Anda di halaman 1dari 70

CASE BASED DISCUSSION

REPAIR TENDON DENGAN GENERAL ANASTESI LARINGEAL MASK AIRWAY


(GA-LMA)

Pembimbing :

dr. I Gede Pastika, Sp.An

Di Susun Oleh :
Firdaus Zulhakiman (015.06.0025)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIKMADYA DI BAGIAN


ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
RSU BANGLI
2021

i
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala
limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Repair
Tendon dengan General Anastesi Laringeal Mask Airway”.
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan, bimbingan,
masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan ucapan terma kasih kepada dosen yang
telah memberi arahan dan penjelasan tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar yang sedang menjalani preklinik di RSU Bangli.

Bangli, 9 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..1
1.1 Latar belakang…………………………………………………………..…............ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………...2
2.1 Definisi Anestesi…........…………………………………………………………... 2
2.2 Evaluasi Pra Anestesi dan Reaminasi………………………………………………3
2.3 Obat-obat Anestesi ………………………………………………………………... 11
2.4 Laryngeal Mask Airway………………...…………….……………………….….. 40
2.5 Ruptur Tendon………………...…………….………………………….…………..51
BAB III LAPORAN KASUS…………………………………………………………55
3.1 Identitas Pasien…………………………………………………………………… 55
3.2 Anamnesis…………………………………………………………………………55
3.3 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………….................... 56
3.4 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….......... .........58
3.5 Persiapan Pra Anestesi……………………………………………………….. ...... 58
3.6 Kesimpulan…………………………………………………………………. ........ 59
3.7 Penatalaksanaan…………………………………………………………….. ........ 59
3.8 Analgetik Post Operasi……………………………………………………….. ...... 60
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………………..61
4.1 Pembahasan …………………………..……………………………………………61
BAB V PENUTUP…………………………………………………………….............65
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………. ........ 65
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………........... 66

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan
pasien yang dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penaggulangan nyeri menahun.
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani yakni “an" (tidak, tanpa) dan
“aesthētos” (rasa, persepsi, kemampuan untuk merasa), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Sedangkan reanimasi
berasal dari kata “re” berarti kembali, dan “animasi/animation” yang berarti
gerak/hidup. Awal mula penemuan dan perkembangan anestesiologi terjadi pada tahun
1846.1
Tindakan anestesi berarti memberikan pelayanan anestesia umum pada pasien
yang akan dilakukan pembedahan yang meliputi “trias anestesia” yakni hipnotik (tidak
sadarkan diri=mati ingatan), analgesia (bebas nyeri=mati rasa), relaksasi otot rangka
(mati gerak). Akibat pengaruh obat anastetikum yang menimbulkan “efek trias
anestesia” pasien akan mengalami koma (tidak sadar), reflek-reflek proteksi
menghilang akibat mati rasa dan kelumpuhan otot rangka termasuk otot pernafasan,
sehingga pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur
anestesi/ bedah berlangsung, yakni reanimasi/resusitasi atau bantuan nafas.1
Anestesi terbagi menjadi 3 kelompok yaitu anestesi umum, anestesi lokal, dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah tindakan yang menimbulkan keadaan tidak
sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien tidak merasakan atau
mengingat sesuatu yang terjadi. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik,
analgesia dan muscle relaxant.
Maksud dan tujuan premedikasi antara lain : menimbukan rasa nyaman bagi
pasien, memudahkan atau memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat-obat
anestetika, menekan reflek yang tidak diinginkan, dan mengurangi sekresi kelenjar
saluran napas.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi


Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan pesiapan pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi dan
pemeliharaan. Adapun trias anestesi adalah :
1. Hipnotik (tidak sadarkan diri=mati ingatan)
2. Analgesia (bebas nyeri=mati rasa)
3. Relaksasi otot (mati gerak)
Untuk mencapai ketiga komponen dapat digunakan satu jenis obat, atau
dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus
tersebut diatas, yaitu : obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai
analgetik dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Anesthesi dibagi menjadi 3
jenis kelompok besar anestesi, antara lain sebagai berikut1,4 :
2.1.1 Anestesi Umum
Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh
hilangnya rasa nyeri seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Teknik
anestesi umum terdiri dari :
a. Anestesi umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesi umum
yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.
Berbagai teknik anestesi umum inhalasi yaitu :
 Inhalasi dengan respirasi spontan :
- Sungkup wajah

2
- Intubasi endotrakeal
- Laringealmask airway (LMA)
 Inhalasi dengan respirasi kendali :
- Intubasi endotrakeal
- Laryngeal mask airway1,4,5
c. TIVA
Total Intravena Anestesia (TIVA) merupakan teknik anestesi umum
dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur
intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anestesi yaitu : hipnotik,
analgesik, dan relaksasi otot. Kebanyakan obat-obat anestesi intravena
hanya mencakup dua komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempnyai ke
tiga trias anestesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agen anestesi
yang lengkap.
Kelebihan TIVA
1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat di titrasi dalam dosis
yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat dan mesin anestesi
khusus
d. Anestesi imbang : merupakan tehnik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi. Tehnik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang.4,5
2.1.2 Anestesi lokal : Anestesi yang dlakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesi lokal pada daerah atau disekitra lokasi pembedahan yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
2.1.3 Anestesi Regional : Anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesi lokal padalokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporal.1,5
2.2 Evaluasi Pra Anestesi dan Reaminasi
2.2.1 Batasan
Evaluasi pra anestesia dan reaminasi adalah langkah awal yang dilakukan
sebelum rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang

3
direncanakan untuk melakukan operatif.
Tujuan :
 Mengetahui status fisik pasien preoperative.
 Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
 Memilih jenis/teknik anesthesia yang sesuai.
 Mememberitahu pasien apa yang akan menjadi kendala yang akan mungkin
terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
 Mempersiapkan alat-alat apa saja yang dibutuhkan pada waktu operasi dan
obat apa yang digunakan pada waktu kesulitan pada waktu operasi.
2.2.2 Waktu Evaluasi
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anesthesia dilakukan beberapa hari
sebelum operasi, jadi disana melakukan pencatatan status pasien, anamnesis,
pemeriksaan fisik dan menginformasikan pasien baik buruknya pada waktu
operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, keesokan
harinya pasien di lakukan pemeriksaan lagi sebelum masuk ke dalam kamar
operasi dan evaluasi akhir dilakukan dikamar persiapan instalasi bedah sentral
(IBS) gunanya untuk menentukan status fisik ASA pada pasien. Pada kasus
bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga diruangan persiapan
operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia untuk
evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit yang
diderita kurang akurat.
2.2.3 Tatalaksana Evaluasi
 Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau pasien tidak
bisa diajak komunikasi, wawancara heteroanamnesis yaitu keluarga pasien
atau kerabat dekat pasien, meliputi :
1) Tanyakan identitas pasien atau biodata.
- Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi organ atau gangguan psikis pada pasien.
- Anamnesis umum, meliputi :
o Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau yang sedang menderita
penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita, yang bisa
mempengaruhi anesthesia atau dipengaruhi oleh anesthesia.

4
o Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan pada pasien apakah ada
obat yang sebelumnya diminum dan tanyakan pada pasien apakah pasien
ada alergi obat.
o Riwayat operasi/ anesthesia terdahulu.
o Tanyakan kepada pasien apakah pasien merokok, meminum minuman
alcohol, minum kopi, dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
o Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus puasa 8 jam sebelum
oprasi dimulai.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
o Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien, meluputi : kesadaran
pasien, nafas pasien, tekanan darah 8 atau tensi pasien, nadi, suhu tubuh,
berat badan dan tinggi badan pasien untuk menilai status gizi pasien atau
BMI pasien.
o Pentingnya pemeriksaan jalan napas harus ditekankan. Pertumbuhan gigi
pasien sebaiknya diinspeksi untuk memeriksa adanya gigi yang tanggal
ataulonggar dan adanya caps, bridges, atau gigi palsu. Kondisi gigi yang
ompong (tidak bergigi) dan abnormalitas wajah dapat mengganggu
pemasangan masker saat prosedur anestesi. Micrognathia (jarak pendek
antara dagu dan tulang hyoid), gigi seri atas yang prominen, lidah besar,
keterbatasan gerak sendi temporomandibula atau cervical spine, atau leher
pendek dapat merupakan penyulit intubasi trakea.
o Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan
terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON
atau MELON :
L (Look externally) : Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian
wajah. Apakah ada hal - hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit
ventilasi maupun intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar,
protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.
E (Evaluate 3 – 3 - 2) : Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut
dan ukuran mandibula terhadap posisilaring. Normalnya 65 mm, namun bila
kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi
buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan
jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3

5
jari pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid
dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3- 2 :
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah
ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan
peningkatan kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar
lidah.
Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga
mungkin menyulitkan dalam hal visualisasiglottis.
M (Mallampaty score) : Skor mallampati atau klasifikasi mallampati
adalah sistem skor medis yang digunakan dibidang anestesiologi untuk
menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko pada intubasi
pasien yang sedang menjalani proses pembedahan. Hasil menentukan
tingkat dibedakan dari I sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien
yg seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat tertinggi, kelas IV ditujukan
ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi, komplikasi. Klasifikasi
mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari rongga mulut. Skoring

Gambar 2. Derajat malapati


Mallampati :19
I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II : Terlihat palatum mole dan durum, bagian atastonsil dan uvula
III : Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV : Hanya terlihat palatum durum
Dalam sistem klasifikasi kelas 1 dan 2 umumnya mudah diintubasi
sedang 3 dan 4 terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi malempati, temuan

6
fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan napas.
Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi antara lain
lidah bedah, gerak sendi temporo mandibular terbatas, mandibular
menonjol, maksila atau gigi depan yang menonjol, mobilitas leher terbatas,
pertumbuhan gigi tidak lengkap, langit-langit mulut sempit, anafilaksis
saluran napas, atritis dan ankilosis servikal, sindrome congenital Klippel-Fei
(leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-
langit, glossoptosis), Treacer Collins (mandibulo facial dysostosis),
endokrinopati (kegemukan, acromegali, hipotiroid macroglossia, gondok),
infeksi (Ludwig Angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses, epiglottitis), massa pada medisastinum, myopati
menunjukkan myotoniaatau trismus, jaringan parut luka bakar atau radiasi,
trautam dan hematoma, tumor dan kista, benda asing jalan napas, kebocoran
disekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala,
kumis, jenggot), nasogastrik tube, kurangnya ketrampilan, pengalaman, atau
terburu-buru.
Kelas 1 sebagian besar glottis terlihat, kelas 2 hanya ektremitas
posterior glottis dan etiglotis tampak, kelas 3 tidak ada bagian dari glottis
yang terlihat, hanya etiglotis yang terlihat, kelas 4 bahkan etiglotis tidak
terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap mudah, kelas 3 dan 4 dianggap sulit.
O (Obstruction) : Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu
kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3
tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya
kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor. 20
N (Neck mobility) : Keterbatasan mobilisasi leher harus
dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher
dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi leher
fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian
mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto
- oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal
dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat.20
3) Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya Pemeriksaan
rutin ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan
sedang.

7
Hal-hal yang akan dipersiapkan :
1. Test darah pasien : Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan.
2. Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
3. Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.
4) Menentukan prognosis pasien perioperatif Berdasarkan hasil evaluasi
pra operatif tersebut diatas maka dapat disimpulkan status fisik pasien
pra anesthesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 6 kelas, yaitu :
 ASA 1 : Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit sistemik.
 ASA 2 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang.
 ASA 3 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam
nyawa.
 ASA 4 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupannya.
 ASA 5 : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak
dalam 24 jam pasien akan meninggal.
 ASA 6 : Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ yang masih
berfungsi baik.
2.2.4 Persiapan Praoperatif
Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di poliklinik dan di
rumah sakit tempat pasien dirawat (pada pasien rawat inap), ruang
perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi yang akan dijabarkan
sebagai berikut :
a) Persiapan di ruang perawatan
Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan persiapan di poliklinik
dan di rumah pasien meliputi 12 persiapan psikis dan persiapan fisik.
Persiapan psikis yang dilakukan adalah
1) memberikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarga agar mengerti
perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga

8
pasien dan keluarganya bisa tenang.
2) memberikan obat sedatif pada pasien yang menderita stress berlebihan atau
pasien yang tidak kooperatif seperti pediatrik pada malam hari menjelang
tidur dan pada pagi hari, 60-90 menit sebelum ke IBS.
Pada persiapan fisik, perlu diinformasikan kepada pasien untuk :
1) menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok minimal dua minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) melepas segala macam protesis dan asesoris seperti perhiasan
3) melakukan puasa dengan aturan sebagai berikut :4

Tipe Makanan/Minuman Lama Puasa yang Dibutuhkan


Cairan jernih  2 jam
 Contoh air, jus buah tanpa ampas
buah, teh jernih, kopi.
 Tidak termasuk alkohol
ASI 4 jam
Formula bayi 6 jam
Makanan ringan  6 jam
 Contoh roti panggang
Makanan bergoreng/makanan 8 jam
padat/makanan
berlemak/daging
Tabel 1.
b) Persiapan di ruangan IBS Persiapan yang dilakukan meliputi evaluasi
ulang status presen dan catatan medik pasien serta perlengkapan lainnya,
konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberi premedikasi dan
memasang infus.
c) Persiapan di kamar operasi
1. Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran gasnya, alat pantau
tekanan darah, pulse oksimeter, EKG, tiang infus, defribilator dan obat-obat
anestesia yang diperlukan.
2. Mempersiapkan stetoskop, laringoskopi, endotrakeal tube, guedel orotrakeal

9
tube, plester untuk fiksasi, stilet, connector dan suction.
3. Mempersiapkan obat-obat resusitasi, misalnya : adrenalin, atropin,
aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
4. Mempersiapkan catatan medik anestesia, selimut penghangat khusus.
2.2.5 Premedikasi
Bila didapatkan adanya risiko aspirasi gaster, pemberian premedikasi
sedatif dan narkotik minimal diberikan pada korban trauma. Premedikasi seperti
H2 antagonis dan antasid juga dapat diberikan. Premedikasi narkotik secara
titrasi dibutuhkan untuk pasien yang mengalami nyeri saat pergerakan atau saat
pasien dipindahkan.
2.2.6 Pilihan Anestesi
Pemilihan anestesi yang akan dikerjakan pada pasien yang akan
mengalami pembedahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti 14
umur, jenis kelamin, status fisik dan jenis operasi. Pada pasien bayi dan anak
pilihan anestesinya adalah anestesi umum karena pasien anak cenderung kurang
kooperatif. Pilihan anestesi pada orang dewasa bisa diberikan anestesi umum
atau analgesia regional, tergantung jenis operasi yang akan dikerjakan. Pada
perempuan dimana faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan, maka
pilihan anestesi umum dapat menjadi pilihan, sebaliknya pada laki-laki bisa
dilakukan anestesi regional. Status fisik pasien seperti penyakit sistemik dan
komplikasi dari penyakit primer yang diderita juga menjadi pertimbangan
penting dari tindakan anestesi yang akan dipilih. Apabila ditinjau dari jenis
operasi, terdapat 4 permasalahan dalam menentukan pilihan anestesi yakni
lokasi, posisi, manipulasi dan durasi operasi. Pada kasus orthopedi, pilihan
anestesi yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan teknik Endo
Trachea Tube (GA-ETT) dan Laringeal mask airway (LMA).
2.2.7 Pemulihan Anestesi
Pasca operasi, pulih dari anestesi general secara rutin pasien dikelola di
recovery room ata disebut juga Post Anesthesia Care Unit (PACU), idealnya
adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan
pengawasan dan pemngelolaan secara ketat sampai dengan keadaan stabil. Oleh
karena itu, diperlukan pengkajian post anestesi yaitu dengan cara aldrete Score
(untuk pengkajian general anestesi) atau Bromage Score (untuk spinal anestesi).

10
Aldrete Score Untuk mengetahui tingkat pulih sadar seseorang pasca
anestesi dilakukan perhitungan menggunakan skor aldrete (Baron, 2004).
Metode penilaian aldrete score Pendekatan penilaian yang paling umum
digunakan adalah kombinasi dari sistem penilaian aldrete dan penilaian sistem
tubuh utama. Sistem penilaian aldrete untuk mengevaluasi aktivitas pernafasan
pasien dan kewaspadaan oksigen. Hipertensi menghasilkan nilai numerik 0 ,1,
atau 2, di daerah tertentu, dengan mewakili 2 tingkat fungsi tertinggi. Sistem
penilaian aldrete adalah yang paling banyak Menggunakan sistem penilaian di
PACU walaupun nilai prediktif dalam menentukan pemulihan dari anestesi
belum diteliti secara prospektif.

2.3 Obat-obat Anestesi


2.3.1 Obat Pre Medikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesi dengan memberikan obat- obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat-obatan golongan anti kolinergik, sedative
dan analgetik. Tujuan premedikasi :
a. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien (bebas dari rasa takut, tegang dan
khawatir, bebas nyeri dan mencegah mual muntah)
b. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan reflex vagus
c. Memperlancar induksi
d. Mengurangi dosis obat anestesi
e. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah
f. Menimbulkan amnesia anterograt
g. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah6

11
2.3.2 Obat-obat premedikasi antara lain :
1. Obat Antikolinergik (muskarinik)
Sulfat Atropin
Sulfat atropine termasuk golongan antikolinergik yang bekerja pada
reseptor muskarinik (antimuskarinik), menghambat transmisi asetil kolin
yang dipersarafi oleh serabut pasca ganglionerkolinergik. Pada ganglion
otonom dan otot rangka serta pada tempat asetil kolin. Penghambatan
atrofin hanya terjadi pada dosis sangat besar. Pada dosis kecil (0,25 mg)
atrofin hanya menekan sekresi air liur, mucus, bronkus dan keringat.
Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nervus
vagus terhadap jantung baru terlihat pada dosis besar. Dosis yang lebih
besar lagi diperlukan untuk menghambat peristaltic usus dan sekresi asam
lambung. Hanbatan oleh atrofin bersifat reversible dan dapat diatasi oleh
pemberian asetil kolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian asetilkolin
esterase.1,7
Farmakokinetik
Atropine bekerja melalui reseptor kolinergik, yakni reseptor
nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya.5 Reseptor
nikotinik dibagi 2 yaitu :
 Reseptor nikotinik neuronal (NN) yaitu reseptor nikotinik yang terdapat
di ganglion otonom, medulla adrenal dan SPP.
 Reseptor nikotinik otot (NM) yaitu reseptor nikotinik yangterdapat
sambungan saraf otot
Reseptor muskarinik ada 5 subtipe yakni :
 Reseptor M1 di ganglia dan berbagai kelenjar
 Reseptor M2 di jantung
 Reseptor M3 di otot polos dan kelenjar
 Reseptor M4 mirip M2
 Reseptor M5 mirip M1
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat dilatasi
dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinestrase. Atropine memblok asetilkolin endogen maupun eksogen,
tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap eksogen.

12
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarini berbeda
antar organ. Pada dosis kecil (0,25 mg) misalnya, atropine hanya menekan
sekresi air liur, mucus, bronkus dan keringat dan belum jelas
mempengaruhi jantung. Dosis yang lebih besar (0,5-1.0 mg) baru terlihat
dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nervus vagus
sehingga terlihat takikardi. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk
menghambat peristaltic usus dan sekresi asam lambung. Penghambatan
pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion
kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek adrenergic menjadi lebih
nyata.4,5,6
Efek pada sistem organ :
- Sistem Saraf Pusat :
Pada dosis biasa atropin mempunyai efek stimulansia minimal pada
SSP, terutama pusat-pusat parasimpatis di medulla, dan efek sedatif yang
lebih lambat, dan tahan lama di dalam otak. Skopolamin mempunyai efek
sentral yang nyata, menghasilkan efek ngantuk ketika diberikan pada dosis
terapi dan amnesia pada individu yang sensitif. Tremor pada parkinson
yang merupakan akibat dari aktifitas kolinergik yang berlebihan dan
defisiensi sistem dopaminergik pada sistem ganglia basalis stratum, dapat
dihilangkan oleh atropin.dalam dosis toksik dapat mengakibatkan eksitasi,
agitasi, halusinasi dan koma.1,6,7
- Mata.
Otot konstriktor pupil bergantung pada aktivitas kolinoseptor
muskarinik. Aktivitas ini secara efektif diblok oleh atropin topikal yaitu
mencegah efek perangsangan kolinomimetik, sehingga terjadi midriasis
(pelebaran pupil), dan paralisis otot siliaris mata (sikloplegia) dengan
gejala hilangnya daya akomodasi untuk melihat dekat. Obat ini juga
berpotensi membahayakan, karena galukoma akut bisa dipercepat
kemunculannya pada pasien dengan sudut kamar depan yang sempit juga
keringnya kelenjar air mata.
- Sistem Kardiovaskular.
Atrium dan nodus sinoatrial sangat kaya dengan persarafan
parasimpatis, sehingga efek atropin sangat nyata karena penghambatan
reseptor muskarinik. Pada dosis sedang dan tinggi menimbulkan takikardia.

13
namun pada dosis kecil efek perangsangan pusat vagus memberi
bradikardia. Demikian pula terhadap nodus AV, namapak adanya
pengurangan interval PR pada EGC dengan menghalangi reseptor-reseptor
muskarinik pada nodus AV. Efek muskarinik pada atrium juga terhalang.
Pada dosis toksis, atropin dapat memblok konduksi AV yang
mekanismenya tidak diketahui. Vasodilatasi karena perangsangan simpatis
kolinergik pada otot rangka dapat dilawan oleh atropin, sedangkan efeknya
langsung pada pembuluh darah tidak ada karena pembuluh darah tidak
diinervasi oleh parasimpatis. Efek jaringan kardiovaskular dari atropine
pada pasien dengan hemodinamika normal tidak dramatis, takikardi
mungkin muncul, tetapi hanya mempunyai efek kecil pada tekanan darah.
- Sistem Pernafasan.
Penghambatan atropin terhadap reseptor muskarinik pada bronkus
dan kelenjarnya menyebabkan bronkodilatasi dan pengurangan sekresi.
Efeknya lebih dramatis pada pasien dengan penyakit saluran napas. Pada
beberapa pasien asma dapat berguna dan pasien penyakit paru obstruksi
menahun. Keuntungan lain untuk pengurangan sekresi dan pencegahan
spasme laring akibat penggunaan anestesi inhalasi. 4,5,6
- Saluran Gastrointestinal.
Blokade reseptor muskarinik mempengaruhi motalitas dan beberapa
sekresi usus. Namun, karena hormonlokal dan sel-sel saraf nonkolinergik
pada sistem saraf enteric juga memodulasi fungsi gastrointestinal, maka
penghalang muskarinik yang lengkap tidak bisa menghapuskan secara
sempurna aktivitas di sistem organ ini. Efek obat antimuskarinik pada
sekresi saliva terlihat jelas, mulut kering merupakan gejala yang sering
terjadi pada pasien yang meminum obat antimuskarinik, parkinson atau
ulkus peptikum, sekresi lambung diblokade dengan kurang efektif.
Piperazin lebih selektif dari pada atropin dalm mengurangi asam lambung.
Sekresi pankreas dan usus hanya sedikit dipengaruhi atropin.
Penghambatan motilitas lebih nyata dengan penurunan tonus dan gerakan
dan propulasi usus, oleh karena waktu penggosongan lambung memanjang
dan mengurangi diare. Efek paralisis ini bersifat sementara. Beberapa obat
ini berefek spasmolitik cukup baik.

14
- Saluran urinaria.
Merelaksasi dinding kandung kemih pada kasus infeksi kandung
kemih, pada lansia harus hati-hati karena timbul retensi urin. Pada uterus
tidak berefek.
- Kelenjar Keringat.
Reseptor muskarinik pada kelenjar keringat yang berasal dari
persarafan simpatis sangat peka dengan atropin. Pada bayi dan anak-anak
justru mengakibatkan naiknya suhu tubuh karena berkeringat “atropin
fever” pada dewasa baru terjadi pada dosis besar.1,4,5,6
Farmakodinamik :
Atropine mudah diserap disemua tempat, kecuali di kulit.
Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak-anak dapat
menyebabkan absorpsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa
nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan. Dari
sirkulasi darah, atropine cepat memasuki jaringan dan separuhnya
mengalami hidrolisis enzimatik dihepar. Sebagiandi eksresi melalui ginjal
dalam bentuk basal. Waktu paruh atropinsekitar 4 jam.
Dosis dan sediaan
 Intramuscular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit sebelum
induksi
 Intravena, dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15 menit sebelum
induksi.
Kontraindikasi :
- Jangan diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan urethra- prostat,
gangguan jantung dan glukoma
- Jangan diberikan pada anak dengan demam tinggi
- Dapat menyebabkan : retensi urin, mulut kering, konstipasi, pusing,
sakit kepala, dilatasi pupil dan takikardi.
- Berikan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ketat pada pasien-
pasien yang sedang memakai obat-obat antikolinergik yang lain
(antidepresan, neuroleptik, H-1 antihistamin, antiparkinson)
- Cegah pemakaian pada wanita menyusui, tidak ada kontraindikasi pada
wanita hamil.4

15
2. Obat Sedative
1. Midazolam
Mekanisme kerja :
Sebagai agonis benzodiazepine yang terikat dengan spesifitas
yang tinggi pada reseptor benzodiazepine, sehingga mempertinggi daya
hambatan neurotransmitter susunan saraf pusat direseptor GABA sentral.
Mempunyai efek sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbic
dan pada ARAS sertabisa menimbulkan amnesia anterograd.
Metabolisme :
Hati merupakan tempat utama proses metabolisme, dan hampir
semua obat mengalami hidroksilasi pada ikatan metil pada cincin
imidazol ke αhidroksimidazolam atau ke 4- hidroksimidazolam, dimana
keduanya dikonjugasi dengan cepat di hati. Kedua metabolit inisial juga
dapat mengalami hidroksilasi panjang ke dihidroksi α, 4 bentuk ini
kemudian terkonjugasi menjadi glukoronida. Metabolit utama adalah α-
hidroksimetilmidazolam, yang memiliki beberapa aktivitas farmakologik,
namun dikunjugasi dengan cepat dan tidak memilki arti klinis. Eliminasi
pada hati bergantung pada aliran darah. Perubahan pada aliran darah di
hati dapat merubah klirens. Metabolisme ekstrahepatik juga dapat
terjadi. Klirens midazolam dari darah, cepat dan 10 kali lebih cepat
dibandingkan diazepam. Sekitar setengah liter plasma dibersihkan perjam
per kilogram.
Farmakodinamik :
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat
melalui sawae darah otak. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan
masuk ke sirkulari sistemik karena metabolism porta hepatic yang tinggi.
Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan
protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang
tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak begitu
aktif juga dengan klirens yang cepat. Waktu paruh midazolam 1-4 jam.
Waktu paruh meningkat pada usia tua dan gangguan faal hati. Pada
pasien obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat
banyak berikatan dengan lemak. Biotransformasi midazolam dimediasi
oleh gastrointestinal. Metabolic ini dikonjugasi dengan asam glukoronat

16
mejadi satu hidroksi midazolam glikoronat yang dieksresikan melalui
ginjal.
Farmakokinetik dan Biotransformasi :
Mebolisme midazolam terjadi di liver oleh reaksi hidroksilasi
membentuk tiga metabolit utama. Metabolit utama tersebut tidak
mempunyai aktivitas farmakologis. Waktu paruh (α-half life – distribusi )
midazolam pendek yaitu 4-18 menit serta β-half life ( metabolisme
sampai ekskresi) 1,7 sampai 2,4 jam, sehingga aman digunakan dalam
prosedur sedasi rawat jalan. Perbandingan midazolam dan diazepam
adalah (1) metabolit utama diazepam bersifat aktif; (2) waktu paruh β ( β-
half life) diazepam adalah 31,3 jam. Midazolam terikat dalam protein
sebanyak 94%, terutama berikatan dengan serum albumin. Midazolam
mempunyai onset kerja yang cepat. Midazolam mempunyai efek
anterograde amnesia. Keuntungan midazolam sebagai agen sedatif untuk
anak adalah efek amnesia, anti kejang, ansiolitik dan pelemas otot.4
Cara Pemberian dan Dosis Midazolam :
Midazolam dapat diberikan dengan berbagai cara dengan dosis yang
berbeda untuk mendapatkan efek sedasi yang diharapkan. Pemberian
midazolam dapat dilakukan secara per rectal, intranasal, intramuskular,
intravena dan per oral. Dosis yang disarankan untuk pasien anak secara
per oral adalah 0,25- 1,0mg/kg BB. Walaupun midazolam relatif aman,
tetapi dapat menyebabkan depresi pernafasan apabila digunakan dalam
dosis yang besar.. Sediaan midazolam peroral dalam bentuk sirup dengan
konsentrasi 2mg/ml dalam botol 118 ml sudah ada dipasaran, tetapi
sampai saat ini masih banyak klinisi yang menggunakan sediaan untuk
intravena yang diberikan secaraperoral. 7,8
3. Obat Anti Emetik
1. Serononin 5- Hidroksi-Triptamin (5-HT)
 Ondansentron
Serotonin, 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT) terdapat dalam jumlah
yang besar pada trombosit dan traktus gastrointestinal (sel
enterochromafin dan pleksus myentericus). Serotonin juga merupakan
neurotransmiter penting pada sistem saraf pusat, meliputi retina, sistem
limbik, hipotalamus, cerebelum, dan medula spinalis. Serotonin

17
dibentuk dari proses hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan. Fisiologi
serotonin sangat kompleks karena serotonin sendiri memiliki tujuh tipe
reseptor dengan banyak subtipe. Salah satu reseptornya yang berperan
dalam mekanisme terjadinya mual dan muntah adalah 5-HT3, ditemukan
pada traktus gastrointestinal dan area postrema otak. Pada traktus
gastrointestinal, serotonin menginduksi pembentukan asetilkolin pada
pleksus myentericus melalui reseptor 5-HT3 yang menyebabkan
bertambahnya peristaltik, sedangkan pengaruh pada sekresi lemah.
Farmakokinetik :
Farmakokinetik Ondansetron dapat diberikan secara oral dan
parenteral. Pada pemberian oral, dosis yang diberikan adalah 4-8
mg/kgBB. Pada intravena diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1
mg/BB sebelum operasi atau bersamaan dengan induksi. Pada
pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di
eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara
hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati. Pada
disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian
bersama fenitoin fenobarbital dan rifampin). Efek ondansetron terhadap
kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih aman, clearance
ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di
hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja
kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12 jam.
Farmakodinamik :
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-
HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan
reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan
serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui
lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema
menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3
memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah.
Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi
usus yang merangsang distensi gastrointestinal.

18
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui :
a) Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus
solitarius melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
b) Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan
menghambat ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf.
Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi :
Pengobatan dengan ondansetron adalah pencegahan mual dan
muntah yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker
dengan radioterapi dan sitostatika. Kontraindikasi pengobatan dengan
ondansetron adalah keadaan hipersensitivitas dan penyakit hati.
Efek Samping :
Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain
dapat berupa sakit kepala, flushing, mengantuk, gangguan saluran cerna,
nyeri dada, susah bernapas.
Penggunaan Klinik :
Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah
yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan
radioterapi dan sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan
intravena atau intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara
perlahan melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan
operasi. Dan disusul pemberian oral dengan dosis 4-8 mg/kgBB tiap 12
jam selama 5 hari.4,5,6
2. Antagonis dopamine
Ada berbagai macam obat yang memusuhi dopamin (D2
reseptor) di CTZ dan karena itu memiliki sifat antiemetik.17
 Fenotiazin
Proklorperazin lebih umum digunakan sebagai anti - emetik
daripada klorpromazin, karena lebih ditandai dengan efek sedasi dan
mengantuk. Keduanya dapat menghasilkan efek samping
ekstrapiramidal dan krisis okulogirik akut dapat terjadi dengan dosis
tinggi dan pengobatan berkepanjangan. Sindrom neuroleptik ganas
(katatonia, ketidakstabilan kardiovaskular, hipertermia dan
myoglobinaemia - kematian lebih dari 10 %) telah dilaporkan dalam
hubungan dengan proklorperazin.20

19
Metoklopromid
Selain memiliki efek pada CTZ, metoklopromid memiliki
tindakan prokinetik pada usus, mempromosikan pengosongan lambung
dan meningkatkan tekanan penghalang dari sfingter esofagus lebih
rendah (sekitar 17mmHg). Meskipun banyak digunakan sebagai bukti
antiemetik untuk kemanjurannya dalam mengobati PONV terbatas. Hal
ini mungkin paling dicadangkan untuk digunakan sebelum operasi
dalam kasus-kasus di mana ada bukti tertunda pengosongan lambung
atau pasien berisiko gastro-esofagus refluks. Efek samping
ekstrapiramidal dapat terjadi. Tidak dianjurkan setelah operasi
gastrointestinal yang melibatkan anastamoses. Sindrom neuroleptik
ganas telah dilaporkan dalam hubungan dengan metoklopromid.
Metoklopramid merupakan suatu derivat dari prokainamid.
Metoklopramid merangsang traktus gastrointestinalis bagian atas dan
meningkatkan tonus sfingter esofagus sebesar 10-20 cmH2O. Sekresi
asam lambung tidak berubah. Efek neto adalah percepatan pengosongan
lambung dan transit usus. Obat ini mensensitisasi otot polos
gastrointesinal terhadap asetilkolin dan dapat menyebabkan pelepasan
asetilkololin dari ujung saraf kolinergik. Efek antimetik dari
antagonisme reseptor dopamin sentral dan perifer dan inhibisi dari
muntah yang diperantarai zona pemicu kemoreseptor. Metoklopramid
menghasilkan sedasi minimal dan jarang menghasilkan reaksi ekstra
piramida.20
Farmakokinetik dan Farmakodinamik :
Absorbsi :
Metoklopramid dapat diberikan secara oral atau parenteral.
Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi plasma maksimum tercapai 30-60
menit setelah pemberian oral dan 1-3 menit setelah pemberian 0,2
mg/kgBB intravena.
Kadar dalam plasma 40-80 mg/ml setelah pemberian oral
metoklopramid 10 mg pada orang sehat dan puasa. Metoklopramid
dimetabolisme dihati.
Distribusi :
Volume distribusi dilaporkan 2,2-3,5 1/kgBB pada orang dewasa.

20
Dapat melewati placenta, dengan konsentrasi tinggi pada air susu ibu.
Berikatan secara lemah dengan protein plasma (terutama albumin) yaitu
sebanyak 13-30%.
Eliminasi :
Waktu paruh eliminasi (t½α) 5 menit, dengan waktu paruh
distribusit1/2 β 2,5-6 Jam.
Toksisitas
Efeknya pada motilitas gastrointetinal di antagonis oleh obat-
obatan antikolinergik (contohnya atropin) dan analgesik narkotik; efek
sedatif dipotensiasi oleh alkohol, hipnotik sedatif, penenang, narkotik;
mempercepat awitan aksi dari tetrasiklin, asetaminofen, levodopa, dan
etanol, yang terutama diobsorbsi dalam usus kecil; memperpanjang
lamanya aksi suksinilkolin (melalui pelepasan asetilkolin dan inhibisi
dari kolinesterase plasma); melepaskan katekolamin pada pasien dengan
hipertensi esensial dan feokromositoma; dapat menimbulkan perasaan
ansietas dan kegelisahan yang sangat setelah suntikan intravena cepat;
dapat menimbulkan reaksi ekstra pyramid
Farmakodinamik
Efek gastrointestinal :
Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem chilinergik
traktus gastrointestinal. Metoklopramid merangsang motilitas saluran
cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu
atau pankreas. Metoklopramid meningkatkan tonus dan amplitudo
kontraksi lambung terutama bagian antral, merelaksasi sfingterpilorus
dan bulbus duodenum, dan meningkatkan peristaltik duodenumdan
yeyunum sehingga terjadi percepatan pengosongan lambung dan transit
intestinal. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian
bawah pada keadaan istirahat. Motilitas kolon atau kandung empedu
hanya terpengaruh sedikit oleh metoklopramid.20
Efek antiemetic :
Efek ini timbul berdasarkan mekanisme sentral maupun perifer.
Secara sentral, metoklopramid mempertinggi ambang rangsang muntah
di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ), sedangkan secara perifer
menurunkan kepekaan saraf visceral yang menghantarkan impuls

21
afferent dari saluran cerna ke pusat muntah
Efek pada saraf pusat :
Memiliki efek anti mual dan efek sedasi. Efek anti mual karena
kemampuannya pada sistem saraf pusat memblok reseptor-reseptor
dopamine terutama reseptor D-2, pada Chemoreseptor Trigger Zone
(CTZ).
Efek samping :
Efek samping umumnya ringan dan sangat jarang, meliputi:
mengantuk, disporia, agitasi/gelisah, distonia, oedem periorbita. Efek
samping utama pada kardiovaskular: hipertensi, hipotensi, aritmia.
Pada SSP : mengantuk, reaksi ekstra piramida akatisia, insomnia,
ansietas. Pada gastrointestinal : mual dan diare. Lain-lain galaktokel,
ginekomastia, hipoglikemia.20
4. Kortikosteroid
1. Dexametason
Farmakologi
Deksametason adalah derivat fluorinated prednisolon dan isomer
dengan betametason. Deksametason merupakan derivat steroid yang
memiliki durasi panjang. Memiliki efek seperti glukokortikoid yang
memiliki efek utama terhadap penyimpanan glikogen hepar, anti inflamasi
dan sedikit berpengaruh terhadap keseimbangan air dan elektrolit.
Deksametason dilaporkan pertama kali efektif sebagai antiemetik dan
terbukti aman pada pasien yang menjalani kemoterapi kanker tahun 1981.
Penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa deksametason
terbukti efektif sebagai profilaksis PONV, paling sedikit sama efektifnya
dengan droperidol dan antagonis serotonin jika digunakan sebagai agen
tunggal.
Mekanisme kerja deksametason dengan inhibisi pelepasan asam
arachidonat, modulasi substansi yang berasal dari metabolisme asam
arachidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT3. Deksametason mempunyai
efek antiemetik, diduga melalui mekanisme menghambat pelepasan
prostaglandin (inhibisi pelepasan asam asam arachidonat dan modulasi
substansi yang berasal dari metabolisme asam arachidonat) secara sentral
sehingga terjadi penurunan kadar 5-HT3 di sistem saraf, menghambat

22
pelepasan serotonin di saluran cerna sehingga tidak terjadi ikatan antara
serotonin dengan reseptor 5-HT3, pelepasan endorfin, dan anti inflamasi
yang kuat di daerah pembedahan dan diduga glukokortikoid mempunyai
efek yang bervariasi pada susunan saraf pusat dan akan mempengaruhi
regulasi dari neurotransmitter, densitas reseptor, transduksi sinyal dan
konfigurasi neuron.
Reseptor glokokortikoid juga ditemukan pada nukleus traktus
solitarius, nukleus raphe, dan area postrema, dimana init-inti tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas mual dam muntah. Efek
antiemetik deksametason juga dihubungkan dengan supresi dari
adrenokortikotropin yang telah diteliti responnya terhadap stimulasi
gerakan. Hal ini menyebabkan deksametason paling efektif untuk mencegah
PONV pada pasien yang mengalami mabuk perjalanan (motion sickness).
Farmakokinetik :
 Onset deksametason secara intravena cepat, hanya dalam beberapa menit
sampai setengah jam, larut dalam air dan tidak berikatan dengan protein.
 Durasi selama 36-54 jam.
 Absorbsi pada pemberaian oral dan intravena baik.
 Metabolisme di hepar dan ekskresi melalui ginjal.
Farmakodinamik :
Efek terhadap kardiovaskuler
Dilaporkan pengaruh glukokortikoid terhadap keseimbangan air
dan elektrolit kecil, tetapi kelebihan glukokortikoid dapat berakibat
retensi air dan hipertensi pada pemakaian jangka panjang (oleh karena
meningkatnya substrat rennin dan reaktivitas vaskuler).
Efek terhadap sistem imunitas
Pemberian deksametason jangka panjang dan dosis besar dapat
menyebabkan penekanan terhadap sistem imunitas.
Efek terhadap gastrointestinal
Dapat meningkatkan tukak lambung.
Efek terhadap tubuh lainnya Pada pemakaian jangka panjang
dapatterjadi gangguan psikotik. Akibat pengaruhnya terhadap
metabolisme lemak, pemberian deksametason yang berlebihan akan

23
berakibat moon face, buffalo hump, kulit tipis dan striae. Dapat
berakibat pula kegagalan pembentukan matriks tulang dan kegagalan
absorbsi kalsium.
Dosis :
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 5-10
mg (evidence based IIA) dan pada anak 150 µg/kgBB (IIA).
Deksametason paling efektif bila diberikan sebelum induksi anestesi
(IIIA) Walaupun batas dosis deksametason untuk profilaksis PONV
sangat luas namun dosis 2,5mg, 5mg, dan 0,15mg/kgBB intravena
dilaporkan bermakna menurunkan kekerapan PONV yang berhubungan
dengan pembedahan ginekokogi dan laparoskopi ginekologi
Efek Samping :
Dengan dosis deksametason 5 mg intravena yang diberikan
sebelum induksi anestesi sebagai agen tunggal terbukti tidak terdapat
efek samping yang signifikan sepeti pada penggunaan steroid dosis
tinggi atau pemakaian lama.20
2. H2-receptor bloker
 Ranitidine
Ranitidin hidroklorida adalah H2-receptor blocker. Obat ini
mengurangi sekresi asam lambung yang dirangsang oleh histamine
maupun gastrin dan agen kolinomimetik. Ranitidin banyak
diresepkan dalam pengobatan ulkus duodenum aktif,ulkus lambung,
gastroesophageal reflux disease dan esofagitis erosif yang
direkomendasikan pada sediaan oral dewasa 150mg dua kali sehari
atau 300mg sekali sehari.
Reseptor H-2 sebagai mediator penting dalam asam lambung.
Reseptor Histamin berada pada lapisan basolateral dan sel parietal.
Adanya histamin pada reseptor H-2 akan mengakivasi adenilsiklase
dan terjadi peningkatan konsentrasi cyclic-adenosinmonophosphate
(c-AMP) intraseluler. Peningkatan konsentrasi cAMP
mengaktivasi pompa proton (hidroksida kalium APT-ase) pada sel
parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+) menggantikan posisi
ion kalium (K+). Reseptor H-2 secara selektif dan kompetitif
menghambat pengikatan histamin pada reseptor H-2, selanjutnya

24
menurunkan konsentrasi c- AMP pada sel parietal. Ranitidin
memiliki kelarutan yang tinggi pada suhu 37oC pada rentang pH 1 -
7,4.
Ranitidin diabsorbsi sangat baik di lambung dan dalam
jumlah yang lebih kecil di usus halus. Bioavailabilitas ranitidin
yang diberikan secara oral 50-60% dan memiliki waktu paruh 2- 3
jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pasien
gagal ginjal. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama dihati
dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan
metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui
tinja. NSAID merupakan substrat dan dimetabolisme oleh isozym
CYP2C9 dan pengikatan ranitidin dapat menghambat metabolisme
NSAID pada isozym yang sama. Ranitidin merupakan inhibitor
lemah dalam menghambat isozym CYP2C9 dibandingkan dengan
obat reseptor H-2yang lain.10
5. Obat analgetik
• Ketorolak
Ketorolak adalah suatu obat analgetik anti inflamasi non steroid
(OAINS) yang menunjukkan efek analgesik yang potensial namun efek
anti inflamasinya sedang, dapat diberikan secara intramuskular atau
intravena. Obat ini sangat berguna untuk mencegah nyeri pasca bedah,
baik sebagai obat tunggal atau diberikan bersama opioid. Ketorolak 30
mg intra muskular memberikan efek analgesia yang setara dengan
morfin 10 mg atau meperidin 100 mg. Keuntungan penting dari
ketorolak untuk terapi analgesi yaitu tidak menimbulkan depresi
pernafasan atau depresi kardiovaskular.
Farmakokinetik :
Ketorolak dimetabolisme terutama oleh sitokrom P450 kemudian
dikonjugasi asam glukoronat. Pada pemberian dosis tunggal intravena
waktu paruh 5,2 jam, puncak analgetik dicapai dalam 2 jam. Lama
analgetik 4 - 6 jam. Ekskresi terutama melalui ginjal (91,4 %) dan
melalui feses (6,1 %)4,5
Farmakodinamik :
Ketorolak merupakan suatu analgesik non narkotik. Obat ini

25
merupakan obat anti inflamasi non steroid yang menunjukkan aktivitas
anti piretik yang lemah dan anti inflamasi. Ketorolak mengganggu
sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase
(COX) dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer
karena tidak mempunyai efek terhadap reseptoropioid 4,5
• Obat induksi
• Fentanyl
Fentanyl merupakan derivat agonis opioid sintetis fenil piperidine
yang strukturnya berasal dari meperidin. Sebagai analgesik, fentanyl
lebih poten 75-125 kali dibanding morfin. Farmakokinetik Dosis tunggal
fentanyl yang diberikan secara intravena memiliki onset yang lebih
cepat dan durasi aksi yang pendek dibanding morfin. Meskipun kesan
klinis bahwa fentanyl menghasilkan onset cepat, jeda waktu yang
berbeda terjadi antara konsentrasi fentanyl plasma puncak dan puncak
perlambatan pada EEG (effect-site equilibration time antara darah dan
otak). Saat dosis intravena multipel diberikan, atau diberikan infus
kontinyu, terjadi saturasi progresif pada jaringan yang inaktif. Sehingga
plasma konsentrasi fentanyl tidak turun secara cepat, dan durasi
analgesianya dapat memanjang, begitu juga dengan efek depresi
ventilasinya. Metabolisme Norfentanyl secara struktur mirip
normoperidin dan merupakan metabolit utama fentanyl pada manusia.
Aktifitas farmakologinya diperkirakan minimal. Waktu Paruh Context-
sensitive Karena durasi infus kontinyu fentanyl meningkat diatas 2 jam,
waktu paruh contextsensitif opioid ini menjadi lebih besar dibanding
sufentanyl. Hal ini menggambarkan saturasi fentanyl pada jaringan
inaktif selama pemanjangan waktu penginfusan dan kembalnya opioid
dari perifer ke plasma. Bypass Kardiopulmoner Semua opioid
menunjukkan penurunan konsentrasi plasma dengan adanya bypass
kardiopumoner. Kegunaan Klinis Dosis rendah fentanyl, 1-2 µg/kg IV,
diinjeksikan untuk mendapatkan analgesia. Fentanyl 2-20 µg/kg IV,
dapat diberikan sebagai adjuvan anestesi inhalasi untuk mengaburkan
respon sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk intubasi endotrakhea,
atau (b) perubahan mendadak karena stumulasi bedah. Penentuan waktu
ijeksi fentanyl intravena untuk mencegah atau memperbaiki respon

26
harus berdasarkan waktu effect-site equiibration, dimana fentanyl lebih
lama daripada alfentanil dan remifentanil. Dosis tinggi fentanyl, 50-150
µg/kg IV, telah digunakan tunggal untuk memproduksi anestesi dalam
pembedahan. Dosis tinggi tunggal fentanyl memiliki keuntungan
hemodinamik yang stabil karena (a) rendahnya efek depresi miokard, (b)
tidak adanya histamin release, (c) supressi stress respon terhadap
pembedahan. Fentanyl dapat diberikan melaluri preparat transmukosa
(fentanyl oral transmukosa) bentuk desain khusus untuk memberikan 5-
20 µg/kg fentanyl. Sistem fentanyl transdermal diberikan sebelu induksi
anestesi dan habis dalam 24 jam, menurunkan keperluan opioid
parentral untuk analgesia postoperasi. Efek samping Efek samping
fentanyl mirip dengan opioid Efek kardiovaskuler.
Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl, bahkan dalam dosis
tinggi (50 µg/kg IV), tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Bradikardi lebih sering pada fentanyl daripada morfin dan dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah dan kardiak output yang
ocasional. Aktifitas seizure jika tidak didapatkan aktifitas kejang pada
EEG, sangat sulit untuk membedakan kekakuan otot rangka atau
mioklonik karena opioid dari aktifitas seizure. Tekanan Intrakranial
Pemberian fentanyl dan sufentanil pada pasien cedera kepala diketahui
meningkatkan TIK sebesar 6- 9 mHg, meskipun tidak merubah PaCO2.
Peningkatan TIK ini terjadi bersamaan dengan penurunan mean arterial
pressure dan cerebral perfusion pressure. Interaksi obat Konsentrasi
analgesik fentanyl berpotensiasi sangat besar dengan efek midazolam
dan menurunkan kebutuhan dosis propofol. Kombinasi opioid dan
benzodiazepin memberikan sinergisme dalam hipnosis dan depresi
ventilasi.
• Propofol
Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang
merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat
reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida
transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel post-sinap
dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol dengan
reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter

27
inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek
GABA. 4,5
Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol :
Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki
kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6- diisophropyl-
phenol) terdiri dari cincin phenol dengan dua gugus isoprophyl.
Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu pemulihan sangat
dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol ini. Propofol tidak larut
dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkylphenol
menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan
air, namun propofol sangat larut lemak. Pasien yang mempunyai
riwayat alergi terhadap telur belum tentu akan alergi terhadap propofol
karena kebanyakan reaksi alergi telur disebabkan oleh bagian putih
telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi kuning telur.
Keburukan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang
timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki
keasaman pH sekitar 7. Formula propofol di atas sangat mudah menjadi
media tumbuh bakteri, sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam
penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat
pertama kali mebuka ampul obat.Saat ini propofol sudah mengandung
0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini belumlah
memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua formula yang
tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak sensitif
terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah
dalam larutan, sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W)
secara teori larutan ini akan mengakibatkan sedikit perubahan pada
farmakokinetik, pemecahan emulsi, degradasi spontan propofol dan
kemungkian perubahan efek farmakologi.4,5
Farmakokinetik Propofol :
• Absorpsi
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk
penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai
berat.

28
• Distribusi
Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan
onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali
diberikan bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat
yaitu 2-8 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit. Banyak
peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan
propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk
dibandingkan obat lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini
menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one
day care). Sehubungan dengan volume distribusi yang lebih rendah pada
orang dewasa maka kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan
perempuan memerlukan dosis yang lebih besar dibanding laki-laki juga
waktu bangun pada perempuan lebih cepat.
Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3
kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol
dalam darah akan menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan
eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit.
Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8
menit, yang lambat 30- 70 menit dan waktu paruh eliminasi 4- 23,5 jam.
Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya
kompartemen dengan perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk
infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami
distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat. Waktu
yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol
hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat
meskipun pada infus kontinyu yang lama. Biotransformasi Tingginya
tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat
dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah
pemberian infus kontinyu.4,5
Ekskresi :
Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui
ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan
propofol.

29
Farmakodinamik Propofol :
• Susunan Saraf Pusat
Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran
γ-aminobutyric acid (GABA)-induced chloride melalui ikatan pada
subunit β dari reseptor GABA. Propofol melalui aksinya pada reseptor
GABA di hipokampus menghambat pelepasan asetilkolin di
hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2- adrenoreseptor juga
tampaknya memainkan peran tidak langsung dalam efek penenang
propofol. Propofol juga bekerja pada penghambatan dari subtipe N-
metil-D- aspartat (NMDA) dari reseptor glutamat melalui modulasi
kanal sodium, sehingga menyebabkan efek pada sistem saraf pusat
(SSP). Propofol tidak memiliki komponen analgetik. Dua efek
menguntungkan propofol adalah efek antiemetik dan rasa nyaman pada
pasien. Propofol meningkatkan konsentrasi dopamin di nucleus
accumbens. Efek antiemetik propofol dapat dijelaskan dengan
penurunan kadar serotonin yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang
mungkin disebabkan karena penghambatan GABA. Permulaan hipnosis
setelah pemberian dosis 2,5 mg/kg BB sangat cepat (arm-brain
circulation time), dengan efek puncak terlihat pada 90 sampai 100 detik.
Dosis efektif median (ED 50) propofol untuk hilangnya reflek mata
adalah 1 sampai 1,5 mg/kgBB setelah bolus. Durasi hipnosis adalah
tergantung dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2 sampai 2,5
mg/kgBB bolus propofol. Efek propofol pada EEG yang dinilai setelah
pemberian 2,5 mg/kgBB diikuti dengan pemberian kontinyu
menunjukkan peningkatan awal dalam irama alfa diikuti dengan
pergeseran ke gamma dan frekuensi theta. Pada pemberian pemberian
propofol dari dosis 3µg /mL ke dosis 8 µg/mL awalnya amplitudo akan
meningkat dan diikuti penurunan amplitudo yang nyata bila diberikan
lebih dari 8 µg/mL. Konsentrasi propofol di mana 50% dari orang coba
gagal menanggapi perintah lisan adalah pada dosis 2,5µg/mL. Kejang
(gerakan involunter) setelah pemberian propofol telah dilaporkan,
terutama pada induksi, jarang selama operasi berlangsung dan kadang-
kadang paska operasi. Opistotonus juga pernah dilaporkan karena
pemberian propofol. Rasa nyaman, fantasi sexual dan halusinasi

30
merupakan efek sentral yang menyenangkan karena propofol. Dosis
propofol menjadi lebih rendah jika dikombinasikan dengan obat lain.
Konsentrasi propofol (jika dikombinasikan dengan Nitric Acid 66%)
diperlukan selama operasi adalah 1,5-4,5 µg/ mL,dan konsentrasi untuk
operasi besar adalah 2,5-6 µg/ mL. 4,5
• Kardiovaskular
Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah
menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan systemic vascular
resistance (SVR) yaitu dengan menghambat aktivitas vasokonstriktor
oleh sistim simpatis, menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan
menurunkan preload. Kejadian hipotensi pada pemberian propofol lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tiopental tetapi biasanya akan
dihilangkan akibat perlakuan saat laringoskopi intubasi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian hipotensi adalah besarnya dosis,
kecepatan injeksi dan umur tua. Efek kardiovaskular propofol telah
dievaluasi setelah penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi. Efek yang paling menonjol propofol adalah penurunan tekanan
darah arteri selama induksi anestesi. Terlepas dari adanya penyakit
kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg menghasilkan
penurunan 25% sampai 40% dari tekanan darah sistolik, perubahan
serupa terlihat pada tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan
tekanan arteri dikaitkan dengan penurunan curah jantung kurang lebih
15%, indek volume sekuncup kurang lebih 20%, dan tahanan vaskular
sistemik 15% sampai 25%. Dalam tinjauan retrospektif terhadap 2406
pasien, Reich menunjukkan bahwa 9% dari pasien mengalami hipotensi
berat, 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum. Prediktor
signifikan secara statistik multivarian hipotensi 0 sampai 10 menit
setelah induksi anestesi termasuk status fisik ASA kelas III dengan V,
dengan dasar TAR kurang dari 70 mmHg, usia 50 tahun atau lebih,
menggunakan propofol dan fentanil untuk induksi anestesi. Kombinasi
propofol dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk
hipotensi. Selama pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan
darah sistolik arteri juga menurun menjadi 20% sampai 30%. Pada
pemberian dosis pemeliharaan propofol 100 µg/kgBB/menit terjadi

31
penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah sistemik
(30%), tetapi curah jantung dan volume sekuncup tidak berubah. Efek
penekanan pada pembuluh darah (vasodilatasi), konsumsi oksigen dan
penekanan pada otot jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi
dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek lain Propofol adalah
tidak meningkatkan blokade neuromuskuler yang dihasilkan oleh obat
pelumpuh otot.
• Respirasi Apnea bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi propofol,
kejadian dan lamanya apnea bergantung pada dosis, kecepatan injeksi,
dan premedikasi yang diberikan sebelumnya. Sebesar 25% sampai 30%
pasien mengalami apnea selama induksi propofol. Durasi apnea terjadi
akibat propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik, namun
kejadian apnea yang berkepanjangan (> 30 detik) meningkat lebih lanjut
dengan penambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum
induksi anestesi. Kejadian apnea dengan propofol lebih sering
dibandingkan dengan anestesi IV umum lainnya yang digunakan untuk
induksi. Permulaan apnea biasanya didahului dengan pengurangan
volume napas ditandai pasang surut dan takipnea. Infus pemeliharaan
propofol (100 µg/ kgBB/menit) menghasilkan penurunan 40% pada tidal
volume dan peningkatan 20% pada frekuensi pernapasan, dengan
perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit. Menggandakan laju
infus dari 100 ke 200 mcg/kgBB/menit menyebabkan penurunan lebih
lanjut volume tidal (455-380 mL), tetapi tidak ada perubahan dalam
frekuensi pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54
µg/kgBB/menit), PaCO2 cukup meningkat 39-52 mmHg. Penggandaan
laju infus tidak mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dalam PaCO2.
Propofol (50-120 µg/kgBB/menit) juga menekan respon ventilasi
terhadap hipoksia, akibat kerja langsung pada kemoreseptor badan
karotid. Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis. Dalam model hewan percobaan dengan
endotoksemia septik, propofol (10 mg/ kgBB/ jam) secara nyata
mengurangi mediasi radikal bebas dan katalis siklooksigenase
peroksidasi lemak. Manfaat ini belum dikonfirmasi pada manusia.
Propofol pada konsentrasi terapeutik juga melindungi makrofag tikus

32
dari nitrat oksida-induced apoptosis. Efek Samping Propofol Induksi
anestesia menggunakan propofol dapat mengakibatkan beberapa efek
samping, antara lain nyeri saat injeksi, mioklonus, apneu, penurunan
tekanan darah arteri dan walaupun jarang terjadi, tromboplebitis pada
vena tempat propofol diinjeksikan. Mioklonus terjadi lebih sering pada
propofol dibandingkan dengan tiopental, tetapi lebih jarang dibandingkan
dengan etomidat dan metohexital. Apneu setelah pemberian propofol
biasa terjadi. Insiden apneu sama dengan setelah pemberian thiopental
dan metohexital, walaupun insiden apneu lebih dari 30 detik lebih tinggi
pada propofol. Penurunan tekanan darah sistemik adalah efek samping
yang paling penting saat induksi propofol. Mungkin injeksi perlahan dan
dosis yang lebih kecil, pada pasien yang sudah direhidrasi adekuat akan
mencegah turunnya tekanan darah sistemik. Sebaliknya, efek
laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta peningkatan MAP, frekuensi
nadi dan SVR secara bermakna lebih rendah pada pemberian propofol
daripada tiopental. Efek propofol yang paling menonjol adalah
menurunkan tekanan darah arterial selama induksi anestesia. Dosis
induksi 2,0-2,5 mg/kg berat badan menghasilkan penurunan tekanan
darah sistolik 25-40%. Perubahan serupa juga terlihat pada tekanan
darah diastolik. Biasanya insiden hipotensi akibat pemberian propofol
ini berlangsung selama 5-10 menit pertama setelah induksi. Propofol
dianggap menghambat barorefleks sehingga menurunkan respon
takikardi terhadap hipotensi. Propofol dapat mengurangi aktifitas saraf
simpatis lebih besar daripada saraf parasimpatis, sehingga parasimpatis
lebih dominan dan dapat menyebabkan bradikardi maupun asistol pada
induksi anesthesia. Nyeri saat injeksi lebih ringan atau sama dengan
etomidat, sama dengan metohexital dan lebih berat dari tiopental. Nyeri
saat injeksi dapat dikurangi dengan cara injeksi pada vena yang lebih
besar, menghindari injeksi pada vena di dorsum manus dan
menambahkan lidokain pada larutan propofol. Mekanisme terjadinya
nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan propofol sampai saat ini belum
jelas karena propofol tersedia dalam larutan steril, nonpirogenik,
isotonis dengan pH = 7,0. Klemen dan Arnold telah membuktikan bahwa
penyuntikan dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH >11 dapat

33
menyebabkan nyeri. 11
Kontra Indikasi Propofol :
Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi
propofol. Pasien dengan kelainan jantung yang diberikan obat propofol,
harus dimonitor secara ketat hemodinamik maupun respirasinya, serta
pemberian propofol dititrasi sesuai respon kardiovaskular pasien.11
• Obat inhalasi
• N2O
N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan
konsentrasi besar (lebih dari 65%) agar efektif. Paling sedikit 20% atau
30% oksigen harus diberikan sebagai campuran, karena konsentrasi
N2O lebih besar dari 70-80% dapat menyebabkan hipoksia. N2O tidak
dapat menghasilkan anestesia yang adekuat kecuali dikombinasikan
dengan zat anestesi yang lain, meskipun demikian, karakteristik tertentu
membuatnya menjadi zat anestesi yang menarik, yaitu koefisien partisi
darah/gas yang rendah, efek anagesi pada konsentrasi subanestetik,
kecilnya efek kardiovaskuler yang bermakna klinis, toksisitasnya
minimal dan tidak mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi baik
untuk induksi dengan masker. Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain
bersifat additif, sehingga pemberian N2O dapat secara substansial
mengurangi jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan.
Pemberian N2O akan menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar
dari zat anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat “efek gas kedua”
dan “efek konsentrasi” dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat gas
diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas
diinhalasi, maka semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas
tersebut.4
Absorpsi, Distribusi Dan Eliminasi dari N2O :
Absorbsi dan eliminasi nitorus oksida relatif lebih cepat
dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya, hal ini terutama
disebabkan oleh koefisien partisi gas darah yang rendah dari N2O. Pada
menit pertama, N2O (75%) dengan cepat akan diabsorbsi kira-kira 1.000
ml/menit. Setelah 5 menit, tingkat absorbsi turun menjadi 600 ml/menit,
setelah 10 menit turun menjadi 350 ml/menit dan setelah 50 menit

34
tingkat absorbsinya kira-kira 100 ml/menit, kemudian pelan-pelan
menurun dan akhirnya mencapi nol. Konsentrasi N2O yang diabsorbsi
tergantung antara lain oleh konsentrasi inspirasi gas, ventilasi alveolar
dan ambilan oleh sirkulasi, seperti koefisien partisi darah/gas dan aliran
darah (curah jantung). N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh. Konsentrasi di jaringan adalah berbanding lurus dengan perfusi
per unit volume dari jaringan, lamanya paparan dan koefisien partisi
darah / jaringan zat tersebut. Jaringan dengan aliran darah besar/banyak
seperti otak, jantung, hati dan ginjal akan menerima N2O lebih banyak
sehingga akan menyerap volume gas yang lebih besar. Jaringan lain
dengan suplai darah sedikit seperti jaringan lemak dan otot menyerap
hanya sedikit N2O, ambilan dan penyerapan yang cepat menyebabkan
tidak terdapatnya simpanan N2O dalam jaringan tersebut sehingga tidak
menghalangi pulihnya pasien saat pemberian N2O dihentikan. N2O
dieliminasi melalui paru-paru dan sebagian kecil diekskresikan melalui
kulit.4,5
Efek Farmakologi :
 Terhadap sistem saraf pusat
Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat hipnotik.
Khasiat analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen.
Pada konsentrasi 25% N2O menyebabkan sedasi ringan. Peningkatan
konsentrasi menyebabkan penurunan sensasi perasaan khusus seperti
ketajaman, penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan diikuti penurunan
respon sensasi somatik seperti sentuhan, temperatur, tekanan dan nyeri.
Penurunan perasaan membuat agen ini cocok untuk induksi sebelum
pemberian agen lain yang lebih iritatif. N2O menghasilkan analgesi
sesuai besarrnya dosis. N2O 50% efek analgesinya sama dengan morfin
10 mg. Bukti menunjukkan bahwa N2O memiliki efek agonis pada
reseptor opioid atau mengaktifkan sistem opioid endogen. Area pusat
muntah pada medula tidak dipengaruhi oleh N2O kecuali jika terdapat
hipoksia. Nitrous oksida tidak mengikuti klasifikasi stadium anestesi
dari guedel dalam kombinasinya dengan oksigen dan sangat tidak
mungkin mencoba memakai nitrous oksigen tanpa oksigen hanya karena
ingin tahu gambaran stadium anestesi dari guedel. Efeknya terhadap

35
tekanan intrakranial sangat kecil bila dibandingkan dengan obat anestesi
yang lain. Terhadap susunan saraf otonom, nitrous oksida merangsang
reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak
mengalamiperubahan.4,5
 Terhadap sitem kardiovaskuler
Nitrous oxide memiliki kecenderungan untuk menstimulasi
simpatis sistem saraf. Jadi, meski nitrat oksida secara langsung menekan
kontraktilitas miokard secara in vitro, tekanan darah arteri, curah
jantung, dan detak jantung pada dasarnya tidak berubah atau sedikit
meningkat. Depresi ringan kontraktilitas miokard terjadi pada rasio N2O
: O2 = 80% : 20%. N2O tidak menyebabkan perubahan laju jantung dan
curah jantung secara langsung. Tekanan darah tetap stabil dengan sedikit
penurunan yang tidak bermakna.8
 Terhadap sistem respirasi
Nitrous oxide dapat meningkatkan laju pernapasan (takipnea) dan
menurunkan volume tidal sebagai akibat stimulasi SSP dan, mungkin,
akibat aktivasi reseptor peregangan pada paru, Perubahan laju dan
kedalaman pernapasan (menjadi lebih lambat dan dalam) lebih
disebabkan karena efek sedasi dan hilangnya ketegangan.
 Terhadap sistem gastrointestinal
Penggunaan nitro oksida pada orang dewasa meningkatkan risiko
mual dan muntah pasca operasi, mungkin seperti hasil aktivasi pemicu
kemoreseptor zona dan pusat muntah di medulla.
 Terhadap ginjal
Nitro oksida tampaknya dapat mengurangi aliran darah ginjal
dengan meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Ini adalah
petunjuk untuk penurunan laju filtrasi glomerulus dan urin output.9
Penggunaan Klinik Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai
obat dasar dari anestesia umum inhalasi dan selalu dikombinasikan
dengan oksigen dengan perbandingan N2O : O2 = 70 : 30 (untuk pasien
normal), 60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan oksigen yang
lebih banyak), atau 50 : 50 (untuk pasien yangberesiko tinggi). Oleh
karena N2O hanya bersifat analgesia lemah, maka dalam

36
penggunaannya selalu dikombinasikan degnan obat lain yang berkhasiat
sesuai dengan target “trias anestesia” yang ingin dicapai.4,5
• ISOFLURAN
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran, merupakan
cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas
jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan sungkup muka
sehingga pada saat induksi inhalasi sering menimbulkan batuk dan
tahanan nafas. Tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan
proses induksi dan pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan
obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih
lambat dibandingkan dengan sevoflurane. Proses induksi dan
pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi
inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan
dengan sevofluran.4,5
Dosis
- Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-
3% bersama-sama dengan N2O.
- Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya berkisar
antara 1- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran kurang dari 1 jam akan
sadar kembali sekitar 7 menit setelah obat dihentikan. Sedangkan pada
tindakan 5-6jam, kembali sadar sekitar 11 menit setelahobat dihentikan.
Efek Farmakologi
 Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan.
Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan
oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan
perubahan sirkulasi serebrum serta mekanisme autoregulasi aliran darah
otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah
penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi
serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik

37
hipotensi kendali.
 Terhadap sistem kardiovaskular
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih
ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Tekanan darah
dan denyut nadi relatif stabil selama anestesi. Dengan demikian
isofluran merupakan obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang
menderita kelainan kardiovaskuler.
 Terhadap sistem respirasi
Isofluran juga menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya
sebanding dengan dosis yang diberikan. Terhadap otot rangka
Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat
motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan
obat pelumpuh otot non depolarisasi. Walaupun demikian, masih
diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi
otot yang optimal terutama pada operasai laparatomi. Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju
fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih
dalam batas normal. Toksisitas pada ginjal tidak terjadi.
Biotransformasi :
Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya
0,2% dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat
rendah, tidak cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan klinik sama seperti halotan dan enfluren, isofluren
digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesi umum. Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek
analgetik ringan dan relaksasi ringan. Untuk mengubah cairan isofluran
menjadi uap, diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran.
• SEVOFLURSAN
Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat gelap),
dan tidak terlihat adanya degradasi sevofluran dengan asam kuat atau
panas. Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat

38
dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini.
Dosis
 Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
3,0-5,0% bersama-sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar
antara 2,0- 3,0%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
Efek Farmakologi
 Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan isofluran. Aliran
darah otak sedikit meningkat sehingga sedikit meningkatkan tekanan
intrakranial. Laju metabolisme otak menurun cukup bermakna sama
dengan isofluran. Tidak pernah dilaporkan kejadian kejang akibat
sevofluran.
 Terhadap sistem kardiovaskuler
Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia. Tahanan
vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga tekanan darah
sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC sevofluran menyebabkan penurunan
tahanan vaskuler sistemik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-
kira 20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada pemakaian
sevofluran lebih dari 2 MAC. Dibandingkan dengan isofluran,
sevofluran menyebabkan penurunan tekanan darah lebih sedikit.
Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan pada aliran darah
koroner. Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung. Penelitian-
penelitian menyebutkan bahwa penurunan laju jantung tidak sampai
menyebabkan bradikardi.
 Terhadap sistem respirasi
Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain sevofluran
juga menimbulkan depresi pernapasan yang derajatnya sebanding
dengan dosis yang diberikan sehingga volume tidal akan menurun, tapi
frekuensi nafas sedikit meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran
menyebabkan tingkat depresi pernafasan hampir sama dengan halotan
dan pada 1,4 MAC tingkat depresinya lebih dalam daripada halotan.
Sevofluran menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, tetapi tidak

39
sebaik halotan.
 Terhadap otot rangka
Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan
isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi yang cukup dalam
dengan sevofluran. Proses induksi, laringoskopi dan intubasi dapat
dikerjakan tanpa bantuan obat pelemas otot.
 Terhadap hepar dan ginjal
Sevofluran menurunkan aliran darah ke hepar paling kecil
dibandingkan dengan enfluran dan halotan. Ada beberapa bukti,
sevofluran menurunkan aliran darah ke ginjal, tetapi tidak ada bukti hal
ini menyebabkan gangguan fungsi ginjal pada manusia.
2.4 Laringeal Mask Airway
Penemuan dan pengembangan “laryngeal mask airway” (LMA) oleh seorang
ahli anestesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan dampak yang
luas dan bermakna dalam praktek anestesi, penanganan airway yang sulit, dan
resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara penggunaan “face
mask” dengan intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli anestesi alat baru
penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik,
dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anestesi mempunyai variasi yang lebih besar
untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-
tiap pasien, jenis anestesi, dan prosedur pembedahan. 16
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis, terdiri
dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai balon
yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30°. LMA dapat
dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun demikian juga
tersedia LMA yang disposible. 15
2.4.1 Jenis-Jenis LMA
Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan keunggulan dan
tujuan tertentu dari masin-masing jenis LMA. Jenis-jenis LMA yang telah
tersedia sebagai berikut :

40
1. LMA klasik
Tidak seperti jalan nafas supraglotik, tersedia dalam berbagai
ukuran, yang cocok untuk semua penderita mulai dari bayi sampai dengan
dewasa. Suatu metode pemasangan LMA klasik dengan teknik standar
direkomendasikan oleh Dr Archie Brain. Setelah deflasi cuff secara penuh,
LMA dimasukkan dengan bantuan indek jari menekan masker kearah
cranioposterior melewati kurva palatofaringeal, dilanjutkan kearah caudal
sampai dirasakan adanya tahanan di mana ujung masker memasuki upper
esophageal sphincterKeberhasilan LMA yang klasik mendorong
munculnya berbagai jenis LMA lainnya dengan beberapa tujuan tertentu
seperti untuk intubasi buta disertai dengan akses ke lambung (Proseal
LMA).

Gambar 3. LMA Klasik


2. LMA Flexible
Bentuk dan ukuran masknya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan flexibelitasnya
meningkat yang memungkinkan posisis proximal dan menjauhi lapang
bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan
kepala dan leher, maxilla facial dan THT. FLMA memberikan
perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada di
atas FLMA. Popular digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan
intra oral, termasuk tonsilektomi. Airway tube fLMA lebih panjang dan
lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan kerja dari
pernapasan. Ukuran fLMA : 2-5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA
karena flexibilitas airway tube. Mask dapat berotasi 180 pada sumbu
panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-

41
kira 30% lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk
menggunakan 40 kali.16

Gambar 4. LMA Flexible


3. LMA proseal
LMA proseal dengan akses lambung dapat mendekomprasi lambung
seketika LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis untuk
jalan nafas dan lebih cocok untuk ventilasi tekanan positif. Jenis LMA
proseal memberikan dua keuntungan : (1) adanya akses ke lambung
memungkinkan untuk memasukkan selang lambung dan kemudian
dekompresi lambung; (2) desain ulang terhadap balon LMAmemungkinkan
untuk mengembangkan balon LMA lebih besar dan posisi balon LMA
16
yang lebih tepat terhadap jalan nafas.

Gambar 5. LMA Proseal


LMA proseal
LMA proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi

42
tekanan positif. Pertama, tekanan jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA
proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mebgalirkan
gas-gas esophagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastrik untuk
dekompresi lambung.
PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai “mangkuk”
yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibangkan cLMA.
Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung mask, melewati “
mangkuk” untuk berjalan parallel dengan airway tube. Ketika posisinya
tepat, drain tube terletak dipuncak esophagus yang menggelilingi
cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi,
traktur GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi
sulit dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang dimasukkan
kedalam esophagus. Tehnik ini paling invasive tetapi paling berhasil
dengan misplacement yang kecil. Terdapat suatu teori yang baik dan bukti
performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan
PLM, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut. Harga PLMA
kira-kira 10% lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk 40 kali
pemakainan.
Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan
tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin karena
dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran.
Modifikasi baru, proseal LMA telah dikembangkan untuk mengatasi
keterbatasan ini dengan cuff yang lebih besar dan tube drain yang
memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk
insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser
kaku.16
4. LMA fast track
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung
(diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm,

43
handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama
antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan
batang pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach.
Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan
intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan
diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA
terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu
intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung
mask terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid
yang menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi
kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube
yang terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube
dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus
bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi
pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi
direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara
serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam
managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien
dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama
resusitasi cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan
intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan
untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan
dengan posisipasien supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa
ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama
mengeluarkan pasien yang terjebak. 16

44
Gambar 6. LMA Fast Track
Tabel 2. Berbagai macam ukuran LMA
Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)
1 <5 4
1,5 5 – 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 – 50 20
4 50 – 70 30
5 > 70 40

2.4.2 Indikasi Penggunaan LMA 16


1) Pemasangan Ventilasi Elektif
2) Kesulitan Jalan Nafas
3) Cardiac Arrest
4) Saluran Untuk Intubasi
5) Manajemen Jalan Nafas Prehospital
6) Anak-Anak
2.4.3 Kontraindikasi Penggunaan LMA16
Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA :
1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya
artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan
memasukkan LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
6. Ventilasi paru tunggal.
2.4.4 Teknik Insersi LMA16
Macam-macam teknik insersi LMA :
1. Teknik Klasik/standard (Brain’s original technique)
2. Inverted/reserve/rotation approach
3. Lateral apporoach à inflated atau deflated cuff

45
Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr. Archie Brain telah
menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien
dan prosedur pembedahan. Walaupun sampai sekarang telah banyak teknik
insersi yang dianjurkan namun demikian teknik dari dr.Brain ini membuktikan
secara konsisten lebih baik. Banyak teknik insersi lainnya yang menyebabkan
penempatan LMA yang teralalu tinggi dari jalan nafas atas dan pengembangan
balon terlalu besar untuk mencegah kebocoran gas anestesi disekeliling LMA.
Tekanan balon LMA yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembengkakan
struktur pharyngeal dan menyebabkan pengurangan toleransi terhadap LMA
pada kasus-kasus emergensi.Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme
menelan. Setelah makanan dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan
terhadap langit- langit rongga mulut berasamaan dengan otot-otot pharyngeal
mendorong makanan kedalam hipopharyng. Insersi LMA, dengan cara yang
mirip balon LMA yang belum terkembang dilekatkan menyusuri langit-langit
dengan jari telunjuk menekan LMA menyusuri sepanjang langit-langit keras
dan langit-langit lunak terus sampai ke hipopharyngx. Teknik ini sesuai untuk
penderita dewasa ataupun anak-anak dan sesuai untuk semua model LMA.5,16

Gambar 7. Posisi LMA

46
Gambar 8. Cara pemasangan LMA dengan jari

Gambar 9. Cara pemasangan LMA dengan introducer


Gambar Teknik Insersi LMA
a. LMA dalam keadaan siap untuk diinsersi. Balon harus dalam keadaan
kempes dan rim membelakangi lubang LMA. Tidak boleh ada lipatan
pada ujung LMA.
b. Insersi awal LMA dengan melihat langsung, ujung masker ditekan
terhadap palatum durum. Jari tengah dapat digunakan untuk menekan
dagu kebawah. Masker ditekan kearah depan terus maju ke dalam pharynx
untuk memastikan bahwa ujungnya tetap datar dan menolak lidah. Dagu
tidak perlu dijaga agar tetap terbuka bila masker telah masuk kedalam

47
mulut. Tangan operator yang tidak terlibat proses intubasi dapat
menstabilisasi occiput.
c. Dengan menarik jari sebelahnya dan dengan sedikit pronasi dari lengan
bawah, biasanya dengan mudah akan dapat mendorong masker. Posisi
leher tetap flexi dan kepala tetap extensi.
d. LMA ditahan dengan tangan sebelah dan jari telunjuk kemudian diangkat.
Tangan menekan LMA ke bawah dengan lembut sampai terasa
tahanan.16
Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut :16
1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran
pada balon LMA
2. pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap
keluar berlawanan arah dengan lubang LMA
3. lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA
4. pastikan anestesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional)
sebelum mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan
kondisi yang lebih baik daripada thiopental.
5. posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum
durum terus turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang
meningkat. Garis hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap ke
cephalad (menghadap ke bibir atas pasien)
7. kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai
8. pastikan pasien dalam anestesi yang dalam selama memposisikan pasien
9. obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis
yang terlipat kebawah atau laryngospame sementara hindari suction
pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA sampai penderita
betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai perintah).
Malposisi LMA

48
Gambar 10. Malposisi LMA yang umum terjadi
2.4.5 Teknik-teknik Lain Yang Dapat Dilakukan Bila Kesulitan Insersi LMA
Ditangan yang terampil, teknik standard insersi LMA dapat berhasil
pada sebagian besar pasien (>98%) pada usaha yang pertama atau yang kedua.
Penyebab yang lazim akan kegagalan insersi LMA adalah karena penguasaan
teknik yang rendah, anestesi yang dangkal (yang menyebabkan terjadi batuk,
mual, dan laryngospasme), pengguna belum berpengalaman, sulit mengatasi
lengkungan 90° dibelakang pharynx ke hipopharynx, lidah dan tosil yang
besar, dan penggunaan ukuran LMA yang tidak tepat. Beberapa teknik
manuver telah dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut diantaranya :
menarik lidah kedepan, menggangkat dagu, dan menggunakan laryngoscope,
menggunakan bilah lidah atau forcep Magill untuk menggangkat lidah.
Masukkan LMA dengan balon menghadap ke bawah dan kemudian diputar
180° setelah sampai dinding posterior parynx.16
Balon dapat dikembangkan sebagian atau penuh bila memasukkan
LMA tanpa kesulitan. Walaupun trik ini dapat memudahkan operator yang
belum berpengalaman namun dapat terjadi komplikasi berupa obstruksi
parsial jalan nafas jika ujung LMA arytenoid didepan larynx. lebih jauh hal
tersebut dapat menyebabkan batuk atau laryngospamekarena rangsangan pada
refleks pelindung jalan nafas yang disebabkan oleh posisi LMA yang tinggi
di dalam pharynx. Pada pasien dengan lengkung palatum yang tinggi,
mendekati palatum durum secara agak diagonal dari samping dengan posisi
LMA bersudut 15° atau 20° darilateral ke midline dapat juga membantu. 5
2.4.6 Keuntungan dan kerugian LMA Keuntungan LMA dibandingkan Face
Mask
Bila dibandingkan dengan pemakaian dengan face mask maka LMA
dapat memberikan ahli anestesi lebih banyak kebebasan untuk melaksanakan
tugas yang lain (misalnya mencatat perjalanan anestesi, memasukkan obat-
obatan dll) dan mengurangi angka kejadian kelelahan pada tangan operator.
Dengan LMA dapat memberikan data capnography yang lebih akurat dan dapat
mempertahankan saturasu oksigen yang lebih tinggi. Kontaminasi ruangan oleh
obat-obat anestesi inhalasi dapat dikurangi tetapi dengan manipulasi yang lebih
kecil terhadap jalan nafas. Cedera pada mata dan saraf wajah dapat dihindari
dibandingkan bila memakai face mask.16

49
Keuntungan LMA dibandingkan dengan ETT
Walaupun LMA tidak dapat menggantikan posisi ETT (khususnya pada
prosedur operasi yang lama dan yang memerlukan proteksi terhadap aspirasi)
namun LMA mempunyai berbagai kelebihan. LMA lebih mudah dimasukkan
dan mengurangi rangsangan pada jalan nafas dibandingkan ETT (sehingga
dapat mengurangi batuk, rangsang muntah, rangsang menelan, tahan nafas,
bronchospame, dan respon kardiovaskuler) adalah dua keuntungan yang
dimiliki LMA dibandingkan ETT. Level anestesi yang lebih dangkal dapat
ditoleransi dengan menggunakan LMA dibandingkan ETT. Ditangan yang
terampil, penempatan LMA dapat lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan
menempatkan ETT, sehingga lebih memudahkan untuk resusitasi. Trauma pada
pita suara dapat dihindari karena LMA tidak masuk sampai ke lokasi pita suara.
Insidens kejadian suara serak setelah penggunaan LMA dapat dikurangi bila
16
dibandingkan dengan pemakaian ETT. Tabel 3. Keuntungan dan Kerugian
LMA dibandingkan dengan Face Mask atau ETT 16

50
2.4.7 Komplikasi Penggunaan LMA 5,7
1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
3. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)
2.5 Ruptur Tendon
2.5.1 Definisi
Tendon merupakan bagian dari jaringan lunak, sebagai kelanjutan otot,
baik mulai maupun bertaut pada tulang (origo dan insertio).
Tendon adalah struktur dalam tubuh yang menghubungkan otot ke
tulang. Otot rangka dalam tubuh bertanggung jawab untuk menggerakkan
tulang, sehingga memungkinkan untuk berjalan, melompat, mengangkat dan
bergerak dalam banyak cara. Ketika otot kontraksi, tendon menarik tulang dan
menyebabkan terjadinya gerakan.
Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa. Ruptur
tendon adalah robek, pecah atau terputusnya tendon yang diakibatkan karena
tarikan yang melebihi kekuatan tendon.
2.5.2 Etiologi
a. Penyakit tertentu, seperti arthritis dan diabetes
b. Obat – obatan, seperti kortikosteroid dan beberapa antibiotic yang
dapat meningkatkan resiko rupture
c. Cedera dalam olahraga, seperti melompat dan berputar pada olahraga
badminton, tenis, basket, dan sepak bola
d. Trauma benda tajam atau tumpul

51
2.5.3 Faktor Resiko
a. Umur : 30 – 40 th (> 30 th)
b. Jenis kelamin : Laki – laki > Perempuan (5 : 1)
c. Obesitas
d. Olahraga
e. Riwayat ruptur tendon sebelumnya
f. Penyakit tertentu arthritis, DM
2.5.4 Diagnosis
a. Anamnesa
Status general pasien berupa usia, tangan yang dominan, pekerjaan,
hobbi, dan riwayat masalah tangan sebelumnya. Kapan dan dimana trauma
terjadi. Pada kasus trauma untuk mengetahui keakutan trauma dan
kemungkinan kontaminasi dengan benda asing.
b. Pemeriksaan Klinis
Meski deformitas berat tidak ditemukan, posisi tangan sering
memberi petunjuk tendon fleksor mana yang terpotong. Posisi normal tangan
menunjukkan jari telunjuk dalam posisi sedikit fleksi dan jari kelingking
paling fleksi. Jika kedua tendon jari terpotong, maka jari akan berada dalam
posisi hiperekstensi.
Fungsi tendon biasanya dievaluasi dengan gerakan aktif volunter jari,
biasanya secara langsung oleh pemeriksa. Tindakan manuver yang dilakukan
dahulu pada tangan pemeriksa atau tangan penderita yang sehat sebelum pada
tangan yang terluka dapat membantu. Jika luka pada distal pergelangan, jari
yang terluka ditahan untuk memperoleh gerakan sendi spesifik. Dengan
sendi proksimal interphalanx ditahan, fleksor digitorum profunda diduga
terpotong jika sendi distal interphalanx tidak dapat fleksi secara aktif. Jika
sendi proksimal interphalanx dan distal interphalanx keduanya tidak dapat
fleksi secara aktif dengan tahanan pada sendi metacarpophalangeal, maka
kedua tendon fleksor mungkin terpotong.
Pada ibu jari, untuk pemeriksaan tendon fleksor pollicis longus, sendi
metacarpophalangeal ibu jari ditahan. Jika tendon fleksor pollicis longus
terpotong, fleksi pada sendi interphalangeal tidak ada. Sedangkan jika luka
terletak pada pergelangan, sendi jari dapat fleksi secara aktif meskipun
tendon jarinya terpotong. Hal ini dikarenakan interkomunikasi tendon fleksor

52
digitorum profunda pada pergelangan, khususnya jari manis dan kelingking.
Pada ruptur tendon parsial biasanya tetap berfungsi, namun gerakan jari
dibatasi oleh nyeri.
c. Pemeriksaan Radiologi
Semua pasien sebaiknya mendapatkan foto rontgen posisi
posteroantero lateral dan satu atau dua posisi oblik. Foto rontgen memberikan
informasi dengan sensisitifitas menengah, spesifisitas tinggi dan biaya yang
terjangkau. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi ruptur tendon
dan trauma ligamentum ulnaris collateral sampai ibu jari. Dapat juga
memeriksa fungsi dinamis dari tendon secara noninvasif menggunakan USG.
MRI menunjukkan sensitifitas yang tinggi dalam deteksi ruptur tendon.
Namun demikian, MRI tidak berperan dalam penanganan emergensi dari luka
pada tangan.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penanganan Trauma Tendon

Mekanisme trauma fleksor tangan dan jari tidak lagi diterapi dengan
rekonstruksi tertunda karena perbaikan primer langsung dan tertunda
memberi hasil yang baik sampai sempurna, meski dilakukan pada jari tengah.
Hasil yang memuaskan dilaporkan pada 75 – 98 % pasien.
Zona I
Sebagaimana laserasi tendon pada jari umumnya, luka harus diperluas
ke proksimal dan distal untuk memudahkan visualisasi. Beberapa ahli bedah
memilih jahitan jarum Keith melalui phalanx distal dengan volar ke sudut
dorsal daripada kedua sisi tulang.
Zona II
Kedua laserasi tendon direkonstruksi pada zona II. Jahitan 4-strand
dengan jahitan epitenon. Rekonstruksi Kessler modifikasi Strickland
dilakukan dengan menggunakan 2 poros jahitan untuk tendon fleksor
digitorum profunda.
Zona III
Rekonstruksi tendon menggunakan teknik jahitan yang sama dengan
yang dijelaskan sebelumnya. Pemaparan tendon lebih mudah dan hasilnya
lebih baik karena tidak adanya selaput fibroosseus pada zona ini.

53
Zona IV
Tendon direkonstruksi dengan teknik sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnnya, selama tidak ada trauma saraf medianus yang terletak di
superfisial tendon.
Zona V
Trauma pada tautan muskulotendinosa dapat sulit direkonstruksi
karena jaringan otot akan tidak dapat menahan jahitan. Sering jahitan matras
multipel dibutuhkan jika tautan muskulotendinosa tidak mampu menahan
poros jahitan.

Strickland menekankan 6 karakter rekonstruksi tendon ideal


a. Mudah menempatkan jahitan dalam tendon
b. Simpul jahitan aman
c. Tautan halus pada ujung tendon
d. Celah minimal pada lokasi perbaikan
e. Intervensi minimal dengan vaskularitas tendon
f. Regangan cukup selama penyembuhan.

54
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : I Ketut Lasta
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki Laki
Berat Badan : 60 kg
Alamat : Br Bengang
Agama : Hindu
Diagnosis pre operasi : Ruptur tendon flexor dan extensor Digiti II
Manus Sinistra
Sinistra Jenis pembedahan : Repair Regio Manus Sinistra
Jenis anestesi : General Anestesi – Laringeal Mask Airway
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Luka pada jari telunjuk kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki usia 46 tahun datang ke IGD RSU Bangli dalam keadaan
sadar diantar oleh keluarganya dengan keluhan luka pada jari telunjuk kiri setelah
terkena sabit saat memberi pakan sapi, pasien mengatakan nyeri dan kesulitan
menggerakkan jari telunjuknya.
Pasien mengatakan SMRS ke puskesmas terlebih dahulu dan di beri
penanganan yaitu pembalutan luka serta di beri obat. Perdarah aktiv (-), keluhan
mual (-), muntah (-), pusing (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi : (-)
- Riwayat Gastritis : (-)
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan : (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus : (-)
- Riwayat Sakit jantung : (-)

55
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan : (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus : (-)
- Riwayat Sakit jantung : (-)
Riwayat Pengobatan : (-)
Riwayat sosial : merokok (-), alkohol (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-).
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status generalis :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 60 kg
Tanda – tanda vital :
1. Tekanan Darah : 120/90 mmHg
2. Nadi : 80 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 36oC
5. NRS : 2
B1 (Brain) : E4 V5 M6
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), kedua pupil
isokor.
B2 (Breath) :
 Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasan statis dan dinamis
simetris, tetraksi sela iga (-).
 Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak
teraba massa, krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-,
wheezing -/-.
B3 (Blood) :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

56
 Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima linea
midklavikuka sinistra
 Perkusi : Batas jantung kiri sela iga V line mid klavikula sinistra,
batas jantung kanan sela iga V linea parasternal dextra, batas pinggang jantung
sela iga II linea parastelnal sinistra.
 Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, gallop (-) murmur (-).
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) :
 Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada ditemukan
sikatrik dan massa.
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-). Turgor kulit baik hepar tidak teraba
mebesar.
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
B6 (Bone) : Akral hangat, ekstermitas atas sebelah kiri luka (+) edema
(-), fraktur, edema (-).
LEMON
Look eksternal :
• Trauma wajah (-)
• Lebar jarak gigi seri dan bawah normal
• Lidah lebar (-)
• Obesitas (-)
Evaluated :
• Jarak gigi seri atas dan bawah 3 jari
• Jarak hyoid mental 3 jari
• Jarak hyoid thyroid 2 jari
Mallampati :
• Skor 1
Obstruksi :
• Epiglositis (-)
• Peritonsilar abses (-)
• Trauma (-)

57
Neck :
• Mobilitas leher bebas
STATUS LOKALIS :
Regio Manus Sinistra
Look : Deformitas (tidak dapat di evaluasi), bone expose (-)
Feel : Nyeri tekan (+) jari telunjuk, krepitasi (tidak dapat dievaluasi)
Move : ROM Gerak aktif (-), ekstensi minimal.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah Lengkap :
Hematologi Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 7,6 109/l 3,5-10,0 Normal

RBC 5,29 1012/l 3.50-5.50 Normal

HGB 15,7 g/dl 11,5-16,5 Normal

HCT 47,3 % 35,0-55,0 Normal

PLT 211 109/l 150-400 Normal

PCT 0,15 % 0,01-9,99 Normal

BT 2’00” 1-4 menit

CT 8’30” 3-15 menit

3.5 Persiapan Pra Anestesi


a. Persiapan psikis :
- KIE sesuai Surat Izin Operasi (SIO)
- Berdoa
b. Persiapan fisik
- Puasa minimal 8 jam pre operasi untuk makanan padat, makananlunak
minimal 6 jam, air putih minimal 2 jam pre operasi
- Tidak menggunakkan make up berlebihan
- Mandi bersih
- Tidak menggunakan perhiasan berbahan logam

58
3.6 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan :
- Diagnosis pre operatif : Ruptur tendon flexor dan extensor
Digiti II Manus Sinistra
- Status operatif : ASA I
- Jenis operasi : Ruptur tendon
- Jenis anestesi : General Anestesi Laringeal Mask
Airway
3.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengaan status fisik ASA I dilakukan tindakan anestesi dan
diberikan terapi anestesi yaitu :
a. Pramedikasi :
Antikolinergik : Atropine Sulfat 0,005 mg/KgBB  0,3 mg
(IV)
Analgetik : Ketorolac 0,5 mg/KgBB  30 mg (IV)
Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB  3 mg (IV)
b. Induksi :
Fentanil 1-2 mcg/KgBB  60 mcg (IV)
Propofol 2-2,5 mg/KgBB  120 mg (IV)
c. Intubasi :
Laringeal Mask Airway ukuran 4.0
d. Maintenence :
N2O : O2 : Sevofluran : 60 : 40 : 2 vol %
Terapi cairan
Maintenance (M)
= BB x kebutuhan cairan per jam
= 60 x 1cc/jam
= 60 cc/jam
Jenis operasi (O)
= BB x jenis operasi (kecil)
= 60 kg x 2cc/kg
= 120 cc

59
Pengganti puasa
= M x jam puasa
= 60 x 8 jam
= 480
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam pertama = M + 50% P + O
= 60 cc + 240 + 120 cc
= 420 cc (140 tpm)
e. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring secara continue tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien &
saturasi oksigen.
Cairan : Monitoring input cairan.
3.8 Analgetik Post Op
Injeksi Ketorolac 3x30 mg IV

Gambar 11. Catatan Anestesi

60
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Pasien Laki-laki usia 46 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
Repair pada tanggal 9 September 2021 dengan diagnosis Ruptur tendon flexor dan
extensor Digiti II Manus Sinistra. Dari anamnesis di dapatkan keluhan luka pada jari
telunjuk kiri setelah terkena sabit saat memberi pakan sapi, pasien mengatakan nyeri dan
kesulitan menggerakkan jari telunjuknya.
Pasien mengatakan SMRS ke puskesmas terlebih dahulu dan di beri penanganan
yaitu pembalutan luka serta di beri obat. Perdarah aktiv (-), keluhan mual (-), muntah (-),
pusing (-).
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan; tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit; respirasi 20x/menit, suhu 36OC, Vas 2. Dari pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan tanggal 9 September 2021 dalam batas normal. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam
ASA I yaitu penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien adalah anestesi umum dengan
pemasangan laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan
indikasi sebagai berikut :
- Lokasi pembedahan pada daerah atas (jari kiri)
- Posisi pasien saat operasi adalah terlentang
- Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan cukup lama
- Jenis kelamin pasien, dimana perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih
besar dari laki-laki.
- Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui keadaan pasien baik
Pasien masuk ke ruang operasi pada pukul 08.15 WITA dilakukan pemasangan
monitoring tekanan darah, nadi, saturasi, dengan hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit, dan SpO2 100%. Pada pasien ini, urutan tindakan anestesi dimulai dari

61
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.
Pasien diberikan obat-obat premedikasi bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman bagi pasien, mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus,
memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, mengurangi rasa sakit dan
gelisah paska bedah, menimbulkan amnesia retrograde.
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut :
4.2 Premedikasi
- Antikolinergik : atropine sulfat injeksi 0,25 mg (IV). Konsentrasi 0,25 mg/ml dalam
1 Ampul 1 ml.
Diberikan secara intravena. Yang bekerja pada reseptor muskarinik
(antimuskarinik), menghambat transmisi asetil kolin yang dipersarafi oleh serabut
pasca ganglionerkolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka serta pada tempat
asetil kolin. Penghambatan atrofin hanya terjadi pada dosis sangat besar.
 Pada pasien ini diberikan dosis 0,3 mg IV dengan tujuan untuk mendapatkan efek
antikolinergik yang terkandung dalam atropine sulfat sehingga dapat menekan sekresi
air liur, mucus, bronkus dan keringat.
- Analgesik : ketorolac injeksi 30 mg (IV). Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1
Ampul 1 ml.
Diberikan secara intravena. Dosis untuk bolus intravena. Mulai timbulnya
efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan
maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Efek pemberian obat ini yaitu
menghambat biosintesis prostaglandin diperifer tanpa mengganggu reseptor opioid di
sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya menghambat enzim siklooksogenase
(COX 1). Selain menghambat sintesi prostaglandin, juga menghambat tromboksan
A2 sehingga memiliki efek antiinflamasi.
 Pada pasien ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV dengan tujuan untuk
mendapatkan efek analgesia yang terkandung dalam ketorolac sehingga dapat
mengurangi nyeri pada pasien.
- Antiemetik : ondansentron injeksi 4 mg (IV). Konsentrasi 4 mg dalam 1 Ampul 2 ml
Ondansentron, sebagai antiemetik, suatu antagonis selektif 5-HT3,
menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer.

62
Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor
trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis
di visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah. Onset
30 menit, dengan durasi 3 jam.
 Pada pasien ini diberikan ondancentron 3 mg (IV) untuk mendapatkan efek emetik
sehingga pasien tidak merasakan mual ataupun muntah saat dilakukan induksi
operatif ataupun pasca operatif.
4.3 Induksi
- Fentanyl 100 mcg IV. Konsetrasi 50 mcg/ml dalam 1 ampul 2 ml.
Fentanyl merupakan derivat agonis opioid sintetis fenil piperidine yang
strukturnya berasal dari meperidin. Sebagai analgesik, fentanyl lebih poten 75-125
kali dibanding morfin. Farmakokinetik Dosis tunggal fentanyl yang diberikan secara
intravena memiliki onset yang lebih cepat dan durasi aksi yang pendek dibanding
morfin. Dosis tinggi fentanyl, 50-150 µg/kg IV, telah digunakan tunggal untuk
memproduksi anestesi dalam pembedahan. Dosis tinggi tunggal fentanyl memiliki
keuntungan hemodinamik yang stabil karena (a) rendahnya efek depresi miokard, (b)
tidak adanya histamin release, (c) supressi stress respon terhadap pembedahan.
- Propofol injeksi 200 mg (IV). Konsentrasi 5 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml.
Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui interaksinya
dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan. Pada pemberian dosis induksi (2
mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun 4-5 menit
tanpa disertai efek samping. Khasiat farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak
mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun terjadi penurunan tonus
otot rangka, hal ini disebabkan oleh efek sentralnya Induksi anestesia 2,0-2,5
mg/kgBB.
- Pemasangan LMA.
Pada pasien dilakukan berdasarkan indikasi yang telah disebutkan di atas
sehingga dilakukan tindakan anestesi pemasangan LMA ukuran 4.0. Untuk
pemasangan LMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Pada pasien
tersebut diberikan propofol dengan dosis 120 mg untuk mencapai kedalaman anestesi
yang optimal. Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa

63
tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus
menerus, dan pemberian cairan intravena berupa RL.
- Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat).
Ringer Laktat merupakan kristaloid dengan komposisinya yang lengkap (Na+, K+,
Cl-, Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan
cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat pemberian obat-
obatan intravena dan gas inhalasi yang mempunyai efek vasodilatasi.6,7
- Pada pasien ini diberikan maintanance O2 : N2O : sevofluran = 40 : 60 : 2 vol %
secara inhalasi dalam kasus ini yaitu face mask dengan tujuannya yaitu untuk
memperpanjang durasi obat induksi agar terpenuhinya trias anestesia yaitu hipnotik
analgesia dan relaksasi otot.
 Terapi cairan selama operasi pada pasien ini adalah 420 cc pada jam pertama yang
diperoleh dari rumus M + 50% PP + O dengan jenis operasi kecil.
 Terapi analgesi post operasi pada pasien ini diberikan injeksi ketorolac 3x30 mg
intravena. Pemberian analgetik post operasi diberikan atas dasar manipulasi
operasi yang ringan dan tidak menimbulkan nyeri berat sehingga pemberian
ketorolac cukup untuk mengatasi nyeri pasca operasi.

64
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien laki-laki usia 46 tahun datang ke IGD RSU Bangli dalam keadaan sadar
diantar oleh keluarganya dengan keluhan luka pada jari telunjuk kiri setelah terkena
sabit saat memberi pakan sapi, pasien mengatakan nyeri dan kesulitan menggerakkan
jari telunjuknya.
Pasien mengatakan SMRS ke puskesmas terlebih dahulu dan di beri penanganan
yaitu pembalutan luka serta di beri obat. Pasien direncanakan tindakan operasi repair di
ruang OK.
Repair (perbaikan) adalah suatu upaya yang dilakukan guna mengembalikan
fungsi dan guna suatu alat yang telah mengalami kerusakan.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien ini adalah general anestesi dengan
pemasangan laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan
lokasi pembedahan, posisi pasien saat operasi, induksi dan pemeliharaan anestesi, dan
manipulasi.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda, Gde, Agung. 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan
Renimasi. Penerbit PT. Macan Jaya Cemerlang: Jakarta
2. Mansjoer, Arif. dkk. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta
3. Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant
toanaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.
4. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R., Anestesiologi. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.
5. Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
6. Dr.Mangku ,Sp.An, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT
Indeks; 2017.
7. Kupietzky A, Houpt MI. Midazolam: A review of its use for conscious sedation of
children. Pediatr Dent.1993;15:237-241
8. McErlean M, Bartfield JM, Karunalar TA, Whitman MC, Turley DM. Midazolam syrup
as premedication to reduce the discomfort associated with pediatric intravenous catheter
insertion. J Pediatr 2003; 142 (4) : 429-430.
9. Aziz, N. (2002). Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan Ulkus Peptikum. Sari
Pediatri. 3(4): 222 – 226.
10. Leucuta, A., Vlase, L., Farcau, D., Nanulescu, M. (2004). No Effect of Short Term
Ranitidine Intake on Diclofenac Pharmacokinetic. Faculty of Pharmacy University.
Romania. Halaman 305-307.
11. Katzung, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, Hal : 351-366Latief, S.A.,
th
12. Goodman and Gilman’s.1985. The pharmacological bases of therapeutics. 7 edition.
New York : Mac Millian Publishing Co. Inc
13. Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
14. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu et al. Anesthesiologist’s
Manual of Surgical Procedures. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.

66
15. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange Medical Books
Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York
16. Ting,H.Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 21 Februari 2019
17. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran. 2012.
18. James H. Holmes., David M. Heimbach 2005. Burns, in : Schwartz’s Princoples of
surgery.
19. Mallampati, S.R., Gatt, S.P., Gugino, L.D., Desai, S.P., Waraksa, B., Freberger, D., Liu,
P.L. 1985. A Clinical Sign to predict Difficult Tracheal Intubation: A Prospective Study.
Can Anaesth Soc J; 32(4): 429-34.
20. Magboul M. Ali. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation.
Journal of Anesthesiology. 10 (1). 2004
21. Efendy, Nazim Muhammad., 2016. Skripsi : Studi Penggunaan Obat Anti Mual Dan
Muntah Pada Pasien Pasca Operasi. Universitas Airlangga.
22. Grace, Pierce A. dan Borley, Neil R. At A Glance : Ilmu Bedah. Ed.3. 2006. Jakarta :
Erlangga Medical Series
23. Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. 2004. JakartaEGC
24. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Ed.3. 2000. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
25. The McGraw Hill Companies. [Accessed 26th Mei 2019] Tendon Repair: The Modified
Kessler Technique, accessed at:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&ua
ct=8&ved=0ahUKEwiBkvT3mJLRAhXKO48KHYbRAewQFggtMAU&url=https%3A
%2F%2Ffhs.mcmaster.ca%2Fsurgery%2Fdocuments%2FTendonRepairsOutlineHandout
of13Aug2008providedbyColinWhite.pdf&usg=AFQjCNGlLJNiLveUee3zjvBTnE09Gm
ekQ&sig2=FXvqMFfdxv26QTF uDHGSA’
26. Geert I. Pagenstert, Victor Valderrabano, Beat Hintermann, Tendon injuries of the foot
and ankle in athletes, Clinic of Orthopedic Traumatology, Orthopedic Surgery
Department, University Clinics Basel, Switzerland, CH-4031 Basel; Schweizerische
Zeitschrift für «Sportmedizin und Sporttraumatologie» 52 (1), 11–21, 2004.

67

Anda mungkin juga menyukai