Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aritmia merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau
ekstrakardiak ynng merupakan kelainan primer dengan mekanisme dan
penatalaksanaan yang sama. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien
usia muda ataupun usia lanjut (Lukman, 2010).
Aritmia dibagi menjadi aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular.
Berdasarkan lokasinya, di atrial berupa AV node dan berkas His dan di ventrikel
mulai dari infra his bundle. Aritmia dibagi berdasarkan frekuensi denyut jantung
yaitu bradikardia dan takikardia dengan nilai normal berkisar antara 60-100/menit.
Berdasarkan letaknya, aritmia menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dan
Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy
(SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal
Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses
reentry di sekitar nodus AV (Lukman, 2010)
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak, bertambah cepat menjadi
berkisar antara 150 sampai 250 per menit. TSV merupakan jenis disritmia yang
paling sering ditemukan. Prevalensi TSV kurang lebih 1 di antara 25.000 individu.
Insiden pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Doniger & Sharieff, 2010).

1.2. Rumusan masalah


1. Bagaimana mengetahui supraventikuler takikardia pada seseorang?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bahaya supraventikuler takikardia
2. Untuk mengetahui tata laksana supraventikuler takikardia

1|SVT
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Pengertian
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia yang
ditandai dengan perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat
menjadi berkisar antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan
pada SVT mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas
bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS normal
(Price, 2006).
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan denyut jantung yang mendadak bertambah cepat.
Perubahan denyut jantung pada bayi dengan SVT umumnya menjadi berkisar
antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. (Doniger & Sharieff, 2010).
Kelainan SVT mencakup komponen sistem konduksi di bagian atas
bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS normal.
Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal
jantung.

2.2 Etiologi
Menurut Hudak (1997), penyebab dari gangguan irama jantung  secara
umum adalah sebagai berikut :
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, miokarditis karena infeksi.
Adanya peradangan pada jantung akan berakibat terlepasnya mediator-
mediator radang dan hal ini menyebabkan gangguan pada penghantaran
impuls.
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner, spasme arteri koroner,
iskemi miokard, infark miokard). Arteri koroner merupakan pembuluh
darah yang menyuplai oksigen untuk sel otot jantung. Jika terjadi gangguan
sirkulasi koroner, akan berakibat pada iskemi bahkan nekrosis sel otot
jantung sehingga terjadi gangguan penghantaran impuls.

2|SVT
3. Karena intoksikasi obat misalnya digitalis, obat-obat anti aritmia. Obat-obat
anti aritmia bekerja dengan mempengaruhi proses reenterallarisasi sel otot
jantung. Dosis yang berlebih akan mengubah reenterallarisasi sel otot
jantung sehingga terjadi gangguan irama jantung.
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiper atau hienteralkalemia). Ion kalium
menentukan enteraltensial istirahat dari sel otot jantung. Jika terjadi
perubahan kadar elektrolit, maka akan terjadi peningkatan atau perlambatan
permeabilitas terhadap ion kalium. Akibatnya enteraltensial istirahat sel otot
jantung akan memendek atau memanjang dan memicu terjadinya gangguan
irama jantung.
5. Gangguan pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan
irama jantung. Dalam hal ini aktivitas nervus vagus yang meningkat dapat
memperlambat atau menghentikan aktivitas sel pacu di nodus SA dengan
cara meninggikan konduktansi ion kalium.
6. Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat. Peningkatan aktivitas
simpatis dapat menyebabkan bertambahnya kecepatan deenterallarisasi
senteralntan.
7. Gangguan endokrin (hipertiroidisme dan hipotirodisme). Hormon tiroid
mempengaruhi proses metabolisme di dalam tubuh melalui perangsangan
sistem saraf autonom yang juga berpengaruh pada jantung.
8. Akibat gagal jantung. Gagal jantung merupakan suatu keadaan di mana
jantung tidak dapat memompa darah secara optimal ke seluruh tubuh.Pada
gagal jantung, fokus-fokus ektopik (pemicu jantung selain nodus SA) dapat
muncul dan terangsang sehingga menimbulkan impuls tersendiri.
9. Akibat kardiomiopati. Jantung yang mengalami kardiomiopati akan disertai
dengan dilatasi sel otot jantung sehingga dapat merangsang fokus-fokus
ektopik dan menimbulkan gangguan irama jantung.
10. Karena penyakit degenerasi misalnya fibrosis sistem konduksi jantung. Sel
otot jantung akan digantikan oleh jaringan parut sehingga konduksi jantung
pun terganggu.

3|SVT
2.3 Mekanisme Terjadinya SVT
Mekanisme supraventrikular takikardi adalah atrioventricular nodal
reentrant tachycardia (AVNRT), atrioventricular reciprocating (reentrant)
tachycardia (AVRT), dan atrial tachycardia[ CITATION Lin12 \l 1033 ].
1) Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
AVNRT timbul karena adanya reentrant yang menghubungkan
antara nodus AV dan jaringan atrium. Nodus AV pada AVNRT memiliki
dua jalur konduksi yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat.
Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar dengan katup trikuspid,
memungkinkan reentrant sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur
tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus
AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju dari nodus AV ke
ventrikel) dalam waktu bersamaan. Depolarisasi atrium dan ventrikel yang
bersamaan, mengakibatkan gelombang P jarang terlihat pada gambaran
EKG, meskipun depolarisasi atrium akan memunculkan gelombang P pada
akhir kompleks QRS pada lead V1[ CITATION Lin12 \l 1033 ].

Gambar 1. Proses terjadinya atrioventricular nodal reentrant tachycardia


dan gambaran EKG yang timbul

2) Atrioventricular Reciprocating (Reentrant) Tachycardia (AVRT)


AVRT merupakan takikardi yang disebabkan oleh adanya satu atau
lebih jalur konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari sistem
konduksi jantung normal. Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi
miokardium yang mampu menghantarkan impuls listrik antara atrium dan

4|SVT
ventrikel pada suatu titik selain nodus AV. AVRT terjadi dalam dua
bentuk yaitu orthodromik dan antidromik. (Doniger & Sharieff 2010).
AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun
melewati nodus AV secara antegrade seperti jalur konduksi normal dan
menggunakan sebuah jalur aksesori secara retrograde untuk masuk
kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya gelombang P
yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya
konduksi retrograde. (Kantoch 2011; Doniger & Sharieff 2010).
Impuls listrik AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan turun
melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke atrium secara retrograde
melalui nodus AV. Karena jalur aksesori tiba di ventrikel di luar bundle
His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar dibandingkan biasanya.
(Kantoch 2011; Doniger & Sharieff 2010).

Gambar 2. Proses terjadinya atrioventricular reciprocating (reentrant)


tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.

3) Atrial tachycardia
Sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya
karena pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia
yang lama. Takikardi atrium primer tampak adanya gelombang P yang
agak berbeda dengan gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa disertai
pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak

5|SVT
tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan). (Manole & Saladino,
2013).
Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya
sebuah sirkuit reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial flutter
disebabkan oleh sebuah ritme reentry di dalam atrium, yang menimbulkan
laju detak jantung sekitar 300 kali/menit dan bersifat regular atau regular-
ireguler. Gambaran EKG akan tampak gelombang P dengan penampakan
“sawtooth”. Perbandingan antara gelombang P dan QRS yang terbentuk
biasanya berkisar 2:1 sampai dengan 4:1. Karena rasio gelombang P
terhadap QRS cenderung konsisten, atrial flutter biasanya lebih regular
bila dibandingkan dengan atrial fibrillation. Atrial fibrillation dapat
menjadi SVT jika respon ventrikel yang terjadi lebih besar dari 100 kali
per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik ritme ireguler-ireguler
baik pada depolarisasi atrium maupun ventrikel. (Doniger & Sharieff,
2010; Link, 2012).

Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.

2.4 Tanda dan Gejala


SVT biasanya terjadi mendadak dan berhenti juga secara mendadak
Serangan bisa terjadi mungkin hanya beberapa detik saja, bahkan dapat
menetap sampai berjam-jam. Tanda dan gejala supraventrikular takikardi
anatar lain :
1) Frekuensi jantung 150 kali/menit sampai 250 kali/menit

6|SVT
2) Perubahan tekanan darah, nadi tidak teratur, iraama jantung tidak teratur,
kulit pucat, sianosis, berkeringat
3) Pusing, disorientasi, letargi, perubahan reflek pupil
4) Nyeri dada ringan sampai berat, gelisah
5) Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan
6) Terdapat nafas tambahan (krekels, ronkhi, mengi)
7) Demam, kulit kemerahan, inflamasi eritema, edema,kehilangan tonus otot
(Hudak & Galo, 1997)

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dari ventrikel takikardi adalah :
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi.
Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit
dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien
aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi
pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan
dengan disfungsi ventrikel atau katup
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan area iskemik/kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu
gerakan dinding dan kemampuan enteralmpa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium
dapat menyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat
jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.

7|SVT
9. Laju sedimentasi : Peninggian dapat menunjukkan proses inflamasi akut
contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia.
(Sudoyo,2006)

8|SVT
2.6 Pathway
Mekanisme VT

Otomatisasi Reentry

Sel mengalami percepatan (di Dua jalur


atrium, AV- juntion, bundel
HIS dan ventrikel)
Jalur distal Jalur proksimal

Hipokalemia dan hipoksia


Membentuk
rangkaian kondisi
Perubahan irama tertutup
jantung Ventrikel
Takikardi

Penurunan curah jantung Terjadi aliran listrik


antegad secara lambat
Hipoksia
jaringan
Jalur distal
terangsang
Cerebral Kardio Pulmo
Terjadi aliran listrik
Sesak nafas/ retrograd secara cepat
hiperventilasi

Pola nafas tidak Mempengaruhi pusat


efektif kardiovaskuler dan
reduksi mekanik vena
Perubahan irama dan arteri
jantung

Intoleransi Inefektif perfusi jaringan


aktifitas Terjadi kelelahan kardiopulomonal

9|SVT
Gambar 1. Supraventrikular takikardi

10 | S V T
2.7 Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan termonitor dengan
baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized
cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon
yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu
sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada
puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel.
Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock
oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi
ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC
shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap
tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasive. (American Heart
Association, 2011).
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dilakukan pada anak yang lebih besar namun tidak
dianjurkan pada bayi karena jarang berhasil. Maneuver vagal yang
terbukti efektif adalah perendaman wajah. Teknik ini dilakukan
dengan cara bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah
direndam selama sekitar lima detik ke dalam mangkuk air dingin.
Akan tetapi, maneuver vagal yang lain seperti pemijatan sinus karotis
dan penekanan pada bola mata tidak direkomendasikan dan terbukti
tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan pemijatan sinus karotis justru
dapat menekan pernapasan dan penekanan pada bola mata memiliki
resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika perendaman wajah
gagal, adenosin dengan dosis awal 200 µg / kg dapat diberikan secara
intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar (seperti pada
fossa antecubital). Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai
dengan 500 µg / kg. (Schlechte, 2011).

11 | S V T
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat
dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada
hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari
aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel
dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV
sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
(Manole & Saladino, 2013).
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama
dalam terapi SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. (Dubin, 2012;
Kannankeril & Fish, 2011). Adenosin diberikan secara bolus intravena
diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan
50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 µ/kg). Dosis yang
efektif yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan
digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang. (Moghaddam, et al.,
2011)
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea,
facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada
pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau
setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti
beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma. (Manole &
Saladino, 2013).
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih
mungkin mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT. (Kothari & Skinner, 2013).
d. Verapamil

12 | S V T
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi
saat ini mulai jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat ini
mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac
output. Banyak laporan terjadinya hipotensi berat dan henti jantung.
Jika diberikan verapamil, persiapan untuk mengantisipasi hipotensi
harus disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan
obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa verapamil
efektif mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak
memberikan respon dengan adenosine. (Chun & Van Hare, 2010;
American Heart Association, 2011)
e. Prokainamid.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga
efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau
pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus
AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose
diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100
mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena yang
dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis
pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit (Iyer, 2013).
f. Digoksin
Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT
pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera
SVT dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan
WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras
tambahan. Digitalisasi dipakai pada pasien tanpa gagal jantung
kongestif. (Schlechte, 2011).
g. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak
bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena
phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus.
Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan
mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek
phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium

13 | S V T
(tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti
aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak
direkomendasikan pada pasien dengan CHF karena dapat
meningkatkan afterload sehingga merugikan pada pasien dengan gagal
jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg
cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr
terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170
mmHg.
h. Flecainide dan sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk
mengontrol SVT yang refrakter. Dosis yang terbukti aman digunakan
berkisar 80-180 mg/m2/hari yang diberikan dalam 2-3 dosis terbagi
(Iyer, 2013)
i. Beta bloker.
Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu juga
penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di
antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi
memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan
terapi pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua
pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes fungsi
hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan
secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada
takikardi atrial ektopik[ CITATION Iye08 \l 1033 ].

14 | S V T
Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma

15 | S V T
2) Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka
panjang SVT. Di antara yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang
lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari
jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi
sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan
merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.

Gambar 5. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT

a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka
panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi
dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak
dikaitkan dengan preeksitasi.

16 | S V T
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat
diberikan long acting β blocker, yang telah terbukti aman digunakan
dan tidak membutuhkan monitoring spesifik. Pada pasien yang
mengalami syok atau sulit untuk dilakukan kardioversi, dapat
diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol,
flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan
monitoring intensif. Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur
pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak tercapainya
konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus
dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan
dapat diterima jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki
beberapa efek β blocker dan harus diperhatikan kemungkinan
terjadinya disfungsi miokard. (Iyer, 2013)
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan
yang dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut [ CITATION Won06 \l
1033 ]. Digoksin tidak diunakan sebagai terapi tunggal karena dianggap
kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan resiko
terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin
dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White
(WPW) karena meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan
merupakan predisposisi untuk mempercepat terjadinya fibrilasi atrium
dan kematian mendadak pada pasien. (Wong, et al., 2012)
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5
tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan.
Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini
umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan
umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan
medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila SVT refrakter
terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada
pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif
terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam

17 | S V T
kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi
pembedahan. (Kothari & Skinner, 2013)

Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam


manajemen takikardi.
Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel Flecainide, propafenone
blocker
Kelas 2 : β blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel Amiodarone, sotalol
blocker
Kelas 4 : calcium channel Verapamil, diltiazem
blocker

b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan
kuratif berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali
diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989
ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang
tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan
kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena
pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka
banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan dengan energi
radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar 30-60 detik.
Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di
bawah kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter
itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama kerusakan
jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan
menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan

18 | S V T
dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur
sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan
memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya
ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini
bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter
ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan
kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal. Bila
lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi
diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan
adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya
rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu
dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama
dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan
toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur
jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek
peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada
obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan
rata-rata ARF pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan
sekitar 2-5%. Angka penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan[ CITATION
Kim12 \l 1033 ].

c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah


Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi
hebat. Alat pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat diprogram
secara automatik (automatic multiprogrammable overdrive
pacemaker) akan sangat memudahkan penggunaannya pada pasien

19 | S V T
yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang di ventrikel
setelah pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT
automatik yang tidak dapat diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan
terakhir setelah tindakan pembedahan langsung gagal.
Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien
sindrom WPW. Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena
memberikan hasil yang sangat memuaskan, akhir-akhir ini cara ini
lebih disukai daripada pengobatan medikamentosa. Telah dicoba pula
tindakan bedah pada SVT yang disebabkan mekanisme automatik
dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara kriotermik. Gillete
tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-V
junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi dilanjutkan
dengan pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.
Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah
mulai ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi,
kesulitan melakukan ablasi transkateter dapat diatasi dengan
pendekatan bedah dengan menggunakan tehnik kombinasi insisi dan
cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya residu kelainan
hemodinamik yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel dapat
dikoreksi sekaligus.

20 | S V T
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus
Ny. A usia 38 tahun datang ke RS. Harapan Kita diantar oleh suaminya. klien
dibawa ke RS karena mengeluh jantung terasa berdebar debar sejak 1 hari yang
lalu. Klien juga mengatakan sesak bertambah bila klien melakukan aktivitas . Pada
saat dilakukan pengkajian pasien mengatakan jantung bedebar-debar, nyeri dada
dan sesak nafas. Pasien terpasang NRM 10 liter/menit. Pada saat pemeriksaan HR
klien 197 x/menit dan tekanan darah 103/62 mmHg RR 29x/menit. Pasien terlihat
lemah dan sesak nafas bertambah bila beraktivitas.

A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. A
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Diagnosa : Supraventrikular takikardi (SVT)
No. RM : 532745
Alamat : Ds. Langkap RT/RW 05/01, Kertanegara
Penanggung Jawab
Nama : Tn. R
Usia : 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Ds. Langkap RT/RW 05/01, Kertanegara
Status : Suami klien
B. PENGKAJIAN
1. Status kesehatan
a. Keluhan utama

21 | S V T
Pasien mengatakan sesak nafas dan jantung terasa berdebar-debar
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke RS karena mengeluh jantung terasa berdebar debar
sejak 1 hari yang lalu. Klien juga mengatakan sesak bertambah bila klien
melakukan aktivitas. Pada saat dilakukan pengkajian pasien mengatakan
jantung bedebar-debar, nyeri dada dan sesak nafas. Pasien terpasang
NRM 10 liter/menit. Pada saat pemeriksaan HR klien 197 x/menit dan
tekanan darah 103/62 mmHg RR : 29x/menit. Pasien terlihat lemah dan
sesak nafas bertambah bila beraktivitas.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit sama seperti yang
dirasakan sekarang. Pasien pernah dirawat dirumah sakit RSMS sekitar 4
bulan yang lalu dengan penyakit yang sama. Pasien mengatakan tidak
mempunyai riwayat penyakit hipertensi, DM, stroke dan asma.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan terdapat ada anggota keluarga yang
mempunyai riwayat penyakit jantung dan riwayat penyakit asma.
e. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta
f. Riwayat Geografi
Pasien merupakan warga asli Langkap RT/RW 05/01, Kertanegara. Desa
Langkap merupakan desa yang dekat dengan jalan raya sehingga paparan
polusi udara tinggi yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
g. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi obat dan makanan.
h. Kebiasaan Sosial
Pasien merupakan seorang istri. Pasien mengatakan memiliki hubungan
yang baik dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar rumahnya.
Kebiasaan pasien setiap harinya yaitu bekerja, mengurusi suami, dan
rumah. Pasien suka mengikuti kegiatan-kegiatan dilingkungan rumahnya
seperti pengajian rutin dan kalau ada hajatan, pasien suka ikut serta suka

22 | S V T
mengikuti perkumpulan-perkumpulan lainnya dengan tetangga. Pasien
mengatakan sangat suka dengan anak kecil.
i. Kebiasaan Merokok
Pasien tidak mempunyai riwayat merokok.

2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : compos mentis
a. Breath (Pernafasan)
1. Inspeksi: bentuk dada normochest, iramanya reguler, ekspansi dada
maksimal dan simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, tidak
terdapat luka di daerah dada, tidak ada bantuan otot-otot tambahan
pernapasan, oksigenasi menggunakan NRM 10 liter per menit, saturasi
oksigen 100%.
2. Palpasi: pengembangan dada simetris
3. Perkusi: bunyi sonor pada semua lapang paru
4. Auskultasi: Suara napas bersih tidak ada sumbatan, suara paru
vesikuler, RR 29x/menit
b. Blood (Kardiovaskuler)
HR : 197 x/menit
Bunyi jantung : S1>S2, gallop (-), murmur (-)
EKG : Supraventrikular takikardi
TD : 103/62 mmHg
JVP : tidak terlihat peningkatan JVP.
Sianosis perifer : tidak terdapat sianosis di area perifer pasien (area
kuku).
Cafillary refill : < 2 detik
Nadi karotis : teraba jelas
c. Brain (Persyarafan)
Tingkat keadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Bentuk kepala : mesosefal

23 | S V T
Mata : konjungtiva tidak anemis, pupil isokor dan masih
berespon terhadap cahaya, sklera tidak ikterik.
Refleks Patologis : negatif
Refleks Fisiologis : positif

d. Bladder (Perkemihan)
Kandung kemih : tidak terdapat distensi
Urin : kuning jernih, jumlah urin 100 cc/ 1 jam
e. Bowel (Pencernaan)
Mulut : bibir dan mukosa lembap.
Bunyi usus : bising usus, 17 x/menit
BAB : pada saat dilakukan pengkajian pasien belum
BAB.
Alat bantu : pasien tidak terpasang kateter urin.
Ascites : tidak ascites
Hepatomegali : tidak ada hepatomegali
f. Bone (Muskuloskleletal)
ROM : ROM aktif. Pasien dapat menggerakan
tangan dan kakinya serta pergerakannya
masih normal.
Deformitas ekstremitas : (-)
Kekuatan otot :
5 5

5 5

Turgor : < 2 detik


Akral : hangat

C. HASIL UJI DIAGNOSTIK


1. Laboratorium
a. Pemeriksaan tanggal 19 Juni 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai

24 | S V T
normal

Paket darah rutin

Hemoglobin 14,6 g/dl 13,2-17,3

Leukosit 14,6 10^3/uL 3,8-10,6

Hematokrit 45 40-52

Eritrosit 5,2 10^6/uL 4,4-5,9

Trombosit 408 10^3/uL 150-440

MCH 28 Pg 26-34

MCHC 33 g/dL 32-36

MCV 86 fL 80-100

DIFF COUNT

Eosinofil 1 1-3

Basofil 0 0-1

Netrofil segmen 53 50-70

Limfosit 41 25-40

Monosit 6 2-8

Elektrolit

Natrium 136 mmol/L 135,0-147,0

Kalium 3,4 mmol/L 3,5-5,0

Klorida 115,0 mmol/L 95,0-105,0

GDS 152,0 mg/dl 100-150

Cholesterol 167 mg/dl 150,0-200,0


total

Trigliserida 234 mg/dl 70,0-140,0

Ureum 29,2 mg/dl 10-50

Creatinin 0,66 mg/dl 0,6-1,1

Asam Urat 7,50 mg/dl < 6,8

SGOT 48,0 u/L <= 37

25 | S V T
SGPT 85,0 u/L <= 42

b. Pemeriksaan tanggal 20 Juni 2019


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
normal

Paket darah rutin

Hemoglobin 13,4 g/dl 13,2-17,3

Leukosit 11,1 10^3/uL 3,8-10,6

Hematokrit 42 40-52

Eritrosit 4,8 10^6/uL 4,4-5,9

Trombosit 312 10^3/uL 150-440

MCH 28 Pg 26-34

MCHC 32 g/dL 32-36

MCV 87 fL 80-100

DIFF COUNT

Eosinofil 1 1-3

Basofil 1 0-1

Netrofil segmen 66 50-70

Limfosit 26 25-40

Monosit 6 2-8

2. EKG
Tanggal 19 juni 2019
Wide QRS tachycardia, left bundle branch, abnormal EKG
Tanggal 20 juni 2019
Marked sinus bradycardia with AV dissociation and junctional rhytm
with sinus /atrial capture, ST & T wave abnormalilty, consider
anterolateral ischemia, prolonged QT, Abnormal EKG

26 | S V T
D. PROGRAM TERAPI
Tanggal 19 Juni 2019
1. Inj. Fargoxin 75 mg (intravena)
2. Inj. Ranitidin 25 mg 2 x1 (intravena)
3. Inj. Ondancetron 4 mg 2x1 (intravena)
4. Inj. Midazolam 5 mg (intravena)
5. Alprazolam 0,5 mg 2x1 (enteral)
6. Acetosal 8 mg 1x1(enteral)
7. ISDN 5mg 3x1 (enteral)
8. Digoxin 30 mg 2x1 (enteral)
Tanggal 20 Juni 2019
1. Inj. Ranitidin 25 mg 2x1 (intravena)
2. Inj. Ondancetron 4 mg 2x1 (intravena)
3. Alprazolam 0,5 mg 2x1 (enteral)
4. ISDN 5mg 3x1 (enteral)
5. Acetosal 8 mg 1x1(enteral)
6. Digoxin 30 mg 1x1 (enteral)

E. ANALISA DATA
Data Problem Etiologi

DS: pasien mengatakan sesak


nafas
DO:
- HR = 197 x/menit
- RR = 29 x/menit
- Pasien tampak sesak, Pola Nafas tidak efektif Hiperventilasi
kesulitan bernafas
- SaO2 100%
- Hasil EKG : Wide QRS
tachycardia, left bundle
branch, abnormal EKG

DS: pasien mengatakan jantung Penurunan curah Perubahan irama jantung


berdebar-debar, nyeri dada jantung

27 | S V T
DO:
- HR = 197 x/menit teratur
- Hasil EKG : Wide QRS
tachycardia, left bundle
branch, abnormal EKG
- TD = 103/62x/menit
- Pasien tampak cemas
- Kaji nyeri
P : nyeri karena sesak nafas
Q : nyeri seperti menusuk
nusuk
R : nyeri di bagian dada
S : skala nyeri 4
T : nyeri sering muncul
O : klien tampak sesak, dan
menarik nafas dalam

DS:
- pasien mengatakan tidak
mampu melakukan ADL
karena lemah dan sesak
nafas bila beraktivitas
DO:
- Pasien tampak lemah,
pasien dibantu oleh Ketidakseimbangan antara
keluarga untuk Intoleransi aktivitas suplai O2 dengan
memenuhi ADL.
kebutuhan
- TTV
- HR 197 x/menit teratur,
RR 29 x/menit, TD
103/62 mmhg,
- Hasil EKG : Wide QRS
tachycardia, left bundle
branch, abnormal EKG

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai
O2 dengan kebutuhan

28 | S V T
29 | S V T
G. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway Management :


efektif selama 2x24 jam Pola nafas efektif, dengan 1. Enteralsisikan klien untuk 1. Mencukupi kebutuhan
berhubungan kriteria hasil : memaksimalkan ventilasi oksigen
dengan Respiratory status : ventilation 2. Monitor RR klien 2. Mengetahui keadaan
3. Auskultasi suara nafas klien
hiperventilasi,
No Indikator Skala Skala klien 3. Mengeidentifikasi
awal target 4. Monitor respirasi dan adanya suara nafas
status O2 tambahan klien
1 RR dalam 2 4 5. Berikan terapi O2 4. Mengetahui keadaan
batas normal klien
5. Mencukupi kebutuhan
2 Tidak terdapat 2 4
oksigen
suara nafas
tambahan
3 2 4
Tidak terdapat
4 dispnea 2 4
Tidak terdapat
nafas pendek

Keterangan :
1. keluhan ekstrim
2. keluhan berat
3. keluhan sedang
4. keluhan ringan
5. tidak ada keluhan

30 | S V T
Penurunan curah setelah dilakukan tindakan keperawatan Cardiac Care
jantung selama 2x24jam, diharapkan curah jantung 1. Monitor TTV pasien 1. Mengetahui kondisi
berhubungan dengan normal dengan kriteria hasil : Cardiac umum klien
perubahan pump effectiveness : 2. Monitor Status 2. Mengetahui perubahan
kardiovaskuler status kardiovaskuler
denyut/irama
No Indikator Skala Skala klien
jantung. 3. Mengkaji kondisi nyeri
awal target 3. Evaluasi adanya nyeri dada
(intensitas, lokasi dan pasien
1 TD dalam 2 4 durasi)
batas normal 4. Catat adanya disritmia 4. Kelainan irama jantung
2 HR dalam 2 4 menunjuukan adanya
batas normal kegawatan
5. Mengetahui perubahan
3 Nyeri 2 4
tekanan darah
berkurang 5. Monitor adanya perubahan 6. Menghindari kelelahan
4 Aktivitas 2 5 tekanan darah dan mempercepat
toleran 6. Atur periode latihan dan pemulihan
istirahat 7. Stres dapat
meningkatkan TD dan
7. Anjurkan untuk mengurangi memperburuk kondisi
stress pasien
8. Mempercepat proses
pemulihan
8. Kolaborasi pemberian obat
antiaritmia
Keterangan :
1. keluhan ekstrim 1. Mengetahui keadaan
2. keluhan berat Fluid monitoring pasien
3. keluhan sedang 1. Monitor Balance cairan
4. keluhan ringan

31 | S V T
5. tidak ada keluhan

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity therapy


berhubungan dengan selama 2x24 jam diharapkan aktivitas klien 1. Rencanakan dan jadwalkan 1. Upaya untuk
Ketidakseimbangan meningkat, dengan kriteria hasil : periode istirahat dan tirah menurunkan keletihan
antara suplai O2 Activity tolerance : baring yang cukup dan dan kelemahan pasien.
adekuat.
dengan kebutuhan
No Indikator Skala Skala
awal target 2. Pantau resenteraln
kardiopulmonal sebelum dan
1 HR dalam 2 4 sesudah beraktivitas 2. Menjaga kemungkinan
adanya resenteraln
batas normal
abnormal dari tubuh
2 RR normal 2 4 sebagai akibat dari
3 Tekanan darah 2 5 3. Minimalkan kerja latihan.
sistol normal kardiovaskuler dengan
4 Tekanan darah 2 5 memberikan enteralsisi
setengah duduk 3. Mengurangi pemakaian
diastol normal
enargi sampai kekuatan
5 EKG dalam 2 4
4. Monitor RR, HR, dan pasien pulih kembali.
batas normal tekanan darah

4. Menjaga kemungkinan
adanya resenteraln
5. Ajarkan klien bagaimana abnormal dari tubuh
Keterangan : sebagai akibat dari
menggunakan teknik
1. keluhan ekstrim mengontrol pernafasan latihan.
2. keluhan berat
3. keluhan sedang 5. Pernafasan dapat
4. keluhan ringan meminimalkan kerja
5. tidak ada keluhan kardiopulmonal

32 | S V T
33 | S V T
H. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal Jam No. Implementasi Respon
Dx

19 Juni 07.30 1,2,3 1. Memberikan obat Alprazolam 0,5 O : Memberikan obat Alprazolam 0,5 mg 2x1
2019 mg 2x1 (enteral), Acetoral 8 mg (enteral), Acetoral 8 mg 1x1(enteral), ISDN 5mg 3x1
1x1(enteral), ISDN 5mg 3x1 (enteral), Digoxin 30 mg 2x1 (enteral)
(enteral), Digoxin 30 mg 2x1
(enteral)

2. Memonitor KU, kesadaran dan TTV


08.30 1, 2, 3 pasien dan mencatatnya O : ku cukup, kesadaran baik. TD = 103/62 mmHg,
RR = 29 x/menit, HR = 197 x/menit

1, 2, 3 3. Mengkaji keluhan pasien S : Klien mengatakan sesak nafas, nyeri dada, jantung
08.35 berdebar-debar
O : RR = 29 x/menit, HR = 197x/menit

S:
08.40 1,3 O : pasien tampak istirahat
4. Menganjurkan pasien untuk istirahat
O : Terapi oksigen NRM 10 L/menit terpasang, posisi

34 | S V T
08.45 2 klien semifowler
5. Memberikan O2 NRM 10 L/menit
dan memberikan enteralsisi
semifowler
O : Inj. Fargoxin 75 mg (intravena), Ranitidin 25 mg
09.00 1,3 2x1 (intravena), Ondancetron 4 mg 2x1(intravena) dan
6. Memberikan Inj. Fargoxin 75 mg
Inj. Midazolam 5 mg (intravena) masuk
(intravena), Ranitidin 25 mg 2x1
(intravena), Ondancetron 4 mg
2x1(intravena) dan Inj. Midazolam 5
mg (intravena)
O : kateter two way terpasang, volume urin 100 cc
09.15 1,3 7. Melakukan pemasangan kateter two urin jernih
way

O : TD = 128/92 mmHg, HR = 169 x/menit, RR = 29


09.30 1,2,3 8. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, x/menit, Senteral2 100% dan MAP = 104, gambaran
MAP dan mencatatnya di lembar
EKG = ventrikel takikardi
monitoring

O : HR = 90 x/menit,
10.00 1,3 9. Memberikan defibrilator atau

O : klien tampak melakukan teknik nafas dalam


10.40 2,3 10. Mengajarkan pasien teknik nafas
dalam
O : TD = 93/57 mmHg, HR = 198 x/menit, RR = 12

35 | S V T
x/menit, Senteral2 100% dan MAP = 67, gambaran
11.00 1,2,3 11. Monitor EKG, TD, HR, Senteral 2, EKG = ventrikel takikardi
MAP dan mencatatnya di lembar
observasi S : klien berjanji akan mengurangi stres

12. Menganjurkan klien untuk


11.15 3
mengurangi stres
S : pasien mengatakan nyeri dibagian dada, jantung
berdebar-debar
11.30 1,3 13. Mengkaji nyeri pasien P : nyeri karena sesak nafas
Q : nyeri seperti menusuk nusuk
R : nyeri di bagian dada
S : skala nyeri 4 (0-10)
T : nyeri sering muncul
O : klien tampak sesak, dan menarik nafas dalam

O : klien tampak menarik nafas dalam

11.45 3 14. Meminta klien mendemonstrasikan


teknik nafas dalam
O : TD = 98/61 mmHg, HR = 58 x/menit, RR = 22
x/menit, SPO2 100% dan MAP = 66, gambaran EKG =
15. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, sinus bradikardi
12.00 1,2,3
MAP dan mencatatnya di lembar
observasi O : TD = 98/61 mmHg, HR = 58 x/menit, RR = 22
x/menit, SPO2 100% dan MAP = 66, gambaran EKG =

36 | S V T
16. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, sinus bradikardi
13.00 1,2,3 MAP dan mencatatnya di lembar
observasi O : urin 100 cc/1 jam

17. Mengukur volume urin pasien dan


14.00 1, 2, 3 membuangnya

20 Juni 07.00 1,2,3 1. Monitor EKG, TD, HR, RR, SO2, O : TD = 113/65 mmHg, RR = 22 x/menit, HR = 57
2019 MAP dan mencatatnya di lembar x/menit, SPO2 = 100%, MAP = 65
observasi
S : klien mengatakan nyeri dada berkurang, sudah
2. Mengkaji keluhan pasien
07.45 1,2,3 tidak sesak nafas, jantungnya sudah tidak berdebar-
debar
O : klien tampak tidak sesak, lebih nyaman RR = 22
x/menit, HR = 57 x/menit, TD = 113/65 mmHg.
O : TD = 110/55 mmHg, RR = 18 x/menit, HR = 60
08.00 1,2,3 x/menit, SPO2 = 100%, MAP = 72
3. Monitor EKG, TD, HR, RR, Senteral2,
MAP dan mencatatnya di lembar
observasi O : inj Ranitidin 25 mg (intravena) dan inj
08.05 1,2,3 Ondancentron 4 mg (intravena) masuk
4. Memberikan inj Ranitidin 25 mg

37 | S V T
(intravena) dan Inj. Ondancetron 4
mg (intravena)
O : Gambaran EKG : Sinus bradikardi with AV, ST &
08.15 1,3 5. Melakukan EKG T wave abnormal, Anterolateral ischemia, Abnormal
EKG

6. Mengganti NRM menjadi kanul nasal O : Kanul nasal 3 L/menit terpasang


08.50 2
3 L/menit

O : TD = 116/57 mmHg, HR = 72 x/menit, RR = 17


09.00 1,2,3 7. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, x/menit, SPO2 100% dan MAP = 71,
MAP dan mencatatnya di lembar
observasi

8. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, O : TD = 98/60 mmHg, HR = 68 x/menit, RR = 17


10.00 1,2,3
MAP dan mencatatnya di lembar x/menit, SPO2 100% dan MAP = 74,
observasi

9. Monitor EKG, TD, HR, Senteral2, O : TD = 108/72 mmHg, HR = 78 x/menit, RR = 16


11.00 1,2,3 MAP dan mencatatnya di lembar x/menit, SPO2 100% dan MAP = 66,
observasi

10. Motivasi untuk diet seimbang


S : klien mengatakan akan makan yang banyak
11.30 1,2,3
O : terdapat sisa makanan ½ porsi pada tempat
11. Monitor intake klien

38 | S V T
makanan klien
11.45 1,2,3
12. Monitor EKG, TD, HR, SO2, MAP
dan mencatatnya di lembar observasi O : TD = 110/72 mmHg, HR = 74 x/menit, RR = 17
x/menit, SPO2 100% dan MAP = 70,
12.00 1,2,3
13. Memberikan obat Alprazolam 0,5 mg O : obat Alprazolam 0,5 mg 2x1 (enteral), ISDN 5mg
2x1 (enteral), ISDN 5mg 3x1
3x1), Acetoral 8 mg 1x1(enteral), Digoxin 30 mg 1x1
(enteral), Acetoral 8 mg 1x1(enteral),
Digoxin 30 mg 1x1 (enteral) masuk
12.05 1,2,3
14. Monitor EKG, TD, HR, SO2, MAP
dan mencatatnya di lembar observasi O : TD = 115/69 mmHg, HR = 78 x/menit, RR = 16
x/menit, SPO2 100% dan MAP = 66,
15. Mengukur jumlah urin dan
13.00 1,2,3 membuangnya O : volume urin 300cc/7 jam, urin jernih

20 Juni 14.00 1,2,3 1. Mencatat dan memonitor tanda vital: S: pasien mengatakan keadannya sudah membaik dan
2019 TD, MAP, HR, SaO2. tidak deg-degan lagi
O: TD: 119/62 mmHg, MAP :82 mmHg, HR: 58 x/mnt,
R 21 x/mnt dan SPO2: 100%.

39 | S V T
2. Mendengarkan bunyi nafas
1,2,3 tambahan dan irama jantung O : Tidak terdengar suara nafas tambahan. Irama
jantung regular
3. Memonitor tetesan D5% 12 tpm
4. Membenarkan posisi setengah duduk
1,2,3 O : tetesan D5% 12 tpm
dan O2 binasal 3 l/m
1,2,3 O : Pasien tampak istirahat dengan ;posisi setengah
5. Mencatat dan memonitor tanda vital: duduk dan O2 binasal 3 l/m
TD, MAP, HR, SaO2.
15.00 1,2,3 6. Memotivasi pasien untuk latihan O: TD: 104/61 mmHg, MAP :70 mmHg, N: 70 x/mnt,
duduk R 21 x/mnt dan SPO2: 100%.
1,2 S: Pasien mengatakan mau latihan duduk
7. Mencatat dan memonitor tanda vital: O : Pasien tampak dapat duduk sekitar 15 menit
TD, MAP, HR, SaO2.
16.00 1,2,3 O: TD: 101/66 mmHg, MAP :70 mmHg, N: 71 x/mnt, R
8. Mencatat dan memonitor tanda vital:
18 x/mnt dan SPO2: 100%.
TD, MAP, HR, SaO2.

17.00 1,2,3 S: -
9. Mencatat dan memonitor tanda vital: O: TD: 102/64 mmHg, MAP :72 mmHg, N: 92 x/mnt, R
TD, MAP, HR, SaO2. 26 x/mnt dan SPO2: 97%.

18.00 1,2,3 10. Mengkaji keluhan pasien O: TD: 102/70 mmHg, MAP :74 mmHg, N: 89 x/mnt, R
25 x/mnt dan SPO2: 100%. Suhu: 37,5 0C
11. Memberikan paracetamol 1 tablet
1,2,3 S: pasien mengatakan merasa greges.
12. Menganjurkan pasien untuk istirahat

40 | S V T
O : pasien tampak minum paracetamol 1 tablet
13. Mencatat dan memonitor tanda vital:
TD, MAP, HR, SaO2. O : pasien tampak istirahat

19.00 1,2,3 14. Mengkaji keluhan pasien S: -


O: TD: 119/69 mmHg, MAP :81 mmHg, N: 95 x/mnt, R
29 x/mnt dan SPO2: 97%.

15. Mencatat dan memonitor tanda vital:


S: Pasien mengatakan sudah merasa tidak greges dan
TD, MAP, HR, SaO2, Suhu
tidak mual
16. Menganjurkan pasien minum obat O: TD: 103/69 mmHg, MAP :78 mmHg, HR: 91 x/mnt,
ISDN 1 tablet dan cefixime dan R 29 x/mnt dan SPO2: 97%. Suhu 36,8 0C.
20.00 memberikan injeksi ranitidin 30 mg
dan ondansentron 4 mg O : Pasien meminum obat sesuai anjuran. Injeksi
ranitidin 30 mg dan ondansentron 4 mg masuk.
17. Mencatat dan memonitor tanda vital:
TD, MAP, HR, SaO2
O: TD: 105/64 mmHg, MAP :78 mmHg, HR: 88 x/mnt,
18. Mengukur dan mencatat urin yang
R 28 x/mnt dan SPO2: 98%,
keluar.

19. Menganjurkan pasien untuk istirahat O : out put urin 900 cc/ 7 jam

41 | S V T
S: pasien mengatakan mau istirahat

I. EVALUASI
Tanggal dan Jam Diagnosa Evaluasi

20 juni 2019 pola napas tidak efektif S:pasien mengatakan sudah tidak sesak nafas
14.00 WIB berhubungan dengan O: klien tampak tidak sesak, lebih nyaman TD = 113/75 mmHg, HR = 76
hiperventilasi, x/menit, RR = 18 x/menit, SPO2 100% dan MAP = 71
A: masalah Pola nafas teratasi dengan kriteria hasil:
Respiratory status : ventilation

No Indikator Skala Skala Skala


awal Tujuan target

1 RR dalam batas normal 2 4 4


2 Tidak terdapat suara nafas 2 4 4
tambahan
3 Tidak terdapat dispnea 2 4 4
4 Tidak terdapat nafas pendek 2 4 4

42 | S V T
P: Pertahankan kondisi pasien, sampai pasien benar-benar pulih

20 juni 2019 Penurunan curah jantung S: Pasien mengatakan jantungnya sudah tidak berdebar-debar
14.00 WIB berhubungan dengan O: pasien tampak tenang , lebih nyaman TD = 113/75 mmHg, HR = 76 x/menit,
perubahan denyut/irama RR = 18 x/menit, SPO2 100% dan MAP = 71
jantung. A: masalah curah jantung teratasi dengan kriteria hasil:
Cardiac pump effectiveness :

No Indikator Skala Skala Skala


awal Sekarang target

1 TD dalam batas normal 2 4 4


2 HR dalam batas normal 2 4 4
3 Tidak terdapat disritmia 2 4 4
4 Aktivitas toleran 2 4 5
5 Tidak terdapat angina 2 4 4

P: Pertahankan kondisi pasien, dan anjurkan pasien untuk mengurangi beban


pikiran yang dapat menimbulkan stres

20 Juni 2019 Intoleransi aktivitas S: Pasien mengatakan jantungnya sudah tidak berdebar-debar
Jam 14.00 WIB berhubungan dengan O: pasien tampak tenang , lebih nyaman TD = 113/75 mmHg, HR = 76 x/menit,
Ketidakseimbangan antara RR = 18 x/menit, SPO2 100% dan MAP = 71
suplai O2 dengan kebutuhan

43 | S V T
A: Masalah aktivitas klien teratasi, dengan kriteria hasil :
Activity tolerance :

No Indikator Skala Skala Skala


awal Sekaran target
g

1 HR dalam batas normal 2 4 4


2 RR normal 2 4 4
3 Tekanan darah sistol 2 5 5
normal
4 Tekanan darah diastol 2 4 5
normal
5 EKG dalam batas normal 2 4 4

P: Pertahankan kondisi pasien, dan anjurkan pasien untuk mengurangi aktivitas


yang berat.

44 | S V T
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Supraventrikular takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan perubahan laju jantung yang mendadak bertambah
cepat menjadi berkisar antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit.

Etiologi:

 Peradangan jantung
 Gangguan sirkulasi coroner
 Intoksikasi obat
 Gangguan keseimbangan elektrolit
 Gangguan pengaturan susunan saraf autonomy
 DLL.

Secara umum terdapat tiga macam mekanisme terjadi aritmia, termasuk aritmia ventrikel, yaitu automaticity, reentrant, dan triggered
activity

45 | S V T
4.2. Saran
1. Diharapkan kepada perawat, dokter, dan tim kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang adanya hubungan komunikasi
terapeutik yang baik kepada pasien dan keluarga pasien.
2. Diharapkan kepada perawat, dokter, dan tim kesehatan untuk memberikan penkes tentang penyakit kepada pasien dan keluarga
pasien untuk menambah pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya.
3. Pada semua orang yang mengalami sesak nafas, nyeri daerah dada, pernafasan cepat yang sifatnya masih ringan sebaiknya langsung
periksakan ke pelayanan kesehatan agar memperoleh tindakan keperawatan dan pengobatan yang cepat dan tepat sedini mungkin.

46 | S V T

Anda mungkin juga menyukai