Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Supraventricular tachycardia (SVT) adalah takikardia atrium yang

ditandai dengan awitan mendadak dan penghentian mendadak. Gangguan irama

ini dapat terjadi karena faktor pencetus seperti emosi, tembakau, kafein,

kelelahan, pengobatan simpatomimetik atau alkohol. Takikardia atrium biasanya

tidak berhubungan dengan penyakit jantung organik.

Frekuensi yang sangat tinggi dapat menyebabkan angina sebagai akibat

penurunan pengisian arteri koroner. Curah jantung akan menurun dan dapat terjadi

gagal jantung. Sebagian besar SVT menyulitkan namun tidak mengancam nyawa,

meskipun kematian mendadak dapat terjadi tetapi jarang. Gejala yang umum

terjadi adalah palpitasi, pusing dan nafas pendek. SVT seringkali disebabkan oleh

pemicu ektopik dan dapat timbul dalam salah satu atrium.

Takikardi dapat mulai dan berhenti secara mendadak atau bertahap. Pada

ektopik atrium, gelombang P terbentuk abnormal dimana gelombang P tumpang

tindih dengan gelombang T, diikuti oleh kompleks QRS yang normal. Mekanisme

aritmia pada SVT bisa merupakan otomatisitas abnormal, triggerred activity dan

re-entry. Kebanyakan SVT merupakan takikardia regular yang disebabkan re-

entry, suatu irama abnormal yang gelombang depolarisasinya berjalan secara

berulang pada lingkaran jaringan jantung. Jalur re-entry pada takikardia

supraventrikular dijumpai di nodal AV (50%), jalur aksesoris lain (40%) serta di


atrium atau nodal SA (10%). Kelompok lain dari SVT dianggap sebagai

takikardia otomatisasi.

Aritmia ini bukan diakibatkan sirkuit yang bersirkulasi tetapi diakibatkan

fokus otomatisitas yang terangsang. Tidak seperti pola mendadak dari re-entry,

karakteristik awitan dan terminasi dari takiaritmia ini lebih bertahap dan mirip

dengan bagaimana nodus sinus bekerja dalam mempercepat dan menurunkan

denyut jantung secara bertahap. Aritmia ini sulit ditangani dan tidak responsif

terhadap kardioversi dan biasanya dikontrol secara akut menggunakan obat yang

memperlambat konduksi melalui nodus AV dan kemudian akan memperlambat

denyut ventrikel.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebaran eksitasi jantung

Bagian jantung yang berdenyut secara normal dengan urutan teratur,

kontraksi atrium (sistol atrium) diikuti oleh kontraksi ventrikel (sistol ventrikel)

dan selama diastol, keempat ruang jantung berada dalam keadaan relaksasi.

Denyut jantung berasal dari sistem penghantar jantung yang khusus dan menyebar

melalui sistem ini kesemua bagian miokardium.

Struktur yang membentuk sistem penghantar adalah nodus sinoatrial

(nodus SA), lintasan antarnodus di atrium, nodus atrioventrikel (nodus AV),

berkas his beserta cabangnya dan sistem purkinje. Berbagai bagian sistem

penghantar pada keadaan abnormal dan bagian miokardium mampu mengeluarkan

impuls secara spontan. Namun, normalnya nodus SA paling cepat melepaskan

impuls dan depolarisasi menyebar dari nodus ini ke bagian lain sebelum keluarnya

impuls listrik secara spontan.

Oleh karena itu, nodus SA merupakan alat pacu jantung yang normal dan

kecepatannya melepaskan impuls menentukan frekuensi denyut jantung. Impuls

yang terbentuk di nodus SA berjalan melalui lintasan atrium ke nodus AV,

melalui nodus ini ke berkas His dan melintasi cabang berkas His melalui sistem

purkinje ke otot ventrikel.

Depolarisasi yang dimulai di nodus SA tersebar secara radial keseluruh

atrium kemudian menyatu di nodus AV. Depolarisasi atrium akan tuntas dalam
waktu sekitar 0,1 detik. Karena hantaran di nodus AV lambat maka terjadi

perlambatan sekitar 0,1 detik (perlambatan nodus AV) sebelum eksitasi menyebar

ke ventrikel. Perlambatan ini diperpendek oleh perangsangan saraf simpatis

jantung dan akan memanjang akibat perangsangan vagus. Lalu dari puncak

septum, gelombang depolarisasi menyebar secara cepat di serabut purkinje ke

semua bagian ventrikel dalam waktu 0,08-0,1 detik.

Depolarisasi otot ventrikel dimulai dari sisi kiri septum antarventrikel dan

bergerak ke kanan melintasi bagian tengah septum. Gelombang depolarisasi

kemudian menyebar kebagian bawah septum menuju apeks jantung. Gelombang

kemudian kembali di sepanjang dinding ventrikel ke alur AV dan berjalan terus

dari permukaan endokardium ke epikardium. Bagian terakhir jantung yang

mengalami depolarisasi adalah bagian postero-basal ventrikel kiri, konus

pulmonalis dan bagian teratas septum.5

Gambar 2.1 Penyebaran eksitasi jantung


2.2 Supraventricular tachycardia (SVT)

2.2.1 Definisi

Salah satu jenis takiaritmia yang berasal dari supraventrikel atau atrium

dimana terjadi kelainan irama jantung dengan perubahan laju jantung yang cepat

berkisar 100-250x/menit.

2.2.2 Epidemiologi

SVT merupakan aritmia yang jarang ditemui. Angka kejadian SVT

mencapai 0,34%-0,46%, pada pasien yang menjalani studi elektrofisiologi

kejadian SVT mencapai 5-15%. SVT dapat terjadi pada semua usia, meskipun

lebih sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dengan penyakit jantung

bawaan.

2.2.3 Etiologi

1. Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien.

2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW), terdapat pada 10-20% kasus

dan terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom

WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan

interval QRS yang lebar yang disebabkan oleh hubungan langsung

antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.7 Sindrom WPW

merupakan suatu fenomena menarik yang terlihat pada sejumlah

individu dengan aritmia atrium paroksismal. Sindrom WPW adalah

konduksi AV (atrioventrikular) yang dipercepat. Pengidap sindrom

WPW memiliki tambahan hubungan jaringan nodus atau otot yang

menyimpang (berkas Kent) antara atrium dan ventrikel. Berkas ini


menghantar lebih cepat dibandingkan hantaran nodus AV yang lambat

dan satu ventrikel terangsang lebih awal. Manifestasi pengaktifannya

bergabung dengan pola QRS yang normal dan menghasilkan interval

PR yang pendek dan pemanjangan defleksi QRS yang tidak mulus pada

bagian atasnya (delta wave). Dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.2 Gambaran accessory pathway pada sindrom WPW

Gambar 2.3 Gambaran EKG pada sindrom WPW

3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single

ventricle)
2.2.4 Klasifikasi

1. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)

Terdapat sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar

diobati. Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya

biasanya karena pemeriksaan rutin atau karena gagal jantung akibat

aritmia yang lama. Pada takikardi atrium primer tampak gelombang P

yang agak berbeda dengan gelombang P pada irama sinus, tanpa disertai

pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak

tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan). Dapat dilihat pada

gambar berikut:

Gambar 2.3 Gambaran EKG kontraksi atrial premature

2. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)

Pada AVRT pada sindrom WPW jenis orthodromic, konduksi

antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan

konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan

yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang

sempit dengan gelombang P yang terbalik. Pada jenis yang antidromic,

konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan sedangkan konduksi

retrograd terjadi pada jaras his-purkinye.


Kelainan pada EKG yang tambak adalah takikardi dengan kompleks

QRS yang lebar. Dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.4 Gambaran AVRT orthodromic dan antidromic

3. Atrioventricular nodal re-entry tachycardia (AVNRT)

Pada jenis AVNRT, re-entry terjadi dalam nodus AV. Sirkuit

tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi

antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi

pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast)

atau orthodromic.

Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan

kompleks QRS sempit dengan gelombang P yang timbul segera setelah

kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak

karena gelombang P tersebut terbenam didalam kompleks QRS. Jika

konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi

pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic.

Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan


kompleks QRS sempit dan gelombang P terbalik dan timbul pada jarak

yang cukup jauh setelah kompleks QRS. Dapat dilihat pada gambar

berikut:

Gambar 2.5 Gambaran reentry pada AVNRT

2.2.5 Patofisiologi

Disritmia atrial merupakan kelainan pembentukan dan konduksi impuls

listrik di atrium. Mekanisme yang mendasarinya adalah:

1. Gangguan automaticity (sel miokard di atrium mengeluarkan impuls

sebelum impuls normal dari nodal SA). Penyebab tersering adalah iskemia

miokard, keracunan obat dan ketidakseimbangan elektrolit.

2. Triggered activity (kelainan impuls listrik yang kadang muncul saat

repolarisasi, saat sel sedang tenang dan dengan stimulus satu implus saja

sel-sel miokard tersentak beberapa kali). Penyebab tersering adalah

hipoksia, peningkatan katekolamin, hipo-magnesemia, iskemia, infark

miokard dan obat yang memperpanjang repolarisasi.

3. Re-entry (keadaan dimana impuls kembali menstimulasi jaringan yang

sudah terdepolarisasi melalui mekanisme sirkuit, blok unidirectional


dalam konduksi serta perlambatan konduksi dalam sirkuit). Penyebab

tersering adalah hiperkalemia dan iskemia miokard.

Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat

dua mekanisme terjadinya takikardi supraventrikel yaitu otomatisasi

(automaticity) dan re-entry. Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi

sebagai akibat adanya sel yang mengalami percepatan (akselerasi) dan sel

ini dapat terjadi di atrium, AV junction, bundel his dan ventrikel. Struktur

lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi adalah vena pulmonalis

dan vena kava superior.

Contoh takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan

laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti.

Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan gangguan

metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia dan asidosis. Ini

adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan

paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi.

Syarat mutlak untuk timbulnya re-entry adalah adanya dua jalur

konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun

proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah

satu jalur tersebut harus memiliki blok searah.

Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang

tidak mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur

konduksi yang mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan

aliran listrik secara retrograd dan cepat pada jalur konduksi tersebut.
Gambar 2.6 Gambaran konduksi elektrik pada SVT

Gambar 2.7 Reentry circuit

2.2.6 Manifestasi klinis

1. Denyut nadi cepat, regular.

2. Palpitasi secara tiba-tiba

3.Takikardia yang terus menerus, berkelanjutan dan berulang jika

takikardia atrium disebabkan peningkatan otomatisasi.

4. Dispnoe, pusing, lemas, nyeri dada dalam episode palpitasi

5. Sinkop : hipotensi berat.

2.2.7 Diagnosis

Manifestasi klinis : Palpitasi, denyut nadi cepat dan regular, dipsnoe,

pusing, lemas, nyeri dada dalam episode palpitasi.

Gambaran EKG pada SVT :


- Laju : 100-250x/menit

- Irama : regular

- Gelombang P : gelombang P tumpang tindih dengan gelombang T

dan disebut gelombang P’

- Durasi QRS : 0,10 detik atau kurang kecuali ada perlambatan

konduksi intraventrikel

Gambar 2.8 Gambaran takikardia supraventrikular.


2.2.8 Penatalaksanaan

Gambar 2.9 Algoritma tatalaksana takikardi

1. Tata Laksana Akut

Tata laksana akut dilakukan di ruang emergensi pada pasien

dengan gejala klinis supraventricular tachycardia. Tenaga medis

sebaiknya segera memeriksa jalan nafas, fungsi pernafasan, dan fungsi

sirkulasi pasien (disesuaikan dengan kondisi pasien) serta tanda vital

pasien dan selanjutnya melakukan pemeriksaan EKG 12 lead jika


memungkinkan untuk membedakan tipe takiaritmia yang terjadi pada

pasien.

Pasien dengan supraventricular tachycardia biasanya

menunjukkan hasil EKG adanya takikardia dengan gelombang QRS yang

tidak lebar (<120 ms). Namun jika gelombang QRS lebar (>120 ms) maka

harus dipastikan dan dibedakan antara ventricular

tachycardia (VT) dan supraventricular tachycardia (SVT) dengan

konduksi aberans, atau kondisi pre eksitasi.

Algoritma Brugada untuk Membedakan SVT Aberans dengan VT

SVT aberans dapat dibedakan dengan VT dengan menggunakan algoritma


Brugada:

1. Apakah kompleks RS tidak ditemukan pada semua lead prekordial? Jika ya, maka
gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke
pertanyaan No. 2
2. Interval RS>100 milidetik pada salah satu lead prekordial? Jika ya, maka
gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke
pertanyaan No. 3
3. Apakah terdapat disosiasi AV? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular
tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 4
4. Apakah kriteria morfologi ditemukan pada lead prekordial V1-2 dan V6 ? Jika
ya, maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, maka
gelombang merupakan SVT aberans

Beberapa rekomendasi tata laksana akut pada supraventricular


tachycardia menurut pedoman American College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA) tahun 2015 :
 Manuver vagal dan adenosin merupakan pilihan terapi awal untuk
terminasi SVT stabil. Ada banyak manuver vagal, namun yang
direkomendasikan adalah pijat sinus karotis. Manuver lain yang bisa
dicoba dan cukup aman adalah batuk-batuk, reflek muntah, facial
immersion, valsava, atau modified valsava. Pijat sinus karotid akan
menghentikan hingga 25% SVT.
 Pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien
dengan supraventricular tachycardia regular
 Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil ketika manuver vagal dan pemberian adenosin tidak efektif
atau tidak memungkinkan
 Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil serta terapi farmakologi tidak efektif atau tidak memungkinkan
 Pemberian calcium channel blocker intravena
seperti diltiazem dan verapamil atau beta blocker intravena seperti
metoprolol dan esmolol, dapat diberikan pada pasien dengan hemodinamik
stabil. Pada prinsipnya agen-agen ini mengeluarkan efeknya dengan
melawan tonus simpatetik pada jaringan nodus yang menghasilkan
perlambatan pada konduksi. Efek samping beta bloker meliputi
bradikardia, keterlambatan konduksi AV dan hipotensi

2. Tata Laksana Lanjutan


Tata laksana lanjutan pada supraventricular tachycardia bertujuan
untuk memberikan terapi definitif serta pengobatan rumatan pada pasien
yang telah stabil atau yang memang memerlukan terapi definitif. Beberapa
pilihan tata laksana lanjutan untuk supraventricular tachycardia adalah:
a. Observasi Pasien
Pemilihan terapi lanjutan didasarkan pada frekuensi dan durasi
terjadinya supraventricular tachycardia, gejala klinis yang terjadi
sebelumnya, dan konsekuensi supraventricular
tachycardia, seperti kardiomiopati.
b. Terapi Farmakologi
Pada supraventricular tachycardia yang jarang terjadi tetapi
dengan durasi yang lama (di atas satu jam), dokter dapat
memberikan calcium channel blocker nondihidropridine, beta
blocker, atau obat antiaritmia lainnya, yang diberikan bila perlu.
Namun, bila supraventricular tachycardia memiliki frekuensi yang
lebih sering, obat antiaritmia dapat diberikan secara teratur.
c. Ablasi Kateter
Terapi definitif utama untuk supraventricular tachycardia adalah
ablasi kateter, yang biasanya dilakukan pada pasien dengan focal
atrial tachycardia. Hal ini karena kondisi tersebut memiliki titik
sumber eksitasi abnormal yang jelas sehingga ablasi dapat
dilakukan pada titik tersebut untuk mengembalikan eksitasi yang
normal.

3. Medikamentosa
Pilihan medikamentosa untuk supraventricular tachycardia adalah
adenosin, calcium channel blocker, beta blocker, atau obat antiaritmia
lainnya.
a. Adenosin Intravena
Pemberian adenosin intravena dilakukan pada
pasien supraventricular tachycardia reguler dengan hemodinamik stabil.
Pemberian adenosin dilakukan dengan cara memasukkan 6 mg adenosin
secara bolus intravena, melalui vena yang sedekat mungkin dengan
jantung (biasanya vena brakialis). Kemudian dilakukan flushing vena
dengan cairan salin normaldiikuti dengan meminta pasien mengangkat
tangan. Pasien dapat diminta untuk batuk ketika obat sampai di jantung,
ditandai dengan adanya rasa panas pada dada pasien. Jika pasien tidak
menunjukkan respons terhadap pemberian awal, maka dapat diberikan
kembali 1-2 menit kemudian dengan dosis 12 mg, maksimal 2 kali
pengulangan.

b. Calcium Channel Blocker Nondihidropiridin


Terdapat dua obat dalam kelas ini, antara lain :

i. Diltiazem: dosis awal 0,25 mg/kg intravena bolus, diberikan selama 2


menit; dosis rumatan 5-10 mg/jam hingga 15 mg/jam melalui infus
ii. Verapamil: dosis awal 5-10 mg (0,075-0,15 mg/kg) intravena bolus selama
2 menit, jika tidak ada respon pasien maka tambahkan 10 mg pada 30
menit setelah pemberian awal; dosis rumatan 0,005 mg/kgBB/menit
c. Beta Blocker

Beta blocker dapat diberikan jika kedua obat sebelumnya tidak


efektif atau tidak menungkinkan untuk diberikan, beberapa beta
blocker yang biasanya digunakan :
i. Esmolol: dosis awal 500 mcg/kg intravena bolus selama 1 menit; dosis
rumatan 50-300 mcg/kg/menit melalui infus
ii. Metoprolol tartrate: dosis awal 2,5-5 mg intravena bolus selama 2 menit,
dapat diulangi 2,5-5 mg intravena bolus dalam 10 menit, maksimal
pemberian 3 dosis

iii. Propranolol: dosis awal 1 mg intravena selama 1 menit, dapat diulangi 1


mg intravena dalam interval 2 menit, maksimal pemberian 3 dosis

d. Obat Antiaritmia Lainnya

i. Digoxin: dosis awal 0,25-0,5 mg, dapat diulangi 0,25 mg. Dosis awal
dapat diberikan secara oral atau intravena, dosis maksimal 1 mg/24 jam,
dosis awal maksimal 8-12 mcg/kgBB
ii. Amiodarone: dosis awal 150 mg intravena selama 10 menit; dosis rumatan
1 mg/menit (360 mg) selama 6 jam selanjutnya, kemudian 0,5 mg/menit
(540 mg) pada 18 jam berikutnya

Anda mungkin juga menyukai