Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

UNSTABLE ANGINA PECTORIS

Disusun oleh:
Kezia Emylin S.N
030.14.107

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 1 OKTOBER 2018 – 8 DESEMBER 2018
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan kasus dengan judul
“Unstable Angina Pectoris” dapat selesai. Laporan kasus ini adalah salah satu
syarat dalam proses mengikuti ujian akhir dalam kepanitraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade Imasanti, Sp.JP selaku
dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan,
kritik, dan saran yang membangun selama pembuatan laporan kasus ini hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak luput dari kekurangan dan
masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para
pembaca atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka
semua kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
keluarga dan para sahabat yang tidak pernah letih memberikan dukungan serta
dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik
mungkin. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, para
pembaca, dan masyarakat umum.

Jakarta, 2018

Kezia Emylin S.N

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul:

“Unstable Angine Pectoris”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo

Periode 1 Oktober 2018 – 8 Desember 2018

Yang disusun oleh:

Kezia Emylin S.N

030.14.107

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Ade Imasanti, Sp.JP selaku pembimbing

Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo

Jakarta, 2018

dr. Ade Imasanti, Sp.JP

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ...……………………………………….... 1

BAB II STATUS PASIEN ................................................................... 2


2.1 Identitas pasien ................................................................. 2
2.2 Anamnesis ......................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan fisik .............................................................. 4
2.4 Pemeriksaan penunjang ..................................................... 7
2.5 Diagnosis kerja .................................................................. 7
2.6 Diagnosis banding ............................................................. 8
2.7 Tatalaksana ........................................................................ 8
2.8 Planning diagnosis ............................................................. 8

BAB III ANALISIS KASUS .................................................................. 13


3.1 Daftar masalah .................................................................... 13
3.2 Unstable Angina Pectoris.................................................... 13
3.2.1 Definisi ................................................................... 13
3.2.2 Epidemiologi .......................................................... 13
3.2.3 Etiologi ................................................................... 14
3.2.4 Faktor risiko ............................................................ 14
3.2.5 Patofisiologi ............................................................ 15
3.2.6 Penegakan diagnosis ............................................... 19
3.2.7 Pemeriksaan Penunjang ......................................... 26
3.2.8 Tatalaksana .............................................................. 29
3.2.10 Komplikasi .............................................................. 31
3.2.10 Stratifikasi Risiko..................................................... 32

BAB IV KESIMPULAN ......................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 34

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner


disebut penyakit jantung koroner yang lebih dikenal dengan sindroma koroner akut.
Penyakit ini menyerang pembuluh darah yang mengalirkan darah ke jantung
sehingga terjadi penyempitan pada arteri koroner. Penyempitan arteri koroner ini
terjadi akibat proses aterosklerosis atau spasme ataupun kombinasi dari
keduanya.1,2
Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tercatat bahwa lebih
dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini
diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. American Heart
Association (AHA) pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi PJK di Amerika
Serikat sekitar 13 juta. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahun
didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta.3 Survei dari
Badan Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000 penduduk
Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat sekitar 400 ribu penderita PJK
dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh nomor satu di dalam
negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.3
Sindrom koroner akut berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang
diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus Unstable Angina Pectoris (UAP), infark
miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) dan infark miokard dengan ST elevasi (STEMI). 2
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pectoris yaitu angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian),
dan angina pektoris tak stabil.1

Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat dirumah sakit karena angina
pectoris tidak stabil, dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark
jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakan.4

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas pasien


 Inisial nama : Tn. S
 Usia : 58 tahun
 Tanggal lahir : Jakarta, 26 Oktober 1960
 Jenis kelamin : Laki-Laki
 Pekerjaan : Purnawirawan TNI AL
 Agama : Islam
 Status pasien : BPJS Mandiri Kelas 2

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
Lokasi : P. Sangeang RS AL dr. Mintohardjo
Tanggal periksa : 12 Oktober 2018 (16.00 WIB)
Tanggal masuk : 10 Oktober 2018 (21.45 WIB)

Keluhan utama : Nyeri dada kiri sejak 2 minggu SMRS


Keluhan tambahan: Sesak nafas dan kesemutan pada kedua lengan dan kaki

2.2.1 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan nyeri
dada kiri, nyeri seperti tertindih benda berat. Nyeri dirasa menjalar ke bahu dan
lengan kiri, keluhan sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan memberat
sejak 1 hari SMRS. Satu kali serangan berlangsung kurang lebih 10 menit..
Nyeri dada hilang timbul dan biasanya timbul saat pasien sedang beraktivitas
dan tidak menghilang saat istrirahat. Keluhan seperti ini baru pertama kali
dirasakan oleh pasien. Nyeri dada disertai dengan sesak nafas yang dirasa
hilang timbul. Keluhan nyeri dada disertai dengan keluhan sesak nafas. Sesak

2
nafas dirasa hilang timbul. Sesak dirasa terutama saat beraktivitas dan hilang
saat berbaring atau duduk. Saat sesak tidak terdengar bunyi “ngik”. Pasien
menyangkal terbangun dari tidur karena sesak. Sehari-hari pasien tidur
menggunakan 2 bantal dengan posisi mendatar/telentang. Keluhan dada
berbedar-debar disangkal pasien. Keringat dingin (+), Keluhan lain seperti
batuk, mual, muntah dan kaki bengkak disangkal oleh pasien

2.2.2 Riwayat penyakit dahulu


Hipertensi (+) Trauma (-) Pembedahan (-)
Terkontrol
Diabetes (+) Stroke (-) Penyakit (-)
Mellitus jantung
Alergi (-) Kegana (-) Penyakit (-)
san paru
Lainnya (-)

2.2.3 Riwayat penyakit keluarga


Hipertensi (-) Trauma (-) Pembedahan (-)

Diabetes (-) Stroke (-) Penyakit (-)


Mellitus jantung
(-) Keganasan (-) Penyakit (-)
Alergi
paru
Lainnya (-)

3
2.2.4 Riwayat pengobatan
Pasien setiap hari mengkonsumi aspilet 1x80mg, bisoprolol 1x5mg,
amlodipine 1x10mg, metformin 3x500mg dan glimepiride 1x2mg

2.2.5 Riwayat kebiasaan


(+) Kopi (-) Alkohol (-)
sudah
berhenti
Merokok sejak 2
tahun
yang
lalu
Pasien jarang makan makanan berbahan garam,
Makan
manis, bersantan, atau berlemak tinggi.
Olahraga Pasien tidak rutin berolahraga

2.2.6 Riwayat sosial-ekonomi

Pasien merupakan purnawirawan TNI AL. pasien mampu melakukan


aktivitas sehari–hari seperti makan, minum dan mandi. Pendapatan pasien
saaat ini didapatkan dari anaknya. Sosialisasi di lingkungan pekerjaan dan
rumah tangga baik.

2.2.7 Riwayat status kejiwaan


Baik

2.3 Pemeriksaan fisik


2.3.1 Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan gizi : Gizi baik
Keadaan lain : Dyspnoe (-), sianosis (-), ikterik (-), pucat (-)

4
2.3.2 Data antropometri
Berat badan : 68 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 24,1 kg/m2

2.3.3 Tanda vital


Tekanan darah : 130/70 mmHg
Laju nadi : 80x/menit, reguler, isi cukup
Lanju nafas : 24x/menit, reguler
Suhu : 36,5°C
Saturasi oksigen : 98%

2.3.4 Status generalis


Kepala :
Rambut : Hitam, pendek, tidak mudah dicabut.
Wajah : Simetris (+), parese (-)
Mata :
Oedem : (-/-) Visus : tidak diperiksa
Ptosis : (-/-) Lagoftalmos : (-/-)
Sklera ikterik : (-/-) Cekung : (-/-)
Enoftalmus : (-/-) Injeksi : (-/-)
Eksoftalmos : (-/-) Konjungtiva anemis : (-/-)
Strabismus : (-/-) Pupil : Bulat, isokor
Refleks cahaya : (+/+)
Telinga :
Bentuk : Normotia
Nyeri tarik : (-)
Liang telinga : Lapang, hiperemis (-), sekret (-), oedem (-)
Hidung :
Bentuk : Normal Napas cuping hidung : (-)

5
Sekret : (-/-) Deviasi septum : (-)
Hiperemis : (-/-)
Bibir : Sianosis (-)
Mulut : Mukosa basah
Lidah : Bentuk normal, parese (-), atrofi papil (-)

Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba membesar,


JVP 5+3 cm.
Tenggorok: Hiperemis (-), stridor (-)

Thoraks : Simetris, retraksi (-)


 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V lin. midclav sin
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru-paru
Inspeksi : Gerak dinding simetris, pola nafas abdomino-
thorakal
Palpasi : Vocal fremitus simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SNV (+/+) reguler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Palpasi : Supel, turgor kulit baik, defans muskular (-), nyeri
tekan (-), hepatosplenomegali (-), pulsasi abnormal
(-)
Perkusi : Timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)

6
Genitalia : Perempuan

Kelenjar getah bening


Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Superior cervical : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraclavicula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar

Ekstremitas
Inspeksi : Sianosis eks sup (-/-) eks inf (-/-), pucat eks sup (-/-) eks
inf (-/-)
Palpasi : Akral hangat eks sup (+/+) eks inf (+/+), oedem eks sup (-
/-) eks inf (-/-), CRT < 2 detik
Neurologi : Motorik eks sup (5/5) eks inf (5/5)

Kulit : Sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), jejas (-)

2.4 Pemeriksaan penunjang


Parameter Hasil Nilai rujukan
DARAH RUTIN
Lekosit 7.200 5.000-10.000/L
Eritrosit 4.97 4.2-5.4 juta/L
Hemoglobin 14.5 12-14 g/dL
Hematokrit 45 37-42 %
Trombosit 276.000 150.000-450.000 juta/L
KIMIA DARAH
Gula Darah Sewaktu 164 < 200 mg/dL

7
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 139 134-146 mmol/L
Kalium (K) 3.70 3.4-4.5 mmol/L
Clorida (CL) 110 96-108 mmol/L
JANTUNG
Troponin I 0,2 <0,5mg/dl
CKMB 21 <25 U/I
CK 153 <190 U/I

2.5 Diagnosis kerja


- Unstable Angina Pectoris
- Diabetes Mellitus Tipe II

2.5 Diagnosis banding


- NSTEMI

2.6 Tatalaksana
- Inj. Lovenox 2x0,6
- Aspilet 1x80mg p.o
- Bisoprolol 1x5mg p.o
- Amlodipin 1x10mg p.o
- Metformin 3x500mg p.o
- Glimiperid 1x2mg p.o

2.7 Planning diagnosis


- Glukosa darah sewaktu/24 jam
- Darah rutin
- Elektrokardiografi
- Rontgen thorax AP

8
FOLLOW TANGGAL
UP H1: 11 Oktober 2018 H2: 12 Oktober 2018 H3: 13 Oktober 2018
S Pasien telentang ±15 Pasien telentang satu Pasien telentang satu bantal dan
derajat dengan satu bantal bantal dan sudah tidak tidak menggunakan nasal
dan menggunakan nasal menggunakan nasal kanul, pasien tidak ada keluhan.
kanul 3 liter. Nyeri dada kanul. Nyeri dada dirasa Hanya masih terasa lemas (+)
masih dirasakan pasien sudah berkurang Nyeri kepala (-), mual (-),
hilang timbul, menjalar ke disbanding hari kemarin. muntah (-), keringat dingin (-)
bahu dan lengan kiri. Sesak nafas disangkal kaki bengkak (-)
Timbul saat beraktivitas. saat aktivitas maupun BAK dalam batas normal
Nyeri seperti tertindih, istrirahat, rasa berdebar- BAB dalam batas normal
sesek nafas kadang masih debar disangkal oleh
dirasakan namun pasien. lemas (+)
membaik saat istrrahat. Nyeri kepala (-), mual (-),
Rasa berbedar-debar muntah (-), keringat
disangkal. dingin (-) kaki bengkak
Lemas (-) nyeri kepala (- (-)
), mual (-), muntah (-), BAK dalam batas normal
keringat dingin (-) kaki BAB dalam batas normal
bengkak (-)
BAK dalam batas normal
BAB dalam batas normal

O Compos mentis, tampak Compos mentis, tampak Compos mentis, tampak sakit
sakit sedang sakit ringan ringan
T = 36,6oC T = 36,7oC T = 36,5oC
TD = 130/70 mmHg TD = 130/70 mmHg TD = 120/80/80 mmHg

9
HR = 75x/menit HR = 60x/menit HR = 78x/menit
RR = 24x/menit RR = 24x/menit RR = 22x/menit
SpO2 = 99% dengan kanul SpO2 = 98% SpO2 = 97%
3L/menit
GDP 153mg/dl Tidak tampak conjungtiva
*Hba1c 8,5% anemis, tidak tampak sklera
GDS 164mg/dl Tidak tampak ikterik, tidak ada nafas cuping
conjungtiva anemis, tidak hidung.
Tidak tampak conjungtiva tampak sklera ikterik, KGB dan tiroid dalam batas
anemis, tidak tampak tidak ada nafas cuping normal, JVP 5 + 3 cm.
sklera ikterik, tidak ada hidung. BJ I/II reguler, tidak terdengar
nafas cuping hidung. KGB dan tiroid dalam murmur, tidak terdengar gallop.
KGB dan tiroid dalam batas normal, JVP 5 + 3 Suara nafas vesikuler di kedua
batas normal, JVP 5 + 3 cm. lapang paru, sonor di kedua
cm. BJ I/II reguler, tidak lapang paru, tidak ada suara
BJ I/II reguler, tidak terdengar murmur, tidak nafas tambahan, tidak ada
terdengar murmur, tidak terdengar gallop. retraksi. Tidak terdengar ronki
terdengar gallop. Suara nafas vesikuler di di kedua lapang paru
Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, sonor Abdomen supel, datar, bising
kedua lapang paru, sonor di kedua lapang paru, usus 2x/menit, tidak terdapat
di kedua lapang paru, tidak ada suara nafas nyeri tekan, tidak teraba
tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada pembesaran organ.
tambahan, tidak ada retraksi. Tidak terdengar Tidak terdapat edema di seluru
retraksi. Tidak terdengar ronki di kedua lapang ekstremitas, akral hangat di
ronki di kedua lapang paru paru seluruh ekstremitas, capillary
Abdomen supel, datar, Abdomen supel, datar, refill time < 2 detik, motorik
bising usus 2x/menit, bising usus 2x/menit, eks sup (5/5) eks inf (5/5)
tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat nyeri

10
tidak teraba pembesaran tekan, tidak teraba
organ. pembesaran organ.
Tidak terdapat edema di Tidak terdapat edema di
seluru ekstremitas, akral seluru ekstremitas, akral
hangat di seluruh hangat di seluruh
ekstremitas, capillary ekstremitas, capillary
refill time < 2 detik, refill time < 2 detik,
motorik eks sup (5/5) eks motorik eks sup (5/5) eks
inf (5/5) inf (5/5)
A Unstable angina pectoris Unstable angina pectoris Unstable angina pectoris
Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2

P Inj. Lovenox 2x0,6 Inj. Lovenox 2x0,6 Inj. Lovenox 2x0,6


Aspilet 1x80mg p.o Aspilet 1x80mg p.o Aspilet 1x80mg p.o
Bisoprolol 1x5mg p.o Bisoprolol 1x5mg p.o Bisoprolol 1x5mg p.o
Amlodipin 1x10mg p.o Amlodipin 1x10mg p.o Amlodipin 1x10mg p.o
Metformin 3x500mg p.o Metformin 3x500mg p.o Metformin 3x500mg p.o
Glimiperid 1x2mg p.o Glimiperid 1x2mg p.o Glimiperid 1x2mg p.o

11
EKG (10 Oktober 2018)

12
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Daftar Masalah


 Nyeri dada selama 10 menit menjalar ke bahu kiri yang timbul saat
beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat disertai keringat dingin
 Sesak nafas, dyspnoe on effort, orthopneu
 Faktor risiko: jenis kelamin laki-laki, diabetes mellitus, riwayat merokok,
riwayat hipertensi dan jarang olahraga
 Pemeriksaan fisik: tekanan darah 130/70 mmHg
 Biomarka jantung: tidak terdapat peningkatan enzim jantung

3.2 Unstable Angina Pectoris


3.2.1 Definisi
Acute coronary syndrome (ACS) adalah sebuah kondisi yang
mengancam jiwa dan dapat dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung
koroner. Sindrom ini meliputi spektrum unstable angina pectoris (UAP)
hingga myocardial infarction, yaitu sebuah kondisi dimana otot jantung
mengalami nekrosis yang bersifat ireversibel.5 Maka, ACS dikenal sebagai
suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.6

3.2.2 Epidemiologi
Laporan statistik terbaru dari American Heart Association (AHA)
menunjukkan bahwa sekitar 15.5 juta penduduk berusia 20 tahun atau lebih
di Amerika Serikat memiliki ACS, dimana peningkatan prevalensi terjadi
seiring dengan penuaan. Angka mortalitas rerata yang ditemukan adalah
102,6 per 100.000 penduduk dimana angka ini menurun menjadi 22,9%.7
Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit
ini seperti jenis kelamin, genetik, dan gaya hidup sehari-hari. Laporan data

13
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2009
mengungkapkan bahwa prevalensi myocardial infarction lebih tinggi pada
laki-laki.8,9 Terdapat hasil yang menunjukkan dimana penderita memiliki
korelasi antara kejadian ACS dengan total kolesterol (24%), hipertensi (20%),
merokok (12%), dan inaktivitas fisik (5%). Sebagai tambahan, indeks massa
tubuh dan diabetes juga memiliki pengaruh terhadap modifikasi
perkembangan ACS.10

Kondisi pasien sesuai dengan data epidemiologi, yaitu jenis kelamin


laki-laki, usia lebih dari 20 tahun (58 tahun), gaya hidup yang kurang sehat
seperti jarang olahraga serta memiliki riwayat merokok. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit kencing manis yang turut berperan terhadap
perkembangan ACS.

3.2.3 Etiologi
Pembentukan trombus secara akut pada plaque arteri koroner yang
robek merupakan penyebab dari ACS. Oklusi total mendadak dari pembuluh
darah dapat menyebabkan iskemik yang menghasilkan ST-elevation
myocardial infarction (STEMI). Tetapi, jika oklusi parsial terjadi, maka
persediaan oksigen ke jaringan otot jantung juga masih tersedia, sehingga
risiko terjadinya iskemik akan lebih rendah dimana hal ini dapat
menghasilkan non ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Selain itu,
iskemik miokardium juga dapat terjadi tanpa adanya kerusakan sel otot
jantung, yaitu unstable angina pectoris.5

3.2.4 Faktor Risiko


Terdapat beberapa faktor yang menentukan perkembangan ACS
seperti kadar lipid abnormal, riwayat merokok, hipertensi, diabetes, obesitas
abdomen, psikologi, dan kurangnya konsumsi sayur dan buah.11

14
Gambar 1. Faktor risiko ACS.
Smk, smoking; DM, diabetes mellitus; HTN, hypertension; ApoB/A, apo B
to apo A1 rasio (lipid); Obes, obesity; PS, psychologic; RFs, risk factors.11

Pasien memiliki beberapa faktor risiko terjadinya sindrom koroner


akut, yaitu riwayat merokok, riwayat penyakit diabetes mellitus, dan riwayat
hipertensi
.
3.2.5 Patofisiologi
Aterosklerosis adalah penyakit fibroproliferatif pada tunika intima
pembuluth darah yang bersifat kronik dan inflamatorik, serta ditandai oleh
adanya retensi dan modifikasi lipoprotein aterogenik dini, rekrut monosit dan
limfosit T, dan akumulasi jaringan fibrosa.12 Meningkatnya kadar
apolipoprotein B (apo B) di dalam darah merupakan penyebab dari timbulnya
aterosklerosis, tetapi faktor risiko lain seperti jenis kelamin laki-laki,
hipertensi, diabetes mellitus, dan genetik diduga menjadi determinan dari
perkembangan aterosklerosis dimana mekanismenya masih belum diketahui
dengan jelas.

15
Dinding pembuluh darah arteri terdiri dari tiga lapisan, yaitu tunika
intima (lapisan paling dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika
adventisia (lapisan paling luar). Tunika intima didefinisikan sebagai bagian
pembuluh darah yang meliputi lumen arteri, termasuk endotel, hingga lamina
elastis interna. Tunika intima berukuran tebal karena mengandung lapisan
subendotel kaya proteoglikan dan lapisan muskuloelastik dengan sel otot
polos dan serat elastin.13 Penebalan tunika intima diduga sebagai adaptasi
fisiologis terhadap rendahnya dan/atau arus bolak-balik yang menyebabkan
stres dinding pembuluh darah. Lokasi yang menjadi tempat utama timbulnya
aterosklerosis adalah percabangan atau sepanjang lengkungan pembuluh
darah bagian dalam.14,15
Awal mula pembentukan aterosklerosis adalah retensi apo B, LDL,
dan proteoglikan ekstraseluler di tunika intima pembuluh darah.16,17
Modifikasi subendotel seperti agregasi, fusi, dan oksidasi terjadi karena
retensi lipoprotein menyebabkan tercetusnya proses enzimatik dan radikal
oksidatif. Lipoprotein yang telah termodifikasi berperan sebagai mediator
inflamatorik yang menstimulasi rekrut, diferensiasi, dan replikasi makrofag
derivat monosit, chemoattractants, dan growth factors.12 Makrofag menelan
LDL dan berubah menjadi ester kolesterol, yaitu foam cell. Limfosit T dan
sel dendritik juga hadir sebagai respon imunitas yang justru memodulasi
proses aterosklerosis. Semakin banyak banyak akumulasi foam cell di lumen
pembuluh darah, maka penampakannya akan terlihat kasat mata sebagai fatty
streaks yang berwarna kekuningan pada pembuluh darah koroner. Foam cell
tidak berbahaya dan reversibel jika faktor pencetusnya juga hilang. 17
Akumulasi foam cell juga disebut sebagai intermedate lesion.
Tahapan yang menentukan bahwa lesi ini menjadi ireversibel adalah
konversi akumulasi lipid menjadi lebih konfluen, yaitu necrotic core, lipid
core, atau atheromatous core (plaque). Prosesnya melibatkan kerusakan
struktur tunika intima akibat degradasi matriks ekstraselular dan kematian
otot polos lokal. Lapisan yang membagi antara lipid-rich core dengan darah
disebut sebagai fobrous cap. Struktur ini merupakan penentu klinis

16
aterosklerosis. Jaringan fibrosa ini terbentuk oleh otot polos tipe sintesis,
dimana strukturnya didominasi oleh organel pembentuk protein seperti
retikulum endoplasma kasar dan badan Golgi.18

Gambar 2. Mekanisme pembentukan aterosklerosis.18

Plaque dapat ruptur oleh karena tipisnya fibrous cap, yaitu dengan
ukuran diameter satu foam cell sebesar 23 m – 65 . Ketebalan fibrous cap
dipengaruhi oleh tegangan dinding pembuluh darah. Semakin kecil
tegangannya, semakin tipis fibrous cap yang terbentuk seperti di pembuluh
darah koroner.18 Penipisan fibrous cap sendiri dipengaruhi oleh hilangnya sel
otot polos dan degradasi fibrous cap oleh karena makrofag.18

17
Gambar 3. Mekanisme pembentukan trombus koroner.5

Aterosklerosis merupakan penyebab utama dari terjadinya trombosis


koroner yang didahului oleh adanya ruptur plaque yang bersifat trombogenik
bersirkulasi di dalam darah dan disfungsi endotel dengan kadar antitrombotik
dan vasodilator yang rendah. Plaque diduga dapat ruptur dikarenakan adanya
faktor kimiawi yang menyebabkan instabilitas lesi aterosklerosis dan adanya
stres mekanis yang menimpah lesi tersebut. Substansi yang terlepas dari
plaque bersifat proinflamatorik seperti limfosit Y yang mencetuskan
pelepasan IFN-yang menghambat sintesis kolagen, sehingga fibrous cap
melemah. Selain itu, lesi aterosklerotik memproduksi enzim
metalloproteinase yang dapat mendegradasi matriks interstisial, sehingga hal
ini mempengaruhi stabilitas plaque.
Disfungsi endotel juga meningkatkan kemungkinan pembentukan
trombus dikarenakan kadar vasodilator (NO dan prostasiklin) menurun,
sehingga pertahanan terhadap trombosis pun menurun. Rupturnya plaque
akan menyebabkan akumulasi thrombus pada pembuluh darah, sehingga
manifestasi klinis akan muncul akibat kurangnya persediaan aliran darah
yang membawa oksigen dan nutrisi ke sel otot jantung dan menyebabkan
iskemia.5

18
3.2.6 Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
yang menunjang. Keluhan angina tipikal berupa nyeri dada retrosternal
seperti ditekan beda berat yang menjalar ke lengan kiri, leher kiri, rahang kiri,
area interskapular kiri, bahu kiri, atau epigastrium. Keluhan dapat
berlangsung dalam jangka waktu lama, baik berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (lebih dari 20 menit). Keluhan juga disertai
diaforesis, mual-muntah, nyeri abdominal, sesak nafas, hingga sinkop.
Keluhan angina atipikal yang sering dijumpai adalah nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan, sesak nafas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
ini lebih sering ditemukan pada usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(lebih dari 75 tahun), wanita, penderita diabetes mellitus, penderita gagal
ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen
jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner.
Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat dari pelepasan mediator
adenosin dan laktat dari sel myosit yang mengalami infark di sekitar ujung
saraf terkait. Dikarenakan iskemia pada infark miokardium akut bersifat
menetap dan berkembang menjadi nekrosis, substansi provokatif tersebut
akan berakumulasi dan mengaktivasi saraf aferen dalam waktu yang lama.
Rasa nyeri ini sering berasal dari dermatom C7 hingga T4, yaitu leher, bahu,
dan lengan.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk identifikasi faktor utama pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan
diagnosis banding. Umumnya hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
ketiadaan kelainan jantung. Komplikasi iskemia dapat ditandai oleh
ditemukannya regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi
basah halus, dan hipotensi.

19
Keluhan ini merupakan gejala khas infark miokardium akut, tetapi
sekitar 25% dapat mengalami infark miokardium tanpa gejala. Hal ini
umumnya ditemukan pada pasien dengan diabetes mellitus yang memiliki
neuropati diabetikum.

Tabel 2. Fitur karakteristik ACS5


Fitur UAP NSTEMI STEMI
Anamnesis Cresendo, rest, Nyeri dada yang berlangsung lama, lebih
new-onset berat dibanding angina lainnya, dan
severe angina sering menjalar
EKG ST depresi ST depresi ST elevasi (disertai
dan/atau dan/atau inversi T gelombang Q
inversi T patologia)
Biomarka Negatif Positif Positif
jantung

Pasien dengan STEMI dapat menunjukkan adanya ST elevasi yang


diikuti oleh inversi gelombang T atau Q patologis pada beberapa waktu
selanjutnya.

Gambar 4. Evolusi abnormalitas EKG pada STEMI.5

Penilaian ST-elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada dua


sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1
mV.

20
Tabel 3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG.6
Sadapan Lokasi iskemia atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Pada kasus infark miokardium, kadar troponin serum meningkat sejak


3-4 jam setelah adanya keluhan nyeri dada dan memuncak antara 18-16 jam
setelahnya. Kemudian, kadarnya akan menurun perlahan hingga 10 hari atau
lebih jika cedera yang didapat tergolong masif.
Selain itu, enzim creatine kinase (CK) ditemukan di jantung, otot
skelet, otak, dan organ lainnya. Terdapat tiga isoenzim CK berdasarkan
lokasinya, yaitu CKMM (otot skelet), CKBB (otak), dan CKMB (jantung).
Cedera pada jaringan-jaringan ini dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi enzim CK.

Gambar 5. Evolusi biomarka jantung pada ACS.5

21
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi
risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
(prognostik). Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel
dalam klasifikasi GRACE.

Tabel 4. Kelas Killip6


Kelas Killip Klinis Mortalitas
I Tidak terdapat gagal jantung (tidak ada 6%
rhonki atau S3)
II Terdapat gagal jantung yang ditandai 17%
oleh S3 dan rhonki basah pada setengah
lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh 38%
ronkhi basah di seluruh lapang paru
IV Syok kardiogenik ditandai oleh TDS < 81%
90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

Klasifikasi GRACE bertujuan untuk memprediksi mortalitas saat


perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan terakhir setelah keluar dari rumah
sakit.

Tabel 5. Skor GRACE6


Indikator Skor
Usia (tahun)
< 40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73

22
 80 91
Laju nadi (kali per menit)
< 70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
 200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
< 80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
 200 0
Kreatinin (mol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
 354 31
Gagal jantung (Killip)
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di rumah sakit 43

23
Peningkatan biomarka jantung 15
Deviasi segmen ST 30

Tabel 6. Stratifikasi risiko kematian (GRACE)14


Prediksi kematian di RS
 108 Risiko rendah
109-140 Risiko menengah
> 140 Risiko tinggi
Prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari RS
 88 Risiko rendah
89-118 Risiko menengah
> 118 Risiko tinggi

Klasifikasi TIMI bertujuan untuk memprediksi mortalitas pada pasien


STEMI tanpa syok kardiogenik yang menjalani primary percutanoeus
intervention (PCI) saat perawatan di rumah sakit dan kemungkinan terjadinya
efek samping.

Tabel 7. Skor TIMI untuk STEMI6


Indikator Skor
Usia (tahun)
< 65 0
65-74 2
 75 3
Diabetes atau hipertensi atau angina 1
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 3
Laju nadi > 100 kali/menit 2
Killip II-IV 2
Berat badan < 67 kg 1
ST elevasi anterior atau LBBB 1

24
Penatalaksanaan > 4 jam 1

Tabel 8. Stratifikasi skor TIMI untuk STEMI6


Skor TIMI Klasifikasi
<5 Risiko rendah
5 Risiko tinggi

Tabel 9. Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI6


Indikator Skor
Usia >65 tahun 1
3 atau lebih resiko penyakit jantung koroner 1
Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir 1
2 atau lebih episode angina dalam 24 jam terakhir 1
Peningkatan enzim jantung (CK-MB atau 1
troponin)
Deviasi segmen ST >0,5 mm 1
Diketahui menderita penyakit jantung koroner 1

Tabel 10. Stratifikasi skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI6


Skor TIMI Klasifikasi
0-2 Risiko rendah
3-4 Risiko sedang
5-7 Risiko tinggi

Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan utama nyeri dada


seperti ditekan benda berat yang menjalar ke bahu kiri yang memberat sejak
1 hari SMRS dan sudah terasa sejak 2 minggu SMRS. Nyeri berlangsung
intermiten (10 menit). Keluhan sesak nafas, dan keringat dingin.
Pemeriksaan fisik jantung dan paru ditemukan dalam batas normal.

25
. Pada pemeriksaan biomarka jantung menunjukkan tidak adanya
peningkatan kadar CK, CK-MB maupun troponin I
Skor TIMI for UAP/NSTEMI 2 menunjukkan bahwa pasien memiliki
risiko rendah terhadap mortalitas.

3.2.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa:5,6
Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG penderita angina pectoris tak stabil dapat berupa depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan his dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada
UAP bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam.

26
Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA

Uji latih
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah:
a. Menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b. Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan
menunjukkan tanda resiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat
treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya
positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh
koronernya apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi PCI karena resiko
terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam waktu mendatang cukup besar.

Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina
tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung,
menandakan prognosis kurang baik.

Foto toraks
Foto toraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran
jantung dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.

Biomarker kerusakan jantung

Alat diagnostik selanjutnya adalah pelepasan dan dan peningkatan


penanda biokimiawi serum pada cedera sel jantung. Penanda tersebut adalah

27
kreatinin kinase (CK) dan isoenzimnya Creatinin Kinase-MB, serta troponin
cardiac specific troponin T (cTnT) dan cardiac specific troponin I (cTnI).
Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan penanda cedera otot
yang paling spesifik seperti pada infark miokardium. Setelah infark miokardium
akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar
puncak dalam 18 hingga 24 jam, dan kembali menurun hingga normal setelah
2 hingga 3 hari. CK-MB juga terdapat dalam otot skelet sehingga penegakan
diagnosis cedera miokardium didasarkan pada pola peningkatan dan penurunan.

Troponin jantung spesifik (yaitu cTnT dan cTnI) merupakan protein


regulator yang mengendalikan hubungan aktin dan myosin yang bersifat
spesifik untuk pelepasan dari miokardium. Troponin akan meningkat 4 hingga
6 jam setelah cedera miokardium dan akan menetap hingga 10 hari setelah
peristiwa tersebut dan dianggap sangat spesifik pada peningkatan CK yang
hanya sedikit. Sebaliknya, tidak adanya peningkatan CK cenderung
menyingkirkan adanya infark miokardium.

Penanda biokimia cedera sel jantung (peningkatan kadar serum)

Penanda Meningkat Memuncak Durasi

Creatinin Kinase 4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari


(CK)

Creatinin Kinase- 4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari


MB (CK-MB)

Cardiac specific 4-6 jam 18-24 jam 10 hari


troponin T
(cTnT)

Cardiac specific 4-6 jam 18-24 jam 10 ari


Troponin I

28
3.2.8 Tatalaksana
Pengobatan Medikal
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina. Ada 3
jenis obat yaitu :4

Obat anti-iskemia

 Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol


perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat
mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat
juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan
memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau
isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis
pemberian intravena : 1-4 mg/jam.
 β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai
macam beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra
indikasi pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial,
bradiaritmia.
 Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium
 Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
 Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival
dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan
fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan
afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin
pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh :
verapamil dan diltiazem)

29
Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang
terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa.
 Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari
dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
 Tiklopidin merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
 Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat
agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel
terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular.
Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
 Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan Ikatan fibrinogen dengan reseptor
GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet.
Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet
dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
Obat anti-trombin
 Unfractionated Heparin : Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang
terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan
aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat thrombin dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi
bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan
trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced
thrombocytopenia (HIT).

30
 Low Molecular Weight Heparin (LMWH) : LMWH dibuat dengan
melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Dibandingkan
dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap protein
plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia
ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan
secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
 Direct Thrombin Inhibitors : Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis
mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan
bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi
komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk
menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI.
Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek
samping trombositopenia akibat heparin (HIT).4

3.2.9 Komplikasi

Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi


akibat kekurangan oksigen yang berkepanjangan. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium
mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah
periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerob lenyap dan sel
tidak memenuhi kebutuhan energinya. Aritmia, karena insidens PJK dan hipertensi
tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik.
Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran
darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung. Gagal jantung terjadi
sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik
atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi

31
sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya
berasal dari infark miokard. 12

3.2.10 Stratifikasi Risiko4


Delapan puluh persen dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48
jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan tread mill test atau ekokardiografi
untuk menentukan apakah pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien
membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya tindakan revaskularisasi.
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien yang tidak
mempunyai angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya
tidak memaiaki obat anti angina dan ECG normal atau tidak ada perubahan dari
sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk Troponin dan biasanya usia
masih muda.
Risiko sedang bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina
pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak
meningkat.
Risiko tinggi bila pasien mempunyai angina waktu istirahat, angina
berlangsung lama, atau angina paska infark; sebelumnya sudah mendapat terapi
yang intensive, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST yang baru, didapatkan
kenaikan Torponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia datang kembali secara spontan atau pada waktu
pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi, bila pasien tetap stabil
dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien
dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien ini didiagnosis dengan (1) Unstable Angina Pectoris TIMI 2


berdasarkan keluhan angina tipikal yang sudah terasa sejak 2 minggu SMRS
dengan manifestasi gagal jantung tanpa adanya rhonki atau suara jantung tambahan,
terdapat faktor risiko yang bermakna pada pasien, serta tidak ditemukan adanya
ST-elevasi dan gelombang Q patologi serta tidak didapatkan peningkatan kadar
troponin I dan CK-MB pada pemeriksaan penunjang biomarka jantung; (2) diabetes
mellitus tipe 2 berdasarkan riwayat penyakit dan pengobatan yang dijalani
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah Inj. Lovenox 2x0,6, Aspilet
1x80mg p.o, Bisoprolol 1x5mg p.o, Amlodipin 1x10mg p.o, Metformin 3x500mg
p.o dan Glimiperid 1x2mg p.o

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, T. Bahri. Penyakit jantung koroner dan hypertensi. Medan: USU; 2004.

2. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST


elevation : implementation of new guidelines.Lancet 2001;358:1533-8.

3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2014
Feb Available from URL : http://www.who.int/cardiovasculardiseases/
cvd_14_deathHD.pdf

4. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Dalam : Sudoyo AW, Setiuohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Penerbit FK UI,2006. Jakarta: p.1611.

5. Wilder J, Sabatine MS, Lilly LS. Acute Coronary Syndromes. In:


Pathophysiology of Heart Disease. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2016;
162-85. (13)
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Ed 3. Jakarta: Centra Communications.
2015; 1-40. (14)
7. Writing Group Members , Mozaffarian D, Benjamin EJ, et al. Executive
Summary: Heart Disease and Stroke Statistics--2016 Update: A Report From
the American Heart Association. Circulation 2016; 133:447-54. 15
8. Towfighi A, Zheng L, Ovbiagele B. Sex-specific trends in midlife coronary
heart disease risk and prevalence. Arch Intern Med 2009; 169:1762-6. 16
9. Deedwania PC, Carbajal EV. Silent myocardial ischemia. A clinical
perspective. Arch Intern Med 1991; 151:2373-82. 17
10. Fox CS, Coady S, Sorlie PD, et al. Increasing cardiovascular disease burden
due to diabetes mellitus: the Framingham Heart Study. Circulation 2007;
115:1544-50. 18
11. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S, et al. Effect of Potentially Modifiable Risk
Factors Associated with Myocardial Infarction in 52 countries (The
INTERHEART Study): Case-control study. Lancer 2004; 364:937-52 19

34
12. Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N
Engl J Med 2005; 352:1685-95. 20
13. Stary HC, Blankenhorn DH, Chandler AB, et al. A definition of the intima of
human arteries and of its atherosclerosis-prone regions. American Heart
Association. Circl 1992; 85:391-405. 21
14. VanderLaan PA, Reardon CA, Getz GS: Site specificity of atherosclerosis: Site-
selective responses to atherosclerotic modulators. Arterioscler Thromb Vasc
Biol 2004; 24:12-22. 22
15. Glagov S, Zarins CK, Masawa N, et al: Mechanical functional role of non-
atherosclerotic intimal thickening. Front Med Biol Eng 1993: 5:37-43. 23
16. Skalen K, Gustafsson M, Rydberg EK, et al. Subendothelial retention of
atherogenic lipoproteins in early atherosclerosis. Nature 2002; 417:750-4. 24
17. Tabas I, Williams KJ, Boren J: Subendothelial lipoprotein retention as the
initiating process in atherosclerosis: Update and therapeutic implications.
Circulation 2007; 116: 1832-44. 25
18. Theroux P. Acute Coronary Syndromes: A Companion to Barunwald’s Heart
Disease. 2nd ed. Philadelphia: Saunders. 2011. p.57-63. 27

35

Anda mungkin juga menyukai