DI RUANG ORTHOPHEDI
Oleh :
NIM : P07120217056
Semester : V
Prodi : Diploma IV
BANJARBARU
2019
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : P07120217056
Mengetahui
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, fraktur terjadi ketika
tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang
sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis
(Grace & Borley, 2007 : 85)
a. Klasifikasi Etiologis
1) Fraktur traumatic
2) Fraktur Patologis, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor
atau proses
patologik lainnya (infeksi dan kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3) Fraktur Beban (Kelelahan), yaitu fraktur yang terjadi pada orang-
orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas merka atau karena
adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah tulang
yang menopang berat badan.
b. Klasifikasi Klinis
1) Fraktur Tertutup (simple Fraktur), adalah fraktur dengan kulit yang
tidak tembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan.
2) Fraktur Terbuka (compound Fraktur), adalah frktur dengan kulit
ekstremitas yang terlibat telah ditembus, dan terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan
kulit.
Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu :
1.) Grade 1 : sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
a. Luka < 1 cm
b. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
c. Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
d. Kontaminasi minimal
2.) Grade II : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit.
a. Laserasi < 1cm
b. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse.
c. Fraktur kominutif sedang
d. Kontaminasi sedang
3.) Grade III : Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan
saraf dan pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm
(Sjamsuhidayat, 2010 dalam wijaya & putri, 2013 : 237).
c. Klasifikasi Radiologis
1) Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi.
2) Konfigurasi : F. Transversal, F.Oblik, F. Spinal, F. Segmental, F. Komunitif
(lebih dari dua fragmen), F. Avulse, F. Depresi, F. Epifisis.
3) Menurut Ekstensi : F. Total, F. Tidak Total, F. Buckle atau torus, F. Garis
rambut, F. greenstick.
4) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak bergeser,
bergeser (bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over riding, impaksi)
(Kusuma, 2015).
3. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan
langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti
akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
4. Manifetasi Klinis
a. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.
b. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur
dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
c. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
f. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
h. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan menyebabkan
tulang kehilangan bentuk normalnya.
5. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. (Brunner & Suddarth, 2002)
6. Penatalaksanaan Keperawatan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia.
Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :
a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena
benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien
mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan bersihkan
perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak boleh
dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi
oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari kedua
posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula
(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh
meresap dilakukan : pembersihan luka, exici, hecting situasi, antibiotik.
2) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan
perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
3) Pemberian antibiotika.
5) Stabilisasi.
6) Penutup luka.
7) Rehabilitasi.
8) Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan
kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu
ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam untuk
terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka
luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan
patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar
sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi
prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas ke 6.
Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya
fungsi.
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka baik
berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi untuk mengurangi
kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan
tekanan maupun tanpa tekanan.
12) Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen tulang,
cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas
yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam
secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini
harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
3) Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
4) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi
terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF)
sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam
masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap
sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan
fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak
ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
5) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
6) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi
interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
7) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera
bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
7. Pathway
Sumber : academia.edu
8. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani
segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi
pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ
yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar
sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat
terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi
fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak
dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru,
ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardi dan pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial
yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan
sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh
otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara
anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
9. Pemeriksaan Penunjang
Meliputi ; nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan darah, nomor register, tanggal
dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri.Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri pasien, perawat dapat
menggunakan PQRST.
c. Riwayat Kesehatan
- Riwayat Penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya, peran pasien dalam
keluarga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
2. Pengkajian fokus
a. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut. Temuan
yang dianggap kritis:
- Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
- Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
- Robekan/laserasi pada kulit kepala?
- Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
- Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
- Battle sign dan racoon eyes?
b. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian belakang.
Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,
emfisema kulit
c. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan
dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound,
Flail chest dengan gerakan dada para doksikal, suara paru hilang atau melemah,
gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
d. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan auskultasi dan
palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness.
e. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang
dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di
daerah pubik
f. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan luka laserasi pada tangan.
Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.Temuan
yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau
menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
g. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
h. Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale): terjadi
penurunan kesadaran pada pasien.