Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

FRAKTUR TERTUTUP HUMERUS DISTAL SINISTRA

Disusun oleh:

Pembimbing:
dr. Eko P.A.W, Sp.OT(K)Hip&Knee

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTHOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 8 AGUSTUS – 17 SEPTEMBER 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul:


FRAKTUR TERTUTUP HUMERUS DISTAL SINISTRA

Disusun oleh:

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Eko P.A.W, Sp.OT(K)Hip&Knee

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RS TNI AL Dr. Minthohardjo
Periode 8 Agustus – 17 September 2022
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pembimbing

dr. Eko P.A.W, Sp.OT(K)Hip&Knee

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Fraktur
Tertutup Humerus Distal Sinistra”. Penyusunan laporan kasus ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah RSAL Dr. Mintohardjo Periode 8 Agustus – 17 September 2022
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Eko P.A.W, Sp.OT(K)Hip&Knee, selaku pembimbing yang
telah memberikan waktu, ilmu dan bimbingannya dalam penyelesaian laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya pada bidang kedokteran Ilmu Bedah.

Jakarta, Agustus 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS.......................................................................................3
2.1 Identitas Pasien....................................................................................................3
2.2 Anamnesis...........................................................................................................3
2.3 Pemeriksaan fisik.................................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................10
2.5 Resume..............................................................................................................14
2.6 Diagnosis kerja..................................................................................................15
2.7 Penatalaksanaan.................................................................................................15
2.8 Prognosis...........................................................................................................16
2.9 Follow up...........................................................................................................16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................18
3.1 Anatomi ankle joint..........................................................................................19
3.2 Definisi.............................................................................................................25
3.3 Epidemiologi....................................................................................................26
3.4 Etiologi dan Faktor Risiko................................................................................27
3.5 Klasifikasi fraktur tertutup................................................................................28
3.6 Mekanisme fraktur pergelangan kaki...............................................................35
3.7 Patogenesis fraktur...........................................................................................36
3.8. Proses penyembuhan fraktur............................................................................37
3.9 Manifestasi klinis..............................................................................................39
3.10 Diagnosis.........................................................................................................39
3.11 Tatalaksana......................................................................................................42

iv
3.12 Komplikasi.......................................................................................................46
3.13 Prognosis.........................................................................................................48
BAB IV ANALISIS KASUS....................................................................................49
BAB V KESIMPULAN...........................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................53

v
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur orthopedi merupakan masalah kesehatan akut sehari- hari yang sering kita
jumpai. Terapi awal yang salah pada fraktur dapat meningkatkan morbiditas jangka panjang
yang signifikan dan, berpotensi meningkatkan mortilitas.1 Menurut World Health Organization,
kasus fraktur terjadi di dunia kurang lebih 13 juta orang pada tahun 2008, dengan angka
prevalensi sebesar 2,7%. Sementara pada tahun 2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang
mengalami fraktur dengan angka prevalensi 4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta
orang dengan angkat prevalensi sebesar 3,5%. Terjadinya fraktur tersebut termasuk di
dalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga, bencana kebakaran, bencana alam dan lain
sebagainya.
Fraktur adalah pecah atau rusaknya kontinuitas struktur dari tulang. Hal ini dapat saja
hanya sekedar retak, remahan atau pecahan dari cortex; seringkali pecahnya komplit dan
pecahan tulang tergusur. Fraktur dapat disebabkan karena adanya cedera, penekanan dan dapat
juga terjadi secara patologis.2
Fraktur juga dapat terjadi dengan dislokasi. Dislokasi terjadi saat tulang tergelincir dari
sendi, khasnya terjadi karena sendi mengalami penekanan tidak stabil tiba- tiba. Dislokasi
berarti tulang tidak lagi berada di tempat yang semestinya, hal ini termasuk kegawatdaruratan
yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada ligamen, nervus, dan pembuluh
darah.3

6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. FSM
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Lbk Jantan, 27-02-1969
Alamat : Jl. Kawan 7 no 32 Kb Baru Bekasi
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Katolik
Status pernikahan : Menikah
Nomor RM : 256xxx

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pukul 07.15 WIB di ruangan
selayar RSAL dr. Mintohardjo Jakarta.

a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan terjatuh dari tangga terduduk dengan siku
menahan
b. Keluhan Tambahan
Pasien mengeluhkan keluhan disertai ROM yang terbatas, nyeri pada
siku, mual, Rasa kebas
c. Riwayat Penyakit Sekarang

7
Pasien datang ke IGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan terjatuh
dari tangga terduduk dengan siku kiri menahan. Pasien merasakan nyeri pada
siku kiri pasien. Pasien juga merasakan kebas pada siku pasien. Siku kiri
pasien bengkak. Pasien merasa sulit unruk menggerakkan siku kiri pasien
sejak 30 menit SMRS. Mual (+), Muntah (-)

Setelah kejadian terjadi, pasien masih bisa berjalan sendiri namun


lama-kelamaan timbul nyeri dan bengkak, dan makin hari siku kirimulai sulit
digerakan. Pasien mengatakan nyeri memberat jika bergerakk sehingga butuh
bantuan saat berjalan. Akhirnya pasien memutuskan untuk pergi ke RS
Marinir
2 hari yang lalu dan dilakukan rontgen karena kaki kanan dirasa makin
membengkak dan sulit digerakkan.
Saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan di RSAL, pasien mengaku
masih merasakan nyeri pada pergelangan siku kiri dengan Numeric Rating
Scale diangka 6 (enam). Nyeri juga dirasakan apabila siku kiri sigerakkan.
Pasien sempat minum obat untuk meredakan nyerinya namun tidak ada
perubahan yang bermakna.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama maupun kejadian
kecelakaan sebelumnya. Pasien juga tidak pernah dilakukan operasi
sebelumnya. Tidak ada riwayat metabolik seperti tekanan darah tinggi,
kencing manis dan kolesterol.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi dan diabetes dikeluarga disangkal. Tidak ada
riwayat penyakit tulang pada keluarga. Tidak ada anggota keluarga yang
pernah menderita keluhan yang sama. Tidak ada riwayat penyakit keluarga
yang berkorelasi dengan kecelakaan dan keluhan pasien saat ini.
f. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat pereda nyeri namun tidak ada perbaikan.
8
g. Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta dan menggunakan kendaraan
roda dua sebagai transportasi. Pasien mengaku selalu menggunakan helm half
face saat berkendara. Pasien merokok setengah bungkus perhari. Riwayat
konsumsi alokohol maupun obat-obatan terlarang disangkal.

2.3 Pemeriksaan fisik


a. Keadaan umum
 Kesan sakit : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Kesan gizi : Tampak gizi cukup

b. Tanda vital

9
 Tekanan darah : 117/60 mmHg
 Nadi : 89 x/menit, kuat, regular, simetris
 Pernapasan : 22 x/menit
 Suhu : 37,0 C
 SpO2 : 98% room air

c. Status gizi
 Berat badan : 100 kg
 Tinggi badan : 158 cm
 IMT : 40,1kg/m2 (Obesitas)

d. Status generalis
a. Kepala: normosefali
 Rambut: warna hitam keputihan, lurus, pendek, dan distribusi merata.
 Wajah: dismorfik (-), jejas (-), sikatriks (-)
 Mata: Edema palpebra superior dan inferior (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-
/+), brill hematoma (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), gerakan bola mata
(baik segala arah/baik segala arah).
 Hidung: Tidak ada deformitas, luka/hematom (-/-), tidak ada
edema/hiperemis, sekret (-/-). Tidak ada nyeri tekan.
 Mulut: Mukosa bibir lembab, sianosis (-), trismus (+)
 Tenggorok: Tonsil T1 – T1, hiperemis (-), tidak ada detritus maupun kripta,
faring tidak hiperemis.
 Telinga: Normotia, luka/memar (-/-), nyeri tekan dan nyeri tarik (-/-),
hiperemis (-/-), sekret (-/-), battle’s sign (-/-)

10
b. Leher: Deformitas (-), tidak ada luka/hematoma, tidak teraba pembesaran tiroid
ataupun KGB

c. Thoraks
 Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus kordis
- Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi: BJ1 dan BJII regular, tidak terdengar murmur ataupun
gallop.
 Paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi
dinding dada, tidak ada luka atau memar pada dinding dada.
- Palpasi : Vokal fremitus sama pada kedua lapang dada. Tidak ada
nyeri tekan pada dinding dada.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), tidak ada ronkhi ataupun
wheezing.

d. Abdomen
- Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka/memar, tidak tampak distensi, tidak
tampak pelebaran vena.
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen.
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hati dan limpa (-)

11
e. Ekstremitas:
 Atas : Deformitas (-/-), vulnus ekskoriatum (-/+) pada siku kiri,
hematom (-/+), edema (-/+), luka lecet (-/+) sianosis (-/-), hematom (-/-),
edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT (<2 detik/<2 detik),
pulsasi a. radialis (+/+).
 Bawah : Deformitas (-/-), (-/-), hematom (-/-), edema (-/-), sianosis (-/-),
sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT (<2 detik/<2 detik), pulsasi a.
dorsalis pedis (+/+).
f. Genitalia : Tidak diperiksa
g. Anus dan rektum : Tidak diperiksa

e. Status lokalis
Regio Elbow
Dextra Sinistra
Look Deformitas (-), hiperemis (-), Tampak deformitas, hiperemis
edema (-), perdarahan (-), kulit (+), edema (+), perdarahan (-),
intak kulit intak dan tidak terdapat
luka
terbuka
Feel Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (+), edema (+),
hangat (+), krepitasi (-), CRT <2 hangat (+), krepitasi (+), pulsasi
detik, pulsasi a. tibialis posterior a. tibialis posterior
(+), pulsasi a. dorsalis pedis (+) (+), pulsasi a. dorsalis pedis (+)
Move Nyeri gerak aktif (-) Nyeri gerak aktif
Nyeri gerak pasif (-)
(+) Nyeri gerak
ROM normal
pasif (+)
Hambatan (ROM) untuk gerak
aktif maupun pasif

12
Dokumentasi Pre Op Pasien

13
2.4 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (14/1/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Lengkap
Lekosit 11090 5000 – 10000
Eritrosit 4,59 4.20 – 5.40
Hemoglobin 12,1 14 – 16
Hematokrit 36 42 – 46
Trombosit 244000 150000 - 400000
LED 10 < 20
Hitung Jenis
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3 2-4%
Netrofil 80 45-73
Limfosit 12 25-40%
Monosit 5 2-6%
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 92 < 200 mg/dL
Lain-lain
Antigen SARS-Cov 2 Negatif -

- Laboratorium (8/7/2022 – 07:36:06)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemostasis
PT 11,2 10.7 – 14.3 detik

14
APTT 32.5 21.0 – 38.5 detik
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 86 < 200 mg/dL
Elektrolit
Natrium 139 134-148 mmol/L
Kalium 4,2 3.40-4.30 mmol/L
Klorida 101 96-108 mmol/L

15
- Foto Thorax PA (14/1/2023)

Deskripsi:
- Trakea tidak tampak deviasi, tidak ada massa pada mediastinum
- Cor: ukuran tidak membesar (CTR < 50%), tidak ada kalsifikasi aorta
- Paru: Corakan bronkovaskular normal, tidak ada infiltrat maupun
konsolidasi. Sinus dan diafragma baik. Sudut costofrenikus lancip
- Tulang: intak
- Tampak gastric bubble

Kesan: Cor dan paru dalam batas normal

16
- Foto Humerus Sinistra AP/L (14/1/2023)

-
Deskripsi:
- Tidak tampak diskontinuitas pada tulang humerus
- Tampak soft tissue swelling
- Tidak tampak lesi litik / sklerotik
- Tidak tampak formasi kalus
Kesan:

- Fraktur Cominutive Humerus Sinistra Distal

17
2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan terjatuh
dari tangga terduduk dengan siku kiri menahan. Pasien merasakan nyeri pada
siku kiri pasien. Pasien juga merasakan kebas pada siku pasien. Siku kiri
pasien bengkak. Pasien merasa sulit unruk menggerakkan siku kiri pasien
sejak 30 menit SMRS. Mual (+), Muntah (-)

Setelah kejadian terjadi, pasien masih bisa berjalan sendiri namun


lama-kelamaan timbul nyeri dan bengkak, dan makin hari siku kirimulai sulit
digerakan. Pasien mengatakan nyeri memberat jika bergerakk sehingga butuh
bantuan saat berjalan. Akhirnya pasien memutuskan untuk pergi ke RS
Marinir
2 hari yang lalu dan dilakukan rontgen karena kaki kanan dirasa makin
membengkak dan sulit digerakkan.
Saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan di RSAL, pasien mengaku
masih merasakan nyeri pada pergelangan siku kiri dengan Numeric Rating
Scale diangka 6 (enam). Nyeri juga dirasakan apabila siku kiri sigerakkan.
Pasien sempat minum obat untuk meredakan nyerinya namun tidak ada
perubahan yang bermakna.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pada tanda vital ditemukan
peningkatan tekanan darah. Status generalis dalam batas normal. Status lokalis
pada ekstremitas atas lengan kiri pada inspeksi (look) tampak deformitas,
terdapat pembengkakan, hiperemis, kulit intak dan tidak terdapat luka terbuka.
Pada palpasi (feel) terdapat nyeri tekan, edema, teraba hangat, krepitasi saat
eversi dan inversi ankle, pulsasi arteri tibialis posterior dextra dan arteri
dorsalis pedis dextra teraba. Pada pergerakan (move) didapatkan nyeri

18
pada gerak aktif dan pasif, serta terdapat hambatan pada dorsofleksi,
plantarfleksi, eversi, inversi.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil
hemoglobin dan hematokrit yang menurun, serta peningkatan neutrofil. Pada
pemeriksaan foto rontgen thorax PA dalam batas normal. Pada foto humerus
sinistra AP/L didapatkan kesan fraktur komunitif humerus sinistra distal

2.6 Diagnosis kerja


- Fraktur tertutup distal humerus sinistra comunitif

2.7 Penatalaksanaan
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj Ketorolac 2x30mh
- Inj Ranitidine 2x1amp
Konsultasi Bedah Ortopedi
- Pro ORIF hari senin
- Tx IGD Lanjut
- Toleransi: IPD, anestesi
- Cek laboratorium, PCR, rontgen thorax
- Pasien dipuasakan untuk operasi

Tindakan Pembedahan
Dilakukan tindakan open reduction + ORIF (open reduction internal fixation)
pada tanggal 16/1/2023
- Under spinal anesthesia
- Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis
- Dilakukan insisi
- Dilakukan reduksi fraktur

19
- Dilakukan ORIF & fiksasi
- Operasi selesai

Tatalaksana Post Op
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj Cefazolin 2x1 gram
- Inj Ranitidin 3x1 ampul
- Inj Ketorolac 3x1 ampul

2.8 Prognosis
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.9 Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
17/1/2023 Keluhan KU : CM, Tampak Post op  IVFD RL 20
Post-op nyeri post lemah Fraktur tpm
tertutup
op pada TD : 126/78 mmHg distal  Inj Cefazolin
siku kiri HR : 85 x/mnt humerus
2x1 gram
sinistra
disertai rasa RR: 20x/mnt comunitif  Inj Ranitidin
tidak Suhu : 36,6 C 3x1 amp
nyaman SpO2 : 98% et
pada siku NRS: 4  I  Ketorolac
kiri Status lokalis: n 3x1 amp
Look: tampak luka j  Lanjutkan
jahitan bekas operasi, terapi 1 hari
K lagi, bila KU

20
edema (+) minimal, baik besok
pus (-), perdarahan (-) dapat pulang
Feel: nyeri tekan (+),
edema (+)
Move: nyeri gerak
aktif, ROM terbatas

21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat
berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.2
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka
terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau
mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi.
2.2 Anatomi

Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah
pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan
metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.3
Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan bagian
paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang
panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang
panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer.3
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-
sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang.
Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah
inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.3
Fraktur pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya perbedaan anatomi,
biomekanik serta fisiologi tulang.
a. Perbedaan Anatomi

22
Anatomi tulang pada anak-anak terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang
rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat, serta menghasilkan kalus yang
cepat dan lebih besar daripada orang dewasa.
b. Perbedaan Biomekanik
Perbedaan biomekanik terdiri atas :
 Biomekanik tulang
Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah
dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor ini
menyebabkan tulang anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap
deformitas tulang dibandingkan orang dewasa.
 Biomekanik lempeng pertumbuhan
Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat erat pada
metafisis yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh
prosesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan kekuatan
yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis mempunyai konsistensi seperti karet yang
keras.
 Biomekanik periosteum
Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami
robekan dibandingkan orang dewasa.
c. Perbedaan Fisiologis
Pada anak-anak, pertumbuhan merupakan dasar terjadinya remodelling yang
lebih besar dibandingkan pada orang dewasa.
 Pertumbuhan berlebihan (over growth)
Pertumbunhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada
pertumbuhan panjang, karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi
pada waktu penyembuhan tulang.
 Deformitas yang progresif
Kerusakan permanen lempeng epifisis menyebabkan pemendekkan atau
deformitas anguler pada epifisis.
 Fraktur total

23
Pada anak-anak, fraktur total jarang bersifat kominutif karena tulangnya
lebih fleksibel dibandingkan orang dewasa.

Atas dasar perbedaan anatomi, biomekanik dan fisiologis, maka fraktur pada anak-anak
mempunyai gambaran khusus, yaitu :
1. Lebih sering ditemukan
Fraktur pada anak-anak lebih sering ditemukan karena tulang relatif ramping dan
juga kurang pengawasan. Beberapa fraktur pada anak-anak seperti retak, fraktur garis
rambut, fraktur buckle, fraktur green-stick merupakan fraktur yang tidak berat, tetapi
ada fraktur seperti fraktur intra-artikuler atau fraktur epifisial merupakan fraktur yang
akan berakibat jelek di kemudian hari.
2. Periosteum yang sangat aktif dan kuat
Periosteum yang kuat pada anak-anak membuatnya jarang mengalami robekan
pada saat fraktur, sehingga sering salah satu dari periosteum merupakan bidai dari
fraktur itu sendiri. Periosteum pada anak-anak mempunyai sifat osteogenesis yang
lebih besar.
3. Penyembuhan fraktur sangat cepat
Penyembuhan fraktur pada anak0anak sewaktu lahir sangat menakjubkan dan
berangsur-angsur berkurang setelah anak menjadi besar, karena sifat osteogenesis
yang aktif pada periosteum dan endosteum.
4. Terdapat problem khusus dalam diagnosa
Gambaran radiologik epifisis sebelum dan sesudah perkembangan pusat
ossifikasi sekunder sering membingungkan, walaupun demikian ada beberapa pusat
ossifikasi yang keberadaannya relatif konstan. Lempeng epifisis pada foto röntgen
dapat disalah-artikan dengan suatu fraktur. Untuk ituu biasanya perlu dibuat
pemeriksaan röntgen pada anggota gerak yanng lain.
5. Koreksi spontan pada suatu deformitas residual
Fraktur pada orang dewasa tidak akan terjadi koreksi spontan dan bersifat
permanen. Pada ank-anak deformitas residual cenderung mengalami koreksi spontan
melalui remodeling yang eksrensif, melalui pertumbuhan lempeng epifisis atau
kombinasi keduanya.

24
Beberapa faktor yang mempengaruhi koreksi fraktur adalah sisa waktu
pertumbuhan dan bentuk deformitas yang dapat berupa:
 Angulasi
Angulasi residual yang terletak di dekat lempeng epifisis akan
mengalami koreksi spontan seandainya deformitas itu berada pada satu
bidang dengan bidang gerakan sendi yang terdekat. Tetapi pada angulasi
residual yang berada pada bidang tegak lurus dari gerakan dekat sendi
(misalnya angulasi lateral pada deformitas varus fraktur suprakondiler
humeri) tidak dapat mengalami koreksi spontan.
 Aposisi tidak total
Pada fraktur dimana fragmen mengalami aposisi tidak total seperti
samping ke samping (bayonet), maka permukaan fraktur akan mengalami
proses remodeling menurut Hukum Wolff.
 Pemendekkan
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang anak-anak yang sedang
bertumbuh, terjadi pula kerusakan arteri dan akan terjadi peningkatan aliran
darah sebagai kompensasi pada daerah epifisis yang akan menyebabkan
akselerasi pertumbuhan tulang secara longitudinal. Adanya pemendekkan
tulang pada anak-anak dapat ditoleransi dalam ukuran tertentu.
 Rotasi
Deformitas rotasi tidak akan mengalami koreksi spontan pada waktu
penyembuhan fraktur tulang panjang tanpa melihat umur dan lokasi.
6. Terdapat perbedaan dalam komplikasi
Beberapa komplikasi fraktur pada anak-anak mempunyai ciri yang khusus
seperti fraktur epifisis dan lempeng epifisis. Osteomielitis yang terjadi secara
sekunder pada fraktur terbuka atau reduksi terbuka pada suatu fraktur tertutup
biasanya lebih hebat dan dapat menyebabkan kerusakan pada epifisis. Komplikasi
iskemik dan juga miositis ossificans sering ditemukan pada anak-anak. Komplikasi
seperti kekakuan sendi jarang ditemukan pada anak-anak.
7. Berbeda dalam metode pengobatan
Prinsip utama pengobatan pada anak-anak adalah secara konsevatif baik
dengan cara manipulasi tertutup atau traksi kontinu.Walaupun demikian beberapa
25
fraktur khusus pada anak-anak memerlukan tindakan operasi terbuka dengan fiksasi
interna seperti fraktur bergeser pada leher femur atau fraktur pada epifisis tertentu.
8. Robekan ligamen dan dislokasi lebih jarang ditemukan
Ligamen pada anak-anak sangat kuat dan pegas. Ligamen ini lebih kuat dari
lempeng epifisis sehingga tarikan ligamen dapat
menyebabkan fraktur pada lempeng epifisis dan bukan robekan
ligamen, misalnya pada sendi bahu tidak terjadi dislokasi tetapi
akan terjadi fraktur epifisis.
9. Kurang toleransi terhadap kehilangan darah
Jumlah volume darah secara proporsional lebih kecil pada anak-anak daripada
orang dewasa. Pada anak-anak jumlah volume darah diperkirakan 75 ml per kg berat
badan, sehingga pada anak
dengan berat badan 20 kg diperkirakan mempunyai jumlah darah
1500 ml. Perdarahan sebesar 500 ml pada anak-anak akan
kehilangan 1/3 jumlah volume darah, sedangkan pada orang
dewasa hanya sebesar 10%.

2.3 Fraktur khusus pada anak


a. Fraktur Epifisis
Fraktur epifisis merupakan suatu fraktur tersendiri dan dibagi
dalam :
1. Fraktur avulsi akibat tarikan ligamen
Terutama terjadi pada spina tibia, stiloid ulna, dan basis falangs.
Fragmen tulang masih mempunyai cukup vaskularisasi dan
biasanya tidak mengalami nekrosis avaskuler. Bila terjadi fraktur
bergeser, maka jarang terjadi union karena pembentukkan kalus
duhambat oleh jaringan sinovia. Fraktur bergeser juga
menghambat gerakan dan juga menyebabkan sendi menjadi tidak
stabil. Pada keadaan ini diperlukan reduksi yang akurat dan
mungkin diperlukan tindak operasi.
2. Fraktur kompresi yang bersifat kominutif

26
Jarang terjadi karena lempeng epifisis berfungsi sebagai shock
absorber pada tulang.
3. Fraktur osteokondral
Sering ditemukan pada distal femur, patela atau kaput radius. Fraktur bergeser akan
menyebabkan gangguan menyerupai benda asing dalam sendi. Fragmen yang besar
sebaiknya dikembalikan dan yang kecil dapat dilakukan eksisi.
b. Fraktur Lempeng Epifisis
Lempeng epifisis merupakan suatu diskus tulang rawan yang
terletak di antara epifisis dan metafisis. Fraktur lempeng epifisis
merupakan 1/3 dari seluruh fraktur pada anak-anak.
Pembuluh darah epifisis masuk ke dalam permukaan epifisis dan
apabila ada kerusakan pembuluh darah maka akan terjadi
gangguan pertumbuhan.
Tulang rawan lempeng epifisis lebih lemah daripada tulang.
Daerah yang paling lemah dari lempeng epifisis adalah zona
transformasi tulang rawan pada daerah hipertrofi dimana biasanya
terjadi garis fraktur. Anatomi, histologi dan fisiologi Secara klinis, kita harus mencurigai
adanya fraktur lempeng epifisis pada seorang anak dengan fraktur pada tulang panjang di
daerah ujung tulang pada dislokasi sendi serta robekan ligamen.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
röntgen dengan dua proyeksi dan membandingkannya dengan anggota gerak yang sehat.
Diagnosis
Klasifikasi fraktur lempeng epifisis menurut Salter-Harris :
Klasifikasi
 Tipe I : Terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya fraktur pada tulang, sel-
sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Fraktur ini terjadi oleh
karena adanya shearing force dan sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak-
anak yang lebih muda. Pengobatan dengan reduksi tertutup mudah oleh karena
masih ada perlekatan periosteum yang utuh dan intak. Prognosis biasanya baik bila
direposisi dengan cepat.
 Tipe II :Merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan. Garis fraktur melalui
sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis dan akan membentuk suatu
27
fragmen metafisis yang berbentuk segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel-
sel pertumbuhan pada lempeng epifisis juga masih melekat. Trauma yang
menghasilkan jenis fraktur ini biasanya terjadi karena trauma shearing force dan
membengkok dan pada umumnya terjadi pada anak-anak yang
lebih tua. Periosteum mengalami robekan pada daerah konveks
tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Pengobatan dengan reposisi
secepatnya tidak begitu sulit kecuali bila reposisi terlambat harus
dilakukan tindakan operasi. Prognosis biasanya baik, tergantung kerusakan pembuluh
darah
 Tipe III : Fraktur lempeng epifisis tipe III merupakan frkatur intra-artikuler. Garis
fraktur mulai permukaan sendi melewati lempeng epifisis kemudian sepanjang garis
lempeng epifisis. Jenis fraktur ini
bersifat intra-artikuler dan biasanya ditemukan pada epifisis tibia
distal. Oleh karena fraktur ini bersifat intra-artikuler dan
diperlukan reduksi yang akurat maka sebaiknya dilakukan operasi
terbuka dan fiksasi interna dengan menggunakan pin yang halus
 Tipe IV : Fraktur tipe ini juga merupakan fraktur intra-artikuler yang melalui
permukaan sendi memotong epifisis serta seluruh lapisan lempeng epifisis dan
berlanjut pada sebagian metafisis. Jenis fraktur ini misalnya fraktur kondilus lateralis
humeri pada anak-anak.
Pengobatan dengan operasi terbuka dan fiksasi interna karena
fraktur tidak stabil akibat tarikan otot. Prognosis jelek bila reduksi
tidak dilakukan dengan baik.
 Tipe V : Merupakan fraktur akibat hancurnya epifisis yang diteruskan pada lempeng
epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan yaitu sendi pergelangan
kaki dan sendi lutut. Diagnosis sulit karena secara rediologik tidak dapat dilihat.
Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng
pertumbuhan. Setelah reduksi dari fraktur epifisis tipe I, II, dan III akan terjadi
ossifikasi endokondral pada daerah metafisis lempeng pertumbuhan dan dalam 2-3
minggu ossifikasi endokondral ini telah mengalami penyembuhan. Sedangkan tipe IV
dan tipe V

28
mengalami penyembuhan seperti pada fraktur daerah tulang
kanselosa.

c. Fraktur Akibat Trauma Kelahiran


Fraktur akibat trauma kelahiran biasanya terjadi pada saat
persalinan yang sulit yaitu pada bayi besar, letak sungsang atau
ekstraksi bayi dengan alat forsep. Daerah yang biasanya
mengalami fraktur adalah humerus, femur dan klavikula. Fraktur
dapat berdiri sendiri tanpa adanya kelainan neurologis yaitu
kelumpuhan plexus brachialis. Biasanya anak menangis setiap digerakkan atau teraba adanya
fraktur pada daerah yang dimaksud. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk memastikan
diagnosis.
Gambaran Klinis :
Fraktur pada bayi sembuh dalam 1-3 minggu sehingga hanya
diperlukan pemasangan bidai sementara untuk mengurangi nyeri.
Pengobatan :
Fraktur pada bayi sembuh dalam 1-3 minggu sehingga hanya diperlukan
pemasangan bidai sementara untuk mengurangi nyeri

2.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang

29
(Rosyidi, 2013).. Penyembuhan fraktur berkisaran antara tiga minggu sampai empat bulan. Waktu
penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu penyembuhan daripada dewasa.
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (1) Fase 1: inflamasi, (2) Fase 2:
proliferasi sel, (3) Fase 3: pembentukan dan penulangan kalus (osifikasi), (4) Fase 4: remodeling
menjadi tulang dewasa.
d. Inflamasi
Respons tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons apabila ada
cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang cedera dan
pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi
oleh makrofag (sel darah putih besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat
asing. Pada saat ini terjadi inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi
berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri
d. Proliferasi sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta
invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endostel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
(osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut
dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Namun, gerakan yang
berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan
potensial elektronegatif.
e. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi
lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan
untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan
dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak
bisa lagi digerakkan.

30
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus-menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat
elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
f. Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan
waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun bergantung pada beratnya modifikasi
tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus
yang melibatkan tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami
penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya
pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan pada
tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan
pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai sampai tanda-tanda adanya kalus
tampak pada gambaran sinar X.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat sangat bervariasi, beberapa dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
A. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

1. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur
31
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.

2. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat
(menurut R.Gustilo), yaitu:
Tipe Batasan
I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka, trauma
amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di pertanian, fraktur
yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang  lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo, Mendoza dan
Williams (1984):

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi  berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

32
Fraktur tertutup Fraktur terbuka

b. Berdasarkan komplit atau ketidak-klomplitan fraktur.


1. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.

33
2. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
 Hair Line Fraktur.
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.

b. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.


 Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.

34
 Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
 Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
 Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
 Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

c. Berdasarkan jumlah garis patah.


- Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
- Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
- Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
d. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
- Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
- Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

35
- Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
b. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
- 1/3 proksimal
- 1/3 medial
- 1/3 distal

2.6 Pemeriksaan

Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur
sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat
alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi / Look
Deformitas :  angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan,  bengkak
Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
b. Palpasi / Feel  ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi
pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah
cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi Neurovaskularisasi bagian distal
fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler (Capillary refill
test) sensasi
c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi
fraktur.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain  : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation.
Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey

36
37
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus
dibaca pada x-ray:

- Bayangan jaringan lunak.


- Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
- Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
- Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
C. Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.

38
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis dan penilaian
fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas
fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan
imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang
panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
Tujuan pengobatan fraktur :
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik reposisi
terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka
yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen
bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi


sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening),
fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan  sekitar
Jenis Fiksasi :
- Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
 Gips ( plester cast)
 Traksi
Jenis traksi :
39
 Traksi Gravitasi :  U- Slab pada fraktur humerus
 Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan
kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit
akan lepas
 Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi
koksea, femur, lutut),  pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun
komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi yaitu gangguan
sirkulasi darah  pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin

Indikasi OREF  :
 Fraktur terbuka derajat III
 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

40
 Non Union
 Trauma multiple

- Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini
adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
 Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi,
misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
 Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan
fraktur dislokasi.
 Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur
Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan
kaki.
 Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

2.10 Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
41
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan
oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu
karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama


b. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai
darah ke tulang.
c. Nonunion
42
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan
adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan
dan reimobilisasi yang baik

43
BAB IV
KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat
berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.2
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka
terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau
mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Penyembuhan fraktur berkisaran antara tiga minggu sampai empat bulan. Waktu penyembuhan pada
anak secara kasar separuh waktu penyembuhan daripada dewasa.
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (1) Fase 1: inflamasi, (2) Fase 2:
proliferasi sel, (3) Fase 3: pembentukan dan penulangan kalus (osifikasi), (4) Fase 4: remodeling
menjadi tulang dewasa.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Bowyer G. Injuries of the ankle and foot. In: Blom A, Warwick D, Whitehouse
MR. Apley & Solomon’s System of Orthopedics and Trauma 10th edition. Boca
Raton: Taylor & Francis Group, 2018. p937-46.
2. Sheen JR, Garla VV. Fracture Healing Overview. [Updated 2022 May 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551678/
3. Ridwan U, Pattiiha A, Selomo P. Karakteristik Kasus Fraktur Ekstremitas
Bawah Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Chasan Boesoirie Ternate
Tahun 2018. Kieraha Med J. 2018;1(1):301–16.
4. Marsh JL, Saltzman CL. Chapter 53. Ankle Fracture. In : Rockwood & Green’s
Fracture in Adults. 6th Lippincott Williamsm & Wilkins. P.317-405
5. Hafiz et al. Ankle fractures: the operative outcome. Malysian Orthopaedic
Journal, 2011;5(1):40-3.
6. Jennison T, Brinsden M. Fracture admission trends in England over a ten-year
periods Ann R Coll Surg Eng, 2019;101(3):208–14.
7. Kortekangas T, Haapasalo H, Flinkkila T. Three week versus six week
immobilisation for stable Weber B type ankle fractures: randomised, multicentre,
non-inferiority clinical trial. BMJ 2019;364:(432):1-10. DOI: 10.1136/bmj.k5432
8. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan.
Kesehatan.Kementerian. RI tahun 2018
9. Halawi MJ, Morwood MP. Acute management of open fractures: an evidence-
based review. Orthopedics. 2015 Nov 1;38(11):e1025-33.
10. Gougoulias N, Sakellariou A. Ankle fractures. In: G. Bentley (ed.), European
Surgical Orthopaedics and Traumatology. Springer-Verlag, 2014. p3737-3766.
DOI 10.1007/978-3-642-34746-7_152

45
11. Moore KL, Agur AMR, Dalley AF. Chapter 5. Lower Limbs. In : Moore KL,
Agur AMR, Dalley AF. Essentials Clinical Anatomy. 4th Lippincott Wiliams &
Wilkins. p.317-405.
12. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De
Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2017.
13. Ibrahim DA, Swenson A, Sassoon A, Fernando ND. Classifications In Brief: The
Tscherne Classification of Soft Tissue Injury. Clin Orthop Relat Res. 2017
Feb;475(2):560-564. doi: 10.1007/s11999-016-4980-3.
14. Kyriacou H, Mostafa A, Davies BM, Khan WS. Principles and guidelines in the
management of ankle fractures in adults. Journal of Perioperative Practice,
2021;0(0):1-8. DOI: 10.1177/1750458920969029
15. ROCKWOOD
16. Alghazali KM, Nima ZA, Hamzah RN, Dhar MS, Anderson DE, Biris AS. Bone-
tissue engineering: complex tunable structural and biological responses to injury,
drug delivery, and cell-based therapies. Drug Metabolism Reviews. 2015 Oct
2;47(4):431–54.
17. Hermans JJ, Wentink N, Beumer A, et al. Correlation between radiological
assessment of acute ankle fractures and syndesmotic injury on MRI. Skeletal
Radiol, 2012;41:787-801. DOI 10.1007/s00256-011-1284-2

46

Anda mungkin juga menyukai