Anda di halaman 1dari 145

i

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS


POST OPS HARI KE-3 CANAL SPINALIS STENOSIS DISERTAI
DENGAN SPODILOLITESIS DI RUANG H 1
RUMKITAL Dr. RAMELAN
SURABAYA

Oleh :

EKA PUSPITA ADRIANA


NIM. 173.0032

PROGRAM PROFESI NERS KEPERAWATAN


STIKES HANG TUAH SURABAYA
2018

i
KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS


POST OPS HARI KE-3 CANAL SPINALIS STENOSIS DISERTAI
DENGAN SPODILOLITESIS DI RUANG H 1
RUMKITAL Dr. RAMELAN
SURABAYA

Karya ilmiah akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Ners

Oleh :

EKA PUSPITA ADRIANA


NIM. 173.0032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


STIKES HANG TUAH SURABAYA
2018

i
SURAT PERNYATAAN

Saya bertanda tangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

karya tulis ini saya susun tanpa melakukan plagiat sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Stikes Hang Tuah Surabaya.

Jika kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiat saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Stikes

Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 02 Agustus 2018

EKA PUSPITA ADRIANA


NIM. 173.0032

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Setelah kami periksa dan amati, selaku pembimbing mahasiswa :


Nama : Eka Puspita Adriana
NIM : 173.0032
Program Studi : Pendidikan Profesi Ners
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. P Dengan Diagnosa Medis
Post Operasi Hari Ke-3 Canal Spinalis Stenosis Disertai
Dengan Spondilolitesis Di Ruang H1 Rumkital Dr Ramelan
Surabaya.

Serta perbaikan-perbaikan sepenuhnya, maka kami menganggap dan dapat


menyetujui bahwa karya ilmiah akhir ini guna memenuhi sebagaian persyaratan
untuk memperoleh gelar.

NERS (Ns.)
Surabaya, 31 Juli 2018
Pembimbing

Qori’Ila Saidah, S.Kep.,M.Kep.,Ns.Sp.Kep.An


NIP.03026

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“ Never Stop Learning..

Because Life Never Stop Teaching”


Saya persembahkan karya ini kepada:

1. Kedua orangtua dan adik saya yang telah memberikan semangat dan

motivasi kepada saya selama menempuh pendidikan

2. Semua saudara – saudara yang ada di Kediri dan Bangkalan yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat di setiap waktu selama pendidikan

3. Pembimbing yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan

dengan sangat baik

4. Dia yang telah mengorbankan banyak waktu menemani dan mensuport

saya selama ini

5. Rekan - rekan seperjuangan Profesi Ners A8 Hangtuah yang telah

memberikan inspirasi dalam penulisan

6. Sahabat, adik serta alumni Squad Asrama Putri kamar 17 yang selalu ada

disaat suka duka

7. Semua pihak yang ikut berperan serta dalam penyelesaian Karya Ilmiah

Akhir.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini

sesuai dengan waktu yang ditentukan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu

syarat dalam menyelesaikan program profesi Ners.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan kelancaran karya tulis ini bukan

hanya karena kemampuan penulis tetapi banyak ditentukan oleh bantuan dari

berbagai pihak, yang telah dengan ikhlas membantu penulis demi terselesainya

penulisan ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima

kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Laksamana Pertama TNI dr. IDG Nalendra, DI Sp.B, Sp.BTKV selaku

Kepala Rumkital Dr. Ramelan Surabaya yang telah memberikan ijin dan

lahan praktik untuk penyusunan karya ilmiah dan selama kami berada di

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya.

2. Kolonel Laut (Purn) Ibu Wiwiek Liestyaningrum, S.Kp., M.Kep selaku

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya yang telah

memberikan kesempatan pada kami untuk praktik di Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya danmenyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Hang Tuah Surabaya.

3. Puket 1 Puket 2 dan Puket 3 yang selalu memberikan dorongan penuh

dengan wawasan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia

v
4. Bapak Nuh Huda, S.Kep., Ns., M. Kep Sp. KMB selaku Kepala program

studi Profesi Ners Keperawatan yang selalu memberikan dorongan penuh

dengan wawasan dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia.

5. Ibu Duwi Supriyanti S. Pd., S. Kep., Ns., M.M selaku puket 3 sekaligus

pembimbing I, yang dengan tulus ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga

dan pikiran serta perhatian dalam memberikan dorongan, bimbingan dan

arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini.

6. Ibu Muharini ,S.Kep., Ns ,selaku pembimbing II, yang dengan tulus ikhlas

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian dalam

memberikan dorongan, bimbimngan dan arahan dalam penyusunan karya

tulis ilmiah ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya,

yang telah memberikan bekal bagi penulis melalui materi – materi kuliah

yang penuh nilai dan makna dalam penyempurnaan penulisan karya ilmiah

ini, juga kepada seluruh tenaga administrasi yang tulus ikhlas melayani

keperluan penulis selama menjalani studi dan penulisannya.

8. Perpustakaan Stikes Hang Tuah Surabaya, yang telah menyediakan sumber

pustaka dalam penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah

9. Kedua Orang Tua tercinta dan adik yang takhenti-hentinya memberikan

motivasi sertado’a restu ke pada penulis.

10. Pasien (Tn. P) dan keluarga atas terjalinnya kerjasama dan interaksi yang

baik selama melakukan pengkajian atau pun tindakan keperawatan.

11. Rekan - rekan seperjuangan dalam naungan Sekolah TinggiI lmu

Kesehatan Hang Tuah Surabaya yang telah memberikan dorongan semangat

vi
sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan, saya hanya dapat

mengucapkan semoga hubungan persahabatan tetap terjalin.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu - persatu, terima kasih

atas bantuannya. Penulis hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas

amal baik semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian

Kary Ilmiah Akhir ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa karya ilmiah akhir ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik yang

membangun senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga

Karya Ilmiah Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca

terutama bagi Civitas STIKES Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 02 Agustus 2018

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5
1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah ......................................................................... 6
1.5 Metode Penulisan ......................................................................................... 8
1.6 Sistematika Penulisan................................................................................... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Canal Spinalis Stenosis ................................................................ 11
2.1.1 Anatomi Medulla Spinalis.......................................................................... 11
2.1.2 Definisi ....................................................................................................... 12
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................... 12
2.1.4 Patofisiologi ............................................................................................... 13
2.1.5 Menifestasi Klinis ...................................................................................... 14

viii
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 15
2.1.7 Penatalaksanaan ........................................................................................ 16
2.2 Konsep Spodilolistesis ............................................................................. 18
2.2.1 Definisi ....................................................................................................... 18
2.2.2 Klasifikasi .................................................................................................. 19
2.2.3 Etiologi ...................................................................................................... 20
2.2.4 Menifestasi Klinis ...................................................................................... 21
2.2.5 Patofisiologi ............................................................................................... 21
2.2.6 Penatalaksanaan ........................................................................................ 22
2.3 Konsep Nyeri ............................................................................................. 23
2.3.1 Definisi Nyeri ............................................................................................. 23
2.3.2 Sifat Nyeri .................................................................................................. 24
2.3.3 Klasifikasi Nyeri ....................................................................................... 24
2.3.4 Pengekuran Intensitas Nyeri ..................................................................... 26
2.3.5 Management Nyeri.................................................................................... 28
2.4 Konsep Lansia ............................................................................................ 29
2.4.1 Definisi Lanjut Usia ................................................................................... 29
2.4.2 Batasan Lanjut Usia ................................................................................... 30
2.4.3 Tipe-Tipe Lanjut Usia ............................................................................... 30
2.4.4 Proses Menua ............................................................................................ 31
2.4.5 Perubahan Yang Terjadi Akibat Menua ................................................... 31
2.4.6 Penyakit Umum Pada Lansia .................................................................... 35
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi Canal Spinalis Stenosis
Disertai dengan Spondilolistesis ............................................................... 38
2.5.1 Pengkajian ................................................................................................. 38
2.5.2 Pemeriksaan Diagnostik ............................................................................. 44
2.5.3 Diagnosa Keperawatan............................................................................... 46
2.5.4 Intervensi Keperawatan .............................................................................. 49
2.6 Kerangka Masalah Keperawatan .............................................................. 54
ix
BAB 3 TINJAUAN KASUS
3.1 Asuhan Keperawatan Pada Tn.P ................................................................ 55
3.1.1 Pengkajian .................................................................................................. 55
3.1.2 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 58
3.1.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 60
3.1.4 Terapi ......................................................................................................... 62
3.1.5 Analisa Data ............................................................................................... 63
3.1.6 Prioritas Masalah ........................................................................................ 64
3.2 Intervensi Keperawatan .............................................................................. 65
3.3 Tindakan Keperawatan Dan Evaluasi Keperawatan .................................. 81

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian .................................................................................................. 79
4.1.1 Identitas ...................................................................................................... 79
4.1.2 Riwayat Penyakit ....................................................................................... 80
4.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................................... 85
4.3 Rencana Keperawatan ................................................................................ 86
4.4 Pelaksanaan ............................................................................................... 88
4.5 Evaluasi ...................................................................................................... 89

BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................................. 91
5.2 Saran ......................................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 94


LAMPIRAN ......................................................................................................... 96

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala dan Tanda Klinis ........................................................... 15


Tabel 2.2 Skala Intensitas Nyeri ............................................................... 28
Tabel 2.4 Derajat Kesadaran ..................................................................... 32
Tabel 2.3 Intervensi dan Rasionalisasi Keperawatan ............................... 49
Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium Tn. P ............................................. 60
Tabel 3.2 Terapi Medis ............................................................................. 62
Tabel 3.3 Analisa Data ............................................................................. 63
Tabel 3.4 Prioritas Masalah ...................................................................... 64
Tabel 3.5 Intervensi Keperawatan ............................................................ 65
Tabel 3.6 Tindakan Keperawatan dan Catatan Perkembangan................. 67

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Belakang .................................................... 12


Gambar 2.2 Kerangka Masalah ................................................................. 67
Gambar 3.1 Foto Rontgen Tn. P ............................................................... 61
Gambar 3.2 Foto Rontgen Tn. P ............................................................... 61
Gambar 3.3 Pemeriksaan MRI Tn. P ........................................................ 61

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengukuran Skala Risiko Dikubitus ...................................... 96


Lampiran 2 Pengukuran Skala Pasien Jatuh ............................................. 98
Lampiran 3 Standar Prosedur Operasional Perawatan Luka Jahitan ........ 99
Lampiran 4 Standar Prosedur Operasional Pemberian Angkat Drain ...... 102
Lampiran 5 Standar Prosedur Oprasional Relaksasi Nafas Dalam ........... 106
Lampiran 6 Standar Prosedur Operasional ROM Pasif Aktif ................... 108
Lampiran 7 Early Warning System ........................................................... 113

xiii
DAFTAR SINGKATAN

AP : Anterior Posterior
ASIA : American Spinal Injury Association
AVM : Arterivenous Malformation
CMS :Cedera Medula Spinalis
CRT : Capilary Refill Time
CT : Computerized Temography
CVD : Cerebro Vascular Disease
CVP : Central Venous Pressure
EKG :Elektro Kardiografik
FKUI :Fakultas Universitas Indonesia
GCS : Glasgow Coma Scale
GDA : Gula Darah Acak
GOLD : Global Initiatrive for Chronic Obstructive Disease
HCT : Hematokrit
HGB : Hemoglobin
HNP : Herniated Nucleus Pulposus
ICU : Intensive Care Unit
IGD : Instalasi Gawat Darurat
IMSOP : Internasional Medical Society Of Parapleegia
KEMENKES RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
LMN : Lower Motor Neuron
MCV : Mean Corpuscular Volume
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MRS : Masuk Rumah Sakit

xiv
NGT : Naso Gastric Tube
PTIK : Peningkatan Tekanan Intra Kranial
RBC : Red Blood Cell
RL : Ringer Laktat
ROM : Range Of Motion
RR : Respiratory Rate
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangun kusuma
Rumkital : Rumah Sakit TNI AL
RV : Residual Volume
SAH : Subarahnoid Hemoragi
SCIWORA : Spinal Cord InjuryWithout Radiographic Abnormality
SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic
SGPT : Serum GlutamicPhruvic
TLC : Total Lung Capacity
TTV : Tanda-Tanda Vital
UMN : Upper Motor Neuron
VC : Vital Capacity
WBC : White Blood Cell
WHO : World Health Organization

xv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Canal stenosis atau lumbar spinal canal stenosis yang terjadi pada lumbal

menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan penyakit

degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut (Apsari, dalam Ayuni.,

2016). Penyempitan saluran spinal dapat terjadi di kanalis sentralis, resesus

lateralis dan foramina yang menyebabkan kompresi saraf pada lokasi lokasi

tersebut. penekanan saraf pada kanalis sentralis menyebabkan nyeri yang menjalar

pada kedua tungkai, perasaan berat pada tungkai, dan kelemahan tungkai yang

biasanya diperberat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat atau

membungkukan badan. degenerasi pada vertebra karena usia menyebabkan

perubahan anatomi sehungga menyebabkan penyempitan kanalis spinalis (Rahim,

2012). Salah satu penyebab dari terjadinya canal stenosis adalah

spondylolisthesis. Spondylolisthesis adalah translasi corpus vertebra terhadap

vertebra dibawahnya (Aryuni, 2016). Spondylolisthesis adalah penyakit yang

disebabkan oleh tergelincirnya sebuah badan vertebra terhadap badan vertebra

dibawahnya (Kalichman dan Hunter, dalam Ayuni 2016). Spondilistesis

merupakan pergeseran korpus vertebra ke anterior dan posterior dalam

hubunganya dengan vertebra di bawahnya. (Satyanegara, 2014). Spondilolistesis

adalah translasi korpus vertebra terhadap vertebra di bawahnya. klasifikasi

spondilolistesis berdasarkan derajat pergeseran, etiologi, dan potensi

progesitivitasnya (Rahum, 2012). Beberapa faktor risiko yang meningkatkan

1
2

spondilolistesis adalah usia muda, kondisi hiperlordosis, aktivitas hiperekstensi

yang berlebihan, trauma dan proses degenerative. penyakit tulang lokal seperti

atau generalisita (Satyanegara, 2014). Spondylolisthesis nyeri punggung bawah

adalah penanda atau symptom, yang mana Spondylolisthesis ini merupakan suatu

kondisi tulang vertebra yang bergeser keluar dari kedudukan seharusnya,

pergeseran ini bisa terjadi di sebelah atas atau disebelah bawahya (Audat, Dalam

Aristiyanti 2012)

Nyeri punggung bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di

Amerika Serikat dengan angka prevalensi berkisar antara 7,6-37%; insidens

tertinggi dijumpai pada usia 45-60 tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri

punggung bawah mengganggu aktivitas sehari-hari pada 40% penderita, dan

menyebabkan gangguan tidur pada 20% penderita. Sebagian besar (75%)

penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% di antaranya perlu dirawat

inap untuk evaluasi lebih lanjut. Menurut Purba dan Rumawas (2006) dalam

Setianingrum (2015), di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Pokdi Nyeri PERDOSSI (Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia) di Poliklinik

Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002

menemukan prevalensi penderita Ischialgia sebanyak 15,6%. Angka ini berada

pada urutan kedua tertinggi sesudah sefalgia dan migren yang mencapai 34,8%.

Dari hasil penelitian secara nasional yang dilakukan di kota di Indonesia juga oleh

Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun 2002 ditemukan sebanyak 18,13% penderita

Ischialgia dengan rata-rata nilai VAS sebesar 5,46 ± 2,56 yang berarti nyeri

sedang sampai berat. 50 % diantaranya adalah penderita berumur antara 41-60

tahun. Salah satu penyebab kondisi Ischialgia menurut The Healthy Back Institute
3

(2011) adalah Spondylolisthesis. Menurut Devlin (2012), degenerative

Spondylolisthesis umumnya terjadi pada pasien lansia dengan usia lebih dari 40

tahun. Faktor resiko yang lebih banyak terserang Spondylolisthesis adalah wanita

(perbandingan wanita – pria : 4:1). Sebanyak 90% dari kasus Spondylolisthesis

terjadi pada L4 – L5, dan 10% dari kasus terjadi pada L3 – L4 atau L5 – S1. Di H

1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya terhitung sejak bulan Maret 2018 hingga bulan

Juli 2018 terdapat 11 pasien dengan canal spinal stenosis spinalis disertai dengan

spondilolitesis yang di rawat di H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

Nyeri punggung bawah pada hakekatnya merupakan keluhan atau gejala

kanal spinalis stenosis dan spondilolistesis antara lain kelainan muskuloskeletal,

sistem saraf, vaskuler, viseral, dan psikogenik Salah satu penyebab yang

memerlukan tindak lanjut (Audat, Dalam Aristiyanti 2012). Stenosis spinalis

dapat menyebabkan gejala miopati. perubahan degenerative pada vertebra , korpus

vertebra terjadi melalui mekanisme yang progesif dan dinamis dikenal dengan

degenerative cascade yang terdiri dari fase disfungsi yaitu terjadi robekan pada

analus fibrosus sehingga suplai nutrisi diskus terganggu (Satyanegara,

2014).Kompresi traktus spinalis menyebabkan ataksia karena spastisitas pada

ekstermitas bawah dan hilangnya sensasi posisi. seiring berjalanya waktu dapat

menyebabkan kuadriparesis spastik. pada pemeriksaan fisik didapatkan long tract

signs seperti hiperfleksi disertai dengan refleks patologis. pada segment lumbal

klaudikasio intermittent merupakan gejala yang khas yaitu rasa nyeri baal hingga

kelumpuhan ringanyang timbul saat aktivitas berjalan pada jarak tertentu

(Satyanegara, 2014). Pasien asymptomatic dengan mayarding grade I dan II dapat

dilakukaan observasi dahulu dengan interval waktu selama 6 bulan. selama waktu
4

tersebut pasien dianjurkan untuk mengurangi aktivitas yang melibatkan

hiperektensi lumbal. pada pasien dengan Mayerding grade I dan II yang

simptomatik dapat dilakukan bracing pada posisi antilordotik untuk mengurangi

stress pada daerah stess tersebut. pasien harus berhenti dari aktivitas olahraga dan

memakai brace terus menerus sampai 3-6 bulan. Tindakan operasi diindikasi pada

pasien yang gagal sembuh dengan terapi konservatifpasien dengan mayarding

grade III, IV, spodilolistesis dan tulang imatur, pasien yang telah mengalami

maturitas tulang dengan hight grade slip, serta gagal dalam terapi non operasi

harus menjalani terapi operatif. Beberapa teknik operasi yang dapat dilakukan

adalah perbaikan defakdan arthrodesis in situ dengan atau tanpa dekompresi

(Rahum, 2012).

Perawat sebagai pelayanan kesehatan hendaknya mempunyai pengetahuan

ketrampilan yang cukup untuk memberikan tindakan keperawatan pada pasien

dengan canal spinal stenosis disertai dengan spodilolistesis. Pasien dengan canal

spinal stenosis disertai dengan spodilolistesis memerlukan tindakan yang tepat

sehingga tidak memperburuk keadaan pasien, dan tidak menimbulkan komplikasi

yang lain atau bahkan kematian. canal spinal stenosis disertai dengan

spodilolistesis dalam pelaksanaan terapinya mengutamakan memperbaiki keluhan

nyeri, memperbaiki hambatan mobilitas fisik, imobilisasi, mengantisipasi risiko

imobilisasi, meningkatkan keadaan fisik dan psikologis pasien sehingga

kebutuhan dasar pasien terpenuhi dan kesembuhan pasien tercapai. Perawat perlu

memberikan pendidikan kesehatan terkait perawatan pre operasi untuk mencegah

komplikasi. Perawat juga perlu memberikan informasi terkait faktor resiko

penyebab canal stenosis dan spondilolistesis.


5

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan canal stenosis disertai dengan

spondilolistesisdi ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan

diagnose medis canal spinalis stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H

1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan pada pasien

dengan diagnose medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis dengan

menggunakam metode proses keperawatan berdasarkan teori dan prektek di ruang

H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi hasil pengkajian pada pasien dengan diagnose medis

canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H 1 Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya.

2. Mengidentifikasi diagnosis keperawatan pada pasien dengan diagnose

medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H 1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.


6

3. Mengidentifikasi rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan

diagnosa medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesisdi ruang H 1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

4. Mengidentifikasi pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan

diagnosamedis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H 1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

5. Mengidentifikasi hasil evaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan

diagnosa medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H 1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

6. Mengidentifikasi hasil pendokumentasian tindakan keperawatan pada

pasien dengan diagnosamedis canal stenosis disertai dengan

spondilolistesis di ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat dari karya tulis ilmiah ini adalah untuk meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan dalam melakssanakan proses keperawatan pada

pasien dengan diagnose medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di

ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Penulis

Manfaat bagi penulis adalah karya tulis ilmiah ini dapat meningkatkan

pengetahuan penulis tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan


7

diagnosa medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis di ruang H 1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya sesuai dengan dokumentasi keperawatan.

2. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Pasien dan Keluarga

Pasien dengan diagnosa medis canal stenosis disertai dengan

spondilolistesis di ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, dapat

menerima perawatan yang maksimal dari tenaga kesehatan, serta keluarga

bisa menjaga anggota yang lain supaya terhindar daricanal stenosis disertai

dengan spondilolistesis

3. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Perawat

Karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan

informasi untuk menambah pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill),

dan sikap (attitude) bagi instansi terkait khususnya didalam meningkatkan

pelayanan terhadap pasiendengan diagnosa medis canal stenosis disertai

dengan spondilolistesis

4. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Rumah Sakit

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan

informasi bagi perawat yang ada rumah sakit dalam upaya meningkatkan

mutu pelayanan pada pasien dengan canal stenosis disertai dengan

spondilolistesis

5. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Institusi Pendidikan

Hasil karya tulis ilmiah ini bisa dijadikan acuan untuk institusi pendidikan

Ners Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya dalam rangka

meningkatkan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

.
8

6. Manfaat Karya Tulis Ilmiah Bagi Penulis Selanjutnya

Karya tulis ilmiah ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penulisan

selanjutnya untuk memberikan pencegahan dan penatalaksanaan pada

pasien dengan diagnosa mediscanal stenosis disertai dengan

spondilolistesis sesuai dengan proses asuhan keperawatan.

1.5 Metode Penulisan

1.5.1 Metode

Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ini adalah deskriptif, dimana penulis mendeskripsikan asuhan keperawatan

pada pasien dengan diagnosis medis canal stenosis disertai dengan spondilolistesis

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Data diambil dan diperoleh melalui percakapan baik dengan Tn. P, istri

Tn. P maupun tim kesehatan lain.

2. Observasi

Data yang diambil melalui percakapan langsung baik dengan Tn. P, istri

Tn. P maupun tim kesehatan lain.

3. Pemeriksaan

Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fisik, laboratorium, foto rogten, dan

MRI yang dapat menunjang untuk menegakkan diagnosis dan penanganan

selanjutnya.
9

1.5.3 Sumber Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh dari Tn. P.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari istri Tn. P, catatan medik perawat, dan hasil-hasil

pemeriksaan tim kesehatan lain.

1.5.4 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan mempelajari sumber buku, sistem neurologoi dan bedah

saraf, ortopedi, keperawatan gerontik atau yang berhubungan dengan judul studi

kasus dan masalah yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan

Supaya lebih jelas dan lebih mudah dalam mempelajari dan memahami

studi kasus ini, secara keseluruhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1.6.1 Bagian Awal

Memuat halaman judul, persetujuan komisi pembimbing, pengesahan,

motto dan persembahan, kata pengantar, dan daftar isi.

1.6.2 Bagian Inti

1. BAB 1: Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan studi kasus.

2. BAB 2: Tinjauan pustaka, berisi tentang konsep penyakit dari sudut medis

dan asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa medis canal

stenosis disertai dengan spondilolistesis serta kerangka masalah


10

3. BAB 3: Tinjauan kasus berisi tentang deskripsi data hasil pengkajian,

diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

4. BAB 4: Pembahasan berisi tentang perbandingan antara teori dengan

kenyataan yang ada di lapangan.

5. BAB 5: Penutup berisi tentang simpulan dan saran.

1.6.3 Bagian Akhir

Terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas secara teoritis mengenai konsep penyakit dan

asuhan keperawatan pada post operasi pasien canal stenosis dan spondilolistesis.

Konsep penyakit akan diuraikan definisi, etiologi, patofisiologi, menifestasi klinis,

pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan secara medis. Konsep asuhan

keperawatan pada pasien dengan penyakit canal stenosis dan spondilolistesis

menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2.1 Konsep Kanal Spinalis Stenosis

2.1.1 Anatomi Medulla Spinalis

Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah

struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas

tulang belakang.Diantara tiap ruas pada tulang belakangterdapat bantalan tulang

rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57-

67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang-

tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang.Medula spinalis

yang keluar dari foramen intervertebral dikelompokkan dan dinamai sesuai

dengan daerah yang ditempatinya (Muttaqin 2008).

11
12

Gambar 2.1 Anatomi tulang belakang (Priyambodo, 2008)

2.1.2 Definisi Canal Spinalis Stenosis

Canal spinal stenosis merupakan salah satu kelainan yang sering di jumpai

pada kelompok usia lanjut. penyempitan saluran spinal dapat terjadi di kanalis

sentralis, resesus lateralis dan foramina yang menyebabkan kompresi saraf pada

lokasi tersebut (Rahim, 2012). Stenosis spinalis lumbal paling sering terjadi pada

L4-5, diikuti L3-4,L2-3,L5-S1 (Satyanegara, 2014). Penekanan saraf pada kanalis

sentralis menyebabkan nyeri yang menjalar pada kedua tungkai, perasaan berat

pada tungkai, dan kelemahan tungkai yang biasanya diperberat dengan aktivitas

dan berkurang dengan istirahat atau membungkukan badan. degenerasi pada

vertebra karena usia menyebabkan perubahan anatomi sehungga menyebabkan

penyempitan kanalis spinalis (Rahim, 2012).

2.1.3 Etiologi

Etiologi cidera spinalis stenosis berkaitan erat dengan pertambahan usia

terutama akibat diskus yang mulai mongering dan rusak. pada saat yang
13

bersamaan, tulang dan ligament pada vertebra membengkak atau membesar akibat

arthritis atau inflamasi. penyebab canal stenosis spinal antara lain:

a. arthritis spine, biasanya pada usia pertengahan atau lanjut

b. penyakit – penyakit tulang missal penyakit paget dan akondroplasia

c. adanya kelainan congenital pada vertebra

d. herniasi dari diskus

e. trauma yang menyebabkan penekanan pada serabut saraf atau spinal

cord

f. tumor pada vertebra

2.1.4 Patofisiologi

Grover (2001) dalam Setiawan (2010) mengatakan trauma pada spinalis

khususnya canal spinal stenosis seringkali menyebabkan gangguan langsung dan

lengkap dari fungsi spinalis, meskipun demikian secara anatomis medula sendiri

jarang tertranseksi. Cidera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan

tekanan langsung terhadap canal spinalis yang mengakibatkan kerusakan pada

pembuluh darah kecil intrameduler menyebabkan perdarahan pada substantia

grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini mengakibatkan penurunan langsung

aliran darah pada substantia grisea kemudian diikuti oleh pengurangan yang

serupa pada substantia alba. Akibat selanjutnya akan terjadi iskemik yang memacu

peristiwa kaskade biokimia yang menandakan dimulai proses cedera sekunder.

Mekanisme cedera sekunder dapat dikatagorikan sebagai mekanisme

sistemik, ekstraseluler, dan intraseluler.Meskipun masih ada tumpah tindih,

mekanime sistemik cedera sekunder mencakup hemodinamika dan terjadinya


14

hipoksia.Sementara mekanisme ekstraseluler terutama edema dan cedera vaskuler

yang mengakibatkan vasospame, iskemi, dan perdarahan. Mekanisme intraseluler

dalam neuron dan glia terdiri atas banyak proses seperti eksitotoksisitas dan

produksi radiks bebas.

2.1.5 Manifestasi klinis

Gejala gejala klinis yang biasanya muncul perlahan dan hanya mengenai

satu sisi tubuh, meliputi:

a. mati rasa, kram, dan nyeri punggung, paha, tungkai bawah, leher, bahu

dan lengan

b. kelemahan pada lengan atau tungkai

c. kehilangan keseimbangan pada saat berjalan

d. gangguan vegetative

gejala – gejala tersebut diperberat oleh aktivitas pasien seperti berdiri atau

berjalan, dan akan berkurang apabila duduk dan membungkuk kedepan (Rahim,

2012).

Keadaan yang harus dicurigai sebagai cedera spinal dan harus dikelola

sebagai cedera spinal (Dep.bedah saraf FKUI-RSCM, 2011) adalah :

1. Semua penderita pasca trauma yang tidak sadar

2. Penderita yang mengalami gejala neurologis

3. Penderita yang mengeluh nyeri gerak dan nyeri tekan pada sepanjang

daerah spinal

4. Penderita yang jatih dari ketinggian

5. Penderita multiple trauma akibat kecelakaan lalu lintas


15

Cedera spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda-beda

tergantung letak lesi dan luas lesi, dan dapat dibedakan menjadi 4 kelompok

(Setiawan, 2010), yaitu :

Tabel 2.1 Gejala dan tanda klinis

Sindroma Kausa utama Gejala dan tanda klinis


Hemicord Brown Cedera tembus, kompresi Gangguan kontralateral, parese
Squard syndrome ekstrinsik ipsilateral, gangguan propioseptif
ipsilateral, ras raba normal
Sindroma Spinalis Infark spinalis anterior, Gangguan sensori bilateral,
Anterior Anterior HNP, iskemik akut propioseptif normal, parase UMN
Cord syndrome dibawah lesi, parese LMN setinggi
lesi, disfungsi spincter
Sindroma Spinalis Syringomyelia, Parese LMN pada lengan, parese
sentral Central Cord hypotensive spinal cord tungkai, dan spastisitas. Nyeri hebat
syndrome iskemikk, trauma spinal dan hiperpati , gangguan sensorik
(fleksi-ekstensi), tumor pada lengan, disfungsi spincter atau
spinal retensio urin
Sindroma Spinalis Trauma, Infark spinalis Gangguan propioseptif bilateral,
Posterior Posterior posterior nyeri dan parestesi pada leher,
Cord syndrome punggung dan bokong, parase ringan

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita tidak sadar pemeriksaan penunjang untuk skrening ada

tidaknya cedera spinal adalah dengan mencari level kelainan anatomis tulang

vertebra dengan melakukan pemeriksaan radiologi. Skrening awal pada kasus

dengan kecurigaan cedera spinalis (Dep. Bedah saraf FKUI-RSCM, 2011) adalah:

1. Pemeriksaan foto lumbal cross table lateral dan AP

Pemeriksaan foto lumbal cross table lateral dan AP adalah melakukan

pemeriksaan foto lumbal dimana penderita tetap dalam posisi tidur

terlentang, sedangkan film atau cup foto diletakan disebelah kanan dan kiri

penderita. Hasil pemeriksaan ditemukan adanya kelainan kesegarisan


16

(aligment), fraktur atau pergeseran (listesis) maka akan ditemukan pula

sebanyak 10% kelainan yang sama pada kolumna vetebralis ditempat lain.

2. Foto vertebra torakal AP

Pemeriksaan foto torakal standar adalah proyeksi AP. Diperhatikan

kesergarisan dari korpus vertebra, jarak antara diskus, pedikel, prosessus

spinosus dan foramen inter vertebra. Hasil pemeriksaan jika dicurigai

adanya kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik lateral maupun oblik

3. Foto vertebra lumbosacral AP

Pemeriksaan foto lumbasakral hampir sama dengan pemeriksaan vertebra

torakal, perhatian khusus adalah adanaya listesis lumbal, adanya

lumbalisasi atau sakralisasi serta keadaan tulang iliaca.Hasil skrening

awal didapatkan keadaan yang mencurigakan pada level tertentu kolumna

vetrebalis, maka pada level tersebut perlu dilakukan pemeriksaan CT

scanning untuk memperjelas kelainan yang terjadi. Hasil periksaan

ditemukan cedera spinal dengan gejala neurologis, namun pada

pemeriksaan radiologi atau CT scanning tidak ditemukan adanya kelainan

keadaan tersebut disebut SCIWORA (Spinal Cord Injury Without

Radiographic Abnormality), maka perlu dilakukan pemeriksaan MRI

spinal untu melihat abnormalitas dari jaringan lunak seperti ligament,

diskes, dan segmen lumbal.

2.1.7 Penatalaksanaan
17

Menurut Setiawan & Maulida (2010) pada prinsipnya terapi cedera medula

spinalis ditujukan untuk:

1. Melindungi medula spinalis dari kerusakan lebih lanjut

2. Mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan pemulihan

maksimal pada lesi inkomplit

3. Mencapai stabilitas vertebra yang memungkinkan rehabilitasi.

Konservatif terapi yang diberikan meliputi analgetik, fisioterapi serta

perubahan gaya hidup. Operatif tindakan operatif diberikan apabila pasien tidak

memberikan respon terhadap tindakan konservatif. adapun tindakan operatif kasus

stenosis spinal meliputi laminektomi, foraminektomi dan fusi spinal (Rahim,

2012).

Menurut Dep. Bedah saraf FKUI-RSCM (2011) jika cidera spinal belum

ditegakkan, sedangkan mekanisme trauma masuk dalam kategori yang harus

dicurigai trauma spinal, maka lakukanlah prinsip “praduga positif” dimana

penderita harus dikelola sebagai cedera spinal. Prinsip dasar pengelolaan pada

cedera spinal adalah dengan melakukan proteksi sepanjang columna vetebralis

agar tidak terjadi gerakan fleksi, ekstensi, rotasi maupun lateran banding. Proteksi

spinal yang dilakukan dengan memasang semi rigid servikal collar dan menfiksasi

penderita pada long spine board.Pasien dicurigai cedera kepala berat atau cedera

spinal perhatian utama pada bagian leher khusunya pada fungsi respirasi.Jalan

nafas harus bersih, pada pasien curiga cedera spinal maka perlu dipasang neck

collar.
18

Terapi medikamentosa segera diberikan begitu penderita dicurigai

menderita cedera spinal.Pengelolaan atau pengobatan suportif dan medika

mentosa adalah berupa:

1. Bantuan ventilasi nafas pada penderita yang mengalami paralisis otot nafas

2. Cairan intra vena dan penggunaan renjatan neurogenik

3. Pemberian obat-obat medika mentosa seperti:

a. Glukokortikoid metilprednisolon

b. Opiat reseptor antagonis, nalokson

c. Non glukokortikoid steroid tirilazad

d. Monocialoganglioside (GM-1)

Terapi pembedahan dilakukan oleh ahli bedah saraf dengan persyaratan dan

fasilitas tertentu.Tujuan utama pembedahan adalah melakukan dekompresi

terhadap medula spinalis dan melakukan stabilisasi jika memang didapati keadaan

tulang belakang yang tidak stabil.Prognose penderita sangat tergantung dari

beratnya cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan.

2.2 Konsep Spondilolitesis

2.2.1 Definisi Spondilolitesis

Spondylolisthesis adalah translasi corpus vertebra terhadap vertebra

dibawahnya (Aryuni, 2016). Spondylolisthesis adalah penyakit yang disebabkan

oleh tergelincirnya sebuah badan vertebra terhadap badan vertebra dibawahnya

(Kalichman dan Hunter, dalam Ayuni 2016). Spondilistesis merupakan pergeseran

korpus vertebra ke anterior dan posterior dalam hubunganya dengan vertebra di


19

bawahnya. (Satyanegara, 2014). Spondilolistesis adalah translasi korpus vertebra

terhadap vertebra di bawahnya. klasifikasi spondilolistesis berdasarkan derajat

pergeseran, etiologi, dan potensi progesitivitasnya (Rahum, 2012). Beberapa

faktor risiko yang meningkatkan spondilolistesis adalah usia muda, kondisi

hiperlordosis, aktivitas hiperekstensi yang berlebihan, trauma dan proses

degenerative. penyakit tulang lokal seperti atau generalisita (Satyanegara, 2014).

Spondylolisthesis nyeri punggung bawah adalah penanda atau symptom, yang

mana Spondylolisthesis ini merupakan suatu kondisi tulang vertebra yang bergeser

keluar dari kedudukan seharusnya, pergeseran ini bisa terjadi di sebelah atas atau

disebelah bawahya (Audat, Dalam Aristiyanti 2012).

2.2.2 Klasifikasi

Beberapa klasifikasi spondilolistesis yaitu berdasarkan derajat pergeseran

secara radiologis (menyerding), etiologi anaomis dan prognosisnya. pada

tahun1932, meyerding membuat klasifikasi berdasarkan derajat berdasarkan

derajat pergeseran vertebra kranial terhadap vertebra kaudalnyayang terbagi

menjadi lima grade. grade I dan II merupakanlow grade slips sedangkan grade II,

IV dan V merupakan hight grade slip (Rahim, 2012).

a. Grade I : 0-25°

b. Grade II :26-50°

c. Grade III :51-75°

d. Grade IV :76-100°

e. Grade V :>100°
20

Spondilolistesis dibagi atas lima kelompok menurut teori wiltse dkk yaitu

terbagi dalam lima tipe (Rahum, 2012)

a. Dysplastic

Dijumpai kelainan kongenital pada sakrum bagian atas atau neral arch L5.

Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang disertai dengan

spina bifida

b. Isthmic

Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis. Tipe

ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini mempunyai tiga

sub yaitu Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena fatique

fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun. Elongated pars

interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur dan tanpa pemisahan pars. Acute

pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.

c. Degenerative

Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada

level L4-L5 daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada wanita

terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria. Pada kulit hitam terjadi tiga kali

lebih sering dibandingkan kulit putih.

d. Traumatic

Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada

vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis. Tipe ini

terjadi sesudah periode satu minggu atau lebih dari trauma. Acute pars fracture

tidak termasuk tipe ini (cluett,2011).


21

e. Pathologic

Pada tipe ini terjadi penipisan atau destruksi pada pars interartikularis,

pedikel, pacet dan terjadi pergeseran vertebrata. Tipe ini mempunyai dua sub tipe

Generalized gambaran patologis bersifat umum. Beberapa penyakit yang

berhubungan dengan tipe ini: Paget’s disease, hyperthyroidism, osteopetrosis dan

sifilis. Lokal: gambaran patologis bersifat lokal. Tipe ini terjadi oleh karena

infeksi lokal, tumor atau proses destruksi lainnya (cluett,2011).

2.2.3 Etiologi

Spondylolistesis adalah multifaktorial atau kata lain disebabkan oleh

beberapa faktor yang bisa menyebabkannya. Spondylolisthesis diklasifikasikan

menjadi 6 jenis yaitu: isthmic spondylolisthesis yaitu tipe ini disebabkan oleh

karena adanya lesi pada pars interartikularis, degenerative spondylolisthesis yaitu

secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada level L4-L5

daripada L5-S1 dan ditemukan pada usia sesudah 40 tahun, traumatic

spondylolisthesis yaitu Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses

trauma pada vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars

interartikularis, pathologic spondylolisthesis yaitu tipe ini terjadi penipisan atau

destruksi pada pars interartikularis, pedikel, pacet dan terjadi pergeseran

vertebrata., dysplastic spondylolisthesis dijumpai kelainan kongenital pada sakrum

bagian atas atau neral arch L5, dan pasca operasi (cluett,2011).

2.2.4 Manifestasi klinis

Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis.

Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki. Hal ini
22

diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki. Keluhan nyeri yang khas saat perubahan

posisi tubuh (nyeri aksial) (Satyanegara, 2014).

2.2.5 Patofisiologi

Perubahan degenerative pada vertebra dan sendi – sendi melalui

mekanisme progesif atau dinamis terdiri dari fase disfungsi, fase instabilitas, dan

fase stabilisasi. Fase disfungsi yaitu terjadi robekan pada analus fibrosus sehingga

suplai nutrisi diskus terganggu., robekan dapat meluas dan menyebabkan

kerentanan terhadap protusio diskus serta berkurangnya volume dan tinggi diskus.

Fase instabilitas ditandai dengan degenerasi diskus lebih lnjut bertambahnya

robekan analus dan degenerasi faset yang menginduksi terjadinya subluksasi dan

instabilitas. Pada fase stabilisasi penyempitas ruang diskus bertambah dan

menginduksi timbulnya fibrosis, osteofit serta hipertrofi fases kearah prosesus

artikularis superior dan interior yang bereksiko berproyeksi ke kanal

intervertebralis dan kanalis sentralis (Satyanegara, 2014)

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis dibagi menjadi 2 yaitu non operatif dan operatif

(Rahim, 2012):

a. Terapi non operatif

Pasien asymptomatic dengan mayarding grade I dan II dapat

dilakukaan observasi dahulu dengan interval waktu selama 6 bulan. selama

waktu tersebut pasien dianjurkan untuk mengurangi aktivitas yang

melibatkan hiperektensi lumbal. pada pasien dengan Mayerding grade I

dan II yang simptomatik dapat dilakukan bracing pada posisi antilordotik


23

untuk mengurangi stress pada daerah stess tersebut. pasien harus berhenti

dari aktivitas olahraga dan memakai brace terus menerus sampai 3-6 bulan.

b. Tindakan operasi

Tindakan operasi diindikasi pada pasien yang gagal sembuh

dengan terapi konservatif pasien dengan mayarding grade III, IV,

spodilolistesis dan tulang imatur, pasien yang telah mengalami maturitas

tulang dengan hight grade slip, serta gagal dalam terapi non operasi harus

menjalani terapi operatif. beberapa teknik operasi yang dapat dilakukan

adalah perbaikan defak dan arthrodesis in situ dengan atau tanpa

dekompresi

Perbaikan defak dapat dilakukan dengan menggunakan wire dan

transverses spinosus dan prosesus spinosus, fiksasi dengan menggunakan

screw atau kombinasi dari keduanya. Terdapat teknik scott yaitu perbaikan

defek dengan menggunakan wire yang mengikat prosesus transverses dan

prosesus spinosus lalu dilakukan penambahan bonegraft. Pada teknik

fiksasi menggunakan screw sebelum difiksasi dilakukan refresing daerah

fraktur dari jaringan fibrokartilago hilang terdapat perdarahan pada tulang.

Arthrodeesis in situ yaitu terapi operasi baku pada penyakin

spondilolistesis terutama pada kasus dengan low grade slip. Penambahan

instrument transpedikular meningkatkan keberhasilan fusi, tetapi risiko

pseudoarthrosis dan progesifitas pergeseran pasca operasi akan meningkat

bila prodsedure dilakukan pada grade III dan IV. Teknik operasi

Arthrodeesis in situ akan memperbaiki gejala radikulo pati dan hamstring


24

tightness yang menyertai spondilolistesis. Arthrodeesis in situ disertai

dengan dekompresi dilakukan bila terjadi deficit neurologis, terutama pada

sisi bilateral, akan tetapi terdapat kerugian berupa peningkatan risiko

pseudoarthrosis dan intabilitas serta bertambahnya deformitas bila tidak

dilakukan instrumentasi (Rahim, 2012)

2.3 Konsep Nyeri

2.3.1 Definisi Nyeri

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenagkan. Sifatnya

sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal

skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan

dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008). Internasional

Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori

subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005). Nyeri adalah

pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak

menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut

dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas

terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2012).

2.3.2 Sifat Nyeri

Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut Mahon

(1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri
25

bersifat individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang

mendominasi, bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013,). Menurut Caffery

(1980), nyeri dalah segala sesuatu yang dikatakn seseorang tentang nyeri tersebut

dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Apabila

seseorang merasa nyeri, maka prilakunya akan berubah (Potter, 2006).

2.3.3 Klasifikasi Nyeri

a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

1) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau

intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang

bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat

(Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan

menghilang tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali (Prasetyo,

2010).

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap

sepanjang suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang

bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam

Potter &Perry, 2005).

b. Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal

1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau

sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan


26

stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna

adanya adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan

lain-lain (Andarmoyo, 2013).

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di

dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati

(Andarmoyo, 2013).

c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

1) Supervicial atau kutaneus

Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.

Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya

terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013).

Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi.

2) Viseral Dalam

Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ

internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi

dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak

menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Contohnya

sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada

ulkus lambung.

3) Nyeri Alih (Referred pain)

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak

organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian
27

tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai

karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang

terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri,

batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.

4) Radiasi

Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera

ke agian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013).

Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang

kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskusi

interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari

iritasi saraf skiatik

2.3.4 Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri

dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda

(Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling

mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri,

namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan

gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007 dalam Andarmoyo, 2013).

Beberapa skala intensitas nyeri :

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana


28

Gambar 2.2 Skala nyeri verbal (Andarmoyo, S. (2013).

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat

pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS

diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo,

2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk

memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien

memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

b. Skala Intensitas Nyeri dari FLACC

Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan

pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat melaporkan nyerinya (Judha,

2012).

Tabel 2.2 Skala intensita nyeri non verbal


29

Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala numeric

yaitu:

a. 0 : Tidak Nyeri

b. 1-2 : Nyeri Ringan

c. 3-5 : Nyeri Sedang

d. 6-7 : Nyeri Berat

e. 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).

2.3.5 Management Nyeri

a. Manajemen NonFarmakologi

Manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tidakan menurunkan respon

nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi. Dalam melakukan intervensi

keperawatan/kebidanan, manajemen nonfarmakologi merupakan tindakan dalam

mengatasi respon nyeri klien (Sulistyo, 2013). Banyak metode dalam kelas

persiapan melahirkan, yang meliputi hypnosis, acupressure, yoga, umpan balik


30

biologis (biofeedback), sentuhan terapeutik (Lindberg, Lawis, 1988; Nichols,

Humenick, 1988; Kerschner, Scherck, 1991). Teori aroma, seperti penggunaan teh

jamu-jamuan atau uap, dengan memberikan efek yang bermanfaat bagi beberapa

wanita (Valnet, 1990;Tesserand, 1990). Dapat juga dengan tehnik Vokalisasi atau

mendengarkan bunyi-bunyian untuk menurunkan ketegangan, relaksasi dengan

menggunakan imajiner (imagenery-assisted relakxation), kompres panas, pijatan

di perineum, mandi siram hangat atau mendengarkan musik santai serta cahaya

yang tentram (Bobak, 2005).

b. Manajemen Farmakologi

Manajemen nyeri farmakologi merupakan metode yang mengunakan obat-

obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan metode ini memerlukan instruksi

dari medis. Ada beberapa strategi menggunakan pendekatan farmakologis dengan

manajemen nyeri persalinan dengan penggunaan analgesia maupun anastesi.

2.4 Konsep Lansia

2.4.1 Definisi Lanjut Usia

Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia

menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas

(KemenKes RI, 2016). Lanjut usia menurut UU No.4 tahun 1965 pasal 1 dalam

Nugroho (2008) dinyatakan sebagai berikut : “ Seseorang dapat dinyatakan

sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur

55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”.


31

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak

secara tiba-tiba menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah

laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai

usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu 31rose

salami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan

mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup masyarakat

yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan

sosial secara bertahap (Azizah, 2011).

2.4.2 Batasan Lanjut Usia

Batasan usia menurut WHO dalam Masset al, (2011) meliputi :

1. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun

2. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

3. Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun

4. Usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun

Empat tahap lanjut usia menurut Burnside 1979, dalam Nugroho (2008),

yaitu:

1. Young old (usia 60 sampai 69 tahun)

2. Middle age old (usia 70 sampai 79 tahun)

3. Old-old (usia 80 sampai 89 tahun)

4. Very old-old (usia 90 tahun ke atas)

2.4.3 Tipe-Tipe Lanjut Usia


32

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Azizah, 2011). Adapun

tipe-tipe lansia adalah sebagai berikut :

1. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah pengalaman menyesuaikan diri dengan perubahan

jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,

memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

2. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan-kegiatan yang

baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta memenuhi

undangan.

3. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang menyebabkan

kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah, kehilangan kekuasaan,

status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut,

sulit dilayani, dan mengkritik.

4. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis gelap

terbitlah terang, mengikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja

dilakukan.

5. Tipe bingung
33

Tipe ini antara lain: tipe optimis, tipe konstrutif, tipe ketergantungan, tipe

ilitant dan serius, tipe marah atau frustasi, dan tipe putus asa (benci pada diri

sendiri).

2.4.4 Proses Menua (Aging Process)

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2004 dalam Azizah, 2011).

Proses penuaan merupakan akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan

fisiologis organ tubuh yang berlangsung seiring berlalunya waktu, selain itu

proses penuaan akan meningkatkan kemungkinan terserang penyakit bahkan

kematian yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel

akibat terjadinya penumpukan metabolik yang terjadi didalam sel. Metabolik yang

menumpuk tersebut tentunya bersifat racun terhadap sel sehingga bentuk dan

komposisi pembangun sel sendiri akan mengalami perubahan (Azizah,2011).

2.4.5 Perubahan Yang Terjadi Akibat Menua

Lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan

anatomik dan fungsional atas organ-organnya makin besar. Penurunan anatomik

dan fungsi organ tersebut tidak dikaitkan dengan umur kronologik akan tetapi

dengan umur biologiknya. Dengan perkataan lain, mungkin seseorang dengan usia

kronologik baru 55 tahun, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan

anatomik dan fungsional yang nyata akibat “umur biologik” nya yang sudah lanjut

sebagai akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan kurangnya
34

aktivitas (Darmojo, 2009). Perubahan yang terjadi pada lansia menurut Darmojo

(2009), meliputi perubahan fisik, kognitif, spiritual, psikososial, penurunan fungsi

reproduksi dan seksual serta perubahan pola tidur dan istirahat.

1. Perubahan fisik

a. Sel: Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan

cairan intraseluler menurun.

b. Kardiovaskular: Kemampuan memompa darah menurun, elastisitas

pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah

perifer sehingga tekanan darah meningkat.

c. Respirasi: Elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga

menarik napas lebih berat, dan terjadi penyempitan bronkus.

d. Persarafan: Saraf pancaindera mengecil sehingga fungsinya menurun serta

lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan

dengan stress.

e. Muskuloskeletal: Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh

(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian besar dan menjadi kaku.

f. Gastrointestinal: Esofagus membesar, asam lambung menurun, rasa lapar

menurun, dan peristaltik menurun.

g. Vesika urinaria: Otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi

urin.

h. Kulit: Keriput serta kulit kepala dan rambut menurun, elastisitas menurun,

vaskularisasi menurun, uban dan kelenjar keringat menurun.

2. Perubahan kognitif
35

Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah satu

fungsi kognitif.Ingatan jangka panjang kurang mengalami perubahan, sedangkan

ingatan jangka pendek memburuk. Lansia akan kesulitan mengungkapkan kembali

cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya. Faktor yang

mempengaruhi perubahan kognitif pada lansia, yaitu: perubahan fisik, kesehatan

umum, tingkat pendidikan, keturunan, dan lingkungan (Nugroho, 2008).

3. Perubahan spiritual

Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan, lansia

makin teratur dalam menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-

hari.Lansia juga cenderung tidak telalu takut terhadap konsep dan realitas

kematian (Darmojo, 2009).

4. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial yang dialami lansia yaitu masa pensiun, perubahan

aspek kepribadian, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat.Pensiun

adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran

yang menyebabkan stres psikososial.Hilangnya kontak sosial dari area pekerjaan

membuat lansia pensiunan merasakan kekosongan.Lansia mengalami penurunan

fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,

pemahaman, pengertian, perhatian yang menyebabkan reaksi dan perilaku lansia

menjadi semakin lambat. Fungsi psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan

dengan dorongan kehendak, yang mengakibatkan lansia menjadi kurang

cekatan.Perubahan dalam peran sosial di masyarakat dapat terjadi akibat adanya

gangguan fungsional maupun kecacatan pada lansia.Hal ini dapat menimbulkan


36

perasaan keterasingan pada lansia.Respon yang ditunjukkan oleh lansia yaitu

perilaku regresi (Stanley & Bare, 2006).

5. Penurunan fungsi dan potensi seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia seing kali berhubungan

dengan berbagai gangguan fisik. Faktor psikologis yang menyertai lansia

berkaitan dengan seksualitas yaitu rasa tabu dan malu apabila mempertahankan

kehidupan seksual pada lansia. Sikap keluarga dan masyarakat juga kurang

menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya (Stanley & Bare, 2006).

6. Perubahan pola tidur dan istirahat

Perubahan otak akibat proses penuaan menghasilkan eksitasi dan inhibisi

dalam sistem saraf. Saat ini, bagian korteks frontal otak diduga dapat berperan

sebagai inhibitor pada sistem terjaga, fungsi inhibisi ini akan menurun seiring

dengan pertambahan usia. Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur

(Bliwise, 1994 dalam Mass et al, 2011). Kozier, et al. (2010) mengemukakan

Lansia tidur sekitar 6 jam setiap malam. Sekitar 20% sampai 25% tidur berupa

tidur REM. Tidur tahap IV menurun dengan mencolok dan pada beberapa

keadaan, tidak terjadi tidur tahap IV. Periode tidur REM pertama berlangsung

lebih lama.Banyak lansia terbangun lebih sering di malam hari dan sering kali

mereka memerlukan waktu yang lama untuk dapat kembali tidur.

Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami

suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan

rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur

pada lansia jika tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi
37

gangguan tidur yang kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan

tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek

seperti pelupa, konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008).

2.4.6 Penyakit Umum Pada Lansia

1. Penyakit pada sistem pernapasan dan kardiovaskuler

a. Paru

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang

disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada semakin berkurang. Dalam

usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot dapat berkurang sehingga sulit

bernapas. Fungsi paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah

oksigen yang diikat oleh darah dalam paru untuk digunakan tubuh.Jadi konsumsi

oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru. Dengan demikian

mudah dimengerti bahwa konsumsi oksigen akan menurun pada orang lanjut usia.

Berkurangnya fungsi paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem

respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Selain penurunan fungsi paru akibat proses

menua, beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru antara lain debu,

polusi udara, asap industri, kebiasaan merokok, usia, dan karena daya tahan tubuh

menurun, individu mudah terkena infeksi. Infeksi yang sering diderita lanjut usia

adalah pneumonia yang merupakan penyakit penyerta lain, misalnya diabetes

melitus, payah jantung kronis, dan penyakit vaskuler (Nugroho, 2008).

b. Jantung dan pembuluh darah

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian tersebar dan

disabilitas pada lanjut usia, terutama usia 65 tahun ke atas dan 50% terdapat
38

dinegara industri maju. Lanjut usia umumnya mengalami pembesaran jantung

(hipertrofi). Rongga bilik kiri juga mengalami penurunan akibat semakin

berkurangnya aktifitas.Besarnya otot jantung juga mengalami penurunan hingga

menyebabkan menurunnya kekuatan otot jantung. Seiring bertambahnya usia,

denyut jantung maksimum dan fungsi lain jantung juga berangsur menurun. Pada

lanjut usia, tekanan darah akan naik secara bertahap, elastisitas jantung pada orang

berusia 70 tahun menurun skitar 50% dibanding dengan orang muda berusia 20

tahun. Derajat kerja jantung dapat dinilai dari besarnya curah jantung, yaitu

jumlah darah yang dikeluarkan bilik jantung atau ventrikel per menit. Pada usia 90

tahun, curah jantung akan menurun dan menimbulkan efek pada fungsi alat lain,

seperti otot, paru, dan ginjal karena berkurangnya arus darah ke organ tubuh

(Nugroho, 2008).

2. Penyakit sistem pencernaan

Dengan proses menua mungkin terjadi gangguan motilitas otot polos

sehingga mungkin juga terjadi reflux disease (terjadi akibat refluks isi lambung ke

esofagus). Insiden ini mencapai puncak pada usia 60-70 tahun. Lanjut usia sudah

mengalami kelemahan otot polos sehingga proses menelan sering mengalami

kesulitan (Nugroho, 2008).

3. Penyakit sistem urogenital

Peradangan pada sistem urogenital, terutama ditemukan pada wanita lanjut

usia berupa peradangan kandung kemih sampai peradangan ginjal akibat sisa

urindalam kandung kemih. Keadaan ini disebabkan berkurangnya tonus kandung

kemih dan adanya tumor yang menyumbat saluran kemih. Pada pria berusia lebih
39

dari 50 tahun, sisa urin dalam kandung kemih dapat disebabkan oleh pembesaran

kelenjar prostat (hipertrofi prostat) dan akan menyebabkan gangguan berkemih.

Bahkan terkadang urin secara mendadak tidak dapat dikeluarkan sehingga untuk

mengeluarkannya harus dipasang kateter (Nugroho, 2008).

4. Penyakit gangguan endokrin

Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang

memproduksi hormon, seperti kelenjar pankreas yang memproduksi insulin dan

sangat penting dalam pengaturan gula darah. Semua jenis penyakit hormonal

dapat terjadi pada lanjut usia, tetapi bentuk fungsi ini tidak khas seperti pada

orang muda. Salah satu kelenjar endokrin dalam tubuh mengatur agar arus darah

ke organ tertentu berjalan dengan baik melalui vasokonstriksi pembuluh darah

bersangkutan disebut adrenal/kelenjar anak ginjal. Ada pula yang merupakan

stress hormon, yaitu hormon yang diproduksi dalam jumlah besar dengan kedaan

stres dan berperan penting dalam reaksi mengatasi stres, oleh karena itu dengan

mundurnya produksi hormon, lanjut usia kurang mampu menghadapi stres

(Nugroho, 2008).

5. Penyakit pada persendian tulang

Penyakit pada sendi ini adalah akibat degenerasi atau kerusakan pada

permukaan sendi tulang yang banyak ditemukan pada lanjut usia, terutama pada

lansia yang obesitas. Hampir 85 orang yang berusia 50 tahun keatas mempunyai

keluhan pada sendinya, misalnya linu, pegal, dan kadang-kadang terasa

nyeri.Bagian yang terkena biasanya adalah persendian pada jari-jari, tulang

punggung, sendi lutut dan panggul (Nugroho, 2008).


40

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi canal spinal stenosis


disertaidengan spondilolitesi

Konsep asuhan keperawatan pada pasien Post operasi canal spinal stenosis

akan diuraikan secara runtut, mulai dari pengkajian yang berisi pengkajian,

kemdian dilanjutkan dengan diagnosis keperawatan, dan rencana keperawatan.

2.5.1 Pengkajian

Pengkajian pada pasien menurut Muttaqin (2012) meliputi:

1. Anamnesis

Pengumpulan data pasien baik subjektif maupun objektif pada Nyeri post

operasi serata gangguan sistem persarafan sehubungan dengan tulang belakang

bergantung pada bentuk, lokasi, jenis cedera, dan adanya komplikasi pada organ

vital lainnya. Anamnesis meliputi identitas, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat alergi

pasien.

a. Identitas

Lebih sering terjadi pada orang yang lanjut usia mengalami kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kerja lain seperti jatuh dari

pohon atau bangunan.

b. Keluhan utama

nyeri post operasi.

c. Riwayat penyakit sekarang

Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan kecelakaan lain seperti jatuh
41

dari pohon atau bangunan. Pengkajian yang didapat meliputi, hilangnya

sensasibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya

sensabilitas yang total dan melemah/menghilangnya refleks profund). Ini

merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung

beberapa hari, beberapa minggu, ileus paralitik, retnsi urine, dan hilangnya

reflek-reflek.

d. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat cidera tulang

sebelumnya, riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,

penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,obat-obat adiktif,

dan konsumsi alkohol berlebihan.

e. Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota keluarga terdahulu yang menderita asma, hipertensi

dan diabetes mellitus.

f. Riwayat alergi

Kaji riwayat alergi obat maupun makanan pada pasien.

2. Pemeriksaan fisik

a. B1 Breathing

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada tingkat nyeri yang di

rasakan setelah post operasi adapun sebelum operasi, gradasi blok saraf

parasimpatis (pasien mengalami kelemahan otot-otot pernapasan) dan

perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma

pada tulang belakang sehingga mengalami terputusnya jaringan saraf di


42

medula spinalis. Pengkajian meliputi keefektifan pola napas, respiratory rate,

abnormalitas pernapasan, pola napas,bunyi napas tambahan seperti mengi dan

ronchi, sertadapat menggunakan otot bantu pernapasan, dan pantau saturasi

oksigen biasanya terjadi penurunan SPO2.

b. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada pasien cedera tulang belakang sedang

dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular pasien cedera tulang belakang

pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah menurun, nadi

bradikardia, berdebar debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,

bradikardia ekstermitas dingin atau pucat. Nadi bradikardia merupakan tanda

dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit pucat menandakan adanya

penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya

perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan. Pada suatu

keadaan lain akibat trauma kepala kan merangsang pelepasan hormone

antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi

atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini

akanmeningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga memberikan

resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem

kardiovaskular.

a. B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi

serebral, dan pengkajian saraf cranial.


43

1) Pengkajian tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan pasien dan respon

terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem

persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat

perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.

2) Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah

laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pasien. Pada

pasien yang telah lama menderita tcedera tulang belakang biasanya status

mental pasien mengalami perubahan.

3) Pemeriksaan saraf kranial I-XII.

a) Saraf I. Biasanya pada pasien dengan cedera tulang belakang tidak

ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada fungsi normal.

c) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak mengalami gangguan

mengangkat kelopak mata, pupil isokor.

d) Saraf V. Pada pasien meningitis umumnya tidak didapatkan

paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada

kelainan.

e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah

simetris.

f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli

persepsi.

g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.


44

h) Saraf XI. Tiddak ada artofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius. Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher

dan kaku kuduk (rigiditas nukal)

i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak

ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

4) Pengkajian sistem motorik. Inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada

ekstermitas bawah, baik bersifat paralisis, paraplegi, maupun quadriplegia.

Trauma pada kauda ekuinea pasien mengalamiparalisis layu dari otot

dibawah lutut yang bersifat menetap. Pada pasien cedera dengan paraplegi

yang lama sering didapatkan dekubitus pada bokong akibat penekanan

setempat tulang sekunder dari kurangnya mobilitas pasien.

a) Tonus otot: didapatkan menurun sampai hilang

b) Kekuatan otot: pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan

otot didapatkan tingkat 0-1 pada ekstermitas bawah.

c) Keseimbangan dan koordinasi: didapatkan mengalami gangguan

karena mengalami kelumpuhan ekstermitas bawah.

5) Pengkajian refleks.Pemeriksaan refleks dalam, refleks achilles

menghilang, dan refleks patella biasanya melemah karena kelemahan pada

otot hamstring. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks

fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan

muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

6) Pengkajian sistem sensorik. Gangguan sistem sensibilitas pada pasien

cedera medula spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.


45

Trauma pada kauda ekuinea mengalami hilangnya sensasibilitas secara

menetap pada kauda daerah bokong, perineum, dan anus.

b. B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,

termasuk berat jenis urine.Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi

cairan dapat terjadi akibat terjadi akibat menurunnya perfusi pada

ginjal.Trauma pada kauda ekuinea pasien mengalami hilangnya refleks

kandung kemih yang bersifat sementara dan pasien mungkin mengalami

inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan

postural.Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik

steril.

c. B5 (Bowel)

Pada keaddaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus

paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung, dan

defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang

akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pemeriksaan

refleks bulbokavernosa didapatkan positif, menandakan adanya syok spinal

yang jelas pada pasien dengan cedera medula spinalis.Pemenuhan nutrisi

berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi yang kurang.Pemeriksaan

rongga mulut dan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau

perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.

d. B6 (Bone)
46

Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian

lesi saraf yang terkena trauma.Gejala gangguan motorik sesuai dengan

distribusi segmental dari saraf yang terkena.Disfungsi motorik paling umum

adalah kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh ekstermitas bawah.Kaji warna

kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit:

warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstermitas, teling,

hidung, bibir, dan membrane mukosa). Pucat wajah dan membrane mukosa

dfapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Adanya

kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah

lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2.5.2 Pemeriksaan Diagnostik

Setiap pasien dengan trauma kepala dan tulang belakang harus mendapat

pemeriksaan secara lengkap.Anamnesis yang baik mengenai jenis trauma, apakah

jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, atau olahraga. Diperhatikan adanya

tanda-tanda trauma dan abrasi kepala bagian depan yang mungkin disebabkan

karena trauma hiperekstensi (Muttaqin, 2012).Pemeriksaan diagnostik tersebut

mencakup kegiatan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan foto rontgen

a. Pemeriksaan foto servikal cross table lateral dan AP

Pemeriksaan foto servikal cross table lateral dan AP adalah melakukan

pemeriksaan foto servikal dimana penderita tetap dalam posisi tidur

terlentang, sedangkan film atau cup foto diletakan disebelah kanan dan kiri

penderita. Hasil pemeriksaan ditemukan adanya kelainan kesegarisan


47

(aligment), fraktur atau pergeseran (listesis) maka akan ditemukan pula

sebanyak 10% kelainan yang sama pada kolumna vetebralis ditempat lain.

b. Foto vertebra torakal AP

Pemeriksaan foto torakal standar adalah proyeksi AP diperhatikan

kesergarisan dari korpus vertebra, jarak antara diskus, pedikel, prosessus

spinosus dan foramen intervertebra. Hasil pemeriksaan jika dicurigai adanya

kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik lateral maupun oblik.

c. Foto vertebra lumbosacral AP

Pemeriksaan foto lumbasakral hampir sama dengan pemeriksaan vertebra

torakal, perhatian khusus adalah adanaya listesis lumbal, adanya lumbalisasi

atau sakralisasi serta keadaan tulang iliaca.Hasil skrening awal didapatkan

keadaan yang mencurigakan pada level tertentu kolumna vetrebalis, maka

pada level tersebut perlu dilakukan pemeriksaan CT scanning untuk

memperjelas kelainan yang terjadi. Hasil periksaan ditemukan cedera spinal

dengan gejala neurologis, namun pada pemeriksaan radiologi atau CT

scanning tidak ditemukan adanya kelainan keadaan tersebut disebut

SCIWORA (Spinal Cord Injury Without Radiographic Abnormality), maka

perlu dilakukan pemeriksaan MRI spinal untu melihat abnormalitas dari

jaringan lunak seperti ligament, diskes, dan medula spinalis.

2. Pemeriksaan CT scan kepala, untuk melihat hematoma,edema serebri, fraktur

cranium, midline shift. Untuk pasien yang kesadaran penuh GCS 15 CT scan

rutin tidak direkomendasikan, kecuali didapatkan nyeri kepala berat yang

menetap, muntah atau kelainan neurologi fokal (Setiawan, 2010).


48

Pemeriksaan CT scan juga untuk melihat fragmentasi, pergeseran fraktur

dalam kanal spinal

3. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus

intervertebralis dan ligament flavum serta lesi dalam sumsum tulang

belakang.

4. Pemeriksaan laboratorium.

2.5.3 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan menurut Muttaqin (2012) akan diuraikan sebagai

berikut :

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot

pernapasaan, kelumpuhan otot diafragma.

Definisi: Inspirasi/ekspirasi yang tidak memberi ventilitas yang adekuat

Batasan karakteristik: Dipsnea, bradipnea, penurunan kapasitas vital,

perubahan dalam kedalaman bernapas ( dewasa VT 500 ml pada saat

istirahat) (Wilkinson, 2016).

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuansi irama

jantung

Definisi: Ketidak adekuatan pompa darah oleh jantung untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh.

Batasan karakteristik: Aritmia, perubshsn pola EKG, kulit dingin dan

berkeringat, denyut perifer menurun, variasi pada hasil pemeriksaan

tekanan darah, ansietas (Wilkinson, 2016).


49

3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot

sekunder, post operasi

Definisi: Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat

adanya kerusakan jaringan yang actual dan potensial atau digambarkan

dengan istilah seperti kerusakan (international association for the study of

pain); Awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan

saampai berat dengan akhir yang didapat diantisipasi atau dapat

diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan (Wilkinson, 2016).

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular

Definisi: Keterbatasan kebebasan bergerak diatas tempat tidur dari satu

posisi ke posisi yang lain (sebutkan tingkat ketergantungan menggunakan

skala fungsional terstandarisasi).

Batasan karakteristik: Hambatan kemampuan untuk mengubah posisi,

mengatur reposisi diri ditempat tidur, berbalik dari sisi ke lain sisi

(Wilkinson, 2016).

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama

Definisi: Kulit berisiko terhadap kerusakan.

Batasan karakteristik: Kerusakan pada lapisan kulit (dermis), kerusakan

pada permukaan kulit (epidermis), invasi struktur tubuh. (Wilkinson, 2016)

6. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan gangguan

persarafan pada usus dan rektum, imobilisasi, intake cairan yang tidak

adekuat.
50

Definisi: Peningkatan, penurunan, ketidakefektifan, atau kurang aktivitas

paristaltik dalam sistem gastrointestinal

Batasan karakteristik: Perubahan pada pola defekasi, penurunan frekuensi,

distensi abdomen, bising usus hipoaktif dan hiperaktif, tidak mampu

mengeluarkan feses. (Wilkinson, 2016).

7. Risiko perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

peningkatan tekanan intrakranial.

Definisi: Penurunan sirkulasi jaringan serebral yang dapat mengganggu

kesehatan.

Faktor risiko: Trauma kepala, neoplasma otak, hipertensi, dilatasi

kardiomiopati, sindrom sinus sakit.


51

2.5.4 Intervensi dan Rasionalisasi Keperawatan

Sasaran pada pasien adalah pasien dapat melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuanya tidak terjadi trauma,

integritas kulit pasien membaik, pasien tidak mengalami konstipasi, pola eliminasi baik, pasienmampu melakukan aktivitas

fisik.

Tabel 2.3 Intervensi keperawatan (Muttaqin, 2012)

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan, kelumpuhan otot diafragma.
Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam pola napas efektif
Kriteria hasil: RR dalam batas normal (12-20 x permenit), tidak ada tanda-tanda sianosis, analisa gas darah dalam batas normal,
pemeriksaan kapasitas paru dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, catat frekuansi pernapasan, Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi
dyspnea, atau perubahan tanda-tanda vital sebagai akibat stress fisiologi dapat menunjukkan terjadinya
spinalis syok. Trauma c1-c2 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara parsial, karena otot pernapasan mengalami
kelumpuhan.
Perhatikan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri Membantu pasien menghidari efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dalam menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas
Pertahankan jalan napas ; posisi kepala tanpa gerak. Pasien dengan cedera servikalis akan membutuhkan bantuan untuk
mencegah aspirasi/mempertahankan jalan napas.
Observasi warna kulit Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan
tindakan segera
Kaji distensi perut dan spasme otot Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragma.
Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal, dan Menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus
kekuatan pernapasan untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan
Berikan oksigen dengan cara yang tepat. Metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
52

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi irama jantung


Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam pasien tidak mengalami penurunan curah jantung
Kreteria:
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, Mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskuler, pernafasan
status pernafasan, dan status mental dan suhu tubuh untuk mencegah komplikasi
Pantau tanda kelebihan cairan edema, dependen, kenaikan Menurunkan dan meniadakan kehilangan darah yang cepat dan
berat badan dalam jumlah banyak
Hubungkan efek nilai laboraturium, oksigen, obat, Mengumpulkan data dan menganalisis untuk meminimalisir terjadi
aktivitas pada distrimia komplikasi
Ubah posisi pasien setiap 2 jam dan pertahankan setiap Untuk meningkatkan sirkulasi vena
aktivitas lain yang dibutuhkan untuk mempertahankan
sirkulasi perifer
Kalaborasi obat aritmia, inotropic nitrogriseril dan Untuk mempertahankan kontraktilitas preload dan after load, sesuai
vasodilator dengan program medis dan protokol
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam pasien terkondisi mampu melaksanakan aktivitas fisik
Kreteria: Pasien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan pasien
menunjukan tindakan meningkatkan mobilisasi
Intervensi Rasionalisasi
Kaji mobilisai yang ada dan observasi terhadap peningkatan Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan
kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik aktivitas
Ubah posisi pasien tiap 2 jam Menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi
darah yang jelek pada daerah yang tertekan
Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit Otot volunteer akan kehilangantonus dan kekuatanya bila tidak
dilatih untuk digerakan
Inspeksi kulit bagian distal setiap hari Deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi
resiko tinggi kerusakan kulit kemungkinan komplikasi
imobilisasi
53

Kalaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik pasien Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstermitas dapat
ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama


Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam pasien memperlihatkan perilaku dapat mempertahankan keutuhan kulit
Kreteria: Pasien mampu beradaptasi terhadap pencegahan luka, mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
Intervensi Rasionalisasi
Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan Meningkatkan aliran darah ke semua daerah
mobilisasi bila mungkin
Ubah posisi pasien tiap 2 jam Menurun kan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat
sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan
Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak dibawah Menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah yang
daerah-daerah yang menonjol menonjol
Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru Menghindari kerusakan kapiler kapiler
mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
Jaga kebersihan kulit. Jaga linentetap kering Meningkatkan integritas kulit

5. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum, imobilisasi,,
intake cairan yang tidak adekuat
Tujuan: Dalam waktu 3x24jam pasien tidak mengalami konstipasi
Kreteria: Pasien dapat defekasi secara spontan dan lancer tanpa menggunakan obat, konsistensi feses lembek berbentuk, tidak
teraba massa pada kolon bising usus normal (15-30x/menit)
Intervensi Rasionalisasi
Beri penjelasan kepada pasien tentang penyebab konstipasi Pasien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab
konstipasi
Observasi adanya distensi perut. Catat adnya keluhan mual Perdarahan pada gastrointestinal dan lambung mungkin terjadi
dann ingin muntah pasang NGT akibat trauma atau stress
Bila pasien mampu minum berika intake cairanyang cukup (2 Masukan cairan yang adekuat membantu mempertahankan
liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi konsistensi usus dengan membantu eliminasi reguler
Lakukan mobilisasi sesuai keadaan pasien Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan
memperbaiki tonus otot abdomen dan paristaltik
54

Kalaborasi dengan dokter dalam pemberian pelunak feses Pelunak fases meningkatkan efisiensi bembasahan air usus,
yang melunakan massa fases dan membantu eliminasi

6. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan, refleks spasme otot


Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang
Kreteria: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri Pendekatan dengan mennggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi dan noninvasifkatan nonfarmakologi lainya telah menunjukan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
Lakukan menegemen nyeri keperawatan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulasi nyerieksternal
Menegemen lingkungan tenang atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien
untuk istirahat
Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam Meningkatkan asupan O² sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemik jaringan otak
Observasi tingkat nyeri dan respon motorik pasien 30 menit Pengkajian yang optimal memberikan perawatan data yang
setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektifitasnya objektif
Kalaborasi dengan dokter pemberian analgetik Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan
berkurang

7. Risiko penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan trauma kepala


Tujuan: Risiko tidak terjadi
Kreteria: Mendemonstrasikan tingkat kesadaran normal, tidak mengalami sakit kepala, terbebas dari aktivitas kejang
Intervensi Rasionalisasi
Pantau tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu Pemantauan tingkat kesadaran dan tanda- tanda vital pasien
tubuh serta tingkat kesadaran
Pantau tekanan intra kranial dan respon neurologis pasien Perhatian perubahan pasien sebagi respon stimulus
Minimalkan stimulus lingkungan Lingkungan dapat mempengaruhi tekanan intrakranial
Kolaborasi obat-obatan untuk meningkatan volume Program untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral
intravaskuler
55

2.5 KerangkaMasalahKeperawatan

Jatuh dari ketinggian, kecelakaanlalulintas,


kecelakaan olahraga, dan kecelakaan lain
Trauma tulang belakang

Agen cidera fisik (Trauma)

Spasm eotot
canal spinalis stenosis,
Respon nyeri

spondilolitesis
1. Nyeriakut
penyembuhan luka
1. Nyeriakut
post operasi pasca bedah

Sirkulasi Neurologi Urinary Gastrointestinal Bone Integumen

Perubahan perfusi jantung Gangguan tirsh bsring Gangguan persarafan Imobilisas ifisik
saat terjadi respon nyeri neuromuskular post opersi pada usus dan rektum
56

7. Aktual/Resiko
Kelemahan kerusakan
4. Peningkatan ekstermitasatas bawah 6. Ganggua neliminasi integritas kulit
curah jantung
uri-alvi

5. Hambatan mobilitas fisik

Gambar 2.3 Kerangka masalah canal spinalis stenosis dan spondilolitesis.


BAB 3

TINJAUAN KASUS

Bab ini akan membahas gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan

keperawatan pada pasien canal stenosis disertai dengan spondilolistesia , maka

penulis menyajikan kasus pada Tn. P yang penulis amati dari tanggal 16 Juli 2018

- 20 Juli 2018 di Ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

3.1 Asuhan Keperawatan Pada Tn. P

3.1.1 Pengkajian

1. Identitas pasien

Pasien bernama Tn.P berusia 68 tahun.Pasien bersuku jawa dan berbangsa

Indonesia, Pasien beragama Islam, pendidikan terakhir pasien adalah Sarjana,.

Status pasien sudah menikah dan mempunyai 3 orang Istri bertempat tinggal di

kota Sidoarjo. Pasien masuk H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal 11

Juli 2018 pukul 12.00 WIB dengan nomor rekam medik 30-4x-xx. Pengkajian

dilakukan pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 12.00 WIB di ruang H 1 Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya. Pasien dirawat dengan diagnosa medis canal stenosis disertai

dengan spondilolistesia .

2. Riwayat penyakit

55
56

a. Keluhan utama: pasien mengeluh nyeri luka operasi, P:luka post operasi

hari ke 3 ; Q: di tusuk tusuk; R:tulang belakang L IV-V;S: 5 (1-10) :T:

hilang timbul

b. Riwayat penyakit sekarang

Istri pasien mengatakan bahwa sekitar bulan Juni 2017 pasien mengeluh

nyeri pada punggung dan sukar untuk berjalan akibat terlalu berat memindahkan

pasir. Keluarga kemudian membawa pasien ke RSI Jemursari Surabaya dan

pasien mendapatkan terapi fisiologis selama 3 bulan. Karena pasien tidak ada

perubahan pasien pindah perawatan di rumah terapi Kutisari selama 3 bulan, saat

melakukan fisioterapi di rumah terapi Kutisari pasien merasakan semakin nyeri.

Pada bulan April 2018 pasien berobat kembali di RSI Jemursari Surabaya,

kemudian pasien dirujuk pasien ke Poli Ortophedi Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya. Pada tanggal 20 Mei 2018 pasien datang di Poli Ortophedi Rumkital

Dr. Ramelan Surabaya kemudian pasien melakukan pemeriksaan MRI, dan dokter

menyarankan untuk melakukan operasi posterior lumbar interbody fusion (PLIF)

karena saraf yang sangat terjepit. Pada tanggal 11 Juli 2018 pasien melakukan

persiapan operasi, pasien datang melalui Poli Ortophedi Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya dan dipindahkan diruang perawatan H 1 Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya untuk melakukan perawatan persiapan pre operasi, dengan keadaan

umum sedang, kesadaran composmentis, dilakukan pemasangan infuse RL 21

tetes/ menit, dilakukan skin test antibiotik cefazolin dan dilakukan tindakan

observasi tanda-tanda vital : tekanan darah 120 /80 mmHg, frekuensi nadi 88

x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu tubuh 36,5 °C, SPO2 98%, EWS 0. Pada
57

tanggal 13 Juli 2018 pasien di pindahkan di kamar OK Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya dengan operasi posterior lumbar interbody fusion (PLIF). operasi

dimulai pukul 09.00 WIB dengan pendarahan ±300 cc dan selesai operasi pukul

12.00 dengan lama anastesi 3 jam. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan di

ruang ICU Anastesi pada tanggal 13 Juli 2018 pukul 12.00 WIB dan pasien

terpasang O2 masker 5 Lpm, injeksi cefazolin 3 x 1 gr/iv, injeksi ketorolac 3 x 30

mg/iv, injeksi ranitidine 2 x 25 mg/iv, injeksi methycobal 1x 500mg/iv dengan

drain 250cc/24jam, balace cairan 1500-1975,4= -475,6. Pada tanggal 14 Juli 2018

pasien dipindahkan diruang perawatan H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya untuk

perawatan post operasi dilakukan tindakan observasi tanda-tanda vital : tekanan

darah 120 /80 mmHg, frekuensi nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

tubuh 36,7 °C, SPO2 98%, EWS 0, GCS 456, injeksi cefobactam 2 x 1 gr/iv,

injeksi ketorolac 3 x 30 mg/iv, injeksi ranitidine 2 x 25 mg/iv, injeksi methycobal

1x 500mg/iv. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 12.00,

pasien mengeluh nyeri dengan P: luka post operasi L IV dan V, Q: seperti

ditusuk-tusuk, R: tulang belakang, S: 5 (1-10), T: hilang timbul dan observasi

tanda-tanda vital : tekanan darah 130 /90 mmHg, frekuensi nadi 90 x/menit,

pernafasan 20 x/menit, suhu tubuh 36,5 °C, SPO2 98%, EWS 0, GCS 456,

3. Riwayat penyakit dahulu

Istri pasien mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat operasi pada

tulang paha karena kecelakaan pada ±20 tahun yang lalu, pasien mempunyai

riwayat operasi hernia pada ±5 tahun yang lalu, dan memiliki riwayat penyakit

hipertensi serta Diabetes militus sejak ± 7, tahun yang lalu.


58

4. Riwayat penyakit keluarga

Istri pasien mengatakan bahwa keluarga tidak ada yang mengalami

penyakit yang sama dengan yang dialami Tn. P saat ini.

5. Riwayat Alergi

Istri pasien mengatakan bahwa pasien tidak mempunyai riwayat alergi

makanan ataupun obat – obatan.

6. Keadaan Umum

Pasien dalam keadaan sadar penuh dengan GCS eye 4, verbal 5, dan

motorik 6 dengan total nilai kesadaran 15.Pasien mengeluh nyeri (PQRST)

dengan P: luka post operasi L IV dan V, Q: seperti ditusuk-tusuk, R: tulang

belakang, S: 5 (1-10), T: hilang timbul

3.1.2 Pemeriksaan Fisik

1. Tanda-tanda vital

Tekanan darah pasien 120/80 mmHg, frekuensi nadi 90 x/menit lokasi

radialis, pernapasan 20 x/menit, suhu 36,5 ºC lokasi axilla, SPO2 980%, GCS

456, EWS 0, .Berat badan ± 65 kg, tinggi badan ± 175 cm, dengan indeks massa

tubuh 21,2 .

2. Airway Breathing
59

Jalan nafas pasien paten, nafas spontan, Irama nafas regular, tidak terdapat otot

bantu nafas dan cupping hidung, pergerakan dada pasien simetris, Pola nafas

normal eupnea dengan frekuensi pernapasan 20 x/menit

3. Circulation

Ictus cordis terletak di ICS 5 mid clavicula sinistra, konjungtiva kanan kiri

anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada sianosis, CRT kurang 2 detik, akral hangat

kering merah (HKM), frekuensi nadi 88 x/menit, tenkanan darah 120/80 mmHg,

auskultasi bunyi S1 S2 tunggal lub dup.

4. Neurologi

Kesadaran pasien penuh GCS 456 eye 4, verbal 5, motorik 6, pupil isokor reflek

cahaya +/+, pasien tidak mengalami kejang.

a. NI:Pasien tidak mengalami gangguan penciuman

b. NII: Lapang pandang pasien tidak mengalami penyempitan dan normal

c. NIII: Pasien mampu mengangkat kelopak mata

d. NIV: Pasien mampu menggerakan kedua bola mata ke kiri dan kanan

e. NV: Pasien mampu mengunyah dan menggerakkan alis

f. NVI: Pasien mampu menggerakan bola mata menuju objek rangsangan,

g. NVII: Pasien mampu mengerutkan dahi dan pengecapan pasien baik,

h. NVIII: Pasien mampu mendengarkan rangsangan suara

i. NIX-X:Pasien mampu membuka mulut dan menelan (minum)


60

j. NXI: Pasien mampu berbicara dan mengeluarkan suara

k. N XII: Kekuatan otot lidah pasien baik dan mampu menjulurkan lidah.

5. Urinary

Pasien dilakukan pemasangan folley catheterno14 pada tanggal 13 Juli 2018, urin

tampung observasi tiap 3 jam, produksi urine pasien 950cc/24 jam (13 Juli 2018),

warna urine kuning jernih, tidak ada distensi pada vesika urinaria.

6. Gastrointestinal

Abdomen tampak normal tidak ada nyeri tekan abdomen, Mukosa bibir lembap,

menggunakan gigi palsu, pasien tidak terpasang NGT, umbilkus tampak normal,

diit nasi biasa tinggi protein rendah lemak air mineral, suara bising usus terdengar

10 x/menit,dan suara perkusi abdomen tympani.

7. Bone dan Integumen

Pasien dengan post operasi posterior lumbal interbodi fusion (PLIF) hari ke-3

nampak tirah baring, warna kulit sawo matang, kelembaban kulit kurang, akral

teraba hangat, pasien tidak ada edema pada ekstermitas atas dan bawah,

menggunakan ROM aktiv dan terbatas. Penilaian kekuatan otot pada kemampuan

gerak jari, gerak pergelangan tangan kanan dan kiri pada skala 5 yang artinya

mampu menggerakan persendian dalam lingkup gerak penuh, mampu melawan

gaya gravitasi, mampu melawan dengan tahan penuh. kemampuan gerak lutut,

pergelangan kaki dan jari pada skala 3 yang artinya pergerakan aktif hanya

melawan gravitasi dan tidak melawan tahan

3.1.3 Pemeriksaan Penunjang


61

1. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel. 3.1 Hasil PemeriksaanLaboratoriumpada Tn. P


Hari/Tgl Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretas
i
13-7-18 WBC 9,74 ribu/uL 4,0-10,0 ribu/uL Normal
RBC 3,77 juta/uL 3,50-5,50juta/uL Normal
HGB 11,2 g/dl 11,0-16,0g/dl Normal
HCT 33,2 % 37,0-54,0% Menurun
MCV 88,0 fL 80,0-100,0 fL Normal
Natrium 126,9 mmol/L 135-145 mmo/L Normal
Kalium 4,16 mmol/L 3,50-5,00 mmol/L Normal
Klorida 97,60 mmol/L 95,0-105,0 mmol/L Normal
GDA sewaktu 151 mg/dl 70-200 mg/dl Normal

2. Pemeriksaan foto rongten


62

Gambar 3.1 Foto rontgen Tn. P pada tanggal 11 Juli 2018

Gambar 3.2 Foto rontgen Tn. P pada tanggal 13 Juli 2018

a) MRI

Gambar 3.3 Pemeriksaan MRI Tn.P pada tanggal 5 Mei 2018

kesimpulan kombinasi spondilolistesis grade I L IV terhadap L V protruded disc

herniations L IV-V ke posteromedian dan para median kana kiri yang

menyebabkan penekanan significant anterior dan furamena neuralis kanan kiri

3.1.4 Terapi
63

Tabel. 3.2 Terapiobat pada Tn. P


Hari /
Medikasi Dosis Indikasi
Tanggal
Senin, Ketorolac 3 x 30 mg/iv Membantu mengurangi nyeri
16 Juli
2018
Cefobactam 2 x 1 gr/iv Antibiotik diindikasikan untuk
mengobati berbagai macam infeksi

Methycobal 1 x 500 mg/iv Mengandung vit b12 untuk


penderita neuropati perifer

Ranitidine 2x25 mg/iv Termasuk golongan H2 histamin,


mencegah berbagai penyakit perut
yang disebabkan oleh terlalu
banyak asama lambung

Cefixim 2 x 100 mg/oral Antibiotik diindikasikan untuk


mengobati berbagai macam infeksi

Asam efenamat 3 x 500 mg/oral Mengurangi rasa nyeri

Gabapentin 1 x 300 mg Neurotransmitar anti konvulsi untuk


memperbaiki sistem saraf untuk
mengatasi rasa sakit akibat
kerusakan pada saraf

Osteocal 1 x 0,25 mcg Kalsium yang membantu


memperbaiki tulang pasca operasi
64

3.1.5 Analisis Data

Tabel. 3.3 Analisa dataTn. P


No. Data Etiologi Masalah

1 Ds:Pasien mengatakan nyeri pada Agen cedera fisik Nyeri akut


luka operasi trauma

a. P : luka post operasi hari ke 3


Q : Seperti ditusuk
R : tulang belakang
S : 5 (1-10)
T : hilang timbul

Do:

b. Pasien tampak meringis


menahan nyeri
c. Pasien mengalami cidera
tulang belakang

3 Ds:Pasien mengatakan kedua kaki Gangguan Hambatan


bisa digerakan namun terbatas neuromuskular mobilitas fisik
karena nyeri

Do:

a. Tangan dan kaki pasien


tampak lemah
b. Pasien tampak tidak mampu
menggerakan kakinya
c. Kekuatan otot ROM
5555 5555

3333 3333
65

4 Ds : pasien mengatakan takut BAB Kurang terpapar Defisit


karena khawatir mengenai luka Informasi pengetahuan
operasinya

Do:

a. pasien menunjukan prilaku


yang tidak sesuai anjuran
yaitu menahan BAB
b. pasien dan keluarga
menunjukan persepsi yang
keliru mengenai ketika ia
BAB yang akan
menyebabkan infeksi

3.1.6 Prioritas Masalah Keperawatan

Tabel 3.4 Prioritas masalah keperawatan


Tanggal
No Masalah Keperawatan Paraf
Ditemukan Teratasi
1) Nyeri akut berhubungan 16 Juli 2018 20 Juli 2018 Eka
dengan agen cedera fisik (post
operasi)
2) Hambatan mobilitas fisik 16 Juli 2018 20 Juli 2018 Eka
berhubungan dengan
gangguan neuromuskular
3) Defisit Pengetahuan 16 Juli 2018 17 Juli 2018 Eka
berhubungan dengan kurang
terpapar informasi
66

3.2 Intervensi Keperawatan

Tabel 3.5 Intervensi keperawatan pada Tn. P


No Masalah Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien 1) Untuk mengetahui karakteristik
berhubungan Keperawatan selama 3x24 jam dengan skala nyeri (P,Q,R,S,T) nyeri yang dialami pasien
dengan agen diharapkan nyeri pasien berkurang 2) Jelaskan faktor penyebab nyeri yang 2) Untuk menambah pengetahuan
cedera fisik Kriteria hasil: dirasakan pasien pasien dan keluarga tentang nyeri
(post operasi) 1. Pasien menjelaskan karateristik yang dirasakan
nyeri dan menilai skala nyeri 1-10 3) Ajarkan pasien management nyeri 3) Dapat menurunkan stimulus
2. Pasien mencoba metode non nonfarmakologi teknik distraksi internal dan menurunkan persepsi
farmakologis untuk mengurangi nyeri
nyeri 4) Lakukan menegemen lingkungan 4) Menurunkan stimulus eksternal
3. Pasien mengungkapkan perasaan tenang dan menurunkan persepsi nyeri
nyaman dan berurangnya nyeri 5) Kolaborasi pemberian ketorolac 3 x 5) Obat analgetik untuk mengurangi
30 mg/iv atau menghilangkan nyeri

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1) Lakukan latihan ROM pasifuntuk 1) Tindakan ini mencegahkontraktur
mobilitas keperawatan selam 3x24 jam sendi jika tidak merupakan sendi dan atrofi otot
fisik diharapkan hambatan mobilitas fisik kontraindikasi
berhubungan dapat berkurang 2) Identifikasi tingkat fungsional 2) Keleuntuk menjaga tingkat
dengan Kriteriahasil: dengan skala mobilitas fungsonal kemandirian yang teridentifikasi
gangguan 1. Pasien mempertahankan 3) Catat dan pantau setiap hari semua 3) Pasien dengan penyakit
neuro kekuatan otot ROM sendi bukti komplikasi imobilitas neuromuskular lebih cenderung
muskular 2. Pasien tidak memperlihatkan mengalami komplikasi
adanya komplikasi seperti 4) Beri dorongan mobilitas mandiri 4) Untuk meningkatkan tonus otot
67

kontraktur atau kerusakan kulit kepada pasien. dan harga diri pasien
Pasien mampu menggerakan tangan Kolaborasi pemberian obat 5) untuk menutrisi kerusakan pada
dan kakinya methilcobal 1x 500mg/iv saraf

3. Defisit Setelah dilakukan tindakan asuhan 1) kaji tingkat pengetahuan pasien dan 1) untuk mengetahui tingkat
pengetahuan keperawatan selam 1x24 jam keluarga pengetahuan pasien dan keluarga
berhubungan diharapkan pengetahuan bertambah 2) pilih strategi pengajaran atau 2) untuk meningkatkan keefektifan
dengan Kriteriahasil: berdiskusi tentang cara toileting pengajaran
kurang 1. pasien dan keluarga menunjukan pada pasien post operasi
terpapar prilaku yang sesuai anjuran 3) ajarkan ketrampilan toileting pada 3) untuk membantu meningkatkan
informasi 2. pasien dan keluarga menunjukan keluarga pasien ketrambilan keluarga pasien
persepsi yang benar terhadap 4) edukasi ke pasien dan keluarga 4) agar pengetahuan pasien dan
masalah pentingnya BAB secara teratur keluarga bertambah
68

3.3 Tindakan dan Evaluasi Keperawatan

Tabel 3.6 Tindakan keperawatan pada Tn. P


No
Waktu Tindakan TTd Waktu Catatan Perkembangan ( SOAP ) TTd
Dx
16/7/18 Dinas Pagi 16/07/18 Dinas Pagi
1,2 12.00 Memberi salam dan memperkenalkan Eka 14.30 Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
,3 diri kepada pasien dan keluarga. (posr operasi)
12.10 Memantau dan mencatat tingkat Eka S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
kesadaran pasien, Kesadaran kompos P: luka post operasi hari ke 3
1,2 mentis, GCS: 4 5 6, Q: Seperti di tusuk tusuuk
12.20 Mengobservasi tanda-tanda vital R: tulang belakang L IV- V
 TD : 120/80 mmHg; Eka S: Skala 5 (1-10)
1,2  nadi : 88x/menit; T: hilang timbul
O: pasien Nampak meringis kesakitan saat miring kanan
69

 S : 36,50 C; dan miring kiri Eka


 RR : 20 x/menit; TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 SpO2 : 98% 20 x/menit; SpO2 : 98%
12.40 A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
1 Mengkaji kekuatan otot ke 2 kaki P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
13.00 Mengkaji adanya nyeri pada pasien
P: luka post operasi hari ke 3 Dx 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
Q: Seperti di tusuk tusuuk Eka gangguan neuromuskular
1 R: tulang belakang L IV- V S : Pasien mengatakan kedua kaki bisa digerakan namun
S: Skala 5 (1-10) terbatas
T: hilang timbul O : pasien Nampak menggerakan kaki secara perlahan
1 13.10 Menjelaskan faktor penyebab nyeri Eka Pasien Nampak belum mampu berjalan karena post
operasi
Eka
13.20 Mengajarkan teknik relaksasi distraksi Kekuatan otot 5555 5555
3 Eka 3333 3333
pernafasan dalam
A : Masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
13.30 mengkaji tingkat pengetahuan pasien P : Lanjutkan intervensi 1-5
3 dan kelurga pasien Eka
Dx 3: Defidit pengetahuan berhubungan dengan kurang
13.40 mengajarkan keluarga pasien cara Eka terpapar informasi
3 membantu toileting pada pasien S: Pasien mengatakan takut ingin BAB karena takut
terkena luka operasi
14.00 mendemostrasikan kepada keluarga Eka O: Pasien Nampak menunjukan perilaku yang tidak Eka
cara membantu toileteing sesuai anjuran
Pasien dan keluarga persepsi yang keliru mengenai
kekawatiran BAB yang menyebabkan infeksi
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan (1-4)
70

16/7/18 Dinas Siang 16/7/18 Dinas siang


1 14.00 Timbang terima dengan dinas pagi Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
16.00 Memberikan obat oral dan injeksi (posr operasi)
1  Asamefenamat 500 mg S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
PRWT
1  Cefixim 100 mg P: luka post operasi hari ke 3
Prwt
2 17.00  methycobal 500 mg Q: Seperti di tusuk tusuuk
Observasi TTV: R: tulang belakang L IV- V
1  TD : 120/80 mmHg; S: Skala 5 (1-10)
 nadi : 88x/menit; T: hilang timbul
 S : 36,80 C; PRWT O: pasien Nampak meringis kesakitan saat miring kanan PRWT
dan miring kiri
 RR : 20 x/menit;
17.30 TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,80 C ; RR :
 SpO2 : 100%
19.00 20 x/menit; SpO2 : 100%: EWS : 0
Observasi EWS: 0, skala nyeri :5
A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
Memberikan injeksi PRWT
1 P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
 Cefobactam 1gr/iv
 Ranitidine 2,5 mg/iv PRWT
16/7/18 16/7/18 Dinas Malam
1 21.00 Dinas Malam Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
23.00 Timbang terima dengan dinas siang (posr operasi)
Memberikan obat oral dan injeksi PRWT
2 S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
2  gabapentin 300 mg P: luka post operasi hari ke 3
 osteocal 0,25 mcg PRWT
1 Q: Seperti di tusuk tusuuk
05.00  ketorolac 30 mg R: tulang belakang L IV- V
1 Observasi TTV: S: Skala 4 (1-10)
 TD : 120/80 mmHg; T: hilang timbul
 nadi : 88x/menit; PRWT O: pasien Nampak meringis kesakitan saat miring kanan
71

 S : 36,50 C; dan miring kiri PRWT


 RR : 20 x/menit; TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 SpO2 : 98% 20 x/menit; SpO2 : 98%
06.00 Observasi EWS: 0, skala nyeri :4 A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
1 06.50 Memberikan injeksi P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
PRWT
1  Cefobactam 1gr/iv
 Ranitidine 2,5 mg/iv
07.00 Memberikan obat oral:
 cefixim 100 mg
PRWT
 asam efenamat 500 mg

PRWT
17/7/18 17/7/18 Dinas Pagi
Dinas Pagi
1 08.00 Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik Eka
Memberi salam ke pasien
1 08.20 (posr operasi)
Memantau dan mencatat tingkat
S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
kesadaran pasien, Kesadaran kompos Eka
P: luka post operasi hari ke 4
mentis, GCS: 4 5 6,
09.00 Q: Seperti di tusuk tusuuk
Mengkaji adanya nyeri pada pasien
R: tulang belakang L IV- V
P: luka post operasi hari ke 4
S: Skala 4 (1-10)
Q: Seperti di tusuk tusuuk
T: hilang timbul
R: tulang belakang L IV- V
1 Eka O: pasien Nampak meringis kesakitan saat miring kanan
S: Skala 4 (1-10)
dan miring kiri dan setelah rawat luka..
T: hilang timbul
09.30 TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 360 C ; RR :
Rawat luka post opereasi lumbal IV-V
20 x/menit; SpO2 : 99%
canal stenosis hari ke 4
10.00 A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
Observasi luka
P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
 luka panajang 10 cm
72

1  tidak ada tanda kemerahan Eka


 tidak ada push atau darah Dx 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan Eka
1  tidak ada edema di sepanjang gangguan neuromuskular
luka S : Pasien mengatakan kedua kaki bisa digerakan tapi
 suhu pasien : 360 C Eka
tidak bisa lama-lama
11.00 Mengobservasi tanda-tanda vital O : pasien Nampak menggerakan kaki secara perlahan
 TD : 120/80 mmHg; Pasien Nampak belum mampu berjalan karena post
 nadi : 88x/menit; operasi
Pasien Nampak dapat menahan tahanan namun tidak
 S : 360 C;
lama
 RR : 20 x/menit;
1 Eka Kekuatan otot 5555 5555
 SpO2 : 99% 4444 4444
Mengajarkan teknik relaksasi distraksi
12.00 Eka A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian
pernafasan dalam Eka
13.00 P : Lanjutkan intervensi 1-5
mengkaji tingkat pengetahuan pasien
3
13.30 dan kelurga pasien Eka Dx 3: Defidit pengetahuan berhubungan dengan kurang
Megkaji kekuatan otot kedua kaki
2 terpapar informasi
pasien Eka
13.40 S: Pasien mengatakan mengerti cara toileting dan sudah
Melatih ROM aktiv BAB
O: Pasien nampak menunjukan perilaku yang sesuai
anjuran
A: Masalah teratasi
P: Intervensi di hentikan

17/7/18 17/7/18 Dinas Siang


1 14.00 Dinas Siang Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Timbang terima dengan dinas pagi PRWT
16.00 (posr operasi)
Memberikan obat oral dan injeksi
1 PRWT S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
 Asamefenamat 500 mg
73

 Cefixim 100 mg P: luka post operasi hari ke 4


2  methycobal 500 mg PRWT Q: Seperti di tusuk tusuuk
Observasi TTV: R: tulang belakang L IV- V
17.00  TD : 110/80 mmHg; S: Skala 4 (1-10)
1  nadi : 90 x/menit; T: hilang timbul
 S : 36,50 C; O: pasien Nampak mengeluh nyeri
PRWT TD : 110/80 mmHg; nadi : 90x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 RR : 20 x/menit;
20 x/menit; SpO2 : 100%
 SpO2 : 100%
1 A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
Observasi EWS: 0, skala nyeri :4
17.30 P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
Memberikan injeksi
1 19.00 PRWT
 Cefobactam 1gr/iv
 Ranitidine 2,5 mg/iv
PRWT
17/7/18 17/7/18 Dinas Malam
1 21.00 Dinas Malam Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Timbang terima dengan dinas siang PRWT
1 23.00 (posr operasi) PRWT
Memberikan obat oral dan injeksi
2 S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
1  gabapentin 300 mg P: luka post operasi hari ke 5
 osteocal 0,25 mcg Q: Seperti di tusuk tusuuk
05.00  ketorolac 30 mg R: tulang belakang L IV- V
1 Observasi TTV: S: Skala 3 (1-10)
 TD : 120/80 mmHg; PRWT T: hilang timbul
 nadi : 88x/menit; O: pasien nampak mengeluh nyeri
 S : 36,50 C; TD : 120/70 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,20 C ; RR :
 RR : 20 x/menit; 20 x/menit; SpO2 : 100%
06.00  SpO2 : 98% A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
06.50 Observasi EWS: 0, skala nyeri :3 P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
1 Memberikan injeksi PRWT
74

1  Cefobactam 1gr/iv
07.00  Ranitidine 2,5 mg/iv
Memberikan obat oral:
1  cefixim 100 mg PRWT
 asam efenamat 500 mg

18/7/18 Dinas Pagi Eka 18/7/18 Dinas Pagi


1 07.30 Memberi salam ke pasien Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Memantau dan mencatat tingkat (posr operasi) Eka
07.40 kesadaran pasien, Kesadaran kompos S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
Eka P: luka post operasi hari ke 5
mentis, GCS: 4 5 6,
1 08.00 Mengkaji adanya nyeri pada pasien Q: Seperti di tusuk tusuuk
P: luka post operasi hari ke 5 R: tulang belakang L IV- V
1 Eka S: Skala 3 (1-10)
Q: Seperti di tusuk tusuuk
R: tulang belakang L IV- V T: hilang timbul
S: Skala 3 (1-10) O: pasien Nampak meringis kesakitan saat setelah
T: hilang timbul dilepas drain
1 08.30 Melepas drain post opereasi lumbal IV- TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
V canal stenosis hari ke 5 Eka 20 x/menit; SpO2 : 98%
1 Observasi luka A : Masalah nyeri teratasi sebagian
09.30  cairan pada drain 10 cc/24 jam P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
 tidak ada tanda kemerahan Eka
Dx 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan Eka
 tidak ada push atau darah
gangguan neuromuskular
 tidak ada edema di sepanjang
S : Pasien mengatakan kedua kaki bisa digerakan namun
luka
terbatas
 suhu pasien : 36,50 C
1,2 O : pasien nampak menggerakan kaki secara perlahan
Mengobservasi tanda-tanda vital
75

11.00  TD : 120/80 mmHg; Eka Pasien Nampak belum mampu berjalan karena post
 nadi : 88x/menit; operasi
 S : 36,50 C; Kekuatan otot 5555 5555
 RR : 20 x/menit; 4444 4444
 SpO2 : 98% Eka A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian
Mengajarkan teknik relaksasi distraksi P : Lanjutkan intervensi 1-5
1 12.00 pernafasan dalam

Eka
Megkaji kekuatan otot kedua kaki
2 13.00 pasien
Melatih ROM aktiv Eka
2 13.30
18/7/18 Dinas Siang 18/7/18 Dinas Siang
1 14.00 Timbang terima dengan dinas pagi
16.00 PRWT Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Memberikan obat oral dan injeksi
1 (posr operasi) PRWT
 Asamefenamat 500 mg
S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
 Cefixim 100 mg
2 PRWT P: luka post operasi hari ke 5
 methycobal 500 mg
Q: Seperti di tusuk tusuuk
Observasi TTV:
17.00 R: tulang belakang L IV- V
 TD : 120/80 mmHg;
1 PRWT S: Skala 3 (1-10)
 nadi : 88x/menit; T: hilang timbul
 S : 36,50 C; O: pasien Nampak meringis kesakitan
 RR : 20 x/menit; TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 SpO2 : 98% 20 x/menit; SpO2 : 98%
1 17.30 Observasi EWS: 0, skala nyeri :3 A : Masalah nyeri teratasi sebagian
Memberikan injeksi PRWT
19.00 P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
76

1  Cefobactam 1gr/iv
 Ranitidine 2,5 mg/iv PRWT
18/7/18 Dinas Malam PRWT
18/7/18 Dinas Malam Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
1 21.00 Timbang terima dengan dinas siang PRWT (posr operasi)
1 23.00 Memberikan obat oral dan injeksi S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
2  gabapentin 300 mg P: luka post operasi hari ke 5
2  osteocal 0,25 mcg PRWT Q: Seperti di tusuk tusuuk
1  ketorolac 30 mg R: tulang belakang L IV- V
05.00 Observasi TTV: S: Skala 2(1-10)
1  TD : 120/80 mmHg; T: hilang timbul
PRWT O: pasien nampak tenang
 nadi : 88x/menit;
TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 S : 36,50 C;
20 x/menit; SpO2 : 98%
 RR : 20 x/menit; A : Masalah nyeri teratasi sebagian
 SpO2 : 98% P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
1 06.00 Observasi EWS: 0, skala nyeri :2
1 06.50 Memberikan injeksi
 Cefobactam 1gr/iv PRWT
 Ranitidine 2,5 mg/iv
1 07.00 Memberikan obat oral:
 cefixim 100 mg PRWT
 asam efenamat 500 mg
19/7/18 Dinas Pagi
19/7/18 Dinas Pagi Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Memberi salam ke pasien (posr operasi)
Memantau dan mencatat tingkat
Eka
1 08.00 S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
kesadaran pasien, Kesadaran kompos Eka P: luka post operasi hari ke 6
Eka
77

09.00 mentis, GCS: 4 5 6, Q: Seperti di tusuk tusuuk


1 Mengkaji adanya nyeri pada pasien R: tulang belakang L IV- V
P: luka post operasi hari ke 6 S: Skala 2 (1-10)
Q: Seperti di tusuk tusuuk Eka T: hilang timbul
R: tulang belakang L IV- V O: pasien tenang sesekali menahan nyeri
S: Skala 2 (1-10) TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
11.00 T: hilang timbul 20 x/menit; SpO2 : 98%
1 Mengobservasi tanda-tanda vital A : Masalah nyeri teratasi sebagian
 TD : 120/80 mmHg; P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
 nadi : 88x/menit; Eka
 S : 36,50 C; Dx 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
 RR : 20 x/menit; gangguan neuromuskular
 SpO2 : 98% S : Pasien mengatakan kedua kaki bisa digerakan namun
1 11.30 Mengajarkan teknik relaksasi distraksi terbatas
pernafasan dalam O:
2 12.00 Eka Pasien nampak menggerakan kaki secara perlahan Eka
Megkaji kekuatan otot kedua kaki
pasien Pasien Nampak belajar berjalan
2 12.30 Melatih ROM aktiv Kekuatan otot 5555 5555
2 13.00 Mengedukasi pasien agar berlatih Eka 4444 4444
duduk dan berjalan A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1-5

19/7/18 Dinas Siang 19/7/18 Dinas Siang


14.00 Timbang terima dengan dinas pagi Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
1 16.00 Memberikan obat oral dan injeksi PRWT (posr operasi)
 Asamefenamat 500 mg S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
P: luka post operasi hari ke 6
 Cefixim 100 mg
Q: Seperti di tusuk tusuuk
 methycobal 500 mg PRWT
78

Observasi TTV: R: tulang belakang L IV- V


1 17.00  TD : 120/80 mmHg; PRWT S: Skala 2 (1-10)
 nadi : 99x/menit; T: hilang timbul
 S : 360 C; O: pasien tenang sesekali menahan nyeri
 RR : 20 x/menit; TD : 120/80 mmHg; nadi : 99x/menit; S : 360 C ; RR :
 SpO2 : 100% 20 x/menit; SpO2 : 100%
Observasi EWS: 0, skala nyeri :2 A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
1 17.30 Memberikan injeksi PRWT P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
1 19.00  Cefobactam 1gr/iv
 Ranitidine 2,5 mg/iv

19/7/18 19/7/18 Dinas Malam


Dinas Malam
21.00 Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
Timbang terima dengan dinas siang
1 23.00 (posr operasi)
Memberikan obat oral dan injeksi
2 PRWT S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
 gabapentin 300 mg
2 P: luka post operasi hari ke 6 PRWT
 osteocal 0,25 mcg
1 Q: Seperti di tusuk tusuuk
05.00  ketorolac 30 mg R: tulang belakang L IV- V
Observasi TTV: S: Skala 2 (1-10)
1  TD : 120/80 mmHg; T: hilang timbul
PRWT
 nadi : 88x/menit; O: pasien nampak tenang
 S : 36,50 C; TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
 RR : 20 x/menit; 20 x/menit; SpO2 : 98%
1  SpO2 : 98% A : Masalah nyeri belum teratasi teratasi
06.00 Observasi EWS: 0, skala nyeri :2 P : Intervensi dilanjutkan (1-5)
Memberikan injeksi
PRWT
06.50
PRWT
79

1  Cefobactam 1gr/iv
1  Ranitidine 2,5 mg/iv
07.00 Memberikan obat oral:
1  cefixim 100 mg PRWT
 asam efenamat 500 mg

20/7/18 Dinas Pagi 20/7/18 Dinas Pagi


08.00 Memberi salam Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen ciderafisik
1 Mengobservasi tanda-tanda vital (posr operasi)
09.00  TD : 120/80 mmHg; S : Pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
Eka P: luka post operasi hari ke 7
 nadi : 88x/menit; Eka
Q: Seperti di tusuk tusuuk
 S : 36,50 C;
1 R: tulang belakang L IV- V
 RR : 20 x/menit;
S: Skala 1(1-10)
 SpO2 : 98% T: hilang timbul
Mengkaji adanya nyeri pada pasien
1 09.30 O: pasien tenang
P: luka post operasi hari ke 7 TD : 120/80 mmHg; nadi : 88x/menit; S : 36,50 C ; RR :
Q: Seperti di tusuk tusuuk 20 x/menit; SpO2 :100%
R: tulang belakang L IV- V
Eka A : Masalah nyeri i teratasi
S: Skala 1 (1-10)
P : Intervensi dihentikan pasien KRS 10.30 WIB
T: hilang timbul
2 10.00
Mengkaji kekuatan otot
Dx 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
1,2 10.30 gangguan neuromuskular
Mengedukasi pasien administrasi dan
Eka S:
obat perlengkapan KRS
Pasien mengatakan sudah bisa berjalan sendiri
Pasien mengatakan setelah di oprasi lebih nyaman bila
Mengedukasi pasien untuk Kontrol ke
2 10.40 berjalan
poli bedah saraf pada hari senin 23/7/18 Eka Eka
80

O:
pasien Nampak berjalan mandiri
Pasien Nampak ketoilet sendiri
Eka Pasien menyampaikan perasaan yang nyaman
Pasien mampu menahan tahanan pada kedua kaki
Kekuatan otot 5555 5555
5555 5555
A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
P : intervensi dihentikan pasien KRS 10.30 WIB
BAB 4

PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan asuhan keperawatan dengan menggunakan dasar –

dasar teori yang telah penulis dapatkan. Penulis akan menguraikan asuhan

keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis canal spinal stenosis disertai dengan

spondilolitesis di ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya yang meliputi

pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

4.1 Pengkajian

4.1.1 Identitas

Pasien bernama Tn. P dengan usia 68 tahun dirawat di rumah sakit dengan

diagnosa medis canal spinal stenosis disertai dengan spondilolitesis . Berdasarkan

teori (Rahim, 2012) Canal spinal stenosis merupakan salah satu kelainan yang sering

di jumpai pada kelompok usia lanjut. penyempitan saluran spinal dapat terjadi di

kanalis sentralis, resesus lateralis dan foramina yang menyebabkan kompresi saraf

pada lokasi tersebut. Hal ini sama dengan kasus yang ditemukan oleh penulis yaitu

pasien mengalami kelemahan pada anggota gerak pada kaki yang merupakan

keadaan darurat neurologi dan pasien dirawat di ruang H 1 Dr. Ramelan Surabaya.

81
82

4.1.2 Riwayat Penyakit

1. Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien saat pengkajian nyeri luka post operasi dengan P:

luka post operasi hari ke 3 Q: di tusuk- tusuk, R: tulang belakang LIV-V. S : 5, T:

hilang timbul. Keluhan utama yang paling sering pada pasien dengan post operasi

adalah kelemahan dan kelumpuhan ekstermitas, inkontinensia, nyeri otot,

hiperestensitepat di daaerah trauma dan mengalami deformitas pada daerah trauma.

Hal ini sesuai dengan Tn. P yang mengalami kelumpuhan ekstermitas atas dan

bawah.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Tn. P dirujuk Poli ortopedi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dikarenakan akan

melakukan pemeriksaan MRI mengalami kelemahan pada ekstermitas bawah. Hal ini

didukung pernyataan Dep. Bedah saraf RSCM (2011) yakni bila ditemukan adanya

cedera tulang belakang dengan gejala neurologis, namun injury pada pemeriksaan

skrining radiologis maupun CT scanning tidak ditemukan adanya kelainan keadaan

ini disebut SCIWORA (Spinal Cord Without Radiographic Abnormality), jika

ditemukan keadaan demikian maka perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk melihat

abnormalitas dari jaringan lunak. Hal ini sesuai dengan kasus karena kurangnya

fasilitas rumah sakit sebelumnya maka dokter yang merawat Tn. P memutuskan

untuk merujuk untuk dapat diakukan pemeriksaan MRI.

3. Pemeriksaan Fisik
83

a. Airway Breathing

Berdasarkan tinjauan kasus didapatkan pernafasan Tn. P spontan, jalan nafas

paten, pola nafas reguler 20 x/menit. Perubahan pada sistem pernafasan bergantung

pada gradasi blok saraf parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot

pernafasan) dan perubahan karena kerusakan jalur simpatetik desending akibat

trauma pada tulang belakang sehingga mengakibatkan terputusnya jaringan saraf di

medula spinalis (Mutaqqin, 2012). Berdasarkan hasil analisa Tn. P tidak mengalami

kelumpuhan otot-otot pernafasan, hal ini tidak sesuai dengan teori tersebut karena

kelumpuhan otot-otot pernafasan merupakan salah satu gejala cedera medula spinalis.

b. Circulation

Berdasarkantinjauan kasus frekuensi nadi Tn. P 88 x/menit dan tekanan darah

120/80 mmHg irama jantung reguler dengan bunyi jantung reguler dengan bunyi

jantung s1 s2 tunggal, CRT kurang 2 detik, akral dingin kering dan merah terpasang.

Hasil pemeriksaan kardiovaskuler pasien cedera tulang belakang pada beberapa

keadaan dapat ditemukan tekanan darah menurun, nadi bradikardi, akral dingin dan

pucat.Bradikardi di peroleh karena adanya perubahan perfusi otak. (Muttaqin, 2012).

Berdasarkan analisa kasus pada Tn. P tersebut tidak sesuai dengan teori yaitu

frekuensi nadi Tn. P 88 x/menit (nilai normal 60-100 x/menit) menunjukan normal

dan pasien sudah mengalami perbaikan melalui fisioterapi dan operasi.

c. Neurologi
84

Kesadaran composmentisdengan GCS 456, reaksi pupil kanan dan pupil kiri

ada berdiameter ± 2 mm, Tn. P mengalami kelemahan pergerakan pada kedua kaki

dan mampu merasakan rangsangan nyeri. Menurut teori pada keadaan lanjut tingkat

kesadaran pasien dengan cedera tulang belakang biasanya berkisar pada tingkat

latergi, stupor, semikomatosa, sampai koma (Muttaqin, 2012). Berdasarkan kasus

tersebut kurang sesuai dengan Tn. P dengan kesadaran penuh composmentis dengan

GCS 456. Hal ini menunjukan berat ringannya cedera mempengaruhi kesadaran

selain itu memiliki penyakit penyerta akan dapat memperparah keadaan klien,

d. Urinaria

Tn. P melalukan operasi posterior lumbar interbody fusion harus menjalani

perawatan tirah baring setelah post operasi sehingga Tn. P menggunakan kateter urin

observasi tiap 3 jam, warna urine berwarna kuning, produksi urin Tn. P sebanyak 950

cc/24 jam pada tanggal 13 Juli 2018 sebelumnya pasien tidak mengalami masalah

pada kandung kemih. Cedera pada tulang belakang menyebabkan penurunan sampai

hilangnya reflek kandung kemih yang bersifat sementara dan pasien mungkin

mengalami inkontenensia urin. Selama periode ini dilakukan kateterisasi intermiten

dengan teknik steril (Muttaqin, 2012). Berdasarkan data pengkajian pada Tn. P tidak

sesuai dengan teori diatas, hal itu mungkin saja dapat terjadi dengan usia 68 tahun

dan pasien pernah operasi hernia sebelumya yang merupakan lanjut usia, dimana

lanjut usia merupakan salah satu keadaan yang dapat mempengaruhi penurunan

fungsi kontrol urinal.


85

e. Gastrointestinal

Tn. Ptidak dilakukan pemasangan NGT, diit minum sedikit-sedikit (MSS),

mukosa bibir kering, tidak ada nyeri tekan abdomen, bising usus 9 x/menit. Pada

keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus paralitik terdapat

hasil klinis hilangnya bising usus, kembung dan defekasi tidak ada, hal ini merupakan

gejala awal syok spinal yang akan berangsur beberapa minggu (Muttaqin,

2012).Berdasarkan hal tersebut Tn. P masih terdengar suara bising usus, untuk diit

dengan nasi biasa tinggi protein. Diit tersebut diberikan untuk mempercepat proses

penyembuhan luka pasca operasi.

f. Bone dan Integumen

Pasien dengan perawatan tirah baring, warna kulit sawo matang, kering dan

tidak mengalami penurunan elastisitas kulit. Kemampuan pergerakan sendi dan

tungkai terbatas, dengan penilaian kemampuan otot skala 3 pada ekstermitas bawah

yang artinya pergerakan aktif hanya melawan gravitasi dan tidak melawan tahan, jika

otot ditekan masih terasa ada kontraksi atau kekenyalan menandakan bahwa otot

masih belum atrofi atau belum layu. Berdasarkan teori Muttaqin (2012) bahwa

paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf

yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental

dari saraf yang terkena. Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan

kelumpuhan pada seluruh ekstermitas bawah. Hal tersebut menunjukkan kesesuaian


86

kondisi Tn. P dengan teori yang mengalami kelemahan pada ekstermitas namun

kekuatan otot pasien berangsur membaik saat setelah di operasi .

4. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan radiologi

Tulang-tulang calvaria normal, bentuk dan ukuran sella normal, tak ada kombinasi

spondilolistesis grade I L IV terhadap L V protruded disc herniations L IV-V ke

posteromedian dan para median kana kiri yang menyebabkan penekanan significant

anterior dan furamena neuralis kanan kiri. Hasil pemeriksaan jika dicurigai adanya

kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik lateral maupun oblik. Hasil skrening

awal didapatkan keadaan yang mencurigakan pada level tertentu kolumna vetrebalis,

maka pada level tersebut perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memperjelas

kelainan yang terjadi(Dep. Bedah saraf FKUI-RSCM, 2011). Pemeriksaan foto MRI

menyatakan bahwa hasil kombinasi spondilolistesis grade I L IV terhadap L V

protruded disc herniations L IV-V ke posteromedian dan para median kana kiri yang

menyebabkan penekanan significant anterior dan furamena neuralis kanan kiri..

c. Pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan laboraturium pada Tn. Pmenunjukkan adannya penurunan pada

haemoglobin yaitu 11,2 g/dl dari nilai normal yaitu 13-18 g/dl, hematrokit 33,2%

dengan nilai normal 40-52%, eritrosit 3,77 juta u/L, Asupan nutrisi berperan dalam
87

pembentukan sel darah, terganggunya pembentukan sel darah bisa disebabkan

makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat gizi terutama gizi-gizi penting

yang diperlukan tubuh seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin C, dan zat

gizi penting lainya (Metayane, 2014). Hal tersebut sesuai dengan kasus bahwa Tn. P

mengalamai post operasi yang diberika diit nasi biasa tinggi protein untuk

mempercepat proses penyembuhan.

5. Terapi

Tn. P mendapatkan terapi injeksi obat ketorolac 3x30 mg, cefobactam 2x1 gr,

methycobal 1x500mg, ranitidine 2x25 mg. Terapi medikamentosa segera diberikan

dengan pasien pasca operasi dan pasien yang mengeluh nyeri. Ketorolac diberikan

untuk mengurangi nyeri dengan skala nyaeri 5 disertai dengan pemberian antibiotic

yaitu cefobactam untuk mengurangi risiko infeksi. pasien diberikan methilcobal

mengandung vit B12 untuk memperbaiki seraf akibat trauma dengan fejala neuropati,

serta ranitidine Termasuk golongan H2 histamin, mencegah berbagai penyakit perut

yang disebabkan oleh terlalu banyak asama lambung.. Tn. P memperoleh terapi obat

neurotransmitter yang mengandung vit B12 karena pada pemeriksaan terdapat

kelemahan pada ekstermitas bawah.

4.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien disesuaikan dengan kondisi

pasien dan sesuai dengan prioritas kegawat daruratan yaitu :


88

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (post operasi). Karena Tn. P

mengalami post operasi canal spinalis stenosis. Tn. P mengatakan nyeri pada

tulang belakang karena, Tn. Ptampak meringis menahan sakit, pengkajian nyeri P:

post operasi ; Q: sperti ditusuk; R: tulang belakang; S: 5 (1-10); T: hilang timbul.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular, karena

Tn. P mengatakan kedua kaki bisa digerakan namun terbatas karena rasa nyeri

setelah operasi, dan kaki Tn. P tampak lemah, penilaian kemampuan otot skala 3

pada ekstermitas bawah yang artinya ada gerakan melawan gravitasi, namun

tidak dapat menahan tahanan,

3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi, karena Tn.

P mengatakan takut untuk buang air besar dan menunjukan persepsi yang salah.

Istri Tn. P juga takut bila luka terinfeksi dengan kotoran pasien, keluarga

menunjukan prilaku yang kurang sesuaiDiagnosis keperawatan yang muncul

pada pasien dengan diagnosis medis Cedera medula spinalis dan Subarahnoid

hemoragi (Muttaqin, 2012) antara lain :.

1. Peningkatan curah jantung berhubungan dengan frekuensi jantung, nyeri

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular

4. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan gangguan sensasi (akibat cedera

medula spinalis)

5. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan gangguan persarafan

pada usus dan rectum, imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat.

4.3 Rencana Keperawatan


89

Penulis menguraikan bahwa rencana keperawatan menyesuaikan dengan

kondisi Tn. P. Diagnosis keperawatan yang pertama yaitu nyeri akut berhubungan

dengan agen cedera fisik (post operasi), penulis memberikan target 3 x24 jam untuk

penanganan dengan kriteria hasil antara lain: Tn. P dapat menjelaskan karakteristik

dan menilai nyeri dengan rentang skala 1-10, Tn. P mencoba metode nonfarmakologi

untuk mengurangi cedera, Tn. P mengungkapkan perasaan nyaman dan berkurangnya

nyeri. Penulis merumuskan 5 intervensi yaitu: kaji jenis tingkat nyeri Tn. P dengan

skala nyeri P, Q, R, S, T; jelaskan faktor penyebab nyeri Tn. P; ajarkan Tn. P

menejemen nyeri nonfarmakologi teknik distraksi; lakukan menejemen lingkungan

yang tenang; kalaborasi pemberian analgetik bila perlu. Rencana keperawatan ini

didukung dengan rencana keperawatan yang diungkapkan Muttaqin (2012) seperti

observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien 30 menit setelah pemberian obat

analgetik. Penulis merumuskan rencana keperawatan berdasarkan kondisi pasien

Diagnosis kedua yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengn gangguan

neuromuskular penulis memberikan target 3x24 jam untuk penanganan dengan

kriteria hasil antara lain: Tn. P mempertahankan kekuatan otot ROM sendi, Tn. P

tidak memperlihatkan adanya komplikasi seperti kontraktur atau kerusakan kulit, Tn.

P mampu menggerakan tangan dan kaki. Penulis merumuskan 4 intervensi yaitu:

lakukan latihan ROM aktif sendi jika bukan merupakan kontraindikasi; identifiikasi

tingkat fungsional dengan skala mobilitas fisik; pantau dan catat semua bukti

komplikasi mobilitas fisik; beri dorongan mobilitas mandiri kepada Tn. P jika bukan

merupakan kontraindikasi. Rencana keperawatan ini didukung dengan rencana


90

keperawatan yang diungkapkan Muttaqin (2012) seperti kaji mobilitas observasi pada

peningkatan kerusakan, kaji secara teratur fungsi motorik. Penulis merumuskan

rencana keperawatan berdasarkan kondisi pasien

Diagnosis defisit pengetahuan yaitu kurang terpapar informasi mengenai

toileting pada pasien post operasi tulang belakang, penulis memberikan target 1x24

jam untuk penanganan dengan kriteria hasil antara lain: pasien dan keluarga

menunjukan prilaku yang sesuai anjuran, dan pasien dan keluarga menunjukan

persepsi yang benar terhadap masalah. Penulis merumuskan 4 intervensi yaitu: kaji

tingkat pengetahuan pasien dan keluarga, pilih strategi pengajaran atau berdiskusi

tentang cara toileting pada pasien post operasi, ajarkan ketrampilan toileting pada

keluarga pasien, edukasi ke pasien dan keluarga pentingnya BAB secara teratur

4.4 Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah perwujudan atau realisasi dari perencanaan yang telah

disusun. Pelaksanaan pada tinjauan pustaka belum dapat direalisasikan sepenuhnya

karena hanya membahas secara teori asuhan keperawatan. Sedangkan pada kasus

nyata pelaksanaan telah disusun dan direalisasikan pada pasien dengan

pendokumentasian dan intervensi keperawatan. Asuhan keperawatan dilakukan

secara terkoordinasi dan terintegretasi untuk pelaksanaan diagnosa pada kasus tidak

semua sesuai pada tinjauan pustaka, hal ini karena pelaksanaan asuhan keperawatan

disesuaikan dengan kondisi pasien.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka post operasi),

tindakan keperawatan yang telah dilakukan mengkaji jenis tingkat nyeri Tn. Pdengan
91

skala nyeri P, Q, R, S, T; menjelaskan faktor penyebab nyeri Tn. P; ajarkan Tn. P

menegemen nyeri non farmakologi teknik distraksi; lakukan menegemen lingkungan

yang tenang; kolaborasi untuk pemberian analgetik bila perlu.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengn gangguan neuromuskular,

tindakan keperawatan yang telah dilakukanlakukan latihan ROM aktif sendi jika

bukan merupakan kontraindikasi; identifiikasi tingkat fungsional dengan skala

mobilitas fisik; pantau dan catat semua bukti komplikasi mobilitas fisik; beri

dorongan mobilitas mandiri kepada Tn. Pjika bukan merupakan kontraindikasi.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi tindakan

keperawatan yang telah dilakukan mengkaji tingkat pengetahuan pasien, memilih

stategi pembelajaran toileting yang efektif, mendemonstrasikan toileting pada pasien

post operasi tulang belakang yang benar dan mengedukasi kepada pasien dan

keluarga pentingnya BAB setiap hari secara teratur.

4.5 Evaluasi

Tinjauan pustaka evaluasi belum dapat dilaksanakan karena intervensi tidak

keseluruhan dilakukan pada pasien, sedangkan pada tinjauan kasus evaluasi dapat

dilakukan karena dapat diketahui kondisi pasien dan permasalahan secara langsung.

Setelah dilakukan tindakan evaluasi selama 3x24 jam masalah nyeri akut

berhubungan dengan agen cedera fisik luka post operasi skala nyeri berangsur

berkurang di tandai dengan berkurangnya skala nyeri dari 5 ke 1 yang di utarakan

oleh Tn. P dan Tn. P tampak lebih tenang. Masalah nyeri akut berhubungan dengan

agen cedera fisik atau luka post operasi teratasi.


92

Evaluasi pada masalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

gangguann neuromuscular. Tn. P mengatakan kakinya bisa digerakan namun nyeri

dan terbatas dengan kemampuan otot pada kedua eksterimatas bawah mendapat skor

3 ke skor 5 yang ditunjukan dengan pasien mampu beraktivitas berjalan duduk tanpa

ada keluhan. Tn. P mampu mempertahankan kekuatan otot dengan ROM aktif, tidak

memperlihatkan adanya kontraktur. Masalah hambatan mobilitas fisik berhubungan

dengan gangguan neuromuskular teratasi.

Evaluasi pada masalah defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang

terpapar informasi Tn. P mampu mempersepsikan bahwa BAB yang rutin itu sehat

dan percaya bahwa toileting yang tepat tidak akan menginfeksi luka post operasi.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi teratasi.

Pada akhir evaluasi tiga tujuan dapat tercapai dengan teratasi dengan di tandai

pasien KRS. dengan kontrol pada hari selasa tanggal 24 Juli 2018 di poli bedah saraf

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.


93

BAB 5

PENUTUP

Bab ini disajikan tentang simpulan yang diperoleh setelah penulis

melaksanakan pengamatan dan melaksanakan asuhan keperawatan secara

langsung pada pasien dengan diagnose medis canal spinal stenosis dengan

spomdilolitesis di ruang H 1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, maka penulis dapat

menarik beberapa simpulan sekaligus saran yang dapat bermanfaat dalam

meningkatkan mutu asuhan keperawatan pasien dengan canal spinal stenosis dan

spondilolitesis.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan melaksanakan asuhan keperawatan

pada Tn. P dengan canal spinal stenosis dan spondilolitesis, maka penulis dapat

mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada pengkajian pasien didapatkan keluhan kelemahan pada ekstermitasi

kaki karena nyeri disebabkan oleh post operasi hari. Keadaan umun Tn. P

lemah dengan kesadaran compos mentis GCS 456, nadi 88 x/menit lokasi

radialis, respirasi 20 x/menit, tekanan darah 12080 mmHg suhu 36,5°C,

spO² 100%, EWS 0.

2. Masalah keperawatan yang muncul adalah, nyeri akut, hambatan mobilitas

fisik, deficit pengetahuan.


94

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka post operasi),

dilakukan mengkaji jenis tingkat nyeri Tn.A dengan skala nyeri P, Q, R, S,

T; menjelaskan faktor penyebab nyeri Tn. P; ajarkan Tn. P menegemn

nyeri non farmako logiteknik distraksi; lakukan menegemen lingkungan

yang tenang; kalaborasi pemberi ananalgetik bila perlu.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

neuromuskuler dilakukan latihan ROM sendi jika bukan merupakan

kontraindikasi; identifiikasi tingkat fungsional dengan skala mobilitas

fisik; pantau dan catat semua bukti komplikasi mobilitas fisik; beri

dorongan mobilitas mandiri kepada Tn. P jika bukan merupakan

kontraindikasi.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya

informasi. penyimpangan persepsi yang kurang sesuai anjuran yakni

pasien memilih tidak BAB untuk meghidari infeksi pada luka operasi.

dilakukan edukasi pentingnya BAB secara teratur dan dengan demontrsi

cara toileting pada pasien dengan post operasi kanal stenosi dan

spondilolitesis.

4. Pada akhir evaluasi masalah penurunan curah jantung dapat teratasi

sebagian karena. Nyeri akut teratasi karena skala nyeri menunjukan

penurunan yang signifikan. Hambatan mobilitas fisik teratasi karena

pasien mampu berjalan secara mandiri kekuatan otot menunjukan dapat

bergerak bebas dan mampu menahan tahanan beban. Defisit pengetahuan

teratasi karena pasien menunjukan persepsi dan prilaku sesuai anjuran.


95

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Pasien dan keluarga hendaknya mampu untuk diajak bekerjasama demi

tercapainya tujuan asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2. Perawat ruang H1 Rumkital Dr. Ramelan hendaknya lebih meningkatkan

perhatian terhadap pasien canal spinalis stenosis dengan spondilolitesis

yang mengalami relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri terhadap luka

operasi dan perawatin latihan ROM aktif serta pemaparan informasi

pentingnya BAB secara teratur.

3. Rumkital Dr. Ramelan Surabaya hendaknya mengadakan suatu seminar

atau suatu pertemuan yang membahas tentang masalah yang ada pada

pasien canal spinalis stenosis dengan spondilolitesis.

4. Penulis selanjutnya lebih memperbanyak literature dalam penyusunan

sebuah karya ilmiah akhir ini.


96

DAFTAR PUSTAKA

Aristiyanti. (2012). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Low Back Pain


Etcausa Spondilolistesis Di RSUP Sardjito. Yogyakarta : Universita
Muhammaadiyah Surakarta

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.


Ayuni. (2016). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Pre Operatif Canal
Stenosis Akibat Spondilolistesis Vertebra Lumbal IV Dan V di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: Universitas Muhamadiyah Surarkarta

Azizah, M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Darmojo, R. (2009). Geriatri "Ilmu Kesehatan Usia Lanjut" Edisi 4. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Dep. BedahSaraf FKUI RSCM. (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf .Jakarta: CV
Sagung Seto.

Helmi, Z, N. (2012). Buku Saku Kegawatdaruratan Bedah Ortopedi.Jakarta:


Salemba Medika.
Japardi Iskandar. (2012).Spondilolistesis fakultas kedokteran bagian bedah
universitas Sumatra utara.e-jurnal Juli 2018

KemenKes RI. (2013). Topik Utama Gambaran Kesehatan Lanju tUsia di


Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kurniawati. (2011). Penatalaksanaan T erapi Latihan Pada Kondisi Tetraparase
Akibat Spondylolistesis Vertebra Cervikat Di Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surarkarta. e-jurnal Juli 2018

Lumbantobing, V, B, M. (2015).Pengaruh Stimulasi Sensori Terhadap Nilai


Glaslow Coma Scale PadaPasien Cedera Kepala Di Ruang Neurosurgical
Critical Care Unit RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung .Jurnal Ilmu
Keperawatan, Volume III, No. 2, Septermber 2015.

Mass, Meridean L., Kathlenn C., dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Geriatrik
(Diagnosis NANDA, KriteriaHasil NOC, Intervensi NIC). Jakarta: EGC.

Metayane, S, dkk. (2014). Hubungan Antara Asupan Protein Dan Zat Besi
Dengan Kadar Hemoglobin MahasiswaKedokteran Program Studi
97

Pendidikan Dokter Angkatan 2013 Fakultas KedokteranUniversitas Sam


Ratulangi. Jurnal e-Biomedik (Ebm), Volume 2, Nomer 3, November 2014

Muttaqin, A. (2008).Asuhan keperawatan klien dengan gangguan system


persyarafan.Jakarta: SalembaMedika.

Muttaqin, A. (2012).Asuhan keperawatan klien dengan gangguan system


persyarafan .Jakarta: SalembaMedika.
Nugroho, W. (2008).Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta: EGC.
Pinzon. (2012). Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung Bawah Akibat Hernia
Nukleus Pulposus SMF Saraf RS Betheeda. Yogyakarta.
www.kalbemed.com/Events.aspx juli 2018

Priyambodo.( 2008).Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Yogjakarta: Ar-Ruzz

Satyanegara.(2012). Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (Edisi IV). Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Satyanegara.(2014). Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (Edisi V). Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Setiawan, S. (2010).Cedera Saraf Pusat Dan Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Sunaryo, dkk.(2016).Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: CV ANDI


OFFSET.
Widagdo, W, dkk.(2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan gangguan
Sistem Persarafan .Jakarta: Trans Info Media.

Wilkinson, J, M. (2016).Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC


98

Lampiran 1

PENGUKURAN SKALA RESIKO DEKUBITUS


(Modified Norton)

SKOR
KOMPONEN INDIKATOR POIN PASIEN
POIN
Lebih dari 60 tahun 1
Kurang dari 60 tahun 2
UMUR 1
Kurang dari 30 tahun 3
Kurang dari 10 tahun 4
Kooperatif 1
Kurang kooperatif 2
MOTIVASI 4
Cukup kooperatif 3
Sangat kooperatif 4
Terdapat luka,alergi,laserasi 1
Basah 2
Kondisi Kulit 1
Kering bersisik 3
Normal 4
Ateri oklusi 1
Penyakit Multipel sklerosis,adiposis 2
4
Menyertai Penyakit kronik/demam/DM 3
Tidak ada 4
Buruk 1
Keadaan Kurang 2
4
Umum Cukup 3
Baik 4
Stupor 1
Kondisi Bingung 2
4
Mental Apatis 3
Sadar penuh 4
Stupor 1
Berpindah di kursi roda 2
Aktivitas 1
Berjalan dengan bantuan 3
Ambulasi bebas 4
Imobilitas 1
Sangat terbatas 2
Mobilitas 3
Sedikit terbatas 3
Bebas 4
Alvi dan urin 1
Terkadang urin 2
Inkontinensia 2
Jarang 3
Tidak ada inkontinensia 4

Penilaian:
Resiko rendah : 24 – 25 √
Resiko sedang : 19 – 23
99

Resiko tinggi : 14 -18


Resiko sangat tinggi : 9 – 13

Lampiran 2

PENGUKURAN SKALA PASIEN JATUH

(Adaptasi, Morse Fall Scale )

POIN
POIN
No INDIKATOR TID
IYA PASIEN
AK
1 Ada riwayat jatuh dalam waktu 3 bulan terakhir 25 0 25
100

2 Memiliki lebih dari 1 diagnosa medis 15 0 15


Pergerakan
a. Bed rest total / bantuan perawat 0
3 - 15
b. Tongkat / kursi roda / kruk 15
c. Berpegangan benda sekitar 30
4 Dipasang IV line/ heparin lock 20 0 20
a. Postur tubuh dapat berdiri tegak 0
5 b.Lemah / berdiri agak membungkuk / menyeret 10 - 10
c. Sempoyongan / selalu menunduk 20
a. Sadar akan keterbatasannya 0
6 - 0
b. Tidak sadar akan keterbatasannya 15
Penilaian

Skor Interpretasi Saran


0-24 Tidak beresiko Perawatan kebutuhan dasar manusia baik
25-50 Resiko rendah Implementasi standar pencegahan jatuh
>51 Resiko tinggi Implementasi tindakan pencegahan ressiko
tinggi jatuh

Total Score : 85
Kesimpulan :Pasien resiko tinggi jatuh, Implementasi tindakan

pencegahan risiko tinggi jatuh

Lampiran 3

SPO (Standar Prosedur Operasional)

Perawatan Luka Jahitan Dan Ganti Balutan

A. Pengertian
101

Memberikan perawatan luka dengan membersihkan luka dari kotoran yang

muncul pada luka dan mengganti balutannya dengan prinsip aseptik.

B. Tujuan

1. Meminimalkan terjadinya infeksi

2. Memberikan rasa nyaman

3. Membantu percepatan penyembuhan luka

C. Prosedur

1. Persiapan alat:

Alat yang steril

a. 1 bak instrumen

b. 2 cucing

c. 1 pinset anatomis

d. 1 pinset chirurghie

e. 1 gunting jaringan

f. Kapas lidi

g. Depres secukupnya

h. Kassa secukupnya

i. Hand scoen

j. Korentang dan tempatnya

k. Cairan NaCl

l. Betadin

Alat yang tidak steril

a. Gunting verban
102

b. Plester/hepafix

c. 2 bengkok

d. Perlak dan pengalasnya

2. Pra Interaksi

a. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada

b. Mencuci tangan

c. Menempatkan alat dekat pasien dengan benar

3. Tahap Orientasi

a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik

b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien

c. Menanyakan kesiapan pasien sebelum tindakan dilakukan

4. Tahap Kerja

a. Mengatur posisi pasien yang aman dan nyaman

b. Memakai handscoen

c. Memasang perlak dan pengalas

d. Buka plester dan balutan dengan hati-hati, kemudian buang ke

bengkok

e. Siapkan cairan NaCl dan betadin dalam 2 cucing yang berbeda

f. Ambil pinset dari bak instrumen dengan menggunakan

korentang

g. Bersihkan luka dengan depres yang dibasahi dengan NaCl

dengan teknik sapuan satu arah kemudian buang depres ke

dalam bengkok, ulangi sampai bersih.


103

h. Oleskan betadin menggunakan kapas lidi dengan teknik sapuan

satu arah

i. Tutup luka dengan kassa steril

j. Letakkan instrumen kotor kedalam bengkok

k. Fiksasi kassa dengan plester atau hepafix

l. Melakukan evaluasi tindakan

m. Berpamitan dengan pasien

n. Membereskan alat-alat

o. Mencuci tangan

p. Mencatat kegiatan ke dalam catatan keperawatan

Lampiran 4

SPO (Standar Prosedur Operasional)


104

Angkat Drain (Aff Drain)

A. Pengertian

Drain merupakan alat yang dimasukkan ke dalam luka untuk membantu

mengeluarkan cairan dari luka melalui bagian yang terbuka pada luka. Drain

terbuat dari berbagai material, antara lain ada yang berasal dari selang karet dan

kasa. Tanpa drain, banyak luka akan sembuh hanya dari permukaan atau bagian

atas luka saja, sehingga cairan dapat terjebak di bagian dalam atau dibawah luka.

B. Tujuan

1. Untuk membuang adanya cairan dari kulit, sehingga menurunkan

bahaya iritasi kulit.

2. Menurunkan banyaknya mikroorganisme yang ada dan kemungkinan

infeksi

3. Mempercepat proses penyembuhan luka

C. Persiapan Alat

1. Alat steril (didalam bak instrument berisi)

a. Pinset anatomis 1 buah

b. pinset chirurgis 1 buah

c. Klem arteri

d. Gunting OP hacting 1 buah

e. Korentang

f. Kum kecil berisi betadine

g. Kassa steril 5 lembar

h. Handscoon steril 2 lembar


105

2. Alat tidak Steril

a. Gunting plester

b. Plester

c. Nacl

d. Nierbeken

e. Handscoon bersih

D. Prosedur

1. Tahap Pra interaksi

a. Melakukan verifikasi program pengobatan klien

b. Mencuci tangan

c. Menempatkan alat didekat pasien dengan benar

2. Tahap Orientasi

a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik

b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

c. Menanyakan kesiapan klien sebelum tindakan dilakukakan

3. Tahap kerja

a. Perawat mencuci tangan dan pakai handscoon bersih

b. Melepaskan perban yang menutupi pangkal drain yang melekat

pada tubuh pasien

c. Perban bekas dibuang pada nierbeken

d. Bersihkan bekas plaster dengan alkohol atau Nacl


106

e. Mengambil depress dengan klem, dicelupkan kedalam betadine

yang sudah tersedia didalam kum kecil, kemudian dioleskan

pada drain yang menempel pada tubuh pasien

f. Depress bekas dibuang didalam nierbeken

g. Mengangkat benang sedikit keatas yang menempel pada drain

dengan menggunakan pinset chirurgis, kemudian tangan yang

satunya mengambil gunting OP hacting untuk memotong

benang yang tadi diangkat.

h. Benang ditarik dan dibuang kedalam nierbeken

i. Gunting dan klem diletakkan kembali pada tempatnya

j. Mengambil klem dan mengklem drain kemudian dengan

perlahan drain diangkat, usahakan stosel yang ada dalam drain

ikut diangkat

k. Drain dibuang kedalam nierbeken

l. Mengambil drepess kembali kemudian dicelupkan kedalam

betadine dan dioleskan keluka bekas drain kemudian depress

tadi dibuang ke nierbeken

m. Mengambil depress kembali kemudian dicelupkan kedalam

betadine dan dioleskan keluka bekas drain kemudian luka bekas

drain ditekan untuk mengeluarkan sisa cairan drain depress

kemudian depress dibuang

n. Mengambil kassa steril 1 lembar, dicelupkan kedalam betadine,

kemudian diperas agar tidak terlalu bersih, kemudian dittupkan


107

pada luka post angkat drain, ambil kassa steril 1 lembar lagi

kemudian dittupkan diatas kassa betadine tadi.

o. Perban luka tadi di plester

p. Alat-alat dibereskan dan dikembalikan ketempat semula

q. Perawat mencuci tangan

4. Tahap terminasi

a. Mengevaluasi hasil tindakan

b. Berpamitan dengan pasien

c. Membereskan dan kembalikan alat ketempat semula

d. Mencuci tangan

e. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

5. Pendokumentasian

a. Setelah mengangkat drain catat hasil tindakan pada format

asuhan keperawatan:

1) Drain dapat diangkat

2) Luka tidak ada pus

b. Melakukan tindak lanjut yang tepat, seperti jumlah granulasi

jaringan atau derajat penyembuhan

1) Jumlah drainage dan warnanya, konsistensi dan bau

2) Adanya inflamasi

3) Derajat ketidaknyamanan yang berkaitan dengan insisi

atau tempat pemasangan drain


108

4) Laporkan penyimpanan yang signifikan dari normal ke

dokter

Lampiran 5

SPO (Standar Prosedur Operasional)

Relaksasi Nafas Dalam

A. Pengertian

Memberikan rasa nyaman kepada pasien yang mengalami nyeri dengan

membimbing pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam.

B. Tujuan

1. Menghilangkan atau mengurangi nyeri

2. Menurunkan ketegangan otot

3. Menimbulkan perasaan aman dan damai

C. Prosedur

1. Pelaksanaan

a. Tahap Pra Interaksi

1) Melihat data nyeri yang lalu

2) Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh

perawat

3) Mengkaji program terapi yang diberikan oleh dokter

b. Tahap Orientasi

1) Menyapa dan menyebut nama pasien

2) Menjelaskan tujuan dan prosedur


109

3) Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien

c. Tahap Interaksi

1) Ciptakan lingkungan yang tenang

2) Usahakan tetap rileks dan tenang

3) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru

dengan udara melalui hitungan 1,2,3

4) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil

merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks

5) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali

6) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan

melalui mulut secara perlahan-lahan

7) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks

8) Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam

9) Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri

10) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa

berkurang

d. Tahap Terminasi

1) Mengevaluasi hasil relaksasi (skala nyeri, ekspresi)

2) Menganjurkan pasien untuk mengulangi teknik relaksasi

ini, bila pasien merasakan nyeri

3) Berpamitan pada pasien

4) Mendokumentasikan tindakan dan respon pasien dalam

catatan perawatan
110

Lampiran 6

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO)

RANGE OF MOTION (ROM) PASIF/AKTIF

a. Pengertian

Range of motion atau latihan rentang pergerakan sendi adalah latihan isotonik

(terjadi kontraksi dan peregangan otot) yang dilakukan klien dengan menggerakkan

setiap sendi sesuai dengan rentang geraknya yang normal.

b. Tujuan

1. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot

2. Mempertahankan fungsi kardiorespirasi

3. Mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian

c. Prosedur Pelaksanaan

Perawat membimbing dan mengintrusikan atau memotivasi klien untuk

menggerakkan sendi tubuh sesuai dengan rentang geraknya masing-masing.

d. Prosedur Umum

1. Cuci tangan untuk mencegah penyebaran organisme

2. Jaga privasi klien dengan menutup pintu dan tirai atau memasang penyekat
111

3. Beri penjelasan kepeda klien mengenai apa yang akan anda lakukan dan minta

klien untuk bekerja sama

4. Atur ketinggian tempat tidur untuk memudahkan anda bekerja dan mencegah

timbulnya masalah kesejajaran tubuh. Praktikkan selalu system mekanika tubuh

5. Letakkan klien dalam posisi supine dekat dengan anda dan buka ekstremitas

yang akan digerakkan

6. Rapatkan kedua kaki dan letakkan kedua lengan pada masing-masing sisi tubuh

7. Letakkan klien dalam posisi semula setelah setiap pergerakan. Ulangi setiap

pergerakan sebanyak 3 kali.

8. Selama latihan pergerakan, kaji kemampuan klien untuk menoleransi

pergerakan dan rentang pergerakan dari setiap sendi

9. Setelah latihan, kaji denyut nadi dan daya tahan tubuh klien terhadap latihan

10. Catat dan laporkan setiap masalah yang tidak diharapkan atas perubahan pada

pergerakan klien,misalnya adanya kekakuan dan kontraktur.

e. Prosedur Khusus

1. Pergerakan Bahu

a. Mulai pergerakan dari lengan klien. Sangga lengan atas klien dengan tangan

kiri anda dan pergelangan tangan kiri dengan tangan kanan anda.

b. Fleksi dan ekstensi bahu. Gerakkan lengan ke atas menuju kepala tempat

tidur,kemudian kembalikan ke posisi semula.

c. Abduksi bahu. Gerakkan lengan ke samping, menjauhi pusat tubuh, hingga

mencapai atas kepala klien.

d. Aduksi bahu. Gerakkan lengan klien mendekati pusat tubuh hingga

menyentuh lengan pada sisi sebelahnya.


112

e. Rotasi bahu unternal dan eksternal

f. Letakkan lengan di samping tubuh klien sejajar dengan bahu

g. Tekuk siku hingga membentuk sudut 900

h. Gerakkan lengan ke bawah hingga telapak tangan menyentuh tempat tidur,

kemudian ke atas hingga punggung tangan menyentuh tempat tidur.

2. Pergerakan Siku

a. Fleksi dan ekstensi siku

Tekuk siku hingga jari tangan menyentuh bahu, luruskan kembali ke posisi

semula

b. Pronasi dan supinasi siku

Genggam tangan klien seperti orang yamg sedang berjabat tangan, putar

telapak tangan klien ke bawah dan keatas.Pastikan hanya terjadi pergerakan

siku, bukan bahu.

3. Pergerakan Pergelangan Tangan

a. Fleksi pergelangan tangan

Genggam telapak tangan klien menggunakan salah satu tangan anda,

dengan tangan lainnya menyangga lengan bawah klien. Tekuk pergelangan

tangan klien ke bawah

b. Ekstensi pergelangan tangan

Genggam telapak tangan klien menggunakan salah satu tangan anda,

dengan tangan lainnya menyangga lengan bawah klien.Tekuk pergelangan

tangan klien ke atas.

c. Fleksi radialis (abduksi)


113

Genggam telapak tangan klien menggunakan salah satu tangan anda,

dengan tangan lainnya menyangga lengan bawah klien. Tekuk pergelangan

tangan klien mendekati pusat tubuh

d. Fleksi ulnaris (aduksi)

Genggam telapaktangan klien menggunakan salah satu tengan anda,

dengan tangan lainnya menyangga lengan bawah klien.Tekuk pergelangan

tangan klien menjauhi pusat tubuh.

4. Pergerakan Jari Tangan

a. Fleksi yaitu tekuk jari tangan dan ibu jari ke arah telapak tangan hingga

mengepal

b. Ekstensi yaitu dari posisi fleksi,luruskan kembali jari tangan atau buka

kepalan tangan

c. Hiperekstensi dengan tekuk jari tangan ke belakang sejauh mungkin

d. Abduksi yaitu buka dan renggangkan jari tangan

e. Adduksi yaitu dari posisi abduksi,rapatkan kembali jari

f. Oposisi yaitu sentuhkan masing-masing jari tangan dengan ibu jari

5. Pergerakan Panggul dan Lutut

Untuk melakukan pergerakan ini,letakkan salah satu tangan anda

dibawah lutut klien dan tangan lainnya di bawah tumit klien

a. Fleksi dan ekstensi lutut dan panggul

Angkat tungkai dan tekuk lutut. Luruskan lutut dan rendahkan

tungkai hingga menyentuh kasur

b. Abduksi dan aduksi tungkai


114

Gerakkan tungkai ke samping menjauhi pusat tubuh

klien.Gerakkan tungkai mendekati pusat tubuh hingga melewati kaki

lainnya.

c. Rotasi panggul internal dan eksternal

Gerakkan setiap kaki dan tungkai ke dalam, kemudian gerakkan

kembali kearah luar.

6. Pergerakan Tungkai

a. Dorsofleksi tungkai

Letakkan satu tangan anda di bawah tumit dan tangan lainnya di

atas jari kaki.Tekan kaki klien menggunakan lengan Anda untuk

menggerakkannya kearah tungkai.

b. Plantar fleksi tungkai

Letakkan satu tangan pada punggung kaki dan tangan lainnya

pada tumit. Dorong punggung kaki ke bawah menjuhi tungkai

c. Inversi dan eversi kaki

Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang lainnya di

punggung kaki. Gerakkan telapak kaki ke arah medial, kemudian kea rah

lateral

d. Fleksi dan ekstensi jari kaki

Letakkan satu tangan diatas jari kaki klien dan tangan lainnya

pada pergelangan kaki.Tekuk jari ke bawah.Luruskan jari kaki kembali

seperti semula.

7. Pergerakan Leher

Ambil bantal di bawah kepala klien.


115

a. Fleksi dan ekstensi kepala klien

Letakkan satu tangan di bawah kepala klien, dan tangan lainnya

di dada atas klien. Gerakkan kepala ke depan hingga dagu menyentuh

dada, kemudian kembalikan ke posisi semula tanpa disangga oleh bantal.

b. Fleksi lateral leher

Letakkan kedua tangan pada masing-masing sisi wajah klien.

Tekuk kepala klien ke kanan dan kiri

8. Pergerakan Hiperekstensi

Bantu klien untuk mencapai posisi prone di sisi tempat tidur dekat

dengan perawat.

a. Hiperekstensi Leher

Letakkan satu tangan di atas dahi klien dan tangan lainnya di

belakang kepala. Gerakkan kepala ke belakang sejauh mungkin

b. Hiperekstensi bahu

Letakkan satu tangan di atas bahu klien dan tangan lainnya di

bawah siku klien.Gerakkan lengan ke belakang tubuh.

c. Hiperekstensi panggul

Letakkan satu tangan di atas pinggul dan tangan lainnya

menyangga tungkai bawah. Gerakkan kaki ke belakang tubuh

Lampiran 7

SISTEM DETEKSI DINI PERBURUKAN KONDISI PASIEN


116

(EARLY WARNING SYSTEM/ EWS)

1. Pengertian

a. Deteksi dini perburukan kondisi pasien (EWS) adalah suatu system permintaan

bantuan untuk mengatasi masalah kesehatan terhadap pasien secara dini

didasarkan atas penilaian terhadap perubahan keadaan pasien melalui

pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan fisiologi pasien dengan

menetapkan standarisasi pendekatan pengkajian dan menetapkan skor parameter

fisiologis.

b. Skor respon klinis adalah skor perubahan fisiologis yang didapat dari

pemeriksaan yang dilakukan saat observasi rutin terhadap pasien yang dirawat di

ruangan.

2. Tujuan

Untuk mengidentifikasi dan memberi respon terapi sedini mungkin terhadap

segala perubahan parameter fisiologis yang terjadi pada pasien.

3. Kebijakan

Pedoman Penyelenggaraan pelayanan HCU dan ICU di Rumah Sakit.

4. Prosedur

a. Setiap hari Kepala Ruangan/ kepala tim/ kepala jaga di ruang perawatan pasien

membagi tanggung jawab pasien kepada perawat pelaksana yang berdinas saat

itu.

b. Setiap perawat pelaksana melakukan penilaian EWS pada saat observasi rutin

dengan melakukan pemeriksaan frekuensi nafas, saturasi O2, penggunaan O2

tambahan (ya/tidak), suhu, tekanan darah sistolik, frekuensi nadi dan tingkat

kesadaran (AVPU – Alert, Verbal, Pain dan Unresponsive) dengan menggunakan

tabel EWS untuk menilai skor respon klinik.


117

c. Cara penilaian skor respon klinis adalah dengan menjumlahkan nilai yang didapat

dari masing – masing parameter fisiologis pada tabel EWS.

d. Setiap hasil penilaian skor respon klinis EWS pasien yang dilakukan oleh

perawat pelaksana dilaporkan kepada kepala ruangan/ kepala tim/ kepala jaga.

e. Kepala ruangan/ kepala tim/ kepala jaga dibantu oleh perawat pelaksana

melakukan langkah – langkah sesuai hasil penilaian skor respon klinis yang

didapat.

1) Pada jam kerja

Skor respon klinis 0 :

1. Catat pada rekam medis pasien

2. Lakukan observasi minimal 6 jam sekali (minimum 4 kali sehari)

Skor respon klinis 1 – 4 (skor rendah)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Lakukan obeservasi minimal 3 jam sekali

3 Laporkan pada dokter penanggung jawab pasien

4. Dokter penanggung jawab pasien melakukan penilaian ulang dalam

waktu < 1 jam (hadir < 1 jam)

5 Jika setelah 3 jam observasi ditemukan skor respon klinis < 1, dilakukan

langkah sesuai skor respon klinis 0

6 Jika didapatkan skor respon klinis > 4, lakukan langkah sesuai skor

respon klinis berikutnya

Skor respon klinis 5 – 6 (skor medium)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Lakukan Observasi tiap 1 jam sampai ada perbaikan


118

3 Laporkan dokter penanggung jawab pasien dan supervisor ruangan

usulkan kepada dokter penanggung jawab pasien agar pasien dipindah ke

ruang intensif dan siapkan monitor

4 Dokter penanggung jawab pasien melakukan penilaian ulang dalam

waktu <5 menit (hadir <5 menit)

5 Jika setelah 2 jam observasi didapatkan skor respon klinis <5, lakukan

langkah sesuai skor respon klinis yang didapat (0/1 – 4)

6 Jika setelah 1 jam observasi didapatkan skor respon klinis >6, lakukan

observasi ketat (pasang pasien monitor) dan lakukan langkah sesuai skor

respon klinis berikutnya.

Skor Respon klinis ≥7 (skor tinggi)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Laporkan pada dokter penanggung jawab pasien dan duty manager

(segera hadir) melakukan monitoring ketat (menggunakan pasien monitor)

dan lakukan penanganan dalam 30 menit

3 Dokter penanggung jawab pasien memberi informasi kepada keluarga

tentang kondisi pasien

4 Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan tidak menunjukan

perbaikan maka dokter penanggung jawab mengkonsultasikan kepada

intensivist agar pasien direkomendasikan pindah rawat ke ruang intensif

5 Jika terjadi henti jantung mendadak, lakukan resusitasi sesuai SPO

resusitasi

6 Jika setelah 4 jam observasi didapatkan respon klinik membaik dan

didapatkan skor respon klinis <7, lakukan observasi terus menerus dan

langkah – langkah sesuai skor respon klinis yang didapat (0/1 – 4/5 – 6)
119

7 Penentuan pindah rawat di ruang intensif selain didasarkan pada skor

EWS (>7) juga didasarkan pada :

Pertimbangan khusus :

a. Diagnosa

b. Usia

c. Derajat penyakit – severity of illness

d. Penyakit yang meyertai

e. Cadangan fisologis

f. Prognosis

g. Terapi sesuai yang tersedia

h. Respon terhadap terapi saat itu

i. Apakah baru mengalami henti napas jantung

j. Antisipasi kualitas hidup

k. Keinginan pasien atau keluarga

Skala Prioritas :

Prioritas 1

Sakit kritis, tidak stabil, perlu dukungan ventilasi, support hemodinamik,

penyakit masih reversible, do everything.

Prioritas 2

Pasien beresiko menjadi kritis, perlu pemantauan ketat, kondisi medik

senantiasa berubah, umumnya do everything.

Prioritas 3
120

Sakit kritis, tidak stabil, penyakit dasar atau akut mengurangi

kemungkinan kesembuhan walaupun dirawat di ICU (CA metastase).Yang

diterapi adalah penyakit akutnya tetapi tidak sampai intubasi atau RJP.

Kriteria Gagal Nafas :

a. Frekuensi nafas >35 kali/menit

b. Disertai atau tanpa disertai dengan hasil analisa gas darah PaO2 <70

mm/Hg atau Pa C02 >50 mm/Hg atau kombinasi keduanya atau

c. Perbandingan tekanan 02 arteri disbanding fraksi O2 yang diberikan

(P/F) <300.

8. Pada pasien dengan skor respon klinis >7 tanpa disertai gagal nafas dan

sudah mendapat penanganan selama 30 menit di ruangan tetapi tidak

menunjukan perbaikan, maka pasien tersebut direkomendasikan untuk pindah

rawat ke ruang HCU (High Care Unit) untuk mendapatkan monitoring ketat.

9. Pada pasien dengan skor respon klinis >7 yang disertai gagal nafas dan

sudah mendapat penanganan selama 30 menit di ruangan tetapi tidak

menunjukan perbaikan, maka pasien tersebut direkomendasikan untuk pindah

rawat ke ruang ICU (Intensif Care Unit) untuk mendapat pelaksanaan segera

oleh intensivist/ dokter jaga anastesi, dokter penanggung jawab pasien dan

bidang lain yang terkait jika dibutuhkan.

10. Pada pasien yang dirawat di HCU sesegera mungkin di pindah rawat ke

ruang ICU jika mengalami gagal nafas untuk mendapat penatalaksanaan

segera oleh intensivist/ dokter jaga anastesi, dokter penanggung jawab pasien

dan bidang lain yang terkait jika dibutuhkan.


121

B. Dluar jam kerja :

Skor respon klinis 0 :

1. Catat pada rekam medis pasien

2. Lakukan observasi minimal 6 jam sekali (minimum 4 kali sehari)

Skor respon klinis 1 – 4 (skor rendah)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Lakukan obeservasi minimal 3 jam sekali

3 Laporkan pada dokter penanggung jawab pasien

4. Dokter penanggung jawab pasien melakukan penilaian ulang

dalam waktu < 1 jam (hadir < 1 jam)

5 Jika setelah 3 jam observasi ditemukan skor respon klinis < 1,

dilakukan langkah sesuai skor respon klinis 0

6 Jika didapatkan skor respon klinis > 4, lakukan langkah sesuai

skor respon klinis berikutnya

Skor respon klinis 5 – 6 (skor medium)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Lakukan Observasi tiap 1 jam sampai ada perbaikan

3 Laporkan dokter penanggung jawab pasien dan supervisor

ruangan usulkan kepada dokter penanggung jawab pasien agar pasien

dipindah ke ruang intensif dan siapkan monitor

4 Dokter penanggung jawab pasien melakukan penilaian ulang

dalam waktu <5 menit (hadir <5 menit)

5 Jika setelah 2 jam observasi didapatkan skor respon klinis <5,

lakukan langkah sesuai skor respon klinis yang didapat (0/1 – 4)


122

6 Jika setelah 1 jam observasi didapatkan skor respon klinis >6,

lakukan observasi ketat (pasang pasien monitor) dan lakukan langkah

sesuai skor respon klinis berikutnya.

Skor Respon klinis ≥7 (skor tinggi)

1 Catat pada rekam medis pasien

2 Laporkan pada dokter penanggung jawab pasien dan duty

manager (segera hadir) melakukan monitoring ketat (menggunakan

pasien monitor) dan lakukan penanganan dalam 30 menit

3 Dokter jaga ruangan menghubungi dokter penanggung jawab

pasien.

4. Dokter jaga ruangan memberi informasi kepada keluarga tentang

kondisi pasien

5 Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan tidak menunjukan

perbaikan maka dokter penanggung jawab mengkonsultasikan

kepada intensivist agar pasien direkomendasikan pindah rawat ke

ruang intensif

6 Jika terjadi henti jantung mendadak, lakukan resusitasi sesuai

SPO resusitasi

7 Jika setelah 4 jam observasi didapatkan respon klinik membaik

dan didapatkan skor respon klinis <7, lakukan observasi terus

menerus dan langkah – langkah sesuai skor respon klinis yang

didapat (0/1 – 4/5 – 6)

8 Penentuan pindah rawat di ruang intensif selain didasarkan pada

skor EWS (>7) juga didasarkan pada :

Pertimbangan khusus :
123

a. Diagnosa

b. Usia

c. Derajat penyakit – severity of illness

d. Penyakit yang meyertai

e. Cadangan fisologis

f. Prognosis

g. Terapi sesuai yang tersedia

h. Respon terhadap terapi saat itu

i. Apakah baru mengalami henti napas jantung

j. Antisipasi kualitas hidup

k. Keinginan pasien atau keluarga

Skala Prioritas :

Prioritas 1

Sakit kritis, tidak stabil, perlu dukungan ventilasi, support

hemodinamik, penyakit masih reversible, do everything.

Prioritas 2

Pasien beresiko menjadi kritis, perlu pemantauan ketat, kondisi

medik senantiasa berubah, umumnya do everything.

Prioritas 3

Sakit kritis, tidak stabil, penyakit dasar atau akut mengurangi

kemungkinan kesembuhan walaupun dirawat di ICU (CA


124

metastase).Yang diterapi adalah penyakit akutnya tetapi tidak sampai

intubasi atau RJP.

Kriteria Gagal Nafas :

a. Frekuensi nafas >35 kali/menit

b. Disertai atau tanpa disertai dengan hasil analisa gas darah PaO2 <70

mm/Hg atau Pa CO2 >50 mm/Hg atau kombinasi keduanya atau

c. Perbandingan tekanan O2 arteri disbanding fraksi O2 yang diberikan

(P/F) <300.

11. Pada pasien dengan skor respon klinis >7 tanpa disertai gagal nafas dan

sudah mendapat penanganan selama 30 menit di ruangan tetapi tidak

menunjukan perbaikan, maka pasien tersebut direkomendasikan untuk pindah

rawat ke ruang HCU (High Care Unit) untuk mendapatkan monitoring ketat.

12. Pada pasien dengan skor respon klinis >7 yang disertai gagal nafas dan sudah

mendapat penanganan selama 30 menit di ruangan tetapi tidak menunjukan

perbaikan, maka pasien tersebut direkomendasikan untuk pindah rawat ke

ruang ICU (Intensif Care Unit) untuk mendapat pelaksanaan segera oleh

intensivist/ dokter jaga anastesi, dokter penanggung jawab pasien dan bidang

lain yang terkait jika dibutuhkan.

13. Pada pasien yang dirawat di HCU sesegera mungkin di pindah rawat ke

ruang ICU jika mengalami gagal nafas untuk mendapat penatalaksanaan

segera oleh intensivist/ dokter jaga anastesi, dokter penanggung jawab pasien

dan bidang lain yang terkait jika dibutuhkan.


125

KESELURUHAN PARAMATER PENILAIAN EARLY WARNING SCORE (EWS)

Parameter
3 2 1 0 1 2 3
Fisologis
Respirasi
≤8 9 – 11 12 – 20 21 – 24 ≥25
Saturasi Oksigen
≤91 92 – 93 94 – 95 ≥96
Oksigen
Ya Tidak
Tambahan
Suhu
≤35.0 35.1 – 36.0 36.1 – 38.0 38.1 – 39.0 ≥39.1
Tekanan Darah
≤90 90 – 100 101 – 110 111 – 219 ≥220
Sistolik
Nadi
≤40 41 – 50 51 – 90 91 – 110 111 – 130 ≥131
Verbal, Pain
Tingkat Kesadaran Alert Atau
Unresponsive
126

ALOGORITMA SPO EWS RUMKITAL DR. RAMELAN

Nilai EWS Frekuensi Monitoring ResponKlinik


1 Catat pada rekam medis pasien
0 Minimal 6 jam sekali 2 Lakukan observasi minimal 6 jam sekali (minimum 4 kali sehari)
1 Catat pada rekam medis pasien
2 Lakukan obeservasi minimal 3 jam sekali
3 Laporkan pada DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja
Total 1 – 4 4 DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja melakukan penilaian ulang dalam waktu < 1
(Skor Tiap 4 jam jam (hadir< 1 jam)
Rendah) 5
Jika setelah 3 jam observasi ditemukan skor respon klinis< 1, dilakukan langkah sesuai
skor respon klinis 0
Jika didapatkan skor respon klinis> 4, lakukan langkah sesuai skor respon klinis
6
berikutnya
1 Catat pada rekam medis pasien
2 LakukanObservasitiap 1 jam sampai ada perbaikan
Laporkan pada DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja dan usulkan ke pada DPJP/
Total 5 – 6 3 dokter jaga ruangan diluar jam kerja agar pasien dipindah keruang intensif dan siapkan
Setiap 1 jam sampai
(Skor monitor
kondisi membaik DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja melakukan penilaian ulang dalam waktu <5
Medium) 4
menit (hadir<5 menit)
Jikas etelah 2 jam observasi didapatkan skor respon klinis <5, lakukan langkah sesuai
5
skor respon klinis yang didapat (0/1 – 4)
127

Jika setelah 1 jam observasi didapatkan skor respon klinis >6, lakukan observasi ketat
6 (pasang pasien monitor) dan lakukan langkah sesuai skor respon klinis berikutnya.

1 Catat pada rekam medis pasien


Laporkan pada DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja, melakukan
2 monitoring ketat (menggunakan pasien monitor) dan lakukan penanganan dalam
30 menit
DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja memberi informasi kepada keluarga
3
Total 7 atau Continous monitoring dan tentang kondisi pasien
Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan tidak menunjukan perbaikan maka
lebih (Skor penanganan dalam 30
4 DPJP/ dokter jaga ruangan diluar jam kerja mengkonsultasikan kepada intense
Tinggi) menit vist agar pasien direkomendasikan pandah rawat keruangan
5 Jika terjadi henti jantung mendadak, lakukan resusitasi sesuai SPO resusitasi
Jika setelah 4 jam observasi didapatkan respon klinik membaik dan didapatkan
6 skor respon klinis <7, lakukan observasi terus menerus dan langkah – langkah
sesuai skor respon klinis yang didapat (0/1 – 4/5 – 6)
Penentuan pindah rawat di ruang intensif selain didasarkan pada skor ews (>7)
7
juga didasarkan pada pertimbangan khusus

Anda mungkin juga menyukai