Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

CEDERA KEPALA SEDANG

Disusun Oleh:
Sylvia Wanda Stephanie Siahaan, S.Ked 04084822124098

Pembimbing:
Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
CEDERA KEPALA SEDANG

Oleh:
Sylvia Wanda Stephanie Siahaan, S.Ked 04084822124098

Dosen Pembimbing:
Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 15 November 2021 – 1 Desember 2021.

Palembang, 21 Oktober 2021


Pembimbing,

Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “CEDERA
KEPALA SEDANG” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Rose Mafiana,
SpAn. KNA.KAO. MARS selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan
bimbingan dan nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar referat ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa
membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-
baiknya.

Palembang, 21 .Oktober 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat kekuatan


mekanik eksternal, seperti akselerasi atau deselerasi secara cepat, benturan,
gelombang ledakan, atau penetrasi oleh proyektil. Cedera kepala merujuk pada
cedera otak yang diakibatkan oleh trauma. Namun dalam arti yang lebih luas,
cedera kepala dapat juga menyebabkan kerusakan pada struktur kepala selain
otak, sehingga kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian.1
Berdasarkan data laporan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), telah terjadi peningkatan kejadian cedera kepala sebesar 17% sepanjang
2008-2017. Analisis data prevalensi kematian akibat cedera kepala juga
meningkat dari 3.86 menjadi 4.53 per 100.000 penduduk dunia.1 Data Riset
Kesehatan Dasar Republik Indonesia (RISKESDAS) 2018 mencatat kejadian
cedera kepala dapat mencapai 500.000 kasus setiap tahunnya. Sumatera Selatan
menempati urutan kesebelas sebagai provinsi yang paling banyak melaporkan
kasus cedera kepala, dengan tempat kejadian terbanyak yaitu di rumah dan
lingkungannya (44,7%), jalan raya (31,4%), tempat bekerja (9,1%), tempat
lainnya (9,1%), dan di sekolah serta lingkungan sekitarnya sebanyak (6.5%).2
Di Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang selama tahun 2019
didapatkan pasien yang masuk dengan keluhan cedera kepala sebanyak 107 kasus
dengan cedera kepala ringan (16%), cedera kepala sedang (60%), dan cedera
kepala berat sebanyak (24%) dengan outcome meninggal sebanyak (8,4%) dan
perbaikan sebanyak (92,6%).
Penatalaksanaan awal pasien cedera kepala pada dasarnya bertujuan untuk
mempertahankan jalan napas pasien, mengontrol perdarahan, menghindari syok,
imobilisasi pasien, dan menghindari komplikasi dan cedera sekunder. Oleh karena
itu, penatalaksanaan awal sedini sangatlah penting agar dapat menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas dari cedera kepala.
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. Identitas
Nama : Nn. FS
No RM 0001232349
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin :
Perempuan Pekerjaan :
Swasta
BB/TB : 50 kg/160 cm
Alamat : Perum Tiara Blok C3,
Lahat MRS tanggal : 19/11/2021

2.2. Survei Primer


Tabel 1. Survei primer 19 November 2021 di IGD P2 Bedah pukul 22.30 WIB
Klinis Masalah Tindakan
Airway Gurgling (+), snoring (+), Airway Pertahankan patensi
stridor (-), perdarahan (-), not clearjalan napas dengan
muntah (-), keluar busa dari (sumbatan jaw thrust karena
mulut (-), curiga cedera pada jalankecurigaan cedera
servikal (+) napas) servikal, pasang
OPA
Breathing Napas spontan (+), RR = 18 Penurunan NRM 10L/menit
x/menit, WOB meningkat (- saturasi
), retraksi dinding dada (-), O2
retraksi intercostal (-), SpO2
94%
Circulati Warna kulit sianosis(-), Abnormal Pasang IV line 1
on palpebra pucat(-), akral circulatio jalur.
pucat(+), akral dingin(-), n Pemberian cairan
TD: 110/70 mmHg, HR: dengan kristaloid
62x/menit 500 mL.
Disability GCS: E3M6V2, pupil bulat Penurunan Lakukan manajemen
anisokor, diameter kesadaran breathing dan
3mm/5mm, circulation dengan
refleks cahaya (+/+) baik sehingga
perfusi jaringan
adekuat, dan
memasang monitor.
Environ T: 36,6°C Normal Selimuti pasien
m ent untuk mencegah
hipotermia

2.3. Survei Sekunder


Anamnesis
Alloanamnesis pada tanggal 19 November 2021 pukul 23.50 WIB

Riwayat AMPLE
Tabel 2. Riwayat AMPLE
Tidak ada Riwayat alergi makanan maupun obat-
Allergies
obatan pada pasien.
Medications Tidak ada riwayat pemakaian obat-obatan sebelumnya.
Past medical Tidak ada riwayat penyakit ataupun operasi
surgical history sebelumnya.
Last meal -
±5 jam SMRS pasien jatuh dari lantai 3 dengan
Event ketinggian ± 6m, dengan mekanisme yang tidak
diketahui

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3 sejak ±5 jam SMRS
Riwayat perjalanan penyakit
± 5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien jatuh dari lantai 3 (± 6 meter)
saat sedang mengangkat jemuran. Pasien ditemukan terlentang dan merintih
kesakitan. Tidak diketahui mekanisme pasien terjatuh. Tidak ada luka terbuka
ditubuh pasien. Pasien tidak diberikan obat apapun.
± 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami muntah sebanyak
1 kali. Muntah berisi cairan berbau asam bersama sisa makanan dengan jumlah
yang tidak diketahui. Pasien masih bisa membuka mata namun tidak kooperatif
saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien seperti mengerang tidak jelas.
Kejang tidak ada.
Pasien dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang pukul 21.00 WIB dan sampai di IGD pukul 22.30 WIB.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat Pengobatan
 Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal
Riwayat Operasi
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal
Riwayat Alergi
 Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit keluarga disangkal

2.4. Pemeriksaan Fisik


Status generalis
 Sensorium : GCS E3M6V2, pupil bulat anisokor,
diameter 3mm/5mm, refleks cahaya (+/+)
 TD : 110/70 mmHg
 N : 62x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, kualitas baik
 RR : 18 kali/menit, reguler, tipe torakoabdominal
 Temp : 36,6°C
 SpO2 : 94%
 TB : 160 cm
 BB : 50Kg
 BMI : 19,53Kg/M2 (Normal)
Keadaan spesifik
 Kepala: tidak bisa dieksplor
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil anisokor
diameter 3 mm/5mm (+/+)
 Leher : terpasang cervical collar
 Thorax: Pulmo
I: statis & dinamis simetris, jejas
(-) P: simetris, RR 18x/menit
P: sonor kedua hemithorax
A: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
I: ictus cordis tidak
terlihat P: ictus cordis
tidak teraba P: batas
jantung normal
A: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), HR 105x/menit
 Abdomen
I : datar, lemas, jejas (-)
P: hepar dan lien tidak teraba
P: timpani
A: bising usus (+)
 Ekstremitas: terpasang bidai pada kaki kanan, akral hangat, pucat (+)
 Genitalia: tidak ada kelainan

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksan Laboratorium

Tabel 3. Laboratorium (19 November 2021 Pukul 23.00)


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12.4 11.4 – 15,00 g/dL
Eritrosit (RBC) 4.11 4.40 – 6.30 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 11.93* 4.73 –10.89 x 103 /mm3
Hematokrit 38,22* 41 – 51 %
Trombosit (PLT) 264 170 – 396 x 103/mL
MCV 88,6* 85-95 fL
MCH 30* 28-32 pg
MCHC 34* 33-35 g/ dL
RDW-CV 12,8 11-15 %
PCT 0.26
 Basofil 0 0-1%
 Eosinofil 0 1-6%
 Netrofil 79 50-70%
 Limfosit 15 20-40%
 Monosit 6 2-8%
Faal Hemostasis
PT + INR
 Kontrol 15.8
 Pasien 19,4 12-18 detik
INR 1.46
APTT
 Kontrol 31,9
 Pasien 41,8 27-42 detik
Kimia Klinik
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa sewaktu 152 <200 mg/dl
Ginjal
Ureum 21 16.6-48.5 mg/dL
Kreantinin 0,73 0.50-0.90 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) 146 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3.1* 3.5 – 5.5 mEq/L
Analisa Gas Darah
Temperatur 36.8
FIO2 70
pH 7.274 7.35-7.45
pCO2 41,9 35-45
pO2 61,7* 83-108
SO2% 87,7
Hct 39 35-45
Hb 13 13.2-17.3
Na+ 140,1 136-146
K+ 2,98* 3.5-5.1
Ca++ (Arteri) 1.15 1.09-1.30
Cl- 109.4* 98-106
Magnesium ion 0,47
Total CO2 20,9
nCa 1,09
nMg 0,43
Gap 11,0
pHct (Analisa Gas Darah) 7.277
PCO2tc 41,6
PO2tc 60,8
HCO3 19,6 21-28
Kelebihan Basa (BE) -7.4
BEb -6.3
SBC 19,1
O2CT 16,0
RI 6,3
O2Cap 18,0
A 447,5
A-aDO2 386,7
a/A 0.1
PO2/FIO2 88,1

Pemeriksan Radiologi
 Rontgen Dada

Gambar 1. Foto Rontgen Dada

Kesan : Cor dan pulmo tidak tampak kelainan


 Rontgen pelvis, servikal, tibia-fibula
A

Gambar 2. (A) rontgen pelvis, (B) rontgen servikal, dan (C) rontgen tibia-fibula

Kesan : Terdapat fraktur inkomplit pada os. Coxae dextra. Terdapat fraktur
komplit pada os tibia dan os fibula dextra. Tidak terdapat kelainan pada foto
rontgen servikal.
 CT Scan Kepala

Gambar 3. CT Scan Kepala

Kesan : Sistem ventrikel dan sisterna menyempit. Pergeseran midline. Tampak


pergeseran garis tengah. Tulang-tulang intak. Soft tissue swelling.
Kesimpulan : edema serebri, herniasi, subdural hematoma

2.6. Diagnosis
Penurunan kesadaran ec cedera kepala sedang + Fraktur komplit os. tibia-
fibula dextra + fraktur inkomplit os. Coxae dextra

2.7. Tatalaksana
Non Farmakologi :
 Head up 30
 Pemasangan collar neck
 Monitoring TTV, urin
 Jaga suhu hipotermi
 Rencana pemasangan Central Venous Catheter (CVC)

Farmakologi :
 IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 O2 10 L/menit via NRM
 Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
 Mannitol 100 cc/6 jam IV
 Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
 Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius

2.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.8 Follow Up
Tabel 4. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 00.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E2M4Vt
Pupil anisokor 3mm/5mm, Reflek cahaya +/+
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 63x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
RR 15 x/menit (on MV), SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E2M4Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Intubasi
- Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci

Tabel 5. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 02.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 3mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 63x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (monitor),
SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci

Tabel 6. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 04.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 4mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 110/70-mmHg
HR : 50x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (on MV),
SpO2 98%
A Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera
kepala
+ Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra +
asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci

Tabel 7. Hari Pertama Perawatan (IGD P1, 12 Oktober 2021 jam 05.30 )
S Pasien dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari lantai 3
O CNS :
Sensorium: E1M1Vt
Pupil anisokor 4mm/5mm, Reflek cahaya tidak ada
CVS :
TD : 100/70-mmHg
HR : 30x/m, reguler, lemah
Respirasi :
Terpasang intubasi dengan RR 10 x/menit (on MV),
SpO2 95%
A Mati batang otak e.c cedera kepala + Fraktur komplit os. tibia-fibula
dextra
+ fraktur os. Coxae dextra + asidosis
P - Ventilasi Mekanik
- Head Up 30o
- terpasang collar neck
- terpasang IV Line NaCl 0.9% gtt xx/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Mannitol 100 cc/6 jam IV
- Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
- Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
- Pro calcitonin jika emergenci
BAB III
ANALISIS KASUS

Nn. FS, 21 tahun, dibawa ke IGD karena terjatuh dari lantai 3 sekitar 5 jam
SMRS saat sedang mengangkat jemuran. Pasien ditemukan telentang dengan
mekanisme jatuh yang tidak diketahui. Pasien mengalami muntah sebanyak 1 kali.
Muntah berisi cairan berbau asam bersama sisa makanan dengan jumlah yang
tidak diketahui. Saat dirumah, pasien masih bisa membuka mata namun tidak
kooperatif saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien seperti mengerang
tidak jelas. Pasien lalu dibawa oleh polisi ke IGD RSMH dan dirawat di ruang P2
bedah.
Dari survei primer pada pemeriksaan airway didapatkan snoring dan
gurgling yang diakibatkan jatuhnya lidah ke belakang dan akumulasi cairan
karena pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 11, lalu dilakukan
tindakan patensi jalan napas dengan pamasangan oropharyngeal airway dan
melakukan suction. Setelah itu dilakukan pemasangan collar neck karena
kecurigaan adanya fraktur cervical. Pada pemeriksaan breathing didapatkan
pasien bernapas spontan dengan laju napas 18x/menit (bradipneu), usaha napas
tidak meningkat, dan saturasi oksigen 94%. Pemberian oksigen 10L/menit dengan
non rebreathing mask bertujuan untuk memperbaiki saturasi oksigen. Evaluasi
survei primer circulation didapatkan akral pasien tampak pucat, sebagai tata
laksana, dilakukan pemasangan jalur intravena dan infus cairan resusitasi NaCl
0,9% atau RL untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
Pada pemeriksaan disability didapatkan GCS E3M6V2, pupil bulat anisokor,
diameter 3mm/5mm, refleks cahaya (+/+). Glasgow Coma Scale atau GCS adalah
cara untuk mengukur kesadaran secara objektif pada seluruh jenis keadaan akut
medis dan trauma yang diukur dengan melihat 3 aspek yaitu: pembukaan mata,
respon motorik, dan respon verbal. GCS merupakan salah satu skoring yang dapat
digunakan untuk mengetahui keparahan dari cedera kepala. 3 Pasien cedera kepala
di bagi berdasarkan hasil dari perhitungan GCS, dengan klasifikasi: Cedera kepala
ringan (GCS 14-15), cedera kepala sedang (GCS 9-13), cedera kepala berat (GCS
3-8)4. Adanya Postur decerebrate atau decorticate (nilai GCS yang makin rendah)
berkaitan dengan prognosis yang buruk5,6

Tabel 8. Skala GCS (Sumber : Goetz, 2007)7

Ukuran dan refleks cahaya pada pupil serta kedudukan bola mata juga
berkaitan dengan prognosis pasien penurunan kesadaran. Pupil yang isokor dan
normal dengan refleks cahaya yang baik menunjukkan integritas struktur otak
tengah. Pupil yang anisokor adalah indikator awal adanya peregangan atau
kompresi Nervus III dan mencerminkan adanya proses herniasi. Herniasi otak
memiliki prognosis yang cukup buruk dinilai dari beberapa faktor seperti: onset
herniasi, umur, GCS, pupil anisokor, adanya multi trauma, adanya hipoksia dan
hipotensi, peningkatan TIK, dan dinilai dari progresivitas dari keparahan sindrom
herniasi. pada pemeriksaan environment didapatkan suhu tubuh pasien 36.6o C,
lalu dilakukan pemberian selimut untuk mencegah hipotermia.
Pada kasus ini, dilakukan alloanamnesis pada nenek pasien dimana
dikatakan bahwa pasien pasien jatuh dari lantai 3 (± 6 meter) saat sedang
mengangkat jemuran. Pasien ditemukan terlentang dan merintih kesakitan. Tidak
diketahui mekanisme pasien terjatuh. Tidak ada luka terbuka ditubuh pasien.
Pasien tidak diberikan obat apapun. ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengalami muntah sebanyak 1 kali. Muntah berisi cairan berbau asam bersama
sisa makanan dengan jumlah yang tidak diketahui. Pasien masih bisa membuka
mata namun tidak kooperatif saat diajak berbicara dan keluarga mengaku pasien
seperti mengerang tidak jelas. Kejang tidak ada. Cedera kepala atau disebut
traumatic brain injury (TBI) adalah cedera pada kepala yang merupakan hasil dari
tekanan mekanik dan menghasilkan deformasi jaringan saat terjadinya tekanan
dengan dampak langsung ke pembuluh darah, akson, saraf, dan glia.4 Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab tersering dari morbiditas dan mortalitas
terutama pada dewasa muda dan remaja. Cedera kepala ringan dapat
menyebabkan concussion dan postconcussice syndrome sedangkan pada cedera
yang lebih berat dapat menyebabkan diffuse axonal shear injury, petechial
hemorrhages, intrakranial hemorrhages, cerebral contusion, dan edema cerebri
yang dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Kebanyakan dari cedera kepala terjadi akibat dari salah satu mekanisme,
yaitu kontak atau akibat dari adanya gaya inersia atau percepatan di kepala.
Cedera kepala akibat kontak terjadi karena adanya kontak atau tumburan kepala
ke objek terlepas dari akan adanya pergerakan kepala setelahnya.7,8

Gambar 4. Mekanisme Cedera Kepala Kontak. 8

Tekanan intrakranial adalah tekanan yang terdapat didalam rongga kranium.


Tekanan intrakranial diukur dengan satuan mm Hg dan normalnya adalah
dibawah
20 mm Hg. Penyebab dari kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dapat dibagi
berdasarkan komponen didalam kranium yang menyebabkan kenaikan tekanan
yang salah satunya dapat disebabkan oleh peningkatan volume otak.9,10
Otak memiliki mekanisme kompensasi untuk menjaga keseimbangan
tekanan intrakranial tetap normal tetapi TIK yang normal bukan berarti tidak
adanya sesuatu di intrakranial, karena perpindahan cairan serebrospinal (CSF)
atau darah terjadi untuk mempertahankan TIK normal.9 Pada pasien cedera kepala
bisa terjadi peningkatan TIK yang dapat menurunkan perfusi otak dan iskemia
yang dapat dilihat dari gejala seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran, mual dan
muntah menyemprot, diplopia, edema papil, pupil anisokor, gangguan sensorik,
gangguan motorik, kaku kuduk dan cushing response yang terdiri dari tekanan
darah meningkat, nadi lambat dan pernapasan tidak teratur.10 Pada pasien ini
didapatkan penurunan kesadaran setelah mengalami trauma pada kepala yang
dicurigai merupakan salah satu tanda dari peningkatan tekanan intrakranial yang
didukung oleh data dari CT Scan kepala yang menunjukkan adanya edema cerebri
yang berarti terdapat peningkatan dalam volume otak.
Pada pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan kesan adanya edema serebri,
herniasi, subdural hematoma. Edema cerebri adalah peningkatan jumlah air dalam
otak yang dapat dipicu oleh beberapa mekanisme, penyebab paling sering adalah
adanya gangguan pada sawar darah otak (vasogenic edema) yang menyebabkan
cairan seperti plasma untuk masuk kedalam jaringan otak, selain itu trauma,
tumor, hipertensi, dan infark juga dapat menjadi penyebab lainnya. Cedera kepala
pada pasien ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi
distorsi jaringan dan herniasi otak11 sehingga mengakibatkan kompresi otak
tengah dan subthalamic serta wilayah ARAS yang menyebabkan penurunan
kesadaran12
Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara
bagian dalam duramater dengan arachnoid. Subdural hematom dibagi tiga, yaitu
subdural hematom akut, subakut, dan kronis. Ketiganya dibedakan berdasarkan
lamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi selama 48-72 jam setelah
cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah cedera, dan subdural
hematom kronis terjadi dari tiga minggu sampai beberapa bulan setelah cedera.
Perdarahan akut dimana gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah
trauma. Hal ini dapat terjadi pada cedera kepala yang cukup berat dan dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu
kesadaran dan tanda vitalnya.13,14
Pada gambaran CT-Scan, dapat dijumpai gambaran lesi hiperdens
berbentuk cekung. Perdarahan subdural harus rutin dipantau karena lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-lahan sehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi. Pada kebanyakan kasus SDH, keterlibatan kerusakan
parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir
(outcome).15
Pada foto rontgen thorax pasien didapatkan kesan normal. Pada foto rontgen
pelvis dan tibia-fibula, terdapat fraktur inkomplit pada os. coxae dextra serta os.
tibia dan os fibula dextra oleh karena itu dilakukan pemasangan bidai untuk
fiksasi dan imobilisasi. Pada pasien ini terdapat fraktur inkomplit os. coxae.
Berdasarkan estimasi perdarahan untuk area pelvic cukup besar yaitu 3000-5000
ml. Hal ini dapat menjadi faktor perburukan klinis pasien.

Tabel 9. Estimasi Volume Perdarahan.11


Organ/Area Estimasi Perdarahan (mL)
Pelvis 3000-5000
Lien 2000
Hepar 2000
Fraktur Femur 1500-2000
Paru-Paru 1000-1500
Fraktur Tibia/Fibula 1000
Fraktur Humerus 800

Pada trauma, hipovolemia bisa terjadi karena adanya perdarahan yang


kemudian akan menyebabkan syok. Hipovolemia ini, apabila ringan akan
dikompensasi oleh tubuh sehingga masih tetap mendapat darah. Namun, bila
hipovolemia sudah cukup berat, maka darah yang ke otak pun akan berkurang.
Hal ini kemudian menyebabkan perfusi darah ke otak yang sangat berkurang
sehingga terjadi iskemik otak, bahkan sampai infark otak. Hipoksia terjadi karena
kurangnya oksigen dalam darah sehinhgga menyebabkan otak menerima oksigen
yang kurang. Sama seperti hipovolemia, hipoksia akan menyebabkan iskemia
otak, yang bila berat dapat menjadi infark.16,17
Pada pukul 00.30, pasien mengalami penurunan GCS dari 11 menjadi 6t
kemudian berangsur turun menjadi 2t. Karena GCS <8, pasien dipindahkan ke P1
lalu dilakukan tindakan intubasi dan pemasangan endotracheal tube dengan
ventilasi mekanik SIMV, PEEP 5, FiO2 100% untuk penanganan adanya
respiratory failure yang diakibatkan oleh penurunan kesadaran. Pasien kemudian
mengalami penurunan RR pada monitor dan refleks cahaya pupil menjadi tidak
ada. Refleks pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung
terhadap adanya herniasi otak yang ditandai dilatasi dan fiksasi dari satu sisi pupil.
Anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap
rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga
atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi
transtentorial. Pada pasien terpasang cervical collar, yang berguna untuk
immobilisasi leher (mempertahankan tulang servikal). Cervical collar dipasang
untuk mengurangi kompresi pada radiks saraf serta mengurangi rasa sakit 18. Pada
pasien juga terpasang bidai pada kaki kanan untuk immobilisasi dikarenakan
terdapat fraktur pada femur dextra. Pucat pada pasien ini disebabkan adanya
penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Berikut adalah tabel karakteristik pasien cedera kepala di RSMH Palembang
pada tahun 2019. Data-data yang didapatkan berasal dari rekam medis pasien
cedera kepala di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada 1 Januari - 31
Desember tahun 2019. Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2021.
Berdasarkan data yang didapat di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
pada tahun 2019 terdapat 107 pasien yang terdiagnosis cedera kepala dan 55
pasien yang menjalani perawatan di ICU.14
Tabel 10. Karakteristik Pasien Cedera Kepala Di RSMH Palembang Pada Tahun 2019

Karakteristik Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-Laki 83
Perempuan 24
Klasifikasi Cedera Kepala
Ringan 19
Sedang 62
Berat 26
Usia
Balita 2
Anak-Anak 9
Remaja 24
Dewasa 49
Lansia 23
Diagnosis
ICH 45
IVH 29
Fraktur 14
EDH 11
Abnormalitas CT-Scan
Perdarahan 46
Tanpa Perdarahan 61
Tatalaksana;
Operasi 95
Konservatif 12
Outcome
Sembuh 98
Meninggal 9
Didapatkan bahwa kejadian dengan cedera kepala lebih banyak mengenai
jenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Didapatkan bahwa prevalensi cedera
kepala sedang lebih banyak daripada cedera kepala ringan dan cedera kepala
berat. Faktor penyebab yang dapat terjadi adalah kekuatan (force) benturan fisik
dari lingkungan eksternal yang berintensitas sedang lebih banyak daripada yang
berintensitas besar. Cedera kepala berat lebih banyak terjadi pada kasus
kecelakaan dengan kekuatan benturan fisik yang kuat.
Didapatkan bahwa cedera kepala paling banyak terjadi pada usia dewasa.
Hal ini kemungkinan terjadi karena intensitas aktivitas yang lebih tinggi pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak dan lansia. Pada lansia, cedera kepala
dapat terjadi karena adanya penurunan fungsi koordinasi tubuh sehingga menjadi
lebih rentan jatuh dan terbentur. Pada hasil CT-Scan didapatkan bahwa lebih
banyak kejadian cedera kepala tanpa perdarahan dibandingkan dengan
perdarahan. Sebagian besar pasien dengan cedera kepala ditatalaksana dengan
operasi dan selebihnya dilakukan tatalaksana secara konservatif.
Hasil outcome pasien yang meninggal akibat cedera kepala cukup besar,
yang dipengaruhi oleh derajat keparahan. Penelitian Horstring tahun 2015
menyatakan bahwa tingkat kematian pada pasien penurunan kesadaran bervariasi
sekitar 25- 87%.153 Prognosis pasien penurunan kesadaran sangat bergantung pada
etiologi, tingkat keparahan cedera otak, skor GCS dan faktor individu pasien.
Etiologi koma dengan prognosis baik biasanya terjadi ketika tidak ada masalah
pada CT scan otak. Didapatkan bahwa tingkat keparahan cedera kepala yang
paling banyak dirawat di ICU adalah cedera kepala berat. Beberapa penelitian
menyatakan kebanyakan pasien cedera kepala yang dirawat di ICU mengalami
overtriage. Overtriage dapat terjadi karena kebutuhan ICU yang tinggi dan
ketersediaan ICU yang sangat terbatas16,19
Pada kasus cedera kepala yang fatal atau sangat serius, otak biasanya
mengalami memar, bengkak, atau laserasi, dan ada pendarahan, baik meningeal
maupun intracerebral, serta lesi hipoksia-iskemik. Lokasi umum kontusio serebral
berada di lobus frontal dan temporal. Inersia menyebabkan otak yang terlempar ke
sisi tengkorak yang dipukul, akan mendekati sisi kontralateral, dan mengenai
tulang di dalam rongga tengkorak.19,20
Gambar 5. Mekanisme kontusio serebri.7

Pada sebagian kasus cedera kepala, ada kerusakan pada corpus callosum akibat
benturan dengan falx, nekrosis dan perdarahan. Selain memar dan perdarahan epidural,
subdural, subarachnoid, dan intraserebral, cedera kepala dapat menghasilkan edema
ukuran vasogenik yang meningkat selama 24 hingga 48 jam pertama dan kadang-kadang,
zona infark kecil yang dikaitkan dengan spasme vaskular yang disebabkan oleh
perdarahan subarachnoid yang berada di sekitar pembuluh basal.20
Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah mencegah cedera primer berlanjut,
menghindari dan mengelola cedera sekunder yang salah satunya dengan memonitor ICP.
Secondary brain injury dapat berupa hipotensi sistemik (tekanan darah sistolik
<90mmHg), hipoksia (PaO<60mmHg), hiperkapnea (PaCO>50mmHg), dan hipertermia
(suhu >38oC) yang memiliki dampak pada morbiditas dan mortalitas cedera kepala, selain
itu yang harus diperhatikan dalam manajemen cedera kepala adalah menjaga ICP tetap
dalam batas normal (10 mmHg).20,21
Tingkat mortalitas dari cedera kepala berkisar antara 30%-40% pada orang
dewasa dalam 6 bulan pertama setelah trauma. Kebanyakan kematian terjadi pada 2
minggu pertama. Beberapa penelitian mengatakan bahwa sekitar 90% kasus cedera
kepala ringan mengalami perbaikan skor GCS, sedangkan 82% pasien dengan cedera
kepala sedang dapat menjadi vegetatif atau cacat berat setelah 6 bulan, sedangkan pada
cedera kepala berat dapat menjadi vegetatif atau cacat berat. Fraktur basis kranii,
pendarahan subarachnoid, koagulopati, atau status pasien yang buruk saat di IGD
menandakan prognosis yang buruk pada pasien tersebut. Faktor yang mungkin
mempengaruhi angka kematian pasien cedera kepala yaitu adanya komplikasi atau
riwayat penyakit tertentu selama perawatan.16,21
Di Asia, dimana sebagian besar merupakan negara sedang berkembang serta
intensitas aktivitas masyarakat yang meningkat menyebabkan angka kejadian cedera
kepala cenderung lebih tinggi. Pasien cedera kepala mempunyai resiko timbulnya
peningkatan tekanan intrakranial. Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera
otak yang terjadi, proses cedera otak dibagi:
1. Proses primer
Proses primer adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh
benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada
kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan
segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian
langsung neuron pada daerah yang terkena.20,21

2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan
primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi
maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berlanjut, iskemia lokal/global otak, kejang, hipertermi. 20,21 Insult sekunder
pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa
proses:
1) Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari:
a) Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya.
b) Edema sitotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel
glia
c) Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium
mengenai semua jenis sel.
d) Inhibisi dari sintesis protein intraseluler. Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti
vasoparalisis, disfungsi membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada
mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan
trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
e) Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian
membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini
menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada
akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.21

2) Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary brain injury)


Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:
a) Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-
angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi
otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh
hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat
juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab kenaikan
TIK lainnya adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan
vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
b) Sistemik
Perubahan sistemik akan sangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat menyebabkan
penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan
sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi,
hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia,
hiponatremia dan hipoproteinemia.21,22

Peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan dua perubahan besar yaitu


terjadinya iskemia serebral dan herniasi. Tekanan perfusi otak ditentukan dengan rumus
tekanan arteri rerata (MAP). Jika tekanan intrakranial meningkat lebih besar dari tekanan
arteri rerata, tekanan perfusi otak akan menurun. Pada cedera kepala, keadaan ini dapat
menyebabkan iskemia, cedera neuron, dan kematian. Efek buruk dari peningkatan
tekanan intrakranial adalah kemungkinan terjadinya herniasi otak. Herniasi ini dapat
melalui meningen, masuk ke kanalis spinalis atau melalui suatu kraniotomi. Herniasi
dapat dengan cepat membawa kearah memburuknya fungsi neurologis dan kematian.22
Tatalaksana awal kegawatdaruratan yaitu primary survey dan secondary survey.
Primary survei yaitu dengan ABCDE, Airway untuk memastikan jalan nafas bersih dan
lakukan intubasi jika diperlukan terutama pada pasien cedera kepala berat dan pasang
collar neck sampai terbukti tidak ada cedera cervical, Breathing dengan memberikan O2
dengan target saturasi >92%, Circulation, yaitu dengan memasang jalur intravena dan
infus cairan resusitasi NaCl 0,9% atau RL untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
>90 mmHg, Disability, yaitu memeriksa tingkat kesadaran pasien karena berhubungan
dengan derajat keparahan cedera kepala, dan Environment untuk mencegah pasien
mengalami hipotermia.9,17,18 Secondary survey dilakukan setelah pasien stabil, yaitu
penilaian AMPLE dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan juga
pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk menentukan apakah pasien harus
menjalani operasi, dirawat di ruang rawat intensif, ruang rawat biasa, atau boleh rawat
jalan. Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan
otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan waktu
untuk pemulihan, maka diharapkan sel-sel tersebut dapat berfungsi kembali. Namun bila
suasananya dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka akan mengalami kematian.19,22
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention.. Traumatic Brain Injury. JAMA.
2020. Vol 323; p.1544
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementerian RI tahun 2018.
3. Tsao, Jack. 2020. Traumatic Brain Injury A Clinician’s Guide to Diagnosis,
Management, and Rehabilitation: A Clinician’s Guide to Diagnosis,
Management, and Rehabilitation. Hal 2.
4. Greenberg, M. and Greenberg, M., 2010. Handbook Of Neurosurgery. Tampa,
Fla.: Greenberg Graphics.
5. Bauer ZA, De Jesus O, Bunin JL. 2020. Unconscious Patient.
6. Goetz C. Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. Philadelphia: saunders
Elsevier; 2007.p. 1020-40
7. Youmans, J. R., Winn, H. R. 2011. Youmans neurological surgery.
Philadelphia, PA: Saunders
8. Pinto VL, Tadi P, Adeyinka A. 2020. Increased Intrakranial Pressure. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing
9. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. (2013). Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 2013.
10. Cottrell, James E., and William L. Young. 2010. Cottrell and Young's
neuroanesthesia. Philadelphia, PA: Mosby/Elsevier
11. Cooksley, T., Rose, S., & Holland, M. 2018. A systematic approach to
the unconscious patient. Clinical medicine (London, England), 18(1), 88–92.
12. Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2019. Principles of Neurology.
11th. Ed. McGraw-Hill. New York.
13. Lalenoh DC, Sudjito MH, Suryono B. Penanganan Anestesi Pada Cedera
Otak Traumatik. JNI 2012. 1(2):120-132.
14. Stefiyan F, Permono T. 2020. Characteristic of Head Injury Patients
Admitted to Intensive Care Unit in Dr Mohammad Hoesin Palembang General
Hospital. SJS. 4(1) :218-230.
15. Horsting, M. W., Franken, M. D., Meulenbelt, J., van Klei, W. A., & de
Lange,
D. W. 2015. The etiology and outcome of non-traumatic coma in critical care:
a systematic review. BMC anesthesiology, 15, 65.
16. American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support:
Student Course Manual. Edisi ke-10. Chicago: American College of Surgeons;
4-25.
17. Jason H Palanas, Muhammad Waseem and David F Sigmon.
2021. Trauma Primary Survey. In: StatPearls.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430800/.
Diakses 25 Juli 2021.
18. Michael R Zemaitis, Jason H Palans and
Muhammad Waseem. 2021. Trauma Secondary Survey. In:
StatPearls. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/. Diakses 25 Juli 2021.
19. Wishart DS, Feunang YD, Guo AC, et.all. 2018. DrugBank 5.0: a major
update to the DrugBank database for 2018. Nucleic Acids Res.
20. Awaloei AC, Mallo NTS, Tonuka D. 2016. Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof
Dr. R.
D. Kandou periode Juni 2015 - Juli 2016. Jurnal e-Clinic (eCl). 4(2): 1-5.
21. Kamal R. 2012. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic
Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. hh. 158-68.
22. Dharmajaya R. Subdural Hematoma. Medan: USU Press 2018.

Anda mungkin juga menyukai