Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

Intracranial Hemorrhage + Acute Coronary Syndrome

Oleh:

Muhammad Syarif Bustomy, S.Ked

1930912310122

Pembimbing:
dr. Fakhrurrazy, M.Kes, Sp.S

DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Mei, 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. ICH............................................................................................................ 3

A. Definisi....................................................................................................3

B. Epidemiologi...........................................................................................3

C. Etiologi....................................................................................................4

D. Klasifikasi................................................................................................5

E. Faktor Risiko...........................................................................................6

F. Patogenesis............................................................................................10

G. Manifestasi Klinis.................................................................................11

H. Diagnosis...............................................................................................13

I. Penatalaksanaan....................................................................................18

J. Komplikasi............................................................................................23

K. Prognosis...............................................................................................23

2. ACS...........................................................................................................24

A. Defenisi................................................................................................24

B. Patofisiologi.........................................................................................24

C. Manifestasi Klinis................................................................................25

D. Diagnosis.............................................................................................26

E. Tatalaksana..........................................................................................29

ii
3. KRISIS HIPERTENSI............................................................................32

BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................33

BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................42

BAB V PENUTUP...............................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................53

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang menjadi penyebab utama

kematian di Indonesia. Stroke adalah penyakit neurologis umum yang

menimbulkan tanda-tanda klinis berupa defisit neurologis fokal atau global yang

timbul secara mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan

kematian tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler. Stroke dapat dibedakan

menjadi dua yaitu Stroke Hemoragik dan stroke iskemik. Stroke hemoragik

merupakan perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim

otak disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Stroke hemoragik dibedakan

menjadi dua yaitu perdarahan intraserebral (ICH) dan perdarahan subarachnoid

(SAH).1,2,3

ICH (intracerebral hemorrhage) merupakan keadaan gawat darurat medis

dengan mortalitas dan morbiditas tinggi yang terjadi pada 15-20% kasus stroke.

Stroke ICH merupakan penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh berbagai

iv
faktor risiko dan etiologi yang saling berhubungan. Stroke ICH terjadi akibat

rupturnya pembuluh darah dalam parenkim otak.1

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit

tidak menular dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam

dinding arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium

dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA).

Sindrom koroner akut disebabkan oleh aterosklerosis yaitu proses

terbentuknya plak yang berdampak pada intima dari arteri, yang

mengakibatkan terbentuknya trombus sehinggamem-buat lumen menyempit,

yang menyebab-kan terjadinya gangguan suplai darah sehigga kekuatan

kontraksi otot jantung menurun.4

Pada laporan kasus kali ini, penulis ingin menyampaikan sebuah laporan

kasus Ny. S dengan diagnosis stroke hemoragik disertai ACS yang mendapatkan

perawatan di RSUD Ulin Banjarmasin.

v
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. INTRA CRANIAL HEMORAGE

A. Definisi

Stroke merupakan penyakit neurologis umum yang menimbulkan tanda-

tanda klinis berupa defisit neurologis fokal atau global yang timbul secara

mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa

penyebab lain selain gangguan vaskuler. Stroke hemoragik ialah suatu gangguan

organik otak yang disebabkan adanya pembuluh darah di otak yang pecah atau

mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan di parenkim otak atau

ventrikel. Perdarahan tersebut dapat merusak otak dan darah dapat terakumulasi

sehingga memberikan tekanan pada otak yang dapat menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial.5,6

B. Epidemiologi

vi
Menurut data World Stroke Organization menunjukkan bahwa setiap

tahunnya ada 13,7 juta kasus baru stroke dan sekitar 5,5 juta kematian terjadi

akibat penyakit stroke. Sekitar 70% penyakit stroke dan 87% kematian dan

disabilitas akibat stroke terjadi pada negara berpendapatan rendah dan menengah.

Lebih dari empat dekade terakhir, kejadian stroke pada negara berpendapatan

rendah dan menengah meningkat lebih dari dua kali lipat. Sementara itu, kejadian

stroke pada negara berpendapatan rendah dan menengah meningkat lebih dari dua

kali lipat.7

Secara nasional, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018 berdasarkan

diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9%, atau

diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Selatan termasuk

dalam prevalensi tinggi untuk kasus stroke yaitu 12,7% pada usia ≥15 tahun.

Prevalensi stroke di Kalimatan Selatan tahun 2018 mengalami peningkatan

dibanding hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, yaitu sebesar 9,2%.

Berdasarkan kelompok umur terlihat bahwa kejadian penyakit stroke terjadi lebih

banyak pada kelompok umur 55-64 tahun (33,3%) dan proporsi penderita stroke

paling sedikit adalah pada kelompok umur 15-24 tahun. Laki-laki dan perempuan

memiliki proporsi kejadian stroke yang hampir sama. Sebagian besar penderita

stroke tinggal di daerah perkotaan sebesar 63,9%, sedangkan yang tinggal di

perdesaan sebesar 36,1%.8

C. Etiologi

Penyebab tersering yang menyebakan stroke hemoragik adalah hipertensi,

cerebral amyloid angiopathy, maformasi vaskular, angioma cavernosus, ruptur

aneurisma. Pada orang muda penyebab tersering adalah malformasi vaskular dan

vii
penyalahgunaan obat-obatan seperti kokain dan amfetamin. Pada orang-orang usia

menengah hipertensi merupakan penyebab tersering. Sedangkan cerebral amyloid

angiopathy lebih sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia.9

Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus perdarahan intraserebral. Hipertensi

merupakan etiologi dan faktor risiko utama yang paling penting dan yang dapat

dimodifikasi pada perdarahan intraserebral. Koagulopati pada pasien dengan gagal

hati ataupun karena genetik dapat menyebabkan terjadinya ICH. Pasien dengan

status slow metabolizer terhadap warfarin berisiko menderita ICH jika diberikan

terapi warfarin.10,11

D. Klasifikasi

Secara umum, stroke dibagi menjadi stroke hemoragik (perdarahan) dan

stroke iskemik (infark). Stroke iskemik terdiri dari stroke embolik dan stroke

trombotik. Stroke hemoragik terdiri atas Intracerebral Hemorrhage (ICH) dan

Subarachnoid Hemorrhage (SAH). Stroke Hemoragik merupakan perdarahan

primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak disebabkan

pecahnya pembuluh darah otak. Keadaan pasien datang dengan gejala sakit kepala

berat (peningkatan tekanan intrakranial), kesadaran pasien menurun (GCS),

muntah, kaku leher serta koma. 12

viii
Gambar 2.1 Klasifikasi Stroke

Stroke hemoragik terbagi menjadi 2, yaitu:

1) Perdarahan Intraserebral (ICH)

ICH terjadi pada hipertensi kronis yang tidak terkontrol. Terjadinya proses

degeneratif otot dan elastisitas dinding arteri pada penderita hipertensi kronis

menyebabkan peningkatan mendadak tekanan darah atau aliran darah ke otak

memicu pecahnya pembuluh darah. Penyebab ICH antara lain hipertensi,

aneurisma, malformasi arterovenous, neoplasma, gangguan koagulasi,

antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan idiopatik. ICH dapat terjadi di ganglia

basalis, cerebellum, batang otak. ganglia basalis dan pons. Sepertiga pasien yang

datang dengan kondisi ICH dalam beberapa jam pertama memiliki hematoma

yang berkembang pesat. Pertumbuhan volume hematoma dikaitkan dengan hasil

fungsional yang lebih buruk dan peningkatan angka kematian.12,13

2) Perdarahan Subarakhnoid (SAH)

Perdarahan subaraknoid merupakan suatu keadaan terdapatnya atau

masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma atau

proses sekunder dari ICH. Faktor risiko terjadi pada perokok disertai tekanan

darah tinggi dan konsumsi alkohol. Penyebab perdarahan subaraknoid antara lain

aneurisma, malformasi arteriovenous, antikoagulan, tumor, vaskulitis, dan 10%

kasus termasuk idiopatik. Pada Perdarahan subaraknoid, pasien biasanya

mengalami sakit kepala parah dan muntah yang tiba-tiba muncul tanda neurologis

non-fokal yang mungkin termasuk hilangnya kesadaran dan kaku leher.13

E. Faktor Risiko

ix
Faktor resiko terjadinya stroke dapat dikelompokkan menjadi faktor resiko

yang tidak bisa dirubah dan faktor resiko yang bisa dirubah. Faktor resiko tersebut

diantaranya14,15 :

1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah (unmodified risk factor)

a. Jenis kelamin

Insidensi stroke pada pria lebih besar 1,25 dibandingkan pada wanita.

Namun, karena usia wanita relative lebih panjang daripada pria, maka angka

kematian oleh karena stroke pada wanita lebih tinggi dibanding pria.

b. Usia

Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan

bertambahnya usia yang secara tidak langsung juga meningkatkan kemungkinan

untuk terserang stroke. Berdasarkan statistik yang didapatkan dari tahun ke tahun,

diketahui bahwa resiko terjadinya stroke pada seseorang meningkat sebanyak 2x

lipat setelah menginjak usia 55 tahun. Hal ini berkaitan dengan adanya proses

degenerasi (penuan) serta penurunan elastisitas pembuluh darah pada lanjut usia

yang seringkali dikarenakan oleh kondisi aterosklerosis.

c. Ras

Orang berkulit hitam mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan orang

berkulit putih.

d. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga / hereditas sangat berperan pada beberapa faktor resiko

terjadinya stroke seperti diabetes dan penyakit jantung.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah (modified risk factor)

a. Obesitas

x
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi, diabetes dan

hyperlipidemia yang juga merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Obesitas

merupakan salah satu faktor resiko utama pada penyakit kardiovaskular.

b. Hipertensi

Hipertensi merupakan etiologi yang paling penting dan dapat dimodifikasi

pada perdarahan intraserebral. Penderita hipertensi yang tidak mendapatkan terapi

memiliki risiko yang lebih berat dibandingkan penderita hipertensi yang

mendapatkan terapi.

c. Hiperlipidemia

Tinggi nya kadar kolesterol dalam darah dapat merusak dinding pembuluh

darah dan juga menyebabkan penyakit jantung coroner. LDL yang tinggi dapat

mengakibatkan penimbunan kolesterol di dalam sel yang dapat memicu terjadinya

pengerasan dinding pembuluh darah arteri yang disebut aterosklereosis. Kadar

kolesterol total >200 mg/dl meningkatkan risiko stroke 1,31 – 2,9 kali.

d. Diabetes

Pada penderita diabetes mellitus, terjadi hiperviskositas darah, kerusakan

kronik aliran serta autoregulasi darah otak, disfungsi sel endotel,

hiperkoagulabilitas, terganggunya sintesa prostasiklin yang menyebabkan

meningkatnya agregasi trombosit, serta kemungkinan disfungsi otot polos

arterioler kortikal dan endotelium yang penting untuk kolateral.

e. Penyakit kardiovaskular

Berbagai penyakit kardiovaskular dapat meningkatkan resiko stroke. Yang

paling sering adalah atrial fibrilasi (AF), Hampir setengah dari stroke kardio

emboli adalah disebabkan oleh AF, karena memudahkan terjadinya

xi
penggumplana darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh

darah di otak. Selain AF, penyakit katup jantung juga cukup berperan seperti

stenosis mitral. Left atrial enlargement juga merupakan faktor resiko pada stroke.

Menurut study oleh Framingham, setiap penambahan 10mm pada ukuran atrial

kiri, akan meningkatkan resiko stroke dua kali lipat.

f. Alkohol

Peningkatan konsumsi alkohol akan meningkatkan resiko terjadi nya

perdarahan otak, selain itu alkohol juga dapat mengganggu metabolism tubuh,

sehingga terjadi dyslipidemia, diabetes mellitus, mempengaruhi berat badan dan

tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lainnya. Konsumsi

alkohol berlebihan meningkatkan resiko terkena stroke 2-3 kali.

g. Merokok

Merokok dapat meningkatkan resiko stroke hingga 50%. Aktivitas merokok

menstimulasi terjadinya aterosklerosis lewat zat- zat yang dikandungnya, seperti:

nikotin dan karbon monoksida yang merusak dinding pembuluh darah sehingga

kolesterol dan platelet terprofokasi untuk menempel pada dinding tersebut dan

membentuk plak patologis.

h. Penggunaan Antikoagulan

Intensitas  antikoagulani: INR> 4.0 secara konsisten dikaitkan dengan

peningkatan risiko perdarahan intrakranial. Namun sebagian besar ICH terjadi

pada nilai INR dalam kisaran terapeutik 2.0-3.0. Adapun faktor predisposisi lain

yang mengaitkan penggunaan antikoagulan oral dengan terjadinya ICH yaitu

riwayat medis stroke iskemik atau hemoragik sebelumnya, penanda penyakit

pembuluh darah kecil otak kecil seperti microbleeds, pengobatan antiplatelet

xii
bersamaan. Genetik: alel APO e2 dan e4 telah dikaitkan dengan peningkatan

risiko ICH lobar.

F. Patogenesis

Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial hemorrhage,

hematoma expansion dan peri-hematoma edema.16

1. Fase initial hemmorhage

Fase initial hemmorhage terjadi akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi

kronis, akan menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah.

Perubahan patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa

hipohialinosis, nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan

tekanan darah dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung,

dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan.

Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase

hematoma expansion).  

2. Fase hematoma expansion

Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis mulai timbul seperti

peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan

mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-barrier.

Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya inflamasi

sekunder dan terbentuknya edema serebri 

3. Fase peri-hematoma edema

xiii
Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma

expansion, akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume

perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan

intracranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta

terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta

kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-

neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan

defisit neurologis pun akan semakin berkembang.

G. Manifestasi Klinis

Gejala klinis stroke tergantung dari arteri apa yang mengalami

oklusi/sumbatan, sistem anterior atau sistem posterior. Tanda dan gejala

peringatan stroke dari AHA/ASA adalah FAST, yaitu:17

1. Face dropping (wajah turun)

2. Arm weakness (kelemahan tangan)

3. Speech difficulty (kesulitan bicara)

4. Time to call 911 (waktunya untuk menelepon 911) apabila ditemukan salah

satu gejala dari gejala tersebut, bahkan apabila gejalanya berkurang.

Gambar 2.2 Tanda Stroke Berdasarkan FAST

xiv
Cara lain yang mudah untuk mengingat tanda-tanda stroke adalah metode

6S. Metode 6S untuk mendiagnosis stroke, yaitu :18

1. Sudden (gejala biasanya muncul tiba-tiba)

2. Slurred Speech (bicara tidak jelas)

3. Side Weak (wajah, lengan, atau kaki atau ketiganya bisa menjadi lemah)

4. Spinning (vertigo)

5. Severe headache (sakit kepala berat)

6. Seconds (catat waktu ketika gejala muncul dan segera ke rumah Sakit)

Pasien ICH biasanya datang dengan serangan tiba-tiba dengan defisit

neurologis fokal, yang sering dikaitkan dengan gejala dan tanda-tanda tekanan

intrakranial yang meningkat, termasuk sakit kepala, mual, muntah, hipertensi,

takikardia atau bradikardia, dan penurunan tingkat kesadaran yang mana dapat

berkembang menjadi koma akibat herniasi otak jika tidak mendapat penanganan

lebih lanjut. Lebih dari 20% pasien ICH akan memburuk dengan penurunan 2

poin atau lebih skor GCS antara penilaian awal oleh layanan medis darurat (EMS)

dan kedatangan ke bagian darurat (ED/ IGD) Terdapat 15-23% pasien lainnya

akan terus memburuk dalam beberapa jam pertama rawat inap mereka.19

Defisit neurologis fokal yang terjadi tergantung dari lokasi perdarahan

tersebut, yaitu seperti berikut ini:20

a. Hemisfer kanan : Hemiparesis kiri, hipesthesia kiri, buta mata kiri, afasia

b. Hemisfer kiri : Hemiparesis kanan, hipesthesia kanan, buta mata kanan

c. Serebellum : Penurunan kesadaran drastis, apneu dan kematian, ataksia

ipsilateral, merot

d. Putamen : Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontralateral,

xv
hemianopsia homonim, afasia, apraksia

e. Thalamus : Hemiparesis kontralateral, hipethesia kontralateral,

hemianopsi homonym, afasia, miosis, kebingungan

f. Nukleas kaudatus : Hemiparesis kontralateral, kebingungan

g. Batang otak : Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran, miosis,

instabilitas autonomik, okular bobbing

H. Diagnosis

Diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Anamnesis untuk menentukan stroke adalah bertanya mengenai onset (akut

atau kronis), adanya tanda defisit neurologi fokal (lumpuh separuh, kesemutan

separah badan, gangguan penglihatan, tidak bisa bicara, dll), berapa kali serangan

yang dialami, mencari faktor risiko penyakit vaskular seperti diabetes, hipertensi,

dislipidemia dan lainnya serta dipastikan tidak ada riwayat trayma sebelumnya.

Untuk membedakan antara stroke iskemik atau hemoragik dengan cara bertanya

mengenai sakit kepala sebelum kelemahan, permulaan serangan saat pasein baru

bangun tidur atau saat melakukan aktivitas, perjalanan gejala, muntah, kejang dan

penurunan kesadaran.21

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran (pada pemeriksaan

GCS), selain itu untuk pemeriksaan tanda vital juga harus dilakukan. Pemeriksaan

neurologis akan terdapat kelemahan / kelumpuhan pada sesisi / kedua sisi atau

satu ekstremitas. Selain itu, bisa terdapat adanya parese pada nervus kranialis,

xvi
defisit sensorik, gangguan otonom ataupun gangguan neurobehavioral (seperti

gangguan atensi, gangguan memory, gangguan bicara verbal, ganggaun

pemahaman bicara, gangguan kognitif lainnya). Pemeriksaan fisik dari kepala

hingga kaki juga dilakukan terutama pemeriksaan jantung untuk menemukan

adanya kemungkinan faktor resiko.21,22

3. Pemeriksaan Penunjang

Untuk ketepatan dalam mendiagnosis stroke, ada beberapa pemeriksaan

penunjang yang bisa dilakukan, yaitu:

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan seperti pemeriksaan kadar

gula darah, elektrolit serum dan faal ginjal, darah lengkap, dan faal homeostasis.

Pemeriksaan gula darah sangat diperlukan karena diabetes mellitus merupakan

salah satu faktor resiko utama stroke. Tingginya kadar gula darah pada stroke akut

berkaitan pula dengan tingginya angka kecacatan dan kematian. Selain itu, dengan

pemeriksaan dapat diketahui adanya hipoglikemia yang memberikan gambaran

klinik menyerupai stroke.21

Pemeriksaan elektrolit serum dan faal ginjal perlu dilakukan, terutama

berkaitan dengan kemungkinan pemberian obat osmoterapi pada pasien stroke

yang disertai peningkatan tekanan intrakranial, dan keadaan dehidrasi. Pada

keadaan terjadi gangguan fungsi ginjal pemberian obat lsmoterapi (mannitol)

tidak boleh diberikan.21

b. Pemeriksaan Radioimaging

Pemeriksaan radioimaging yang biasa dilakukan adalah CT-Scan kepala dan

MRI serta foto toraks. Pemeriksaan foto toraks berguna untuk menilai besar

xvii
jantung yang berhubungan dengan hipertensi kronis atau penyakit jantung yang

merupakan faktor resiko stroke. Pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras harus

dilakukan sesegera mungkin setelah pasien tiba di ruang gawat darurat.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI merupakan Gold Standart dalam diagnose stroke.

Pada CT-Scan atau MRI dapat memberikan informasi tentang lokasi, ukuran

infark, perdarahan dan apakah perdarahan menyebar ke ruang intraventricular,

serta dapat membantu perencanaan operasi. 21

Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa

saat setelah serangan yang belum kelihatan pada pemeriksaan CT-Scan. Pada

pendarahan intraserebral, pemeriksaan ini cukup rumit serta memerlukan waktu

yang lama sehingga kurang bijaksana dilakukan pada stroke perdarahan akut.

Angiografi biasanya dilakukan pada kasus yang selektif terutama pada perdarahan

intraserebral non hipertensi, perdarahan multiple, perdarahan yang letaknya atipik.

Untuk mencari kemungkinan AVM, aneurisma atau tumor sebagai penyebab

perdarahan intraserebral.21

c. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) berhubungan dengan kemungkinan

iskemia dan aritmia jantung serta penyakit jantung lainnya, sebagai penyebab

stroke, maka pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien stroke akut. 21

Jika sarana pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan tidak tersedia, maka

untuk diagnosis stroke bisa ditegakkan menggunakan skoring, yaitu:

a. Skor Stroke Siriraj

Skor Stroke Siriraj untuk membedakan stroke iskemik dan stroke

perdarahan.21

xviii
Tabel 2.1. Kriteria Siriraj Stroke Score

Variabel Gejala Klinis Skor


Derajar Kesadaran Sadar 0
Apatis 1
Koma 2
Ya 1
Muntah Tidak 0
Sakit Kepala Ya 1
Tidak 0

Tanda – Tanda Ateroma


1. Angina Pektoris Ya 1
Tidak 0
2. Claudicatio Ya 1
Intermitten Tidak 0
3. Diabetes Mellitus Ya 1
Tidak 0
Rumus : [(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x
tekanan darah diastolik) – (3 x tanda atheroma) – 12
Keterangan : Skor < -1 : kemungkinan stroke iskemik
Skor > 1 : kemungkinan stroke hemoragik

b. Algoritma Gajah Mada

Algoritma Skor Stroke Gadjah Mada mengklasifikasikan stroke berdasarkan

ada tidaknya penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks Babinski.21

xix
Gambar 2.3 Algoritma Gajah Mada

c. National Institute of Health Stroke Score (NIHSS)

NIHSS mengklasifikasikan tingkat keparahan stroke berdasarkan tingkat

kesadaran, gerakan mata, lapang pandang, kelemahan wajah, lengan, dan tungkai,

ada tidaknya ataksia, fungsi sensorik, bahasa, bicara dan inatensi.23

Tabel 2.2 Tingkat Keparahan Strok Berdasarkan NIHSS


Scores Stroke Severity
0 No Stroke Symptom
1–4 Minor Stroke
5 – 15 Moderate Stroke
16 – 20 Moderate to Severe Stroke
21 – 42 Severe Stroke

Tabel 2.3 Kriteria National Institute of Health (NIH) Stroke Score

I. Penatalaksanaan

xx
Prinsip tatalaksana stroke memiliki tujuan utama yaitu mencegah kerusakan

otak yang bersifat irreversible, mencegah komplikasi, mencegah kecacatan yang

lebih berat, mencegah serangan ulang. Penatalaksanaan stroke meliputi

tatalaksana umum, tatalaksana khusus dan rehabilitasi.21

Penatalaksnaan stroke meliputi:21

 Penatalaksanaan Umum

1. Breath

Menjaga agar fungsi pernapasan dan oksigenasi adekuat terutama pada

pasien dengan penurunan kesadaran.

2. Blood

Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat hingga normotensi pada stroke

fase akut harus dihindarkan karena dapat menurunkan perfusi ke otak.

- Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level

of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure

(MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat

antihipertensi intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah

setiap 5 menit.

- Bila tekanan sistolik >180 mmHg, atau MAP >130 mmHg dan ada bukti

peninggian TIK, turunkan TD dengan target CPP >60-80 mmHg.

- Bila tekanan sistolik >180 mmHg, atau MAP >130 mmHg dan tidak ada bukti

peninggian TIK, turunkan TD dengan target TD 160/90 mmHg atau MAP 110

mmHg, monitor TD setiap 15 menit.

xxi
- Pada fase akut tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari

tekanan darah arteri rerata.

- Bila tekanan sistolik <180 mmHg dan tekanan diastolic <105 mmHg,

tangguhkan pemberian obat anti-hipertensi.

- Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah harus

dipertahankan dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.

- Bila tekanan darah arterial sistolik turun <90 mmHg harus diberikan obat

menaikkan tekanan darah. Obat-obat vasopressor yang dapat digunakan antara

lain, fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian obat-obat tersebut

diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal,

yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi stroke akut.

3. Brain

Penurunan kesadaran dapat dipantau dengan GCS serta tanda-tanda vital

serta waspada agar jangan sampai mengalami aspirasi. Apabila ada kejang segera

diatasi. Pada perdarahan intraserebral, terapi antiepilepsi profilaksis (lebih disukai

pemakaian phenytoin dengan dosis titrasi tergantung kadar obat dalam darah (14-

23 gr/ml), diberikan selama satu bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan

bila tidak ada kejang selama pengobatan. Untuk menurunkan tekanan intrakranial

yang meningkat dapat dilakukan dengan cara tirah baring dengan kepala

ditinggikan 20-30 derajat, hipotermi, hiperventilasi dengan ventilasi, pemberian

mannitol 20% 100 ml. Suhu tubuh pasien juga harus dipertahakan dalam keadaan

normal. Pada perdarahan intraserebral sangat sering terjadi panas dan harus segera

diterapi. Peningkatan suhu telah dibuktikan memperburuk prognosa.

4. Bowel

xxii
Nutrisi enteral harus segera dimulai setelah 48 jam untuk mencegah

terjadinya malnutrisi. Bisa juga memakai NGT untuk mengurangi risiko

terjadinya aspirasi. Gastroprotektor dapat diberikan jika diperlukan.

5. Bone and body skin

Dengan cara mengubah posisi tidur miring kiri dan kanan secara

bergantian tiap selang waktu beberapa jam hal ini dilakukan untuk mencegah

komplikasi seperti decubitus, postural pneumoni dll.

 Penatalaksanaan spesifik24,25

- Koreksi koagulopati (PCC/Prothrombine Complex Concentrate, jika

perdarahan karena antikoagulan)

- Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium Antagonist,

Beta Blocker, Diuretik)

- Manajemen gula darah (insulin, antidiabetic oral)

- Pencegahan stroke hemoragik (manajemen faktor risiko)

- Neuroprotektor

1) Piracetam
 Indikasi: untuk stroke iskemik, sebaiknya diberikan dalam 7 jam sejak
onset.
 Kontraindikasin: hipersensitivitas, gangguan fungsi ginjal berat
(creatinine clearance <20ml/menit)
 Dosis: 12g/infus habis dalam 20 menit, dilanjutkan 3g/6jam bolus iv.
2) Citicholin
 Indikasi : stroke iskemik (<24 jam pertama dari onset) dan stroke
hemoragik
 Kontraindikasi : hipersensitivitas
Dosis :

xxiii
- Stroke Iskemik : 250-1000mg/hari iv terbagi dalam 2-3 kali/hari,
selama 2-14 hari
- Stroke Hemoragik : 150-200mg/hari iv terbagi dalam 2-3 kali/hari,
selama 2-14 hari
- Perawatan di unit stroke

- Neurorestorasi/neurorehabilitasi

- Tindakan operatif:

a. Kraniotomi evakuasi hematom, sesuai indikasi. Evakuasi hematoma

dilakukan pada perdarahan hemisfer yang lebih dari 60 ml dan perdarahan

serebral yang berdiameter lebih besar dari 3 cm.

b. Kraniotomi evakuasi hematom, sesuai indikasi

c. VP Shunt / external drainage, sesuai indikasi IVH terjadi pada hampir

setengah dari pasien dengan ICH, terutama pada pasien dengan hematoma

dalam, dan merupakan prediktor independen untuk hasil yang buruk.

Penempatan EVD direkomendasikan untuk pasien dengan hidrosefalus,

koma, dan IVH signifikan, untuk drainase darah dan cairan serebrospinal

dan menghindari peningkatan TIK yang signifikan. Sebuah meta-analisis

terbaru menunjukkan bahwa penempatan EVD dalam hubungannya

dengan obat trombolitik dikaitkan dengan penurunan mortalitas dan hasil

yang lebih baik.

 Penanganan edema otak pada stroke26

1) Cairan Hipertonis

Cairan hipertonis biasa diberikan jika terjadi peninggian tekanan

intrakranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak. Manitol 20% per infus dengan

xxiv
dosis 1-1,5 g/kgBB pada dewasa atau 1-3 g/kgBB pada anak-anak diberikan

dalam 30-60 menit.

2) Diuretika

Digunakan asetazolamid atau furosemid yang akan menekan produksi

CSS. Asetazolamid merupakan inhibitor karbonik anhidrase yang diketahui dapat

mengurangi pembentukan cairan serebrospinal di dalam ventrikel sampai 50%.

Hasil lebih baik dengan asetazolamid 125-500 mg/hari dikombinasikan dengan

furosemid 0,5-1mg/kgBB/hari atau 20-40 mg intravena setiap 4-6 jam.

3) Steroid

Mekanismenya masih belum jelas. Steroid dikatakan mengurangi produksi

CSS dan mempunyai efek langsung pada sel endotel. Deksametason dapat

diberikan dengan dosis 10 mg intravena atau 4 mg per oral 4 kali sehari.

Prednison dan metilprednisolon bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg/hari.

4) Tindakan Bedah

Tergantung penyebabnya, perlu dipertimbangkan tindakan dekompresi

berupa kraniotomi atau shunting.

J. Komplikasi

Stroke adalah penyebab kematian dan disabilitas pertama di Indonesia.

Stroke memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan akurat untuk mencegah dan

menghindari terjadinya kecacatan bahkan kematian. Edema otak, jantung,

pneumonia, gagal ginjal, gagal napas, disfagia, dan depresi adalah komplikasi

sangat umum pada pasien stroke. 27

xxv
K. Prognosis

Angka kematian stroke berkisar antara 20 – 30%. Penyebab kematian ini

terjadi pada minggu pertama setelah serangan terutama disebabkan oleh herniasi

otak. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa stroke adalah:28

a. Usia : mempunyai nilai negative terhadap prognosa pasien stroke.

b. Riwayat stroke sebelumnya dan atrila fibrilasi berpengaruh negative terhadap

prognosa pasien stroke.

c. Lokasi dan besarnya lesi.

Perdarahan intraserebral masih merupakan penyakit dengan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Skor ICH, skala penilaian klinis sederhana, dapat

membantu stratifikasi risiko. pasien dengan skor ICH tinggi memiliki angka

kematian yang tinggi.8

Gambar 2.4. Skor ICH


2. ACUTE CORONARY SYNDROME

A. Defenisi

Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard

yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,

perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker

jantung. Pada SKA terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri

xxvi
koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP

(Unstable Angina Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non-ST

Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct

(STEMI). Sindrom Koroner Akut (SKA) disebabkan oleh peningkatan kebutuhan

oksigen, transpor oksigen darah berkurang dan yang paling sering yaitu

pengurangan aliran koroner karena penyempitan atau obstruksi arteri yang

disebabkan oleh aterosklerosis.29,30

B. Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh

darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan

komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.

Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur

koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus

ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun

parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih

distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi

sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah

koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti

selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis

(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total

pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang

dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung

(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas

xxvii
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),

distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi

ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan

di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal

dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri

koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak

atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor

ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat

menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak

aterosklerosis.31

C. Manifestasi Klinis

Tingkat dimana arteri koroner tersumbat biasanya berkorelasi dengan gejala

yang timbul dan variasi dalam marker jantung serta temuan elektrokardiografi.

Angina, atau nyeri dada, terus dianggap sebagai gejala klasik SKA. Pada angina

tidak stabil, nyeri dada biasanya terjadi baik pada saat istirahat atau saat

beraktivitas dan hasilnya adalah terbatasnya kegiatan. Nyeri dada yang

berhubungan dengan NSTEMI biasanya durasinya lebih panjang dan rasa nyeri

dada lebih parah dibandingkan dengan angina tidak stabil. Dalam kedua kondisi,

frekuensi dan intensitas nyeri dapat meningkat jika tidak diselesaikan dengan

istirahat, nitrogliserin, dan dapat bertahan lebih lama dari 15 menit. Nyeri bisa

terjadi dengan atau tanpa radiasi ke leher, lengan, punggung, atau daerah

epigastrium. Selain angina, pasien dengan SKA juga hadir dengan sesak napas,

diaforesis, mual, dan kepala yang terasa ringan. Perubahan tanda vital, seperti

xxviii
takikardi, tachypnea, hipertensi, atau hipotensi, dan penurunan saturasi oksigen

(SaO2) atau kelainan irama jantung dapat juga terjadi.29

Iskemia pada kasus SKA dapat juga terjadi tanpa tanda-tanda dan gejala-

gejala yang jelas yang disebut silent iskemia. Framingham Heart Study

menemukan bahwa 50% pasein yang didiagnosa infark miokard mengalami silent

iskemia dan tidak terdapat sama sekali gejala-gejala klasik SKA. Pada populasi

saat ini lebih banyak yang mengalami silent iskemia termasuk pasien dengan

diabetes mellitus, wanita, lansia, dan pasien dengan riwayat gagal jantung.

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina

yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat

atau lebih lama, mungkin itmbul pada waktu istirahat atau timbul karena aktifitas

yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai

muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani

seringkali tidak ada yang khas.29

D. Diagnosis

1. Anamnesis31

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang

tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal

berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,

rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal

sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri

abdominal, sesak napas, dan sinkop.

2. Pemeriksaan fisik31

xxix
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus

iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis

banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus

dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi

iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,

diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan

terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak

seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri

pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam

memikirkan diagnosis banding SKA.

3. Pemeriksaan elektrokardiogram31

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah

kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat

dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Mayoritas pasien

dengan SKA akan memiliki EKG yang tidak normal pada beberapa stadium. EKG

yang awalnya normal tidak menentukan diagnosis, karena perubahan EKG dapat

terjadi, berkembang, dan berubah dengan cepat. Pemeriksaan EKG sebaiknya

diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai

pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,

nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru,

elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau

depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

4. Pemeriksaan marka jantung31

xxx
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka

nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.

Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya

menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk

menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).

Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner

seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,

miokarditis/perikarditis.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T

menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan

hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat

ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah

pemeriksaan pertama.

E. Tatalaksana

Tujuan utama untuk perawatan SKA adalah untuk menghindari iskemia

berlanjut, membatasi kerusakan miokard, mengurangi insiden disfungsi

ventrikular kiri, gagal jantung dan kematian. Hal ini dicapai dengan identifikasi

dini pada pasien yang memerlukan revaskularisasi dan perawatan komplikasi-

komplikasi iskemik meliputi aritmia (FV/TV dan bradikardia), gagal jantung dan

syok. Awalnya, semua pasien dengan SKA, perawatan gawat darurat terdiri dari

xxxi
meringankan gejala, pemberian agen-agen antitrombotik, dan terapi reperfusi

sedini mungkin untuk kemungkinan STEMI.31

a. Prioritasnya adalah:32

- Membuat akses vena dengan di vena lengan untuk pemberian obat, dan

pemantauan ritme untuk membantu dalam deteksi cepat dan perawatan aritmia.

- Pemberian analgesia yang cukup, merupakan hal yang penting. Nyeri tidak

terkontrol dan kecemasan berkaitan dengan aktivasi simpatetik, dengan hasil efek-

efek detrimental pada kerja jantung, konsumsi oksigen dan ambang batas aritmia.

Pilihannya adalah diamorfin IV 2,5-5,0 mg diberikan dengan antiemetik IV. Dosis

harus diulang setiap 5 menit sampai analgesia yang memadai tercapai. Jika

pemberian ulang diamorfin gagal untuk mengurangi nyeri, beta-bloker IV atau

nitrat harus dipertimbangkan.

- Obati edema paru dengan furosemid IV 40-80 mg. Jika edema paru parah, infus

nitrat IV harus dimulai.

- Pertimbangkan tambahan oksigen. Hipoksia adalah hal yang umum pada pasien

dengan infark yang sedang berkembang, dan bisa meningkatkan nekrosis miokard

atau efek-efek metabolik yang parah.

- Awali perawatan dengan antiplatelet oral. Aspirin (muatan dosis 300 mg) dan

thienopiridin (saat ini biasanya klopidogrel 600 mg).

- Pasien STEMI harus segera dipertimbangkan untuk terapi reperfusi. Idealnya ini

harus IKP primer, namun jika tidak tersedia, trombolisis dengan agen-fibrin

spesifik harus digunakan.

- NSTEMI harus diobati dengan heparin bobot molekular rendah (LMWH) dan

anti angina seperti beta-bloker, antagonis saluran kalsium dan nitrat. Jika pasien

xxxii
berada pada risiko yang tinggi, penghambat glikoprotein IV (Gp) IIb/IIIa bisa

dipertimbangkan. Pemantauan irama jantung dan EKG lead-12 pada pasien harus

terus menerus dan berulang-ulang selama nyeri terasa. Jika elevasi ST

berkembang maka harus diperlakukan sebagai pasien STEMI. Jika tetap sakit

meskipun diberikan pengobatan yang memadai maka harus dipertimbangkan

untuk angiografi koroner yang mendesak dengan maksud untuk revaskularisasi.

b. Evaluasi untuk reperfusi

Langkah 1: Menilai waktu dan risiko:

- Sejak timbulnya gejala

- Risiko STEMI (skor risiko TIMI untuk STEMI)

- Risiko fibrinolisis

- Waktu yang diperlukan untuk transportasi ke ahli IKP untuk rangkaian

kateterisasi (kontak medis pertama/ waktu door-to-balloon)

Langkah 2: Pilih strategi reperfusi (Fibrinolisis atau invasif)

Tabel 2.4 Memilih strategi reperfusi

xxxiii
Tabel 2.5 Kontraindikasi terapi fibrinolitik

Trombolisis meningkatkan risiko stroke dalam 24 jam awal setelah

perawatan, namun ini diluar dari penurunan yang besar dalam kematian selama

perawatan. Stroke sangat umum pada pasien yang sudah tua. Jika stroke muncul,

terapi trombolitik atau antikoagulan harus dihentikan.32

III. KRISIS HIPERTENSI

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat berkembang menjadi krisis hipertensi

berupa kerusakan di organ-organ sasaran yang terkait (target organ damage).

Krisis hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah secara akut dan

progresif (sistolik ≥ 180 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 120 mmHg) yang

membutuhkan penanganan segera.Gejala dan kerusakan organ target yang

xxxiv
disebabkan meningkatnya tekanan darah tidak selalu berhubungan dengan

tingginya tekanan darah. Krisis hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi :33

a. Hipertensi emergensi

Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah ≥

180/120 mmHg yang berhubungan dengan kerusakan organ target (retina, ginjal,

jantung dan otak) yang progresif seperti diseksi aorta, edema paru akut, infark

miokard akut, unstable angina pectoris, acute kidney injury, ensefalopati

hipertensi, infark serebral, perdarahan intrakranial, dan gagal jantung kiri akut.

Hipertensi emergensi memerlukan penurunan tekanan darah secepat mungkin

(dalam menit sampai 2 jam) untuk mencegah atau mengurangi kerusakan organ

target.

b. Hipertensi Urgensi

Hipertensi urgensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah ≥

180/120 mmHg yang tidak disertai dengan kerusakan organ target. Hipertensi

urgensi dapat terjadi tanpa gejala (asimtomatik) maupun dengan gejala seperti

epistaksis dan nyeri kepala hebat. Penurunan tekanan darah diharapkan terjadi

dalam kurun waktu 24-48 jam.

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama pasien : Ny. S

Umur : 56 tahun

xxxv
Alamat : Jl.Manga besar Gg.Mangga dua no.107, Batu Licin

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status perkawinan : Sudah menikah

Pekerjaan : IRT

Masuk RS : 9 Mei 2021 (IGD)

9 Mei 2021 (Stroke Center)

No. RM : 1-47-32-30

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien pada

tanggal 9 Mei 2021 pukul 16.30 WITA.

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien adalah rujukan dari RS Tanah Bumbu. Pasien datang ke IGD RSUD

Ulin pada hari minggu pukul setengah 5 sore. Pada sabtu malam jam setengah 12

pasien mengeluhkan nyeri kepala dan meminum obat bintang tujuh. Setelah

meminum obat pasien ke kamar mandi dan setelah itu pasien menggigil. Pada saat

itu, suami pasien langsung ingin mengantar ke rumah sakit, namun pasien

menolak. Pada pukul 3 subuh, pasien mengeluhkan sesak nafas, nyeri dada kiri

dan kelemahan pada tubuh bagian kanan. Setelah beberapa menit pasien mulai

mengalami penurunan kesadaran, pada pukul 5 subuh hari minggu pasien di antar

ke IGD RS tanah bumbu, namun karena dokter spesialis saraf tidak ada, pasien

kemudian di rujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin.

xxxvi
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun lalu, namun tidak rutin

meminum obat. Pasien tidak memiliki penyakit kencing manis. Pasien tidak

memiliki riwayat penyakit jantung. Kolesterol pasien juga tinggi namun tidak

pernah minum obat. Pasien pernah mengalami stroke penyumbatan 2 tahun lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga menderita hipertensi, kencing manis ataupun jantung tidak

diketahui. Pasien memiliki 12 saudara, 3 diantaranya pernah mengalami stroke.

Riwayat Kebiasaan :

Aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, suka makan makanan asin,

makanan bersantan, dan berlemak. Pasien tidak merokok ataupun meminum

alkohol.

Riwayat Alergi dan Intoksikasi Obat :

Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan.

C. Pemeriksaan (Dilakukan pada tanggal 9 Mei 2021)

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Delirium / GCS E2V2M5

Bentuk badan : Normal

Tanda Vital : Tekanan darah : 214/179 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu : 36,8°C

xxxvii
SpO2 : 97 % on nasal canul 4lpm

VAS :-

Kepala : Normosefali, massa/tumor (-), ptosis (-), konjungtiva pucat (-),

sklera ikterik (-), pupil isokor diameter 2 mm/2 mm, refleks

cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+),

refleks kornea (+/+), bibir pucat (-), bibir asimetris.

Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

Dada: Paru: Inspeksi: bentuk normal, pectus carinatum/exavatum (-)

Palpasi: fremitus vokal simetris

Perkusi: sonor

Auskultasi: suara nafas dasar vesikuler, wheezing - ,

rhonki -
-
-

-
Jantung : Inspeksi: iktus -kordis tidak terlihat
-
Palpasi: iktus kordis teraba -
-
-
Perkusi: batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra,
-
batas pinggang- jantung ICS II parasternalis sinistra, batas apex

jantung ICS V axillaris anterior sinistra

Auskultasi: SI dan SII normal, gallop (-) murmur (-)

Abdomen : Inspeksi: tampak datar

Auskultasi: bising usus (+) 5x permenit

Perkusi: timpani semua regio abdomen

Palpasi supel, nyeri tekan (-), hepar, lien dan massa tidak teraba,

shifting dullness (-), undulasi (-)

xxxviii
Ekstremitas : Akral hangat, atrofi (-/-), klonus (-/-), edema (-/-).

2. Status Neurologis

Meningeal sign : Kaku kuduk (-) Laseque sign (-/-) Brudzinski 1 (-/-)

Brudzinski 2 (-/-) Brudzinski 3 (-/-) Brudzinski 4 (-/-)

Refleks fisiologis : Biceps (+3/+3), triceps (+2/+2), achilles (+2/+2), patella

(+2/+2)

Refleks patologis : Babinski(-/-), Chaddock(-/-), Gonda(-/-), Oppenheim (-/-),

Hoffman (-/-), Tromner (-/-), Gordon (-/-), Schaeffer (-/-)

4 5
Motori
k 4 5
BT B Eutoni Eutoni
Gerak Tonus
BT B Eutoni Hiper

sde sde
Sensibilita - -
s sde sde Atrofi
- - Klonus (-)

3. Pemeriksaan nervus cranialis

Nervus Cranialis Kanan Kiri


N. I Daya Penghidu sde Sde
Daya Penglihatan (+) (+)
Medan Penglihatan (+) (+)
N. II
Pengenalan warna Sde sde
Ptosis (-) (-)
DEM (-) (-)
Ukuran Pupil 2 mm 2 mm
N. III Bentuk Pupil Bulat Bulat
N. IV Refleks Cahaya (+) (+)
N. VI Refleks Akomodasi (+) (+)

Menggigit sde Sde

xxxix
Membuka Mulut sde Sde
Sensibilitas Muka sde sde
N. V
Refleks Kornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
Kedipan Mata (+) (+)
Lipatan Nasolabial Simetris

Sudut Mulut Deviasi ke kiri

Mengerutkan Dahi sde sde


N. VII
Mengangkat Alis sde sde
Menutup Mata (+) (+)
Tersenyum
sde

Mendengar Suara Berbisik sde sde


N. VIII
N. IX Refleks Muntah (+)
Suara Sengau sde
Tersedak sde
N.X Bersuara sde
Menelan sde
Memalingkan Kepala sde sde

N. XI Sikap Bahu sde sde


Mengangkat Bahu sde sde

N.XII Tremor Lidah sde


Menjulurkan Lidah sde

4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rapid antigen SARS COV-2 (9 Mei 2021)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Rapid Antigen SARS COV-2 Negatif Negatif

xl
Kesimpulan Negatif

b. Pemeriksaan laboratorium darah (9 Mei 2021)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,1 14,0 - 18,0 g/dL
Leukosit 18,6* 4,0 - 10,5 ribu/uL
Eritrosit 5,15 4,10 - 6,00 juta/uL
Hematokrit 42 42,0 - 52,0 vol%
Trombosit 317 150 – 450 rb/ul
RDW-CV 14,8 12,1 - 14,0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 82 75,0 - 96,0 Fl
MCH 29 28,0 - 32,0 Pg
MCHC 35 33,0 - 37,0 %
HEMOSTASIS
Hasil PT 10,3 9,9-13,5 detik
INR 0,95 -
Control Normal PT 10,8 -
Hasil APTT 21,2* 22,2-37,0 detik
Control Normal APTT 24,8 -
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 240* <200.00 mg/dl
HATI DAN PANKREAS
SGOT 17 5 – 34 U/L
SGPT 11 0 – 55 U/L
GINJAL
Ureum 27 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 1,03 0,72 - 1,25 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 151 136 – 145 mmol/l
Kalium 3,7 3,5 - 5,1 mmol/l
Clorida 97 98 – 107 mmol/l

xli
c. CT-scan kepala (9 Mei 2021)

Interpretasi:

1) Scalp: normal, tidak ada laserasi

2) Tulang: intak, tidak ada diskontinuitas

3) Meninges: tidak ada SDH dan EDH

4) Sulcus dan gyrus: tidak melebar

5) Tampak lesi hiperdens di thalamus sinistra volume 20 cc, basal ganglia,

dan ventrikel lateral.

6) Tampak pergeseran midline shift

7) Tampak edema cerebri

37
d. Rontgen thorax (9 Mei 2021)

Interpretasi:

1) Kualitas foto: penetrasi baik, simetris, inspirasi adekuat, tidak ada

magnifikasi, angulasi baik

2) Trakea letaknya sentral

3) Sudut costophrenicus dan cardiophrenicus tajam

4) CTR 57,8%, tampak cardiomegaly

5) Lapang paru kanan dan kiri corakan bronkovaskuler meningkat

6) Diafragma tidak tampak bulging dan flattening, tulang dan soft tissue intak

Kesimpulan : paru dalam batas normal, terdapat cardiomegaly.

38
e. EKG (9 Mei 2021)

Interpretasi: EKG: Sinus, frekuensi 85 bpm, LAD, LVH, ST elevasi di sadapan

V1,V2,V3,V4,V5, dan V6.

D. Diagnosis

Diagnosis Klinis : Hemiparese dextra + Parese N. VII tipe sentral dan N.XII

dextra

Diagnosis Topis : Lesi hiperdens di thalamus sinistra volume 20 cc + basal

ganglia + ventrikel lateral + ventrikulomegali + edema

cerebri

Diagnosis Etiologi : Intra Cranial Hemorrage + Intra ventricular Hemorrage +

Edema cerebri

E. Penatalaksanaan

Terapi yang telah diberikan di IGD (9 Mei 2021)

1. O2 nasal canul 4 lpm

2. IVFD NS 0.9% 20 tpm

39
3. Drip farmabes 5-15mg / jam, evaluasi per 15 menit, titrasi sampai tensi 160-

180 mmHg

4. Program Manitol

5. Inj. Citicoline 2x250 mg

6. Inj. Omeprazol 2x40 mg

7. Inj. Antrain 1g (k/p demam)

8. PO Atorvastatin 1x20 mg

Terapi yang telah diberikan di ruang stroke center

1. O2 nasal canul 4 lpm

2. IVFD NS 0,9% 20 tpm

3. Program manitol

4. Drip farmabes 5-15mg / jam, evaluasi per 15 menit, titrasi sampai tensi 160-

180 mmHg

5. Inf. Levofloxacin 1x750 mg

6. Inf. PCT flash 3x1

7. Inj. Meropenem 3x1 gr

8. Inj. Citicoline 2x250 mg

9. Inj. Omeprazol 2x40 mg

10. PO Atorvastatin 1x20 mg

11. PO NAC 3x1

F. Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam

Ad Fungsionam : dubia ad malam

Ad Sanationam : dubia ad malam

40
G. Follow up
Tanggal S O A P
10 Mei Penurunan Kesadaran : Coma K: -IVFD NS 0,9%
2021 kesadaran GCS : E1V1M1 Hemiparese 20 tpm
TD : 75/50 mmHg dextra + Parese -Program manitol
Kelemahan HR : 132 x/menit N. VII tipe -Drip farmabes 5-
sebelah RR : 32 x/menit sentral dan 15mg / jam,
kanan SpO2 : 95 % NRM 15lpm N.XII dextra evaluasi per 15
Suhu : 38,5˚C menit, titrasi
Pemeriksaan fisik T: sampai tensi 160-
- - Lesi hiperdens di 180 mmHg
Rh - - -Inf.
thalamus sinistra
volume 20 cc + Levofloxacin
- - basal ganglia + 1x750 mg
Wh ventrikel lateral -Inf. PCT flash
- -
+ 3x1
ventrikulomegali -Inj. Meropenem
Rangsang meningeal : (-) 3x1 gr
+ edema cerebri
N.I : sde -Inj. Citicoline
N.II : reflex pupil (-) 2x250 mg
E:
N.III : DEM (-) -Inj. Omeprazol
Intra Cranial
N.IV : DEM (-) 2x40 mg
Hemorrage +
N.VI : DEM (-) -PO Atorvastatin
Intra ventricular
N.V : reflex kornea (-) 1x20 mg
Hemorrage +
N.VII : Parese dextra -PO NAC 3x1
Edema cerebri
N.VIII : sde
N.IX, X : refleks muntah (-)
Co. DPJP:
N.XI : sde
N.XII : sde -obat anti HT
RCL : -/- stop
RCTL : -/- -program
Isokor : 2 mm/2 mm manitol stop
Reflex Fisiologis -vascon stop
BPR +2/+2 APR +2/+2
TPR +2/+2 KPR +2/+2
Reflex Patologis : -
M sde sde
sde sde
Lateralisasi ke kanan

T Eutoni Eutoni
Eutoni eutoni
Sensibilit sde sde
as sde sde
A - -
- -
BAB IV

41
PEMBAHASAN

Telah dilakukan anamnesis kepada anak Ny.S usia 56 tahun dengan keluhan

utama penurunan kesadaran. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis klinis yaitu Hemiparese dextra +

Parese N. VII tipe sentral dan N.XII dextra, diagnosis topis yaitu Lesi hiperdens

di thalamus sinistra volume 20 cc + basal ganglia + ventrikel lateral +

ventrikulomegali + edema cerebri, dan diagnosis etiologi yaitu Intra Cranial

Hemorrage + Intra ventricular Hemorrage + Edema cerebri + STEMI.

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin pada tanggal 9 Mei 2021 dengan keluhan

penurunan kesadaran. Pasien merupakan rujukan dari RS Tanah Bumbu. Pasien

datang ke IGD RSUD Ulin pada hari minggu pukul setengah 5 sore. Pada sabtu

malam jam setengah 12 pasien mengeluhkan nyeri kepala dan meminum obat

bintang tujuh. Setelah meminum obat pasien ke kamar mandi dan setelah itu

pasien menggigil. Pada saat itu, suami pasien langsung ingin mengantar ke rumah

sakit, namun pasien menolak. Pada pukul 3 subuh, pasien mengeluhkan sesak

nafas, nyeri dada kiri dan kelemahan pada tubuh bagian kanan. Setelah beberapa

menit pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, pada pukul 5 subuh hari

minggu pasien di antar ke IGD RS tanah bumbu, namun karena dokter spesialis

saraf tidak ada, pasien kemudian di rujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien

memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun lalu, namun tidak rutin meminum obat.

Pasien tidak memiliki penyakit kencing manis atau jantung. Kolesterol pasien

juga tinggi namun tidak pernah minum obat. Pasien pernah mengalami stroke

penyumbatan 2 tahun lalu.

42
Berdasarkan anamnesis, hal ini sesuai dengan definisi stroke, yaitu pasien

yang mengalami tanda-tanda klinis berupa defisit neurologis fokal atau global

yang timbul secara mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan

kematian tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler. Pasien juga memiligi

gejala dengan gejala stroke hemoragik yaitu sakit kepala berat (peningkatan

tekanan intrakranial), kesadaran pasien menurun (GCS).5,12

Untuk menegakkan diagnosis stroke dapat pula dilakukan dengan algoritma

stroke gajah mada sebagai berikut: penurunan kesadaran (+), nyeri kepala (+), dan

refleks babinski (-) yang bermakna stroke perdarahan intraserebral. Sedangkan

dari Siriraj Score didapatkan hasil: SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x

sakit kepala) + (0,1 x td. diastole) – (3 x ateroma) – 12, jika hasilnya: = (2,5 x 1)

+ (2 x 0) + (2 x 1) + (0,1 x 179) - (3 x 1) – 12 = 7,4 (kemungkinan stroke

hemoragik).21

Pasien juga memiliki factor resiko yang menunjang untuk diagnosis stroke.

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, pasien berusia 56 tahun. Factor

yang dapat dimodifikasi yaitu Hipertensi, pasien memiliki riwayat hipertensi yang

tidak terkontrol. Usia merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke dengan

peningkatan dua kali lipat dalam angka insiden setelah usia 55 tahun. Pada usia

lanjut, semua organ tubuh mengalami kemuduran dalam fungsi termasuk

pembuluh darah otak. Pembuluh darah menjadi tidak elatis terutama bagian

endotel yang mengalami penebalan pada bagian intima, sehingga mengakibatkan

lumen pembuluh darah semakin menyempit dan berdampak pada penurunan aliran

darah otak. Tekanan darah tinggi meningkatkan risiko stroke sebanyak 4 kali

43
lipat. Risiko perdarahan otak pada pasien hipertensi 3,9 kali lebih tinggi

dibandingkan pada individu yang tidak hipertensi.14,15,34

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien delirium dengan GCS

E2V2M5, TD: 214/179 mmHg, SpO2 97 % on nasal canul 4lpm. Pemeriksaan

neurologis didapatkan kekuatan motoric menurun pada sisi kanan yaitu +4 yang

artinya pasien mengalami hemiparese dextra. Pasien juga mengalami parese N.

VII tipe sentral dan N.XII dextra.

Pemeriksaan fisik pada pasien mendukung diagnosis stroke hemoragik.

Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah penurunan kesadaran (pada

pemeriksaan GCS), selain itu untuk pemeriksaan tanda vital juga harus dilakukan.

Pemeriksaan neurologis akan terdapat kelemahan / kelumpuhan pada sesisi /

kedua sisi atau satu ekstremitas. Selain itu, bisa terdapat adanya parese pada

nervus kranialis, defisit sensorik, gangguan otonom ataupun gangguan

neurobehavioral (seperti gangguan atensi, gangguan memory, gangguan bicara

verbal, ganggaun pemahaman bicara, gangguan kognitif lainnya).21,22

Pemeriksaan CT-scan didapatkan hasil lesi hiperdens di thalamus sinistra

volume 20 cc, basal ganglia, ventrikel lateral dan terdapat edema cerebri yang

menandakan terdapat perdarahan. Lesi hiperdens pada CT scan menandakan

adanya perdarahan. Sehingga dapat dikatakan pasien ini mengalami stroke

hemoragik. Sehingga dapat dikatakan pasien ini mengalami stroke hemoragik.

Pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras merupakan Gold Standart dalam

diagnosis stroke. CT-Scan dapat memberikan informasi tentang lokasi, ukuran

infark, perdarahan dan apakah perdarahan menyebar ke ruang intraventricular,

serta dapat membantu perencanaan operasi.21

44
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri dan

sesak napas. Terdapat riwayat kolesterol tinggi dan stroke penyumbatan

sebelumnya. Riwayat hipertensi tidak terkontrol dan TD 214/179 mmHg saat

masuk IGD. Pemeriksaan foto thorax didapatkan peningkatan CTR yaitu 57,8%

yang menandakan kardiomegali. Pada pemeriksaan EKG juga didapatkan kesan

LAD, LVH, ST elevasi di sadapan V1,V2,V3,V4,V5, dan V6. Dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien juga didiagnosis dengan sindrom coroner

akut tipe STEMI.

Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard

yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,

perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker

jantung. Pada SKA terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri

koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium. Hipertensi

menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah maka dibutuhkan upaya

maksimal untuk memompa suplai darah ke seluruh jaringan tubuh. Hipertensi

tidak terkontrol berisiko tinggi untuk terjadinya kerusakan organ target seperti

LVH. Kardiomegali adalah hasil dari kompensasi jantung akibat beban tekanan

(pressure overload) atau beban volume (volume overload) yang mengakibatkan

peningkatan tegangan dinding otot jantung.29,35

Pasien ini diberikan pengobatan berupa O2 nasal canul 4 lpm, IVFD NS

0,9% 20 tpm, Program manitol, Drip farmabes 5-15mg / jam, evaluasi per 15

menit, titrasi sampai tensi 160-180 mmHg, Inf. Levofloxacin 1x750 mg, Inf. PCT

flash 3x1, Inj. Meropenem 3x1 gr, Inj. Citicoline 2x250 mg, Inj. Omeprazol 2x40

mg, PO Atorvastatin 1x20 mg, PO NAC 3x.

45
Penatalaksanaan diatas sudah sesuai dengan penatalaksanaan umum stroke

hemoragik, yaitu menggunakan prinsip 5B. Pasien diberikan oksigen 4lpm

melalui nasal canul untuk menjaga agar fungsi pernapasan dan oksigenasi adekuat

terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Diberikan antihipertensi

intravena dengan drip farmabes 5-15mg / jam. Farmabes merupakan antihipertensi

golongan CCB. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA,

Class IIb, Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial

Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan

obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah

setiap 5 menit. Peningkatan TIK merupakan gejala tersering pada pasien stroke.

Program mannitol 20% diberikan sebagai tatalaksana. Suhu tubuh pasien juga

harus dipertahakan dalam keadaan normal. Suhu pasien mengalami peningkatan

di hari pertama perawatan, yaitu 38,5˚C sehingga diberikan antipiretik berupa infus

PCT flash 3x1. Pada perdarahan intraserebral sangat sering terjadi panas dan harus

segera diterapi. Peningkatan suhu telah dibuktikan memperburuk prognosa. NGT

terpasang pada pasien untuk mengurangi risiko terjadinya aspirasi.21

Pemberian infus normal saline berguna untuk menjaga keseimbangan cairan

dan elektrolit. Pasien mendapatkan program manitol. Infus manitol pada pasien

dengan perdarahan intraserebral akut dapat meningkatkan aliran darah otak pada

hemisfer bilateral dan menurunkan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik.

Mekanisme manitol meningkatkan kecepatan aliran otak meliputi: peningkatan

volume darah, penurunan tekanan intrakranial, penurunan viskositas darah,

peningkatan fleksibilitas eritrosit dan dilatasi arteriol. Ada bukti yang berkembang

bahwa daerah di sekitar hematoma mengalami hipoperfusi yang tampaknya

46
bergantung pada waktu dan berkorelasi dengan ukuran hematoma. Manitol

membantu untuk meningkatkan perfusi di sekitar perdarahan, untuk mengurangi

cedera yang disebabkan oleh hipoperfusi dan untuk meningkatkan pemulihan

fungsional neurologis.36

Pemberian Citicolin sebagai agen neuroprotektor untuk melindungi sel

membran saraf serta stabilisasi membran sehingga dapat mengurangi luas daerah

infark. Hematoma dapat menyebabkan kompresi lokal jaringan saraf yang nyata

dan akibatnya, aliran darah lokal menurun, yang mengakibatkan iskemia.

Golongan obat ini seringkali digunakan dengan alasan untuk menunda terjadinya

infark pada bagian otak yang mengalami iskemik khususnya penumbra.36

Pemberian infus levofloxacin dan injeksi meropenem pada pasien sebagai

terapi definitif berupa antibiotik dikarenakan kadar leukosit darah yang

meningkat. Injeksi Omeprazole sebagai gastroprotektor mencegah terjadinya

iritasi lambung.

Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, kolesterol tinggi, dan stroke

iskemik. Dari anamnesis dan EKG menunjukkan adanya tanda sindrom coroner

akut. Pasien diberikan terapi oral atorvastatin. Tanpa melihat nilai awal kolesterol

LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, Statin harus diberikan pada

semua penderita SKA, termasuk mereka yang telah menjalani terapi

revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi. Terapi statin dosis tinggi

hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi

untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dl. Penggunaan statin dengan

segera sebagai penurun kadar lipid dapat meningkatkan luaran status fungsional

dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain efek tersebut ternyata terdapat

47
efek statin yang lain, dimana statin juga memiliki efek immune modulatory yang

dianggap dapat meningkatkan luaran status fungsional setelah stroke.31

Pasien dengan STEMI harus segera dipertimbangkan untuk terapi reperfusi.

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempattempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam waktu

yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam

sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila PCI primer

tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak

medis pertama. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase,

reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap

fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel

diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan

direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik.31

Pendarahan intrakranial sebelumnya atau stroke dari asal yang tidak

diketahui setiap waktu ataupun Stoke iskemik dalam 6 bulan awal merupakan

kontraindikasi mutlak dilakukan terapi fibrinolysis. Hipertensi emergensi (tekanan

darah sistolik > 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg

merupakan kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik. Oleh karena itu pada pasien

tidak dapat diberikan terapi fibrinolisis karena pasien mengalami stroke

hemoragik dan TD 214/179 mmHg (Hipertensi emergensi). Trombolisis

meningkatkan risiko stroke dalam 24 jam awal setelah perawatan, namun ini

diluar dari penurunan yang besar dalam kematian selama perawatan. Stroke sangat

umum pada pasien yang sudah tua. Jika stroke muncul, terapi trombolitik atau

antikoagulan harus dihentikan.32

48
Pemberian antikoagulan secara konsisten sebagai terapi sindrom coroner

akut dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan intrakranial. Adapun faktor

predisposisi lain yang mengaitkan penggunaan antikoagulan oral dengan

terjadinya ICH yaitu riwayat medis stroke iskemik atau hemoragik sebelumnya,

penanda penyakit pembuluh darah kecil otak kecil seperti microbleeds,

pengobatan antiplatelet bersamaan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko ICH

lobar.15

Ketika tekanan meningkat dalam pembuluh darah akan memicu siklus

kerusakan endotel mulai dari aktivasi lokal faktor pembekuan intravaskular,

nekrosis fibrinoid pembuluh darah kecil, dan pelepasan lebih banyak

vasokonstriktor. Jika proses ini tidak berhenti, siklus dari cedera vaskular lebih

lanjut, iskemia jaringan, dan disfungsi autoregulatori terjadi kemudian. Sistem

autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis

hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak,

jantung,dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan

tekanan perfusi. Dalam krisis hipertensi, disfungsi autoregulasi di pembuluh darah

dapat meningkatkan tekanan darah secara mendadak dan resistensi vaskular

sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stress mekanis dan cedera

endothelial.37

Endotelium memiliki peran utama dalam mengatur tekanan darah.

Endotelium mengeluarkan nitric oxide dan prostacyclin yang dapat memodulasi

tekanan vaskular. Peningkatan tekanan darah secara drastis dan menetap dalam

waktu yang lama menyebabkan respon vasodilatasi endothelium berkurang dan

melepaskan vasokonstriktor yang semakin meningkatkan resistensi vaskular.

49
Vasokonstriktor juga menyebabkan jejas endotel lebih lanjut, deposisi platelet dan

fibrin, aktivasi kaskade pembekuan hingga terbentuk trombus akan berakibat pada

penurunan suplai darah ke beberapa organ yang kemudian akan membentuk suatu

siklus yang berkelanjutan antara cedera vascular-iskemia jaringan dan pelepasan

zat vasokonstriktor.

Peningkatan TD yang berlangsung kronis mengakibatkan perubahan

vaskuler arterial secara fungsional dan struktural (penebalan dan kekakuan).

Pembuluh darah arteriol akan mengalami perubahan degeneratif yang

menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol menjadi lemah sehingga akan

menimbulkan mikroaneurisma yang tersebar disepanjang pembuluh darah yang

disebut sebagai mikroaneurisma Charchot-Bouchard, yang berbentuk seperti

kantung, menonjol melalui tunika media yang lemah. Pada kebanyakan pasien,

peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya aneurisma.

Keluarnya darah membuat efek penekanan pada arteriol dan pembuluh kapiler

yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Bila pembuluh darah pecah

maka akan terjadi perdarahan atau hematom sampai dengan maksimal 6 jam, yang

akan berhenti sendiri akibat pembentukan bekuan darah dan ditampon oleh

jaringan sekitarnya. Jika perdarahan terus berlanjut dengan volume yang besar

maka akan merusak struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema awal

disekitar hematom akibat pelepasan dan akumulasi protein serum aktif osmotik

dari bekuan darah. Akibatnya akan terjadi destruksi massa otak dan peninggian

tekanan intrakranial yang menyebabkan tekanan perfusi otak menurun serta

terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut dengan terjadinya

kaskade iskemik dan edema sitotoksik yang akan menyebabkan kematian sel otak,

50
dan massa di dalam otak akan bertambah sehingga terjadi herniasi otak yang dapat

menyebabkan kematian.38

Hipertensi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya sindroma

koroner akut. Hipertensi tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung

terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan

terjadinya aterosklerosis koroner. Hal ini menyebabkan angina pektoris,

insufisiensi koroner dan infark miokard lebih sering terjadi pada penderita

hipertensi dibandingkan orang normal.39

51
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Ny. S usia 56 tahun dengan diagnosis Intra

Cranial Hemorrage + Intra ventricular Hemorrage + Edema cerebri + STEMI.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Kondisi klinis pasien ditemukan Hemiparese dextra + Parese N. VII

tipe sentral dan N.XII dextra. Pasien telah diberikan pengobatan berupa O2 nasal

canul 4 lmp, IVFD NS 0,9% 20 tpm, Program manitol, Drip farmabes 5-15mg /

jam, evaluasi per 15 menit, titrasi sampai tensi 160-180 mmHg, Inf. Levofloxacin

1x750 mg, Inf. PCT flash 3x1, Inj. Meropenem 3x1 gr, Inj. Citicoline 2x250 mg,

Inj. Omeprazol 2x40 mg, PO Atorvastatin 1x20 mg, PO NAC 3x1dan rawat

bersama divisi Jantung. Pasien dirawat di Stroke center pada tanggal 9 Mei 2021.

Pasien meninggal pada tanggal 10 Mei 2021 pukul 20.15 WITA.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartono E, Meilinda P, Olivia A. Gambaran tekanan darah pada pasien stroke


hemoragik dengan diabetes melitus dan non diabetes melitus di bagian saraf
rumkital dr.ramelan Surabaya. Jurnal Sinaps. 2019; 2(1): 1-8.

2. Dewi IP, Pinzon RT. Resensi buku stroke in ASIA. 2016:315-316.

3. Triasti AP, Pudjonarko D. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif.


FK Undip. 2016; 5(4): 460-474.

4. Muhibbah, Abdurahman W , Rismia A. Karakteristik pasien sindrom koroner


akut pada pasien rawat inap ruang tulip di rsud ulin Banjarmasin. Indonesian
Journal for Health Sciences. 2019; 3(1): 6-12.

5. Boehme AK, Esenwa C, Elkind MSV. Stroke risk factors, genetics, and
prevention. Circ Res. 2017;120:472-95.

6. Dewanto G, Suwono WJ, Riaynto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis &


Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC;2007.

7. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Stroke. 2019.

8. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riskesdas. 2018.

9. Bahrudin M. Neurologi Klinis. Malang: UMM Press; 2017.

10. Bernstein RA, Chang P. Cerebrovascular Disease: Hemorrhagic Stroke in


Current Diagnosis & Treatment: Neurology, 3 edition, New York:
McGrawHill: 2019: 120-43.

11. Yueniwati Y. Pencitraan pada stroke. Malang: Universitas Brawijaya Press;


2016.

12. Parmar P. Stroke: classification and diagnosis. The Pharmaceutical Journal.


2018 Januari 10: 2-3.

13. Boccardi E. Cenzato M. Curto F. Hemorrhagic Stroke. Springer. 2017. 25-30.

53
14. Donnell, X. Martha Eo; Yuan, Jason X. Vascular And Cellular
Pathophysiology Of Stroke Pathophysiology Of Stroke: The Many And
Varied Contributions Of Brain Microvasculature. 2018.

15. P D. Topical Diagnosis in Neurology Anatomy. 4th ed. New York: Thieme;
2005.

16. Pradhan, Sunil, Et Al. Hypertension: A Risk Factor For Stroke. Hypertension,
2018.

17. Tian T, Jin G, Yu C, et al. Family History and Stroke Risk in China: Evidence
from a Large Cohort Study. J Stroke. 2017; 19(2): 188-95.

18. Mahmudah R. Left hemiparesis e.c hemorrhagic stroke. Medula.


2014;2(4):70-9.

19. Thabet AM, Kottapally M, Hemphill JC. Management of intracerebral


hemorrhage. Handbook of Clinical Neurology. 2017;140:177–194.

20. Yueniwati Y. Pencitraan pada stroke. Malang: Universitas Brawijaya Press;


2016.

21. Bahrudin M. Neurologi Klinis. Malang: UMM Press; 2017.

22. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis


Neurologi, 2016.

23. Mendelow, A. David, Et Al. Stroke: Pathophysiology, Diagnosis, And


Management. Elsevier Health Sciences, 2015.

24. Ravi Garg, Jose’ Biller. Recent advances in understanding and managing
cholestasis [version 1 ; referees : 2 approved] Referee Status : F1000 Research.
2019;5(0):1–10.

25. Wijaya S, Hasbiani S. Buku Saku Praktik Dokter. Jembatan Merah.


Yogyakarta. 2018.

26. Afandi GR. Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada Stroke. CDK-238.
2016;43(3).

27. Behrouz R, Birnbaum LA. Complications of acute stroke. University of Texas


Health Science Center San Antonio: Texas; 2019.

54
28. Chaudhary N, Pandey AS, Wang X, Xi G. Hemorrhagic stroke-
Pathomechanisms of injury and therapeutic options. CNS Neurosci Ther.
2019;25(10):1073–4.

29. Sanjani RD, Nanda N. Sindrom koroner akut. ISSN. 2016: 1; 397-409.

30. Wibowo A, Meizly A. Prevalensi Hipertensi dengan Sindrom Koroner Akut di


Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara pada Tahun 2015. Anatomica
Medical Journal. 2018: 1(3). 124-131.

31. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut PERKI edisi ke 2.


2010.

32. Rampengan SH. Kegawatdaruratan jantung. Badan Penerbit FKUI. Jakarta.


2015.

33. Pramana Dwi. Penatalaksanaan Krisis Hipertensi. Jurnal Kedokteran. 2020:


5(2); 91-96.

34. Arboix A. Cardiovascular risk factors for acute stroke: Risk profiles in the
different subtypes of ischemic stroke. World J Clin Cases. 2015; 3(5):418-29.

35. Wajngarten M, Silva GS. Hypertension and stroke: update on treatment.


2019;14(2):111-5.

36. Presley, Bobby. Penatalaksanaan farmakologi stroke iskemik akut. Rasional.


2014; 12(1):6-8.

37. Alatas H. Hipertensi Emergensi. PIT PAPDI Cabang Purwokerto. 2018.

38. Ibrahim RC, Diana CL. Mordekhai L. Penanganan Pasien Perdarahan


Intraserebral di Ruang Rawat Intensif. e-CliniC. 2021: 9(1); 8-14.

39. Ginting AS. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut
di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2016. FK USU. [Skripsi]. 2017.

55

Anda mungkin juga menyukai