Anda di halaman 1dari 185

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN DIAGNOSIS DIABETES


MELITUS GANGREN PEDIS DEXTRA DI RUANG III
RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA

OLEH :

RETNO FIDYAWATI, S. Kep.


NIM. 173.0065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2018
KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN DIAGNOSIS DIABETES


MELITUS GANGREN PEDIS DEXTRA DI RUANG III
RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan untuk memperoleh salah satu


syarat untuk memperoleh gelar Ners

OLEH :

RETNO FIDYAWATI, S. Kep.


NIM. 173.0065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2018

i
HALAMAN PERNYATAAN

Saya bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa karya

ilmiah akhir ini saya susun tanpa melakukan plagiat sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Stikes Hang Tuah Surabaya. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan

penulis, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk, saya menyatakan dengan

benar. Bila ditemukan adanya plagiat, maka saya akan bertanggung jawab

sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Stikes Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 30 Juni 2018

Penulis,

Retno Fidyawati, S. Kep.


NIM. 173.0065

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Setelah kami periksa dan amati, selaku pembimbing mahasiswa :


Skripsi Oleh : Retno Fidyawati, S.Kep.
NIM : 173.0065
Program Studi : Pendidikan Profesi Ners
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Ny.S dengan
Diagnosis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra
Di Ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

Serta perbaikan – perbaikan sepenuhnya, maka kami menganggap dan dapat


menyetujui bahwa karya ilmiah akhir ini guna memenuhi sebagian persyaratan
untuk memperoleh gelar :

NERS (Ns.)

Surabaya, 30 Juli 2018


Pembimbing

Christina Yuliastuti, S.Kep.,Ns., M.Kep


NIP.03.0017

Mengetahui,
Stikes Hang Tuah Surabaya
Ka Prodi Pendidikan Profesi Ners

Ns. Nuh Huda, M.Kep., Sp., Kep.MB


NIP. 03020

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan program Pendidikan Profesi Ners.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan kelancaran Karya Ilmiah ini
bukan hanya karena kemampuan penulis saja, tetapi banyak bantuan dari berbagai
pihak, yang telah dengan ikhlas membantu penulis demi terselesainya penulisan,
oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang sebenar – benarnya kepada :
1. Laksamana Pertama TNI dr. I.D.G. Nalendra D.I., Sp.B.,Sp.BTKV (K)
selaku Kepala Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, yang telah memberikan ijin
dan lahan praktik untuk penyusunan karya ilmiah akhir.
2. Ibu Wiwiek Liestyaningrum,. S.Kp., M.Kep selaku Ketua Stikes Hang Tuah
Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada kami menyelesaikan
pendidikan Ners di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya.
3. Bapak Ns. Nuh Huda, M.Kep., S..Kep.MB., selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Profesi Ners yang telah memberikan dorongan penuh dengan
wawasan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
4. Ibu Christina Yuliastuti, S.Kep.,Ns., M.Kep., selaku Pembimbing, yang
dengan tulus ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta
perhatian dalam memberikan dorongan, bimbingan dan arahan dalam
penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
5. Ibu Agustina Sripatmi S.Kep.,Ns., selaku Pembimbing ruangan yang
dengan tulus ikhlas telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
penyusunan dan penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Stikes Hang Tuah Surabaya, yang telah memberikan
bekal bagi penulis melalui materi – materi kuliah yang penuh nilai dan
makna dalam penyempurnaan penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, juga
kepada seluruh tenaga administrasi yang tulus ikhlas melayani keperluan
penulis selama menjalani studi dan penulisannya.

iv
7. Orang tua dan keluargaku tercinta yang senantiasa mendoakan, memberikan
semangat dan motivasi selama menempuh studi Profesi Ners dan
menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.
8. Sahabat – sahabat seperjuangan tersayang dalam naungan Stikes Hang Tuah
Surabaya yang telah memberikan dorongan semangat sehingga Karya
Ilmiah Akhir ini dapat terselesaikan, saya hanya dapat mengucapkan
semoga hubungan persahabatan tetap terjalin.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas bantuannya. Penulis hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas
amal baik semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
Karya Ilmiah Akhir ini.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka saran dan kritik yang
konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga Karya
Ilmiah Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca terutama
bagi Civitas Stikes Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 30 Juni 2018

Retno Fidyawati, S.Kep.


173.0065

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


SURAT PERNYATAAN ................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................... 7
1.5 Metode Penulisan ................................................................................ 9
1.6 Sistematika Penulisan .......................................................................... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Dasar Penyakit ....................................................................... 12
2.1.1 Anatomi Fisiologi ................................................................................. 12
2.1.2 Definisi Diabetes Melitus .................................................................... 16
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus ............................................................... 17
2.1.4 Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2 ......................................................... 19
2.1.5 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 .................................................. 22
2.1.6 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus Tipe 2 ........................................ 23
2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 ...................................................... 26
2.1.8 Faktor Risiko Diabetes Melitus ............................................................ 29
2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus ............................................................... 30
2.1.10 Penatalaksanaan Perawatan .................................................................. 35
2.2 Konsep Ulkus Diabetik ........................................................................ 37
2.2.1 Definisi Ulkus Diabetik ........................................................................ 37
2.2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetikum .............................................................. 38
2.2.3 Etiologi Ulkus Diabetik ........................................................................ 39
2.2.4 Faktor Risiko Ulkus Diabetik ............................................................... 40
2.2.5 Diagnosis Ulkus Diabetikum ............................................................... 41
2.2.6 Patogenesis Ulkus Diabetikum............................................................. 45
2.2.7 Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum ..................................................... 46
2.2.8 Mengurangi Beban (offloading) ........................................................... 50
2.2.9 Penatalaksanaan dengan Operasi (Surgical Manajement) ................... 50
2.2.10 Proses Penyembuhan Luka .................................................................. 52
2.2.11 Pperan Sitokonin dan Faktor Pertumbuhan (Growth Factor) .............. 62
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus .................................. 63
2.3.1 Pengkajian ........................................................................................... 63
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 70

vi
2.3.3 Intervensi Keperawatan ....................................................................... 71
2.4 Kerangka Masalah Diabetes Melitus ................................................... 82

BAB 3 TINJAUAN KASUS


3.1 Pengkajian ........................................................................................... 84
3.1.1 Data Dasar ........................................................................................... 84
3.1.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 86
3.1.3 Pola Fungsi Kesehatan ........................................................................ 90
3.1.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 93
3.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................................ 95
3.3 Rencana Keperawatan ......................................................................... 98
3.4 Implementasi dan Evaluasi ...... ............................................................ 102

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian .......................................................................................... 137
4.2 Diagnosis Keperawatan ...................................................................... 146
4.3 Intervensi Keperawatan ...................................................................... 150
4.4 Pelaksanaan dan Evaluasi ................................................................... 153

BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan ............................................................................................. 166
5.2 Saran................................................................................................... 168

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 169


Lampiran.......................................................................................................... 173

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes ..................................................................................... 27

Tabel 2.2 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM ........................................................ 28

Tabel 2.3 Interpretasi Klasifikasi ABI (ankle brachial index) ...................... 44

Tabel 3.1 Kemampuan Perawatan Diri pada Ny. S dengan Diabetes


Melitus Gangrene Pedis Dextra pada tanggal 16 Juni 2018 .......... 89

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang Ny. S dengan Diabetes Melitus


Gangren Pedis Dextra .................................................................... 92

Tabel 3.3 Terapi Medis Ny. S dengan Diabetes Mellitus Gangren Pedis
Dextra di Ruang 3 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya pada
tanggal 16 Juli 2018....................................................................... 93

Tabel 3.4 Rencana Keperawatan pada Ny.S dengan Diabetes Mellitus


Gangren Pedis Dekstra di Ruang 3 Rumkital Dr.Ramelan
Surabaya ........................................................................................ 98

Tabel 3.5 Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan Pada Ny. S


Dengan Diabetes Mellitus Gangren Pedis Dextra di Ruang 3
Rumkital Dr.Ramelan Surabaya .................................................... 102

viii
DAFTAR GAMBAR

Tabel 2.1 Anatomi Pankreas dan Pulau Langerhans ........................................... 13

Tabel 2.2 The Ominous Octet, Delapan Organ yang Berperan dalam

Patogenesis Hiperglikemia pada DM Tipe 2 ................................ 19

Tabel 2.3 Wagner Classification of foot ........................................................ 38

Tabel 2.3 Genogram Keluarga Ny. S ............................................................. 85

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 SOP Transfusi Darah .............................................................. 170

Lampiran 2 SOP Rawat Luka Infeksi ........................................................ 171

Lampiran 3 SOP Injeksi Intra Vena (IV) ................................................... 172

Lampiran 4 SOP Latihan Tehnik Relaksasi ................................................ 173

Lampiran 5 Foto Luka Ny.S Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra ........... 174

x
DAFTAR SINGKATAN

ABI : Ankle Brachial Indekx


ADA : American Diabetes Association
BFGF : Basic Fibroblast Growth Factor
CRT : Capillary Refill Time
DM : Diabetes Melitus
FFA : Free Fatty Acid
GCS : Glascow Coma Scale
GDPT : Glukosa Darah Puasa Terganggu
GDM : Gestational Diabetes Melitus
GH- IH : Growth Hormone- Inhibiting Hormone
HGP : Hepatic Glucose Production
HHNK : Koma Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik
HONK : Hiperosmolar Nonketotik
IDDM : Insulin Dependent Diabetes Melitus
IDF : Internasional Diabetes Federation
IGD : Instalansi Gawat Darurat
IMT : Indeks Massa Tubuh
KAD : Ketoasidosis Diabetik
KDI : Kaki Diabetik akibat Iskemia
KDN : Kaki Diabetik akibat Neuropati
NIDDM : Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus
PAD : Peripheral Artery Disease
TGT : Toleransi Glukosa Terganggu
TIA : Transistent Ischemic Attack
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

xi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan gaya hidup berdampak terhadap perubahan pola penyakit yang

terjadi di masyarakat. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan gaya hidup dan

merupakan masalah yang cukup serius terjadi di negara maju dan negara

berkembang adalah peningkatan jumlah kasus Diabetes Melitus (DM) (Meetoo &

Allen, 2010). Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia, pada

diabetes melitus kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun

atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin (Brunner dan

Suddrath, 2001 dalam Wijaya dan Putri, 2013). Penderita Diabetes Melitus akan

terjadi perubahan pembuluh darah salah satunya yaitu gangguan pembuluh darah

perifer. Gangguan pembuluh darah perifer yang sering terjadi yakni timbul

gangrene Ulkus diabetik dikenal dengan istilah gangrene didefinisikan sebagai

jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh adanya emboli pembuluh

darah besar arteri pada bagian tubuh sehingga suplai darah berhenti. Dapat

terjadi sebagai proses inflamasi yang memanjang, perlukaan (digigit serangga,

kecelakaan kerja atau terbakar), proses degenerative (arteriosklerosis) atau

gangguan metabolik diabetes mellitus. Ganggren diabetik adalah nekrosis jaringan

pada bagian tubuh perifer akibat penyakit diabetes mellitus. Keadaan ini ditandai

dengan pertukaran selulitis dan timbulnya vesikula atau bula yang hemoragik

1
2

kuman yang biasa menginfeksi pada ganggren diabetik adalah streptococcus

(Wijaya dan Putri, 2013). Masalah keperawatan yang sering muncul pada Diabetes

Melitus Gangren yang ditemukan di ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

adalah adalah nyeri akut, gangguan integritas kulit/jaringan, resiko infeksi,

defisiensi pengetahuan tentang rencana penatalaksanaan, penatalaksanaan

medikasi/ pengobatan, gangguan perfusi jaringan perifer dan ansietas.

Jumlah kasus diabetes di dunia mengalami peningkatan secara signifikan

pada sepuluh tahun belakangan ini dan merupakan penyebab kematian keenam di

seluruh dunia (Nwankwo et al, 2010). Berdasarkan data Internasional Diabetes

Federation (IDF) (2015) terdapat 415 juta penduduk di dunia yang menyandang

DM dan diprediksi tahun 2040 mendatang akan meningkat menjadi 642 juta jiwa

atau 55% dari jumlah penduduk di dunia tahun 2015. Prevelensi DM tahun 2015 di

Indonesia yaitu sekitar 10 juta jiwa sehingga dari hasil survey tersebut

menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-7 dari 10 negara dengan

penyandang DM terbesar diseluruh dunia. Angka prevalensi Diabetes Melitus di

dunia telah mencapai jumlah wabah atau epidemic. Internasional Diabetes

Federation memperkirakan pada 2030 jumlah penderita diabetes diseluruh dunia

mencapai 450 juta orang. Berdasarkan data organisasi (WHO) tahun 2010, pasien

diabetes militus tipe 2 (kronis) di Indonesia naik dari 8,4 juta pada 2000 menjadi

21,3 juta tahun 2010 (pusat data dan informasi PERSI, 2012) dari 10 penyakit

tertinggi dengan prosentasi sebesar 3,61%. Terdapat 6 tingkatan pada penderita

ulkus diabeteik dengan klaifikasi pada grade 0 sampai dengan grade tertinggi yaitu

grade 5. Berdasarkan data Persadia (2009) Jawa Timur, jumlah penderita diabetes
3

melitus di Jawa Timur diperkirakan mencapai 6% dari total jumlah penduduk Jawa

Timur. Penyakit kronis yang terjadi akan menyebabkan perubahan penampilan fisik

dan psikologi. Ganggren diabetik merupakan kasus yang paling banyak dirawat di

rumah sakit dengan Angka amputasi berkisar 15-30% (Sutedjo, 2010).

Berdasarkan studi dokumenter yang didapatkan di ruang III Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya, jumlah penderita diabetes mellitus dalam kurun waktu tiga

tahun terakhir, didapatkan jemlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2015-

2016 sebanyak 170 orang, dimana sebanyak 54 orang mengalami Diabetes Melitus

dan 116 orang yang mengalami komplikasi Gangren Diabetik. Akumulasi tahun

2016-2017 sebanyak 217 orang, dimana sebanyak 42 orang adalah pasien Diabetes

Melitus dan 175 orang adalah penderita yang mengalami komplikasi Gangren

Diabetik, sedangkan pada tahun 2017-2018 penderita Diabetes Melitus meningkat

sebanyak 379 orang dimana sebanyak 35 orang adalah pasien Diabetes Melitus dan

344 orang adalah penderita yang mengalami komplikasi Gangren Diabetik. Jumlah

penderita Dibetes Melitus dalam tiga bulan terakhir rata – rata sebanyak 109 orang,

dimana sebanyak 11 orang adalah pasien Diabetes Melitus dan 98 orang adalah

penderita yang mengalami komplikasi Gangren Diabetik. Akumulasi dalam satu

bulan terakhir rata – rata sebanyak 42 orang, dimana sebanyak 3 orang adalah

pasien Diabetes Melitus dan 39 orang adalah penderita yang mengalami komplikasi

Gangren Diabetik.

Peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus akan berdampak pada

peningkatan komplikasi penyakit lain. Penyakit Diabetes Melitus ini merupakan

penyakit yang paling banyak menimbulkan komplikasi (Helmawati, 2014).


4

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Diabetes Melitus yaitu komplikasi akut

seperti Hipoglikemi, Ketoasidosis Diabetik (KAD), Hiperglikemia dan komplikasi

menahun atau jangka panjang yang dapat dialami oleh pasien DM antara lain

Makroangiopati: Penyakit arteri coroner, Vaskuler perifer, Serebrovaskuler dan

Mikroangiopati: Retinopati diabetic, Nefropati diabetic, Neuropati diabetic

(Parkeni, 2011; ADA, 2013). Salah satu komplikasi diabetes melitus yang sering

dijumpai adalah terjadinya ulkus pada kaki atau sering disebut sebagai kaki

diabetik. Ulkus diabetik merupakan komplikasi tersering yang dialami pasien DM

tipe 2 yaitu neuropati perifer (10-60%) (Yuanita, 2014). Ulkus diabetikum adalah

kaki pasien diabetes melitus yang mengalami perubahan patologis akibat infeksi,

ulserasi yang berhubungan dengan derajat bervariasi dan komplikasi metabolik dari

diabetes pada ektermitas bawah. Ulkus diabetes disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan

penyakit vaskuler perifer. Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar

15%, dengan angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika

merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% (Meilani,

2013). Tingkat keparahan DM Tipe II berperan penting dalam terjadinya Penyakit

Arteri Perifer (PAP). Sekitar 75% penyandang DM Tipe II akhirnya meninggal

karena penyakit vascular (Simatupang 2013; Misnadiarly, 2006). Ulkus kaki pada

pasien dm tidak hanya memberikan dampak perubahan fisik pada penderitanya

namun juga dapat berdampak pada kehidupan sehari- hari. Studi penelitian tentang

kualitas hidup pasien chronic venous ulcer menunjukkan bahwa pasien dengan

ulkus kronik mengalami situasi kesulitan hidup akibat adanya keterbatasan


5

mobilitas dan aktivitas, nyeri, dan proses penyembuhan yang panjang (Ribu &

Wahl, 2014).

Penanganan luka pada pasien diabetes melitus dapat dilakukan dengan terapi

farmakologis dan non farmakologis. Pengelolaan non farmakologis meliputi

pengendalian berat badan, olahraga, dan diet. Sedangkan terapi farmakologis yaitu

pemberian insulin dan obat hipoglikemik oral. Terapi ini diberikan jika terapi non

farmakologis tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah dan dijalankan dengan

tidak meningalkan terapi non farmokologis yang telah diterapkan sebelumnya

(Soegondo, 2009). Penanganan Luka Diabetes Melitus salah satunya yaitu

pengunaan dressing. Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal atau

menempel pada permukaan kulit atau tubuh dan tidak digunakan secara sistemik

(masuk kedalam tubuh melalui pencernaan dan pembuluh darah) (Arisanty, 2014).

Penderita Diabetes Melitus perlu mendapatkan informasi kesehatan setelah

diagnosis ditegakkan, mencakup pengetahuan dasar tentang Diabetes Melitus, diet,

aktivitas sehari-hari termasuk latihan dan olah raga, pencegahan terhadap

komplikasi DM diantaranya pencegahan terjadinya gangren pada kaki dengan

latihan senam diabet, pemberian obat-obatan DM dan cara injeksi insulin, serta

pemantauan kadar glukosa (Tarwoto, 2012). Perawat diharapkan dapat memberikan

motivasi dan edukasi kepada pasien tentang pentingnya kepatuhan terhadap

penatalaksanaan penyakit Diabetus Melitus di rumah sehingga pasien bisa

meneruskan pengobatan sesuai adfis dokter.


6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis berniat membuat karya

tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pasien dengan Diabetes Melitus, untuk itu

penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut “Bagaimana pelaksanaan

asuhan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis medis Diabetes Melitus Gangren

Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada Ny.S dengan

diagnosis medis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi hasil pengkajian pada Ny.S dengan diagnosis medis

Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya.

2. Menegakkan diagnosis keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis medis

Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya.

3. Menyusun rencana tindakan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis

medis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya.
7

4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis medis

Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya.

5. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis medis

Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya.

6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosis

medis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di ruang III Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan umum maupun tujuan khusus maka karya tulis ilmiah

ini diharapkan bisa memberikan manfaat baik bagi kepentingan pengembangan

program maupun bagi kepentingan ilmu pengetahuan, adapun manfaat – manfaat

dari karya tulis ilmiah secara teoritis maupun praktis seperti tersebut dibawah ini :

1. Secara Teoritis

Asuhan keperawatan yang di berikan secara cepat, tepat dan efisien akan

menghasilkan keluaran klinis yang baik, menurunkan angka kejadian amputasi dan

mortalitas pada pasien dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra.

2. Secara Praktis

a. Bagi Institusi Rumah Sakit

Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk

menyusun kebijakan atau pedoman pelaksanaan pasien dengan Diabetes Melitus


8

Gangren Pedis Dextra sehingga penatalaksanaan dini bisa dilakukan dan dapat

menghasilkan keluaran klinis yang baik bagi pasien yang mendapatkan asuhan

keperawatan di institusi rumah sakit yang bersangkutan.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta kualitas asuhan keperawatan pada pasien

dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra serta meningkatkan pengembangan

profesi keperawatan.

c. Bagi Keluarga dan Klien

Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

penyuluhan kepada keluarga tentang perawatan luka gangren pada penderita

Diabetes Melitus sehingga keluarga melakukan perawatan pasien dengan Diabetes

Melitus Gangren Pedis Dextra di rumah agar luka tidak semakin memburuk.

d. Bagi Penulis Selanjutnya

Bahan penulisan ini bisa dipergunakan sebagai perbandingan atau gambaran

tentang asuhan keperawatan pasien dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra

sehingga penulis selanjutnya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang terbaru.


9

1.5 Metode Penulisan

1. Metoda

Metode yang digunakan dalam karya tulis akhir ini adalah metode

deskriptif, dimana penulis menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien Ny. S

dengan diagnosis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra. Membahas data dengan

studi pendekatan proses keperawatan meliputi 5 langkah, yaitu pengkajian,

penentuan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

2. Teknik pengumpulan data

a. Wawancara

Data diambil atau diperoleh melalui percakapan baik dengan pasien,

keluarga, maupun tim kesehatan lain.

b. Observasi

Data yang diambil melalui pengamatan secara langsung terhadap keadaan,

reaksi, sikap dan perilaku pasien yang dapat diambil.

c. Pemeriksaan

Data diambil melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium serta pemeriksaan

penunjang lainnya yang dapat menegakkan diagnose dan penanganan selanjutnya.

3. Sumber data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien dan perawat

memperoleh informasi yang akurat dari pasien.


10

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari keluarga atau orang terdekat

dengan pasien, catatan medik perawat, hasil-hasil pemeriksaan penunjang dan tim

kesehatan yang lain.

c. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mempelajari buku sumber yang berhubungan

dengan judul studi kasus dan masalah yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan

Penyusunan karya tulis akhir ini secara keseluruhan dibagi menjadi 3 bagian

supaya lebih jelas dan lebih mudah dalam mempelajari dan memahami karya tulis

akhir ini, yaitu:

1. Bagian awal memuat halaman judul, abstrak peulisan, persetujuan

pembimbing, pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar

isi, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian inti meliputi lima bab, yang masing – masing bab terdiri dari sub bab

berikut ini :

BAB 1 : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB 2 : Tinjauan pustaka, berisi tentang konsep penyakit dari sudut medis

dan asuhan keperawatan pasien dengan diagnosis Diabetes Melitus

Gangren, serta kerangka masalah.


11

BAB 3 : Tinjauan kasus berisi tentang data hasil pengkajian, diagnosis

keperawatan, rencana keperawatan, pelaksanaan keperawatan, dan evaluasi

dari pelaksanaan.

BAB 4 : Pembahasan kasus yang ditemukan yang berisi data, teori dan opini

serta analisis.

BAB 5 : Penutup, berisi simpulan dan saran.

3. Bagian akhir, terdiri dari daftar pustaka dan lampi


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tinjauan pustaka penulis memasukkan beberapa literature

yang ada keterkaitannya dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Ny.S dengan

Diagnosis Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra di Ruang III Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya. Konsep pembahasan yang diambil dari judul tersebut adalah

Konsep dasar penyakit Diabetes Melitus, Konsep Ulkus Diabetik, Konsep Asuhan

Keperawatan pasien dengan Diabetes Melitus dan Kerangka Masalah.

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Pankreas

Pankreas adalah organ pipih yang berada dibelakang lambung dalam

abdomen, panjangnya kira- kira 20- 25 cm, tebal 2,5 cm dan beratnya sekitar 80

gram, terbentang dari atas sampai lengkungan besar dari abdomen dan dihubungkan

oleh dua saluran ke abdomen. Struktur organ ini lunak dan berlobus, tersusun atas:

a. Kepala pankreas, merupakan bagian yang paling lebar, terletak disebelah,

kanan rongga abdomen dan didalam lekukan duodenum yang praktis

melingkarinya.

b. Badan pankeas, merupakan bagian utama organ ini, letaknya dibelakang

lambung dan didepan vertebra lumbalis pertama.

c. Ekor pankreas, adalah bagian yang runcing disebelah kiri dan berdekatan

atau menyentuh limpha.

12
13

. Gambar 2.1 Anatomi Pankreas dan Pulau Langerhans


Sumber: Wibowo & Paryana, 2009
Kelenjar pankreas tersusun atas dua jaringan utama yaitu asini yang

merupakan penyusun terbanyak (80%) dari volume pankreas, jaringan ini penghasil

getah pencernaan dan pulau- pulau langerhans (sekitar 1 juta pulau) yang

menghasilkan hormon. Pulau langerhans merupakan kumpulan sel berbentuk ovoid

dan tersebar diseluruh kelenjar pankreas tetapi lebih banyak pada ekor (cauda).

Kelenjar pankreas mempunyai dua saluran utama yang menyalurkan sekresinya ke

duodenum yaitu :

1) Duktus wirsung atau atau duktus pankreatikus, duktus ini mulai dari ekor

atau cauda pankreas dan berjalan sepanjang kelenjar, menerima banyak

cabang pada perjalanannya. Duktus ini bersatu dengan duktus koledukus,

kemudian masuk ke dalam duodenum melalui sphincter oddi.

2) Duktus sertorini atau duktus pankreatikus asesori, duktus ini bermuara

sedikit diatas duktus pankreatikus pada duodenum.


14

Aliran darah yang mempengaruhi pankreas adalah arteri lienalis dan arteri

pankreatikoduodenalis superior dan inferior. Sedangkan pengaturan persarafan

berasal dari serabut- serabut saraf simpatis dan parasimpatis saraf vagus.

2. Fisiologi Pankreas

Kelenjar pankreas mempunyai dua fungsi utama yaitu eksokrin dan fungsi

endokrin.

a. Fungsi Eksokrin

Kelenjar pankreas hampir 99% bersumber dari sel asini yang merupakan

penghasilan getah pankreas atau cairan pankreas.Setiap hari pankreas menghasilkan

1200- 1500 ml cairan.Cairan pankreas jernih dan tidak berwarna, mengandung air,

beberapa garam, sodium bikarbonat dan enzim- enzim. PH cairan pankreas bersifat

alkalin (ph: 7,1- 8,2) karena mengandung sodium bikarbonat. Keadaan ph ini akan

menghambat gerak pepsin dari lambung dan penciptaan lingkungan yang sesuai

dengan enzim- enzim dalam usus halus. Enzim- enzim pada pankreas dihasilkan

oleh sel- sel aminor, fungsinya membantu pemecahan protein, atau proteolitik

diantaranya tripsin, kimotripsin dan karboksipeptidae.Enzim- enzim ini diperoleh

dalm sel pankreas dalam bentuk tidak aktif yaitu tripsinogen, komotrisinogen,

prokarboksipeptidae.Enzim yang membantu pencernaan karbohidrat adalah

amylase yang menghidrolisis pati, glikogen dan karbohidrat.Sedangkan enzim

untuk pencernaan lemak adalah lipase pankreas yang menghidrolisis lemak netral

menjadi gliserol, asam lemak dan kolesterol.

Pengaturan produksi dari cairan pankreas dilakukan oleh saraf

hormonal.Pengaturan saraf terjadi bil adanya stimulus dari fase sefalik dan sekresi
15

lambung terjadi maka implus prasimpatis secara serentak dihantarkan sepanjang

nervus vagus ke pankreas dan mengakibatkan produksi cairan pankreas.Sedangkan

pengaturan hormonal terjadi akibat stimulasi hormone sekretin dan kolesistokinin

yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim.

b. Fungsi Endokrin

Kelenjar endokrin dalam pankreas adalah Pulau Langerhans yang

menghasilkan hormon. Hormon merupakan zat organik yang mempunyai sifat

khusus untuk pengaturan fisiologis terhadap kelangsungan hidup suatu organ atau

sistem. Sel- sel Pulau Langerhans tersusun atas sel Alfa yang menghasilkan

glucagon, sel Beta yang menghasilkan insulin, dan sel Delta yang menghasilkan

somastotatin atau Grow hormone- inhibiting hormone (GH- IH) dan sel F yang

menghasilkan polipeptida pankreatik.

1) Hormon Glukagon

Molekul glukagon merupakan polipeptida rantai lurus yang mengandung

residu asam amino. Sekresi glukagon secara langsung dikontrol oleh kadar gula

darah melalui system feed back negative. Ketika kadar gula darah menurun maka

akan merangsang sel- sel alfa untuk mensekresi glukagon, demikian juga

sebaliknya jika kadar gula darah meningkat maka produksi glukagon akan

dihambat. Hambatan produksi glucagon ini juga disebabkan karena hormon

somastotatin.

2) Hormon Insulin

Hormon ini dihasilkan oleh sel beta pulau langerhans pada pankreas,

merupakan hormone peptida yang tersusun oleh dua rantai asam amino yaitu rantai
16

A dan rantai B dan dihubungkan melalui jembatan disulfida (Reeves, dalam

Tarwoto, et al., 2012). Insulin berfungsi memfasilitasi dan mempromosikan

transport glukosa melalui membran plasma sel dalam jaringan tertentu atau target

seperti jaringan otot dan adipose. Selain itu, insulin juga berperan dalam

menghambat perombakan glikogen menjadi glukosa dan konversi asam amino atau

asam lemak menjadi glukosa. Peningkatan kadar insulin mempunyai efek pada

penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia) (normal kadar glukosa darah 70-

110 mg. dl).

3) Somastotatin atau Growth hormone- inhibiting hormone (GH- IH)

Somastotatin di produksi oleh sel delta, yang merupakan hormon yang

penting bagi metabolism karbohidrat, lemak dan protein (keseimbangan

pencernaan).Hormon ini juga diproduksi di hypothalamus.Hormon somastotatin

pankreas menghambat produksi hormon pertumbuhan, menghambat sekresi gastrin

dalam lambung serta menghambat produksi hormon- hormon yang dihasilkan oleh

pankreas seperti glukagon dan insulin sehingga mencegah terjadinya kelebihan

sekresi insulin.

4) Polipeptida Pankreatik

Hormon ini dihasilkan oleh sel F, mempunyai efek menghambat kontraksi

kandung empedu, pengaturan enzim- enzim pankreas dan berpengaruh terhadap

laju absorbs nutrient oleh saluran pencernaan (Tarwoto, et al., 2012).

2.1.2 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan

hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat,


17

lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan

sensitivitas insulin atau keduanya yang menyebabkan komplikasi kronis

mikroaskuler dan neuropati. Penyebab resistensi insulin pada diabetes melitus

sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor yang banyak berperan antara lain;

Kelainan genetik, Usia, Pola makan, Obesitas, Stress dan Infeksi . Manifestasi

Klinis diabetes mellitus menurut Riyadi dan Sukarmin (2008) yaitu : Polyuria

(peningkatan pengeluaran urin), Polidipsia (peningkatan rasa haus), Poliflagia

(peningkatan rasa lapar).

Diabetes Melitus adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kinerja insulin, atau

keduanya. Hiperglikemia terjadi akibat defisiensi insulin (DM tipe I) atau

penurunan responsivitas sel (DM tipe II) terhadap insulin. Efek multisistem yang

disebabkan oleh peningkatan glukosa yaitu manifestasi awal seperti poliuria,

polidipsia, dan polifagia; kemudian komplikasi progresif seperti gangguan

kardiovaskular, muskuloskeletal, dan integumen (LeMone, Karen & Gerene, 2016;

Corwin, 2009; Wungouw & Marunduh, 2014; Billotta, 2014).

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa DM

merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula

darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin atau kerja

insulin tidak adekuat yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA, 2010) mengklasifikasikan Diabetes

Melitus menjadi 4, yaitu:


18

1. Diabetes tipe I (IDDM / Insulin Dependent Diabetes Melitus):

Disebut juga Diabetes Melitus tergantung insulin (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus [IDDM]), disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas

menyebabkan defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau

idiopatik. 5 % sampai 10 % penderita diabetes termasuk dalam tipe ini. Sel-sel beta

pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun.

Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.

2. Diabetes tipe II (NIDDM / non-insulin dependent diabetes melitus)

Disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin

Dependent Diabetes Melitus ([NIDDM]). DM tipe 2 disebabkan karena

berkurangnya sekresi insulin secara progresif yang menyebabkan terjadinya

resistensi insulin. 90 % sampai 95 % penderita DM termasuk dalam tipe ini.

3. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.

Merupakan DM yang disebabkan karena defek genetik fungsi sel beta,

gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), obat-

obatan atau zat kimia (seperti pada penatalaksanaan AIDS atau setelah transplantasi

organ).

4. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Melitus [GDM])

Merupakan DM yang terjadi selama kehamilan. DM jenis ini akan

berdampak terhadap pertumbuhan janin yang kurang baik. DM gestasional

merupakan DM yang benar-benar terjadi akibat kehamilan dan baru terdeteksi saat

kehamilan.
19

2.1.4 Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah

dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang

diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan

lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha

pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya

gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam

gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet).

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver

dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM

tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous

octet.

Gambar 2.2 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2. (Sumber: PERKENI, 2015)
20

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,

meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver

(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini

adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul

gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan

penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan

tiazolidindion.

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas

(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses

glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
21

akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut

sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding

kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini

diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-

dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory

polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten

terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan

ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja

menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan

juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-

glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian

diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat

yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia

dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang

dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding

individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.


22

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM

tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen

dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium

Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%

sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi

peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini

akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa

akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2

inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini

asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi

di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan

bromokriptin (PERKENI, 2015).

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah. Secara fisiologis, insulin akan

terikat dengan reseptor khusus pada membran sel sehingga menimbulkan reaksi.

Reaksi yang dihasilkan oleh adanya ikatan antara reseptor dengan insulintersebut
23

adalah uptake glukosa oleh insulin dan terjadinya metabolisme glukosa dalam sel

(Guyton, 2007 dalam Yuanita, 2013).

Resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan karena fungsi

fisiologis insulin terganggu, yaitu menurunnya kemampuan insulin dalam berikatan

dengan reseptor sehingga jumlah glukosa yang dimetabolisme didalam sel

berkurang. Gangguan sekresi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh

menurunnya kemampuan sel beta dalam mensekresikan insulin. Dampak yang

diakibatkan dari adanya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin adalah

meningkatnya kadar glukosa darah karena glukosa tidak mengalami metabolisme

di dalam sel (Price dan Wilson, 2005 dalam Yuanita, 2013).

Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah adalah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan.Jika semakin banyak glukosa yang tidak dapat dimetabolisme dan

digunakan oleh jaringan, maka kebutuhan jaringan terhadap glukosa semakin

meningkat. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya proses pemecahan lemak

dan protein atau sering disebut dengan glukoneogenesis. Proses glukoneogenesis

menghasilkan produk sampingan lemak dan protein yang berupa asam lemak dan

badan keton. Produk sampingan ini akan menumpuk di dalam pembuluh darah

sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis).

Penyempitan pembuluh darah juga diakibatkan oleh kerusakan sel endotel

pembuluh darah karena kadar glukosa darah yang meningkat. Penyempitan

pembuluh darah tersebut mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke jaringan

sehingga jaringan mengalami iskemik dan nekrosis serta memicu terjadinya


24

berbagai komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2001 dalam Yuanita,2013).

2.1.6 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus Tipe 2

Menurut Waspadji dalam Soegondo (2009) keluhan yang sering terjadi pada

klien DM adalah :

1. Poliuria (banyak kencing).

Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai

melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis.

Sifat glukosa adalah menghambat reabsorbsi air oleh tubulus ginjal mengakibatkan

air banyak keluar bersama glukosa dalam bentuk air kemih. Buang air kecil yang

banyak dan sering ini akan berpengaruh terhadap keseimbangan cairan dan

elektrolit.

2. Polidipsi (banyak minum).

Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra seluler, hal ini akan merangsang

pusat haus sehingga klien akan merasakan haus terus menerus dan untuk

mengatasinya klien akan banyak minum.

3. Poliphagi

Glukosa sebagai hasil metabolisme karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam

sel menyebabkan terjadi kelaparan (starvasi) sel sehingga klien akan cepat merasa

lapar. Upaya yang dilakukan oleh klien untuk mengatasi lapar dan memenuhi

kebutuhan sel adalah dengan cara klien banyak makan.

4. Penurunan berat badan, lemas, lekas lelah dan kurang tenaga

Klien DM tipe 2 mengalami penurunan berat badan yang relatif singkat

disertai keluhan lemas. Hal ini disebabkan karena glukosa darah tidak dapat masuk
25

ke dalam sel sehingga sel mengalami kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan energi. Mekanisme yang terjadi untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya maka sumber energi akan diambil dari cadangan lain yaitu

lemak dan protein (glukoneogenesis) sehingga klien mengalami kehilangan

cadangan lemak dan protein yang menyebabkan terjadinya penurunan berat badan.

Akibat produksi energi yang berkurang dapat menyebabkan klien mengalami

keluhan lekas lelah dan kurang bertenaga.

5. Gangguan saraf tepi

Klien mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada daerah kaki di

malam hari sehingga dapat menyebabkan gangguan tidur.

6. Gangguan penglihatan/visus menurun.

Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa-sarbitol-fruktosa)

yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol

pada lensa mata akan menyebabkan pembentukan katarak sehingga menimbulkan

gangguan penglihatan/visus menurun.

7. Gatal, bisul dan luka yang sulit sembuh

Kelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah

lipatan kulit seperti ketiak atau payudara. Keluhan lain yang sering dirasakan oleh

klien yaitu adanya bisul dan luka yang sulit sembuh. Penyembuhan luka pada klien

DM berlangsung lambat merupakan akibat dari hiperglikemia yang menyebabkan

lambatnya aliran darah ke area luka sehingga oksigen, nutrisi dan bahan-bahan lain

yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan luka menjadi tidak adekuat.


26

8. Gangguan ereksi

Kadang-kadang masalah ini menjadi masalah yang tersembunyi karena

sebagian klien ada yang menganggap bahwa hal ini merupakan masalah yang tabu

untuk dibicarakan. Gangguan ereksi pada klien DM tipe 2 terjadi akibat adanya

gangguan pada sistem saraf (perifer neuropati), gangguan system pembuluh

darah (vascular system) dan hypogonadism (gangguan pada sistem hormonal).

9. Keputihan

Pada wanita biasanya keluhan ini sering ditemukan. Keputihan yang terjadi

pada wanita DM tipe 2 disebabkan akibat kecenderungan klien DM tipe 2

mengalami infeksi. Infeksi yang terjadi dapat disebabkan karena jamur dan pada

keadaan gula darah yang tinggi dapat mengganggu pergerakan sel-sel fagosit yang

berfungsi untuk membunuh kuman.

2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2

Diagnosis Diabetes Mellitus menurut (PERKENI, 2015) ditegakkan atas

dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma

darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat

ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti di bawah ini :

1. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


27

2. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria ditegakkan diagnosis diabetes mellitus melalui empat cara, yaitu:

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak

ada asupan kalori minimal 8 jam.

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program

(NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma

2-jam < 140 mg/dl.

2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-

jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100

mg/dl.
28

3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT Diagnosis prediabetes dapat

juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan

angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes (Sumber: PERKENI, 2015).
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma
puasa (mg/dL) 2 jam seelah
TTGO (mg/dL)
Diabetes > 6,5 % > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 % 100-125 mg/dL 140-199 mg/dL
Normal < 5,7 % < 100 mg/dL < 140 mg/dL
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes

Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak

menunjukkan gejala klasik DM yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23

kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:

a. Aktivitas fisik yang kurang.

b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).

c. Kelompok rasa tau etnis tertentu.

d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau

mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional.

e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).

f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.

g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

h. Riwayat prediabetes.

i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.

j. Riwayat penyakit kardiovaskular.


29

2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Kelompok risiko tinggi dengan

hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun,

kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada

keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan

TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl). (Sumber: PERKENI, 2015)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa Plasma <100 100-199 >200
darah sewaktu Vena
(mg/dL) Darah <90 90-199 >200
Kapiler
Kadar glukosa Plasma <100 100-125 >126
darah puasa Vena
(mg/dL) Darah <90 90-99 >200
Kapiler
2.1.8 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Suyono (2009) menyebutkan bahwa individu yang memiliki risiko tinggi

terkana diabetes mellitus meliputi berumur > 40 tahun, obesitas, hipertensi, riwayat

keluarga DM, riwayat melahirkan bayi >4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan,

dislipidemia, selain itu Kaku (2010) menambahkan faktor risiko antara lain makan

berlebih (overeating), tingkat aktivitas yang rendah, dan stres. Hasil analisis dari

penelitian yang di lakukan oleh Wicaksono (2011) dalam penelitiannya terkait

faktor-faktor penyebab DM tipe 2 menunjukkan beberapa variabel yang diteliti

menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik yaitu usia, aktivitas

olahraga, dan riwayat keluarga sedangkan jenis kelamin, status gizi, riwayat

hipertensi, riwayat dislipidemia, kebiasaan merokok, dan kebiasaan mengonsumsi


30

makanan dan minuman manis tidak memiliki kemaknaan hubungan secara statistik.

1. Usia

Individu mengalami peneurunan fisiologi yang secara dramatis pada usia

diatas 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko pada penurunan fungsi endokrin

pangkreas untuk memproduksi insulin (Sujono & Sukarmin, 2008).

2. Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang

tidak normal atau berlebihan (Sugondo, 2009). Obesitas mengakibatkan sel-sel beta

pangkreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan

produksi insulin. Hipertropi pangkreas disebabkan karena peningkatan beban

metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang

terlalu banyak.

3. Riwayat keluarga DM

Perkembangan diabetes mellitus tipe 2 dihubungkan dengan riwayat

keluarga dengan DM. Abnormalitas genetik dikaitkan dengan sistem regulasi

metabolisme glukosa meliputi abnormalitas gen glukokinase, gen mitokondrial, dan

gen reseptor insulin, 30% kejadian DM terjadi pada individu yang memiliki riwayat

keluarga sebelumnya (Kaku, 2010).

4. Tingkat aktivitas yang rendah

Aktivitas memiliki hubungan dengan tekanan darah dan distribusi lemak

tubuh yang dapat menurunkan risiko kejadian sindrom metabolik. Selain itu

aktivitas fisik yang cukup dapat mengurangi berat badan mencegah terjadinya

obesitas yang menjadi salah satu faktor risiko DM. Dalam penelitiannya individu
31

yang melakukan aktifitas fisik <3 x sehari memiliki risiko lebih besar mengalami

DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang melakukan latihan fisik secara rutin

(Wicaksono, 2011).

5. Stres

Faktor risiko DM yang banyak terjadi salah satunya kondisi stres.Stres ini

tidak hanya sebatas pada stres psikologis tetapi juga stres fisik.respon stres yang

berkaitan dengan resistensi insulin adalah peningkatan kortisol.

2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus

1. Komplikasi Akut

Gangguan keseimbangan kadar gula darah dalam jangka waktu pendek

meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom HHNK (koma

hiperglikemik hiperosmolar nonketotik) atau hiperosmolar nnonketotik (HONK)

(Ernawati, 2013).

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan keadaan dimana kadar gula darah abnormal yang

rendah yaitu dibawah 50 hingga 60 mg/dL (2,7 hingga 3,3 mmol/K) (Smeltzer &

Bare, 2002). Seseorang juga dikatakanhipoglikemia jika kadar glukosa darah <80

mg/dL dengan gejala klinis. Gejala hipoglikemik terdiri atas gejala adrenergik

seperti berdebar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar, dan gejala

neuroglikopenik seperti pusing, gelisah, kesadaran menurun, sampai koma.


32

b. Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama

disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.

c. HHNK

Perjalanan keadaan HHNK berlangsung dalam waktu beberapa hari hingga

beberapa minggu pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang tidak mengalami absolut

defisiensi insulin namun relatif defisiensi insulin. HHNK sering terjadi pada lansia

yang tidak menyadari mengalami Diabetes Melitus atau mengalami Diabetes

Melitus ringan dan disertai dengan penyakit penyerta yang mengakibatkan

menurunnya intake makanan.

2. Komplikasi Kronis

a. Komplikasi makrovaskuler

1) Penyakit arteri koroner

Penyakit arteri koroner yang menyebabkan Penyakit jantung koroner

merupakan salah satu komplikasi makrovaskuler yang sering terjadi pada penderita

DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Proses terjadinya penyakit jantung koroner pada

penderita DM disebabkan oleh kontrol gula darah yang buruk dalam waktu yang

lama yang disertai dengan hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia,

hiperamilinemia, dislipidemia, gangguan sistem koagulasi, hiperhomosisteinemia.

2) Penyakit serebrovaskuler

Penyakit serebrovaskuler pasien DM memiliki kesamaan dengan pasien non

DM, namun pasien DM memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami penyakit
33

kardiovaskuler. Pasien yang mengalami perubahan aterosklerotik dalam pembuluh

darah serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh

darah sering terbawa aliran darah dan terkadang terjepit dalam pembuluh darah

serebral. Keadaan diatas dapat mengakibatkan keadaan iskemia sesaat (TIA=

Transistent Ischemic Attack). Gejala penyakit serebrovaskuler memiliki kemiripan

dengan gejala hipoglikemia seperti pusing, vertigo, gangguan pengelihatan, bicara

pelo, dan kelemahan.

3) Penyakit vaskuler perifer

Pasien DM berisiko mengalami penyakit oklusif arteri perifer dua hingga

tiga kali lipat dibandingkan pasien non DM. Hal ini disebabkan karena pasien

cenderung mengalami perubahan aterosklerotik dalarn pembuluh darah besar pada

ekstremitas bawah. Pasien dengan gangguan pada vaskuler perifer akan mengalami

berkurangnya denyut nadi perifer dan kalu dikasio intermiten (nyeri pada pantat

atau betis ketika berjalan). Penyakit oklusif arteri yang parah pada ektremitas bawah

merupakan penyebab utama terjadinya ganggren yang dapat berakibat amputasi

pada pasien DM.

b. Komplikasi mikrovaskuler

1) Retinopati diabetik

Retina merupakan bagian mata yang berfungsi menerima bayangan dan

mengirimkan informasi hayangan ke otak. Retina mempunyai banyak pembuluh

darah seperti pembuluh darah arteri, vena kecil, arteriol, venula dan kapiler.

Retinopati diabetik merupakan kelainan patologis mata yang disebabkan perubahan

dalam pembuluh darah kecil pada retina mata.


34

2) Komplikasi oftalmologi yang lain

a) Katarak

Terjadi peningkatan opasitas lensa matapada penderita DM sehingga terjadi

katarak pada usia yang lebih dibandingkan pasien non DM.

b) Perubahan lensa

Lensa mata mengalami pembengkakan ketika kadar gula darah naik.

Pengendalian kadar gula darah membutuhkan waktu sampai 2 bulan hingga

pembengkakan lensa mereda dan pengelihatan menjadi stabil kembali.

c) Nefropati

Nefropati diabetik merupakan sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai

dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam) pada minimal dua kali

pemeriksaan dalam waktu 3 hingga 6 bulan. Penyandang DM tipe 1 sering

memperlihatkan tanda-tanda penyakit renal setelah 15 hingga 20 tahun kemudian,

sedangkan penderita DM tipe 2 dapat menderita penyakit renal setelah menderita

10 tahun kemudian.

d) Nefropati diabetes

Neuropati diabetes adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya

gangguan klinis maupun subklinis yang terjadi pada penderita DM tanpa penyebab

neuropati parifer yang lain (Emawati, 2013).

Terdapat beberapa pengklasifikasian ulkus diabetik yaitu :

1. Wagner di kutip oleh Waspadji .S membagi gangrene kaki diabetik menjadi

enam tingkatan, yaitu :

Derajat 0 = tidak ada lesi yang terbuka, kulit masih utuh dengan
35

kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “callus”

Derajat I = terdapat ulkus superficial, hanya pada kulit.

Derajat III = abses dalaam, dengan atau tanpa osteomielitis.

Derajat IV = gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan atau tanpa

selulitis (infeksi jaringan)

Derajat V = gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

2. Menurut Brand dan ward membagi menjadi dua golongan :

a. Kaki Diabetik akibat Iskemia (KDI)

Disebabkan penurunan aliran darah ketungkai akibat adanya

makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama

didaerah betis. Gambaran klinis KDI :

1) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.

2) Pada perabaan terasa dingin.

3) Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.

4) Didapatkan ulkus sampai ganggren.

b. Kaki Diabetik akibat Neuropati (KDN)

Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari

sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem

kaki, dengan pembuluh darah kaki teraba baik (Waspadji, 2005 dalam Wijaya dan

Putri, 2013).
36

2.1.10 Penatalaksanaan Perawatan

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia PERKENI mengeluarkan

"Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia

Tahun 2011" yang meliputi 4 pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu:

1. Edukasi

Edukasi dibutuhkan untuk member dukungan dan informasi terhadap

keluarga dan terutama kepada pasien untuk menghindari faktor-faktor risiko

kardiovaskuler seperti merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah < 1 30 mmHg),

dan hiperlipidemia.

2. Terapi gizi medis/ diet nutrisi

Sarankan perubahan pola makan usahakan mencapai berat badan ideal

(karena obesitas dapat meningkatkan resistensi terhadap insulin, dan pengurangan

berat badan dapat mengurangi resistensi pada diabetes tipe 2). Batasi asupan

karbohidrat olahan dan perbanyak asupan karbohidrat kompleks.Kurangi asupan

hindari konsumsi alkohol berlebihan lemak jenuh. Hindari konsumsi alkohol

berlebihan.

3. Latihan jasmani/ olahraga

Pada Diabetes Melitus tipe 2 olahraga berperan utama dalam pengaturan

kadar glukosa darah. Pada Diabetes Melitus tipe 2 olahraga berperan utama dalam

pengaturan kadar glukosa darah. Masalah utama pada Diabetes Melitus tipe 2 dalah

kurangnya respon reseptor terhadap insulin (resistensi insulin). pada saat

berolahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya sensistivitas insulin meningkat,


37

hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada diabetes tipe 2 akan berkurang

(Ernawati, 2013).

4. Intervensi farmakologis

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Sulfonylurea obat ini mempunyai efek meningkatkan performance dan

jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak, meningkatkan efisiensi sekresi

insulin dan potensial stimulasi insulin transport karbohidrat ke sel otot dan jaringan

lemak serta penurunan produksi glukosa oleh hati. Obat ini bekerja merangsang sel

beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Contoh obat ini adalah

Glibenklamid, Glemipirid. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonylurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.

Contoh obatnya adalah Repaglinid, dan Neteglinid (Ernawati, 2013)

b. Insulin

Insulin adalah suatu hormon yang di produksi oleh sel beta pulau

Langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino

kedalam sel dan kemudian mengkatkan sintesa protein.

2.2 Konsep Ulkus Diabetik

2.2.1 Definisi Ulkus Diabetik

Luka diabetes (diabetic ulcers) sering kali disebut diabetics foot ulcers, luka

neuropati, luka diabetik neuropath. Luka diabetes atau neuropati adalah luka yang

terjadi pada pasien yang diabetik melibatkan gangguan pada saraf perifer dan

otonomik. Luka diabetes adalah luka yang terjadi pada kaki penderita diabetes,
38

dimana terdapat kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak

terkendali. Kelainan kaki diabetes melitus dapat disebabkan adanya gangguan

pembuluh darah, gangguan persyarafan dan adanya infeksi (Tambunan, 2007 dalam

Maryunani, 2013).

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dan

ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasife kuman saprofit.

Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga

merupakan salah saju gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati

perifer. Ulkus diabetik dikenal dengan istilah gangrene didefinisikan sebagai

jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh adanya emboli pembuluh

darah besar arteri pada bagian tubuh sehingga suplai darah berhenti. Dapat

terjadi sebagai proses inflamasi yang memanjang, perlukaan (digigit serangga,

kecelakaan kerja atau terbakar), proses degenerative (arteriosklerosis) atau

gangguan metabolik diabetes mellitus. Ganggren diabetik adalah nekrosis jaringan

pada bagian tubuh perifer akibat penyakit diabetes mellitus. Biasanya ganggren

tersebut terjadi pada daerah tungkai. Keadaan ini ditandai dengan pertukaran

sekulitis dan timbulnya vesikula atau bula yang hemoragik kuman yang biasa

menginfeksi pada ganggren diabetik adalah streptococcus (Wijaya dan Putri, 2013).

2.2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetikum

Berbagai macam pengklasifikasian derajat ulkus digunakan oleh ahli.

Sumpio, Schroeder, & Blume (2005) dan Sigh, Pai, & Yuhhui (2013) mengatakan

bahwa pengklasifikasian derajat ulkus yang populer dan mudah diaplikasikan


39

adalah metode pengklasifikasian berdasarkan wagner dan Texas University.

Berikut gambar dan penjelasan dari berbagai grade :

Klasifikasi ulkus kaki berdasarkan Wagner (Wagner Classification of foot

ulcers)

Grade 0 : terdapat selulitis dengan tidak tampak lesi terbuka

Grade 1: ulkus pada daerah superfisial

Grade 2: ulkus dalam mencapai tendon, tulang, atau tulang sendi (joint capsule)

Grade 3: terdapat infeksi (abses atau osteomyelitis)

Grade 4: terdapat gangren pada punggung kaki

Grade 5: gangren menyeluruh pada permukaan kaki

Gambar.2.2Wagner Classification of foot

Klasifikasi ulkus diabetikum berdasarkan University of Texas (University

of Texas diabetic wound classification system)

Grade 0 : preulseratif atau area luka yang akan sembuh

Grade 1: luka superfisial sampai dengan epidermis atau dermis, tetapi belum
40

mencapai tendon, capsule, atau tulang

Grade 2: kedalaman luka sampai pada tendon atau capsule tetapi belum sampai

tulang

Grade 3 : kedalam luka sampai pada tulang atau sendi

Stage A : luka bersih tanpa infeksi

Stage B : luka infeksi non-iskemik

Stage C : luka non infeksi iskemik

Stage D : luka infeksi iskemik

2.2.3 Etiologi Ulkus Diabetik

1. Gangguan makroangiopati (kerusakan pembuluh darah besar) berupa

terjadinya aterosklerosis

2. Gangguan mikroangiopati (kerusakan pembuluh darah kecil) pada tungkai

bawah yang mengakibatkan aliran darah pada bagian tersebut berkurang.

3. Gangguan mikrovaskular misalnya pembuluh-pembuluh darah kapiler,

kerusakan endotel, gangguan fungsi sel darah putih

4. Gangguan neuropati, merupakan kerusakan jaringan saraf sehingga

fungsinya akan terganggu

5. Infeksi, proses ulserasi (mengoreng) berupa ulkus atau pembentukan

gangren (pembusukan) sebagai akibat gangguan pembuluh darah dan saraf,

infeksi akan menyebar ke mana-mana atara lain tulang dan sendi (Fransisca,

2012).
41

2.2.4 Faktor Risiko Ulkus Diabetik

Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum pada penderita penyakit DM menurut

Roza., et.al (2015) adalah:

1. Jenis kelamin

Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan terjadinya ulkus.

2. Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM)

Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang lama.

Keadaan hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia

yaitu keadaan sel yang kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah

homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya

perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit DM

dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM yang telah

menderita penyakit DM lebih dari 10 tahun.

3. Neuropati

Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom.

Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan

biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan

kejadian ulkus meningkat. Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan

kaki kehilangan sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang

terjadi pada pasien penyakit DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom

menyebabkan bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit

kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan

kaki yang mudah retak meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum.


42

4. Peripheral Artery Disease

Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di ektremitas

bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang sering ditemui pada

pasien PAD adalah klaudikasio intermitten yang disebabkan oleh iskemia otot dan

iskemia yang menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai

klimaks sebagai ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan

untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks (ABI) yaitu

pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang

paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai

normalnya dalah O,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien

penderita DM memiliki penyakit arteri perifer.

5. Perawatan kaki

Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang

dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral Artery disease (PAD).

2.2.5 Diagnosis Ulkus Diabetikum

1. Riwayat

Klien DM yang datang dengan adanya ulkus sebaiknya dilakukkan

pengkajian riwayat adanya ulkus sebelumnya, lama diagnosa DM, adanya tanda –

tanda neuropati atau gangguan sirkulasi pembuluh perifer, riwayat amputasi

sebelumnya, atau adanya komplikasi DM seperti retinopati, penyakit jantung dan

ginjal (Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013).

Pengkajian yang tepat dan menyeluruh dapat mengurangi risiko amputasi

pada kaki yang mengalami ulkus. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah adanya
43

tanda dan gejala neuropati (rasa nyeri pada kaki seperti terbakar, tidak berasa, rasa

tebal pada kaki, perasaan panas dan dingin, penurunan ambang rasa sakit-mati rasa

terhadap suhu dan getar, produksi keringat menurun, kulit kering dan pecah- pecah,

kaki terasa lebih hangat). Tanda dan gejala gangguan aliran darah perifer (kaki

pucat saat diangkat ke atas, luka pada kaki dan jari-jari, kulit kering dan bersisik,

otot kaki yang mengecil, bulu-bulu rambut yang menipis). Selain itu juga harus

diperhatikan adanya tanda-tanda kelainan yang dijumpai pada kaki diabetes (jari

bengkok, penonjolan tulang metatarsal ke arah plantar, kulit mudah luka akibat

gesekan dengan alas kaki, sendi menjadi kurang stabil).

2. Pengkajian Luka Ulkus

Pengkajian luka meliputi lokasi, luas, kedalaman, bentuk, kondisi dasar

luka, kondisi sekitar/batas luka (Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013; Sumpio, Schroeder, &

Blume, 2005). Kondisi luka seperti ada atau tidak adanya slough atau jaringan

granulasi menjadi sangat penting untuk diperhatikan untuk manajement perawatan

luka yang akan dilakukan. Selain itu tanda-tanda infeksi juga harus diperhatikan

seperti kemerahan, hangat, tekstur tenderness (lembut), adanya sekresi purulen,

atau demam (Sumpio, Schroeder, & Blume, 2005).

3 Pengkajian Neurologi

Pengkajian neurologi digunakan untuk mendeteksi apakah pada pasien

diabetes telah terjadi neuropati perifer atau belum. Pemeriksaaan dilakukan dengan

menggunakan benang-benang halus atau dapat juga menggunakan garputala.

Benang-benang ini di gosok-gosokkan pada permukaan kaki, dan di evaluasi

apakah pasien merasakan apa yang dilakukan oleh pemeriksa. Selain itu jika
44

menggunakan garpu tala, getaran yang dihasikan ditempel di kulit dan dievaluasi.

Jika pasien tidak merasaka adanya getaran tersebut maka di duga pasien telah

mengalami neuropati perifer (Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013).

4 Laboratorium

Pemeriksaan kultur jaringan diperlukan untuk melihat penyebab infeksi

luka. Pemeriksaan kultur tidak dapat dilakukan terlalu sering/setiap hari karena ini

hanya akan menambah risiko infeksi pada luka (Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013;

Sumpio, Schroeder, & Blume, 2005).

5 Radiologi

Dalam beberapa kasus untuk mengetahui kedalaman luka tidaklah mudah

jika terdapat banyak slough atau eksudat/pus yang menutupi luka. X-ray sangat

membantu untuk memudahkan pengkajian terhadap kedalaman luka serta untuk

melihat ada atau tidaknya infeksi pada tulang, fraktur, subluxatio/dislokasi sendi

(Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013).

6 Pengkajian Lain

Sirkulasi darah pada daerah kaki dapat diukur melalui pemeriksaan non

invasive, salah satunya adalah dengan pemeriksaan Ankle Brachial Index. Ankle

Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive pada pembuluh darah

yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskhemia, penurunan

perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati diabetik. ABI

adalah metode sederhana dengan mengukur tekanan darah pada daerah ankle (kaki)

dan brachial (tangan) dengan menggunakan probe doppler. Hasil pengukuran ABI

menunjukan keadaan sirkulasi darah pada tungkai bawah dengan rentang nilai 0,90-
45

1,2 menunjukkan bahwa sirkulasi ke daerah tungkai normal. Nilai ini didapatkan

dari hasil perbandingan tekanan sistolik pada daerah kaki dan tangan (Gitarja,

2015).

Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan mengukur ankle

brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari tekanan sistolik kaki bagian bawah

dengan tekanan sistolik di lengan (Nussbaumerová et al., 2011; Sato et al., 2011).

ABI dihitung dengan membagi tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan

darah sistolik di lengan. Pemeriksaan ABI sangat berguna untuk mengetahui adanya

penyakit arteri perifer (PAP) (Bundó et al., 2013; Le Faucheur et al., 2006).

Penyakit arteri perifer merupakan manifestasi paling sering adanya aterosklerosis

perifer yang menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien yang

mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan ditemukan tekanan darah

tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang dapat dilihat

dari skor ABI (Pessinaba et al., 2012). Keadaan yang tidak normal dapat diperoleh

bila nilai ABI 0,41 – 0,90 yang diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki, dan

pasien perlu perawatan tindak lanjut. ABI < 0.4 diindikasikan kaki sudah

mengalami kaki nekrotik, gangren, ulkus, borok yang perlu penanganan multi

disiplin ilmu (PAPDI, 2007).

Gambar 2.3 Interpretasi klasifikasi ABI (ankle brachial index)


ABI Interpretasi
>1.30 Kalsifikasi arteri, penekanan
pada pembuluh darah
0.90-1.30 Normal
0.60-0.89 Iskemia ringan
0.40-0.59 Obstruksi vascular
<0.40 Obstruksi vaskular berat
Sumber: Lipsky, B.A et al. 2012
46

2.2.6 Patogenesis Ulkus Diabetikum


Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati

perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat

terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada

neuroartropati charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor

lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu,

benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.

Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut

motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan

kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes

planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya

neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi

akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga

memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat

denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura

kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom

memudahkan terjadinya artropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik akibat

makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat

mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut disamping

menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus

kaki.
47

2.2.7 Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum

Tujuan dari manajemen luka diabetes adalah penutupan luka. Komponen

manajemen perawatannya adalah sebagai berikut (International Best Practice

Guideline, 2013). Klinisi seharusnya mengidentifikasi penyebab dari luka diabetes

selama pengkajian pada pasien.

1. Semua pasien dengan iskemia yang berat, adanya nyeri dada, dan adanya

luka, seharusnya dipertimbangkan untuk dilakukan rekontruksi arteri.

2. Melakukan kontol gula darah dan melakukan manajemen faktor-faktor

risiko seperti tekanan darah yang naik, hiperlipidemia, dan merokok.

3. Mencari penyebab terjadinya trauma kaki pada penderita.

Standar penatalaksanaan ulkus kaki diabetikum dilakukan dalam tim dari

multidisiplin ilmu. Penatalaksanaan ini bertujuan untuk memastikan kontrol

glukosa darah, perfusi adekuat, perawatan luka dan debridemen, mengurangi bebat

tekanan (offloading), serta kontrol infeksi dengan antibiotik yang sesuai dan

penggantian balutan, serta tindakan operasi/bedah untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat proses penyembuhan (Sigh, Pai, & Yuhhui, 2013).

1. Debridemen

Penyembuhan luka lebih cepat terjadi jika kondisi luka terbas dari jaringan

mati/nekrotik serta material yang menghambat pertumbuhan jaringan baru. Luka

tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus,

fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang Penatalaksanaan ulkus

kaki diabetikum ini salah satunya dengan debridemen. Deberidement berfungsi

untuk menghilangkan jaringan mati/nekrotik dan benda asing serta dapat


48

mengoptimalkan kondisi lingkungan sekitar luka (Sumpio, Schroeder, & Blume,

2005). Debridemen tidak hanya dilakukan melalui proses pembedahan. Metode lain

yang dilakukan adalah debridement dengan menggunakan balutan basah- kering

(wet to dry dressing); debridement menggunakan enzim seperti kolagen sebagai

salep; dan ada juga autolitik debridemen menggunakan dengan menggunakan

balutan yang mempertahankan kelembaban (moisture retaining dressing) (Sigh,

Pai, & Yuhhui, 2013). Dari berbagai macam debridemen, debridemen bedah

merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien. Tujuan debridemen

bedah adalah untuk :

a. Mengevakuasi bakteri kontaminasi,

b. Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan,

c. Menghilangkan jaringan kalus,

d. Mengurangi risiko infeksi lokal.

2. Balutan/Dressing

Prinsip perawatan luka diabetes saat ini menekankan pada kelembaban luka

(moist wound healing). Kondisi luka yang lembab dan bersih dapat merangsang

percepatan proses granulasi (Sumpio, Schroeder, & Blume, 2005). Tindakan

dressing merupakan salah satu komponen penting dalam mempercepat penyembuhan

luka. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan

lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma. Beberapa faktor yang harus

perhatikan dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau

tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa

jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:


49

Saat ini, lebih dari 500 jenis modern wound dressing dilaporkan tersedia

untuk menangani luka kronis. Bahan modern wound dressing dapat berupa hidrogel,

film dressing, hydrocolloid, calcium alginate, foam/absorbant dressing,

antimicrobial dressing, antimicrobial hydrophobic (Kartika, 2015)

a. Hidrogel

Berbahan dasar gliserin/air yang dapat memberikan kelembapan digunakan

sebagai dressing primer dan memerlukan balutan sekunder (pada kasa dan

transparent film) (Kartika, 2015). Balutan ini berfungsi untuk menciptakan kondisi

lembab pada luka yang kering (Irma,2013).

b. Film Dressing

Jenis balutan ini lebih sering digunakan sebagai secondary dressing dan

untuk luka-luka superfisial dan non-eksudatif atau untuk luka post-operasi

(Kartika, 2015). Terbuat dari polyurethane film yang disertai perekat adhesif tidak

menyerap eksudat, namun dapat mengurangi selulitis dan dapat menciptakan

kondisi lembab sehingga nyeri berkurang (Irma, 2013). Luka dengan epitelisasi,

low exudate, luka insisi. Kontraindikasi: luka terinfeksi, eksudat banyak. (Kartika,

2015).

c. Hydrocolloid

Balutan ini berfungsi mempertahankan luka dalam suasana lembap,

melindungi luka dari trauma dan menghindarkan luka dari risiko infeksi, mampu

menyerap eksudat tetapi minimal (Kartika, 2015). Hydrocolloid sebagai dressing

primer atau sekunder, support autolysis untuk mengangkat jaringan nekrotik atau

slough. Terbuat dari pektin, gelatin, carboxymethylcellulose, dan elastomers.


50

Indikasi: luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi, eksudat minimal.

Kontraindikasi: luka terinfeksi atau luka grade III-IV.

d. Calcium Alginate

Digunakan untuk dressing primer dan masih memerlukan balutan sekunder.

Membentuk gel di atas permukaan luka; berfungsi menyerap cairan luka yang

berlebihan dan menstimulasi proses pembekuan darah. Terbuat dari rumput laut

yang berubah menjadi gel jika bercampur dengan cairan luka. Indikasi: luka dengan

eksudat sedang sampai berat. Kontraindikasi: luka dengan jaringan nekrotik dan

kering (Kartika,2015).

e. Foam/absorbant dressing

Balutan ini berfungsi untuk menyerap cairan luka yang jumlahnya sangat

banyak (absorbant dressing), sebagai dressing primer atau sekunder. Terbuat dari

polyurethane; non-adherent wound contact layer, highly absorptive. Indikasi:

eksudat sedang sampai berat. Kontraindikasi: luka dengan eksudat minimal,

jaringan nekrotik hitam (Kartika, 2015).

f. Dressing Antimikrobial

Balutan mengandung silver 1,2% dan hydrofiber dengan spektrum luas

termasuk bakteri MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Balutan ini

digunakan untuk luka kronis dan akut yang terinfeksi atau berisiko infeksi. Balutan

antimikrobial tidak disarankan digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak

direkomendasikan bersama cairan NaCl 0,9% (Kartika, 2015).


51

g. Antimikrobial Hydrophobic

Terbuat dari diakylcarbamoil chloride, non-absorben, non-adhesif.

Digunakan untuk luka bereksudat sedang – banyak, luka terinfeksi, dan

memerlukan balutan sekunder (Kartika, 2015).

2.2.8 Mengurangi Beban (offloading)

Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar.

Neuropati yang terjadi pada penderita DM sangat rentan terjadi luka akibat beban

dan gesekan yang terjadi pada kaki. Pad pendderita DM luka menjadi sulit untuk

sembuh. Salah satu hal yang sangat penting dalam perawatan kaki diabetik adalah

mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off loading).

Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat

kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan adalah: mengurangi

kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas kaki, removable

cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot ambulatory (Sigh, Pai, &

Yuhhui, 2013). Prinsip dari berbagai metode yang dipakai adalah untuk mengurangi

tekanan dan memberikan tekanan yang merata tidak hanya pada tumit dan ujung

kaki.

2.2.9 Penalatalaksanaan dengan Operasi (Surgical Manajement)

1. Penutupan luka (Skin Graft)

Skin graft adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya

kulit dari satu tempat ketempat lain, dan di butuhkan revaskularisasi untuk

menjamin kelangsungsan hidup kulit yang di pindahkan tersebut. Luka ulkus yang
52

terlihat tendon, ligamen dan tulang membutuhkan penatalaksanaan skin graft

(Attinger, Ducic, Zelen (2012) dalam Singh, Rai, dan Yuhhui, 2013). Skin graft

dapat diambil dari kulit sendiri maupun donor. Bagian kulit yang biasa digunakan

untuk skin graft adalah kulit bagian vastus lateralis dan rektus abdominis (Singh,

Rai, dan Yuhhui, 2013).

2. Revascularization surgery

Revaskularisasi dapat menurunkan risiko amputasi pada klien dengan

iskemik perifer. Prosedur revaskularisasi meliputi bypass grafting tau endovaskular

techniques (angioplasty dengan atau tanpa stent). Komplikasi yang harus

diperhatikan dalam melakukan revaskularisasi berkaitan dengan adanya trombolisis

(Singh, Rai, dan Yuhhui, 2013).

3. Amputasi

Amputasi merupakan tindakan yang paling terakhir jika berbagai macam

telah gagal dan tidak menunjukkan perbaikan. Pasien DM dnegan ulkus kaki 40-

60% mengalami amputasi ekstremitas bawah (Singh, Rai, dan Yuhhui, 2013).

Amputasi pada diabetes ini menyebabkan seseorang menjadi cacat dan kehilangan

kemandiriannya (Wounds International, 2013). Indikasi amputasi meliputi :

a. Iskemik jaringan yang tidak dapat di atasi dengan tindakan revaskularisasi

b. Infeksi kaki yang mengancam dengan perluasan infeksi yang tidak terukur

c. Terdapatnya ulkus yang semakn memburuk sehingga tindakan pemotongan

menjadi lebih baik untuk keselamatan pasien.


53

2.2.10 Proses Penyembuhan Luka

1. Fase penyembuhan luka

Fase penyembuhan luka secara umum dibagi menjadi empat fase yang

saling tumpang tindih, yaitu fase hemostasis, inflamasi, proleferasi, dan maturasi.

Karakteristik tiap fase adalah sebagai berikut (Hess, 2008).

a. Hemostasis

Fase hemostasis terjadi setelah injuri. Tujuan dari fase ini adalah untuk

menghentikan perdarahan. Keping darah (platelet) adalah kunci utama dalam

proses hemostasis. Keping darah akan membentuk agregat dan mengalami

degranulai, sehingga terjadi formasi bekuan darah. Keping darah juga

mensekresikan beberapa macam sitokin dan faktor pertumbuhan seperti Platelet

Derived Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor (TGF), dan

Epidermal Growth Factor (EGF). Sitokin dan faktor pertumbuhan memiliki banyak

fungsi, diantaran adalah menarik leukosit dan fibroblas ke daerah injuri. Selama

koagulasi, terbentuk gumpalan fibrin. Gumpalan fibrin kemudian mengalami lisis

yang akan memudahkan sel-sel untuk migrasi ke daerah luka. Setelah hemostasis,

fase inflamasi dimulai.

b. Inflamasi (peradangan)

Fase inflamasi disebut juga fase pertahanan atau fase reaksi. Fase ini dimulai

segera pada saat terjadi injuri dan biasanya berlangsung 4 sampai 6 hari.

Karakteristik dari fase inflamasi adalah sakit, panas, kemerahan, dan bengkak.

Tujuan utama fase inflamasi adalah untuk menghilangkan debris patogen dan
54

menyiapkan daerah yang luka untuk membentuk jaringan baru. Pada fase

hemostasis, keping darah yang mengalami degranulasi akan mengeluarkan sitokin

dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan akan menginisiasi respon

inflamasi dengan cara menarik sel inflamasi ke daerah injuri, yaitu neutrofil dan

makrofag. Segera setelah injuri, neutrofil akan datang ke daerah luka untuk

melawan bakteri dan membersihkan benda asing pada luka. Jumlah neutrofil

mencapai puncaknya dalam waktu 24-48 jamsetelah injuri, dan turun pada hari

ketiga setalah injuri. Pada hari kedua setelah injuri, monosit akan masuk kedalam

luka, diikuti dengan limfosit. Monosit akan berubah menjadi magrofag. Seperti

neutrofil, makrofag juga akan menarik fibroblas, dan juga mensekeresikan protease,

faktor-faktor pertumbuhan, dan sitokin yang penting untuk proses penyembuhan

luka.

c. Proliferasi

Fase poliferasi biasanya dimulai pada hari ketiga setelah injuri berlangsung

sampai beberapa minggu (sekitar tiga minggu). Fase poliferasi juga disebut fase

fibroblastik, regeneratif, atau fase jaringan ikat. Tujuan dari fase ini adalah untuk

mengisi luka dengan jaringan yang baru (jaringan granulasi) dan memperbaiki

integritas dari kulit. Fase ini meliputi angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah

baru), sintesis kolagen, kontraksi luka (tepi-tepi luka saling menarik), dan re-

epitelisasi. Fase poliferasi biasanya berlangsung beberapa minggu. Fase

angiogenesis ditandai dengan tumbuhnya pembuluh-pembuluh darah baruoleh sel-

sel endotelial. Pada fase proliferasi, fibroblas berperan untuk memproduksi

kolagen. Ketika luka sudah terisi jaringan granulasi, tepi-tepi luka akan saling
55

menarik (kontraksi), sehingga ukuran luka menjadi kecil. Fase terakhir dalam

proses proliferasi adalah epitelisasi. Selama fase ini, keratinosit akan bermigrasi

dari tepi luka, kemudian sel ini akan membelah dan akhirnya mampu menutup luka.

d. Maturasi

Fase ini disebut sebagai fase maturasi atau remodeling. Fase ini berlangsung

sekitar tiga minggu setelah injuri sampai beberapa bulan atau tahun. Fase ini

melibatkan keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasinya. Pada fase ini

serat kolagen mengalami maturasi. Tiga minggu setelah injuri, kekuatan kulit

(tensilestrength) adalah sekitar 20% dibanding sebelum terjadi luka. Pada akhir fase

maturasi, kulit bekas luka hanya mempunyai 80% dari kekuatan kulit sebelum

terjadinya luka. Karena kekuatan kulit ini lebih sedikit dari kekuatan kulit sebelum

luka, oleh karena itu jaringan kulit yang menyembuhkan ini berisiko untuk

mengalami kerusakan.

2. Efek dari diabetes terhadap penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka yang normal melibatkan interaksi yang komplek

antara pembentukan jaringan ikat, aktivitas selular, dan aktivitas faktor-faktor

pertumbuhan. Pada kondisi DM, ketiga proses fisiologik ini terganggu, sehingga

mengakibatkan penyembuhan luka yang lambat. Secara spesifik, perubahan yang

terjadi adalah sebagai berikut:

a. Fase inflamasi (peradangan) menjadi memanjang sehingga terdapat

gangguan pada migrasi dari sel epitel di permukaan kulit, dan juga gangguan

pembentukan jaringan granulasi (Loots, 1998 dalam Sari 2015).


56

b. Analisi pada cairan eksudat pada luka diabetes menunjukan adanya

peningkatan cairan matrik metalloproteinase (MMP). MMP adalah enzim

proteolitik yang dapat mendegradasi kolagen. Pada penyembuhan yang

normal, sintesis kolagen dan degradasi kolagen berjalan seimbang, namun

pada kondisi DM, terjadi peningkatan MMP, yang pada akhirnya

mengakibatkan degradasi kolagen menjadi meningkat (Loots, 1998 dalam

Sari 2015).

c. Pada banyak kasus DM, aliran darah ke daerah luka berkurang sehingga

mengakibatkan penurunan pada pembentukan pembuluh darah yang baru

(angiogenesis menjadi terganggu) (Vowdem,2011).

d. Terjadinya perubahan struktural dari sel keratinosit, dan juga gangguan pada

proliferasi dari sel keratinosit (Spravchikov et.al, 2001 dalam Sari 2015).

e. Pada DM, terdapat perubahan dan penurunan sekresi dari faktor-faktor

pertumbuhan seperti Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF), Vascular

Endothelial Growth Factor (VEGF), PDGF, dan Nitric Oxide. Faktor-faktor

pertumbuhan ini berfungsi untuk kemotaksis, migrasi sel, dan poliferasi sel.

Adanya penurunan faktor-faktor pertumbuhan mengakibatkan

penyembuhan luka yang lambat (Sari, 2015).

3. Tipe Penyembuhan Luka

a. Penyembuhan luka secara primer

Luka terjadi tanpa kehilangan banyak jaringan kulit. Luka ditutup dengan

cara dirapatkan kembali dengan menggunakan alat bantu sehingga bekas luka tidak

ada atau minimal. Proses yang terjadi adalah epitelisasi dan deposisi jaringan ikat.
57

Contohnya adalah luka sayatan/robekan dan luka operasi yang dapat sembuh

dengan alat bantu jahitan atau lem/perekat kulit (Irma, 2013).

b. Penyembuhan luka secara sekunder

Kulit mengalami luka dengan kehilangan banyak jaringan sehingga

memerlukan proses granulasi, kontraksi, dan epitelisasi untuk menutup luka. Pada

kondisi ini, jika dijahit kemungkinan terbuka lagi atau menjadi nekrosis sangat

besar. Contohnya adalah luka tekan (dekubitus, luka diabetes melitus) dan luka

bakar (Irma, 2013).

c. Penyembuhan luka secara tersier adalah delayed primary

Penyembuhan luka secara tersier terjadi jika penyembuhan luka secara

primer mengalami infeksi atau ada benda asing sehingga penyembuhannya

terhambat. Luka akan mengalami proses debris sehingga luka menutup.

Penyembuhan luka dapat juga diawali dengan penyembuhan secara sekunder yang

kemudian ditutup dengan bantuan jahitan/dirapatkan kembali. Contohnya adalah

luka operasi yang terinfeksi (Irma, 2013).

4. Tipe Luka Berdasarkan Warna Dasar Luka

a. Hitam (Black)

Warna dasar luka hitam artinya jaringan nekrosis (mati) dengan

kecenderungan keras dan kering. Jaringan tidak mendapatkan vaskularisasi yang

baik dari tubuh sehingga mati. Luka dengan warna dasar hitam beresiko mengalami

deep tissue injury atau kerusakan kulit hingga tulang, dengan lapisan epidermis
58

masih terlihat utuh. Luka terlihat kering, namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat

dan harus diangkat.

b. Kuning (Yellow)

Warna dasar luka kuning artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak

berbentuk seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut slough.

Jaringan ini juga mengalami kegagalan vaskularisasi dalam tubuh dan memiliki

eksudat yang banyak hingga sangat banyak.

c. Merah (Red)

Warna dasar luka merah berarti jaringan granulasi dengan vaskularisasi

yang baik dan memiliki kecenderungan mudah berdarah. Warna dasar merah

menjadi tujuan klinis dalam perawatan luka hingga luka dapat menutup. Hati-hati

dengan warna dasar merah yang tidak cerah atau berwarna pucat karena

kemungkinan ada lapisan biofilm yang menutup jaringan granulasi

d. Pink

Warna dasar luka pink menunjukan terjadinya proses epitelisasi dengan baik

menuju maturasi. Artinya luka sudah menutup, namun biasanya sangat rapuh

sehingga perlu untuk tetap dilindungi selama proses maturasi terjadi. Memberikan

kelembapan pada jaringan epitel dapat membantu agar tidak timbul luka baru.

5. Persiapan Dasar Luka (Wound Bed Preparation)

International Wound Bed Preparation Advisory Board (IWBPAB) banyak

mengembangkan konsep perawatan luka. Menurut (Schultz 2003 dalam Irma

2013), persiapan dasar luka adalah penatalaksanaan luka sehingga dapat


59

meningkatkan penyembuhan dari dalam tubuh sendiri atau memfasilitasi efektivitas

terapi lain. Metode ini bertujuan mempersiapkan dasar luka dari adanya infeksi,

benda asing, atau jaringan mati menjadi merah terang dengan proses epitelisasi

yang baik. TIME dikenalkan oleh Prof. Vincent Falanga pada tahun 2003 yang

diseponsori oleh produk Smith & Nephew dalam penelitian ini sehingga keluar

akronim (sebutan) manajemen TIME. T adalah manajemen jaringan, I adalah

manajemen infeksi dan inflamasi, M adalah manajemen pengaturan kelembapan

luka, dan E adalah manajemen tepi luka untuk mendukung proses epitelisasi.

a. TIME : Tissue Management (Manajemen Jaringan)

TIME yang pertama adalah Tissue Management, yaitu manajemen jaringan

pada dasar luka. Tindakan utama manajemen jaringan adalah melakukan

debridemeng (debridement) yang dimulai dari mengkaji dasar luka sehingga dapat

dipilih jenis debridemang yang akan dilakukan. Debridemang adalah kegiatan

mengangkat atau menghilangkan jaringan mati (devaskularisasi), jaringan

terinfeksi, dan benda asing dari dasar luka sehingga dapat ditemukan dasar luka

dengan vaskularisasi baik (Irma, 2013). Metode debridemang ada berbagai macam,

yaitu metode chemical, mechanical, autolysis, surgical, dan conservative sharp

wound debridement (CSWD).

1) Chemical debridement (debridement mekanis) yaitu cara debridemen

dengan cara menggunakan kekuatan fisik untuk mengambil jaringan

nekrotik (Sari, 2015). Pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan

enzim pepaya, sodium hypochlorite, atau maggot (larva/belatung) yang

biasa disebut biolysis (Irma, 2013).


60

2) Mechanical debridement (debridemen bedah) debridemen ini sering disebut

debridemen alat karena menggunakan alat-alat untuk menghilangkan

jaringan mati, seperti pisau bedah atau gunting. Jenis debridemen ini adalah

tipe debridemen yang paling cepat dan efektif namun memerlukan

ketrampilan yang memadai (Sari, 2015).

3) Autolysis debridement (debridemen autolitik) adalah merupakan tipe

debridemen yang lebih lambat, namun mudah untuk dilakukan dan

menimbulkan rasa nyeri yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tipe

debridemen yang lain (Sari, 2015). Pengakatan jaringan mati sendiri oleh

tubuh dengan menciptakan konsisi lembap pada luka. Luka hitam dan

kuning akan melunak dan mudah diangkat, bahkan hilang diserap oleh

absorbent dressing. Balutan yang cocok adalah balutan yang menggunakan

seperti gel, koloid, cream, self dapat membantu proses ini (Irma,2013).

4) Surgical debridement yaitu tindakan pembedahan dengan menggunakan

benda tajam dan tidak hanya pada jaringan yang mati, tetapi juga pada

jaringan yang sehat (fasiotomi) yang memerlukan anestesi untuk

mengurangi nyeri sehingga tindakan ini hanya boleh dilakukan oleh dokter

yang bergantung pada situasi dan bentuk luka (Irma, 2013).

5) Conservative Sharp Wound (CSWD) yaitu pengangkatan jaringan mati

dengan menggunakan guntin, pinset, dan bisturi hanya pada jaringan mati

sehingga tidak banyak berdarah dan tidak menimbulkan nyeri pada pasien

(Irma, 2013).

b. TIME: Infection-Inflamation Control (Manajemen Infeksi dan Inflamasi).


61

TIME yang kedua adalah Infection-Inflamation Control, yaitu kegiatan

mengatasi perkembangan jumlah kuman pada luka. Semua luka adalah luka yang

terkontaminasi, namun tidak selalu ada infeksi (Smith 1983 dalam Irma 2013).

Infeksi adalah pertumbuhan organisme dalam luka yang ditandai dengan reaksi

jaringan lokal dan sistemik. Sebelum terjadi infeksi, ada perkembangbiakan kuman

mulai dari kontaminasi, kolonisasi, kolonisasi kritis, kemudian infeksi (Schultz

et.al, 2003). Infeksi luka akan menghambat proses penyembuhan luka karena akan

memperpanjang masa inflamasi, memperlambat sintesis kolagen, memperlambat

epitelialisasi dan menebabkan kerusakan jaringan (Sari, 2015).

Tanda-tanda primer dari infeksi adalah: peningkatan eksudat, nyeri, adanya

kemerahan (eritema) yang baru atau peningkatan kemerahan pada luka, peningktan

temperatur pada daerah sekitar luka, dan bau (luka atau eksudatnya) (Sari, 2015).

Sedangkan tanda-tanda sekunder dari infeksi adalah: luka yang sulit

menyembuhkan, jaringan granulasi yang tidak sehat (jaringan granulasi yang

pucat), peningkatan slaf, peningkatan ukuran luka, adanya jaringan baru yang rusak,

dan adanya kantong luka (Underminning) atau adanya jembatan antar luka

(Tunneling) (Sari, 2015). Kegiatan mengontrol infeksi dapat dilakukan dengan

memilih jenis cairan pencuci yang tepat dan menggunakan balutan antimikroba

yang tepat pada luka. Cara mencuci juga menjadi perhatian untuk mengontrol

infeksi dan inflamasi. Ada beberapa teknik pencucian luka, yaitu swabbing atau

menggosok, water pressure, dan irigasi (Irma, 2013).

c. TIME: Moisture Balance Management (Manajemen Pengaturan

Kelembapan Luka).
62

Falanga (2003) mengemukakan bahwa cairan yang berlebih pada luka

kronis dapat menyebabkan gangguan kegiatan sel mediator seperti growth factor

pada jaringan. Tujuan manajemennya adalah melindungi kulit sekitar luka,

menyerap eksudat, mempertahankan kelembapan, dan mendukung penyembuhan

luka dengan menentukan jenis dan fungsi balutan yang digunakan (Irma, 2013).

d. TIME: Epithelization Advancement Management (Managemen Tepi Luka)

Epitel (tepi luka) sangat penting diperhatikan sehingga proses epitelisasi

dapat berlangsung secara efektif. Tepi luka yang siap melakukan proses penutupan

adalah tepi luka yang halus, bersih, tipis, menyatu dengan dasar luka, dan lunak.

Tepi luka yang kasar disebabkan oleh pencucian yang kurang bersih atau lemak

yang dihasilkan oleh tubuh menumpuk dan mangeras di tepi luka. Tepi luka yang

tebal disebabkan oleh proses epitelisasi yang tidak mau maju sehingga epitel

menumpuk di tepi luka dan menebal. Jika di tepi luka masih terdapat jaringan mati

maka harus diangkat.

2.2.11 Peran Sitokinin dan Faktor Pertumbuhan (Growth Factor) dalam

Penyembuhan Luka

Sitokinin bersama faktor pertumbuhan luka seperti platelet derived

growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF) aktif dalam proses

penyembuhan luka. Beberapa macam sitokinin yang terlibat dalam proses

penyembuhan luka yaitu TNF-α, interleukin-1 (IL 1), IL 6, IL 8 dan transforming

growth factor-β1 (TGF- β1). PDGF pada konsentrasi rendah akan menginduksi

sintesis dan sekresi, sedangkan pada konsentrasi tinggi merupakan inhibitor

pertumbuhan karena menghambat ekspresi reseptor PDGF. TGF β juga


63

menstimulasi daya kemotaksis fibroblas, inhibisi produksi kolagen dan

fibronektin, menghambat degradasi kolagen karena peningkatan atau penurunan

inhibitor proteas. Pada inflamasi kronis TGF β terlibat dalam pertumbuhan

fibrosis.

Dalam keseimbangan antara deposisi dan degradasi fibrin fungsi sitokinin

keseluruhan dapat menggeser keseimbangan tersebut ke arah residu fibrin. Pada

deposisi matrik ekstraseluler, sintesis kolagen diperbanyak oleh faktor

pertumbuhan dan sitokinin yaitu PGDF, FGF, TGF β dan IL 1, IL 4, imuno

globulin GI ((Ig GI) yang diproduksi oleh leukosit dan limfosit pada saat sintesis

kolagen. pada proses remodeling faktor pertumbuhan seperti PGDF, FGF, TGF

β dan IL 1, TNF akan menstimulasi sintesis kolagen serta jaringan ikat lain yang

selajutnya memodulasi sintesis dan aktifasi metaloproitenase. Metaloproteinase

terdiri atas interstitial kolagenase dan gelatinase, diproduksi oleh beberapa

macam sel yaitu fibroblas, makrofag, neutrofil, sel sinovial, dan beberapa sel

epitel. untuk mensekresikannya perlu stimulus PDGF, FGF, IL 1, TNF alfa, sel

fagosit, dan stres fisik.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus

2.3.1 Pengkajian

1. Identitas pasien

Pada faktor resiko dari Diabetes Melitus disebutkan bertambah sejalan

dengan usia dikarenakan jumlah sel β yang produktif berkurang seiring dengan

pertambahan usia (Arisman, 2010). Awitan Diabetes Melitus tipe 1 biasanya terjadi
64

sebelum usia 30 tahun (meskipun dapat terjadi pada semua usia), sebaliknya DM

tipe 2 biasanya terjadi pada dewasa obese diatas usia 40 tahun (Kowalak, et al.

2011).

2. Keluhan utama

Pasien merasakan kelelahan yang parah, dehidrasi, mual muntah, pandangan

kabur, gangguan kesadaran karena gula darah meningkat drastis dan tiba tiba.

Pasien dapat pula datang dengan keluhan nyeri karena lesi di ekstremitas bawah

apabila pasien belum mengalami neuropati (Riyadi & Sukarmin, 2008).

3. Riwayat sakit dan kesehatan

a. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan menonjol badan terasa lemas disertai

pandangan mata kabur. Meskipun muncul keluhan banyak kencing (poliuria)

kadang penderita belum tahu kalau itu salah satu tanda penyakit Diabetes Melitus.

Pasien dapat pula datang dengan keluhan nyeri karena lesi di ekstremitas bawah

apabila pasien belum mengalami neuropati (Riyadi & Sukarmin, 2008).

b. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Diabetes Melitus kehamilan atau pernah melahirkan anak dengan

BB > 4 kg. Pasien memiliki riwayat infark miocard, riwayat Hipertensi, penyakit

pembuluh darah perifer menyebabkan timbulnya gangren kaki pada penderita

Diabetes Mellitus, yang merupakan penyebab utama amputasi nontraumatik.

Kelebihan BB 20% meningkatkan risiko Diabetes Melitus 2 kali (Arisman, 2010).


65

d. Riwayat penyakit keluarga

Perkembangan diabetes mellitus tipe 2 dihubungkan dengan riwayat

keluarga dengan DM. Abnormalitas genetik dikaitkan dengan sistem regulasi

metabolisme glukosa meliputi abnormalitas gen glukokinase, gen mitokondrial, dan

gen reseptor insulin, 30% kejadian DM terjadi pada individu yang memiliki riwayat

keluarga sebelumnya (Kaku, 2010).

e. Riwayat alergi

Riwayat pengobatan yaitu obat obatan yang diberikan sekarang dan reaksi

pemakaian yang berlebih dan obat obatan yang diresepkan pada masa lalu Bahan

bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas,

radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga tidak

ada sekresi hormon hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin

(Arisman, 2010).

4. Pola fungsi kesehatan

Pola fungsi kesehatan menurut teori Gordon adalah sebagai berikut:

a. Persepsi terhadap kesehatan (Keyakinan terhadap kesehatan dan sakitnya)

Ketidakmampuan pasien tentang informasi penyakit yang di deritanya serta

kurangnya pengetahuan pasien tentang faktor faktor penyebab dan dan faktor faktor

yang mempengaruhi Diabetes Melitus. Gaya hidup: Olahraga, kurang dari 3 kali

seminggu bagi penderita Diabetes Melitus olahraga merupakan potent protective

factor yang meningkatkan kepekaan jaringan terhadap insulin hingga 6%,

merangsang sirkulasi dan membantu tubuh dalam penggunaan insulin, disamping


66

itu menggunakan energi untuk mengurangi berat badan. Diet, untuk menngawasi/

mengontrol gula darah serta menurunkan berat badan (Arisman, 2010)

b. Aktivitas dan latihan

Aktivitas memiliki hubungan dengan tekanan darah dan distribusi lemak

tubuh yang dapat menurunkan risiko kejadian sindrom metabolik. Selain itu

aktivitas fisik yang cukup dapat mengurangi berat badan mencegah terjadinya

obesitas yang menjadi salah satu faktor risiko DM. Dalam penelitiannya individu

yang melakukan aktifitas fisik <3 x sehari memiliki risiko lebih besar mengalami

DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang melakukan latihan fisik secara rutin

(Wicaksono, 2011).

c. Istirahat dan tidur

Istirahat menjadi tidak efektif karena adanya poliuri, nyeri pada luka

sehingga pasien mengalami kesulitan tidur (Kariadi, 2009).

d. Nutrisi – metabolik

Nafsu makan meningkat (polifagia) dan kurang tenaga, pada Diabetes

Melitus yang bermasalah adalah insulin. Pemasukan gula kedalam sel sel tubuh

kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang. Inilah yang menyebabkan orang

merasa kurang bertenaga. Dengan demikian otak akan berfikir bahwa kurang energi

itu karena kurang makan, maka tubuh berusaha meningkatkan asupan makanan

dengan menimbulkan rasa lapar, timbulah perasaan selalu ingin makan (Kariadi,

2009).
67

e. Eliminasi

Seringkali buang air kecil dengan volume yang banyak (poliuri), yaitu lebih

sering daripada biasanya, apalagi malam hari. Untuk menjaga agar urine yang

keluar (yang mengandung gula) itu tidak terlalu pekat, tubuh akan menarik air

sebanyak mungkin ke dalam urine sehingga volume urine yang keluar banyak dan

sering (Kariadi, 2009).

f. Konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan pendrita

mengalami gangguan gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lama perawatan dan

pengobatan akan menimbulkankecemasan pada pasien dan keluarga (Kariadi,

2009).

g. Pola koping

Toleransi stress, mengalami stress yang berat baik emosional maupun fisik,

emosi labil dan depresi. Pasien tampak tidak bergairah, bingung bahkan kadang

terlihat menyendiri (Riyadi & Sukarmin, 2008).

h. Pola seksual – reproduksi

Reproduksi mengalami penurunan libido, hipoamenore, amenore dan

impoten. Apabila selama urat saraf yang memelihara alat seksual tidak terganggu,

kemampuan seksual penderita Diabetes Melitus tetap normal. Apabila terganggu

dalam waktu yang tidak terlalu lama sekitar (3 – 4 bulan), biasanya dapat

disembuhkan dengan perawatan Diabetes Melitus yang dideritanya. Akan tetapi,

jika kerusakan sarafnya sudah berat dan permanen, penderita Diabetes Mellitus

yang bersangkutan akan impoten. (Misnadiarly, 2006).


68

i. Pola peran – hubungan

Pada periode awal emosi pasien masih stabil dan mampu mengekspresikan

emosi dengan baik. Sedangkan pada pasien dengan Diabetes Melitus lama, pasien

mengalami penurunan optimisme dan cenderung emosi labil, mudah tersinggung

dan marah. Penderita kadang merasa tidak berguna sendiri sehingga kurang respek

terhadap anggota keluarga (Riyadi & Sukarmin, 2008).

j. Pola nilai - kepercayaan

Setelah mengalami gejala yang tak kunjung sembuh, pasien Diabetes

Melitus mulai berusaha mencari kekuatan yang luar biasa dari Tuhan. Kegiatan

ibadah semakin terlihat meningkat sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk

mencari kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Esa (Riyadi & Sukarmin, 2008).

5. Pemeriksaan fisik

a. Sistem pernapasan

Frekuensi pernapasan meningkat, batuk dengan / tanpa sputum purulen

(tergangung adanya infeksi / tidak). Kadang terdengar suara napas tambahan

(krekels), pada kasus KAD didapatkan tanda khas: pernapasan cepat dan dalam

(kusmaul), napas bau keton (Doenges, 2012). Penderita Diabetes Melitus kalau

batuk biasanya berlangsung lama. Lama sembuh karena pertahanan tubuhnya

menurun dibandingkan orang non Diabetes Melitus, penderita Diabetes Melitus

lebih mudah menderita TBC, terlebih lagi bila Diabetes Melitus yang di deritanya

tidak terkendali, tidak terawat dengan baik (Misnadiarly, 2006).


69

b. Sistem Cardiovaskuler.

Riwayat HT, kebas, infark miocard akut, kesemutan pada ekstremitas, ulkus

kaki yang penyembuhannya lama, CRT > 2 detik, takhicardia, perubahan tekanan

darah, nadi perifer melemah, gangguan perfusi pada ekstremitas (Doenges, 2012).

Cardiomegali, irama gallop dan kemungkinan gagal jantung kongestive (Arisman,

2010).

c. Sistem Persyarafan

Pusing, sakit kepala, nyeri, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,

parestesia, gangguan penglihatan (Doenges, 2012). Neuropati perifer, nyeri, rabaan

atau sensasri sensorik berkurang, reflek tendon berkurang, neuropati autonom,

respon pupil menurun. Penurunan ketajaman penglihatan secara mendadak atau

perlahan lahan, yang boleh dicurigai sebagai penjelmaan retinopati atau katarak

(Arisman, 2010)

d. Sistem Perkemihan

Perubahan pola berkemih (poliuria, nokturia, anuria). Pada penderita

Diabetes Melitus urat saraf kandung kemih rusak, sehingga dinding kandung kemih

menjadi lemah, kandung kemih akan menggelembung dan kadang kadang penderita

tidak bisa buang air kecil spontan, urine tertimbun dan tertahan yang disebut

retensio urine. Sebaliknya bila urat sarafnya yang terganggu, penderita akan sering

buang air kecil/ inkontinensia urine. Semua ini dapat diobati dengan memberi

suntikan insulin, obat untuk saraf dan obat untuk infeksi (Misnadiarly, 2006).
70

e. Sistem Pencernaan

Anoreksia, mual, muntah, perut mudah terasa penuh, kembung, makanan

tidak lekas turun, kadang timbul rasa sakit di ulu hati karena makanan terhenti di

dalam dada. Pasien tidak mengikuti diet, penurunan berat badan. Penderita Diabetes

Melitus yang lama dapat menyebabkan urat saraf yang terdapat di lambung rusak

sehingga fungsi lambung menghancurkan makanan lebih lama hingga makanan

tertinggal lama di lambung (Misnadiarly, 2006).

f. Sistem Muskuloskeletal

Letih, lemah, sulit bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun, nyeri

saat aktifitas (Doenges, 2012).

g. Sistem Integumen

Pada umumnya kulit penderita Diabetes Melitus umumnya kurang sehat

atau kurang kuat dalam hal pertahanannya, sehingga mudah terkena infeksi dan

penyakit jamur. Karena itu, lebih sering mengalami bisul (furukel), bahkan bisul

tersebut bisa sangat besar (kurbukel) misalnya di dada, punggung, leher, kulit

kering, gatal, ulkus kulit/ gangren (Misnadiarly, 2006). Timbul ulkus pada kaki

sering ditemukan/ tanda tanda keterjadian gangren (Arisman, 2010).

h. Sistem Endokrin

Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa serum yang lebih dari

110 mg/ dl dan hipoglikemia sebagai kadar glukosa kurang dari 70 mg/ dl. Insulin

yaitu homon penurun kadar glukosa darah, meningkat setelah makan dan kembali

turun ke nilai dasar dalam waktu tiga jam. Insulin berperan penting dalam mengatur

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Glukagon, hormon pertumbuhan,


71

epinefrin dan kortisol merupakan hormon pelawan regulasi yang meningkatkan

glukosa darah dan memiliki efek efek yang berlawanan dengan insulin. Hormon ini

penting dalam mencegah terjadinya hipoglikemia selama puasa dan stress (Price &

Wilson, 2005). Diabetes Melitus tipe 1 terkait dengan tingginya prevalensi

gangguan autoimun, terutama penyakit tiroid (Arisman, 2010).

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Wilkinson (2016) menyebutkan beberapa Diagnosis NANDA yang muncul

pada pasien dengan Diabetes Melitus Gangren dengan penulisan masalah

keperawatan antara lain :

1. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan

sirkulasi.

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan nafsu makan menurun dan mual

muntah.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat.

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisiologis (mis. Insflamasi,

iskemia, neoplasma).

5. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri

dan/ atau vena.

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.

7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri yang dirasakan.

8. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/ bentuk

tubuh.

9. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.


72

2.3.3 Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan yang muncul pada ganggaun Diabetes Melitus

berdasarkan berdasarkan NANDA Internasional 2015-2017 antara lain :

1. Dx.1 Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan

sirkulasi. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24

jam tidak terjadi gangguan perfusi jaringan. Kriteria Hasil :

a. Denyut nadi perifer teraba kuat dan regular.

b. Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis.

c. Kulit sekitar luka teraba hangat.

d. Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.

e. Sensorik dan motorik membaik

Rencana tindakan :

1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi

Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.

2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah : Atur

kaki sedikit lebih rendah dari jantung (posisi elevasi pada waktu istirahat),

hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal

di belakang lutut dan sebagainya.

Rasional: meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak

terjadi oedema.

3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi

kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan

penggunaan obat vasokontriksi.


73

Rasional: kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis,

merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah,

relaksasi untuk mengurangi efek dari stres.

4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator,

pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).

Rasional: pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh

darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan

gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan

pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.

2. Dx.2 Defisit nutrisi berhubungan dengan nafsu makan menurun dan mual

muntah. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :

a. Berat badan dan tinggi badan ideal.

b. Pasien mematuhi dietnya.

c. Kadar gula darah dalam batas normal.

d. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.

Rencana Tindakan :

1) Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.

Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien

sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.

2) Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.

Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya

hipoglikemia/hiperglikemia.
74

3) Timbang berat badan setiap seminggu sekali.

Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan

merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).

4) Identifikasi perubahan pola makan.

Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang

ditetapkan.

5) Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet

diabetik.

Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke

dalam jaringan sehingga gula darah menurun, pemberian diet yang sesuai

dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.

3. Dx.3 Resiko infeksi berhubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak

terjadi penyebaran infeksi (sepsis). Kriteria Hasil :

a. Tanda-tanda infeksi tidak ada.

b. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( S: 36 -37,5ºC )

c. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.

Rencana tindakan :

1) Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.

Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi

dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya.

2) Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri

selama perawatan.
75

Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk

mencegah infeksi kuman.

3) Lakukan perawatan luka secara aseptik.

Rasional : Untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.

4) Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang

ditetapkan.

Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan

daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan

sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi.

5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika.

Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman.

4. Dx.4 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisiologis (mis.

Insflamasi, iskemia, neoplasma). Tujuan : setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 4 x 24 jam rasa nyeri hilang/berkurang. Kriteria hasil :

a. Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang atau hilang.

b. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi nyeri.

c. Elspresi wajah klien rileks.

d. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.

(S: 36 – 37,5ºC, N: 60 – 80 x /menit, T : 120/80mmHg, RR18 – 20 x /menit).

Rencana tindakan :

1) Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.

Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.


76

2) Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.

Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan

mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak

bekerjasama dalam melakukan tindakan.

3) Ciptakan lingkungan yang tenang.

Rasional: Rangsang yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat

rasa nyeri.

4) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.

Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang

dirasakan pasien.

5) Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.

Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan

pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.

6) Lakukan massage saat rawat luka.

Rasional : Massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus.

7) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.

Rasional : Obat-obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.

5. Dx.5 Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran

arteri dan/ atau vena. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 6 x 24 jam tercapainya proses penyembuhan luka. Kriteria hasil :

a. Berkurangnya oedema sekitar luka.

b. Pus dan jaringan berkurang

c. Adanya jaringan granulasi


77

d. Bau busuk luka berkurang

Rencana tindakan :

1) Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.

Rasional: Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan

akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.

2) Rawat luka dengan baik dan benar : Membersihkan luka secara abseptik

menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel

pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.

Rasional: Merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi

luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul,

sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.

3) Ajarkan klien atau keluarga tentang perawatan luka yang baik dan benar

Rasional : mengajarkan klien tentang perawatan luka dengan baik dan benar

diharapkan klien dapat merawat lukanya dengan mandiri jika berada

dirumah.

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus

pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.

Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur

pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk

pengobatan, pemeriksaan kadar gula darah untuk mengetahui

perkembangan penyakit.
78

6. Dx.6 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Tujuan : setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam pasien dapat mencapai

tingkat kemampuan aktivitas yang optimal. Kriteria Hasil :

a. Pergerakan pasien bertambah luas

b. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk,

berdiri, berjalan).

c. Rasa nyeri berkurang.

d. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan

kemampuan.

Rencana tindakan :

1) Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.

Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.

2) Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga

kadar gula darah dalam keadaan normal.

Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif

dalam tindakan keperawatan.

3) Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah

sesuai kemampuan.

Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.

4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.

Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.

5) Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan

tenaga fisioterapi.
79

Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi

untuk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.

7. Dx.7 Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri yang dirasakan.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam pasien

dapat mencapai pola tidur yang optimal. Kriteria Hasil :

a. Pasien dapat istirahat dengan nyaman

b. Rasa nyeri berkurang.

Rencana tindakan :

1) Kaji dan identifikasi tingkat pola tidur pasien.

Rasional : Untuk mengetahui berapa jam pasien beristirahat.

2) Beri penjelasan tentang pentingnya beristirahat.

Rasional : Pasien mengerti pentingnya beristirahat yang cukup untuk

mempercepat kesembuhan.

3) Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk kenyamanan beristirahat.

Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.

4) Beri rasa aman dan nyaman bagi pasien.

Rasional : Agar mengoptimalkan istirahat pasien.

8. Dx.8 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/ bentuk

tubuh. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam

Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya

secar positif. Kriteria Hasil :

a. Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa

malu dan rendah diri.


80

b. Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.

Rencana tindakan :

1) Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri

berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi

secara normal.

Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.

2) Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.

Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.

3) Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.

Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.

4) Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.

Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan

dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.

5) Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan

kehilangan.

Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang

normal.

6) Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai

pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.

Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.

9. Dx.9 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi. Tujuan :

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam rasa

cemas berkurang/hilang. Kriteria Hasil :


81

a. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.

b. Emosi stabil, pasien tenang

c. Istirahat cukup.

Rencana tindakan :

1) Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.

Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien

sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.

2) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.

3) Gunakan komunikasi terapeutik.

Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga

pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.

4) Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien

untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.

Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan

pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.

5) Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan

lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal

mungkin.

Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan

kecemasan yang dirasakan pasien.


82

6) Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara

bergantian.

Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang

menunggu.

7) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi

rasa cemas pasien.


2.4 Kerangka Masalah Diabetes Melitus

Penyakit Penyakit
Gluc.darah Defisiensi Obesitas Pola hidup Obat-obatan
Pankreas Hormonal
Insulin Absolut Pemecahan Kehil. Nitrogen
Lipolisis
katabolisme protein berlebihan
Jmlh reseptor To sik pada sel Pankreas Merangsang
Kerusakan Insulin beta rusak sekresi sel berta As. Amino
Pankreas hiperaktif dan As. Lemak bebas
Jmlh Insulin Gli serol
Fs sel beta rusak
kurang Fs sel beta Gluk oneogenesis
Penghancur
an sel beta (pembentukan glukosa) Ketogenesis LDL
DM Tipe II DM Tipe
(relatif) lai n
DM Tipe I Asidasis metabolik
(absolut)
Koma diabetikum Nafas kusmaul
Defisiensi
Ambilan & bau keton
glukosa
Insulin
MK: Pola Nafas
Hiperglikemia Tidak Efektif

Gluk osa darah Gluk osa sel Gluk osa sel

Nutrisi sel Diuretik Kehil. Cai ran &


Osmotik Elektroli t
Penebalan
membran dasar Sel lapar
(Polifagia) Merangsang Poliuria
vaskuler
rasa haus
Mik roangipati
Masukan y g
melebihi aktifitas Polidipsi MK: Hipovolemia

PJK Penyakit pemb. Penyakit pemb.


MK: Defisit Nutrisi
Darah perifer Darah otak

Trauma Stroke
Disf ungsi endotel Disf ungsi endotel mic. Perubahan dinding
mic. vaskuler Vaskuler & jantung endotel / ateroskl erosis Angina / IMA

Mik roangipati Ulkus

Neuropati Retinopati Nefropati


Infeksi
Gluk osa menjadi
Sensorik Motorik Autonom Katarak & Buta
sarbital
MK: Nyeri, Ggn.
Kelemahan Impoten MK: Gangguan MK: Resiko Integritas kulit/
Kesemutan Gangrem
(deformitas) Mobilitas Fisik Cidera Jarngan
(baal)

83
BAB 3

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang

dimulai dari tahapan pengkajian, analisa data, perumusan masalah keperawatan,

intervensi dan implementasi keperawatan serta evaluasi pada tanggal 16 – 21 Juni

2018 jam di Ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

3.1 Pengkajian

3.1.1 Data Dasar

Ny.S (65 tahun), beragama Islam, suku bangsa Jawa/ Indonesia, bekerja

sebagai ibu rumah tangga, status perkawinan menikah dengan 1 orang anak, paisen

tinggal di Lemah Asin 4/9 Gedangan Sidoarjo. Jawa Timur, No. Register 554198.

Pasien dirawat dengan diagnose medis Diabetes Mellitus Gangren Pedis Dextra.

Pasien masuk Rumkital Dr. Ramelan Surabaya melalui IGD pada tanggal 06 Juli

2018 jam 20.10 WIB diantar oleh anaknya. Selama pengkajian, sumber informasi

berasal dari klien, keluarga, perawat dan rekam medis klien.

Pasien datang ke IGD RSAL DR.Ramelan Surabaya pada tanggal 06-07-

2018 jam 20.10 WIB diantar oleh anaknya. Pasien datang dengan keluhan demam

sejak kemarin (± 1 hari yang lalu), ada mual tapi tidak muntah, dan terdapat luka

kehitaman pada jari tengah kaki kanan yang melebar hingga kepunggung kaki.

Selama di IGD dilakukan observasi didapatkan kesadaran apatis, GCS 12, TD =

150/80 mmHg, N=110×/mnt, S=39°C, SpO2= 95%, BB=60kg, TB=157cm, hasil

pemerikasaan GDA stik=207mmHg, hasil pemeriksaan darah lengkap WBC=17,2,

RBC=3,56, HGB=9,7, PLT=175, Creat=1,4 , Na=133,3 , K=3,39, Cl=102,6. Hasil

konsulan dari Dr. Sartono, SPPD di IGD pasien mendapatkan terapi Diit B1

84
85

1900kall, Gliben stop, Humulog 3x4ui SC, Inj. Cinam 4x1,5gr, Levofloxacim

1x500mg (skintest), Inf. Ns 21tpm, Metronidazole 3x500, obat oral celoztazole 2x1

tab, Robarantia 1x1, Nucral 3x1tab. Kemudian pada tanggal 06-07-2018 jam 01.35

WIB pasien dipindahkan keruangan G2 dilakukan perawatan selama 5hari

kemudian pasien dipindah keruang III pada tanggal 11-07-2018 dengan keadaan

umum baik, kesadaran composmentis, TD=120/80mmHg, S=37℃, RR=20×/menit,

N=88×/menit, terapi lanjutan Inf. NS 20tpm, Inf. Cinam 4x1,5mg, Metronidazole

3x500mg, Levoflaxim 1x750, Humulog 3x4 ui SC, obat oral celoztazole 2x1 tab,

Robarantia 1x1, Nucral 3x1tab. Dan direncanakan kultur pus tanggal 10-07-2018

dan cek 1jam PP setiap hari. Pada tanggal 16-07-2018 jam 09.30 WIB dilakukan

pengkajian didapatkan hasil observasi keadaaan umum pasien lemah, kesadaran

composmentis, GCS 456, TD=160/80mmHg, N=108x/mnt, S=373 ℃, spO2=98%,

RR=20×/mnt, terpasang Inf plug pada tangan kanan, dan terapi Inf.Cinam 1,5mg,

Levofloxacim 500gr, GDA stik 274mg/dl. Keluhan saat ini pasien mengatakan

masih cekot-cekot pada kaki sebelah kanan, badan terasa lemas, pengkajian nyeri

didapatkan pasien mengatakan skala nyeri 5 dari (0-10), nyeri terasa cekot-cekot

pada kaki sebelah kanan punggung kaki, nyeri hilang timbul dengan durasi 1-5

menit. Hasil pengkajian luka didapatkan luka bebat gangren pedis dextra,

pengeluaran pus masih aktif hingga tampak pada dressing sekunder berwana

kekuningan, bau luka derajat 2 dan merembes ke dressing sekunder, bau luka

tercium hingga jarak 30cm, kulit sekitar luka tampak kering eritema, CRT >2dtk,

akral hangat basah merah, pitting oedeme derajat 1 dengan kedalam 1-3mm dan

waktu kembali 1-3detik.


86

Riwayat kesehatan keluarga menyatakan tidak ada riwayat penyakit

keluarga seperti Diabetes Melitus dan Hipertensi. Keluarga mengatakan pasien

mempunyai riwayat Diabetes Melintus sejak ±3 tahun yang lalu dan baru sekarang

terkena luka yang tidak kunjung sembuh, riwayat Hipertensi disangkal dan tidak

ada riwayat alergi.

Keterangan :
: Tinggal serumah : Garis Ketutunan
: Perempuan : Klien
: Laki-laki : Meninggal Dunia
Gambar 3.1 Genogram Keluarga Ny. S

Riwayat alergi keluarga mengatakan Ny.S tidak mempuyai riwayat alergi

makanan, obat – obatan maupun suhu.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Pasien lemah, pasien tampak menyeringai menahan nyeri, kooperatif saat

perawat melakukan anamnesa dan pengkajian diruangan. Kesadaran composmetis

GCS eye 4, motorik 5, verbal 6. Tanda-tanda vital pasien, TD: 160/80 mmHg,

Nadi : 108/menit, RR: 20x/menit, Suhu : 37o C, SpO2 : 98%, TB : 157 cm, BB :

60kg, IMT : 24,3 (BB lebih).


87

2. B1 (Breath/Pernapasan)

Bentuk dada normo chest, pergerakan dada simetris, napas spontan, tidak

menggunakan alat bantu napas, tidak ada otot bantu napas, fokal fremitus teraba

kanan dan kiri, suara napas vesikuler, irama pola napas (reguler), tidak ada sesak,

tidak ada ronki (-/-),tidak ada wheezing (-/-), tidak ada retraksi dinding dada dan

penggunaan otot bantu pernafasan maupun sianosis dan clubbing finger, RR : 20

x/menit, perkusi dada sonor, palpasi tidak ada fraktur/ krepitasi.

3. B2 (Blood/Sirkulasi)

Bentuk dada simetris, denyut apex teraba, tidak ditemukan getaran/thrill,

hasil perkusi pada jantung pekak, bunyi jantung S1S2 tunggal, tidak ada bunyi

jantung tambahan, tidak terdapat gallop, murmur, tidak ada nyeri dada, ictus cordis

pada ICS ke V midclaviculaline sinistra, denyut karotis kuat terdapat edema pada

ekstremitas dextra, pitting oedema derajat I kedalaman 1-3mm dengan waktu

kembali 3detik, akral HBM (Hangat, basah , Merah), TD : 160/80 mmHg, N :

108x/mnt, ABI (Ankle Brachial Indeks) 0,08, CRT >2 detik.

4. Persarafan B3 (Brain) Penginderaan

Kesadaran pasien composmentis, GCS 4-5-6 (membuka mata dengan

spontan, orientasi pasien penuh, respon motorik pasien baik), tidak ada kejang.

Refleks fisiologi : bisep +/+, trisep +/+, patella +/+, Refleks patologis : babinski -/-

, kaku kuduk -/-, chaddock -/-, kernik -/, laseque -/-, bruzunki -/-, pada pemeriksaan

Nervus cranial I pasien mampu membedakan antara bau makanan dan obat, Nervus

cranial II pasien dapat melihat lapang pandang secara normal, Nervus cranial III

pasien mampu membuka kelopak mata, Nervus cranial IV pasien mampu

menggerakkan bola mata, Nervus cranial V pasien mampu mengunyah dengan baik,
88

Nervus cranial VI pasien mampu menggerakkan bola mata ke arah lateral, Nervus

cranial VII otot wajah pasien simetris tidak ada masalah, Nervus cranial VIII pasien

dapat mendengar dengan baik, Nervus cranial IX pasien tidak ada kesulitan

menelan, Nervus cranial X pasien dapat menelan dengan baik, Nervus cranial XI

bahu pasien simetris tidak ada. masalah, Nervus cranial XII pasien dapat

membedakan rasa pahit dan manis.

5. B4 (Bladder)

Tidak terpasang kateter, intake SMRS pasien 1700 cc/24 jam, intake MRS

pasien 800 cc/24 jam (air putih), output 500 cc/24 jam, tidak ada distensi kandung

kemih. Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen. Pasien BAK di tempat tidur

menggunakan pispot ± 3 x/24 jam, warna kuning pekat.

6. B5 (Bowel)

Keadaan mulut bersih, membran mukosa kering, tidak ada stomatitis, gusi

merah muda, tidak terdapat edema, lidah merah muda, bersih. faring merah muda,

tidak terdapat lesi ataupun hiperemi, bentuk perut supel, bising usus menurun di

kuadran kiri bawah abdomen, suara abdomen timpani di kuadran kanan atas, hepar

dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri abdomen, diit B1 1900 kall, nafsu makan

menurun (4-5sdm), frekuensi 3x/hari, tidak ada mual dan muntah (-), jenis nasi tim

lunak, tidak terpasang NGT, BAB 1x sehari dengan bantuan keluarga, konsistensi

lembek, BB: 60 kg, TB : 157 cm, IMT : 24,39 (BB lebih).

7. B6 (Muskuloskeletal & Integumen)

Warna kulit sawo matang, pasien mobilisasi di tempat tidur, kemampuan

pergerkan sendi bebas, tapi agak terbatas pada ekstremitas bawah kanan, pasien
5555 5555
mengatakan mudah lelah, skala kekuatan otot 4444 5555, tidak ada fraktur, krepitasi,
89

terdapat luka bebat gangren pedis dextra, pengeluaran pus masih aktif hingga

tampak pada dressing sekunder berwana kekuningan, bau luka derajat 2 dan

merembes ke dressing sekunder, bau luka tercium hingga jarak 30cm, kulit sekitar

luka tampak kering eritema, terdapat banyak slough, ada jaringan nekrotik di digii

2 dan 3 hingga punggung kaki kanan, nadi dorsalis pedis melemah, ABI (Anckle

Brachial Indeks) 0,8, CRT >2dtk, akral hangat basah merah, pitting oedeme derajat

1 dengan kedalam 1-3mm dan waktu kembali 1-3detik, skala nyeri P : pasien

mengatakan nyeri pada luka kaki kanan, Q : cekot-cekot, R : jari tengah hingga

punggung kaki sebelah kanan, S : 5 dari skala (0-10), T : hilang timbul 1-5 menit.

8. Sistem Endokrin

Keluarga mengatakan pasien mempunyai riwayat Diabetes Melintus sejak

±3 tahun yang lalu dan baru sekarang terkena luka yang tidak kunjung sembuh.

Ditemukan tanda – tanda diabetes, yaitu : mudah lapar, lemas, selalu mangantuk,

GDA : 274mg/dl pada tanggal (16-07-2018). Tidak terdapat pembesaran kelenjar

tiroid, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.

9. Sistem Pengindraan

Mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, Lapang

pandang normal, pupil isokor, gerakan bola mata simetris. Telinga simetris,

keadaan bersih, tidak ada serumen, tidak ada benjolan, fungsi pendengaran normal.

Tidak ada septum deviasi, tidak ada polip, mukosa hidung lembab, fungsi

penciuman normal.

10. Sistem Seksual dan Reproduksi

Tidak terdapat terdapat hemoroid maupun lesi pada anus dan genetalia,

tidak ada benjolan, riwayat menstruasi terakhir 20 tahun yang lalu, pasien sudah
90

mengalami menaupose, tidak pernah melakukan pemeriksaan reproduksi (pap

smear/IVA).

3.1.3 Pola Fungsi Kesehatan

1. Pola Aktivitas dan Latihan

a. Kemampuan perawatan diri

Tabel 3.1 Kemampuan perawatan diri pada Ny. S dengan Diabetes Melitus
Gangrene Pedis Dextra pada tanggal 16 Juni 2018.
SMRS MRS
Aktivitas
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Mandi  
Berpakaian/berdandan  
Eliminasi/toileting  
Mobilitas di tempat  
tidur
Berpindah  
Berjalan  
Naik tangga 
Berbelanja 
Memasak 
Pemeliharaan rumah 
0 = Mandiri 2 = Dibantu orang lain 4 = Tergantung
1 = Alat bantu 3 = Dibantu orang lain dan alat
Sebelum masuk rumah sakit :

Pasien dibantu anaknya dalam memenuhi aktifitas sehari-hari seperti mandi,

berpakaian/berdandan, eliminasi/toileting, mobilitas di tempat tidur, berpindah,

berjalan dan naik tangga.

Setelah masuk rumah sakit :

Pasien masih dibantu oleh anak dan saudaranya dalam kemampuan aktivitas

untuk pemenuhan kebutuhan mandi, berpakaian/berdandan, eliminasi/toileting, dan

saat makan.

b. Personal Hygiene

Sebelum masuk rumah sakit :


91

Di rumah pasien mandi 2/hari menggunakan sabun, gosok gigi3/hari saat

mandi pagi dan sore serta saat akan tidur malam, keramas 2/minggu dan potong

kuku 1/minggu. Setelah masuk rumah sakit:

Di RS pasien diseka 2/hari menggunakan air bersih. Selama setelah masuk

rumah sakit belum keramas dan potong kuku. Keadaan rambut beruban bersih tidak

ada kotoran keadaan kuku juga bersih tidak ada kuku yang panjang.

c. Aktivitas sehari- hari

Aktivitas pasien sehari – hari dirumah hanya membereskan rumah sesuai

dengan kemapuan.

d. Rekreasi

Pasien mengisi waktu luang dengan berkumpul dengan keluarganya dan

berjalan – jalan disekitar rumah.

e. Olahraga

Sejak ada luka dikaki kanan pasien tidak pernah melakukan olahraga, karena

kaki apa bila digerakkan terasa sakit.

2. Pola Istirahat dan Tidur

Sebelum MRS kualitas tidur pasien baik, jumlah tidur 8-9 jam perhari, yaitu

pukul 21.00-05.00 dan saat siang pasien tidak pernah tidur siang.

Saat MRS pasien lebih banyak tidur di tempat tidur, jumlah tidur 15-16 jam

per hari, kualitas tidur tidak nyenyak.


92

3. Kognitif Perseptual-Psiko-Spritual

a. Persepsi Pasien Terhadap Sehat Sakitnya

Selama sehat pasien tidak menjaga pola makan yaitu selalu makan tarak,

dan pasien rajin kontrol dan berobat ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit.

b. Konsep Diri

1) Gambaran diri : pasien mengatakan tidak malu dengan adanya luka di

kakinya.

2) Ideal diri : paasien berharap ingin segera sembuh dari sakitnya dan dapat

beraktivitas seperti biasanya.

3) Harga diri : pasien tidak merasa rendah diri dengan keadaan penyakitnya

dan tetap bergaul dengan lingkungannya.

4) Peran : pasien adalah seorang ibu dengan satu orang anak.

5) Identitas diri : pasien adalah seorang perempuan usia 65 tahun dan sudah

menikah.

6) Citra diri : pasien tidak merasa malu dengan penyakitnya.

c. Kemampuan Bahasa

Pasien berkomunikasi menggunakan bahasa indonesia dan jawa dengan

jelas, tidak ada hambatan dalam berkomunikasi.

d. Kemampuan Adaptasi Terhadap Masalah

Pasien mampu beradaptasi dengan baik dan menerima kondisi yang

dialaminya dan menyerahkan semuanya kepetugas pelayanan kesehatan.

e. Pola Nilai – Kepercayaan

Pasien beragama islam, di rumah mengisi kegiatan ibadah dengan sholat dan

berdoa.
93

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang Ny. S dengan Diabetes


Melitus Gangren Pedis Dextra di Ruang 3 Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya.
Tanggal Jenis pemeriksaan Nilai Nilai Normal
13-07-2018 Alb 1,78g/dl (3,40-4,80)
SGPT 19u/L (0-35)
SGOT 79u/L (0-35)
TP 4,95g/dl (6,00-8,00)
Globulin 3,17mg/dl (2,20-3,50)
PT 20,3 (11,9-15)
APT 41,1 (26,4-40)
INR 1,69 (1-2)
15-07-2018 Alb 2,31g/dl (3,40-4,80)
16-07-2018 WBC 11,57 10^3/uL (4,00-10,00)
Neu# 9,07 10^3/uL (2,00-7,00)
Neu% 78,4% (50,0-70,0)
Lym% 13,8% (20,0-40,0)
RBC 3,02 10^6/uL (3,50-5,50)
HGB 8,2g/dl (11,0-16,0)
HCT 2,49% (37,0-54,0)
PLT 38510^13/uL (100-300)
PCT 0,339% (0,108-0,282)
GDA 274mg/dl
17-07-2018 GDA 238 mg/dl
18-07-2018 Gluc 137mg/dl (74-106)
Alb 2,52g/dl (3,40-4,80)
2. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan foto thorax AP (Supine) 07 Juli 2018 kesan : Cor Prominent.

Hasil konsul Mikiobiologi 13 Juli 2018 spesimen pus Aeromonas Hydrophilia

adalah bakteri Gram negatif, patogen opportunistik pada manusia dan hewan seperti
94

ikan air tawar, terdapat isolat bakteri pada spesimen swab pus, kolonisasi bakteri

dipermukaan kulit / belum dapat dipastikan sebagai patogen penyebab infeksi, saran

perawatan cuci luka secara rutin dengan sodium hypoclorit I atau kalium hypiclotit

2, terapi antimikroba dapat dipertimbangkan dengan chloranfenicol atau

Gentanycin.

3. Penatalaksanaan

Tabel 3.3 Terapi Medis Ny. S dengan Diabetes Mellitus Gangren Pedis
Dextra di Ruang 3 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal
16 Juli 2018

Terapi Dosis Lokasi Pemberian Kegunaan


Injeksi 4 x 1,5 gr Intravena Terapi kombinasi untuk
Cinam infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh bakteri
penyebab yang masih
peka : infeksi saluran
pernafasan, infeksi intra
abdominal, infeksi kulit
dan jaringan lunak.
Injeksi 1 x 500 mg Intravena Untuk nyeri akut dan
Levofloxacin kronik, sedang sampai
berat
Paracetamol 1 tab Oral  Digunakan untuk
melegakan sakit kepala,
sengal-sengal dan sakit
ringan, serta demam
Bisoprolol 1 x 10mg Oral Obat penghambat beta
(beta blockers) yang
digunakan untuk
mengobati beberapa
jenis penyakit, seperti
hipertensi atau tekanan
darah tinggi, angina
pektoris, aritmia, dan
gagal jantung
95

3.2 Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data

yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Masalah keperawatan

memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata

(aktual) dan kemungkinan akan terjadi, dimana pemecahannya dapat dilakukan

dalam batas wewenang profesi perawat. Masalah keperawatan pada kasus ini

meliputi nyeri akut, gangguan integritas kulit/jaringan, hambatan mobilitas fisik,

perfusi perifer tidak efektif dan gangguan citra tubuh (SDKI, 2016).

Masalah keperawatan yang pertama adalah nyeri akut berhubungan dengan

agen cidera fisik. SDKI (2016) mendefinisikan nyeri akut adalah pengalaman

sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan

fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga

berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Masalah ini ditegakkan berdasarkan

data yang muncul pada klien meliputi data subjektif yang didaptakan Ny. S

mengatakan luka timbul sejak ± 1 minggu yang lalu, P: Ny.S mengatakan nyeri

pada luka kaki kanan, Q : Cekot-cekot, R : Jari tengah merambat hingga punggung

pergelangan kaki sebelah kanan, S : 5 dari (0-10), T : Hilang timbul 1-5 menit. Data

objektif didapatkan Ny.S tampak lemah, tampak meringis kesakitan saat timbul

cekot-cekot, saraf sensor masih berfungsi, Gluc 274mg/dl (70-115mg/dl),

pengeluaran pus aktif, tampak luka yang dibebat kara di ekstenuitas bawah pedis

dexta, bau luka derajat 2 dan merembes ke dressing sekunder, TD= 160/80mmHg,

N=108×/menit, Suhu=37ºC, RR=20×/menit, spO2=98%.

Masalah keperawatan yang kedua yaitu gangguan integritas kulit/ jaringan

berhubungan dengan nekrosis kerusakan jaringan (luka gangren). SDKI


96

(2016) mendefinisikan gangguan integritas kulit/ jaringan yaitu kerusakan kulit

(dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot,

tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Masalah keperawatan ini

ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan meliputi data subjektif yang

didaptakan Ny.S mengatakan luka timbul sejak ± 1 minggu yang lalu awalnya

hanya timbul dijari tengah kaki kanan hingga merambat sampai punggung kaki.

Data objektif didapatkan tampak luka hebat dipedis dextra, kulit sekitar luka kering,

tampak eritema disekitar luka, kaki dextra tampak oedema, pitting oedema derajat

I kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik, pengeluaran pus masih aktif,

tampak rembesan berwarna kuning hingga kedressing sekunder, bau tercium dari

jarak 30cm derajat 2 merembes ke dressing sekunder, diluka pedis dextra terdapat

jaringan nektrotik di digii 2&3 dan punggung kaki, terdapat banyak jaringan slough

sebesar 6cm, warna dasar luka kuning avaskuler.

Masalah keperawatan yang ketiga yaitu gangguan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan neuromuscular. SDKI (2016) mendefinisikan

gangguan mobilitas fisik suatu keterbatasan dalam gerak fisik dari satu atau lebih

ekstermitas secara mandiri. Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data

yang didapat meliputi data subjektif yang didaptakan Ny.S mengatakan kebutuhan

dan aktifitas dibantu keluarga dan sulit berjalan. Data objektif didapatkan Ny.S

tampak lemah, tampak enggan untuk bergerak, nyeri saat bergerak, kekuatan otot

𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
menurun , pergerakan terbatas, posisi tubuh supine, aktifitas
𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓

eliminasi/toileting dan pemenuhan kebutuhan dibantu oleh keluarga.

Masalah keperawatan yang keempat adalah perfusi perifer tidak efektif

berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau vena. SDKI (2016)


97

mendefinisikan perfusi perifer tidak efektif yaitu penurunan sirkulasi darah pada

level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh. Masalah keperawatan ini

ditegakkan berdasarkan data yang meliputi adanya oedema pada ekstermitas bawah

kanan, akral hangat basah merah (HBM), kulit sekitar luka tampak kering dan

kemerahan (eritema), pitting oedema derajat 1 kedalaman 1-3mm dengan waktu

kembali 3detik, ada jaringan nekrotik di digii 2&3, penyembuhan luka lambat,

turgor kulit menurun, warna dasar luka kuning (avaskuler), nadi dosal pedis lemah,

ABI (Anckle Brachial Indeks) 0,8, CRT >2dtk, GDA=274mg/dl, HB=8,2g/dl,

SpO2=98%.

Masalah keperawatan yang kelima yaitu gangguan citra tubuh berhubungan

dengan perubahan fungsi tubuh (proses penyakit). SDKI (2016) mendefinisikan

gangguan citra tubuh yaitu perubahan persepsi tentang penampilan, struktur dan

fungsi fisik individu. Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data yang

didapat meliputi data subjektif yang didaptakan Ny.S mengatakan lukanya timbul

±1 minggu dengan luka yang cepat menghitam dijari kaki kanan dan tak kunjung

sembuh. Data objektif didapatkan respon nonverbal tampak lemah fungsi/struktur

kaki kanan berubah karena ulkus diabetik, pasien dapat menunjukkan bagian tubuh

yang sakit, berbicara tidak fokus.


3.3 Rencana Keperawatan

Tabel 3.4 Rencana Keperawatan pada Ny.S dengan Diabetes Mellitus Gangren Pedis Dekstra di Ruang 3 Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital setiap 1. Untuk mengetahui keadaan
agen pencedera keperawatan selama 6jam atau setiap pergantian shift umum pasien
fisiologis 3x24jam diharapkan nyeri 2. Kaji nyeri komprehensif yang
berkurang dengan kriteria meliputi lokasi, karakteristik, 2. Untuk menentukan skala
hasil : onset/kejadian, frekuensi, kualitas nyeri dan mempermudah
1. Tanda – tanda vital dalam intensitas atau beratnya nyeri dan dalam berkolaborasi
rentang normal faktor pencetus
Systole100-130mmHg 3. Observasi reaksi non verbal dari
Dyastole 60-80 mmHg ketidanyamanan 3. Mengobservasi tanda-tanda
Suhu 36-375 ℃ 4. Bantu menciptakan lingkungan nyeri
Respirasi 14-20×/mnt yang dapat mempengaruhi nyeri 4. Untuk memberikan
Nadi 60-100×/mnt (seperti kebisingan) kenyamanan pada
spO2 99-100% 5. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen pasien
2. Skala nyeri berkurang nyeri, seperti penggunaan teknik
dari 5 menjadi 3 dari 0- relaksasi (bernapas dalam, 5. Untuk mengalihkan rasa
10 pernapasan perut, bayangkan hal nyeri yang dirasakan
3. Pasien mengungkapkan yang menyenangkan) dan teknik
perasaan nyaman distraksi (terapi musik, terapi
berkurangnya nyeri aktifitas, aplikasi pijatan) sebelum
4. Ekspresi wajah pasien nyeri terjadi atau meningkat
tampak rileks 6. Hasil kolaborasi dengan dokter jika
ada keluhan nyeri untuk pemberian 6. Analgesik dapat memblok
obat analgesic injeksi ketorolac reseptor nyeri
30mg (per IV)

98
2. Gangguan Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi luka : lokasi, keadaan 1. Untuk mengetahui
Integritas keperawatan selama luka jaringan nekrotik, tanda-tanda perkembangan luka selama
Kulit/Jaringan 3x24jam diharapkan infeksi lokal, dan pertumbuhan proses perawatan
Berhubungan Integritas Jringan membaik granulosit dan epitelisasi
Dengan Nekrosis dengan kriteria hasil : 2. Lakukan perawatan luka dengan 2. Agar luka tetap bersih dan
Kerusakan 1. Menunjukkan proses teknik aseptik dan mengunakan mengurangi resiko infeksi
Jaringan (Luka penyembuhan luka dressing yang tepat sesuai luka,
Gangren) 2. Luka nampak muncul lakukan debridement juka perlu
jaringan granulasi dan 3. Lakukan pemeriksaan gula darah 3. Pemeriksaan gula darah untuk
epitel 4. Ajarkan keluarga untuk mengontrol
3. Bau berkurang menaburkan bubuk kopi disekitar 4. Bubuk kopi dapat mengurangi
4. Cairan yang keluar (pus, lingkungan pasien bau
darah) berkurang 5. Hasil kolaborasi dengan tim ahli 5. Untuk mengontrol pola
5. Pitting oedema gizi pemberian diet TKTP (tinggi makan
berkurang kalori tinggi protein)
6. Hasil kolaborasi dengan tim 6. Pemeriksaan kultur pus untuk
laboratorium untuk pemeriksaan mengetahui jenis kuman dan
kultur pus antibiotik yang tepat
7. Hasil kolaborasi dengan dokter 7. Untuk mengobati jenis kuman
untuk pemberian obat antibiotic atau bakteri tertentu
Cinam 4x1,5gr
3. Hambatan Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital setiap 1. Untuk mengetahui tanda awal
Mobilitas Fisik keperawatan selama 6jam atau setiap pergantian shift bahaya
Berhubungan 3x24jam diharapkan pasien 2. Observasi kemampuan dalam 2. Untuk menentukan tindakan
Dengan dapat mencapai tingkat mobilisasi ditempat tidur yang sesuai untuk memenuhi
Gangguan kemampuan aktifitas yang 3. Lakukan latihan ROM untuk sendi kebutuhan pasien
Neuromuskular optimal dengan kriteria hasil yang terkena, bila tidak merupakan 3. Tindakan ROM sesuai
: kontra indikasi, minimal satu kali toleransi untuk mencegah
1. Pergerakan bebas dalam satu pergantian jaga kontraktur sendi dan atrofi
otot

99
2. Pasien dapat melakukan 4. Bantu pasien dalam 4. Pengaturan posisi dapat
aktifitas sesuai dengan mempertahankan posisi tubuh menurunkan tekanan
kemampuan secara anatomis dan fisiologis. sehingga dapat mencegah
3. Kebutuhan diri pasien Anjurkan mengatur posisi miring kerusakan kulit
terpenuhi kanan kiri setiap 2jam pada saat
4. Keluarga mampu ditempat tidur
berpartisipasi dalam 5. Ajarkan pasien dan keluarga teknik 5. Guna menyiapkan pasien dan
memenuhi kebutuhan meningkatkan mobilitas ditempat anggota keluarga untuk
diri pasien tidur dan cara pencegahan pemulangan
komplikasi
4. Perfusi Perifer Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji warna, suhu, dan tekstur kulit 1. Penurunan
Tidak Efektif keperawatan selama pasien. Perhatikan catat dan perfusimengakibatkan
Berhubungan 5x24jam diharapkan perfusi laporkan bila muncul kebiruan dan bercak, kulit juga menjadi
Dengan perifer adekuat dengan kehitaman pada kulit dingin dan kulit berubah
Penurunan kriteria hasil : 2. Tinggikan kepala tempat tidur 2. Untuk meningkatkan
Aliran Arteri 1. Warna dan suhu kulit pasien 60°dan ubah tiap 2jam sirkulasi ekstenuitas bawah
Dan/Atau Vena tidak berubah 3. Kaji CRT, nadi dorsal pedis, dan 3. Untuk mengetahui sirkulasi
2. Kaki tetap bersih dan indeks anklebrachial di eksternitas bawah
terbebas dari tekanan 4. Ajarkan penggunaan teknik 4. Untuk meningkatkan
3. Pasien dapat relaksasi (bernapas dalam, vasodilatasi dan membantu
mempraktekkan teknik pernapasan perut, bayangkan hal mencegah vasokontriksi
relaksasi yang menyenangkan) akibat ansietas
4. Pasien mempertahankan 5. Berikan pendidikan kesehatan pada 5. Tindakan
perfusi jaringan dan pasien tentang : tersebutmemungkinkan
oksigenasi sel 1) Perawatan kaki pasien dan anggota keluarga
2) Pentingnya latihan fisik berpartisipasi aktif dalam
(Buerger-Allen) perawatan
3) Perlunya diet rendah
kolesterol dan rendah kalori

100
4) Perlunya menghindari baju
yang sempit, menyilangkan
tungkai
5) Perlunya menghindari
vasokontriksi (dingin, stres,
merokok)
5. Gangguan Citra Setelah dilakukan asuhan 1. Dorong pasien untuk 1. Eksplorasi diri dapat
Tubuh keperawatan selama mengungkapkan perasaan tentang mendorong pasien untuk
Berhubungan 3x24jam diharapkan pasien dirinya (masa lalu dan sekarang) mempertimbangkan
Dengan dapat menerima perubahan 2. Kaji status mental pasien melalui perubahan
Perubahan citra tubuh dengan kriteria wawancara dan observasi minimal 2. Bila ansietas berat dapat
Fungsi Tubuh hasil : sehari sekali mengalami disorientasi atau
(Proses Penyakit) 1. Pasien menerima 3. Libatkan pasien dalam proses gejala psikotik
perubahan citra tubuh pengambilan keputusan tentang 3. Keterlibatan dapat
2. Pasien berpartisipasi perawatan memberikan rasa kontrol
dalam berbagai aspek 4. Berikan umpan balik positif ketika dan meningkatkan haega diri
keperawatan dan dalam pasien menunjukkan peningkatan 4. Untuk membantu pasien
pengambilan keputusan harga diri melalui pernyataan atau merasa mampu melakukan
tentang perawatan perilaku koping secara efektif
3. Pasien menyatakan
perasaan positif terhadap
dirinya sendiri

101
3.4 Tindakan Keperawatan Dan Catatan Perkembangan

Tabel 3.5 Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Diabetes Mellitus Gangren Pedis Dextra di
Ruang 3 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
No. Waktu/ Waktu Catatan Perkembangan
Tindakan TT TT
Dx Tgl/jam Tgl/jam (SOAP)
5 16-07-2018 ₰ 16-07-2018 ₰
- Melakukan komunikasi terapeutik dan kontrak Dx 1 (Nyeri Akut)
09.30 13.00
waktu S = P : Ny.S mengatakan nyeri pada luka
1 10.00
- Melakukan pengkajian pada Ny.S menanyakan kaki kanan

keluhan yang dirasakan Ny.S mengeluh nyeri Q : Cekot-cekot
pada kaki kanan terasa cekot-cekot R : Jari tengah merambat hingga
10.10
- Mengkaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, punggung pergelangan kaki sebelah

karakteristik, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri kanan
1
P : Ny.S mengatakan nyeri pada luka kaki kanan S : 5 dari (0-10)
Q : Cekot-cekot T : Hilang timbul 1-5 menit
R : Jari tengah merambat hingga punggung O =Ny.S tampak lemah, tampak meringis
pergelangan kaki sebelah kanan kesakitan saat timbul cekot-cekot, Saraf
S : 5 dari (0-10) sensor masih berfungsi dengan baik.
T : Hilang timbul 1-5 menit TD=160/80mmHg N=108×/menit
2 10.20 ₰
- Mengobservasi karakteristik luka, kebersihan, Suhu=373 ℃ RR=20×/menit
adanya cairan yang keluar dan bau spO2=98%
3 10.25 ₰
- Mengobservasi kemampuan mobilitas tempat A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
tidur P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,5,6
2 10.30 ₰
- Melakukan pemerikasan gula darah dengan hasil
274mg/dl Dx. 2 (Gangguan Intergritas Kulit /Jaringan)
1,2 11.30 ₰
- Melakukan observasi tanda-tanda vital S = Ny.S mengatakan luka timbul sejak ± 1

TD = 160/80mmHg N=108×/menit minggu yang lalu awalnya hanya timbul
Suhu=373 ℃ RR=20×/menit dijari tengah kaki kanan hingga
spO2=98% merambat sampai punggung kaki.
1 11.40 ₰

102
- Memberikan obat paracetamol 1 tab karena Ny.S O = Tampak luka hebat dipedis dextra, Kulit
2 12.00 mengeluh demam ₰ sekitar luka kering, Tampak eritema
- Hasil kolaborasi dengan ahli gizi pemberian disekitar luka, Kaki dextra tampak
1 12.30 nutrisi diet TKTP ₰ oedema, Pengeluaran pus masih aktif,
- Konsul kepoli cardio hasil kesan HT/PJK, Bau tercium dari jarak 30cm derajat 2
konsumsi obat Bisoprolol 1x10mg merembes ke dressing sekunder
A=Masalah Gangguan Integritas Kulit/
Jaringan teratasi sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,3,4,5,7

Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰


S = Ny.S mengatakan kebutuhan dan
aktifitas dibantu keluarga
O = Ny.S tampak lemah, berhati-hati
saat menggerakan kaki kanan, dapat
melakukan ROM aktif, kekuatan otot
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
menurun 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓
TD=160/80mmHg N=108×/menit
Suhu=373 ℃ RR=20×/menit
spO2=98%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,2,3,4


Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S=-
O = Pitting oedema derajat I kedalaman 1-
3mm. Waktu kembali 3detik, CRT >2

103
detik, GDA=274mg/dl, HB=8,2g/dl,
SpO2=98% , Ekstermitas bawah kanan
oedem, Akral, hangat basah, merah,
Kulit sekitar luka tampak kering dan
kemerahan, Ada jaringan nekrotik di
digii 2&3, Penyembuhan luka lambat,
Turgor kulit menurun, Warna dasar luka
kuning (avaskuler), Nadi dosal pedis
menurun
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,4

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan lukanya timbul ±1
minggu dengan luka yang cepat
menghitam dijari kaki kanan
O = Fungsi/struktur kaki kanan berubah,
Pasien menunjukkan bagian tubuh yang
sakit, Berbicara tidak fokus, Respon
nonverbal tampak lemah
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 1,2,3,4
16-07-2018 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter ₰ 16-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
2 untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g 21.00 S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot
15.10 IV meskipun jarang
- Melakukan observasi tanda-tanda vital ₰ Q : Cekot-cekot
1,3 TD = 160/90mmHg N=85×/menit R : dikaki kanan
16.15 Suhu=37℃ RR=20×/menit S : skala 5 dari (0-10)

104
spO2=99% T : Hilang timbul 1-5 menit
- Membantu memberikan kenyamanan dan ₰ O = Ny.S masih tampak lemah, sudah tidak
1,2 membatasi pengunjung tampak meringis kesakitan, wajah
18.10 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter ₰ tampak rileks, saraf sensor masih
2 untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g, berfungsi, Ny.S dapat mengaplikasikan
18.20 Metronidazole 500mg IV manajemen nyeri teknik relaksasi napas
- Mengajukan Ny.S untuk mobilisasi ditempat ₰ dalam
3 tidur dengan miring kanan kiri setiap 2jam TD = 160/90mmHg N=85×/menit
18.25 - Melakukan dan bantu Ny.S untuk ROM sesuai ₰ Suhu=37℃ RR=20×/menit
3 kemampuan
19.00 - Mengkaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
1 karakteristik, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,5
20.00 P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot meskipun jarang
Q : Cekot-cekot Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
R : dikaki kanan S=-
S : skala 5 dari (0-10) O = Luka bebat dipedis dextra, kulit sekitar
T : Hilang timbul 1-5 menit luka tampak eritema dan kering, terdapat
rembesan pus berwarna kuning hingga
kedressing sekunder, pengeluaran pus
aktif, pitting oedema derajat I kedalaman
1-3mm dalam waktu 1-3 detik, bau
tercium sekitar tempat tidur
A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
Jaringan teratasi sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 4,5,7

Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰


S=-
O = Ny.S tampak lemah, berhati-hati saat
menggerakan kaki kanan, dapat mobilasi

105
ditempat tidur miring kanan kiri,
pergerakan terbatas.
TD = 160/90mmHg N=85×/menit
Suhu=37℃ RR=20×/menit
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif) ₰


S=-
O = Suhu kulit/ akral hangat basah, merah,
CRT >2 detik, warna kulit sekitar luka
tampak kering kemerahan, Nadi dosal
menurun, ABI 0,08 (nadi sistotik bawah
140 : nadi sistotik lengan 160), Pasien
tampak memakai baju longgar dan tidak
menyilangkan kaki, dan memakai
selimut, mampu melakukan latihan fisik
(Bueger-Allen), ekstermitas bawah
dexra masih oedem, Pitting oedema
derajat I kedalaman 1-3mm
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan menerima kondisinya
dengan ikhlas
O = Respon nonverbal tampak lemah, masih
meringis kesakitan, kontak mata baik,

106
kontak verbal baik, Pasien menunjukkan
keinginan sembuh
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 2,3,4
2 16-07-2018 ₰ 17-07-2018 ₰
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter Dx 1 (Nyeri Akut)
21.40 06.00
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot
IV meskipun jarang
1,3 04.00 ₰
- Melakukan observasi tanda-tanda vital Q : Cekot-cekot
TD = 150/100mmHg N=80×/menit R : dikaki kanan bawah
Suhu=37℃ RR=20×/menit S : skala 5 dari (0-10)
spO2=98% T : Hilang timbul 1-5 menit
2 04.30 ₰
- Mengganti cairan infus NS 0,9% 500ml 20tpm O = Ny.S sudah nampak rileks & tenang,
2 04.40 ₰
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter tidak tampak meringis kesakitan, masih
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g tampak lemah, pergerakan terbatas,
IV dapat mengaplikasikan teknik napas
- Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi dalam.
1 04.50 ₰
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, TD = 150/100mmHg N=80×/menit
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri Suhu=37℃ RR=20×/menit
P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot meskipun spO2=98%
jarang A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
Q : Cekot-cekot P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,5
R : dikaki kanan bawah
S : skala 5 dari (0-10) Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/Jaringan)

T : Hilang timbul 1-5 menit S=-
- Menganjurkan Ny.S untuk melaakukan O = Luka bebat kassa dipedis dextra, tampak
3 05.00 ₰
mobilisasi dan latihan ROM sesuai kemampuan rembesan pus berwarna kuning hingga
- Menganjurkan teknik napas dalam, pernapasa ke dressing sekunder, kulit sekitar luka
1 05.50 ₰
perut untuk meningkatkan vasodilatasi tampak eritema dan kering, bau tercium

107
4 05.10 - Melakukan pengkajian perfusi perifer warna, ₰ disekitar tempat tidur ±30cm,
suhu, CRT, nadi dorsal pedis, dan ABI (Indeks pengeluaran pus aktif
brachial Anchle) A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
Jaringan teratasi sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4,7

Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik)
S=-
O = Ny.S sudah tampak tenang, masih
tampak lemah, pergerakan terbatas,
aktifitas sepenuhnya dibantu keluarga,
tampak berhati-hati saat menggerakan
kaki kanan yang sakit, ROM aktif,
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓
TD = 150/100mmHg N=80×/menit
Suhu=37℃ RR=20×/menit
spO2=98%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S=-
O = Warna kulit sekitar luka tampak kering
kemerahan disekitar luka, suhu kulit/
akral hangat merah basah (HMB), CRT
>2 detik, nadi dosal menurun, pitting
oedema derajat I kedalaman 1-3mm
waktu kembali 1-3 detik, pasien mampu
melakukan teknik relaksasi napas dalam

108
dan pernapasan perut, ABI 0,8 (nadi
sistotik bawah 130 : nadi sistotik lengan
145), nadi dorsal pendis dextra lemah
cepat, pergerakan terbatas.
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1, 3,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan siap untuk dioperasi
O = Respon nonverbal tampak lemah,
kontak mata baik, tampak kesakitan
meskipun jarang, kontak verbal baik,
pasien tampak siap untuk dilakukan
operasi, pasien tampak banyak
beristigfar.
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4
5 17-07-2018 - Melakukan komunikasi terapentik ₰ 17-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
2 05.30 - Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptic ₰ 13.00 S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot pada
05.50 - Mengobservasi kondisi luka, kedalaman, adanya luka
2 cairan pus, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi ₰ Q : Cekot-cekot
lokal, dan pertumbuhan granulosit dan epitelisasi R : dikaki kanan bawah
1 06.00 - Mengajarkan prinsip manajemen nyeri sebelum S : skala 5 dari (0-10)
nyeri terjadi atau meningkat dengan teknik ₰ T : Hilang timbul 1-5 menit
relaksasi (bernapas dalam, pernapasan perut) dan O = Ny.S masih tampak lemah, saraf sensor
teknik distraksi masih berfungsi dengan baik dengan
2 06.10 - Melakukan debridement jaringan slough dan ₰ merasa pada kaki kanan, Gluc 238
membersihkan dengan cairan NS 0,9% mg/dl,

109
1 06.15 - Mengobservasi reaksi non-verbal dan ₰ TD = 140/80mmHg N=98×/menit
ketidaknyamanan Suhu = 368 ℃ RR=20×/menit
2 07.00 - Mengajarkan keluarga untuk menaburkan bubuk ₰ spO2=98% ,
kopi disekitar lingkungan pasien Ny.S tampak melakukan manajemen
2 09.00 - Melakukan pemeriksaan GDA 238mg/d ₰ nyeri teknik relaksasi napas dalam
- Melakukan observasi tanda-tanda vital A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
1,3 TD = 140/80mmHg N=98×/menit ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,5,6
3
11.00 Suhu=36 ℃ RR=20×/menit
spO2=98% Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
1,2,4 11.30 - Mengantar Ny.S untuk konsul anastesi pro ₰ S = Ny.S mengatakan ingin segera sembuh
amputasi pedis dextra BK IC (bawah lutut) O = Luka dipedis dextra, tampak luka
amputasi transtibial nekrotik di digii 2&3, Pengeluaran pus
2 12.00 - Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien masih aktif, Bau tercium dari jarak 30cm
tentang : ₰ derajat 2 merembes ke dressing
a. Perawatan kaki sekunder, terdapat banyak slough
b. Pentingnya latihan fisik (Buerger-Allen) dengan diameter 6cm, Luka sepanjang
c. Perlunya diet rendah kolesterol dan rendah 20cm punggung kaki kanan, pendarahan
kalori tidak ada, saraf sensorik dan motorik
d. Perlunya menghindari baju yang sempit, masih berfungsi, post debridement
menyilangkan tungkai A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
e. Perlunya menghindari vasokontriksi (dingin, Jaringan teratasi sebagian
stres, merokok) P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 3,4,5,6,7
5 12.15 - Mengkaji status mental pasien melalui ₰
wawancara dan diservasi Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
S = Ny.S mengatakan masih tergantung
keluarga
O = Ny.S tampak lemah, berhati-hati
saat menggerakan kaki kanan, saraf
sensorik dan motorik masih berfungsi,
dapat melakukan ROM aktif, kekuatan

110
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
otot menurun 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓 , dapat mobilasi
dari TT ke kursi roda, pro amputasi BK
IC +
TD = 140/80mmHg N=98×/menit
Suhu = 368 ℃ RR=20×/menit
spO2=98%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S = Ny.S paham setelah diberi penyuluhan
O = Warna kulit sekitar luka tampak kering
kemerahan, suhu kulit/ akral hangat
basah, merah, CRT >2 detik, Nadi dosal
pedis menurun (lemah), ABI 0,08 (nadi
sistotik bawah : nadi sistotik lengan
/120:140), Pasien tampak
mempraktekkan latihan fisik (Bueger-
Allen), ekstermitas bawah kanan oedem,
Pitting oedema derajat I kedalaman 1-
3mm waktu kembali 3detik
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,4

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)
S = Ny.S mengatakan ingin segera sembuh
O = Respon nonverbal tampak lemah,
kontak mata baik, Pasien menunjukkan

111
keinginan sembuh, berbicara dengan
jelas
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 1,2,3,4
17-07-2018 ₰ 17-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
- Mengambil Ny.S dari konsul anastesi
2 13.00 ₰ 21.00 S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter
meskipun jarang
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g
2,4 15.10 ₰ Q : Cekot-cekot
- Mengukur suhu tubuh Ny.S sebelum tranfusi
R : dikaki kanan
darah S = 365 ℃
15.20 ₰ S : skala 5 dari (0-10)
- Melakukan pemasangan terapi tranfusi darah
2 T : Hilang timbul 1-5 menit
PRC A+
₰ O = Ny.S masih tampak lemah, sudah tidak
- Mengganti tranfusi darah PRC A+ dengan cairan
17.50 tampak meringis kesakitan, wajah
NS 0,9% 20tpm
tampak rileks, saraf sensor masih
- Melakukan observasi tanda-tanda vital
1,2 18.10 ₰ berfungsi, Ny.S dapat mengaplikasikan
TD = 150/90mmHg N=90×/menit
8 manajemen nyeri teknik relaksasi napas
Suhu=36 ℃ RR=20×/menit
dalam
spO2=99%
₰ TD = 150/90mmHg N=98×/menit
- Membantu memberikan kenyamanan dan
1 18.20 Suhu = 368 ℃ RR=20×/menit
membatasi pengunjung
spO2=99%
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter
18.25 ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g,
2 P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,5
Metronidazole 500mg, Nucral
- Mengajukan Ny.S untuk mobilisasi ditempat
3 19.00 ₰ Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
tidur dengan miring kanan kiri setiap 2jam
3 20.00 ₰ S = Ny.S mengatakan kapan dioperasi
- Melakukan dan bantu Ny.S untuk ROM sesuai
O = Luka bebat dipedis dextra, kulit sekitar
kemampuan
1 20.30 ₰ luka tampak eritema dan kering, terdapat
- Mengkaji karakteristik nyeri meliputi lokasi,
rembesan pus berwarna kuning hingga
karakteristik, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri
kedressing sekunder, pengeluaran pus

112
- Memantau hasil kultur pus/hasil konsul aktif, pitting oedema derajat I kedalaman
2 20.40 mikrologi, hasil terdapat isolat pada spesimen ₰ 1-3mm dalam waktu 1-3 detik, bau
sweb pus, kolonisasi bakteri dipermukaan kulit / tercium sekitar tempat tidur, hasil kultur
belum dapat dipastikan sebagai patogen pus terapi Chloramfenicol atau
penyebab infeksi, saran perawatan cuci luka Gentamycin.
secara rutin dengan sodium hypoclorit I atau A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
kalium hypoclotit 2, terapi antimikroba dapat Jaringan teratasi sebagian
dipertimbangkan dengan chloranfenicol atau P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 4,5,7
Gentanycin
Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik)
S=- ₰
O = Ny.S tampak lemah, berhati-hati
saat menggerakan kaki kanan, dapat
mobilasi ditempat tidur miring kanan
kiri, pergerakan terbatas.
TD = 150/90mmHg N=98×/menit
8
Suhu = 36 ℃ RR=20×/menit
spO2=99%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)


S=- ₰
O = Suhu kulit/ akral hangat basah, merah,
CRT >2 detik, warna kulit sekitar luka
tampak kering kemerahan, Nadi dosal
menurun, ABI 0,08 (nadi sistotik bawah
140 : nadi sistotik lengan 150), Pasien
tampak memakai baju longgar dan tidak

113
menyilangkan kaki, dan memakai
selimut, mampu melakukan latihan fisik
(Bueger-Allen), ekstermitas bawah
dexra masih oedem, Pitting oedema
derajat I kedalaman 1-3mm
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)


S = Ny.S mengatakan kapan dioperasi ₰
O = Respon nonverbal tampak lemah, masih
meringis kesakitan, kontak mata baik,
kontak verbal baik, Pasien menunjukkan
keinginan sembuh
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 2,3,4
2 17-07-2018 ₰ 18-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
- Mengganti cairan infus NS 0,9% 500ml 20tpm
21.40 ₰ 06.00 S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter
1,2 04.00 meskipun jarang
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g,
Q : Cekot-cekot
Metronidazole 500mg IV, Nucral 3x1,
R : dikaki kanan bawah
Levofloxacim 350
2 04.30 S : skala 5 dari (0-10)
- Melakukan observasi tanda-tanda vital
₰ T : Hilang timbul 1-3 menit
TD = 145/90mmHg N=87×/menit
1 O = Ny.S sudah nampak rileks & tenang,
Suhu=36 ℃ RR=20×/menit
tidak tampak meringis kesakitan, masih
spO2=99%
2 04.40 tampak lemah, pergerakan terbatas, dapat
- Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan
₰ mengaplikasikan teknik napas dalam.
darah lengkap dan albumin diartery brakhialis
TD = 145/90mmHg N=87×/menit

114
1 04.50 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter ₰ Suhu=361 ℃ RR=20×/menit
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g spO2=99%
3 05.00 - Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,5
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
1 06.00 - Menganjurkan Ny.S untuk melaakukan ₰ Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/Jaringan) ₰
mobilisasi dan latihan ROM sesuai kemampuan S=-
2 06.05 - Menganjurkan teknik napas dalam, pernapasa ₰ O = Luka bebat kassa dipedis dextra, tampak
perut untuk meningkatkan vasodilatasi rembesan pus berwarna kuning hingga
2 06.30 - Melakukan perawatan luka secara aseptic ₰ ke dressing sekunder, kulit sekitar luka
- Mengobservasi kondisi luka basah mengeluarkan tampak eritema dan kering, bau tercium
cairan kekuningan hingga ke dressing sekunder, disekitar tempat tidur ±30cm,
2 banyak jaringan slough dengan diameter 6cm, ₰ pengeluaran pus aktif
tidak ada jaringan granulosit, dan eritosit, ada TD = 145/90mmHg N=87×/menit
jaringan nekrotik di digii 2 dan 3 hingga Suhu = 361 ℃ RR=20×/menit
2 06.50 punggung kaki spO2=99%
- Melakukan debridement jaringan slough ₰ A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
2 - Mencuci luka dengan NaCl 0,9% dan cairan ₰ Jaringan teratasi sebagian
2 hydrogen Pyroicne P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4,7
07.00 - Menutup luka dengan dressing kassa ₰
4 - Melakukan pengkajian perfusi perifer warna, ₰ Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
suhu, CRT, nadi dorsal pedis, dan ABI (Indeks S=-
brachial Anchle) O = Ny.S sudah tampak tenang, masih
tampak lemah, pergerakan terbatas,
aktifitas sepenuhnya dibantu keluarga,
tampak berhati-hati saat menggerakan
kaki kanan yang sakit, ROM aktif,
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓,
TD = 145/90mmHg N=87×/menit
1
Suhu=36 ℃ RR=20×/menit

115
spO2=99%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif) ₰


S=-
O = Warna kulit sekitar luka tampak kering
kemerahan disekitar luka, suhu kulit/
akral hangat merah basah (HMB), CRT
>2 detik, nadi dosal menurun, pitting
oedema derajat I kedalaman 1-3mm
waktu kembali 1-3 detik, pasien mampu
melakukan teknik relaksasi napas dalam
dan pernapasan perut, ABI 0,8 (nadi
sistotik bawah 130 : nadi sistotik lengan
145), nadi dorsal pendis dextra lemah
cepat, pergerakan terbatas.
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1, 3,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan siap untuk dioperasi
O = Respon nonverbal tampak lemah,
kontak mata baik, tampak kesakitan
meskipun jarang, kontak verbal baik,
pasien tampak siap untuk dilakukan
operasi, pasien tampak banyak
beristigfar.

116
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4

18-07-2018 ₰ 18-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰


- Rencana Ny.S operasi amputasi BK IC
08.00 ₰ 13.30 S = P : Ny.S mengatakan masih timbul nyeri
- Memantau jalannya tranfusi darah PRC golongan
Q : Cekot-cekot
A+ ke2 tetsan lancer
2,3,4 10.00 R : diluka kaki kanan bawah
- Memantau hasil laboratorium pemeriksaan darah
₰ S : skala 7 dari (0-10)
lengkap dan Albumin :
2 10.30 T : Hilang timbul 1-3 menit
Gluc 137 mg/dl Alb = 2,52g/dl
O = Ny.S tampak rileks, kondisi tenang,
RBC= 3,06 10^6/uL HGB = 8,5g/dl
tidak tampak kesakitan, lingkungan
HCT=25,7% WBC=9,87 10^9/uL
₰ tenang, mampu mengaplikasikan teknik
- Mengganti transfusi darah PRC dengan cairan
1,2,4 10.40 napas dalam perut, pergerakan terbatas,
NaCl 0,9% 20tpm infus berjaalan lancer
Gluc 137 mg/dl.
- Melakukan observasi tanda-tanda vital
₰ TD = 100/60mmHg N=88×/menit
TD = 100/60mmHg N=88×/menit
2 11.00 Suhu = 37℃ RR=20×/menit
Suhu=37℃ RR=20×/menit
A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
spO2=98%
1,2 11.30 ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,5,6
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g
₰ Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan)
IV
1 11.40 S = Ny.S mengatakan siap untuk diamputasi ₰
- Mengobservasi reaksi non verbal dari
O = Luka dipedis dextra yang dibebat kassa,
ketidaknyamaan
1 11.50 ₰ rembesan pus berwarna kuning tampak
- Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi
berkurang, bau tercium disekitar tempat
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi,
₰ tidur ±15cm, Pitting oedema derajat I
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
2,3,4 12.30 kedalaman 1-3mm, CRT >2 detik, kaki
- Menyiapkan Ny.S operasi amputasi BK diruang
dextra tampak oedem eritema
OK, dengan mengganti baju, melepas perhiasan,
A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
gigi palsu bila ada, membawa 3 cairan NaCl
Jaringan teratasi sebagian

117
0,9%, obat cinam 1,5g , dan Metronidazole ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4,7
12.50 500mg/dl, spit 5cc
1 13.00 - Mengantarkan Ny.S keruang OK ₰ Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
- Mengedukasi pasien untuk manajemen relaksasi S=-
napas dalam pernapasan perut untuk O = Ny.S tampak tenang, masih tampak
meningkatkan vasodilatasi dan mencegah ₰ lemah, posisi supine, aktifitas dibantu
2,3,4 13.10 vasokontriksi akibat ansietas sepenuhnya oleh keluarga, dapat miring
- Menyerah terimakan pasien Ny.S keruang OK, kanan kiri meskipun tampak berhati-hati
mendapatkan terapi selama di OK ketorolac saat menggerakkan kaki, ROM aktif,
30mg, Metoclopramide HCl 5mg/dl, Regivel 𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓,
20mg, Profol 1, Spinocal 26, Spuit 3cc,5cc,10cc
TD = 100/60mmHg N=88×/menit
Suhu = 37℃ RR=20×/menit
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)



S=-
O = Tampak pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm, waktu kembali
3detik, CRT >2 detik, oedem pada
ekstermitas bawah dextra, kulit sekitar
luka masih taampak kering dan eritema,
nadi dorsal menurun, tagar kulit
menurun, gluc : 137mg/dl
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,4

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)

118
S = Ny.S mengatakan siap dan ikhlas untuk
dioperasi
O = Ny.S tampak rileks, tenang, tampak
sering beristighfar, tampak siap
dilakukan operasi, pasien berpartisipasi
dalam perawatan dan pengembalian
keputusan operasi, dilakukan operasi Bk
(bawah lutut)
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4
18-07-2018 - Responsif dengan bu Christin ₰ 18-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
14.00 - Mengambil Ny.S keruang OK dikarenakan Tensi ₰ 21.00 S = P : Ny.S mengatakan masih nyeri dan
1,2 14.10 meningkat 1900/100mmHg dan pasien cemas pusing
14.30 - Hasil konsulan dari dr. Sartono lanjutkan terapi ₰ Q : Terasa cekot-cekot
2 dan observasi keadaan umum R : dikaki kanan bawah dan kepala
14.50 - Membantu memberikan makanan diet B1 ₰ S : skala 9 dari (0-10)
2 1900kal diet TKKP (tinggi kalori tinggi protein) T : Hilang timbul 1-7 menit
dan rendah kolesterol O = Ny.S tampak gelisah, kondisi tidak
5 16.00 - Mengobservasi keadaan umum pasien, ₰ tenang, tampak kesakitan, ekspresi
memberikan waktu untuk mengungkapkan wajah meringik kesakitan, pergerakan
peerasaan saat ini terbatas, keadaan umum lemah
2,4 16.40 - Mengingatkan Ny.S untuk teknik relaksasi napas ₰ TD = 160/90mmHg N=105×/menit
dalam, pernapasan perut, bayangkan hal yang Suhu = 371 ℃ RR=20×/menit
menyenangkan spO2=99%
1,2 17.00 - Mengganti cairan Infus NaCl 0,9% 500ml 20tpm ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
berjalan lancar P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,4
1,3 17.10 - Melakukan observasi tanda-tanda vital ₰
TD = 160/90mmHg N=105×/menit Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan)
1
Suhu=37 ℃ RR=20×/menit S=- ₰

119
spO2=99% O = Luka bebat dipedis dextra, tampak,
4 17.30 - Mengkaji perfusi jaringan perifer dengan ₰ rembesan dikassa sekunder berwarna
mengukur nadi dorsal pedis sinistra dan ABI kuning, bau tercium disekitar tempat
(Ankle-Brachial Indeks-0,7) tidur pasien, kulit diatas luka tampak
2 17.50 - Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk ₰ oedem, kemerahan dan kering, Pitting
pemberian obat Inj.Cinam 1,5g, IV, obat oral oedema derajat I kedalaman 1-3mm
Bisoprolol 10mg waktu kembali 3detik
1 18.30 - Mengobservasi reaksi non verbal dari ₰ A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
ketidaknyamanan Jaringan teratasi sebagian
1 18.40 - Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,3,7
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi,
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik)
P : Ny.S mengatakan masih nyeri dan pusing S = Ny.S mengatakan badan lemas ₰
Q : Terasa cekot-cekot O = Keadaan umum lemah, kesadaran
R : dikaki kanan bawah dan kepala composmentis, posisi head up 60°,
S : skala 9 dari (0-10) pergerakan terbatas, kaki tidak
T : Hilang timbul 1-7 menit disilangkan, kebutuhan dan aktifitas
4 19.00 - Meninggikan tempat tidur Ny.S setinggi 60° dan ₰ dibantu oleh keluarga, turgor kulit
diubah tiap 2jam menurun, saraf sensorik dan motorik
masih berfungsi.
TD = 160/90mmHg N=105×/menit
Suhu = 371 ℃ RR=20×/menit
spO2=99
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,2,3

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)


S=- ₰

120
O = Tampak kulit diatas luka kering dan
eritema, tampak kaki kanan oedem dari
pada kaki kiri, pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm denan waktu kembali
3detik, suhu terasa hangat, akral basah
merah hangat, CRT >2 detik, turgor kulit
menurun, tampak tidak menyilangkan
tungkai, mau melakukan teknik relaksasi
napas dalam, skor ABI 0,7 (sistol bawah
: 125 : sistol lengan 160 = 0,7)
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,3,4,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S sering mengatakan kenapa tidak
jadi dioperasi
O = Keadaan umum tampak lemah,
kesadaran composmentis, GCS 456,
pasien selalu menanyakan tentang
operasinya, kontak mata tidak ada,
komunikasi verbal baik, tampak
meringik kesakitan
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 1,3,4
18-07-2018 ₰ 19-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter
2 21.30 08.00 S = P : Ny.S mengatakan nyeri kakinya
untuk pemberian obat Inf. Metranidazole 500mg
semakin sakit
IV
Q : Cekot-cekot

121
2,4 23.00 - Mengganti cairan Inf.Metranidazole 500 dengan ₰ R : dikaki kanan bawah
cairan NaCl 0,9% 500cc 20tpm berjalan lancar S : skala 9 dari (0-10)
2 23.20 - Melakukan tindakan delegasi dari dokter Inf. ₰ T : Hilang timbul 1-5 menit
Cinam 1,5gr IV O = Kondisi umum conposment, tampak
1,3 23.50 - Mengobservasi tanda-tanda vital ₰ meringik kesakitan, saat muncul cekot-
TD = 150/100mmHg N=105×/menit cekot, tampak gelisah, nafsu makan
Suhu=375 ℃ RR=21×/menit menurun, berfokus pada diri sendiri
spO2=98% TD = 150/100mmHg N=105×/menit
1 04.00 - Menganjurkan Ny.S teknik pernapasan dalam, ₰ Suhu = 375 ℃ RR=21×/menit
pernapasan perut untuk meningkatkan spO2=98%
vasodilatasi A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
2 05.00 - Melakukan perawatan luka secara aseptik ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,4
2 06.00 - Mengobservasi kondisi luka basah hingga ke
dressing sekunder berwarna kuning, kasa Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/Jaringan)
menempel kuat diluka, bau tercium disekitar S=-
tubuh pasien ± 15cm, warna luka kuning O = Tampak luka bebat kassa yang berwarna ₰
avaskuler dan ada kehitaman (nekrotik), jaringan ₰ kuning hiingga ke dressing sekunder,
nekrotik di digii 2 & 3 hingga punggung kaki, kasa menempel kuat hingga ke luka, bau
banyak jaringan slough disisi luar dan dalam kaki, tercium disekitar tubuh pasien ± 15cm,
sebesar 6cm, panjang luka dari pergelangan warna luka kuning afakuler dan
hingga digii ± 22cm, tidak ada jaringan kehitaman (nekrotik), warna tepi luka
granulositdan eritrosit keputihan, ada jaringan nekrotik di digii
1 06.45 - Mengobservasi reaksi non verbal dari ₰ 2&3 hingga punggung kaki kanan,
ketidaknyamanan panjang luka dari pergelangan hingga
2 06.50 - Membilas luka dengan cairn NaCl 0,9% ₰ digii ± 22cm, tiadak ada jaringan
2 07.00 - Melakukan debridement untuk mengambil ₰ granulosit dan eritosit, ada jaringan
jaringan slough dibagian kaki luar dan dalam slough sebesar diameter 6cm kulit
dengan diameter 6cm sekitar luka eritema dan kering, ada
2 07.10 ₰ oedem di kaki kanan

122
- Mencuci luka dengan cairan NaCl 0,9% dan A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
2 Hydrogen Pyroxcine berwarna kuning, kemudian ₰ Jaringan teratasi sebagian
4 07.20 bilas lagi dengan NaCl 0,9% ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,3,7
- Menutup luka dengan dressing kassa ₰
2 07.30 - Mengkaji perfusi jaringan perifer warna kulit, ₰ Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik)
suhu, RCT, ndai dorsal pedis, dan ABI(0,6) S = Ny.S mengatakan badan masih lemas
3 07.40 - Melakukan pemeriksaan gula darah acak O = Keadaan umum lemah, kesadaran
156mg/dl ₰ composmentis, aktifitas dibantu oleh
- Melakukan latihan gerak ROM sesuai keluarga, Ny.S mampu melakukan ROM
kemampuan pasien dan latihan (Buerger-Allen) dan latihan Buerger-Allen, turgor kulit
dengan mengangkat kaki lebih tinggi dari kepala, menurun, saraf sensorik dan motorik
kemudian posisi duduk dengan kaki menggantung 𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
masih baik, kekuatan otot 𝟒𝟒𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓,
2 08.00 digerakkan fleksi ekstensi dan memutar, ₰
TD = 150/100mmHg N=105×/menit
selanjutnya kembali ke posisi berbaring supine
Suhu = 375 ℃ RR=21×/menit
- Membantu memberikan makanan diet B11900kal
spO2=98%
diet TKTP dan rendah kolesterol
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,2,3

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S=-
O = Tampak kulit diatas luka oedem eritema
dan kering, pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm denan waktu kembali
3detik, CRT >2 detik, suhu kulit sekitar
luka hangat, akral, hangat merah, turgor
kulit menurun, tampak tidak
menyilangkan tungkai, posisi head up,
skor ABI 0,6 (sistolik bawah 100 :
sistolik lengan : 150=0,6) diukur dari

123
brechal sinistra, nadi dorsal pedis teraba
cepat
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,3,4,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)
S=-
O = Konsidi umum lemah, kesadaran
komposmentis, kontak mata ⨁, masih
tampak kesakitan, pasien selalu
menanyakan kapan dioperasi karena
pasien ingin segera sembuh
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 1,3,4
19-07-2018 - Mengganti cairan infus dengan cairan NaCl 0,9% 19-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
2,4 08.00 20tpm infus berjaalan lancer ₰ 14.00 S = P : Ny.S mengatakan masih timbul nyeri
- Melakukan observasi tanda-tanda vital Q : Cekot-cekot
1,3 11.30 TD = 130/60mmHg N=76×/menit ₰ R : diluka kaki kanan bawah
Suhu=36℃ RR=20×/menit S : skala 6 dari (0-10)
spO2=99% T : Hilang timbul 1-3 menit
1,2 12.00 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter O = Ny.S tampak rileks, kondisi tenang,
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g ₰ tidak tampak kesakitan, lingkungan
IV tenang, mampu mengaplikasikan teknik
1 12.30 - Mengobservasi reaksi non verbal dari ₰ napas dalam perut, pergerakan terbatas,
ketidaknyamaan TD = 130/60mmHg N=76×/menit
1 12.50 - Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi ₰ Suhu=36℃ RR=20×/menit
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,5,6

124
P : Ny.S mengatakan masih timbul nyeri
Q : Cekot-cekot Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
R : diluka kaki kanan bawah S = Ny.S mengatakan siap untuk diamputasi
S : skala 6 dari (0-10) O = Luka dipedis dextra yang dibebat kassa,
T : Hilang timbul 1-3 menit rembesan pus berwarna kuning tampak
1 13.00 - Mengedukasi pasien untuk manajemen relaksasi ₰ berkurang, bau tercium disekitar tempat
napas dalam pernapasan perut untuk tidur ±15cm, Pitting oedema derajat I
meningkatkan vasodilatasi dan mencegah kedalaman 1-3mm, CRT >2 detik, kaki
vasokontriksi akibat ansietas dextra tampak oedem eritema
3 13.10 - Melatih Ny.S melakukan rentang gerak ROM ₰ A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
aktif sesuai kemapuan Jaringan teratasi sebagian
4 13.15 - Mempertahankan posisi tempat tidur head up 60º ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4,7

Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰


S=-
O = Ny.S tampak tenang, masih tampak
lemah, posisi supine, aktifitas dibantu
sepenuhnya oleh keluarga, dapat miring
kanan kiri meskipun tampak berhati-hati
saat menggerakkan kaki, ROM aktif,
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓,
TD = 130/60mmHg N=76×/menit
Suhu=36℃ RR=20×/menit
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)



S=-

125
O = Tampak pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm, waktu kembali
3detik, CRT >2 detik, oedem pada
ekstermitas bawah dextra, kulit sekitar
luka masih taampak kering dan eritema,
nadi dorsal menurun, tagar kulit
menurun.
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,4

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan siap dan ikhlas untuk
dioperasi
O = Ny.S tampak rileks, tenang, tampak
sering beristighfar, tampak siap
dilakukan operasi, paasien berpartisipasi
dalam perawatan dan pengembalian
keputusan operasi, dilakukan operasi Bk
(bawah lutut)
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4
19-07-2018 - Operan dinas dengan perawat dinas pagi ₰ 19-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
1,2,3 14.00 - Mendaftarkan ulang Ny.S untuk dilakukan ₰ 20.30 S = P : Ny.S mengatakan nyeri berkurang
15.10 operasi BK IC + Q : Terasa cekot-cekot
2 - Membantu memberikan makanan diet B1 R : dikaki kanan bawah dan kepala
15.30 1900kal diet TKKP (tinggi kalori tinggi protein) ₰ S : skala 7 dari (0-10)
dan rendah kolesterol T : Hilang timbul 1-5 menit

126
5 - Mengobservasi keadaan umum pasien, O = Ny.S tampak rileks, kondisi tidak
15.50 memberikan waktu untuk mengungkapkan ₰ tenang, sudah tidak tampak kesakitan,
peerasaan saat ini pergerakan terbatas, keadaan umum
- Mengingatkan Ny.S untuk teknik relaksasi napas lemah
1 16.00 dalam, pernapasan perut, bayangkan hal yang ₰ TD = 140/90mmHg N=85×/menit
1
menyenangkan Suhu=37 ℃ RR=20×/menit
- Mengganti cairan Infus NaCl 0,9% 500ml 20tpm spO2=99%
2,4 16.40 berjalan lancar ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
- Melakukan observasi tanda-tanda vital P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3,4
1,3 17.00 TD = 140/90mmHg N=85×/menit ₰
Suhu=371 ℃ RR=20×/menit Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
spO2=99% S = Ny.S mengatakan kapan segera
- Mengkaji perfusi jaringan perifer dengan dioperasi
4 17.30 mengukur nadi dorsal pedis sinistra dan ABI ₰ O = Luka bebat dipedis dextra, tampak,
(Ankle-Brachial Indeks-0,8) rembesan dikassa sekunder berwarna
- Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk kuning, bau tercium disekitar tempat
2 17.50 pemberian obat Inj.Cinam 1,5g, IV, obat oral ₰ tidur pasien, kulit diatas luka tampak
Bisoprolol 5mg oedem, kemerahan dan kering, Pitting
- Mengobservasi reaksi non verbal dari oedema derajat I kedalaman 1-3mm
1 18.30 ketidaknyamanan ₰ waktu kembali 3detik
- Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, Jaringan teratasi sebagian
1 18.40 kualitas, intensitas atau beratnya nyeri ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,3,7
- Meninggikan tempat tidur Ny.S setinggi 60° dan
diubah tiap 2jam Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
4 18.50 - Mengkaji kondisi balutan luka pedis dextra ₰ S = Ny.S mengatakan lebaih baik dari
sebelumnya
4 19.00 ₰ O = Keadaan umum baik, kesadaran
composmentis, posisi head up 60°
,pergerakan terbatas, kaki tidak

127
disilangkan, kebutuhan dan aktifitas
dibantu oleh keluarga, turgor kulit
menurun, saraf sensorik dan motorik
masih berfungsi.
TD = 140/90mmHg N=85×/menit
1
Suhu=37 ℃ RR=20×/menit
spO2=99%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,2,3

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)


S=- ₰
O = Tampak kulit diatas luka kering dan
eritema, tampak kaki kanan oedem dari
pada kaki kiri, pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm denan waktu kembali
3detik, suhu terasa hangat, akral basah
merah hangat, CRT >2 detik, turgor kulit
menurun, tampak tidak menyilangkan
tungkai, mau melakukan teknik relaksasi
napas dalam, skor ABI 0,8
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,3,4,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)


S = Ny.S mengatakan kapan segera ₰
dioperasi

128
O = Keadaan umum tampak baik, kesadaran
composmentis, GCS 456, pasien selalu
menanyakan tentang operasinya, kontak
mata tidak ada, komunikasi verbal baik,
tampak meringik kesakitan
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 1,3,4
19-07-2018 - Operan dengan perawat dinas siang ₰ 20-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
21.00 - Mengganti cairan infus NS 0,9% 500ml 20tpm ₰ 06.00 S = P : Ny.S masih nyeri cekot-cekot
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter meskipun jarang
2 04.00 untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g, ₰ Q : Cekot-cekot
Metronidazole 500mg, Bisoprolol 1x1 R : dikaki kanan bawah
- Melakukan observasi tanda-tanda vital S : skala 7 dari (0-10)
1,2 04.30 TD = 140/80mmHg N=93×/menit ₰ T : Hilang timbul 1-3 menit
5
Suhu=36 ℃ RR=20×/menit O = Ny.S sudah nampak rileks & tenang,
spO2=99% tidak tampak meringis kesakitan, masih
- Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter tampak lemah, pergerakan terbatas,
2 04.40 untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g ₰ dapat mengaplikasikan teknik napas
- Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi dalam.
1 04.50 lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, ₰ TD = 140/80mmHg N=93×/menit
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri Suhu=365 ℃ RR=20×/menit
- Menganjurkan Ny.S untuk melaakukan spO2=99%
3 06.30 mobilisasi dan latihan ROM sesuai kemampuan ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
- Menganjurkan teknik napas dalam, pernapasa P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3
1 06.50 perut untuk meningkatkan vasodilatasi ₰
- Mengontrak waktu kepada Ny.S untuk dilakukan
2 07.00 perawatan luka gangren pedis dextra ₰
- Melakukan ujian skill perawatan luka dengan Bu Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/Jaringan) ₰
2 07.10 Agustina dengan teknik aseptic ₰ S=-

129
- Mengobservasi kondisi luka basah mengeluarkan O = Luka bebat kassa dipedis dextra, tampak
2 07.30 cairan kekuningan hingga ke dressing sekunder, ₰ rembesan pus berwarna kuning hingga
banyak jaringan slough dengan diameter 6cm, ke dressing sekunder, kulit sekitar luka
tidak ada jaringan granulosit, dan eritosit, ada tampak eritema dan kering, bau tercium
jaringan nekrotik di digii 2 dan 3 hingga disekitar tempat tidur ±10cm,
punggung kaki pengeluaran pus berkurang, sudah
- Melakukan debridement jaringan slough hingga nampak jaringan granulosit.
2 07.40 terlihat jaringan granulosit ₰ A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
- Mencuci luka dengan NaCl 0,9% dan cairan Jaringan teratasi sebagian
2 hydrogen Pyroicne ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4
- Menutup luka dengan dressing kassa
2 07.50 - Melakukan pengkajian perfusi perifer warna, Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
4 08.00 suhu, CRT, nadi dorsal pedis, dan ABI (Indeks ₰ S = Ny.S mengtakan sudah lebih baik dapat
brachial Anchle) bergerak bebas
O = Ny.S sudah tampak tenang, masih
tampak lemah, pergerakan terbatas,
aktifitas sepenuhnya dibantu keluarga,
tampak berhati-hati saat menggerakan
kaki kanan yang sakit, ROM aktif,
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓,
TD = 140/80mmHg N=93×/menit
5
Suhu=36 ℃ RR=20×/menit
spO2=99%
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S=-
O = Warna kulit sekitar luka tampak kering
kemerahan disekitar luka, suhu kulit/

130
akral hangat merah basah (HMB), CRT
>2 detik, nadi dosal menurun, pitting
oedema derajat I kedalaman 1-3mm
waktu kembali 1-3 detik, pasien mampu
melakukan teknik relaksasi napas dalam
dan pernapasan perut, ABI 0,8 dan
pergerakan betas.
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1, 3,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny.S mengatakan siap untuk dioperasi
O = Respon nonverbal tampak baik, kontak
mata baik, tampak kesakitan meskipun
jarang, kontak verbal baik, pasien
tampak siap untuk dilakukan operasi,
pasien tampak tampak tidak lemah
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4
20-07-2018 - Operan dinas dengan perawat pagi ₰ 20-07-2018 ₰
Dx 1 (Nyeri Akut)
2,4 08.00 - Mengganti cairan infus dengan cairan NaCl 0,9% ₰ 14.00
S = P : Ny.S mengatakan masih timbul nyeri
20tpm infus berjaalan lancer
Q : Cekot-cekot
1,2,4 11.30 - Melakukan observasi tanda-tanda vital ₰
R : diluka kaki kanan bawah
TD = 130/60mmHg N=76×/menit
S : skala 6 dari (0-10)
Suhu=36℃ RR=20×/menit
T : Hilang timbul 1-3 menit
spO2=99%
O = Ny.S tampak rileks, kondisi tenang,
1,2 12.00 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter ₰
tidak tampak kesakitan, lingkungan
untuk pemberian obat antibiotik Inj.Cinam 1,5g

131
1 12.30 - Mengobservasi reaksi non verbal dari ₰ tenang, mampu mengaplikasikan teknik
ketidaknyamaan napas dalam perut, pergerakan terbatas,
1 12.50 - Mengkaji nyeri secara komperehensif meliputi TD = 130/60mmHg N=76×/menit
lokasi, karakteristik, onset/kejadian, frekuensi, ₰ Suhu=36℃ RR=20×/menit
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
1 13.00 - Mengedukasi pasien untuk manajemen relaksasi P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,5,6
napas dalam pernapasan perut untuk ₰
meningkatkan vasodilatasi dan mencegah Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/ Jaringan) ₰
vasokontriksi akibat ansietas S = Ny.S mengatakan siap untuk diamputasi
3 13.10 - Melatih Ny.S melakukan rentang gerak ROM O = Luka dipedis dextra yang dibebat kassa,
aktif sesuai kemapuan ₰ rembesan pus berwarna kuning tampak
4 13.20 - Mempertahankan posisi tempat tidur head up 60º berkurang, bau tercium disekitar tempat
₰ tidur ±15cm, Pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm, CRT >2 detik, kaki
dextra tampak oedem eritema
A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
Jaringan teratasi sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,4,7

Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik)
S=-
O = Ny.S tampak tenang, masih tampak
lemah, posisi supine, aktifitas dibantu
sepenuhnya oleh keluarga, dapat miring
kanan kiri meskipun tampak berhati-hati
saat menggerakkan kaki, ROM aktif,
𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
kekuatan otot 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓,
TD = 130/60mmHg N=76×/menit
Suhu=36℃ RR=20×/menit

132
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,3,4,5

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)
S=-
O = Tampak pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm, waktu kembali
3detik, CRT >2 detik, oedem pada
ekstermitas bawah dextra, kulit sekitar
luka masih taampak kering dan eritema,
nadi dorsal menurun, tagar kulit
menurun.
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,2,3,4

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh)
S = Ny.S mengatakan siap dan ikhlas untuk
dioperasi
O = Ny.S tampak rileks, tenang, tampak
sering beristighfar, tampak siap
dilakukan operasi, paasien berpartisipasi
dalam perawatan dan pengembalian
keputusan operasi, dilakukan operasi Bk
(bawah lutut)
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh Teatasi
Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 5 = 3,4

133
20-07-2018 ₰ 21-07-2018 Dx 1 (Nyeri Akut) ₰
2 21.30 - Operan dengan perawat dinas siang ₰ 09.00 S = P : Ny.S mengatakan nyeri kakinya
23.00 - Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter semakin sakit
2,4 23.20 untuk pemberian obat Inf. Metranidazole 500mg ₰ Q : Cekot-cekot
- Mengganti cairan Inf.Metranidazole 500 dengan R : dikaki kanan bawah
2 23.50 cairan NaCl 0,9% 500cc 20tpm berjalan lancar ₰ S : skala 9 dari (0-10)
- Melakukan tindakan delegasi dari dokter Inf. T : Hilang timbul 1-5 menit
1,2 04.00 Cinam 1,5gr ₰ O = Kondisi umum conposment, tampak
- Mengobservasi tanda-tanda vital meringik kesakitan, saat muncul cekot-
TD = 135/80mmHg N=81×/menit cekot, tampak gelisah, nafsu makan
Suhu=36℃ RR=19×/menit menurun, berfokus pada diri sendiri
1 05.00 spO2=99% ₰ TD = 135/80mmHg N=81×/menit
- Menganjurkan Ny.S teknik pernapasan dalam, Suhu=36℃ RR=19×/menit
pernapasan perut untuk meningkatkan spO2=99%
2 06.00 vasodilatasi ₰ A = Masalah nyeri akut teratasi sebagian
2 - Melakukan perawatan luka secara aseptik P = Intervensi dilanjutkan Dx 1 = 1,2,3
- Mengobservasi kondisi luka basah hingga ke ₰
dressing sekunder berwarna kuning, kasa Dx 2 (Gangguan Intergritas Kulit/Jaringan) ₰
menempel kuat diluka, bau tercium disekitar S=-
tubuh pasien ± 15cm, warna luka kuning O = Tampak luka bebat kassa yang berwarna
avaskuler dan ada kehitaman (nekrotik), jaringan kuning hiingga ke dressing sekunder,
nekrotik di digii 2 & 3 hingga punggung kaki, kasa menempel kuat hingga ke luka, bau
banyak jaringan slough disisi luar dan dalam kaki, tercium disekitar tubuh pasien ± 15cm,
sebesar 6cm, panjang luka dari pergelangan warna luka kuning afakuler dan
hingga digii ± 22cm, tidak ada jaringan kehitaman (nekrotik), warna tepi luka
1 06.45 granulositdan eritrosit ₰ keputihan, ada jaringan nekrotik di digii
- Mengobservasi reaksi non verbal dari ₰ 2&3 hingga punggung kaki kanan,
2 ketidaknyamanan panjang luka dari pergelangan hingga
2 06.50 - Membilas luka dengan cairn NaCl 0,9% ₰ digii ± 22cm, tiadak ada jaringan
granulosit dan eritosit, ada jaringan

134
- Melakukan debridement untuk mengambil slough sebesar diameter 6cm kulit
2 07.00 jaringan slough dibagian kaki luar dan dalam ₰ sekitar luka eritema dan kering, ada
dengan diameter 6cm oedem di kaki kanan
- Mencuci luka dengan cairan NaCl 0,9% dan A = Masalah Gangguan Integritas Kulit/
2 07.10 Hydrogen Pyroxcine berwarna kuning, kemudian ₰ Jaringan teratasi sebagian
4 07.20 bilas lagi dengan NaCl 0,9% ₰ P = Intervensi dilanjutkan Dx 2 = 1,2,7
- Menutup luka dengan dressing kassa
2 07.30 - Mengkaji perfusi jaringan perifer warna kulit, ₰ Dx 3 (Gangguan Mobilitas Fisik) ₰
suhu, RCT, ndai dorsal pedis, dan ABI(0,6) S = Ny.S mengatakan badan masih lemas
3 07.50 - Melakukan pemeriksaan gula darah acak ₰ O = Keadaan umum lemah, kesadaran
156mg/dl composmentis, aktifitas dibantu oleh
- Melakukan latihan gerak ROM sesuai keluarga, Ny.S mampu melakukan ROM
kemampuan pasien dan latihan (Buerger-Allen) dan latihan Buerger-Allen, turgor kulit
dengan mengangkat kaki lebih tinggi dari kepala, menurun, saraf sensorik dan motorik
kemudian posisi duduk dengan kaki menggantung 𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
masih baik, kekuatan otot 𝟒𝟒𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓,
2 08.00 digerakkan fleksi ekstensi dan memutar, ₰
TD = 135/80mmHg N=81×/menit
selanjutnya kembali ke posisi berbaring supine
Suhu=36℃ RR=19×/menit
- Membantu memberikan makanan diet B11900kal
spO2=99%
diet TKTP dan rendah kolesterol
A = Masalah Gangguan Mobilitas Fisik
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 3 = 1,2,3

Dx 4 (Perfusi Perifer Tidak Efektif)



S=-
O = Tampak kulit diatas luka oedem eritema
dan kering, pitting oedema derajat I
kedalaman 1-3mm denan waktu kembali
3detik, CRT >2 detik, suhu kulit sekitar
luka hangat, akral, hangat merah, turgor

135
kulit menurun, tampak tidak
menyilangkan tungkai, posisi head up,
skor ABI 0,6 diukur dari brechal sinistra,
nadi dorsal pedis teraba cepat
A = Masalah Perfusi Perifer Tidak Efektif
Teratasi Sebagian
P = Intervensi dilanjutkan Dx 4 = 1,3,4,5

Dx 5 (Gangguan Citra Tubuh) ₰


S = Ny. S mengatakn siap untuk dioperasi
dan ingin segera sembuh
O = Konsidi umum baik, kesadaran
komposmentis, kontak mata ⨁, masih
tampak kesakitan, pasien selalu
menanyakan kapan dioperasi karena
pasien ingin segera sembuh
A = Masalah Gangguan Citra Tubuh
Teratasi
P = Intervensi dilanjutkan Dx5: 1,2

136
BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab 4 akan dilakukan pembahasan mengenai Asuhan Keperawatan

pada pasien Ny. S dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dekstra di ruang III

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya yang dilaksanakan mulai tanggal 16 – 21 Juni

2018. Melalui pendekatan studi kasus untuk membahas teori, fakta serta opini

penulis selama praktek di lapangan. Pembahasan terhadap pelaksanaan asuhan

keperawatan dengan proses pendekatan proses keperawatan dari tahap pengkajian,

rumusan masalah, perencanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi.

4.1 Pengkajian

Penulis melakukan pengkajian pada Ny.S dengan melakukan anamnesa

pada pasien dan keluarga, melakukan pemeriksaan penunjang medis, serta dari

rekam medis pasien. Pembahasan akan dimulai dari :

1. Identitas

Data yang di dapatkan, Ny.S berjenis kelamin perempuan, berusia 65 tahun.

Suyono (2009) mengatakan usia >40 tahun memiliki risiko lebih tinggi

dibandingkan usia dibawah 40. Bertambahnya usia dikaitkan dengan penurunan

fungsi yang terjadi sesuai dengan teori penuaan wear and tear yang menyatakan

bahwa organ tubuh semakin lama digunakan akan mengalami kerusakan. Tidak

terkecuali dengan fungsi organ pangkreas, fungsi endokrin pangreas dalam

menghasilkan insulin akan semakin menurun seiring bertambahnya usia

Pekerjaan Ny.S disebutkan adalah seorang ibu rumah tangga, dimana Ny.S

yang sedikit aktivitas dan jarang berolah raga. Aktivitas memiliki hubungan dengan

137
138

tekanan darah dan distribusi lemak tubuh yang dapat menurunkan risiko kejadian

sindrom metabolik. Selain itu aktivitas fisik yang cukup dapat mengurangi berat

badan mencegah terjadinya obesitas yang menjadi salah satu faktor risiko DM.

Dalam penelitiannya individu yang melakukan aktifitas fisik <3 x sehari memiliki

risiko lebih besar mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang

melakukan latihan fisik secara rutin (Wicaksono, 2011).

Data pengkajian yang ada di hubungkan dengan faktor-faktor resiko pasien

Ny.S mempunyai resiko yang aktual untuk menderita penyakit diabetes melitus

Tipe 2 atau NIDDM dengan onset kejadian terjadi setelah usia lebih dari 30 tahun.

Lebih sering dipengaruhi oleh faktor keturunan dan gaya hidup, kondisi ini bila

tidak di dukung dengan pola hidup sehat dan pola makan yang benar akan beresiko

kekambuhan terjadi.

2. Riwayat sakit dan kesehatan

Keluhan utama yang didapatkan pada tanggal 16-07-2018 jam 09.30 WIB

Ny.S mengatakan masih mengalami cekot-cekot pada kaki sebelah kanan. Nyeri

yang terjadi pada Ny. S dikarenakan adanya agen cidera fisik yaitu ulkus pada kaki

kanan 1/3 distal. Ulkus diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang

melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik, luka yang terjadi karena

adanya kelainan saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila

infeksi tidak diatasi dengan baik hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan

dapat diamputasi (Suryadi, 2004 dalam Wijaya dan Putri, 2013).

Riwayat sakit sekarang didapatkan bahwa terdapat luka gangren pedis

dextra sudah ±1 minggu tidak kunjung sembuh, terdapat jaringan nektrotik di digii

2&3 dan punggung kaki, terdapat banyak jaringan slough sebesar 6cm. Komplikasi
139

pada DM dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan kronis. Salah satu

komplikasi kronis serta efek dari hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein

yang melibatkan fungsi saraf yaitu ulkus diabetikum (Maghfuri, 2016).

Riwayat sakit dahulu, berdasarkan pengkajian keluarga mengatakan pasien

mempunyai riwayat Diabetes Melintus sejak ±3 tahun yang lalu dan baru sekarang

terkena luka yang tidak kunjung sembuh. Penelitian Adji (2011) mengatakan bahwa

67% penderita DM tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM. Penelitian lain

mengatakan pola makan memiliki hubungan yang erat dengan kejadian DM

(Sumangkut, Supit, dan Onibala, 2013). Hal ini dikarenakan kejadian tingginya

kadar glukosa dalam darah tidak hanya disebabkan oleh abnormalitas genetik yang

berkaitan dengan sistem regulasi metabolisme glukosa (abnormalitas gen

glukokinase, gen mitokondrial, dan gen reseptor insulin) tetapi juga disebabkan

karena peningkatan beban kerja pangkreas, stres fisik (infeksi pangkreas) maupun

stres psikologis (kaitannya dengan kortisol) pada pangkreas.

Pasien mengalami riwayat penyakit diabetes mellitus sejak lama, kondisi ini

yang memicu terjadinya komplikasi ulkus diabetikum, dan didukung oleh pasien

yang jarang mengobati penyakitnya dan membiarkan adanya luka kecil

menyebabkan terjadinya luka gangren. Gangrene dapat beresiko untuk dilakukan

amputasi bila terdapat jaringan nekrosis, infeksi, dan perubahan bentuk kaki.

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan beberapa masalah yang bisa di pergunakan

sebagai data dalam menegakkan diagnosa keperawatan yang aktual maupun masih

resiko. Adapun pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan persistem seperti tersebut

dibawah ini :
140

a. B1 (sistem penapasan)

Pengkajian pertama kali tidak di temukan adanya peningkatan frekuensi

pernapasa , bentuk dada normo chest, pergerakan dada simetris, napas spontan,

tidak menggunakan alat bantu napas, tidak ada otot bantu napas, fokal fremitus

teraba kanan dan kiri, suara napas vesikuler, irama pola napas (reguler), tidak ada

sesak, tidak ada ronki (-/-),tidak ada wheezing (-/-), tidak ada retraksi dinding dada

dan penggunaan otot bantu pernafasan maupun sianosis dan clubbing finger, RR :

20 Pada penderita Diabetes Mellitus terjadi pemecahan lemak yang memproduksi

badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton

merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila

jumlahnya berlebihan (asidosis metabolik) (Wijaya, 2013). Keadaan Ny. S tidak

dalam kondisi komplikasi metabolik akut (ketoasidosis metabolik) sehingga penulis

menyimpulkan tidak ada masalah keperawatan pada sistem respirasi.

b. B2 (sistem kardiovaskuler)

Sistem kardiovaskuler pada Ny.S didapatkan bentuk dada simetris, denyut

apex teraba, tidak ditemukan getaran/thrill, hasil perkusi pada jantung pekak, bunyi

jantung S1S2 tunggal, tidak ada bunyi jantung tambahan, tidak terdapat gallop,

murmur, tidak ada nyeri dada, ictus cordis pada ICS ke V midclaviculaline sinistra,

denyut karotis kuat terdapat edema pada ekstremitas dextra, pitting oedema derajat

I kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik, akral HBM (Hangat, basah ,

Merah), TD : 160/80 mmHg, N : 108x/mnt, ABI (Ankle Brachial Indeks) 0,08, CRT

>2 detik. Komplikasi makrovaskuler yang sering terjadi pada penderita DM tipe 1

maupun DM tipe 2 adalah penyakit arteri koroner yang menyebabkan penyakit

jantung coroner dan penyakit vaskuler perifer. Proses terjadinya penyakit jantung
141

koroner pada penderita DM disebabkan oleh kontrol gula darah yang buruk dalam

waktu yang lama yang disertai dengan hipertensi, resistensi insulin,

hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipidemia, gangguan sistem koagulasi dan

hiperhomosisteinemia. Penyakit vaskuler perifer ini disebabkan karena pasien

cenderung mengalami perubahan aterosklerotik dalarn pembuluh darah besar pada

ekstremitas bawah. Pasien dengan gangguan pada vaskuler perifer akan mengalami

berkurangnya denyut nadi perifer dan kalu dikasio intermiten (nyeri pada pantat

atau betis ketika berjalan). Penyakit oklusif arteri yang parah pada ektremitas bawah

merupakan penyebab utama terjadinya ganggren yang dapat berakibat amputasi

pada pasien DM. (Emawati, 2013).

Penulis berpendapat, beberapa keluhan pada sistem kardiovaskuler secara

aktual terjadi pada Ny. S dimana pada pasien saat dilakukan pemeriksaan tanda-

tanda vital didapatkan tekanan darah yang meningkat 160/80 mmHg dengan

riwayat hipertensi yang disangkal dan ada gangren dipedis dextra. Hal tersebut

menunjukan adanya gangguan vaskularisasi, karena vaskularisasi yang baik dapat

menghantarkan oksigen dan nutrisi ke bagian perifer. Pembuluh darah arteri yang

terhambat akibat aterosklerosik dapat menurunkan asupan nutrisi dan oksigen ke

sel sehingga menyebabkan luka sukar sembuh sehingga luka cenderung nekrosis.

c. B3 ( sistem persarafan)

Sistem persarafan Ny.S didapatkan kesadaran pasien composmentis, GCS

4-5-6 (membuka mata dengan spontan, orientasi pasien penuh, respon motorik

pasien baik), tidak ada kejang. Refleks fisiologi : bisep +/+, trisep +/+, patella +/+,

Refleks patologis : babinski -/-, kaku kuduk -/-, chaddock -/-, kernik -/, laseque -/-,

bruzunki -/-, pada pemeriksaan Nervus cranial I sampai XII tidak ada masalah.
142

Neuropati perifer, nyeri, rabaan atau sensasri sensorik berkurang, reflek tendon

berkurang, neuropati autonom, respon pupil menurun. Penurunan ketajaman

penglihatan secara mendadak atau perlahan lahan, yang boleh dicurigai sebagai

penjelmaan retinopati atau katarak (Arisman, 2010). Nyeri yang dialami pasien

disebabkan karena agen cedera biologis yaitu adanya kerusakan integritas jaringan

pada pedis dextra. Komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes juga

melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati), kondisi komplikasi

mikroangiopati seperti retinopati belum secara nyata/ aktual terjadi pada Ny. S

karena pasien tidak ada keluhan penurunan gangguan penglihatan.

d. B4 (sistem perkemihan)

Sistem perkemihan pada Ny.S tidak didapatkan masalah yaitu pasien tidak

terpasang kateter, intake SMRS pasien 1700 cc/24 jam, intake MRS pasien 800

cc/24 jam (air putih), output 500 cc/24 jam, tidak ada distensi kandung kemih. Tidak

terdapat nyeri tekan pada abdomen. Pasien BAK di tempat tidur menggunakan

pispot ± 3 x/24 jam, warna kuning pekat. Menurut Waspadji dalam Soegondo

(2009) keluhan yang sering terjadi pada klien DM adalah Poliuria (banyak kencing).

Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui

daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis. Sifat glukosa

adalah menghambat reabsorbsi air oleh tubulus ginjal mengakibatkan air banyak

keluar bersama glukosa dalam bentuk air kemih. Buang air kecil yang banyak dan

sering ini akan berpengaruh terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Penulis

berpendapat bahwa tidak ada permasalahan disistem perkemihan, pasien mampu

BAK spontan tanpa ada keluhan nyeri maupun retensi urine, sehingga tidak perlu

dilakukan tindakan intervensi pada sistem perkemihan.


143

e. B5 (sistem pencernaan)

Sistem pencernaan pada Ny.S didapatkan keadaan mulut bersih, membran

mukosa kering, tidak ada stomatitis, gusi merah muda, tidak terdapat edema, lidah

merah muda, bersih. faring merah muda, tidak terdapat lesi ataupun hiperemi,

bentuk perut supel, bising usus menurun di kuadran kiri bawah abdomen, suara

abdomen timpani di kuadran kanan atas, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat

nyeri abdomen, diit B1 1900 kall, nafsu makan menurun (4-5sdm), frekuensi

3x/hari, tidak ada mual dan muntah (-), jenis nasi tim lunak, tidak terpasang NGT,

BAB 1x sehari dengan bantuan keluarga, konsistensi lembek, BB: 60 kg, TB : 157

cm, IMT : 24,39 (BB lebih). Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan

akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan (Sugondo, 2009). Obesitas

mengakibatkan sel-sel beta pangkreas mengalami hipertropi yang akan

berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pangkreas

disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas

untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak. Berdasarkan teori dan kasus

penulis menyimpulkan pada sistem pencernaan secara aktual terjadi pada Ny.S

dimana pasien mengalami berat badan berlebih yang didasari dari penghitungan

IMT (Indeks Massa Tubuh) 24,39.

f. B6 (sistem muskuloskeletal & integumen)

Sistem muskuloskeletal pada Ny.S didapatkan warna kulit sawo matang,

pasien mobilisasi di tempat tidur, kemampuan pergerkan sendi bebas, tapi agak

terbatas pada ekstremitas bawah kanan, pasien mengatakan mudah lelah, skala
5555 5555
kekuatan otot , tidak ada fraktur, krepitasi, terdapat luka bebat gangren
4444 5555

pedis dextra, pengeluaran pus masih aktif hingga tampak pada dressing sekunder
144

berwana kekuningan, bau luka derajat 2 dan merembes ke dressing sekunder, bau

luka tercium hingga jarak 30cm, kulit sekitar luka tampak kering eritema, terdapat

banyak slough, ada jaringan nekrotik di digii 2 dan 3 hingga punggung kaki kanan,

nadi dorsalis pedis melemah, ABI (Anckle Brachial Indeks) 0,8, CRT >2dtk, akral

hangat basah merah, pitting oedeme derajat 1 dengan kedalam 1-3mm dan waktu

kembali 1-3detik, skala nyeri P : pasien mengatakan nyeri pada luka kaki kanan,

Q: cekot-cekot, R : jari tengah hingga punggung kaki sebelah kanan, S : 5 dari skala

(0-10), T : hilang timbul 1-5 menit. Manifestasi klinik Diabetes Mellitus menurut

Waspadji dalam Soegondo (2009) keluhan yang sering adalah lemas, lekas lelah

dan kurang tenaga. Hal ini disebabkan karena glukosa darah tidak dapat masuk ke

dalam sel sehingga sel mengalami kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan

energi. Mekanisme yang terjadi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya

maka sumber energi akan diambil dari cadangan lain yaitu lemak dan protein

(glukoneogenesis) sehingga klien mengalami kehilangan cadangan lemak dan

protein. Akibat produksi energi yang berkurang dapat menyebabkan klien

mengalami keluhan lekas lelah dan kurang bertenaga. Faktor risiko terjadi ulkus

diabetikum pada penderita penyakit DM menurut Roza (2015) adalah neuropati

menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom. Gangguan motorik

menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanika kaki dan

distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan kejadian ulkus

meningkat. Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan

sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada

pasien penyakit DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom menyebabkan

bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit kaki menjadi
145

kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang

mudah retak meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum. Penulis

berpendapat, beberapa keluhan pada sistem muskuloskeletal secara aktual terjadi

pada Ny. S dengan keluhan badan lemas dan nyeri akut pada luka gangren

ekstermitas bawah pedis dextra. Terjadinya ulkus diabetik karena ketidakstabilan

kadar glukosa dalam darah Ny.S yaitu 274mg/dl yang mengahambat sirkulasi

hingga keperifer sehingga mempengaruhi sirkulasi luka yang ditimbulkan luka

tidak juga sembuh. Hasil konsul Mikiobiologi 13 Juli 2018 spesimen pus

Aeromonas Hydrophilia adalah bakteri Gram negatif. Atas pertimbangan tersebut,

dokter memutuskan untuk melakukan amputasi below knee dextra pada Ny. S.

g. Sistem Endokrin

Sistem endokrin pada Ny.S didapatkan keluarga mengatakan pasien

mempunyai riwayat Diabetes Melintus sejak ±3 tahun yang lalu dan baru sekarang

terkena luka yang tidak kunjung sembuh. Ditemukan tanda – tanda diabetes, yaitu

: mudah lapar, lemas, selalu mangantuk, GDA : 274mg/dl pada tanggal (16-07-

2018). Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak terdapat pembesaran

kelenjar getah bening. Diabetes Melitus adalah kumpulan penyakit metabolik yang

ditandai dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kinerja insulin, atau

keduanya. Hiperglikemia terjadi akibat defisiensi insulin (DM tipe I) atau

penurunan responsivitas sel (DM tipe II) terhadap insulin. Efek multisistem yang

disebabkan oleh peningkatan glukosa yaitu manifestasi awal seperti poliuria,

polidipsia, dan polifagia; kemudian komplikasi progresif seperti gangguan

kardiovaskular, muskuloskeletal, dan integumen (LeMone, Karen & Gerene, 2016;

Corwin, 2009; Wungouw & Marunduh, 2014; Billotta, 2014). Pada pasien terjadi
146

beberapa tanda dan gejala khas diabetes, hal ini di dukung juga dengan adanya

kadar gula darah pasien dibatas normal dan adanya luka yang sukar sembuh atau

luka gangren.

h. Sistem Pengindraan

Sistem pengindraan Ny.S didapatkan mata simetris, konjungtiva tidak

anemis, sklera tidak ikterik, Lapang pandang normal, pupil isokor, gerakan bola

mata simetris. Telinga simetris, keadaan bersih, tidak ada serumen, tidak ada

benjolan, fungsi pendengaran normal. Tidak ada septum deviasi, tidak ada polip,

mukosa hidung lembab, fungsi penciuman normal. Menurut Ernawati (2013)

komplikasi mikrovaskuler pada Diabetes Melitus antara lain retinopati diabetik

merupakan kelainan patologis mata yang disebabkan perubahan dalam pembuluh

darah kecil pada retina mata dan perubahan lensa matayang mengalami

pembengkakan ketika kadar gula darah naik. Pengendalian kadar gula darah

membutuhkan waktu sampai 2 bulan hingga pembengkakan lensa mereda dan

pengelihatan menjadi stabil kembali. Penulis berpendapat bahwa tidak ada

permasalahan disistem penginderaan.

4.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang ditemukan pada tinjauan pustaka menurut

SDKI (2016) pada Ny. S dengan diagnosis Diabetes Melitus Gangren Pedis yaitu:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik : luka gangren

Masalah ini ditegakkan berdasarkan data yang muncul pada klien meliputi

data subjektif yang didaptakan Ny. S mengatakan luka timbul sejak ± 1 minggu

yang lalu, P: Ny.S mengatakan nyeri pada luka kaki kanan, Q : Cekot-cekot, R :
147

Jari tengah merambat hingga punggung pergelangan kaki sebelah kanan, S : 5 dari

(0-10), T : Hilang timbul 1-5 menit. Data objektif didapatkan Ny.S tampak lemah,

tampak meringis kesakitan saat timbul cekot-cekot, saraf sensor masih berfungsi,

Gluc 274mg/dl (70-115mg/dl), pengeluaran pus aktif, tampak luka yang dibebat

kara di ekstenuitas bawah pedis dexta, bau luka derajat 2 dan merembes ke dressing

sekunder, TD= 160/80mmHg, N=108×/menit, Suhu=37ºC, RR=20×/menit,

spO2=98%. SDKI (2016) mendefinisikan nyeri akut adalah pengalaman sensorik

atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari 3 bulan. Penulis berpendapat diagnosis ini ditegakkan dari

keluhan utama yang dirasakan pasien dengan sensasi tidak nyaman secara subjektif

yang disebabkan oleh penyakit arteri perifer yaitu penyakit penyumbatan arteri di

ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gangguan neuropati pada

ulkus diabetes menyebabkan kerusakan jaringan saraf motorik, sensorik dan

otonom sehingga fungsinya akan terganggu terjadi iskemia jaringan dan

menimbulkan nyeri.

2. Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan nekrosis kerusakan

jaringan (luka gangren)

Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan

meliputi data subjektif yang didaptakan Ny.S mengatakan luka timbul sejak ± 1

minggu yang lalu awalnya hanya timbul dijari tengah kaki kanan hingga merambat

sampai punggung kaki. Data objektif didapatkan tampak luka hebat dipedis dextra,

kulit sekitar luka kering, tampak eritema disekitar luka, kaki dextra tampak oedema,

pitting oedema derajat I kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik,


148

pengeluaran pus masih aktif, tampak rembesan berwarna kuning hingga kedressing

sekunder, bau tercium dari jarak 30cm derajat 2 merembes ke dressing sekunder,

diluka pedis dextra terdapat jaringan nektrotik di digii 2&3 dan punggung kaki,

terdapat banyak jaringan slough sebesar 6cm, warna dasar luka kuning avaskuler.

SDKI (2016) mendefinisikan gangguan integritas kulit/ jaringan yaitu kerusakan

kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia,

otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Penulis berpendapat

diagnosis ini ditegakkan karena adanya luka ganggren diabetic nekrosis jaringan

perifer bagian pedis dextra akibat penyakit diabetes mellitus. Ulkus diabetes

disebabkan karena gangguan makroangiopati (kerusakan pembuluh darah besar)

berupa terjadinya aterosklerosis, gangguan mikroangiopati (kerusakan pembuluh

darah kecil) pada tungkai bawah yang mengakibatkan aliran darah pada bagian

tersebut berkurang, gangguan neuropati kerusakan jaringan saraf sehingga

fungsinya akan terganggu, dan infeksi proses ulserasi (mengoreng) berupa ulkus

atau pembentukan gangren (pembusukan) sebagai akibat gangguan pembuluh darah

dan saraf.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular

Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data yang didapat meliputi

data subjektif yang didaptakan Ny.S mengatakan kebutuhan dan aktifitas dibantu

keluarga dan sulit berjalan. Data objektif didapatkan Ny.S tampak lemah, tampak

𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
enggan untuk bergerak, nyeri saat bergerak, kekuatan otot menurun ,
𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓

pergerakan terbatas, posisi tubuh supine, aktifitas eliminasi/toileting dan

pemenuhan kebutuhan dibantu oleh keluarga. SDKI (2016) mendefinisikan

gangguan mobilitas fisik suatu keterbatasan dalam gerak fisik dari satu atau lebih
149

ekstermitas secara mandiri. Penulis berpendapat diagnosis ini ditegakkan karena

pasien mengalami kelemahan pada ekstermitas bawah dextra dikarenakan adanya

ulkus diabetes sehingga segala aktivitas dibantu oleh keluarga. Neuropati perifer

pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris

dan autonom. Kerusakan serabut motorik dapat menimbulkan kelemahan otot,

atrofi otot dan deformitas.

4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri

dan/atau vena

Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data yang meliputi adanya

oedema pada ekstermitas bawah kanan, akral hangat basah merah (HBM), kulit

sekitar luka tampak kering dan kemerahan (eritema), pitting oedema derajat 1

kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik, ada jaringan nekrotik di digii

2&3, penyembuhan luka lambat, turgor kulit menurun, warna dasar luka kuning

(avaskuler), nadi dosal pedis lemah, ABI (Anckle Brachial Indeks) 0,8, CRT >2dtk,

GDA=274mg/dl, HB=8,2g/dl, SpO2=98%. SDKI (2016) mendefinisikan perfusi

perifer tidak efektif yaitu penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat

mengganggu metabolisme tubuh. Penulis berpendapat diagnosis ini ditegakkan

karena angiopati dan neuropati diabetik dapat mengakibatkan penurunan perfusi

perifer menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki Ny.S yang terkena

gangren pedis dextra.

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (proses

penyakit).

Masalah keperawatan ini ditegakkan berdasarkan data yang didapat meliputi

data subjektif yang didaptakan Ny.S mengatakan lukanya timbul ±1 minggu dengan
150

luka yang cepat menghitam dijari kaki kanan dan tak kunjung sembuh. Data objektif

didapatkan respon nonverbal tampak lemah fungsi/struktur kaki kanan berubah

karena ulkus diabetik, pasien dapat menunjukkan bagian tubuh yang sakit, berbicara

tidak fokus. SDKI (2016) mendefinisikan gangguan citra tubuh yaitu perubahan

persepsi tentang penampilan, struktur dan fungsi fisik individu. Penulis

berpendapat diagnosis ini ditegakkan karena gangguan neuropati pada ulkus

diabetes menyebabkan kerusakan jaringan saraf motorik, sensorik dan otonom yang

mengakibatkan perubahan fungsi dan struktur tubuh.

4.3 Intervensi Keperawatan

Perencanaan adalah pegembangan strategi desain untuk mencegah,

mengurangi, dan mengatasi mesalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam

diagnosis keperawatan. Desain perencannaan menggambarkan sejauh mana

perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan

efisien (Nikmatur dan saiful, 2012). Pembahasan dari intervensi yang meliputi

tujuan, kriteria hasil dan tindakan yaitu pada diagnose keperawatan :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik : luka gangren.

Tujuan jangka panjang nyeri dapat berkurang, tujuan jangka pendek pasien

tidak mengeluh nyeri dengan perilaku adaptif : tanda-tanda vital dalam batas

normal, systole 100-130 mmHg, dyastole 60-80 mmHg, suhu 36-375 ℃, respirasi

14-20×/mnt, nadi 60-100×/mnt, spO2 99-100%, skala nyeri berkurang dari 5

menjadi 3 dari 0-10, pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri,

ekspresi wajah pasien tampak rileks. Implementasi untuk merubah koping

mekanisme regulator adalah : a) Observasi tanda-tanda vital setiap 6jam atau setiap
151

pergantian shift, b) Kaji nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik,

onset/kejadian, frekuensi, kualitas intensitas atau beratnya nyeri dan faktor

pencetus, c) Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan, d) Bantu

menciptakan lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri (seperti kebisingan), e)

Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri, seperti penggunaan teknik relaksasi

(bernapas dalam, pernapasan perut, bayangkan hal yang menyenangkan) dan teknik

distraksi (terapi musik, terapi aktifitas, aplikasi pijatan) sebelum nyeri terjadi atau

meningkat, f) Hasil kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan nyeri untuk

pemberian obat analgesik.

2. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan nekrosis kerusakan

jaringan (luka gangren).

Tujuan jangka panjang integritas kulit/jaringan tidak terjadi infeksi, tujuan

jangka pendek terjadi penyembuhan luka dengan perilaku adaptif : menunjukkan

proses penyembuhan luka, luka nampak muncul jaringan granulasi dan epitel, bau

berkurang, cairan yang keluar (pus, darah) berkurang, pitting oedema berkurang.

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a) Observasi

luka : lokasi, keadaan luka jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, dan

pertumbuhan granulosit dan epitelisasi, b) Lakukan perawatan luka dengan teknik

aseptik dan mengunakan dressing yang tepat sesuai luka, lakukan debridement juka

perlu, c) Lakukan pemeriksaan gula darah, d) Ajarkan keluarga untuk menaburkan

bubuk kopi disekitar lingkungan pasien, e) Hasil kolaborasi dengan tim ahli gizi

pemberian diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein), f) Hasil kolaborasi dengan tim

laboratorium untuk pemeriksaan kultur pus, h) Hasil kolaborasi dengan dokter

untuk pemberian obat antibiotik injeksi Cinam 4x1,5.


152

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular.

Tujuan jangka panjang pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktifitas

yang optimal, tujuan jangka pendek mobilitas fisik tidak ada hambatan dengan

perilaku adaptif : pergerakan bebas, pasien dapat melakukan aktifitas sesuai dengan

kemampuan, kebutuhan diri pasien terpenuhi, keluarga mampu berpartisipasi dalam

memenuhi kebutuhan diri pasien. Implementasi untuk merubah koping mekanisme

regulator adalah : a) Observasi tanda-tanda vital setiap 6jam atau setiap pergantian

shift, b) Observasi kemampuan dalam mobilisasi ditempat tidur, c) Lakukan latihan

ROM untuk sendi yang terkena, bila tidak merupakan kontra indikasi, minimal satu

kali dalam satu pergantian jaga, d) Bantu pasien dalam mempertahankan posisi

tubuh secara anatomis dan fisiologis. Anjurkan mengatur posisi miring kanan kiri

setiap 2jam pada saat ditempat tidur, e) Ajarkan pasien dan keluarga teknik

meningkatkan mobilitas ditempat tidur dan cara pencegahan komplikasi.

4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri

dan/atau vena.

Tujuan jangka panjang perfusi perifer adekuat, tujuan jangka pendek aliran

darah perifer efektif dengan perilaku adaptif : warna dan suhu kulit tidak berubah,

kaki tetap bersih dan terbebas dari tekanan, pasien dapat mempraktekkan teknik

relaksasi, pasien mempertahankan perfusi jaringan dan oksigenasi sel.

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a) Kaji warna,

suhu, dan tekstur kulit pasien. Perhatikan catat dan laporkan bila muncul kebiruan

dan kehitaman pada kulit, b) Tinggikan kepala tempat tidur pasien 60°dan ubah tiap

2jam, c) Kaji CRT, nadi dorsal pedis, dan indeks anklebrachial, d) Ajarkan
153

penggunaan teknik relaksasi (bernapas dalam, pernapasan perut, bayangkan hal

yang menyenangkan), e) Berikan pendidikan kesehatan pada pasien tentang : 1)

Perawatan kaki, 2) Pentingnya latihan fisik (Buerger-Allen), 3) Perlunya diet

rendah kolesterol dan rendah kalori, 4) Perlunya menghindari baju yang sempit,

menyilangkan tungkai, 5) Perlunya menghindari vasokontriksi (dingin, stres,

merokok).

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (proses

penyakit).

Tujuan jangka panjang pasien dapat menerima perubahan citra tubuh, tujuan

jangka pendek dapat dengan perilaku adaptif : pasien menerima perubahan citra

tubuh, pasien berpartisipasi dalam berbagai aspek keperawatan dan dalam

pengambilan keputusan tentang perawatan, pasien menyatakan perasaan positif

terhadap dirinya sendiri. Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator

adalah : a) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang dirinya (masa

lalu dan sekarang), b) Kaji status mental pasien melalui wawancara dan observasi

minimal sehari sekali, c) Libatkan pasien dalam proses pengambilan keputusan

tentang perawatan, d) Berikan umpan balik positif ketika pasien menunjukkan

peningkatan harga diri melalui pernyataan atau perilaku.

4.4 Pelaksanaan dan Evaluasi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik : luka gangren.

Penatalaksanaan rencana asuhan keperawatan yang telah dibuat

diimplementasikan pada pasien sesuai dengan kondisi pasien, implementasi


154

dilakukan sejak tanggal 16-21 Juli 2018. Implementasi keperawatan pada masalah

nyeri akut dilakukan tindakan sebagai berikut: a) Mengbservasi tanda-tanda vital

setiap 6jam atau setiap pergantian shift jam 04.00 WIB, 12.00 WIB, 17.00 WIB. b)

Mengkaji nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/kejadian,

frekuensi, kualitas intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus, c)

Mengobservasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan, d) Membantu menciptakan

lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri (seperti kebisingan), e) Mengajarkan

prinsip-prinsip manajemen nyeri, seperti penggunaan teknik relaksasi (bernapas

dalam, pernapasan perut, bayangkan hal yang menyenangkan) dan teknik distraksi

(terapi musik, terapi aktifitas, aplikasi pijatan) sebelum nyeri terjadi atau

meningkat, f) Hasil kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan nyeri untuk

pemberian obat analgesic.

Catatan perkembangan didapatkan setelah dilakukan tindakan keperawatan

dengan diagnosis keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

: luka gangren pada hari pertama tanggal 16 Juli 2018 didapatkan data subjektif

Ny.S mengatakan nyeri pada luka kaki kanan, nyeri terasa cekot-cekot, nyeri berada

dijari tengah merambat hingga punggung pergelangan kaki sebelah kanan, skala

nyeri 5 dari (0-10), nyeri hilang timbul dalam waktu 1-5 menit. Data objektif

didapatkan Ny.S tampak lemah, tampak meringis kesakitan saat timbul cekot-cekot,

saraf sensor masih berfungsi dengan baik, hasil observasi didapatkan TD

=160/80mmHg, N=108×/menit, Suhu=373 ℃, RR=20×/menit, spO2=98% dari data

diatas bahwa masalah nyeri akut teratasi sebagian. Evaluasi dilakukan setiap hari,

setelah hari kedua perawatan 18 Juli 2018 didapatkan nyeri semakin bertambah data

subjektif Ny.S mengatakan masih cekot-cekot pada kaki, terasa cekot-cekot, diluka
155

kaki bawah kanan, skala 7 dari (0-10), hilang timbul 1-5 menit dan data objektif

didapatkan kesadaran composmentis, GCS 456, keadaan umum Ny.S masih tampak

lemah, sudah tidak tampak meringis kesakitan, wajah tampak rileks, saraf sensori

masih berfungsi, Ny.S dapat mengaplikasikan manajemen nyeri teknik relaksasi

napas dalam dan pernapasan perut, pergerakan terbatas, TD= 100/60mmHg, N=

88×/menit, Suhu = 37℃, RR= 20×/menit, spO2= 99%, Gluc= 137mg/dl, Alb

=2,52g/dl selama 3tiga hari perawatan masalah nyeri aku teratasi sebagian.

2. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan nekrosis kerusakan

jaringan (luka gangren)

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a)

Mengobservasi luka : lokasi, keadaan luka jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi

lokal, dan pertumbuhan granulosit dan epitelisasi, b) Melakukan perawatan luka

dengan teknik aseptik dan mengunakan dressing yang tepat sesuai luka, lakukan

debridement juka perlu, c) Melakukan pemeriksaan gula darah, d) Mengajarkan

keluarga untuk menaburkan bubuk kopi disekitar lingkungan pasien, e) Hasil

kolaborasi dengan tim ahli gizi pemberian diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein),

f) Hasil kolaborasi dengan tim laboratorium untuk pemeriksaan kultur pus, h) Hasil

kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotik injeksi Cinam 4x1,5.

Catatan perkembangan didapatkan setelah dilakukan tindakan keperawatan

dengan diagnosis keperawatan gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan

dengan nekrosis kerusakan jaringan (luka gangren) pada hari pertama tanggal 16

Juli 2018 didapatkan data subjektif Ny.S mengatakan luka timbul sejak ± 1 minggu

yang lalu awalnya hanya timbul dijari tengah kaki kanan hingga merambat sampai
156

punggung kaki. Data objektif didapatkan tampak luka hebat dipedis dextra, kulit

sekitar luka kering, tampak eritema disekitar luka, kaki dextra tampak oedema,

pengeluaran pus masih aktif, bau tercium dari jarak 30cm derajat 2 merembes ke

dressing sekunder, dari data diatas bahwa masalah gangguan integritas

kulit/jaringan teratasi sebagian. Evaluasi setelah hari keenam perawatan pada

tanggal 21 Juli 2018 didapatkan data subjektif Ny.S mengatakan ingin segera

sembuh. Data objektif didapatkan tampak luka hebat dipedis dextra, kulit sekitar

luka kering, tampak eritema disekitar luka, kaki dextra tampak oedema, pitting

oedema derajat I kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik, pengeluaran pus

masih aktif, tampak rembesan berwarna kuning hingga kedressing sekunder, bau

tercium dari jarak 15cm derajat 2 merembes ke dressing sekunder, diluka pedis

dextra terdapat jaringan nektrotik di digii 2&3 dan punggung kaki, luka sepanjang

±20cm, terdapat banyak jaringan slough sebesar 6cm, warna dasar luka kuning

avaskuler, post debridement tampak jaringan granulasi, pro dilakukkan amputasi

BK IC, tidak ada perdarahan, saraf sensorik dan motorik masih berfungsi, diit B1

1900 kall, terapi antibiotik Metronidazole 3x500, Cinam 4x1,5 Gluc= 137mg/dl

dari data diatas bahwa masalah gangguan integritas kulit/jaringan teratasi sebagian.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a)

Mengbservasi tanda-tanda vital setiap 6jam atau setiap pergantian shift jam 04.00

WIB, 12.00 WIB, 17.00 WIB, b) Mengobservasi kemampuan dalam mobilisasi

ditempat tidur, c) Melakukan latihan ROM untuk sendi yang terkena, bila tidak

merupakan kontra indikasi, minimal satu kali dalam satu pergantian jaga, d)

Memantu pasien dalam mempertahankan posisi tubuh secara anatomis dan


157

fisiologis. Anjurkan mengatur posisi miring kanan kiri setiap 2jam pada saat

ditempat tidur, e) Mengajarkan pasien dan keluarga teknik meningkatkan mobilitas

ditempat tidur dan cara pencegahan komplikasi. Catatan perkembangan didapatkan

setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan diagnosis keperawatan hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular pada hari pertama

tanggal 16 Juli 2018 didapatkan data subjektif Ny.S mengatakan kebutuhan dan

aktifitas dibantu keluarga. Data objektif didapatkan Ny.S tampak lemah, berhati-

hati saat menggerakan kaki kanan, dapat melakukan ROM aktif, kekuatan otot

𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
menurun 𝟒𝟒𝟒𝟒 𝟓𝟓𝟓𝟓 dari data diatas bahwa masalah gangguan mobilitas fisik teratasi

sebagian. Evaluasi dilakukan setiap hari, setelah hari ketiga perawatan 19 Juli 2018

didapatkan data subjektif Ny.S mengatakan lebaih baik dari sebelumnya. data

objektif didapatkan keadaan umum baik, kesadaran composmentis, posisi head up

60° , pergerakan terbatas, kaki tidak disilangkan, kebutuhan dan aktifitas dibantu

oleh keluarga, turgor kulit menurun, saraf sensorik dan motorik masih berfungsi

𝟓𝟓𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓
Ny.S mampu melakukan ROM dan latihan Buerger-Allen, kekuatan otot 𝟒𝟒𝟓𝟓 𝟓𝟓𝟓𝟓,

dari data diatas bahwa masalah gangguan mobilitas fisik teratasi sebagian.

4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri

dan/atau vena

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a)

Mengkaji warna, suhu, dan tekstur kulit pasien. Perhatikan catat dan laporkan bila

muncul kebiruan dan kehitaman pada kulit, b) Meninggikan kepala tempat tidur

pasien 60°dan ubah tiap 2jam, c) Mengkaji CRT, nadi dorsal pedis, dan indeks

anklebrachial, d) Mengajarkan penggunaan teknik relaksasi (bernapas dalam,


158

pernapasan perut, bayangkan hal yang menyenangkan), e) Memerikan pendidikan

kesehatan pada pasien tentang : 1) Perawatan kaki, 2) Pentingnya latihan fisik

(Buerger-Allen), 3) Perlunya diet rendah kolesterol dan rendah kalori, 4) Perlunya

menghindari baju yang sempit, menyilangkan tungkai, 5) Perlunya menghindari

vasokontriksi (dingin, stres, merokok). Catatan perkembangan didapatkan setelah

dilakukan tindakan keperawatan dengan diagnosis keperawatan perfusi perifer

tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau vena pada hari

pertama tanggal 16 Juli 2018 didapatkan data objektif tampak ada pitting oedema

derajat I kedalaman 1-3mm dengan waktu kembali 3detik, CRT >2 detik,

GDA=274mg/dl, HB=8,2g/dl, SpO2=98%, ekstermitas bawah kanan tampak

oedem, akral hangat basah merah, kulit sekitar luka tampak kering dan kemerahan,

tampak ada jaringan nekrotik di digii 2&3, penyembuhan luka lambat, turgor kulit

menurun, warna dasar luka kuning (avaskuler), nadi dosal pedis menurun dari data

diatas bahwa masalah perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan

aliran arteri dan/atau vena teratasi sebagian. Evaluasi dilakukan setiap hari, setelah

hari keenam perawatan 21 Juli 2018 didapatkan data objektif warna kulit sekitar

luka tampak kering kemerahan disekitar luka, suhu kulit/ akral hangat merah basah

(HMB), CRT >2 detik, nadi dosal menurun, pitting oedema derajat I kedalaman 1-

3mm waktu kembali 1-3 detik, pasien mampu melakukan teknik relaksasi napas

dalam dan pernapasan perut, posisi head up 60° , pergerakan terbatas, kaki tidak

disilangkan, Ny.S mampu melakukan latihan Buerger-Allen, ABI 0,8 (nadi sistotik

bawah 130 : nadi sistotik lengan 145), nadi dorsal pendis dextra lemah cepat,

pergerakan terbatas dari data diatas bahwa masalah perfusi perifer tidak efektif

berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau vena teratasi sebagian.


159

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (proses

penyakit).

Implementasi untuk merubah koping mekanisme regulator adalah : a) Membantu

pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang dirinya (masa lalu dan sekarang),

b) Mengkaji status mental pasien melalui wawancara dan observasi minimal sehari

sekali, c) Melibatkan pasien dalam proses pengambilan keputusan tentang

perawatan, d) Memberikan umpan balik positif ketika pasien menunjukkan

peningkatan harga diri melalui pernyataan atau perilaku. Catatan perkembangan

didapatkan setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan diagnosis keperawatan

perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau

vena pada hari pertama tanggal 16 Juli 2018 didapatkan data subjektif Ny.S

mengatakan lukanya timbul ± 1minggu dengan luka yang cepat menghitam dijari

kaki kanan. Data objektif didapatkan fungsi/struktur kaki kanan berubah, pasien

menunjukkan bagian tubuh yang sakit, berbicara tidak fokus, respon nonverbal

tampak lemah dari data diatas bahwa masalah gangguan citra tubuh teratasi

sebagian. Evaluasi dilakukan setiap hari, setelah hari keenam perawatan 21 Juli

2018 didapatkan data subjektif Ny. S mengatakn siap untuk dioperasi dan ingin

segera sembuh. Data objektif didapatkan konsidi umum pasien baik, kesadaran

komposmentis, kontak mata baik, masih tampak kesakitan, pasien selalu

menanyakan kapan dioperasi karena pasien ingin segera sembuh dari data diatas

bahwa masalah gangguan citra tubuh teratasi sebagian


BAB 5

PENUTUP

Setelah penulis melakukan pengamatan dan melaksanakan asuhan

keperawatan secara langsung pada pasien Ny.S dengan diagnosis Diabetes Melitus

Gangren Pedis Destra di Ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, maka penulis

dapat menarik beberapa kesimpulan sekaligus saran yang dapat bermanfaat dalam

meningkatkan mutu asuhan keperawatan pasien dengan diagnosis Diabetes Melitus

Gangren Pedis Dextra.

5.1 Simpulan

Mengacu pada hasil uraian yang telah menguraikan tentang Asuhan

Keperawatan pada pasien dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra maka

penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengkajian didapatkan pasien Ny.S berusia 65 tahun seorang ibu rumah

tangga mengeluh nyeri pada luka kehitaman dan jari tengah kaki kanan yang

melebar hingga kepunggung kaki. Terjadinya gangrene dikaki karena faktor

usia, pola hidup, serta riwayat Diabetes Melitus yang lama tidak

diterkontrol. Pasien mengalami kerusakan jaringan pada kaki dengan

adanya luka dengan warna kulit disekitar luka kemerahan, ada oedema

ektermitas, ada pus, ada jaringan nekrotik dan slough, warna dasar luka

avaskuler, luka bau.

2. Diagnosa keperawatan pada Ny.S dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis

anatara lain nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik : luka gangren,

gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan nekrosis kerusakan

166
167

jaringan (luka gangren), gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

gangguan neuromuscular, perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan

penurunan aliran arteri dan/atau vena, gangguan citra tubuh berhubungan

dengan perubahan fungsi tubuh (proses penyakit).

3. Rencana tindakan keperawatan sudah disesuaikan dengan teori dan kondisi

pasien dengan menetapkan penyusunan rencana keperawatan.

Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Diabetes Melitus

Gangren Pedis Dextra harus melihat kondisi pasien secara keseluruhan dan

target waktu penyelesaiannya juga disesuaikan dengan kemampuan pasien.

4. Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan

selama 6 x 24 jam dengan bekerja sama secara tim dengan perawat ruangan.

Fokus asuhan keperawatan pada pasien dengan Diabetes Melitus Gangren

Pedis Dextra adalah nyeri akut, gangguan integritas kulit/ jaringan,

gangguan mobilitas fisik, perfusi perifer tidak efektif, gangguan citra tubuh.

5. Evaluasi keperawatan tanggal 21 Juni 2018, masalah keperawatan nyeri

akut, gangguan integritas kulit/ jaringan, gangguan mobilitas fisik, perfusi

perifer tidak efektif, gangguan citra tubuh teratasi sebagian sehingga

intervensi tetap dilanjutkan dikarenakan pasien masih membutuhkan

perawatan lebih lanjut.


168

5.2 Saran

Bertolak dari simpulan diatas penulis dapat memberikan saran sebagai

berikut:

1. Bagi Institusi Rumah Sakit

Rumah sakit hendaknya meningkatkan kualitas pelayanan yaitu dengan

memberikan kesempatan perawat untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan baik

formal maupun informal. Mengadakan pelatihan internal yang diikuti oleh perawat

khususnya di Ruang III Rumkital Dr. Ramelan Surabaya misalnya dengan

mengikuti seminar/ pelatihan perawatan luka dengan modern dressing sehingga

dapat meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara holistik, profesional

serta sikap caring bagi pasien.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas

dan profesional untuk menciptakan perawat-perawat yang professional, tanggung

jawab, handal dan ulet.Dan mampu memberikan asuhan keperawatan efektifitas

elevasi ekstremitas bawah secara kooperatif pada pasien diabetes mellitus dengan

terjadinya ulkus diabetik.

3. Bagi Keluarga dan Klien

Keluarga dan klien hendaknya lebih memperhatikan diit, aktivitas fisik,

farmakologi (pengobatan) dan pengetahuan tentang diabetes melitus untuk

menghindari komplikasi yang dapat timbul akibat diabetes melitus, serta

memperhatikan kadar glukosa darah agar mempercepat proses penyembuhan luka.


169

4. Bagi Penulis Selanjutnya

Penulis selanjutnya dapat menggunakan karya ilmiah akhir ini sebagai salah

satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai penerapan perawatan luka dengan konsep moist.


169

DAFTAR PUSTAKA

ADA (American Diabetes Asosiation). (2010). Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care, 33 (1), S11-S61.

. (2013). “Position Statement: Standar Of Medical Care in Diabetes-2013”.


Diabetes Care, 33 (suppl.1): S11. diakses 20 Juli 2018.
http:www.care.diabetesjournals.org.

Arisanty, I. (2014). Konsep Dasar : Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: EGC.

Arisman. (2010). Obesitas, Diabetes Mellitus & Dislipidemia: Konsep, Teori &
Penunjang Aplikatif. Jakarta: EGC.

Billota, K. A. J. (2014). Kapita Selekta dengan Implikasi Keperawatan. Edisi 2.


Jakarta : Kedokteran EGC.

Bundó, M., Urrea, M., Muñoz, L., Llussà, J., Forés, R., & Torán, P. (2013).
[Correlation between toe-brachial index and ankle-brachial index in patients
with diabetes mellitus type 2]. Medicina Clínica, 140(9), 390-394. doi:
10.1016/ j.medcli.2012.03.012.

Doenges, Marilynn E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan, Pendokumentasian, Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Ernawati. (2013). Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Mellitus Terpadu.


Jakarta: Mitra Wacana Media.

Fransisca, Kristiana. .(2012). Awas Pankreas Rusak Penyebab Diabetes. Jakarta;


Cerdas Sehat.

Gitarja, W.S. (2015). Perawatan Luka Certified Wound Care Clinican Associate
Student Handbook CWCCA 2015. Bogor : Wocare Center.

Helmawati, Triana. (2014). Hidup Sehat tanpa diabetes. Jakarta : Notebook pada
Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember”. e-Jurnal Pustaka Kesehatan vol 2. PSIK Jember.
170

International Diabetes Federation (IDF). (2015). IDF Diabetes Atlas 7th Edition
2015. Diakses dari www.idf.org diperoleh tanggal 19 Juli 2018.

Irma P, Arisnty,. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta : EGC.

Kaku, K. (2010) Pathophysiology of type 2 diabetes and its treatment policy. Japan
Medical Association of Journal 53 (1):41-46. 2010

Kariadi, Sri Hartini. (2009). Diabetes? Siapa Takut! Panduan Lengkap Untuk
Diabetisi, Keluarganya dan Profesional Medis. Bandung: Qanita.

Kartika, Ronald. W. .( 2015). Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing,


kalbemed.com, Diunduh tanggal 20 Juli 2017.

Kowalak, Jenifer P, et al. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

LeMone, P., Burke, K.,Bauldoff, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 1. Edisi 5. Jakarta : EGC.

Lipsky, B.A et al. (2012) infectious diseases society of America clinical practice
guideline for the diagnosis and treatment of diabetic foot infections. IDSA
Guideline for diabetic foot infection. CID 2012:54.

Maryuyani, A. (2013). Perawatan Luka Modern (Modern Wound care) Terkini dan
Terlengkap. Jakarta: IN MEDIA.

Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus: Gangren, Infeksi. Mengenal Gejal,


Menanggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Nussbaumerová, B., Rosolová, H., Ferda, J., Sifalda, P., Sípová, I., & Sefrna, F.
(2011). [The ankle brachial index in type 2 diabetes]. Vnitrní Lékarství, 57(3),
299-305.

PAPDI, (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta.

PERKENI. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe


2 diIndonesia 2015. Jakarta: Perkeni.
171

. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe


2 di Indonesia 2011. Jakarta: Perkeni.

Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty. (2006). Pathofisiologi Konsep
Klinis Proses Proses Penyakit, Ed6, Vol 2. Jakarta: EGC.

Ribu, l., & Wahl, a. (2014). How patient diabetes who have foot and leg ulcer
perceive the nursing care they receive. Journal of wound care.

RISKESDAS. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).


Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen RI.

Riyadi dan Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: PT.Graha Ilmu.

Roza,R.L., et al. (2015). Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien
Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan
RSI Ibnu Sina Padang, http://jurnal.fk.unand.ac.id, Diunduh tanggal 20 Juli
2018.

Sari, Yunita. (2015). Perawatan Luka Diabetes Berdasarkan Konsep Manajemen


Luka Modern dan Penelitian Terkini. Yogyakarta: Graha Ilmu.

SDKI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Simatupang, M. (2013). Hubungan Antara Penyakit Arteri Perifer dan Faktor Risiko
Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado.

Singh, S., Pai, D.R., & Yuhhui, C. Diabetic foot ulcer-Diagnosis and management.
Clinical research on foot & ankle 1: 120. Doi:10.4172/2329- 910X.1000120.

Smeltzer,S.C dan B.G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Penerjemah Agung Waluyo dkk.
Jakarta: EGC.

Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. (2009). Penatalaksanaan diabetes melitus
terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
172

Sudoyo, A.W.,dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3, Edisi Kelima.
Jakarta: Interna Publishing.

Sumpio, B. E., Schroeder, S.M., & Blume, P.A. (2005). Etiology and management of
foot ulceration dalam The wound management manual oleh Bok Y lee.
Singapura: The McGraw-Hill Companies.

Suyono, S. (2009). Patofisiologi diabetes melitus, dalam Soegondo, S., Soewondo,


P., & Subekti, I : Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 43-65).
Jakarta : FKUI.

Tarwoto, et al. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.


Jakarta: Trans Info Media.

Taylor, Cynthia M dan Ralph, Sheila Sparks. (2010). Diagnosis Keperawatan dengan
Rencana Asuhan. Jakarta : EGC

Wibowo, Daniel & Paryana, Daniel. (2009). Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Graha
Ilmu Publishing.

Wicaksono , R. P. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DM tipe


2: Studi kasus di poliklinik penyakit dalam Rs Dr Karyadi. Artikel hasil
penelitian Karya Ilmiah. Sarjana kedokteran-Fakultas Ilmu kedokteran
Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/37123/1/Radio_P.W.pdf
di unduh pada tanggal 16 juli 2018.

WHO. (2010). Why Urban Health Matters. Geneva: World Health Organization

Wijaya, A.S. dan Putri, Y.M. (2013). KMB 2 Keperawatan MediKal Bedah
Keperawatan Dewasa Teori Dan Contoh Asuhan Keperawatan. Nuha
Medika. Yogyakarta.

Wungouw, H. & Marunduh, S. (2014). Mudah Mempelajari Patofisiologi. Edisi


Keempat. Tangerang Selatan : Binarupa Aksara.

Yuanita, A. 2013. Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) Terhadap


Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Pada Pasien Rawat Jalan Dengan Diabetes
Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember Program Studi Ilmu
Keperawatan Jember. Skripsi: Jember.
173

Lampiran 1
SPO TRANFUSI DARAH

Tranfusi darah merupakan tindakan yang dilakukan bagi klien yang


PENGERTIAN memerlukan darah dan atau produk darah dengan memasukkan
darah melalui vena dengan menggunakan set tranfusi.
1. Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan,
trauma, atau perdarahan).
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk
TUJUAN mempertahankan kadar hemoglobin pada klien anemia berat.
3. Memberikan komponen selular tertentu sebagai terapi sulih
(misalnya, faktor pembekuan untuk membantu mengontrol
perdarahan pada pasien hemofilia).
1. Persiapan pasien
a. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
c. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
2. Persiapan alat
a. Standar Infus.
b. Set tranfusi.
c. Botol berisi cairan NaCl 0,9 %.
d. Produk darah yang benar sesuai program medis.
e. Pengalas.
f. Torniket.
g. Kapas alkohol.
h. Plester.
i. Gunting.
PROSEDUR j. Kasa steril
k. Betadine
l. Sarung tangan

3. Prosedur pelaksanaan
a. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
b. Cuci tangan
c. Gantung larutan NaCl 0,9 % dalam botol untuk digunakan
setelah tranfusi darah.
d. Gunakan selang infus yang mempunya filter (selang Y atau
tunggal).
e. Lakukan pemberian infus NaCl 0,9 % (lihat prosedur
pemasangan infus) terlebih dahulu sebelum pemberian
tranfusi darah.
f. Sebelum dilakukan tranfusi darah terlebih dahulu memeriksa
identifikasi kebenaran produk darah: periksa kompatibilitas
dalam kantong darah, periksa kesesuaian dengan identifikasi
pasien, periksa kadaluwarsa, dan periksa adanya bekuan.
g. Buka set pemberian darah.
h. Untuk selang Y, atur ketiga klem.
i. Untuk selang tunggal, klem pengatur pada posisi off
j. Cara tranfusi darah dengan selang Y:
k. Tusuk kantong NaCl 0,9 %
174

l. Isi selang dengan NaCl 0,9 %


m. Buka klem pengatur pada selang Y dan hubungkan ke
kantong NaCl 0,9 %.
n. Tutup/klem pada slang yang tidak digunakan.
o. Tekan/klem sisi balik dengan ibu jari dan jari telunjuk
(biarkan ruang filter terisi sebagian).
p. Buka klem pengatur bagian bawah dan biarkan selang terisi
NaCl 0,9 %.
q. Kantong darah perlahan-lahan dibalik-balik 1 – 2 kali agar
sel-selnya tercampur. Kemudian tusuk kantong darah dan
buka klem pada selang dan filter terisi darah.
r. Cara tranfusi darah dengan selang tunggal:
s. Tusuk kantong darah
t. Tekan sisi balik dengan ibu jari dan jari telunjuk (biarkan
ruang filter terisi sebagian).
u. Buka klem pengatur biarkan selang terisi darah.
v. Hubungkan selang tranfusi ke kateter IV dengan membuka
klem pengataur bawah.
w. Setelah darah masuk, pantau tanda vital setiap 5 menit
selama 15 menit pertama, dan setiap 15 menit selama 1 jam
berikutnya.
x. Setelah darah diinfuskan, bersihkan selang infus dengan
NaCl 0,9 %.
y. Catat tipe, jumlah dan komponen darah yang diberikan.
z. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
Sumber: SPO Tindakan Keperawatan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, 2008
175

Lampiran 2
SPO RAWAT LUKA INFEKSI 1
PENGERTIAN Merawat luka terinfeksi, luka + serum + pus + necrose
TUJUAN 1. Mencegah timbulnya infeksi
2. Observasi keadaan luka
1. Alat-alat steril
a. Sarung tangan
b. Pinset anatomi 1
c. Pinset Chiruurgie 2
d. Gunting lurus/bengkok
e. Kapas lidi 2
f. Kasa steril secukupnya
g. Kasa penekan / depress
h. Mangkok kecil/cucing 2 buah
2. Alat-alat non steril
a. Gunting verband
b. Plester
c. Bengkok/kantong plastic
d. Verband secukupnya
e. Yodbensin
PROSEDUR
f. Larutan Clorin 0.5%
g. Cairan Nacl 0.9%
h. Betadine
3. Menyiapkan pasien
a. Menjelaskan tujuan dilakukan prosedur
b. Meminta persetujuan pasien
c. Mengatur posisi pasien sesuai dengan kebutuhan
4. Pelaksanaan
a. Menempatkan alat kedekat pasien
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
c. Memakai sarung tangan
d. Bekas plester dibersihkan dengan yodbensin dan arah dalam
keluar
e. Pembalut dibuka dengan pinset dan taruh dibengkok
f. Luka dibersihkan dengan pinset dan taruh dibengkok
g. Kapas kotor taruh dibengkok, pinset masukan dilarutan
clorin 0.5%
h. Olesi luka dengan betadine, kemudian bersihkan betadine
dengan Nacl 0.9%
i. Tutup luka dengan kasas teril, kemudian pasang
plester/verband
j. Buang bahan terkontaminai ketempat sampah medis
k. Lakukan dekontaminasi alat-alat yang habis digunakan
kedalam larutan Clorine 0.5%
l. Lepas sarungtangan dan masukkan kedalam larutan clorine
0.5% (sebelum melepas sarungtangan cuci dulu di larutan
Clorine)
m. Pasien dirapikan dan alat-alat dibersikan
n. Dokumentasikan
Sumber: SPO tindakan keperawatan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, 2008
176

Lampiran 3
SPO INJEKSI INTRAVENA
PENGERTIAN Masukkan obat ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena
TUJUAN 1. Mempercepat penyerapan
2. Untuk pemeriksaan diagnostik, misal penyuntikan zat
kontras
1. Persiapan Alat
a. Sarung tangan
b. Bak injeksi steril dialasi kassa steril
c. Spuit steril (ukuran disesuaikan)
d. Jarum steril untuk mengoplos obat
e. Obat obatan yang diperlukan
f. Water for injection
g. Kapas alkohol dalam tempat tertutup
h. Perlak dan alasnya
i. Tempat sampah medis (untuk alat tajam dan alat yang
terkontaminasi)
2. Persiapan Pasien
Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan prosedur
3. Pelaksanaan:
a. Mencuci tangan sebelum maupun sesudah melakukan
tindakan
b. Mendekatkan alat ke pasien
c. Memakai sarung tangan
d. Mencocokan identitas pasien dengan buku injeksi
PROSEDUR e. Mengambil obat, membaca etiket dan mencocokan
dengan buku injeksi
f. Bila obat dalam sediaan serbuk, larutkan dengan
menggunakan water for injection, gunakan spuit steril,
jarum sendirikan dan simpan di bak injeksi
g. Menentukan lokasi pemberian injeksi secara tepat
h. Memasang perlak dan pengalas dibawahnya
i. Cari tempat penyuntikan obat pada slang iv
j. Lakukan desinfeksi dengan kapas alcohol pada daerah
tempat penyuntikan
k. Lakukan penyuntikan dengan menusukkan jarum spuit
dan masukkan obat perlahan dalam intravena.
l. Setelah selesai tarik spuit.
m. Lakukan observasi terhadap reaksi obat.
n. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
o. Catat prosedur yang dilakukan (nama obat, dosis, waktu
dan cara)
Sumber: SPO Tindakan Keperawatan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, 2008
177

Lampiran 4
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
LATIHAN TENIK RELAKSASI
Pengertian Merupakan metode aktif untuk mngurangi rasa nyeri pada
pasien yang mengalami nyeri kronis, Rileks sempurna yang
dapat mengurangi ketegangan otot,rasa jenuh, kecemasan
sehngga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri.
Tujuan Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri.
Persiapan Pasien 1. Mencuci tangan Beri salam
2. Perkenalkan diri (bila pasien baru)
3. Tanyakan kesediaan pasien untuk melakukan teknk
relaksasi
4. Jelaskan tujuan relaksasi
5. Memberitahu dan menjelaskan kepada pasien dan
keluarga mengenai prosedur yang akan dilakukan.
6. Posisikan pasien senyaman mungkin
Prosedur 1. Pasien menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru dengan
Pelaksanaan udara.
2. Perlahan-lahan udara dihembuskan , membiarkan tubuh
menjadi kendor dan merasakan betapa nyaman hal
tersebut.
3. Pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal.
4. Pasien menarik nafas dalam lagi dan menghembuskan
pelan-pelan dan membiarkan hanya kaki dan telapak kaki
yang kendor.
5. Pasien mengulang langkah keempat dan
mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut, punggung
dan kelompok otot-otot yang lain.
6. Setelah pasien merasa rileks, pasien dianjurkan bernafas
secara pelan-pelan . Bila nyeri menjadi hebat pasien dapat
bernafas dangkal dan cepat.
7. Kontrasikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan
kemudian lemaskan.
8. Lakukan latihan dengan musik yang santai, bila
dikehendaki.
9. Mengangkat bahu kemudian menurunkan dan
melepaskannya.
10. Mengepalkan kedua tangan selama 5 detikdan
melemaskanya dengan sempurna.
Daftar Pustaka
Hidayat, Aziz Alimul.2005.Buku Saku Pratikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:
EGC
Rosyidi,Kholid.2013.ProsedurPraktik Keperawatan.Jakarta : TIM
178

Lampiran 5
Foto luka Ny.S dengan Diabetes Melitus Gangren Pedis Dextra

Anda mungkin juga menyukai