Anda di halaman 1dari 27

KONSEP TIRODIDEKTOMY

PADA PASIEN PENYAKIT GRAVE/GOITER

Disusun Oleh:
Kelompok 1

Fasilitator :
Iis Fatimawati, S.Kep., Ns., M.Kes
PJMK Dosen :
Ns. Christina Yuliastuti, M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH SURABAYA
TAHUN AJARAN 2016/2017
1
KONSEP TIRODIDEKTOMY
PADA PASIEN PENYAKIT GRAVE/GOITER

Disusun Oleh :

1. Agung P (151.0001)

2. Dhira Ayu (151.0009)

3. Herda Mentary S (151.0019)

4. Irwan Bahari (151.0020)

5. Martha Ayu A (151.0031)

6. Rara Ayu A (151.0043)

7. Tiara Noviyanti U (151.0053)

8. Wahyu Denoveta (151.0052)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH SURABAYA
TAHUN AJARAN 2016/2017
i
2
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.............................................................................................................................i

Kata Pengantar............................................................................................................................ii

Daftar Isi....................................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................2

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................4

1.3 Tujuan Umum...........................................................................................................4

1.4 Tujuan Khusus..........................................................................................................6

1.5 Manfaat.....................................................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................7

2.1 Goiter Difusa Toksika (Penyakit Graves)...............................................................4

BAB 3 PEMBAHASAN.........................................................................................................12

3.1 Goiter Difusa Toksika (Penyakit Graves)............................................................12

3.2 Tiroidektomi.........................................................................................................12

BAB 4 TINJAUAN KASUS.....................................................................................................15

BAB 5 PENUTUP....................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................23

iii

3
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi
mahasiswa-mahasiswi keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah
Keperawatan Komunitas dengan judul “KONSEP TIRODIDEKTOMY PADA PASIEN
PENYAKIT GRAVE/GOITUR”, maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Dosen Pembimbing Mata Kuliah Endokrin.

2. Rekan-Rekan mahasiswa Prodi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan membangun
dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin.

Surabaya, 28 Maret 2017

Penulis

ii4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hipertiroid adalah penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan oleh

peningkatan kadar hormon tiroid dan hilangnya mekanisme umpan-balik normal yang

mengendalikan sekresi hormon tiroid. Fungsi kelenjar tiroid utama adalah memproduksi

hormon untuk pertumbuhan dan pengaturan metabolisme. Produksi hormon tiroid diatur

oleh hormon tirotropin hipofisis, atau TSH (thyroid-stimulating hormone), dan oleh

sistem autoregulasi dalam kelenjar tiroid. Jenis hipertiroidisme meliputi goiter toksik

difus (Penyakit Graves), adenoma toksik, dan goiter multinodular toksik.

Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus

hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi

pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun

lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Kelenjar tiroid tidak

essensial bagi kehidupan, tetapi ketiadaannya menyebabkan perlambatan perkembangan

mental dan fisik, berkurangnya daya tahan terhadap dingin, serta pada anak-anak timbul

retardasi mental dan kecebolan. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan menyebabkan

badan menjadi kurus, gelisah, takikardi, tremor, dan kelebihan pembentukan panas.

Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif

dengan pemberian obat anti tiroid, terapi pengurangan (ablasi kelenjar tiroid) dengan

iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan

dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi

dengan tiroidektomi merupakan salah satu teknik pembedahan yang masih digunakan

sampai saat ini.

5
Menurut sebuah laporan, Tiroidektomi pertama kali telah dilakukan pada tahun 925

SM oleh Abul Casem Kahalaf Ebn Agbbas, ahli bedah bangsa Moor. Di Swiss, telah

lama diketahui insiden goiter yang tinggi, seorang dokter spesialis “Theodor Kocher”

melakukan tiroidektomi yang pertama pada tahun 1872. Mula-mula, mortalitas operatif

13% tetapi dalam tahun 1898 Kocher melaporkan 600 penderita dengan hanya satu yang

meninggal. Pada akhir karirnya, Kocher telah melakukan lebih dari 5000 tiroidektomi

untuk goiter dengan mortalitas hanya 1%.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penjelasan tentang Goiter Difusa Toksika/penyakit Graves?

2. Bagaimana penatalaksanaan tiroidektomi?

3. Bagaimana konsep tiroidektomi pada pasien dengan penyakit Goiter Difusa

Toksika/penyakit Graves?

1.3 TUJUAN UMUM

Untuk menjelaskan penatalaksanaan tiroidektomi pada pasien dengan penyakit Goiter

Difusa Toksika/penyakit Graves.

1.4 TUJUAN KHUSUS

1.4.1 Untuk menjelaskan penyakit Goiter Difusa Toksika/penyakit Graves.

1.4.2 Untuk menjelaskan tata cara tiroidektomi.

1.4.3 Untuk menjelaskan konsep tiroidektomi pada pasien dengan penyakit Goiter Difusa

Toksika/penyakit Graves.

1.5 MANFAAT

Mengetahui dan memahami pengaruh tiroidektomi pada penderita penyakit Goiter Difusa

Toksika/penyakit Graves.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Goiter Difusa Toksika (Penyakit Graves)

2.1.1 Definisi

Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon

tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid

stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH

(TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan

aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi

normal.

2.1.2 Etiologi

Thyroid stimulating antibodies (TSAb) berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH

(TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan

aktivitas sel-sel tiroid sehingga kadar hormon tiroid melebihi normal. TSAb

dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada

Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid

sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human

leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi

antibodi berupa TSAb.

2.1.3 Patogenesis

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang

berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk

mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi

7
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang

pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi

didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan

kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam

patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit

Graves.

Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu

tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping

itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran

sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan

kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila

terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan

molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk

mempresentasikan antigen pada limfosit T.

8
Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan

HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17

pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis

penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid

manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga

sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif

Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai

reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia

enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran

sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang

tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih

imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid

otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan

psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor

sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat

9
mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada

hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan

dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan

tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan

miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis

dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin

didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya

akumulasi glikosaminoglikans. Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan

perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya

peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal

dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak.

1. Ciri-ciri tiroidal

- Goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi

hormon tiroid yang berlebihan.

- Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan

aktifitas simpatis yang berlebihan.

10
- Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin

banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu

makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot.

2. Manifestasi ekstratiroidal,

- Oftalmopati dan infiltrasi kulit local, biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot,

fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan

kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

Menurut the American Thyroid Association, perubahan pada mata

(OftalmopatiGraves) diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan

singkatan NOSPECS),

Kelas Uraian

0 : Tidak ada gejala dan tanda

1 : Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)

2 : Perubahan jaringan lunak orbita

3 : Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)

4 : Keterlibatan otot-otot ekstra ocular

5 : Perubahan pada kornea (keratitis)

6 : Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1

Terjadi spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal

tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan

tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.

Kelas 2-6

11
Terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.

Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema

periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).

Kelas 3

Ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel

exophthalmometer.

Kelas 4

Terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama

pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran

menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis,

maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.

Kelas 5

Ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).

Kelas 6

Ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan

kebutaan

3. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal

hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.

4. Pada penderita yang berusia lebih muda, ditemukan palpitasi, nervous, mudah

capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih

senang cuaca dingin.

5. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau

infertilitas.

6. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses

pematangan tulang.

12
7. Pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang terutama adalah

manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi ,

dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan laboratorium (Baskin et al (2002);

- TSH serum (menurun)

- Kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas (meningkat)

- Iodine radioaktif (uptake tiroid melebihi normal)

- USG Tiroid

- Scanning (terlihat iodine menyebar di semua bagian kelenjar tiroid/pola

penyebaran berbeda dengan hipertiroidisme lain

- Thyrotropin

- Receptor antibodies (TRAb), hanya ditemukan pada penderita Graves’

disease / sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease / sebagai parameter

keberhasilan terapi dan tercapainya

- kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006)

2.1.6 Komplikasi

1. Krisis tiroid (Thyroid Storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga

dapat mengancam kehidupan penderita.

2. Kelahiran prematur / kematian intrauterin

3. Preeklampsi pada kehamilan

4. Gagal tumbuh janin

5. Kegagalan jantung kongestif

13
6. Tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah

7. Peningkatan angka kematian perinatal

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaannya ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Jenis

pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid,

Pembedahan (Tiroidektomi) dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan

tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien,

besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta

penyakit lain yang menyertainya.

NO. TERAPI KETERANGAN

1. Obat Anti Tiroid - Menimbulkan remisi permanen hanya pada sebagian


kecil pasien dewasa dan ±20% anak-anak
- Tidak di anjurkan untuk penggunaan jangka panjang
karena efek samping toksik (ruam kulit, disfungsi hati,
neuritis, atralgia, mialgia, limfadenopati, psikosis,
kadang timbul agranulositosis ireversibel)
- Beta-receptor blockade, efektif untuk mengendalikan
sejumlah efek samping utama tiroktosikosis namun,
tidak efektif bila menjadi terapi utama farmakologi
2. Radioiodine - Merupakan pengobatan yang sangat efektif
- Dipertimbangkan untuk tirotoksikosis kecuali pada bayi
baru lahir, wanita hamil dan tirotoksikosis tanpa
‘uptake’ iodine rendah.
- Sering membutuhkan penggantian tiroid pada pasien
dengan hipotiroidisme progresif

14
3. Tiroidektomi Subtotal - Indikasi :
1. Tidak tahan/tidak patuh dengan terapi obat anti tiroid
2. Kontraindikasi untuk terapi radioiodine
- Merupakan indikasi untuk penyakit Graves pada anak-
anak dan dewasa muda
- Tidak mengalami remisi karena goiter yang besar (pada
pasien usia < 20 tahun) dan pada pasien yang sedang
meneruskan medikasi anti tiroid lebih dari 1-2 tahun.
- Mempertahankan pasien dalam status eutiroid
- Resiko pembedahan minimal (sebatas cedera nervus
laringeus rekuren, hipoparatiroidisme, dan
hipotiroidisme permanen).

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Goiter Difusa Toksika (Penyakit Graves)

Penyakit Graves merupakan sindrom autoimun sistemik dengan penampilan bervariasi

yang meliputi goiter dengan hipertiroidisme, eksolftalmos, miksedema pretibia dan

acropachy. Unsur herediter penyakit ini telah ditunjukkan dengan peningkatan insiden

kelainan tiroid klinis, antibodi tiroid dan autoimun lain pada individu atau keluarga dengan

penyakit graves.

Sebuah bukti menunjukkan bahwa penyakit graves terjadi akibat kelalaian autoimun

akibat thyroid-stimulating immunoglobulin yang diproduksi untuk antigen dalam tiroid.

Imunoglobulin poliklonal ini diberikan untuk reseptor TSH dan dapat dideteksi dengan

“radioreceptor assay”.
15
Pada pasien dengan penyakit Graves aktif, kadar thyroid-stimulating immunoglobulin

mencapai > 90% dan kadar tersebut sensitif dan aktif dan berkorelasi dengan aktivitas

hipertiroidisme. Menurut sebuah study, kadar thyroid-stimulating immunoglobulin menurun

hingga normal kira-kira 50% pada pasien dengan terapi obat anti tiroid atau iodine radioaktif

dan 83% pada pasien dengan tiroidektomi subtotal yang berhasil.

3.2 Tiroidektomi

Tiroidektomi / reseksi kelenjar tiroid adalah salah satu pilihan tindakan pembedahan

untuk pasien yang kambuh setelah menjalani pengobatan farmakologi (obat anti tiroid).

Tiroidektomi memiliki tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dengan tingkat kematian

yang sangat rendah.. Prosedur bedah ini bertujuan untuk mengangkat kelenjar tiroid agar

gangguam tiroid (pembesaran tiroid, hipertiroidisme, kanker tiroid) dapat sembuh atau tidak

memburuk.

3.2.1 Jenis Tiroidektomi

Tiroidektomi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Lobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus dari kelenjar tiroid

2. Tiroidektomi subtotal, yaitu pengangkatan tiroid sebagian

3. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh bagian tiroid

Pada beberapa kasus pasien dengan Goiter Difusa Toksika (Penyakit Graves)

menjalani tiroidektomi subtotal. Tiroidektomi subtotal yang berhasil akan segera

mengendalikan tirotoksikosis.

3.2.2 Indikasi Tiroidektomi

Tiroidektomi disarankan bagi pasien dengan diagnosa:

16
1. Hipertiroidisme, dilakukan tiroidektomi bila pasien memiliki alergi obat dan

menolak terapi iodine radioaktif dan bila hipertiroidisme disebabkan oleh nodul

beracun

2. Penyakit Graves (selain penyakit Graves rekuren), dilakukan tiroidektomi jika mata

terlihat sangat menonjol dan terjadi pembengkakan leher

3. Kanker tiroid, untuk mencegah penyebaran sel kanker ke bagian tubuh lain

4. Pembesaran kelenjar tiroid atau terdapat nodul di kelenjar tiroid

3.2.3 Persiapan Pra-Bedah

1. Dilakukan setelah tirotoksikosis bersamaan dengan pemberian terapi farmakologi.

2. Tiroidektomi dilakukan segera setelah kontrol tirotoksikosis disertai dengan resiko

krisis tiroid (lebih baik setelah ± 2 bulan setelah pasien dalam eutiroid).

3. Biasanya pasien dengan tirotoksik diberikan terapi farmakologi iodide dan iodine

10 hari sebelum operasi untuk mengurangi vaskularitas kelenjar.

4. Beta-adrenergic blookade sering digunakan untuk persiapan prabedah namun,

hanya sebagai tambahan pada thionamide.

5. Propranolol digunakan secara tersendiri atau bersama larutan Lugol bila pasien

tidak tahan obat anti tiroid.

3.2.4 Perawatan Pasca Bedah

Setelah tindakan pembedahan ini, kadar kalsium pasien akan di pantau dan pasien

mungkin perlu menjalani terapi penggantian hormon, tergantung jenis tiroidektomi

(total atau sebagian).

3.2.5 Follow-Up

- Tahun ke 1 : tiap 3 bulan

- Tahun ke 2 : tiap 4 bulan

- Tahun ke 3, 4 : tiap 6 bulan


17
- Tahun ke 5 : setiap tahun

Evaluasi :

1. Leher → tonjolan tiroid

2. Klinis dan faal tiroid ( T3,T4,TSH) setiap kontrol

BAB 4
TINJAUAN KASUS

4.1 Identitas Pasien


Nama pasien : Ny. I
Umur : 40 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Makassar
Pekerjaan : IRT
No. RM. : 030441
Diagnosa medis : Nodul Tyroid Dextra

4.2 Ringkasan Riwayat Penyakit & Tujuan Pembedahan


Klien masuk RS tanggal 09 desember 2014 dengan Diagnosa Medis Nodul Tyroid
Dextra, klien masuk dengan keluhan terdapat benjolan di leher sebelah kanan, keluhan
mulai dirasakan sejak bulan januari 2014. Awalnya benjolan kecil dan hampir tidak
terlihat namunlama kelamaan membesar. Nyeri (-), gangguan menelan (-), tremor (-),
jantung berdebar (-). Klien awalnya berobat jalan pada bulan januari di RS Ibnu Sina

18
dengan keluhan yang sama, dilakukan pemeriksaan lengkap dan didiagnosa SNNT
(Struma Noduler Non Toxic), dianjurkan untuk operasi, namun klien belum bersedia
karena keterbatasan biaya. Klien kemudian rawat jalan di RS Daya, kembali dianjurkan
operasi tapi klien masih belum bersedia karena alasan yang sama, kemudian klien berobat
alternatif. Klien kemudian berobat di RS wahidin selama 3 bulan (sambil menunggu
antrian pemesanan kamar) dan menjalani biopsi dengan hasil Benign Nodukulare Tyroid.
Klien kemudian pindah berobat jalan di RSUH sejak 4 bulan yang lalu, menjalani
pemeriksan lengkap kembali, dan saat dokter menganjurkan untuk operasi klien telah
bersedia. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (+), sepupu klien. Tujuan
pembedahan untuk dilakukan operasi Ismo Lobektomy Dextra untuk mengeluarkan nodul
tyroid agar tidak bertambah besar.

4.3 Pre Operatif


4.3.1 Persiapan pre-operatif
A. Fisik
1. Identitas klien sesuai dengan gelang identitas dan rekam medik.
2. Informed concent telah ditandatangani keluarga klien di ruang perawatan.
3. Pemeriksaan penunjang berupa, Ct scan, USG, FNA dan hasil laboratorium
darah lengkap.
4. Klien puasa makan dan minum mulai pukul 00.00 WITA dini hari
(09/12/2014).
5. Tidak ada riwayat alergi.
6. Tidak ada riwayat penyakit lain
7. Tidak menggunakan alat bantu lainya.
8. Pakaian klien telah diganti dengan pakaian bedah khusus pasien.
9. TTV: BP140/90 mmHg, HR 82x/mnt, Pernafasan 20x/mnt, S 37°C.
10. Pre medikasi yang diberikan yaitu antibiotik Ceftriaxone 1000mg via IV.
B. Psikologis
1. Memberi penjelasan tujuan operasi
2. Memberitahukan pasien mengenai prosedur pembedahan
3. Memberi informasi manajemen anastesi
4.3.2 Analisa data
DS: - Klien mengatakan tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
DO: - Ekspresi klien tampak tegang
TTV: BP140/90 mmHg, HR 82x/mnt, Pernafasan 20x/mnt, S 37°C.
19
4.3.3 ASKEP pre-operatif
Diagnosa keperawatan : Ansietas b/d kurang pengetahuan dengan pembedahan
Tujuan & Kriteria hasil : Setelah dilakukan intervensi ,klien dapat menunjukkan
pengendalian diri terhadap ansietas:
a. Menunjukkan kemampuan berfokus pada pengetahuan yang baru
b. Mampu menggunakan tehnik relaksasi untuk meredakan ansietas
c. Vital sign dalam batas normal
Intervensi Keperawatan

1. Kaji tingkat kecemasan klien


2. Berikanpenjelasansesuaiumur
3. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4. Komunikasikanperhatianpasienpadatimoperasi
5. Jelaskan semua prosedur ,termasuk sensasi yang mungkin dirasakan selama
prosedur
6. Dampingi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
7. Gunakan teknik distraksi, misalnya menonton televisi, mendengarkan musik
8. Evaluasi respon atas penjelasan yang diberikan

Implementasi Keperawatan
1. Mengkaji tingkat kecemasan klien
2. Menggunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
3. Menjelaskan kembali tentang prosedur yang akan dilakukan
4. Mendampingi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
5. Mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian

Evaluasi
S :-
O : - Klien tampak tenang
- Klien tampak rileks setelah diberikan penjelasan mengenai prosedur operasi
- Kliennampakmendengarkanpenjelasanmengenaikeluhan yang dialamiklien
- TTV: BP120/76 mmHg, HR 79x/i, Pernafasan 18x/i, S 37.0°C.
A : Ansietas klien berkurang
P : Yakinkan pasien melalui sentuhan dan sikap empatik secara verbal dan nonverbal
secara bergantian

20
4.4 Intra Operatif
A. RingkasanPembedahan&Askep Intra operatif
Ringkasan Pembedahan:
09.00: klien masuk kamar operasi
09.24: mulai pemberian general anastesi dan pemasangan ETT
09.40: pemasangan kateter No.18
09.45: desinfeksi area operasi (leher)dan prosedur drapping
09.50: mulai dilakukan insisi
10.30: TTV: BP125/89 mmHg, HR 72x/i, Pernafasan 14x/i, SaO2 100%
10.40: nodul tiroid berhasil di angkat.
10.45: pasang drain dengan NGT No.16
10.44: irigasi NaCl (pencucian area insisi jaringan dalam)
10.45: memasukkan Surgicel (menghentikan perdarahan, bersifat absorbable)
10.46: penutupan jaringan, mulai dilakukan penjahitan otot, subkutis, dankulit.
11.14: selesai pembedahan, pemasangan NGT
11.45: produksi urin 200cc
11.47: pindah PACU
B. Askep Intra operatif
a. Pengkajian
1) Suhu ruangan 17oC
2) Klien mengeluh kedinginan saat masuk ruang Operasi
3) Klien Nampak menggigil
4) TTV: BP 120/76 mmHg, HR 79x/mnt, RR 18x/mnt, dan SPO2 97 %.
b. Diagnosa
Risiko hipotermi
Faktor risiko: terpajan lingkungan dingin
Risiko cedera
Faktorrisiko: posisi pasien, pengaruh obat anastesi
c. Intervensi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan klien tidak menunjukkan tanda-tanda
hipotermi dan cedera
Intervensi :
1) Atur suhu ruangan untuk mempertahankan kehangatan pasien
2) Selimuti bagian tubuh pasien yang terbuka
21
3) Gunakan selimut hangat
4) Lepaskan gigi palsu/kawat gigi dan perhiasan yang melekat ditubuh pasien
sesuai standar praoperasi
5) Stabilkan dengan baik tempat tidur pasien maupun meja operasi pada waktu
memindahkan pasien ke dan dari meja operasi.
6) Siapkkan bantalan atau peralatan untuk posisi yang dibutuhkan sesuai
prosedur operasi dan kebutuhan spesifik pasien
7) Pastikan keamanan elektrikal dari alat-alat yang digunakan selama prosedur
operasi
8) Letakkan elektroda penetral (bantalan elektrokauter) yang meliputi seluruh
massa otot-otot yang yang paling besar dan yakinkan bahwa bantalan berada
pada posisi yang baik.
d. Implementasi
1) Menutup bagian tubuh klien yang terbuka diluar area operasi
2) Memasangkan warmer didalam selimut untuk menghangatkan klien
3) Menstabilkan tempat tidur klien (selalu mengunci roda tempat tidur) saat
klien dipindahkan ke atau dari meja operasi.
4) Memasangkan elektroda penetral di area betis klien
5) Mengecek kembali bahwa tidak ada perhiasan yang melekat ditubuh klien
e. Evaluasi
S :-
O : TD 109/69mmHg, HR76 x/mnt, R 16 x/mnt, SPO2 100%
A : Masalah masih menjadi risiko
P : - Pertahankan intervensi
- Selimuti pasien dengan selimut hangat untuk pemindahan setelah
Pembedahan
- Stabilkan tempat tidur pasien saat memindahkan pasien
-
4.5 Identifikasi Instrument & Prosedur Pelaksanaan Pembedahan
Persiapan instrument:
1) Kom/bowl : 1 buah
2) Towel Clems (Doekklem) : 5 buah
3) Dissecting forceps : 2 buah
4) Tissue forceps : 2 buah
5) Clamp bengkoksedang : 4 buah
22
6) Clamp bengkokkecil : 1 buah
7) Hak gigi/hak kulit : 2 buah
8) Disinfeksi klem (sponge holding forcep) : 1 buah
9) Gunting jaringan : 2 buah
10) Gunting benang : 1 buah
11) Scalpel handle (bisturi No.15) : 1 buah
12) Needle holder (besardankecil) : 2 buah
13) Hand switch couter : 1 buah
14) Allies : 4 buah
15) Canule suction : 1 buah
16) Nierbeken : 1buah
4.6 PROSEDUR PELAKSANAAN PEMBEDAHAN
1. Posisi pasien supine dengan general anastesi
2. Prosedur steril dan drapping
3. Insisicollar sekitar 10 cm, perdalam secara tajam dan tumpul menembus platisma
dan fascia pretrachealis, lalu sisihkan musculus stereocleidomastoideus hingga
tampak dosul thyroid. Teraba massa tyroid dextra, padat dan kenyal.
4. Bebaskan massa tyroid dari jaringan sekitar dengan mengikat pembuluh darah arteri
dan vena thyroid superior dan inferior kanan dan menghindari trauma pada nervus
laringeus recurrent
5. Lakukan isthmolobektomi dextra, lalu control perdarahan
6. Jahit lapis demi lapis, operasi selesai

4.7 Peran Mahasiswa


Asisten perawat sirkulating (membantu menyiapkan alat/bahan yang dibutuhkan
perawat scrub)
4.8 Post Operatif
1. Pengkajian
a. Kesadaran : Composmentis (GCS 15)
b. Integritas kulit : Luka insisi pada daerah leher
2. Diagnosa keperawatan
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit.
3. Intervensi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, terjadi penyembuhan luka
tepat waktu.

23
Intervensi :
1) Tutup luka dengan balutan kasa dan plester kertas. Gunakan teknik aseptik yang
ketat.
2) Ingatkan klien untuk tidak menyentuh daerah luka.
4. Implementasi
1) Menutup luka dengan balutan kasa dan plester kertas. Menggunakan teknik
aseptik yang ketat.
2) Mengingatkan klien untuk tidak menyentuh daerah luka.
5. Evaluasi
S :-
O : Luka ditutup dengan kasa kering yang steril dan plester kertas (Hipafix).
A : Masalah belum teratasi.
P : Pertahankan intervensi
Beri penguatan pada balutan awal, tutup dengan plester kertas. Gunakan
teknik aseptik yang ketat.
Ingatkan klien untuk tidak menyentuh daerah luka.
Lanjutkan intervensi
Periksa luka secara teratur, catat karakteristik, integritas kulit dan adanya
drainase.
Ganti balutan dengan sering dan bersihkan luka dengan larutan salin.

24
Bab 5

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hipertiroid adalah penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan oleh

peningkatan kadar hormon tiroid dan hilangnya mekanisme umpan-balik normal yang

mengendalikan sekresi hormon tiroid. Graves’ disease merupakan penyebab utama

hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’

disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid

keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1

(Fumarola et al, 2010). Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa

terapi konservatif dengan pemberian obat anti tiroid, terapi pengurangan (ablasi kelenjar

tiroid) dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang

25
disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Terapi dengan tiroidektomi

merupakan salah satu teknik pembedahan yang masih digunakan sampai saat ini.

4.2 Saran

Menurut penulis pribadi, masih banyak ketidaktahuan masyarakat mengenai konsep

penyakit tirodektomi sendiri. Penulis juga menyadari akan kekurangan dalam penulisan

makalah ini. Maka penulis sangat berharap akan masukan yang ada. Terimakasih

DAFTAR PUSTAKA

Smith PW, Salomone LJ, Hanks JB. (2012). Thyroid (19 th ed.). Philadelphia: Elsevier

Saunders

Price and Willson. 2005. Patofisiologi. 6th . Jakarta: EGC.

Murray, Robert K (et al). 2003. Biokimia Harper. 5th ed. Jakarta : EGC

Tjokronegoro, Arjatmo, dkk. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI

26
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,
PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18

Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.

Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC.

Sabiston, D. C., & Lyerly, H. K. (1994). BUKU TEKS ILMU BEDAH (1st ed.). Jakarta:

Binarupa Aksara.

27

Anda mungkin juga menyukai