmatik (inferior). Atrium kiri membentuk basal
jantung atau permukaan posterior. Bagian ini disebut basal karena jantung
berbentuk piramid dan basal berseberangan dengan apeks. Jantung tidak bertumpu
pada basal, jantung bertumpu pada permukaan diafragmatik (inferior). 5
Arteri koroner dan cabang utamanya terdistribusi di atas permukaan jantung dan
terletak di daam jaringan ikat subepicardial.5
Fatty streak timbul akibat adanya stresor kimia dan fisika yang akan
mempengaruhi homeostastis endotel. Fungsi endotel sebagai barier permeabilitas
akan terganggu. Hal ini akan menyebabkan terjadinya modifikasi dari lipid dan
masuknya lipid ke lapisan subintima, memicu pelepasan dari sitokin inflamasi.
Sitokin dan lemak ini akan memicu menyebabkan akumulasi leukosit (khususnya
monosit dan T limfosit) ke subintima dan membentuk foam cell.16
Foam cell, aktivasi platelet dan endotel yang rusak akan memproduksi platelet
derived growth faktor, sitokin, dan growth faktor yang menginduksi proliferasi dan
migrasi sel otot polos dari arterial media ke intima. Sintesis dan degradasi dari
matriks ekstraseluler membentuk fibrous cap yang mengandung inti lipid. Proses
inilah yang berperan dalam perubahan fatty streak menjadi plak ateroma fibrosa.
Proses dari sintesis dan degradasi matriks terjadi selama bertahun-tahun. Sel otot
polos dan foam cell yang mati akibat dari stimulasi inflamasi yang berlebihan atau
akibat aktivasi dari proses apoptosis akan membebaskan lipid yang terserap dan sel
debris, memperbesar inti lipid dan mencetuskan stres mekanik. Respon dari
peningkatan stres mekanik, adalah akumulasi lokal dari foam cell dan T limfosit di
area tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya destruksi dari fibrous cap dan
mempercepat proses degradasi matriks ekstraseluler. Plak yang terbentuk menjadi
rentan mengalami ruptur.16
Distribusi dari fibrous cap menjadi faktor penentu dalam integritas plak. Plak
yang stabil (ditandai dengan fibrous cap yang tebal dan inti lemak yang kecil) dapat
menimbulkan penyempitan arteri. Sedangkan plak yang tidak stabil (ditandai
dengan fibrous cap yang tipis, inti lemak yang besar, infiltrasi makrofag yang luas
dan sedikit sel otot polos) lebih rentan untuk mengalami ruptur. Rupturnya fibrous
cap dari plak atherosklerosis tersebut akan menyebabkan molekul protrombosis
terpapar dengan inti lipid. Mendorong untuk terbentuknya trombus akut menyumbat
lumen arteri koroner sehingga terjadilah iskemik. Emboli koroner, abnormalitas
kongenital, spasme koroner, penyakit sistemik, dan pasien yang mengalami
pendarahan juga dapat membuat jantung mengalami iskemik. 17
Iskemik menurunkan metabolisme otot karena kekurangan nutrien dari
makanan, kekurangan oksigen dan akumulasi karbondioksida. Repolarisasi
33
membran otot tidak dapat terjadi dilokasi jaringan yang mengalami iskemik berat.
Otot jantung tidak akan mati apabila aliran darah masih cukup untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Selama otot jantung masih dapat
melanjutkan kelangsungan hidupnya tanpa repolarisasi membran otot, potensial
cidera otot masih terus ada. Iskemia yang parah hingga menyebabkan kematian
terjadi sesudah adanya oklusi total pembuluh darah koroner secara mendadak. 18
Oklusi pembuluh darah koroner secara langsung menginduksi metabolisme
anaerob yang memerlukan lebih banyak ATP sehingga cadangan ATP akan segera
menipis dan mengakumulasi produk sisa metabolit. Pada akhirnya jika kondisi ini
terus berlangsung, maka sel otot jantung akan mengalami kematian. Iskemik yang
tidak segera diatasi akan menambah jumlah sel-sel otot jantung yang mati. Kematian
sel-sel miokardium menginduksi sel-sel fibroblast dan deposisi extracellular matrix
(ECM) protein dan membentuk jaringan parut yang dinamakan dengan fibrosis. 19
Fibrosis mempengaruhi gerakan jantung menjadi lebih kaku sehingga
kontraktilitas jantung murun. Fibrosis juga akan mengganggu hantaran signal listrik
jantung. Keadaan ini menjadi faktor risiko gagal jantung dan artimia jantung.19
Berkurangnya masa otot jantung akan menurunkan tegangan pada kompleks QRS.
Hal ini juga menyebabkan segmen depolarisasi bergerak lambat sehingga terjadi
pemanjangan kompleks QRS. Segmen ST mengalami elevasi menandakan cedera
miokardium dan bisa menggambarkan derajat kerusakan infark transmural. ini
menandakan terganggunya homeostasis ion intrasel. Elevasi segmen ST disebabkan
oleh perubahan bagian intrasel menjadi lebih positif sehingga terjadi potensial aksi
yang amplitudonya lebih kecil, berkurangnya kecepatan depolarisasi dan
konduksi.20
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang berdekatan
dan relevan. Hasil rekaman EKG dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudonormalisasi, atau
bahkan tanpa perubahan. NSTEMI dan UAP dibedakan berdasarkan hasil
pemeriksaan biomarka jantung. Biomarka yang lazim digunakan adalah high
sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB. Bila terdapat peningkatan biomarka
jantung, maka diagnosisnya menjadi Infark Miokard dalam hal ini ialah NSTEMI.
Bila biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna maka diagnosisnya UAP.
Pada SKA, nilai ambang peningkatan biomarka jantung yang abnormal adalah
beberapa unit melebihi nilai normal atas.21
Sementara itu, STEMI merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh
darah arteri koroner. Kondisi ini membutuhkan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi otot jantung secepatnya baik itu secara
medikamentosa agen fibrinolitik maupun secara mekanis melalui intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan bila terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang
berdekatan dan relevan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu
hasil peningkatan biomarka jantung sehingga langsung bisa ditegakkan diagnosis
Infark Miokard.21 Infark miokard diklasifikasikan berdasarkan perbedaan klinis
35
yang persisten selama > 20 menit yang dialami 80% pasien, 2) angina awitan baru
(de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society (CCS) yang
dialami oleh 20% pasien, 3) angina stabil yang mengalami destabilisasi (progresif
atau cresendo) menjadi lebih sering, lebih lama, atau lebih berat miniimal kelas III
klasifikasi CCS, 4) angina paska infark miokard yang terjadi dalam 2 minggu
setelah infark miokard.21
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat bila keluhan tersebut ditemukan pada 1)
pasien berjenis kelamin pria, 2) pasien yang diketahui memiliki penyakit
aterosklerosis non koroner seperti penyakit arteri perifer atau karotis, 3) pasien yang
memiliki riwayat PJK, tindakan coronary artery bypass graft (CABG), atau
tindakan percutaneous coronary intervention (PCI), 4) pasien yang memiliki faktor
risiko usia, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini
dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai risiko tinggi, sedang, atau rendah
menurut National Cholesterol Education Program (NCEP).21
Nyeri dada tidak hanya disebabkan oleh iskemia miokard (nyeri dada
kardiak/angina) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh selain itu (nyeri dada non
kardiak). Berikut gambaran nyeri bukan karakteristik iskemia miokard: 21
- Nyeri pleuritik dengan karakteristik nyeri tajam, berhubungan dengan sistem
respirasi atau batuk
- Nyeri abdomen tengah atau bawah, berhubungan dengan sistem pencernaan
- Nyeri dada parietal yang dapat ditunjuk dengan satu jari
- Nyeri dada yang dicetuskan oleh gerakan tubuh atau palpasi
- Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
- Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Selain untuk penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga diperlukan untuk
menapis kontraindikasi terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi
aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas
atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular. 21
39
3.2.6.2.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung ketiga (S3 atau gallop), ronkhi basah
halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub akibat perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regugitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
40
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥ 1
mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥ 1 mm di
V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan
yang memiliki spesivisitas tinggi dan sensitivitas rendah dalam mendiagnosis
iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan
kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifistas sangat rendah.
Pasien dengan Infark miokard dan RBBB memiliki prognosis buruk. Iskemia
transmural pada pasien dengan nyeri dada dan RBBB sulit terdeteksi. Karenanya
strategi PCI primer harus dipertimbangkan jika gejala iskemia persisten terjadi pada
RBBB.21
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis
pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat
sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan,
perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain: 21
- Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
- Gelombang Q yang menetap
- Non-diagnostik
- Normal
42
ialah di antara 6-48 jam hingga biomarka ini hilang. Indeks relatif merupakan
indeks yang sangat berguna dalam membedakan asal muasal CK, dari miokardium,
otot skeletal, atau dari kerusakan neural. Suatu indeks >2.5 – 3 mengindikasikan
sangat mungkin disebabkan oleh kerusakan jantung, indeks yang lebih rendah
dianggap akibat kerusakan otot skeletal.23
Troponin merupakan protein kontraktil pada sel otot, yang berada paling awal
di aliran darah, 3 hingga 9 jam setelah infark. Isoform spesifik jantung telah
diidentifikasi. Di antara tiga jenis troponin di komponen kontraktil miokardium,
troponin-I (cTn-I) dan troponin-T (cTn-T) telah digunakan secara luas.24 Keduanya
sangat spesifik dan sensitif untuk kerusakan miokard. Troponin-I meningkat dalam
4-6 jam, puncaknya saat 12 jam, dan kembali ke kadar normal dalam 3-10 hari,
dimana troponin T tetap meningkat selama 12-48 jam dan kembali normal dalam
10 hari. Tidak dianggap infark miokard bila troponin tidak meningkat. Troponin I/T
sebagai biomarka nekrosis jantung memiliki sensitivitas dan spesivisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya
nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis
miosit tersebut, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
memiliki spesivisitas yang lebih tinggi dari troponin T.21,25
Mioglobin, protein heme kecil yang membantu pengangkutan oksigen di
seluruh jaringan otot, dilepaskan dalam 1 jam dan meningkat lebih cepat
dibandingkan cTn atau CK-MB, berada di kadar pucak sekitar 8-10 jam, dan
kembali normal dalam 24 jam sehingga mioglobin merupakan indikator awal yang
sensitif untuk kerusakan jantung. Meskipun tidak spesifik terhadap miokardium,
tetapi mioglobin digunakan sebagai prediktor negatif yang baik untuk kerusakan
miokard.23
44
3.2.6.6.Pemeriksaan Invasif
Angiografi koroner memberikan gambaran keberadaan dan tingkat keparahan
PJK sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien
dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang
45
3.2.6.7.Pemeriksaan Laboratorium
Selain biomarka jantung, pemeriksaan yang juga penting dilakukan ialah tes
darah rutin, gula darah sewaktu, kadar elektrolit, status koagulasi darah, tes fungsi
ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi
SKA.21
3.2.7. Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami serangan mendadak saat sedang di lingkungan umum
akan membuat panik orang-orang disekitar. Hanya sedikit orang yang mengetahui
gejala STEMI dan apa yang harus dilakukan ketika ada serangan. Dokter umum
harus memiliki kompetensi untuk melakukan diagnosa awal STEMI. Adanya
kecurigaan serangan STEMI maka dokter umum dapat memanggil bantuan
ambulans dari fasilitas gawat darurat terdekat. Tujuan tatalaksana adalah untuk
mencegah kerusakan miokard lebih lanjut dengan memperbaiki kembali aliran
pembuluh koroner (reperfusi), serta mencegah kematian mendadak dengan
memantau dan mengobati aritmia maligna. Meskipun penderita tidak meninggal
akibat serangan infark akut, apabila infarknya luas penderita akhirnya bisa
mengalami ke dalam gagal jantung.26
Waktu pertama kali dokter bertemu dengan pasien saat sedang mengalami
serangan disebut first medical contact (FMC). Setting tempat FMC bisa dilakukan
46
sebelum pasien dirumah sakit (prehospital) maupun saat pasien sudah tiba dirumah
sakit (IGD). Setting prehospital melibatkan bantuan fasilitas ambulans untuk
transfer pasien ke rumah sakit terdekat. Untuk menegakan diagnosa awal, dilakukan
anamnesis secara singkat dan cepat, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. 27
Perekaman EKG 12-leads harus dilakukan untuk menilai aktivitas listrik
jantung. Penemuan adanya kelainan ST segmen elevasi mengindikasikan pasien
membutuhkan tatalaksana berupa tindakan reperfusi. Berikan nitrat sublingual
sebagai vasodilator untuk mengurangi nyeri. Membuat pasien stabil dapat dilakukan
dengan mempertahankan saturasi oksigen >90% dan meredakan nyeri dengan
morfin. Pada pasien yang memiliki saturasi oksigen ≥90 tidak dianjurkan pemberian
oksigen. Pemberian morfin injeksi subkutan atau intramuskular 10mg sebagai
penghilang rasa nyeri. Untuk mendapatkan hasil reaksi cepat maka dapat disuntikan
melalui intravena 10 mg dalam waktu 4-5 menit. Didalam buku panduan praktik
klinis rumah sakit Mohammad Hoesin (PPK RSMH) disebutkan dosis morfin 5mg
intravena setiap 5 menit dan dapat diulang 4 kali.27
Untuk tatalaksana awal, pasien ditirah baringkan. Pada semua pasien STEMI
direkomendasikan untuk mempertahankan saturasi >90 %. Lalu, dosis loading
Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin yang tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih cepat. Dosis loading penghambat
reseptor adenosin difosfat (ADP) juga diberikan selain aspirin, bisa diberikan
ticagrelor atau clopidogrel. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg
dilanjutkan dosis pemelihataan 2x90mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan reperfusi dengan agen fibrinolitik. Sedangkan dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang
direncanakan reperfusi dengan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjutkan adalah clopidogrel. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk
pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung. Bila nyeri dada tidak hilang
dengan 1 kali pemberian, maka dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3
kali. Nitrogliserin intravena dan/atau morfin sulfat 1-5 mg intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. 21
47
**
*
*
*
***
Gambar 3. 4 Strategi Reperfusi
*
Sumber: Ibanez, B., James, S., Agewall, A., dkk. 2017 ESC Guideline for The
Management of Acute Myocardial Inafrction in Patients Presenting with ST-
Segment Elevation. European heart journal. 2017. doi: 10.1093/euheartj/ehx393
hal. 119-177
Pasien tiba dirumah sakit disebut time 0 (*). Golden periode pasien
mendapatkan reperfusi adalah <12 jam saat serangan dimulai (gambar 18). Door
to ballon dimulai dari time 0 untuk melakukan PCI hingga selesai yaitu 90 menit
(gambar 18). Total waktu yang dibutuhkan adalah 120 menit. Indikasi PCI primer
adalah adanya ketidakstabilan hemodinamik, syok kardiogenik, nyeri dada yang
tidak hilang dengan obat-obatan, terdapat komplikasi mekanik dari MI, gagal
jantung akut, dan perubahan dinamik elevasi segmen ST intermiten pada EKG.
Ada beberapa teknik PCI yang dapat dilakukan apabila IRA ditemukan (primary
PCI strategy), yaitu memasang stent atau ring; aspirasi trombus; dan intraaortic
ballon pump (IABP).27
49
Akses kateter PCI bisa melalui transradial atau melalui transfemoral. Hingga
saat ini, akses melalui transradial lebih sering dipilih karena memiliki resiko
perdarah yang kecil dan minimal komplikasi vaskular. Ujung kateter terdapat
sebuah balon yang akan dipompa pada saat balon berada di arteri yang menyempit.
Balon yang mengembang mampu melebarkan diameter arteri koroner dan
mengatasi iskemia. Tidak cukup menggunakan balon yang dipompa karena
kejadian reinfarksi banyak terjadi setelah prosedur ini dilakukan.27
Pemasangan stent atau biasa dikenal ring bare-metal untuk
merevaskularisasi berhasil mengurangi kejadian reinfarksi meskipun tidak
mengurangi mortalitas pasien. Generasi pertama menggunakan bare-metal
terbukti dapat mempertahankan vaskularisasi hingga 6 bulan. Generasi terbaru
drug-eluting stent atau stent yang dilapisi obat mampu mengurangi kejadian
restenosis. Ada prosedur aspirasi trombus yang dinilai lebih aman dalam
prosesnya, tinggi tingkat keberhasilannya mencapai 90%, dan lebih hemat dari
biaya prosedur pemasangan stent. Aspirasi trombus menggunakan prinsip
mengaspirasikan trombus yang menyumbat arteri koroner.27
Pilihan terakhir prosedur PCI adalah intraaortic balon pump (IABP). Balon
yang berukuran besar mampu mengembangkan aorta dengan tujuan menurunkan
tekanan aorta sehingga beban afterload akan berkurang. Beban after load yang
berkurang akan memperbaiki perfusi arteri koroner saat fase diastolik. Data
evidence based IABP terbukti memiliki hasil yang memuaskan pada pasien yang
mengalami MI anterior. Apabila tidak ditemukan IRA, maka coronary artery
bypass graft (CABG) direkomendasikan.27
50
Pasien yang akan menjalani PCI primer harus mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP (P2Y12) sesegera
mungkin sebelum angiografi disertai dengan antikoagulan intravena. Antiplatelet
mengurangi agregasi platelet sehingga akan mengurangi kemungkinan
pembentukan trombus. Aspirin menjadi inhibitor selektif dan irreversible enzim
siklooksigenase-1 (COX-1) yang menghambat langsung biosintesis prostaglandin
dan tromboxan dari asam arakidonat. Aspirin diberikan dengan dosis 150-300mg
oral dengan dikunyah dan bisa juga diberikan secara intravena dengan dosis 50%
51
dari dosis oral. Inhibitor P2Y12 yang biasa digunakan adalah tricagrelor, prasugrel,
atau klopidogrel.27
Tricagrelor diberikan dengan loading dose 180mg peroral dan dosis
maintenance 90mg dua kali dalam sehari. Prasugrel dengan loading dose 60mg
peroral dosis mantenance 10mg satu kali perhari. Tricagrelor dan prasugrel
memiliki onset aksi yang lebih cepat, potensi lebih besar, dan dalam hasil klinis
lebih menguntungkan dari pada klopidogrel. Pada pasien yang sebelumnya
pernah mengalami stroke hemoragik sebelumnya, pasien yang mengkonsumsi
antikoagulan oral, atau pada pasien dengan penyakit hati, pada pasien yang
usianya >75tahun tidak disarankan karena merupakan kontraindikasi dari
pemberian tricagrelor maupun prasugrel. Selain itu, pada kelompok pasien yang
memiliki berat badan <60kg disarankan mengurangi 5mg dosis. Efek samping
kedua obat ini adalah dyspnea pada onset awal. Klopidogrel sebagai alternatif
pada pasien yang kontraindikasi terhadap tricaglerol dan prasugrel. Klopridogrel
dengan loading 600mg dan dosis maintenance 150mg. Semua obat antiplatelet
memiliki risiko pendarahan aktif dan signifikan pada kejadian anemia.27
Penggunaan utama antikoagulan adalah untuk mencegah pembentukan
trombus atau memecah trombusi yang terdiri dari jaringan fibrin dengan
trombosit dan sel darah merah. Unfractionated heparin (UFH) atau bisa disebut
heparin, enoxaparin, dan bivalirudin menjadi pilihan antikoagulan yang biasa
digunakan dalam pasien STEMI. Heparin mengaktifkan aksi antitrombin II dan
menonaktifkan trombin dengan menghambat faktor koagulasi IX, X, XI, XII dan
plasmin, serta menghambat konversi fibrinogen menjadi fibrin. Heparin juga
menstimulasi pelepasan lipoprotein lipase yang menghidrolisis trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Dosis heparin secara intravena adalah
70- 100 U/kgBB.27
Enoxaparin adalah heparin berat molekul rendah dengan sifat
antikoagulan. Kerjanya menghambat faktor pembekuan termasuk pembentukan
trombin dan faktor Xa melalui aksinya pada antitrombin III. Dosis yang
digunakan adalah 30mg atau 3000 unit intravena. Bivalirudin adalah analog asam
20-amino sintetis dari hirudin yang terjadi secara alami. Inhibitor trombin
52
Bila terjadi delay waktu sehingga diperkirakan total waktu akan melebihi 120
menit, maka pilihan reperfusi fibrinolisis. Obat fibrinolisis bekerja sebagai
trombolitik dengan cara mengaktifkan plasminogen untuk membentuk plasmin,
yang mendegradasi fibrin dan kemudian memecah trombus. Terapi reperfusi
53
fibrinolisis juga memiliki golden periode yaitu 12 jam setelah onset serangan
(gambar 19). Lakukan anamnesis dan penilaian terhadap kontraindikasi fibrinolisis
pada pasien (lihat table 5). Door to needle dimulai dari time 0 hingga bolus
fibrinolisis selesai diberikan yaitu 10 menit. Fibrinolisis yang dianjurkan adalah
tenecteplase, alteplase, atau reteplase yang termasuk dalam golongan fibrinolisis
spesifik. Alteplase paling banyak digunakan dalam praktek klinis dengan dosis 15
mg bolus intravena, kemudian dilanjutkan melalui infus 50mg selama 60 menit.
Antikoagulan yang diberikan bersama dengan alteplase adalah enoxaparin.27
segmen lebih dari 50%/ 2 kotak pada EKG, dan arritmia reperfusi tipikal. Apabila
berhasil maka PCI primer dapat menjadi pilihan elektif (routine early PCI
strategy after fibribnolisis) dengan mengkategorikan stratifikasi risiko pada
pasien. Apabila fibrinolisis tidak berhasil, maka prosedur harus dilakukan rescue
PCI (tindakan primary PCI segera karena ketidakberhasilan terapi fibrinolisis).27
Setelah prosedur PCI berhasil dilakukan laukan monitoring keadaan pasien
terutama pada rekaman hasil EKG selama 24 jam. Pada kegagalan terapi PCI dan
fibrinolisis, atau tidak didapatkan adanya bukti artery related infarct, atau pasien
yang memiliki komplikasi anatomis memerlukan reperfusi yang dilakukan
dengan prosedur CABG. Sampai saat ini, belum ada waktu yang
direkomendasikan untuk melakukan prosedur ini. Tindakan CABG memiliki
risiko invasif yang menjadi pertimbangan antara keberhasilan terapi.28
Pasien yang tidak ditatalaksana dengan PCI dan fibrinolisis dalam waktu 12
jam setelah onset serangan, ditatalaksana dengan obat antikoagulan dan menilai
stratifikasi risiko sangat tinggi, tinggi, intermediate, dan rendah 21
pernapasan, dan saturasi oksigen >95% pada oksigen ruangan. Sedangkan APD di
laboratorium kateterisasi menggunakan APD level 3.29
3.2.9. Komplikasi
Komplikasi dapat segera terjadi bila pasien STEMI tidak mendapatkan
tindakan reperfusi dengan segera. Komplikasi melibatkan gangguan
kontraktilitas, listrik jantung. dan perubahan bentuk maupun ukuran miokardium.
Komplikasi berkaitan dengan lokasi dan luas infark. Komplikasi yang sering
terjadi dari STEMI adalah gagal jantung.18
Gagal jantung harus diwaspadai untuk mencegah perburukan kondisi
pasien. Oklusi pada LAD maka infark dapat terjadi di bagian anterior atau bagian
inferior, melibatkan septum dan ventrikel kiri. Maka oklusi pada LAD akan
menyebabkan gagal jantung kiri sebagai komplikasi setelah gagalnya ventrikel
kiri memompa darah. Hal ini ditandai dengan adanya hipotensi, sianosis perifer,
takikardi, dan oliguria yang merupakan tanda-tanda syok kardiogenik. Oklusi
LCX akan menyebabkan infark posterior lateral kiri yang juga berakhir dengan
gagal jantung kiri. Oklusi LAD memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dan
disebut dengan widowmaker karena LAD adalah salah satu arteri koroner
terbesar. Sedangkan oklusi pada RCA dapat menyebabkan infark pada posterior
lateral melibatkan sisi jantung kanan atau bisa juga inferior. Oklusi RCA dapat
menyebabkan gagal jantung kanan yang ditandai dengan adanya dilatasi vena
jugularis, edema pada tungkai, takikardi, dan biasanya diikuti dengan atrial
fibrilasi akibat terganggunya nodus SA.26
Lokasi infark yang luas juga dapat menyebabkan ventrikular fibrilasi.
Gangguan artimia lainnya seperti sinus bradikardi dan AV blok berkaitan dengan
oklusi LAD. Komplikasi dari miokard infark anterior juga dapat merupturkan
chordae tendinae yang menyebabkan acute mitral regurgitation. Semua
komplikasi ini dapat menyebabkan henti jantung dan meningkatkan risiko
kematian. Komplikasi dari tindakan tatalaksana PCI yang bisa terjadi adalah
pendarahan dan thrombosis stent. Komplikasi pada pasien STEMI dapat dicegah
dengan memberikan tatalaksan reperfusi dengan cepat dan tepat. 30
59
3.2.10. Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh keadaan pasien dan etiologi iskemia. Keadaan
pasien seperti umur yang sudah lanjut usia, adanya riwayat serangan jantung
sebelumnya, gagal jantung, dan penyakit lain yang memperburuk kondisi klinis
pasien juga akan memperburuk prognosis pasien. Etiologi multipel dari iskemia
juga akan memperburuk prognosis pasien.30
BAB IV
ANALISIS KASUS
tekanan hidrostatik kapiler paru akibat peningkatan aliran balik darah kembali ke
kapiler paru terutama dari ventrikel kiri yang tidak efektif memompa darah ke
sistemik. Sementara itu pada jantung didapatkan murmur pansistolik di proyeksi
katup trikuspid dan katup mitral. Jenis murmur ini biasanya disebabkan oleh
regurgitasi katup jantung, dalam hal ini katup trikuspid dan mitral. Regurgitasi
katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri,
gangguan m. papilaris, atau ruptur ujung m. papilaris atau chordae tendinae.
Regurgitasi katup jantung perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi. 21,32
Pada awalnya (EKG pukul 02.00 WIB), gambaran EKG pasien dijumpai
abnormalitas gelombang T yang muncul bifasik dan cenderung inverted (defleksi
negatif) di sadapan V2-V5 sehingga dicurigai pasien mengalami iskemia miokard
akut, tentunya dengan mempertimbangkan klinis pasien. Pada kondisi normal,
gelombang T berdefleksi positif karena sel otot jantung ventrikel terakhir yang
mengalami depolarisasi adalah sel subepikardial, yang biasanya memiliki durasi
lebih pendek daripada sel subendokardial. Namun, beberapa EKG memperlihatkan
inversi T normal pada sadapan aVR dan V1. Ketika terjadi iskemia, pompa Na-K
ATPase tidak dapat berfungsi dalam mengembalikan potensial membran istirahat
yang penting dalam proses repolarisasi otot jantung. 33 Bila iskemia terjadi di
subendokardial, maka sel subendokardial memiliki durasi potensial aksi lebih
pendek sehingga onset repolarisasinya lebih cepat. Bila repolarisasi ini terjadi
sebelum repolarisasi subepikardial, maka gelombang repolarisasi akan berjalan
menuju elektroda perekam sehingga menghasilkan gelombang T inversi.34,35
Temuan pemanjangan interval QT pada pasien dengan iskemia miokard akut
mungkin berhubungan dengan perubahan dalam respon miokard terhadap stimulasi
katekolamin atau kolinergik, perturbasi kanal kalsium atau kalium, atau induksi dari
perubahan konsentrasi hidrogen intraseluler.36 Interval QT mewakili waktu
repolarisasi ventrikel dan pemanjangan dari interval QT terkoreksi berhubungan
dengan re-entri fungsional, torsade de pointes, dan kematian mendadak.37
Penelitian oleh Cupa dkk., mengemukakan interval QT terkoreksi (QTc) secara
bermakna memanjang pada pasien dengan iskemia miokard akut berdasarkan kadar
troponin dibanding pasien dengan penyebab lain nyeri dada. Parameter interval
63
QTc tidak cukup kuat untuk nilai diagnostik. Namun, pemanjangan QTc > 440
milidetik memprediksi mortalitas (prognostik). 38
Kemudian, pasien dilakukan pemeriksaan EKG kembali pada pukul 08.30
WIB. Temuan EKG menunjukkan adanya abnormalitas berupa elevasi segmen ST
(peningkatan J point) di sadapan yang berdekatan yaitu sadapan anterior (V3 dan
V4) dengan amplitude 0,3 mV disertai klinis nyeri dada angina sehingga pasien
didiagnosis STEMI anterior. Arteri koroner yang mungkin terganggu (oklusi) ialah
LAD.21 Menurut ESC/ACCF/AHA/WHFTF untuk definisi universal infark
miokard ialah elevasi segmen ST baru dilihat dari peningkatan J point pada
setidaknya 2 sadapan berdekatan ≥2 mm (0,2 mV) pada pria atau ≥1,5 mm (0,15
mV) pada wanita pada sadapan V2–V3 dan/atau ≥1 mm (0,1 mV) di sadapan dada
lainnya yang berdekatan atau sadapan ekstremitas.39 Pada EKG pasien juga
ditemukan poor R wave progression (PRWP) yang seringkali berhubungan dengan
infark miokard anterior, namun bukan sebagai diagnostik. PRWP didefinisikan
sebagai ketinggian gelombang R ≤ 3 mm di sadapan V3.40
Dari pemeriksaan laboratorium terutama biomarka jantung ditemukan
peningkatan kadar CK dan CK-MB. Indeks relatif CKMB perlu diukur untuk
mengetahui asal pelepasan CK-MB. Pada pasien ini, indeks relatif 9,03 yang artinya
peningkatan kadar CK-MB berasal dari kerusakan jantung. Indeks yang lebih
rendah dari 2,5-3 dianggap disebabkan oleh kerusakan otot skeletal. Peningkatan
biomarka jantung memastikan diagnosis infark miokard, meskipun pasien dengan
klinis nyeri dada angina dan gambaran EKG elevasi segmen ST sudah bisa
ditatalaksana sebagaimana pasien infark miokard. 21,23
Sedangkan dari pemeriksaan rontgen toraks AP ditemukan kesan
kardiomegali dengan edema paru dan efusi pleura kanan. Kardiomegali pada pasien
disertai dengan pinggang jantung mendatar dan apeks pada diafragma, menandakan
adanya hipertrofi ventrikel kiri tetapi pada rontgen tidak bisa menentukan tipe
eksentrik atau tipe konsentrik. Namun pada EKG pasien tidak ditemukan deviasi
aksis kiri, kelainan ruang jantung, ataupun pola LV strain sehingga tidak berbanding
lurus dengan temuan rontgen toraks AP. Kemungkinan, kardiomegali yang
ditemukan hanya tampak membesar karena posisi pengambilan rontgen toraks AP.
64
Rasio kardiotoraks (CTR) sebaiknya tidak diukur pada rontgen toraks AP. Objek
yang lebih dekat dengan tabung sinar-X akan tampak membesar secara artifisial
karena divergensi berkas sinar-X, mengakibatkan jantung tampak besar.41 Selain
itu, ditemukan gambaran edema paru dan ini didukung oleh auskultasi ronkhi basah
halus. Pada pasien juga ditemukan adanya sudut kostofrenikus menumpul
kemungkinan oleh efusi pleura kanan. Efusi pleura bisa disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik sehingga jumlah cairan pleura meningkat. Namun
pada pasien tidak dijumpai sesak napas dicetuskan oleh posisi berbaring. 42
Berdasarkan SNPPDI 2019, dokter umum harus mampu membuat diagnosis
klinik dan memberikan terapi awal kegawatdaruratan untuk pasien SKA. Hal ini
sejalan dengan peran utama SKA yaitu salah satu penyumbang angka tertinggi
kematian di dunia. Tatalaksana awal pada pasien ini meliputi mempertahankan
saturasi oksigen perifer >90%, dosis loading aspirin 160 mg (2 tab, PO dikunyah)
selanjutnya diikuti dosis 1x80 mg (1 tab, PO), dosis loading clopidogrel 300 mg (4
tab, PO) selanjutnya diikuti dosis 1x75 mg (1 tab, PO), Isosorbit dinitrate (ISDN)
3x5 mg tab PO (hanya bila pasien nyeri dada angina). Nitrogliserin memiliki efek
vasodilator pada arteri maupun vena terutama bahaya dari efek venodilator. Oleh
karena itu, ISDN diberikan bila tidak ada kontraindikasi meliputi, reaksi alergi
terhadap nitrogliserin, tekanan darah <90/60 mmHg (bila klinis infark miokard,
dicurigai oleh karena infark miokard kanan), anemia berat, peningkatan tekanan
intrakranial, dan penggunaan PDE-5 inhibitors (seperti sildenafil citrate, vardenafil
hydroxide, dan tadalafil) karena dapat mencetuskan hipotensi dan episode sinkop. 43
Paska infark miokard, pasien ditatalaksana dengan Dual Antiplatelet Therapy
selama 12 bulan (aspirin dan clopidogrel) karena skor DAPT <2.44 Untuk terapi
antikoagulan, pasien di’berikan fondaparinux dengan dosis 1x2,5 mg/hari secara
subkutan. Pemilihan fondaparinux dikarenakan profil keamanan paling baik.21
Bila pasien ditatalaksana dengan tepat, prognosis pada pasien ini adalah quo
ad vitam dubia, sejalan derajat Killip II yang dialami pasien dengan mortalitas 17%
dalam 30 hari. Quo ad functionam dubia karena keterbatasan aktivitas yang dialami
akibat HHD. Quo ad sanationam dubia ad malam karena pasien dicurigai
mengalami sekuel dari infark miokard yaitu regurgitasi mitral dan trikuspid.
65
BAB V
KESIMPULAN
PJK merupakan jenis penyakit jantung paling umum terjadi sebagai hasil dari
perubahan atheromatous pada pembuluh darah yang menyuplai jantung. Istilah PJK
digunakan untuk menggambarkan serangkaian gangguan klinis dari aterosklerosis
tanpa gejala dan angina pektoris stabil (SAP) hingga sindrom koroner akut (SKA)
meliputi angina pektoris tidak stabil (UAP), infark miokard tanpa ST elevasi
(NSTEMI), dan infark miokard dengan ST elevasi (STEMI).
Penegakkan diagnosis segera dalam waktu 10 menit saat pasien tiba di ruang
gawat darurat dibutuhkan untuk menatalaksana lebih cepat pasien dengan SKA.
Anamnesis nyeri dada harus mengeliminasi penyebab non kardiak dan memastikan
nyeri dada yang dialami pasien ialah nyeri dada angina (kardiak), pemeriksaan fisik
penting dilakukan untuk menilai kelainan penyerta dan komplikasi. Pemeriksaan
EKG dan biomarka jantung memainkan peran vital dalam diagnosis infark miokard.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen toraks dan ekokardiografi juga
diperlukan untuk mengevaluasi kondisi penyerta lain.
Bila diagnosis infark miokard ditegakkan, maka terapi awal harus segera
diberikan meliputi pertahankan saturasi oksigen arteri perifer >90%, dosis loading
aspirin dan penghambat ADP (clopidogrel atau ticagrelor), nitrogliserin bila nyeri
dada dan tidak ada kontraindikasi. Untuk terapi definitif STEMI, pasien dibutuhkan
penanganan lanjut oleh dokter yang lebih berkompeten untuk dilakukan terapi
reperfusi baik itu dengan PCI atau agen fibrinolitik.
66
DAFTAR PUSTAKA