Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

CEDERA OTAK SEDANG DAN FRAKTUR LINIER

OS FRONTALIS SINISTRA DENGAN EPIDURAL HEMATOM

FRONTALIS SINISTRA

Dosen Pembimbing
dr. Teguh Manulima, Sp.BS

Disusun Oleh :
Nafiisah G4A015088

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016

2
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRESENTASI KASUS

CEDERA OTAK SEDANG DAN FRAKTUR LINIER

OS FRONTALIS SINISTRA DENGAN EPIDURAL HEMATOM

FRONTALIS SINISTRA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di Bagian SMF Bedah
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Nafiisah G4A015088

Telah disetujui,

Pada tanggal : September 2016

Pembimbing,

dr. Teguh Manulima, Sp. BS

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan presentasi kasus
dengan judul “Cedera Otak Sedang dan Fraktur Linier Os Frontalis Sinistra
dengan Epidural Hematom Frontalis Sinistra”. Tujuan penulisan laporan
presentasi kasus ini ialah untuk materi pembelajaran dan memenuhi salah satu
syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo, Purwokerto.

Dalam kesempatan ini perkenakanlah penulis untuk menyampaikan


ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Teguh Manulima, Sp.BS selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan pada laporan presentasi kasus ini.
2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan presentasi kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan
presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat
kekurangan. Penulis berharap semoga laporan presentasi kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang kedokteran.

Purwokerto, September 2016

Penyusun

4
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. A
No.CM : 00258863
Usia : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh harian lepas
Alamat : Plompong RT 06 RW 05 Sirampog, Brebes
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal/Jam Masuk :Senin, 29 Agustus 2016/ Pukul 16.22 WIB

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sakit kepala
2. Keluhan Tambahan
Mual, muntah, dan perdarahan dari hidung, telinga kiri dan mulut. Sesak
nafas dan kejang disangkal.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto pada hari Senin, 29 Agustus 2016 pukul 16.22 WIB. Pasien
merupakan pasien rujukan dari RSUD Bumiayu dengan keluhan sakit
kepala setelah terjatuh pada kecelakaan lalu lintas 4 jam sebelum datang
ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Kecelakaan terjadi karena
pasien yang sedang megendarai sepeda motor tertabrak oleh pengendara
sepeda motor lainnya dari arah belakang. Saat kecelakaan pasien
menggunakan helm. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah serta
perdarahan dari hidung, telinga dan mulutnya.
Satu jam setelah terjatuh dari sepeda motor, pasien diantar ke
RSUD Banyumas dan mendapatkan perawatan luka serta pengobatan

5
konservatif. Kemudian dirujuk ke RSUD Prof. Margono Soekarjo dengan
diagnosa cedera otak berat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Penyakit jantung : disangkal
2. Penyakit diabetes melitus : disangkal
3. Penyakit hipertensi : disangkal
4. Riwayat trauma kepala : disangkal
5. Riwayat batuk lama : disangkal
6. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Penyakit jantung : disangkal
2. Penyakit diabetes melitus : disangkal
3. Penyakit ginjal : disangkal
4. Penyakit hipertensi : disangkal
5. Penyakit bronkhitis : disangkal
6. Penyakit stroke : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari–hari beraktifitas sebagai buruh harian lepas. Istri
pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien berobat ke Rumah Sakit
Margono Soekarjo dengan menggunakan BPJS.

C. Pemeriksaan Fisik Tanggal 30 Agustus 2016


Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : GCS E3M6V4
Vital Sign : TD: 130/80 mmHg, N: 90/menit
RR : 28x/menit, S: 360C
Berat Badan : 72 kg
Tinggi Badan :165 cm

Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Kepala : Mesocephal, simetris, luka lecet (-)

6
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya+/+, pupil isokorØ3mm/3mm
Maxilla : Krepitasi maxilla (-)
Floatting maxilla (-)
Nasal : Deformitas os nasal (-), bloody rhinorhea (-)
Telinga : Bloody othorhea (-/-)
Mandibula : Unstable mandibular (-)

Status Pemeriksaan Bedah Saraf


GCS E4M6V3
Reflek cahaya +/+ pupil isokor Ø3mm/3mm
Bloody Rhinorhea (-)
Bloody Othorhea (-/-)
Brill Hematoma (+/+)
Battle Sign (-/-)
2. Pemeriksaan leher : Fraktur cervical (-), benjolan pada leher (-), nyeri
tekan pada leher (-)
3. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketertinggalan
gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronkhi basah halus di basal -/-
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tampak pulsasi ictus cordis di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba SIC VI 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
batas jantung kiri atas SIC II LPSS
batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

7
batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
5. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
6. Pemeriksaan neurologis
Sistem Motorik
 Trofi : eutrofi
 Tonus : normotonus
Reflek Fisiologi : Superior +/+, inferior +/+
Reflek Patologi : Superior -/-, inferior -/-

D. Diagnosis Klinis
Cedera otak sedang suspek perdarahan intrakranial.

8
E. Pemeriksaan Tambahan
Rontgen Cervical dan Thorax

Gambar 1. Rontgen Cervical dan Thorax Tn. A

9
CT Scan Kepala

Gambar 2. CT Scan Kepala Tn. A

Pemeriksaaan Laboratorium (tanggal 29 Agustus 2016)


Hb : 12,1 g/dL
Leukosit : 17.000 U/L (H)
Ht : 40 %
Trombosit : 250.000 /uL
Eritrosit : 6,3x 106/uL (H)
GDS : 108 mg/dL
Ureum Darah : 22 mg/dL
Kreatinin Darah : 0,70 mg/dL (L)
Natrium : 142 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 104 mmol/L

10
F. Terapi
Terapi di IGD RSMS tanggal 29 Agustus 2016
O2 10 LPM NRM
IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
Inf. Manitol 4 x 75 cc
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gram
Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
Inj.Paracetamol 3 x 1 gram
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Kalnex 3 x 1 ampul
Inj. Vitamin K 3 x 1 ampul

11
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura
mater dan tabula interna karena trauma. Pada penderita traumatik hematoma
epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan berasal
dari pembuluh darah-pembuluh darah di dekat lokasi fraktur (Price et al.,
2006).
Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital.
Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium ( 85-96% ) pada daerah yang
sama. Perdarahan diakibatkan robeknya arteri meningea media atau cabang-
cabangnya, kadang dapat berasal dari vena. Volume EDH biasanya stabil,
mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi
pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam
pertama (Valadka et al., 1999; Aarabi et al., 2005).

B. Epidemiologi
Angka kejadian EDH adalah 2-4 % dari seluruh perdarahan
intraserebral dan paling sering terjadi pada usia produktif 20-30 tahun. EDH
jarang terjadi pada orang tua>60 tahun dan anak - anak kurang dari 2 tahun.
Pada anak - anak, usia 5-10 tahun merupakan usia tersering menderita EDH.
EDH lebih sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan 4: 1 (Bullock
et al., 2006).

C. Etiologi
Epidural hematom biasanya berasal dari benturan linear calvaria yang
menyebabkan pemisahan periosteal dura dari tulang dan mengenai pembuluh
darah karena robekan dari tekanan tersebut. Fraktur tengkorak terjadi pada
85-95% kasus pada dewasa, namun lebih jarang terjadi pada anak-anak
karena plastisitas calvaria yang immatur. Struktur arteri dan vena menjadi
rentan menyebabkan perluasan hematoma yang cepat. Perluasan hematom

12
biasanya dibatasi oleh garis sutura yang melekat erat pada dura. Daerah
temporoparietal dan arteri meningeal media adalah yang sering terlibat
(66%), meskipun arteri ethmoidalis anterior dapat terlibat pada trauma
frontal, sinus transversus atau sigmoid pada trauma occipital, dan sinus
sagitalis superior pada trauma vertex. EDH bilateral terjadi sebanyak 2-10%
kasus seluruh EDH akut pada dewasa namun jarang terjadi pada anak-anak
(Huisman, 2008).
EDH spontan sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh infeksi yang
berdekatan, malformasi vaskuler dura, tumor, dan gangguan koagulasi darah.
Hingga tahun 2009, terdapat 18 kasus yang didokumentasikan. Kasus pertama
EDH spontan dilaporkan oleh Schneider dan Hegarty pada 1951. Tabel
berikut menunjukkan rangkuman kasus EDH spontan (Fan et al., 2009):
Tabel 1. Kasus EDH Spontan

EDH merupakan kasus yang jarang terjadi pada neonatus yaitu


terhitung hanya 0,06-2% dari seluruh perdarahan intrakranial pada neonatus.
Penyebab utama EDH pada neonatus adalah trauma saat persalinan, terutama
persalinan dengan forcep atau ekstraksi vakum, namun beberapa kasus juga
melaporkan adanya EDH pada bayi dengan presentasi bokong. EDH pada
neonatus berasal dari arteri atau vena. Jarangnya kejadian EDH pada neonatus
dapat terjadi karena tidak terdapatnya alur arteri meningeal media sehingga
lebih sedikit terkena risiko trauma dan perlekatan antara duramater dan
periosteum yang sangat erat, serta masih belum berkembangnya pembuluh
darah pada duramater (Suslu et al., 2005).

13
Gambar 1. Lokasi EDH

D. Anatomi Meningens
a. Duramater
Secara konvensional, duramater diuraikan sebagai dua lapisan,
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih
dari suatu periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang-tulang
kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak berlanjut dengan
duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut
dengan ligamentum sutura.Lapisan endosteal paling kuat melekat pada
tulang diatas dasar kranium (Snell, 2011).
Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya.
Lapisan meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi
otak, dan melalui foramen magnum berlanjut dengan duramater medulla
spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung tubuler untuk saraf-
saraf kranial pada saat melintas melalui lubang-lubang kranium. Kedalam
lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga
kranium menjadi ruang-ruang yang berhubungan dengan bebas dan
merupakan tempat bagian-bagian otak (Snell, 2011).
Falx cerebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit,
terletak dalam garis tengah antara dua hemispherium cerebri. Ujung

14
anteriornya melekat ke krista frontalis interna dan krista galli. Bagian
posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan permukaan atas
tentorium cerebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian
atas yang terfiksasi, sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian
bawah yang konkaf, dan sinus rektus berjalan disepanjang perlekatannya
dengan tentorium cerebelli (Snell, 2011).
Tentorium cerebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit
yang membentuk atap diatas fossa kranialis posterior, menutupi
permukaan atas serebellum dan menokong lobus occipitalis hemisperium
cerebri. Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale, lapisan
bagian bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus
petrosus superior, membentuk suatu resessus untuk n.trigeminus dan
ganglion trigeminal (Snell, 2011).
Falx cerebri dan falx cerebelli masing-masing melekat ke
permukaan atas dan bawah tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang
perlekatan ke falx cerebri, sinus petrosus superior, bersama perlekatannya
ke os petrosa; dan sinus transversus, disepanjang perlekatannya ke os
occipitalis. Falx cerebelli merupakan suatu lipatan duramater berbentuk
sabit, kecil melekat ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan
diantara diantara dua hemispherium cerebelli. Diaphragma Sella
merupakan suatu lipatan duramater sirkuler, membentuk atap untuk sella
tursika (Snell, 2011).
Persarafan duramater terutama berasal dari cabang n.trigeminus,
tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan
n.vagus. Resptor-reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium
mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk
ke kulit dahi dan muka.Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium
dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis
bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher (Snell,
2011).
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu arteri karotis interna,
arteri maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri

15
vertebralis. Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningeal
media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri
meningeal media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian
terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini
kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater.
Arteri ini kemudian berjalan ke depan danke lateral dalam suatu sulkus
pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior
(frontal) secara mendalam berada dalam sulcus atau saluran angulus
antero-inferior os parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan
dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior
melengkung ke arah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater.
Vena-vena meningeal terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena
meningeal media mengikuti cabang-cabang arteri meningeal media dan
mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus
sphenoparietalis (Snell, 2011).
Sinus-sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara
lapisan-lapisan duramater.Fungsi utamanya adalah menerima darah dari
otak melalui vena-vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang-
ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus-sinus
duramater akhirnya mengalir ke dalam vena-vena jugularis interna
dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan
vena-vena diploika kranium dan vena-vena kulit kepala (Snell, 2011).
Sinus sagitalis superior menduduki batas atas falx cerebri yang
terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior
dalam sulkus di bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia
occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus transversus. Dalam
perjalanannya sinus sagitalis superior menerima vena serebralis superior.
Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitalis berdilatasi
membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus
transversus kanan, berhubungan dengan sinus transversus yang
berlawanan dan menerima sinus occipitalis (Snell, 2011).

16
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx
cerebri, berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena cerebri magna pada
tepi bebas tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rektus
menempati garis persambungan falx cerebri dengan tentorium cerebelli,
terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena cerebri
magna, berakhir membelok ke kiri membentuk sinus transversus (Snell,
2011).
Sinus transversus merupakan struktur berpasangan dan mereka
mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya
berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan
sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium
cerebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os
parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena-vena cerebralis
inferior, vena-vena cerebellaris dan vena-vena diploika.Mereka berakhir
dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus (Snell, 2011).
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus
tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis
interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati
tepi falx cerebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena-vena
vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus
terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os
sphenoidalis (Snell, 2011).

Gambar 2. Sistem Sinus dalam Rongga Cranialis

17
b. Arachnoidea Mater
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus,
menutupi otak dan terletak diantara pia mater di interna dan duramater di
eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang
potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis cairan,
dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang terisi dengan
cairan serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi
oleh sel-sel mesothelial yang gepeng.Pada daerah-daerah tertentu,
arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk membentuk villi
arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan
serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah.Arachnoidea dihubungkan
ke piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang
subarachnoidea yang berisi cairan. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh
pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak.
Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian
bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium cerebri dan
kebawah disekeliling medulla spinalis (Snell, 2011).
c. Piamater
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh
sel-sel mesothelial gepeng.Secara erat menyokong otak, menutupi gyrus
dan turun kedalam sulcus yang terdalam. Piamater meluas keluar pada
saraf-saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang
memasuki substansi otak membawa sarung piamater bersamanya.
Piamater membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan
keempat, dan berfusi dengan ependyma untuk membentuk pleksus
choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat otak (Snell,
2011).

18
Gambar 3. Meningens Otak

E. Fisiologi Tekanan Intrakranial


Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang timbul karena adanya
volume massa otak, cairan cerebrospinal (LCS), dan darah yang mensuplai
otak dalam suatu ruang intrakranial yang tertutup. TIK ini bisa meningkat
yang disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial, edema otak, tumor
otak, dan hidrosefalus. Akibat dari adanya peningkatan TIK akan
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke otak (CBF= Cerebral
Blood Flow) sehingga timbul iskemia otak. Iskemia otak adalah suatu
gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak
sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang
ireversibel. Autopsi pada pasien cedera kepala berat yang akhirnya meninggal
didapatkan 80 % mengalami iskemia otak. TIK dapat diukur dengan satuan
cmH2O atau mmHg, dan memiliki nilai normal 50 sampai 200 mmH2O atau
5-20 mmHg(Rosner, 2002).
Doktrin Monroe Kelly menyatakan bahwa rongga intra kranial pada
dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar, sehingga bila
salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi

19
neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan
adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Segera
setelah cedera otak, suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah
dengan TIK masih tetap normal. Namun, sewaktu batas
pemindahan/pengeluaran CSS dan darah intravaskuler tadi terlewati maka
TIK secara sangat cepat akan meningkat (Zauneret al., 2004).

Gambar 4. Kompensasi Intrakranial

F. Patofisiologi
Hematoma epidural terjadi akibat adanya trauma langsung pada
kalvarium yang menyebabkan terlepasnya perlekatan duramater dari
permukaan dalam kalvarium, yang disertai terputusnya atau robeknya
pembuluh darah baik disertai dengan atau tanpa adanya fraktur os kranium.
Hematoma epidural yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningeal media
dan sinus dura akan cepat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial
dibanding dengan hematoma yang berasal dari vena. Hal ini disebabkan
tekanan arteri lebih tinggi dari vena sehingga massa intrakranial akan lebih
cepat terbentuk, akibatnya mekanisme kompensasi tidak memiliki waktu yang
cukup untuk mengatasi kondisi tersebut (Purwowirantono, 2002).

20
Lokasi terbentuknya hematoma juga berperan dalam menentukan cepat
lambatnya gejala timbul, terkait dengan efek lokal dari desakan hematoma itu
sendiri. Hematoma di daerah frontal atau subfrontal lebih lambat memberikan
efek desak ruang dibanding hematoma di daerah temporal. Perdarahan
epidural di daerah temporal akan mendesak unkus dan girus hipokampus ke
arah garis tengah dan tepi bebas tentorium dan akan menyebabkan dilatasi
pupil ipsilateral dan hemiparese kontralateral (Purwowirantono, 2002).
Hematoma yang besar akan menekan korteks cerebri, bila tekanan
sudah cukup besar maka bagian medial lobus temporalis akan terdorong ke
arah tentorial sehingga menekan nervus okulomotorius (N. III) yang berjalan
sepanjang tentorium. Hal ini akan menyebabkan paralisis serabut-serabut
saraf parasimpatis yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata yang
berada pada permukaan nervus oklulomotorius. Aktivitas serabut saraf
simpatis tidak dihambat, sehingga semakin mendukung terjadinya dilatasi
pupil. Bila penekanan ini terus berlanjut akan menimbulkan paralisis total
nervus okulomotorius yang menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral
dan ke bawah (down and out) (Purwowirantono, 2002).
Adanya penambahan massa di otak karena terbentuknya hematoma
dapat menyebabkan herniasi otak. Bagian otak besar (ensefalon) yang sering
mengalami herniasi melalui incisura tentorial adalah sisi medial lobus
temporalis yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan
traktus piramidalis yang berjalan pada mesensefalon. Traktus piramidalis atau
traktus motoris menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level
foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis
otot-otot sisi tubuh kontralateral. Herniasi juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara berangsur-
angsur, suatu saat akan mencapai suatu titik toleransi maksimal sehingga
perfusi ke otak tidak mampu lagi mempertahankan integritas neuron. Kondisi
ini akan berkembang menjadi keadaan hipoksia sehingga dapat menyebabkan
penurunan kesadaran (Japardi, 2002; Purwowirantono, 2002).
Hematoma epidural biasanya mengikuti suatu trauma langsung pada
kepala, dan terjadi suatu periode penurunan kesadaran, kemudian pulih

21
kembali, yang disebut dengan interval lucid. Selama periode ini hanya
terdapat keluhan atau gejala yang minimal. Trauma langsung pada kepala
akan menyebabkan terpisahnya dura dan os kranium, sehingga terbentuklah
ruang epidural. Darah akan masuk ke dalam ruang epidural akibat rupturnya
arteri meningea media dan akan diserap kembali oleh vena, melalui
arteriovenous shunt. Arteriovenous shunt diketahui memiliki daya absorbsi
yang besar. Adanya arteriovenous shunt ini memungkinkan terjadinya
perdarahan epidural bersamaan dengan pengurangan volume perdarahan,
sehingga terjadi interval lucid (Ganz, 2013).Patofisiologi EDH secara ringkas
dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Trauma
langsung

Terbentuk Ruptur a.
Fraktur os
ruang meningea media,
cranium
epidural sinus dura

Darah masuk ke Hematom


ruang epidural a epidural

Vena menyerap darah yang


Hematoma di Hematoma di
masuk (Arteriovenous Herniasi
frontal/subfrontal temporal
shunt)

Efek Menekan
Penurunan perfusi Herniasi
Interval lucid desak korteks
darah ke otak unkus
ruang cerebri
Menekan
Integritas neuron Menekan traktus N.
menurun piramidalis okulomot
orius
Paralisis
Hemiparese serabut
Hipoksia
kontralateral parasimpa
tis
Dilatasi
Penurunan
pupil
kesadaran
ipsilateral

Bagan 1. Patofisiologi EDH

22
G. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus diakibatkan olehrobeknya arteri meningea
media. Perdarahanterletak di antara tulang tengkorak dan duramater.Gejala
klinisnya adalah lucid interval,yaitu selang waktu antara pasien masih
sadarsetelah kejadian trauma kranioserebral denganpenurunan kesadaran
yang terjadi kemudian.Biasanya waktu perubahan kesadaran inikurang dari
24 jam; penilaian penurunan kesadarandengan GCS. Gejala lain nyeri
kepalabisa disertai muntah proyektil, pupil anisokordengan midriasis di sisi
lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis
Babinskipositif kontralateral lesi yang terjadi terlambat (Soertidewi, 2012).
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Hb dan leukosit dapat diperiksa karena Penelitian di RSCM
menunjukkan bahwaleukositosis dapat dipakai sebagai salahsatu
indikator pembeda antara kontusio(CKS) dan komosio (CKR).
Leukosit>17.000 merujuk pada CT scan otakabnormal, sedangkan
angka leukositosis>14.000 menunjukkan kontusiomeskipun secara
klinis lama penurunankesadaran <10 menit dan nilai GCS 13-15adalah
acuan klinis yang mendukung kearah komosio. Prediktor ini bila
berdirisendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpafasilitas CT scan otak,
dapat dipakai sebagaisalah satu acuan prediktor yangsederhana
(Soertidewi, 2012).
Gula darah sewaktu (GDS) diperiksa karena hiperglikemia reaktif
dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian. Pemeriksaan
fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang
buruk, manitol tidak boleh diberikan. Analisis gas darah dikerjakan
pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi
dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik.pO2 dijaga
tetap >90 mmHg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mmHg. Pemeriksaan
elektrolit dan albumin serum perlu dilakukan untuk mengetahui

23
prognosis pasien karena elektrolit yang rendah akan menyebabkan
penurunan kesadaran, dan albumin yang rendah mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin
normal. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen dilakukan bila dicurigai ada
kelainan hematologis. Risiko late hematomasperlu diantisipasi
(Soertidewi, 2012).
2) Radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasangtidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomendilakukan atas indikasi. CT Scan dapat membantu diagnosis
EDH bisa ditegakkan dengan cepat dan akurat. Lokasi perdarahan dan
perkiraan volume perdarahan juga dapat di perkirakan dengan tepat.
Kelainan lain seperti hematoma subdural, perdarahan intraserebral,
perdarahan intraventrikel, hydrocephalus, edema cerebri, dan tumor,
yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK juga dapat dilihat dari CT
Scan. Gambaran EDH pada CT Scan adalah lesi hiperdens berbentuk
bikonveks (Perron, 2008).

Gambar 6. CT Scan EDH (Broder, 2016)

24
Keterangan : bentuk seperti lensa atau bikonveks. Terletak di temporal,
terkait fraktur depresi os temporal (A); Tidak melalui garis sutura (B);
efek massa dengan midline shift (C); “Swirl sign” : gambaran heterogen
yang menunjukkan perdarahan aktif (D); peningkatan TIK dengan
ventrikel mengecil dan tidak tampak sulkus yang terlihat (E,F) (Broder,
2016).

H. Penatalaksaan
a. Resusitasi
1) Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turunke belakang dengan
posisi kepala ekstensi.Jika perlu dipasang pipa orofaring atau
pipaendotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,lendir atau gigi
palsu. Jika muntah, pasiendibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkanmelalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan (Soertidewi, 2012).
2) Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkanoleh kelainan sentral atau
perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasanyang
ditandai dengan pola pernapasanCheyne Stokes, hiperventilasi
neurogeniksentral, atau ataksik.Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi,trauma dada, edema paru, emboli paru, atauinfeksi (Soertidewi,
2012).
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilator
3) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.Hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <90mmHg yang terjadi hanya satu kali saja
sudahdapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan.Hipotensi
kebanyakan terjadi akibatfaktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karenaperdarahan luar atau ruptur alat dalam,trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.Tata laksananya

25
dengan cara menghentikansumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung,mengganti darah yang hilang, atausementara dengan cairan
isotonik NaCl0,9% (Soertidewi, 2012).
b. Manajemen tekanan intrakranial(TIK)
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibatedema cerebri dan/atau
hematoma intrakranial.Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasangmonitor
TIK.TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan cara (Soertidewi, 2012):
1) Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala
dan dada padasatu bidang.
2) Terapi diuretik:
• Diuretik osmotik (manitol 20%) dengandosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30menit. Untuk mencegah rebound, pemberian
diulang setelah 6 jam dengandosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit.
Pemantauan:osmolalitas tidak melebihi310 mOsm.
• Loop diuretic (furosemid) : Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memperpanjangefek osmotik serum
manitol. Dosis:40 mg/hari IV.
c. Terapi Bedah
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal
dibawah ini (Japardi, 2004) :
• Status neurologis
• Status radiologis
• Pengukuran tekanan intrakranial
Terapi operatif terutama diindikasikan untukkasus perdarahan
epidural dengan volume perdarahanlebih dari 30mL dan/ataupergeseran
garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisipasien
(Soertidewi, 2012).
Sumber lain menyebutkan bahwa EDH dengan ketebalan lebih dari 5
mm dan pergeseran garis tengah dengan dengan GCS 8 atau kurang
disertai tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25
mmHg juga merupakan indikasi operasi(Japardi, 2004).

26
I. Komplikasi
Banyak komplikasi EDH terjadi saat tekanan yang terjadi
mengakibatkan pergeseran otak secara signifikan. Ketika terjadi subfalcine
herniasi, arteri cerebri anterior dan posterior dapat menyempit dan
menyebabkan infark cerebri. Herniasi ke arah bawah menuju batang otak
menyebabkan perdarahan duret di dalam, batang otak, terutama di pons.
Herniasi transteritorial dapat mengakibatkan kelumpuhan nervus kranialis III
ipsilateral, yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk memulihkannya
jika tekanan sudah membaik. Kelumpuhan Nervus kranialis III bermanifestasi
sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan bola mata bergerak ke
medial, atas, dan arah bawah (Ullman et al., 2016).

Gambar 7. Komplikasi EDH

J. Prognosis
Prognosis hematoma epidural ini sangat baik bila ditangani dengan
segera. Lucid Interval ditemukan pada 20-50% pasien dengan EDH. Hal ini
berarti bahwa kondisi otak sebelumnya adalah baik dan bila terjadi EDH
berlanjut akan mengakibatkan peningkatan TIK, penurunan kesadaran,
kerusakan otak menetap sampai herniasi otak. Pada kasus tekanan intrakranial
yang meningkat yang disebabkan oleh hematoma epidural besarnya volume
sangat mempengaruhi outcome dari pasien-pasien hematoma epidural setelah
dilakukan evakuasi hematom. Volume hematom 56 ± 30 mL mempunyai
outcome yang baik, tetapi pada volume 77 ± 63 mL, outcomenya tidak

27
memuaskan (Smith et al., 2004). Pada suatu penelitian oleh Lobato dkk pada
54 pasien hematoma epidural yang mengalami koma. 67% subyek penelitian
tekanan intrakranial meningkat >15 mmHg dan sisanya meningkat >35
mmHg, semuanya dilakukan operasi 29 evakuasi hematoma, kemudian
dibandingkan outcome 6 bulan sejak trauma. Ditemukan bahwa kenaikan >35
mmHg mempunyai korelasi yang kuat terhadap mortalitas (Ghajar et al.,
2005).

28
DAFTAR PUSTAKA

Aarabi et al. 2005. Management of Severe Head Injury. In : Moore AJ, Newell
DW. Editor. Neurosurgery : London.
Broder ,Joshua. 2016.An Evidence-Based Approach To Imaging Of Acute
Neurological Conditions. (Online)
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=1
17&seg_id=2285. Diakses pada 1 September 2016.
Bullock et al. 2006. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. In :
Neurosurgery, 58 (3).
Fan, Xue Zheng., You Chao. 2009. Spontaneous intracranial extradural
hematoma: Case report and literature review. Neurology India. 57 (3) : 324-
326.
Ganz, Jeremy C. 2013. The Lucid Interval Associated with Epidural Bleeding:
Evolving Understanding in Journal of Neurosurgery Vol, 118 pp. 739-745.
Ghajar J, Gordon D, Hartl R et al. 2005. Surgical management of acute epidural
hematomas. New York: Brain Trauma Foundation
Huisman TA, Tschirch FT. 2008. Epidural hematoma in children: Do cranial
sutures act as a barrier?. J Neuroradiol.
Japardi, Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta: Buana lmu Populer. Kelompok
Ilmu Gramedia.
Japardi, Iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.
Universitas Sumatera Utara
Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Makalah. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Manley et al. 2001. Hypotension, Hypoxia, and Head Injury. In : Arch Surg. 136 :
1118 – 1123.
Moulton R J, Pitts L H. 2005. Head Injury and Intracranial Hypertension. In :
Principles of Critical Care, ed.3. USA : McGraw Hill.
Perron A D. 2008. How to read a head CT Scan. In :Injuries to Bones and
Organs. New York : Mc Graw Hill.
Price DD, Wilson SR. 2006. Epidural hematoma. In: McNamara RM, Talavera F
editors. Traumatic brain injury. (Online)
http://www.emedicine.com/EMERG/topic167.htm. Diakses pada 2
September 2016.
Purwirantono, 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam
Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural pada Kasus Cedera Kepala.
Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Rosner MJ. 2002. Pathophysiology and management of intracranial pressure
monitoring. In: Andrew BT. Editor. Neurosurgical intensive care. 3 rd ed.
New York: Mc Graw-Hill.

29
Rovlias A, Kotsou S. 2004. Classification and Regression Tree for Prediction of
Outcome after Severe Head Injury Using Simple Clinical and Laboratory
Variables. J Neurotrauma. Vol 21;7. Hal: 886-93.
Smith WS. 2004. Pathophysiology of focal cerebral ischemia: a
therapeuticperpective. Journal of vascular and interventional radiology. 15:
S3-S12.
Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
CDK. 39 (5) : 327-331.
Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
Suslu, H. et al. 2005. Acute Cranial Epidural Hematoma Related To Breech
Delivery In A Neonate With Congenital Anomaly. The Internet Journal of
Neurosurgery. 3 : (2) : 1-6.
Ullman, Jamie S et al. 2016. Epidural Hematomas Treatment & Management.
(Online). http://emedicine.medscape.com/article/248840-treatment#d15.
Diakses pada 1 September 2016.
Zauner A, Muizelaar J P. 2004. Brain metabolism and cerebral blood flow.In :
Reilly P, Bullock R.Editors. Head injury. 3 rd ed. London:Chapman nad.
Hall Medical.

30

Anda mungkin juga menyukai