Disusun oleh:
Kezia Emylin S.N
030.14.107
Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan kasus dengan judul
“Unstable Angina Pectoris” dapat selesai. Laporan kasus ini adalah salah satu
syarat dalam proses mengikuti ujian akhir dalam kepanitraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade Imasanti, Sp.JP selaku
dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan,
kritik, dan saran yang membangun selama pembuatan laporan kasus ini hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak luput dari kekurangan dan
masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para
pembaca atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka
semua kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
keluarga dan para sahabat yang tidak pernah letih memberikan dukungan serta
dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik
mungkin. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, para
pembaca, dan masyarakat umum.
Jakarta, 2018
i
LEMBAR PENGESAHAN
030.14.107
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Ade Imasanti, Sp.JP selaku pembimbing
Jakarta, 2018
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat dirumah sakit karena angina
pectoris tidak stabil, dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark
jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakan.4
1
BAB II
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
Lokasi : P. Sangeang RS AL dr. Mintohardjo
Tanggal periksa : 12 Oktober 2018 (16.00 WIB)
Tanggal masuk : 10 Oktober 2018 (21.45 WIB)
2
nafas dirasa hilang timbul. Sesak dirasa terutama saat beraktivitas dan hilang
saat berbaring atau duduk. Saat sesak tidak terdengar bunyi “ngik”. Pasien
menyangkal terbangun dari tidur karena sesak. Sehari-hari pasien tidur
menggunakan 2 bantal dengan posisi mendatar/telentang. Keluhan dada
berbedar-debar disangkal pasien. Keringat dingin (+), Keluhan lain seperti
batuk, mual, muntah dan kaki bengkak disangkal oleh pasien
3
2.2.4 Riwayat pengobatan
Pasien setiap hari mengkonsumi aspilet 1x80mg, bisoprolol 1x5mg,
amlodipine 1x10mg, metformin 3x500mg dan glimepiride 1x2mg
4
2.3.2 Data antropometri
Berat badan : 68 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 24,1 kg/m2
5
Sekret : (-/-) Deviasi septum : (-)
Hiperemis : (-/-)
Bibir : Sianosis (-)
Mulut : Mukosa basah
Lidah : Bentuk normal, parese (-), atrofi papil (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Palpasi : Supel, turgor kulit baik, defans muskular (-), nyeri
tekan (-), hepatosplenomegali (-), pulsasi abnormal
(-)
Perkusi : Timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)
6
Genitalia : Perempuan
Ekstremitas
Inspeksi : Sianosis eks sup (-/-) eks inf (-/-), pucat eks sup (-/-) eks
inf (-/-)
Palpasi : Akral hangat eks sup (+/+) eks inf (+/+), oedem eks sup (-
/-) eks inf (-/-), CRT < 2 detik
Neurologi : Motorik eks sup (5/5) eks inf (5/5)
7
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 139 134-146 mmol/L
Kalium (K) 3.70 3.4-4.5 mmol/L
Clorida (CL) 110 96-108 mmol/L
JANTUNG
Troponin I 0,2 <0,5mg/dl
CKMB 21 <25 U/I
CK 153 <190 U/I
2.6 Tatalaksana
- Inj. Lovenox 2x0,6
- Aspilet 1x80mg p.o
- Bisoprolol 1x5mg p.o
- Amlodipin 1x10mg p.o
- Metformin 3x500mg p.o
- Glimiperid 1x2mg p.o
8
FOLLOW TANGGAL
UP H1: 11 Oktober 2018 H2: 12 Oktober 2018 H3: 13 Oktober 2018
S Pasien telentang ±15 Pasien telentang satu Pasien telentang satu bantal dan
derajat dengan satu bantal bantal dan sudah tidak tidak menggunakan nasal
dan menggunakan nasal menggunakan nasal kanul, pasien tidak ada keluhan.
kanul 3 liter. Nyeri dada kanul. Nyeri dada dirasa Hanya masih terasa lemas (+)
masih dirasakan pasien sudah berkurang Nyeri kepala (-), mual (-),
hilang timbul, menjalar ke disbanding hari kemarin. muntah (-), keringat dingin (-)
bahu dan lengan kiri. Sesak nafas disangkal kaki bengkak (-)
Timbul saat beraktivitas. saat aktivitas maupun BAK dalam batas normal
Nyeri seperti tertindih, istrirahat, rasa berdebar- BAB dalam batas normal
sesek nafas kadang masih debar disangkal oleh
dirasakan namun pasien. lemas (+)
membaik saat istrrahat. Nyeri kepala (-), mual (-),
Rasa berbedar-debar muntah (-), keringat
disangkal. dingin (-) kaki bengkak
Lemas (-) nyeri kepala (- (-)
), mual (-), muntah (-), BAK dalam batas normal
keringat dingin (-) kaki BAB dalam batas normal
bengkak (-)
BAK dalam batas normal
BAB dalam batas normal
O Compos mentis, tampak Compos mentis, tampak Compos mentis, tampak sakit
sakit sedang sakit ringan ringan
T = 36,6oC T = 36,7oC T = 36,5oC
TD = 130/70 mmHg TD = 130/70 mmHg TD = 120/80/80 mmHg
9
HR = 75x/menit HR = 60x/menit HR = 78x/menit
RR = 24x/menit RR = 24x/menit RR = 22x/menit
SpO2 = 99% dengan kanul SpO2 = 98% SpO2 = 97%
3L/menit
GDP 153mg/dl Tidak tampak conjungtiva
*Hba1c 8,5% anemis, tidak tampak sklera
GDS 164mg/dl Tidak tampak ikterik, tidak ada nafas cuping
conjungtiva anemis, tidak hidung.
Tidak tampak conjungtiva tampak sklera ikterik, KGB dan tiroid dalam batas
anemis, tidak tampak tidak ada nafas cuping normal, JVP 5 + 3 cm.
sklera ikterik, tidak ada hidung. BJ I/II reguler, tidak terdengar
nafas cuping hidung. KGB dan tiroid dalam murmur, tidak terdengar gallop.
KGB dan tiroid dalam batas normal, JVP 5 + 3 Suara nafas vesikuler di kedua
batas normal, JVP 5 + 3 cm. lapang paru, sonor di kedua
cm. BJ I/II reguler, tidak lapang paru, tidak ada suara
BJ I/II reguler, tidak terdengar murmur, tidak nafas tambahan, tidak ada
terdengar murmur, tidak terdengar gallop. retraksi. Tidak terdengar ronki
terdengar gallop. Suara nafas vesikuler di di kedua lapang paru
Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, sonor Abdomen supel, datar, bising
kedua lapang paru, sonor di kedua lapang paru, usus 2x/menit, tidak terdapat
di kedua lapang paru, tidak ada suara nafas nyeri tekan, tidak teraba
tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada pembesaran organ.
tambahan, tidak ada retraksi. Tidak terdengar Tidak terdapat edema di seluru
retraksi. Tidak terdengar ronki di kedua lapang ekstremitas, akral hangat di
ronki di kedua lapang paru paru seluruh ekstremitas, capillary
Abdomen supel, datar, Abdomen supel, datar, refill time < 2 detik, motorik
bising usus 2x/menit, bising usus 2x/menit, eks sup (5/5) eks inf (5/5)
tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat nyeri
10
tidak teraba pembesaran tekan, tidak teraba
organ. pembesaran organ.
Tidak terdapat edema di Tidak terdapat edema di
seluru ekstremitas, akral seluru ekstremitas, akral
hangat di seluruh hangat di seluruh
ekstremitas, capillary ekstremitas, capillary
refill time < 2 detik, refill time < 2 detik,
motorik eks sup (5/5) eks motorik eks sup (5/5) eks
inf (5/5) inf (5/5)
A Unstable angina pectoris Unstable angina pectoris Unstable angina pectoris
Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2
11
EKG (10 Oktober 2018)
12
BAB III
ANALISIS KASUS
3.2.2 Epidemiologi
Laporan statistik terbaru dari American Heart Association (AHA)
menunjukkan bahwa sekitar 15.5 juta penduduk berusia 20 tahun atau lebih
di Amerika Serikat memiliki ACS, dimana peningkatan prevalensi terjadi
seiring dengan penuaan. Angka mortalitas rerata yang ditemukan adalah
102,6 per 100.000 penduduk dimana angka ini menurun menjadi 22,9%.7
Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit
ini seperti jenis kelamin, genetik, dan gaya hidup sehari-hari. Laporan data
13
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2009
mengungkapkan bahwa prevalensi myocardial infarction lebih tinggi pada
laki-laki.8,9 Terdapat hasil yang menunjukkan dimana penderita memiliki
korelasi antara kejadian ACS dengan total kolesterol (24%), hipertensi (20%),
merokok (12%), dan inaktivitas fisik (5%). Sebagai tambahan, indeks massa
tubuh dan diabetes juga memiliki pengaruh terhadap modifikasi
perkembangan ACS.10
3.2.3 Etiologi
Pembentukan trombus secara akut pada plaque arteri koroner yang
robek merupakan penyebab dari ACS. Oklusi total mendadak dari pembuluh
darah dapat menyebabkan iskemik yang menghasilkan ST-elevation
myocardial infarction (STEMI). Tetapi, jika oklusi parsial terjadi, maka
persediaan oksigen ke jaringan otot jantung juga masih tersedia, sehingga
risiko terjadinya iskemik akan lebih rendah dimana hal ini dapat
menghasilkan non ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Selain itu,
iskemik miokardium juga dapat terjadi tanpa adanya kerusakan sel otot
jantung, yaitu unstable angina pectoris.5
14
Gambar 1. Faktor risiko ACS.
Smk, smoking; DM, diabetes mellitus; HTN, hypertension; ApoB/A, apo B
to apo A1 rasio (lipid); Obes, obesity; PS, psychologic; RFs, risk factors.11
15
Dinding pembuluh darah arteri terdiri dari tiga lapisan, yaitu tunika
intima (lapisan paling dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika
adventisia (lapisan paling luar). Tunika intima didefinisikan sebagai bagian
pembuluh darah yang meliputi lumen arteri, termasuk endotel, hingga lamina
elastis interna. Tunika intima berukuran tebal karena mengandung lapisan
subendotel kaya proteoglikan dan lapisan muskuloelastik dengan sel otot
polos dan serat elastin.13 Penebalan tunika intima diduga sebagai adaptasi
fisiologis terhadap rendahnya dan/atau arus bolak-balik yang menyebabkan
stres dinding pembuluh darah. Lokasi yang menjadi tempat utama timbulnya
aterosklerosis adalah percabangan atau sepanjang lengkungan pembuluh
darah bagian dalam.14,15
Awal mula pembentukan aterosklerosis adalah retensi apo B, LDL,
dan proteoglikan ekstraseluler di tunika intima pembuluh darah.16,17
Modifikasi subendotel seperti agregasi, fusi, dan oksidasi terjadi karena
retensi lipoprotein menyebabkan tercetusnya proses enzimatik dan radikal
oksidatif. Lipoprotein yang telah termodifikasi berperan sebagai mediator
inflamatorik yang menstimulasi rekrut, diferensiasi, dan replikasi makrofag
derivat monosit, chemoattractants, dan growth factors.12 Makrofag menelan
LDL dan berubah menjadi ester kolesterol, yaitu foam cell. Limfosit T dan
sel dendritik juga hadir sebagai respon imunitas yang justru memodulasi
proses aterosklerosis. Semakin banyak banyak akumulasi foam cell di lumen
pembuluh darah, maka penampakannya akan terlihat kasat mata sebagai fatty
streaks yang berwarna kekuningan pada pembuluh darah koroner. Foam cell
tidak berbahaya dan reversibel jika faktor pencetusnya juga hilang. 17
Akumulasi foam cell juga disebut sebagai intermedate lesion.
Tahapan yang menentukan bahwa lesi ini menjadi ireversibel adalah
konversi akumulasi lipid menjadi lebih konfluen, yaitu necrotic core, lipid
core, atau atheromatous core (plaque). Prosesnya melibatkan kerusakan
struktur tunika intima akibat degradasi matriks ekstraselular dan kematian
otot polos lokal. Lapisan yang membagi antara lipid-rich core dengan darah
disebut sebagai fobrous cap. Struktur ini merupakan penentu klinis
16
aterosklerosis. Jaringan fibrosa ini terbentuk oleh otot polos tipe sintesis,
dimana strukturnya didominasi oleh organel pembentuk protein seperti
retikulum endoplasma kasar dan badan Golgi.18
Plaque dapat ruptur oleh karena tipisnya fibrous cap, yaitu dengan
ukuran diameter satu foam cell sebesar 23 m – 65 . Ketebalan fibrous cap
dipengaruhi oleh tegangan dinding pembuluh darah. Semakin kecil
tegangannya, semakin tipis fibrous cap yang terbentuk seperti di pembuluh
darah koroner.18 Penipisan fibrous cap sendiri dipengaruhi oleh hilangnya sel
otot polos dan degradasi fibrous cap oleh karena makrofag.18
17
Gambar 3. Mekanisme pembentukan trombus koroner.5
18
3.2.6 Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
yang menunjang. Keluhan angina tipikal berupa nyeri dada retrosternal
seperti ditekan beda berat yang menjalar ke lengan kiri, leher kiri, rahang kiri,
area interskapular kiri, bahu kiri, atau epigastrium. Keluhan dapat
berlangsung dalam jangka waktu lama, baik berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (lebih dari 20 menit). Keluhan juga disertai
diaforesis, mual-muntah, nyeri abdominal, sesak nafas, hingga sinkop.
Keluhan angina atipikal yang sering dijumpai adalah nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan, sesak nafas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
ini lebih sering ditemukan pada usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(lebih dari 75 tahun), wanita, penderita diabetes mellitus, penderita gagal
ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen
jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner.
Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat dari pelepasan mediator
adenosin dan laktat dari sel myosit yang mengalami infark di sekitar ujung
saraf terkait. Dikarenakan iskemia pada infark miokardium akut bersifat
menetap dan berkembang menjadi nekrosis, substansi provokatif tersebut
akan berakumulasi dan mengaktivasi saraf aferen dalam waktu yang lama.
Rasa nyeri ini sering berasal dari dermatom C7 hingga T4, yaitu leher, bahu,
dan lengan.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk identifikasi faktor utama pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan
diagnosis banding. Umumnya hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
ketiadaan kelainan jantung. Komplikasi iskemia dapat ditandai oleh
ditemukannya regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi
basah halus, dan hipotensi.
19
Keluhan ini merupakan gejala khas infark miokardium akut, tetapi
sekitar 25% dapat mengalami infark miokardium tanpa gejala. Hal ini
umumnya ditemukan pada pasien dengan diabetes mellitus yang memiliki
neuropati diabetikum.
20
Tabel 3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG.6
Sadapan Lokasi iskemia atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
21
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi
risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
(prognostik). Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel
dalam klasifikasi GRACE.
22
80 91
Laju nadi (kali per menit)
< 70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
< 80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
200 0
Kreatinin (mol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
354 31
Gagal jantung (Killip)
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di rumah sakit 43
23
Peningkatan biomarka jantung 15
Deviasi segmen ST 30
24
Penatalaksanaan > 4 jam 1
25
. Pada pemeriksaan biomarka jantung menunjukkan tidak adanya
peningkatan kadar CK, CK-MB maupun troponin I
Skor TIMI for UAP/NSTEMI 2 menunjukkan bahwa pasien memiliki
risiko rendah terhadap mortalitas.
26
Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA
Uji latih
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah:
a. Menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b. Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan
menunjukkan tanda resiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat
treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya
positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh
koronernya apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi PCI karena resiko
terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam waktu mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina
tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung,
menandakan prognosis kurang baik.
Foto toraks
Foto toraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran
jantung dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.
27
kreatinin kinase (CK) dan isoenzimnya Creatinin Kinase-MB, serta troponin
cardiac specific troponin T (cTnT) dan cardiac specific troponin I (cTnI).
Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan penanda cedera otot
yang paling spesifik seperti pada infark miokardium. Setelah infark miokardium
akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar
puncak dalam 18 hingga 24 jam, dan kembali menurun hingga normal setelah
2 hingga 3 hari. CK-MB juga terdapat dalam otot skelet sehingga penegakan
diagnosis cedera miokardium didasarkan pada pola peningkatan dan penurunan.
28
3.2.8 Tatalaksana
Pengobatan Medikal
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina. Ada 3
jenis obat yaitu :4
Obat anti-iskemia
29
Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang
terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa.
Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari
dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
Tiklopidin merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat
agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel
terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular.
Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan Ikatan fibrinogen dengan reseptor
GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet.
Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet
dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
Obat anti-trombin
Unfractionated Heparin : Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang
terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan
aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat thrombin dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi
bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan
trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced
thrombocytopenia (HIT).
30
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) : LMWH dibuat dengan
melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Dibandingkan
dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap protein
plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia
ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan
secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
Direct Thrombin Inhibitors : Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis
mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan
bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi
komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk
menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI.
Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek
samping trombositopenia akibat heparin (HIT).4
3.2.9 Komplikasi
31
sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya
berasal dari infark miokard. 12
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar, T. Bahri. Penyakit jantung koroner dan hypertensi. Medan: USU; 2004.
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2014
Feb Available from URL : http://www.who.int/cardiovasculardiseases/
cvd_14_deathHD.pdf
4. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Dalam : Sudoyo AW, Setiuohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Penerbit FK UI,2006. Jakarta: p.1611.
34
12. Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N
Engl J Med 2005; 352:1685-95. 20
13. Stary HC, Blankenhorn DH, Chandler AB, et al. A definition of the intima of
human arteries and of its atherosclerosis-prone regions. American Heart
Association. Circl 1992; 85:391-405. 21
14. VanderLaan PA, Reardon CA, Getz GS: Site specificity of atherosclerosis: Site-
selective responses to atherosclerotic modulators. Arterioscler Thromb Vasc
Biol 2004; 24:12-22. 22
15. Glagov S, Zarins CK, Masawa N, et al: Mechanical functional role of non-
atherosclerotic intimal thickening. Front Med Biol Eng 1993: 5:37-43. 23
16. Skalen K, Gustafsson M, Rydberg EK, et al. Subendothelial retention of
atherogenic lipoproteins in early atherosclerosis. Nature 2002; 417:750-4. 24
17. Tabas I, Williams KJ, Boren J: Subendothelial lipoprotein retention as the
initiating process in atherosclerosis: Update and therapeutic implications.
Circulation 2007; 116: 1832-44. 25
18. Theroux P. Acute Coronary Syndromes: A Companion to Barunwald’s Heart
Disease. 2nd ed. Philadelphia: Saunders. 2011. p.57-63. 27
35