Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

STROKE HEMORAGIK

Disusun oleh:
dr. Dian Sari Rachmawati

Pembimbing:
dr. Rudi Hermawan, Sp.N

Pendamping:
dr. Dedi Prasetyo

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT MISI LEBAK
KABUPATEN LEBAK
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB II......................................................................................................................5
LAPORAN KASUS.................................................................................................5
BAB III..................................................................................................................15
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................15
3.1 Stroke..........................................................................................................15
3.1.1 Definisi.................................................................................................15
3.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak.................................15
3.1.3 Epidemiologi dan Faktor Resiko.......................................................18
3.1.4 Klasifikasi............................................................................................19
3.1.5 Diagnosis..............................................................................................20
3.2 Stroke Hemoragik......................................................................................23
3.2.1 Definisi.................................................................................................23
3.2.2 Klasifikasi dan Faktor Resiko............................................................24
3.2.3 Patogenesis...........................................................................................26
3.2.4 Manifestasi Klinis................................................................................28
3.2.5 Diagnosis..............................................................................................29
3.2.6 Penatalaksanaan.................................................................................31
BAB IV..................................................................................................................36
ANALISA KASUS................................................................................................36
BAB V...................................................................................................................38
KESIMPULAN......................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit serebrovaskuler/ cerebrovascular disease (CVD) merupakan


penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian
dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi
klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan
cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian,
dengan tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan
American Heart Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang
dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan
oleh pembuluh darah, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral (ICH)
dan pendarahan subaraknoid (SAH).
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke
dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran darah
sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak
disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat
dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf
di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke
iskemik akan tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian.
Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah penyakit
jantung iskemik/koroner, dengan angka kematian sebesar 6,15 juta jiwa atau
10,8%. Pada tahun 2008, Centre for Disease Control and Prevention (CDC) di
Amerika Serikat melaporkan bahwa stroke menjadi penyebab kematian keempat
setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit kronik saluran pernapasan bawah,
dengan prevalensi sebesar 7 juta orang (3%) dan kematian sebesar 133.750 jiwa.
Sedangkan menurut data profil kesehatan Indonesia pada tahun 2008, stroke
merupakan penyebab kematian urutan pertama di Indonesia.

3
Di dunia, 15 juta orang menderita stroke setiap tahun, sepertiganya
meninggal, sepertiga mengalami cacat permanen. Setiap tahun, sekitar 795.000
orang menderita serangan stroke, sekitar 610.000 merupakan serangan pertama
dan 185.000 serangan berulang. Angka mortalitas tahun 2009 menunjukkan
bahwa sekitar 1 dari setiap 19 kematian adalah akibat stroke. Rata-rata, setiap 40
detik terjadi 1 kasus stroke dan setiap 4 menit ada 1 orang meninggal karena
stroke.
Data Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kejadian,
kecacatan, ataupun kematian akibat stroke. Prevalensi stroke adalah 8,3 per 1000
penduduk. Insidens stroke di Indonesia sebesar 51,6/100.000 penduduk. Menurut
Yayasan Stroke Indonesia, diperkirakan setiap tahun 500.000 penduduk terkena
serangan stroke, sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya
mengalami cacat ringan atau berat. Di Indonesia, prevalensi stroke terdiagnosis
tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰),
Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur (16‰).
Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, berpotensi menimbulkan
masalah besar dalam pembangunan kesehatan nasional. Meskipun angka
kecacatan jelas menurun di negara-negara maju, sebaliknya dengan yang terjadi di
negara berkembang bahkan meningkat.
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade
3B, yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter
umum harus mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Maka dari itu, laporan
kasus ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan mengenai stroke,
sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. IH
Usia : 43 tahun
Tanggal lahir : 10/09/1978
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : PNS
RM : 292917
Alamat : Komplek 1 Perumahan Siliwangi

Anamnesis
Pada tanggal 16/8/2022 jam 16.20, Seorang pasien laki-laki berusia 43 tahun
datang ke IGD RS Misi dengan
Keluhan utama:
Anggota gerak kiri lemas
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Lemas anggota gerak kiri sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
sulit menggerakkan tangan dan kaki kirinya, nyeri (-)
 Lemas disertai rasa kesemutan pada tangan dan kaki kiri, mulut mencong
(+), bicara pelo (+), nyeri kepala (+)
 Pasien mual dan muntah 2 kali di IGD, nyeri ulu hati (+)
 Penurunan kesadaran (-), kejang (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat hipertensi (+), tidak terkontrol
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Stroke (-)
 Riwayat sakit jantung (-)
5
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat hipertensi (+) pada ayah pasien
 Riwayat stroke (+) pada paman pasien

Riwayat Kebiasaan:
 Merokok
 Jarang Berolahraga

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CM
TD : 170/100 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Suhu : 36.5
Nafas : 20 kali/menit
Saturasi Oksigen : 98% room air
Keadaan umum: Sakit sedang
Mata : Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada
Leher : JVP 5+0 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Dada :
Paru:
Inspeksi Statis : simetris kiri sama dengan kanan,
Dinamis : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung:
Inspeksi : Iktus kodis tidak terlihat
6
Palpasi : Iktus kordis teraba pada LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas jantung RIC II parasternal sinistra, batas kanan
RIC IV parasternal dekstra, dan batas kiri jantung RIC IV
midklavikula sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 regular, tidak terdapat murmur dan gallop

Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif, normal

Ekstremitas: Tidak terdapat udem, akral hangat, CRT < 2 detik

Status Neurologis:
 GCS: E4V5M6
 Meningeal Sign
Kaku Kuduk (-) ; Brudzinsky 1,2 (-)
 Nervus Cranialis
Nervus VII Fasialis : Parese (+) Sinistra tipe sentral
Nervus XII Hipoglossus : Parese (+) Sinistra, Disartria (+)
 Kekuatan Motorik : 5/1/5/1
 Refleks Fisiologis : +2/+3/+2/+3
 Refleks Patologis : -/+/-/+

Diagnosis Awal
Hemiparese Sinistra
Hipertensi

7
Tatalaksana Awal
- Captopril 25 mg SL
- Inj Mecobalamin 1x500mcg
- Inj Citicolin 500mg
- Inj Ranitidin 1x50mg
- Inj Ondancentron 1x8mg

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium (16/08/2022)
Darah Rutin
• Hemoglobin : 13,9
• Hematokrit : 41,1%
• Leukosit : 16.480
• Trombosit : 369.000
• Hitung Jenis : 0/0/0/87/ 10/3
Elektrolit
- Natrium : 150
- Kalium : 3.6
- Clorida : 103
Hasil Fungsi Ginjal
- Ureum : 23
- Creatinin : 1,0
Hasil Fungsi Hati
- SGOT : 28
- SGPT : 29
Hasil Gula Darah
- GDS : 159

8
Pemeriksaan EKG 16/08/2022

Hasil CT Scan Kepala Non-Kontras

Kesan:

9
 Perdarahan thalamus dextra
 Perdarahan capsula interna dextra
 Brain swelling

Diagnosis
 Diagnosis Klinis : Hemiparese Sinistra, Parese NVII dan XII sinistra,
Hipertensi
 Diagnosis Topis : Capsula interna dextra dan thalamus dextra
 Diagnosis Etologi : Intra Cerebral Hemorraghe/Hemorraghic Stroke

Terapi
- Head Up 30o
- IVFD NS 20 tpm
- Loading Manitol 20% 250cc drip/IV dalam 30 menit
- Manitol 20% 100cc/ 4 jam IV/Drip habis dalam 30 menit (Tapp off per
hari)
- Inj Asam tranexamat 500mg/8 jam/ IV
- Inj Citicolin 500mg/12 jam/IV
- Inj Mecobalamin 500 mcg/12 jam/IV
- Inj Omeprazol 40mg/24 jam/IV
- Amlodipin 10mg/24 jam/oral

Prognosis
Ad Functionam : Dubia
Ad Sanactionam : Dubia
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Folow Up
Follow Up 17/08/2022 18/8/2022
10
Subjektif Tangan kiri dan kaki kiri Lemas anggota gerak kiri
lemas dan kesemutan. Belum BAB 2 hari
Mual (-)
Objektif KU : sakit sedang KU : sakit sedang
Kes : CM Kes : CM
TD : 120/80 TD : 140/110
N : 80 N : 84
S : 36,5 S : 36,8
RR : 20 RR : 20
Spo2 : 98% Spo2 : 98%
Assesment ICH ICH
Hemiparese Sinistra Hemiparese Sinistra
Terapi - Head Up 30o - Head Up 30o
- IVFD NS 20 tpm - IVFD NS 20 tpm
- Manitol 20% - Manitol 20%
100cc/ 4 jam 100cc/ 6 jam
IV/Drip habis IV/Drip habis
dalam 30 menit dalam 30 menit
(Tapp off per hari) (Tapp off per hari)
- Inj Asam - Inj Asam
tranexamat tranexamat
500mg/8 jam/ IV 500mg/8 jam/ IV
- Inj Citicolin - Inj Citicolin
500mg/12 jam/IV 500mg/12 jam/IV
- Inj Mecobalamin - Inj Mecobalamin
500 mcg/12 500 mcg/12
jam/IV jam/IV
- Inj OMZ 40mg/24 - Inj OMZ 40mg/24
jam/IV jam/IV
11
- Amlodipin - Amlodipin
10mg/24 jam/oral 10mg/24 jam/oral

Follow Up 19/06/2022 20/8/2022


Subjektif Lemas anggota gerak kiri Anggota gerak kiri
(sudah lebih kuat) kesemutan dan lemas,
BAB (-) 4 hari
Objektif KU : sakit sedang KU : sakit sedang
Kes : CM Kes : CM
TD : 140/80 TD : 120/70
N : 86 N : 72
S : 36,7 S : 36
RR : 20 RR : 20
Spo2 : 98% Spo2 : 98%
KM: 5/3/5/3
Assesment ICH ICH
Hemiparese Sinistra Hemiparese Sinistra
Terapi - Head Up 30o - Head Up 30o
- IVFD NS 20 tpm - IVFD NS 20 tpm
- Manitol 20% - Manitol 20%
100cc/ 8 jam 100cc/ 12 jam
IV/Drip habis IV/Drip habis
dalam 30 menit dalam 30 menit
(Tapp off per hari) (Tapp off per hari)
- Inj Asam - Inj Asam
tranexamat tranexamat
500mg/8 jam/ IV 500mg/8 jam/ IV
- Inj Citicolin - Inj Citicolin
500mg/12 jam/IV 500mg/12 jam/IV
12
- Inj Mecobalamin - Inj Mecobalamin
500 mcg/12 500 mcg/12
jam/IV jam/IV
- Inj OMZ 40mg/24 - Inj OMZ 40mg/24
jam/IV jam/IV
- Amlodipin - Amlodipin
10mg/24 jam/oral 10mg/24 jam/oral

Follow Up 21/08/2022 22/8/2022


Subjektif Anggota gerak kiri bisa Anggota gerak kiri bisa
digerakkan sedikit- digerakkan
sedikit, kesemutan (+),
belum BAB 5 hari
Objektif KU : sakit sedang KU : sakit sedang
Kes : CM Kes : CM
TD : 140/90 TD : 120/80
N : 94 N : 85
S : 36,6 S : 36,4
RR : 21 RR : 19
Spo2 : 98% Spo2 : 98%
Assesment ICH ICH
Hemiparese Sinistra Hemiparese Sinistra
Terapi - Head Up 30o - BLPL
- IVFD NS 20 tpm - Citicolin 2x1
- Manitol 20% - Amlodipin
100cc/ 8 jam 1x10mg
IV/Drip habis - Asam Tranexamat
dalam 30 menit 3x1
13
(Tapp off per hari) - Mecobalamin 2x1
- Inj Asam
tranexamat
500mg/8 jam/ IV
- Inj Citicolin
500mg/12 jam/IV
- Inj Mecobalamin
500 mcg/12
jam/IV
- Inj OMZ 40mg/24
jam/IV
- Amlodipin
10mg/24 jam/oral

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stroke
3.1.1 Definisi
Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh
karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa
detik atau menit) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah
fokal di otak yang mengalami kerusakan. Menurut WHO, stroke didefinisikan
sebagai manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global
(menyeluruh), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai
menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.

3.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak


Otak merupakan organ yang palik aktif secara metabolik. Otak hanya
memiliki sekitar 2% massa tubuh akan tetapi otak membutuhkan 15-20% kardiak
output untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosanya. Secara anatomis,
pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis dan sistem
vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna.
Anterior circulation (sistem karotis)
Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini
memberikan tanda dan gejala disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia,
atau agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris,
dan gangguan lapang pandang.
Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)
Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini
memberikan tanda dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks
(jatuh tibatiba tanpa penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan
saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese
15
alternans). Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan
gangguan lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan
sistem vertebrobasilar.
Sirkulasi Anterior (Sistem Karotis)
Anterior Koroid Hippokampus, globus pallidus,
kapsula interna bawah
Anterior Serebri Korteks serebri frontomedial dan
parietal serta substansia alba di
sekitarnya dan korpus kalosum
anterior
Serebri Media Korteks serebri frontolateral, parietal,
oksipital, dan temporal serta substantia
alba di sekitarnya
Cabang Lentikulostriata Nukleus kaudatus, putamen, dan
kapsula interna atas
Sirkulasi Posterior (Sistem Vertebrobasiler)
Arteri serebelar basiler posterior Medulla dan serebelum inferior
inferior
Arteri serebelar anterior inferior Pons inferior dan media serta
serebelum media
Arteri serebelar Superior Pons superior, otak tengah inferior,
dan serebelum superior
Arteri serebelar posterior Korteks oksipital dan temporal media
serta substansia alba disekitarnya.
Korpus kalosum posterior dan otak
tengah superior
Cabang thalamoperforata Thalamus

16
17
3.1.3 Epidemiologi dan Faktor Resiko
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit
jantung koroner dan kanker pada negara maju ataupun negara berkembang. Satu
dari 10 kematian disebabkan oleh stroke. Data World Stroke Organization
menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada 13,7 juta kasus baru penyakit stroke, dan
sekitar 5,5 juta kematian terjadi akibat stroke. Menurut data Riskesdes pada tahun
2018 dinyatakan bahwa prevalensi stroke (permil) berdasarkan diagnosis dokter
pada penduduk umur ≥15tahun provinsi dengan pasien stroke tertinggi terjadi di
Provinsi Kalimantan Timur sebesar 14,7% dan terendah ada di Provinsi Papua
sebesar 4,1%. Prevalensi pasien stroke berdasarkan diagnosis dokter meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, tertinggi ada pada usia ≥75 tahun yaitu sebesar
50,2%.
Stroke diklasifikasikan menjadi stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka kejadian 85% dari seluruh
stroke yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli.
ICH (Intra Cerebral Hemorrhage) terjadi pada 10-20% pasien stroke keseluruhan.
Secara umum, faktor resiko stroke terbagi menjadi 3 kategori yaitu faktor
yang bisa dimodifikasi/dikendalikan, potensial dikendalikan dan tidak bisa
dikendalikan.

18
3.1.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah
banyak dikemukakan oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data
Bank, World Health Organization dan National Institute of Neurological Disease
and Stroke. Pada dasarnya klasifikasi tersebut dikelompokan atas dasar
manifestasi klinik, proses patologi yang terjadi di otak dan area lesinya. Hal ini
berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk menetapkan diagnosis
klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi. Lebih jauh, stroke dapat
diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi, sistem darah dan
stadiumnya. Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi landasan untuk
menentukan terapi dan usaha pencegahan stroke.
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan Penyebabnya
a. Stroke iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Trombosis serebri
iii. Emboli serebri
b. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan Stadium/ Pertimbangan Waktu
a. TIA
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
3. Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler

Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak
yang mengalami inskemik atau infark. Walaupun telah terdapat pengelompokkan

19
stroke berdasarkan patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik, namun penegakkan klinis stroke (hemoragik maupun non-hemoragik)
tidak dapat semata-mata ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja, karena
semua gejala pada kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan tambahan yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis
stroke, seperti CT-scan.

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik
mendadak yang beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik,
gangguan fungsi luhur hingga gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai
nyeri kepala, mual muntah, kejang, kaku kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis
stroke seperti juga diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit Saraf mencakup
diagnosis klinis, topis dan etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi
otak dan bangunan intrakranial di sekitarnya, sistem perdarahan otak serta
fisiologi dan metabolisme otak diperlukan dalam menentukan diagnosis stroke.
Selain itu, anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, dan pemeriksaan
psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan dalam sindrom-sindroma klinik
yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam pengelolaan pasien. Diagnosis
etiologis menempati tempat utama yang harus segera disimpulkan untuk dapat
memberikan terapi yang cepat dan tepat.
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis stroke ditetapkan dari pemeriksaan fisik
neurologis dimana didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu
perjalanan penyakitnya dan gejala serta tanda yang sesuai dengan daerah
pendarahan pemnbuluh darah otak tertentu. Gangguan pada sistem karotis
menyebabkan: gangguan penglihatan, gangguan bicara, disafasia atau
afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan, gangguan motorik,
hemiplegi/ hemiparesis kontra lateral, dan gangguan sensorik.

20
Gangguan pada sistim vertebrobasilar menyebabkan: gangguan
penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus
oksipital, gangguan nervi kranalis bila mengenai batang otak, gangguan
motorik, gangguan koordinasi, drop attack, gangguan sensorik, gangguan
kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa keadaan didapat gangguan
neurobehaviour, hemineglect, afasia, aleksia, anomia maupun amnesia.
2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi
menjadi :
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di
bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral
sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect,
agnosia, apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di
bawah ini atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi
luhur:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral
sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral - Gangguan fungsi luhur: disfasia,
visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:
- Gangguan motorik murni
- Gangguan sensorik murni
- Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia
- Disfagia

21
- Vertigo
- Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign
3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah
CT-scan kepala. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah
dan urin), elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal,
elektroensefalogram, arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk
membantu diagnosis etiologis stroke hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau
iskemik (emboli, trombosis) serta mencari faktor risiko.

Sistem Skor untuk Membedakan Stroke hemoragik dan Non Hemoragik


1. Siriraj Score

22
2. Algoritma Gajah Mada

23
3.2 Stroke Hemoragik
3.2.1 Definisi
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam
jaringan otak atau biasa disebut perdarahan intraserebri (ICH). Kondisi tersebut
menimbulkan gejala neurologis yang berlaku secara mendadak dan seringkali
diikuti gejala nyeri kepala yang berat pada saat melakukan aktivitas akibat efek
desak ruang atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Efek ini menyebabkan

24
angka kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke
iskemik. Pada stroke hemoragik yang didominasi oleh gejala peningkatan TIK
yang membutuhkan penanganan segera sebagai tindakan life-saving. Oleh karena
itu, penegakan diagnosis pada stroke hemoragik sangat penting untuk memberikan
terapi yang efektif.

3.2.2 Klasifikasi dan Faktor Resiko


Pembagian stroke hemoragik dapat dibedakan berdasarkan penyebab
perdarahannya, yaitu:
a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
intaserebral primer dan perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan
intraserbral primer disebabkan oleh hipertensi kronik yang
menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh
darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya
anomali vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis,
maupun akibat obat-obat antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari
penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensi kronik.
Perdarahan intraserebral non-trauma dapat dibagi menjadi primer
dan sekunder dimana primer terjadi pada 85% dari total kejadian ICH
dan berhubungan dengan hipertensi kronik atau angiopati amiloid.
Perdarahan sekunder berhubungan dengan iatrogenic, kongenital,
malformasi vascular, neoplasma, konversi hemoragik dari stroke
iskemik, dan penyalahgunaan obat.
ICH primer ditegakkan apabila tidak ditemukan kondisi patologis
lain ditambah dengan adanya Riwayat hipertensi, peningkatan usia dan
lokasi sumbatan. Sementara ICH sekunder ditemukan lesi vascular
seerti arteriovenous malformation, angioma kavernosa, aneurisma
serebri dan fistula arteri-vena, dan hal tersebut yang menyebabkan
terjadinya ICH pada usia muda.
25
b. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang
subarachnoid sehingga menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa
sakit kepala yang hebat dan bahkan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma sakuler.
Faktor resiko dari stroke hemoragik terbagi menjadi tiga yaitu yang dapat
dimodifikasi, tidak dapat dimodifikasi dan faktor lain yang dpaat berhubungan.
Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Hipertensi adalah faktor resiko paling penting pada terjadinya ICH.


Merokok dan konsumsi alcohol berlebih juga dikaitkan dengan kejadian ICH yang
meningkat. Sebuah studi case-control di Australia menunjukan kadar total
kolesterol yang rendah serta kadar LDL yang rendah berhubungan dengan ICH
yang lebih berat. Penggunaan antikoagulan dan antiplatelet dapat meningkatkan
resiko terjadinya ICH dan biasanya terjadi pada usia tua. Hubungan antara ICH
dan obat simpatomimetik seperti kokain, heroin, amfetamin dan efedrin telah

26
dilaporkan dan biasanya terjaid pada usia muda. Penilpropaolamin dalam dosis
yang relative tinggi dapat menjadi faktor resiko tunggal terhadap kejadian stroke
hemoragik terutama pada Wanita. Sebuah studi case-control di korea
menunjukkan dosis rendah penilpropaolamin pada terapi flu berhubungan dengan
meningkatnya resiko stroke hemoragik pada wanita. Chronic Kidney Disease
(CKD) dapat menjadi pertanda adanya kerusakan pembuluh darah kecil pada otak
yang mana menjadi mechanisme utama ICH hipertensi. Disfungsi platelet pada
pasien CKD juga meningkatkan resiko terjadinya ICH.
Beberapa studi melaporkan terdapat faktor resiko lain yang dapat
berhubungan dengan kejadian stroke hemoragik seperti multiparitas, lamanya
waktu kerja, dan waktu tidur di atas 8 jam sehari.

3.2.3 Patogenesis
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial hemorrhage,
hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial hemmorhage terjadi
akibat rupturnya arteri serebral. Hipertensi kronis, akan menyebabkan perubahan
patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan patologis dari dinding
pembuluh darah tersebut dapat berupa lipohialinosis, nekrosis fibrin serta
timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Stroke hemoragik yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi terjadi pada stroke bagian otak dalam yang diperdarahi oleh
penetrating artery seperti pada area ganglia basalis (50%), lobus serebral (10%
hingga 20%), talamus (15%), pons dan batang otak (10% hingga 20%), dan
serebelum (10 %), stroke lobaris yang terjadi pada pasien usia lanjut dikaitkan
dengan cerebral amyloid angiopathy (CAA).
CAA meupakan deposisi peptide amyloid- β pada pembuluh darah kapiler,
arteriol dan arteri kecil hingga sedang pada korteks serebri, leptomeninges dan
serebelum. Deposisi amyloid tersebut membuat pembuluh darah menjadi rapuh
dan memicu terjadinya perdarahan. CAA pada pembuluh darah kecil di serebri
memicu terjadinya ICH pada lansia, umunya berhubungan dengan variasi gen
yang mengkode apo lipoprotein E epsilon 2 dan 4 pada kromosom 19.
27
Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya
denyut jantung, dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi
perdarahan. Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis
(fase hematoma expansion). Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis
mulai timbul seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan
intracranial akan mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-
barrier. Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema).
Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma
expansion, akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume
perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan
intracranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta
terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan edema pada
jaringan sekitar hematom sehingga neuron-neuron di daerah yang terkena darah
dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan semakin
berkembang.
Perdarahan intraventrikular terjadi pada sepertiga kasus perdarahan
intraserebral dari perluasan perdarahan ganglion talamus ke dalam ruang
ventrikel. Perdarahan intraventrikular terisolasi sering muncul dari struktur
subependimal termasuk matriks germinal, AVM, dan angioma kavernosa.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau
menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa
merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-
fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar,
maka akan merusak struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial
dan bahkan dapat menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen
magnum. Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan
menyebar hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan

28
intraventrikel. Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif
dan akan memperburuk prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan
meningkatkan resiko kematian hingga 93%.

3.2.4 Manifestasi Klinis


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik defisit motorik, defisit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. Gejala klinis dari stroke
hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis
berupa, terjadi pada waktu aktif, nyeri kepala, mual muntah,
penurunan kesadaran, adanya riwayat hipertensi kronis, nyeri telinga
homolaterlal, afasia, hemiparese kontralateral, kejang.
Defisit neurologis fokal terbagi berdasarkan lokasi terjadinya ICH,
antara lain:
a. Putamen : Contralateral hemiparesis, contralateral
sensory loss, contralateral conjugate gaze paresis, homonymous
hemianopia, aphasia, neglect, or apraxia
b. Thalamus : Contralateral sensory loss, contralateral
hemiparesis, gaze paresis, homonymous hemianopia, miosis,
aphasia, or confusion
c. Lobar : Contralateral hemiparesis or sensory loss,
contralateral conjugate gaze paresis, homonymous hemianopia,
abulia, aphasia, neglect, or apraxia
d. Nucleus kaudatus : Contralateral hemiparesis, contralateral
conjugate gaze paresis, or confusion

29
e. Batang otak : Quadriparesis, facial weakness, decreased
level of consciousness, gaze paresis, ocular bobbing, miosis, or
autonomic instability
f. Serebelum : Ataxia, usually beginning in the trunk,
ipsilateral facial weakness, ipsilateral sensory loss, gaze
paresis, skew deviation, miosis, or decreased level of
consciousness
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan
gejala klinis berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

3.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis stroke memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Hasil dari
pemeriksaan sangat penting guna menentukan tipe stroke yang akan berkaitan
dengan tatalaksana yang diberikan, sehingga kesalahan yang mengakibatkan
morbiditas bahkan mortalitas dapat dihindari.
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, nyeri kepala,
mual muntah, kejang, mulut mengot atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba
pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan
penyakit-penyakit tedahulu seperti diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-
obatan yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan
pada anamnesa.

30
Penilaian klinis yang dapat dilakukan dengan pengukuran tanda vital,
tingkat kesadaran, dan pemeriksaan fisik umum neurologis harus dilakukan pada
semua pasien stroke hemoragik. Pada pasien stroke hemoragik keadaan umum
pasien dapat lebih buruk dibandingkan dengan stroke iskemik. Pada pemeriksaan
fisik juga dapat dilakukan pemeriksaan kepala, telinga, hidung dan tenggorokan
(THT), serta ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas digunakan untuk mencari
edema tungkai yang diakibatkan trombosis vena. Pada pemeriksaan neurologis,
dilakukan pemeriksaan refleks batang otak, pemeriksaan nervus kranalis, serta
pemeriksaan refleks fisilogis dan patologis. Pemeriksaan neurologis dilakukan
dengan membandingkan sisi kanan dan kiri, serta sisi atas dan bawah untuk
menentukan luas dan lokasi lesi.
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks
patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks
Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.
American Heart Association and American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan penerapan rutin skor keparahan dasar neurologis
menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS), skor yang ada pada GCS dapat
digunakan untuk penilaian neurologis awal keparahan stroke hemoragik dengan
cepat, yang selanjutnya akan dipantau secara berkala.
Noncontrast computerized tomography (NCCT), teknik ini memiliki
sensitivitas yang sangat baik dan membutuhkan waktu yang singkat untuk
mengidentifikasi ICH sehingga di anggap sebagai standar emas dalam
mendiagnosis ICH. Selain untuk mendiagnosis ICH, NCCT dapat memberikan
elemen yang berguna seperti lokasi ICH, ekstensi intraventrikular, hidrosefalus,
derajat edema, dan kompresi batang otak sekunder akibat efek massa dari
hematoma. Volume hematoma dapat diukur dengan menggunakan medote
AxBxC/2. 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑟𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑐𝑐) = (AxBxC) : 2 Di mana A adalah
diameter terbesar hematom pada salah satu potongan CT. B adalah diameter tegak
lurus terhadap potongan CT. C adalah ketinggian vertikal hematoma. Perdarahan

31
intraserebral dengan volume lebih dari 60 cc dikaitkan dengan kematian yang
tinggi.
Pada fase subakut, hematoma mungkin isodense ke jaringan otak, dan
magnetic resonance imaging (MRI) mungkin akan diperlukan. Pemeriksaan ini
sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat sensitif). Secara
umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama untuk mendeteksi
pendarahan posterior.
Pemeriksaan pungsi lumbal digunakan apabila tidak ada CT scan atau
MRI. Pada stroke perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti
cucian daging atau berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid
didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan
perdarahan (jernih).
Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk menetukan faktor
risiko seperti darah rutin, komponen kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat,
profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah, foto toraks, EKG,
echocardiografi.

3.2.6 Penatalaksanaan
Ditujukan untuk meningkatkan aliran darah serebral dan memulihkan
herniasi yang dapat terjadi. Dapat berupa tindakan umum, terapi khusus, tindakan
bedah. Rehabilitasi dan pencegahan stroke rekuren.

1. Tindakan Umum
 Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu
bidang. Hal ini memperbaiki drainase vena, perfusi serebral, dan
menurunkan tekanan intrakranial. Elevasi kepala dapat
menurunkan tekanan intrakranial melalui beberapa cara, yaitu
menurunkan tekanan darah, perubahan komplians dada, perubahan
ventilasi, meningkatkan aliran vena melalui vena jugular yang tak
berkatup, sehingga menurunkan volume darah vena sentral yang
32
menurunkan tekanan intrakranial. Perpindahan CCS dari
kompartemen intrakranial ke rongga subaraknoid spinal mungkin
dapat menurunkan tekanan intracranial; Ubah posisi tidur setiap 2
jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
 Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Hiperventilasi setelah intubasi dan sedasi, hingga pCO
28-32 mmHg akan diperlukan jika terjadi peningkatan TIK lebih
lanjut. Hiperventilasi merupakan salah satu cara efektif untuk
mengontrol peninggian tekanan intrakranial dalam 24 jam pertama.
Target PaCO2 harus diturunkan menjadi 26-30 mmHg untuk
menghasilkan dilatasi serebral maksimal. Hal ini bermanfaat
karena daerah-daerah iskemi akan berperfusi baik. Bila PaCO2
kurang dari 20 mmHg, aliran darah akan makin turun sehingga
oksigen di otak tidak cukup tersedia. Iskemi serebral akibat TTIK
bisa pulih, namun diganti oleh iskemi serebral karena vasokontriksi
pembuluh darah serebri.
 Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya
 Jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter
intermiten).
 Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500- 2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik.
 Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik. Jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui selang nasogastric untuk mencegah adanya aspirasi pada
saat pemberian makanan.
 Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu
33
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg
% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa
40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
 Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala.
 Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan
selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal
jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: penyekat
reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Hindari
obat antihipertensi yang meningkatkan tekanan intrakranial,
terutama hydralazine, nitroprusside, dan nitro-gliserin. Pengobatan
antihipertensi akut untuk pasien dengan ICH bermanfaat dan aman
dengan kisaran target tekanan darah sistolik atau Systolic Blood
Pressure (SBP) yang optimal antara 120 dan 160 mm Hg.
 Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik
≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan
500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
 Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3
menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
2. Teapi Khusus

34
 Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol
bolus intravena 1-1.5 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas. Sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
 Digunakan asetazolamid atau furosemid yang akan menekan
produksi CSS. Asetazolamid merupakan inhibitor karbonik
anhidrase yang diketahui dapat mengurangi pembentukan cairan
serebrospinal di dalam ventrikel sampai 50%. Hasil lebih baik
dengan asetazolamid 125-500 mg/hari dikombinasikan dengan
furosemid 0,5-1mg/kgBB/hari atau 20-40 mg intravena setiap 4-6
jam.
 Pemberian steroid mekanismenya masih belum jelas. Steroid
dikatakan mengurangi produksi CSS dan mempunyai efek
langsung pada sel endotel. Deksametason dapat diberikan dengan
dosis 10 mg intravena atau 4 mg per oral 4 kali sehari. Prednison
dan metilprednisolon bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg/hari.
 Neuroprotektor
Obat-obat neuroprotector digunakan untuk melindungi neuron
yang kekurangan nutrisioksigen dari cedera ireversibel. Salah satu
agen neuroprotector yang banyak digunakan adalah citicoline.
Citicolin berfungsi dalam biosintesis membrane sel saraf sehingga
membrane menjadi stabil dan mengurangi pembentukan radikal
bebas.
3. Tindakan Bedah
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan
yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan
serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan
intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan
lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
35
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan
antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). Perdarahan
dengan volume kurang dari 10ml tidak direkomendasikan untuk dilakukan
pembedahan. Tindakan bedah yang dapat dilakukan antara lain evakuasi
perdarahan dengan kraniotomi, aspirasi stereotaktik dengan agen
trombolitik, atau evakuasi menggunakan endoskopi.
4. Rehabilitasi
Pasien dengan ICH harus dilakukan rehabilitasi untuk
meningkatkan daya fungsi dari kemampuan yang hilang/berkurang saat
terkena stroke. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi setelah 24-
48 jam pasca serangan stroke. Rehabilitasi dibawah 24 jam pasca serangan
tidak direkomendasikan.

5. Pencegahan
ICH mungkin dapat terjadi berulang. Untuk itu perlu dilakukan
kontrol pada faktor resiko yang ada pada pasien. Hipertensi merupakan
faktor resiko utama terjadinya ICH dan dapat dimodifikasi sehingga perlu
dikontrol. Perubahan gaya hidup seperti meningkatkan aktivitas fisik,
berhenti merokok, stop konsumsi alcohol dan narkotika serta diet makanan
sehat penting untuk meningkatkan Kesehatan secara keseluruhan.

36
BAB IV
ANALISA KASUS

Diagnosa pasien stroke ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan utama berupa
kelemahan pada anggota gerak kiri disertai rasa kesemutan, bicara pelo dan mulut
merot. Hal tersebut merupakan gejala stroke namun belum dapat dipastikan
jenisnya apakah hemoragik atau non hemoragik. Dilakukan anamnesis lebih
lanjutan untuk melihat apakah ada tanda peningkatan TIK yang lebih sering
terjadi pada stroke hemoragik serta faktor resiko apa saja yang ada pada pasien.
Selain keluhan di atas pasien juga mengeluh mual, muntah 2x di IGD serta nyeri
kepala yang lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Pasien tidak mengalami
kejang ataupun penurunan kesadaran. Saat ditanya mengenai faktor resiko, pasien
menderita hipertensi yang tidak terkonrol serta memiliki kebiasaan merokok.
Riwayat DM, penyakit jantung atau stroke sebelumnya disangkal. Dari
keseluruhan anamnesis tersebut didapatkan kecenderungan pasien ke arah stroke
perdarahan karena didapatkan tanda peningkatan TIK dan tidak adanya tanda
atheroma. Namun belum dapat dipastikan karena belum dilakukan CT-scan.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan
fisik umum dan pemeriksaan neurologis. Tekanan darah pasien 170/100 mmHg
yang artinya terdapat peningkatan. Pemeriksaan mata, jantung, paru, abdomen
pasien dalam batas normal. Kesadaran pasien didapatkan compos mentis dengan
nilai GCS E4V5M6. Pada pemeriksaan neurologis, tanda rangsang meningeal
tidak didapatka hasil positif. Pemeriksaan nervus kranialis yang didapatkan
kelainan adalah parese NVII fasialis sinistra tipe sentral dan parese NXII
hipoglosus. Kekuatan motoric pasien adalah 5/1/5/1, dan didapatkan refleks
patologis pada anggota gerak kiri pasien. Pada pemeriksaan fisik ini dapat
dikonfirmasi terjadi hipertensi pada pasien yang mendukung ke arah stroke
perdarahan. Ditemukannya parese pada nervus kranialis VII dan XII serta

37
kekuatan motorik yang menurun pada sisi kiri dan ditemukannya refleks patologis
menegakkan diagnosis klinis hemiparese sinistra.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Dilakukan CT scan kepala non kontras dengan hasil terdapat perdarahan pada
thalamus dan kapsula interna dextra dengan volume perdarahan sekitar 3cc. Pada
pemeriksan laboratorium darah didapatkan hasil leukosit yang meningkat yaitu
16.480 yang dihubungkan dengan adanya perdarahan pada otak.
Setelah dilakukan anamnesis, pemerksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang didapatkan diagnosis klinis pada pasien ini adalah hemiparese sinistra,
parese NVII dan XII sinistra dan hipetensi. Diagnosis topis pasien sesuai CT-Scan
kepaa non kontras ialah pada capsula interna dan thalamus dextra. Diagnosis
etiologi pada pasien ini adalah perdarahan intra serebri. Kemudian dilakukan
penatalaksanaan pada pasien berupa posisi kepala dinaikkan sekitar 30 derajat,
loading mannitol 20% sebanyak 250cc dalam 30 menit dilanjutkan 100c/4jam
habis dalam 30 menit untuk mengatasi edema serebri yang terjadi. Pemberian
cairan NS 20 tpm diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan dipilih cairan
isotonic agar tidak memperparah edema serebri yang terjadi. Injeksi asam
tranexamat diberikan untuk menghentikan perdarahannya agar tidak meluas,
injeksi neuroprotector berupa citicoline dan mecobalamin untuk menstablikan
membrane sel saraf. Untuk mengatasi keluhan mual muntah serta nyeri ulu hati
diberikan injeksi omeprazole 40mg per hari. Untuk mengontrol tekanan darahnya
diberikan amlodipine 10mg per oral.
Pasien dirawat selama 6 hari di ruang perawatan. Setiap harinya terdapat
progress yang membaik, didapatkan peningkatan kekuatan motorik selama pasien
dilakukan perawatan serta gejala yang pasien alami tidak bertambah buruk yang
berarti tidak terjadi ekspansi pada hematoma yang ada. Pasien dipulangkan pada
hari ke 7.

38
BAB V
KESIMPULAN

Stoke merupakan suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh
karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa
detik atau menit) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah
fokal di otak yang mengalami kerusakan. Stroke merupakan penyakit penyebab
kematian kedua di dunia setelah penyait jantung coroner sehingga penanganan
yang tepat dibutuhkan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.
Dibutuhkan anamnesis yang mendalam serta pemerikaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk mediagnosis penyakit stroke sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang tepat.
Pada laporan kasus ini didapatkan seorang Laki-Laki berusia 43 tahun
dengan diagnosis Intra Cerebral Hemorraghe disertai hipertensi. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta penatalaksanaan sudah dilakukan
sesuai teori sehingga hasil keluaran yang didapatkan pasien ini setelah dilakukan
perawatan cukup baik.

39
DAFTAR PUSTAKA

Affansi, IG. Panggabean, R. 2016. Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada


Stroke. CDK Journal; 43(3): 180-184.
https://cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/30

An, SJ, et al. 2017. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features of
Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke; 19(1): 3-10.
https://www.j-stroke.org/upload/pdf/jos-2016-00864.pdf

Liebeskind, DS. 2018. Intracranial Hemorrhage. Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/1163977-overview#a4

Lutsep, HL. 2021. Neuroprotective Agents in Stroke. Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/1161422-overview#a1

Morotti, A. et al. 2016. Leukocyte Count and Intracerebral Hemorrhage


Expansion. National Library of Medicine.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4879062/

Rajashekar, D. Liang, JW. 2022. Intracerebral Hemorrhage. National Library of


Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553103/

Setiawan, PA. 2021. Diagnosis dan Tatalaksana Stroke Hemoragik. Jurnal Medika
Hutama; 3 (1): 1660-1665
https://jurnalmedikahutama.com/index.php/JMH/article/view/336/234

Sinardja, CD. 2019. Management Stroke (On Ventilator) di ICU. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana.
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/32802/1/8677a6a249bd31ba65dafbfad50b
07bb.pdf

Steven M. Greenberdg, et al. 2022. 2022 Guideline for the Management of


Patients With Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline From
the American Heart Association/American Stroke Association.
https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/STR.0000000000000407

Sylaja, PN. Et al. Handbook on Stroke Rehabilitation for Physiotherapist. Sree


Chitra Tirunal Institute For Medical Sciences And Technology
Thiruvananthapuram, Kerala. https://www.sctimst.ac.in/Public%20Health
%20Education/Health%20Information/Stroke/resources/Physiotherapy
%20for%20stroke%20survivors.pdf

40
Umbas, DG. 2015. Aplikasi Sistem Skor Stroke Dave dan Djoenaidi (SSSDD)
untuk Membedakan Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik. CDK Journal;
42(9): 647-652.
https://cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/966/691

41

Anda mungkin juga menyukai