Disusun Oleh:
Sylvia Wanda Stephanie Siahaan, S.Ked 04084822124098
Pembimbing:
Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS
Laporan Kasus
CEDERA KEPALA SEDANG
Oleh:
Sylvia Wanda Stephanie Siahaan, S.Ked 04084822124098
Dosen Pembimbing:
Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 15 November 2021 – 1 Desember 2021.
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “CEDERA
KEPALA SEDANG” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Rose Mafiana,
SpAn. KNA.KAO. MARS selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan
bimbingan dan nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar referat ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa
membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-
baiknya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Riwayat AMPLE
Tabel 2. Riwayat AMPLE
Tidak ada Riwayat alergi makanan maupun obat-
Allergies
obatan pada pasien.
Medications Tidak ada riwayat pemakaian obat-obatan sebelumnya.
Past medical Tidak ada riwayat penyakit ataupun operasi
surgical history sebelumnya.
Last meal -
±5 jam SMRS pasien jatuh dari lantai 3 dengan
Event ketinggian ± 6m, dengan mekanisme yang tidak
diketahui
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3 sejak ±5 jam SMRS
Riwayat perjalanan penyakit
± 5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien jatuh dari lantai 3 (± 6 meter)
saat sedang mengangkat jemuran. Pasien ditemukan terlentang dan merintih
kesakitan. Tidak diketahui mekanisme pasien terjatuh. Tidak ada luka terbuka
ditubuh pasien. Pasien tidak diberikan obat apapun.
± 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami muntah sebanyak
1 kali. Muntah berisi cairan berbau asam bersama sisa makanan dengan jumlah
yang tidak diketahui. Pasien masih bisa membuka mata namun tidak kooperatif
saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien seperti mengerang tidak jelas.
Kejang tidak ada.
Pasien dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang pukul 21.00 WIB dan sampai di IGD pukul 22.30 WIB.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal
Riwayat Operasi
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal
Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga disangkal
Pemeriksan Radiologi
Rontgen Dada
Gambar 2. (A) rontgen pelvis, (B) rontgen servikal, dan (C) rontgen tibia-fibula
Kesan : Terdapat fraktur inkomplit pada os. Coxae dextra. Terdapat fraktur
komplit pada os tibia dan os fibula dextra. Tidak terdapat kelainan pada foto
rontgen servikal.
CT Scan Kepala
2.6. Diagnosis
Penurunan kesadaran ec cedera kepala sedang + Fraktur komplit os. tibia-
fibula dextra + fraktur inkomplit os. Coxae dextra
2.7. Tatalaksana
Non Farmakologi :
Head up 30
Pemasangan collar neck
Monitoring TTV, urin
Jaga suhu hipotermi
Rencana pemasangan Central Venous Catheter (CVC)
Farmakologi :
IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
O2 10 L/menit via NRM
Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
Mannitol 100 cc/6 jam IV
Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
2.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
2.8 Follow Up
Tabel 4. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 00.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E2M4Vt
Pupil anisokor 3mm/5mm, Reflek cahaya +/+
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 63x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
RR 15 x/menit (on MV), SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E2M4Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Intubasi
- Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci
Tabel 5. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 02.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 3mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 63x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (monitor),
SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci
Tabel 6. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 04.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 4mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 50x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (on MV),
SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci
Tabel 7. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 05.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 4mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 100/70-mmHg
HR : 30x/m, reguler, lemah
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (on MV),
SpO2 95%
A Mati batang otak e.c cedera kepala + Fraktur komplit os. tibia-fibula
dextra
+ fraktur os. Coxae dextra + asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci
BAB III
ANALISIS KASUS
Nn. FS, 21 tahun, dibawa ke IGD karena terjatuh dari lantai 3 sekitar 5 jam
SMRS saat sedang mengangkat jemuran. Pasien ditemukan telentang dengan
mekanisme jatuh yang tidak diketahui. Pasien mengalami muntah sebanyak 1 kali.
Muntah berisi cairan berbau asam bersama sisa makanan dengan jumlah yang
tidak diketahui. Saat dirumah, pasien masih bisa membuka mata namun tidak
kooperatif saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien seperti mengerang
tidak jelas. Pasien lalu dibawa oleh polisi ke IGD RSMH dan dirawat di ruang P2
bedah.
Dari survei primer pada pemeriksaan airway didapatkan snoring dan
gurgling yang diakibatkan jatuhnya lidah ke belakang dan akumulasi cairan
karena pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 11, lalu dilakukan
tindakan patensi jalan napas dengan pamasangan oropharyngeal airway dan
melakukan suction. Setelah itu dilakukan pemasangan collar neck karena
kecurigaan adanya fraktur cervical. Pada pemeriksaan breathing didapatkan
pasien bernapas spontan dengan laju napas 18x/menit (bradipneu), usaha napas
tidak meningkat, dan saturasi oksigen 94%. Pemberian oksigen 10L/menit dengan
non rebreathing mask bertujuan untuk memperbaiki saturasi oksigen. Evaluasi
survei primer circulation didapatkan akral pasien tampak pucat, sebagai tata
laksana, dilakukan pemasangan jalur intravena dan infus cairan resusitasi NaCl
0,9% atau RL untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
Pada pemeriksaan disability didapatkan GCS E3M6V2, pupil bulat anisokor,
diameter 3mm/5mm, refleks cahaya (+/+). Glasgow Coma Scale atau GCS adalah
cara untuk mengukur kesadaran secara objektif pada seluruh jenis keadaan akut
medis dan trauma yang diukur dengan melihat 3 aspek yaitu: pembukaan mata,
respon motorik, dan respon verbal. GCS merupakan salah satu skoring yang dapat
digunakan untuk mengetahui keparahan dari cedera kepala. 3 Pasien cedera kepala
di bagi berdasarkan hasil dari perhitungan GCS, dengan klasifikasi: Cedera kepala
ringan (GCS 14-15), cedera kepala sedang (GCS 9-13), cedera kepala berat (GCS
3-8)4. Adanya Postur decerebrate atau decorticate (nilai GCS yang makin rendah)
berkaitan dengan prognosis yang buruk5,6
Ukuran dan refleks cahaya pada pupil serta kedudukan bola mata juga
berkaitan dengan prognosis pasien penurunan kesadaran. Pupil yang isokor dan
normal dengan refleks cahaya yang baik menunjukkan integritas struktur otak
tengah. Pupil yang anisokor adalah indikator awal adanya peregangan atau
kompresi Nervus III dan mencerminkan adanya proses herniasi. Herniasi otak
memiliki prognosis yang cukup buruk dinilai dari beberapa faktor seperti: onset
herniasi, umur, GCS, pupil anisokor, adanya multi trauma, adanya hipoksia dan
hipotensi, peningkatan TIK, dan dinilai dari progresivitas dari keparahan sindrom
herniasi. pada pemeriksaan environment didapatkan suhu tubuh pasien 36.6o C,
lalu dilakukan pemberian selimut untuk mencegah hipotermia.
Pada kasus ini, dilakukan alloanamnesis pada nenek pasien dimana
dikatakan bahwa pasien pasien jatuh dari lantai 3 (± 6 meter) saat sedang
mengangkat jemuran. Pasien ditemukan terlentang dan merintih kesakitan. Tidak
diketahui mekanisme pasien terjatuh. Tidak ada luka terbuka ditubuh pasien.
Pasien tidak diberikan obat apapun. ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengalami muntah sebanyak 1 kali. Muntah berisi cairan berbau asam bersama
sisa makanan dengan jumlah yang tidak diketahui. Pasien masih bisa membuka
mata namun tidak kooperatif saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien
seperti mengerang tidak jelas. Kejang tidak ada. Cedera kepala atau disebut
traumatic brain injury (TBI) adalah cedera pada kepala yang merupakan hasil dari
tekanan mekanik dan menghasilkan deformasi jaringan saat terjadinya tekanan
dengan dampak langsung ke pembuluh darah, akson, saraf, dan glia.4 Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab tersering dari morbiditas dan mortalitas
terutama pada dewasa muda dan remaja. Cedera kepala ringan dapat
menyebabkan concussion dan postconcussice syndrome sedangkan pada cedera
yang lebih berat dapat menyebabkan diffuse axonal shear injury, petechial
hemorrhages, intrakranial hemorrhages, cerebral contusion, dan edema cerebri
yang dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Kebanyakan dari cedera kepala terjadi akibat dari salah satu mekanisme,
yaitu kontak atau akibat dari adanya gaya inersia atau percepatan di kepala.
Cedera kepala akibat kontak terjadi karena adanya kontak atau tumburan kepala
ke objek terlepas dari akan adanya pergerakan kepala setelahnya.7,8
Karakteristik Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-Laki 83
Perempuan 24
Klasifikasi Cedera Kepala
Ringan 19
Sedang 62
Berat 26
Usia
Balita 2
Anak-Anak 9
Remaja 24
Dewasa 49
Lansia 23
Diagnosis
ICH 45
IVH 29
Fraktur 14
EDH 11
Abnormalitas CT-Scan
Perdarahan 46
Tanpa Perdarahan 61
Tatalaksana;
Operasi 95
Konservatif 12
Outcome
Sembuh 98
Meninggal 9
Didapatkan bahwa kejadian dengan cedera kepala lebih banyak mengenai
jenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Didapatkan bahwa prevalensi cedera
kepala sedang lebih banyak daripada cedera kepala ringan dan cedera kepala
berat. Faktor penyebab yang dapat terjadi adalah kekuatan (force) benturan fisik
dari lingkungan eksternal yang berintensitas sedang lebih banyak daripada yang
berintensitas besar. Cedera kepala berat lebih banyak terjadi pada kasus
kecelakaan dengan kekuatan benturan fisik yang kuat.
Didapatkan bahwa cedera kepala paling banyak terjadi pada usia dewasa.
Hal ini kemungkinan terjadi karena intensitas aktivitas yang lebih tinggi pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak dan lansia. Pada lansia, cedera kepala
dapat terjadi karena adanya penurunan fungsi koordinasi tubuh sehingga menjadi
lebih rentan jatuh dan terbentur. Pada hasil CT-Scan didapatkan bahwa lebih
banyak kejadian cedera kepala tanpa perdarahan dibandingkan dengan
perdarahan. Sebagian besar pasien dengan cedera kepala ditatalaksana dengan
operasi dan selebihnya dilakukan tatalaksana secara konservatif.
Hasil outcome pasien yang meninggal akibat cedera kepala cukup besar,
yang dipengaruhi oleh derajat keparahan. Penelitian Horstring tahun 2015
menyatakan bahwa tingkat kematian pada pasien penurunan kesadaran bervariasi
sekitar 25- 87%.153 Prognosis pasien penurunan kesadaran sangat bergantung pada
etiologi, tingkat keparahan cedera otak, skor GCS dan faktor individu pasien.
Etiologi koma dengan prognosis baik biasanya terjadi ketika tidak ada masalah
pada CT scan otak. Didapatkan bahwa tingkat keparahan cedera kepala yang
paling banyak dirawat di ICU adalah cedera kepala berat. Beberapa penelitian
menyatakan kebanyakan pasien cedera kepala yang dirawat di ICU mengalami
overtriage. Overtriage dapat terjadi karena kebutuhan ICU yang tinggi dan
ketersediaan ICU yang sangat terbatas16,19
Pada kasus cedera kepala yang fatal atau sangat serius, otak biasanya
mengalami memar, bengkak, atau laserasi, dan ada pendarahan, baik meningeal
maupun intracerebral, serta lesi hipoksia-iskemik. Lokasi umum kontusio serebral
berada di lobus frontal dan temporal. Inersia menyebabkan otak yang terlempar ke
sisi tengkorak yang dipukul, akan mendekati sisi kontralateral, dan mengenai
tulang di dalam rongga tengkorak.19,20
Gambar 5. Mekanisme kontusio serebri.7
Pada sebagian kasus cedera kepala, ada kerusakan pada corpus callosum akibat
benturan dengan falx, nekrosis dan perdarahan. Selain memar dan perdarahan epidural,
subdural, subarachnoid, dan intraserebral, cedera kepala dapat menghasilkan edema
ukuran vasogenik yang meningkat selama 24 hingga 48 jam pertama dan kadang-kadang,
zona infark kecil yang dikaitkan dengan spasme vaskular yang disebabkan oleh
perdarahan subarachnoid yang berada di sekitar pembuluh basal.20
Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah mencegah cedera primer berlanjut,
menghindari dan mengelola cedera sekunder yang salah satunya dengan memonitor ICP.
Secondary brain injury dapat berupa hipotensi sistemik (tekanan darah sistolik
<90mmHg), hipoksia (PaO<60mmHg), hiperkapnea (PaCO>50mmHg), dan hipertermia
(suhu >38oC) yang memiliki dampak pada morbiditas dan mortalitas cedera kepala, selain
itu yang harus diperhatikan dalam manajemen cedera kepala adalah menjaga ICP tetap
dalam batas normal (10 mmHg).20,21
Tingkat mortalitas dari cedera kepala berkisar antara 30%-40% pada orang
dewasa dalam 6 bulan pertama setelah trauma. Kebanyakan kematian terjadi pada 2
minggu pertama. Beberapa penelitian mengatakan bahwa sekitar 90% kasus cedera
kepala ringan mengalami perbaikan skor GCS, sedangkan 82% pasien dengan cedera
kepala sedang dapat menjadi vegetatif atau cacat berat setelah 6 bulan, sedangkan pada
cedera kepala berat dapat menjadi vegetatif atau cacat berat. Fraktur basis kranii,
pendarahan subarachnoid, koagulopati, atau status pasien yang buruk saat di IGD
menandakan prognosis yang buruk pada pasien tersebut. Faktor yang mungkin
mempengaruhi angka kematian pasien cedera kepala yaitu adanya komplikasi atau
riwayat penyakit tertentu selama perawatan.16,21
Di Asia, dimana sebagian besar merupakan negara sedang berkembang serta
intensitas aktivitas masyarakat yang meningkat menyebabkan angka kejadian cedera
kepala cenderung lebih tinggi. Pasien cedera kepala mempunyai resiko timbulnya
peningkatan tekanan intrakranial. Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera
otak yang terjadi, proses cedera otak dibagi:
1. Proses primer
Proses primer adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh
benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada
kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan
segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian
langsung neuron pada daerah yang terkena.20,21
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan
primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi
maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berlanjut, iskemia lokal/global otak, kejang, hipertermi. 20,21 Insult sekunder
pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa
proses:
1) Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari:
a) Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya.
b) Edema sitotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel
glia
c) Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium
mengenai semua jenis sel.
d) Inhibisi dari sintesis protein intraseluler. Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti
vasoparalisis, disfungsi membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada
mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan
trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
e) Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian
membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini
menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada
akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.21
1. Centers for Disease Control and Prevention.. Traumatic Brain Injury. JAMA.
2020. Vol 323; p.1544
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementerian RI tahun 2018.
3. Tsao, Jack. 2020. Traumatic Brain Injury A Clinician’s Guide to Diagnosis,
Management, and Rehabilitation: A Clinician’s Guide to Diagnosis,
Management, and Rehabilitation. Hal 2.
4. Greenberg, M. and Greenberg, M., 2010. Handbook Of Neurosurgery. Tampa,
Fla.: Greenberg Graphics.
5. Bauer ZA, De Jesus O, Bunin JL. 2020. Unconscious Patient.
6. Goetz C. Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. Philadelphia: saunders
Elsevier; 2007.p. 1020-40
7. Youmans, J. R., Winn, H. R. 2011. Youmans neurological surgery.
Philadelphia, PA: Saunders
8. Pinto VL, Tadi P, Adeyinka A. 2020. Increased Intrakranial Pressure. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing
9. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. (2013). Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 2013.
10. Cottrell, James E., and William L. Young. 2010. Cottrell and Young's
neuroanesthesia. Philadelphia, PA: Mosby/Elsevier
11. Cooksley, T., Rose, S., & Holland, M. 2018. A systematic approach to
the unconscious patient. Clinical medicine (London, England), 18(1), 88–92.
12. Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2019. Principles of Neurology.
11th. Ed. McGraw-Hill. New York.
13. Lalenoh DC, Sudjito MH, Suryono B. Penanganan Anestesi Pada Cedera
Otak Traumatik. JNI 2012. 1(2):120-132.
14. Stefiyan F, Permono T. 2020. Characteristic of Head Injury Patients
Admitted to Intensive Care Unit in Dr Mohammad Hoesin Palembang General
Hospital. SJS. 4(1) :218-230.
15. Horsting, M. W., Franken, M. D., Meulenbelt, J., van Klei, W. A., & de
Lange,
D. W. 2015. The etiology and outcome of non-traumatic coma in critical care:
a systematic review. BMC anesthesiology, 15, 65.
16. American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support:
Student Course Manual. Edisi ke-10. Chicago: American College of Surgeons;
4-25.
17. Jason H Palanas, Muhammad Waseem and David F Sigmon.
2021. Trauma Primary Survey. In: StatPearls.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430800/.
Diakses 25 Juli 2021.
18. Michael R Zemaitis, Jason H Palans and
Muhammad Waseem. 2021. Trauma Secondary Survey. In:
StatPearls. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/. Diakses 25 Juli 2021.
19. Wishart DS, Feunang YD, Guo AC, et.all. 2018. DrugBank 5.0: a major
update to the DrugBank database for 2018. Nucleic Acids Res.
20. Awaloei AC, Mallo NTS, Tonuka D. 2016. Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof
Dr. R.
D. Kandou periode Juni 2015 - Juli 2016. Jurnal e-Clinic (eCl). 4(2): 1-5.
21. Kamal R. 2012. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic
Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. hh. 158-68.
22. Dharmajaya R. Subdural Hematoma. Medan: USU Press 2018.