Anda di halaman 1dari 4

REFLEKSI KASUS

PASIEN DENGAN DO NOT RESUSCITATE (DNR)

Disusun Oleh:
Agung Sulistiya Ariwibowo,

YOGYAKARTA
2021

0
REFLEKSI KASUS PADA PASIEN DENGAN DO NOT RESUSCITATE (DNR)

BAB I
PENDAHULUAN

Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi


CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung
pasien atau berhentinya pernapasan. Cardiopulmonary resuscitation (CPR) memiliki
kemampuan untuk membalikkan kematian dini. Hal ini juga dapat memperpanjang pasien
pada penyakit terminal, dan meningkatkan ketidaknyamanan. Meskipun keinginan untuk
menghormati otonomi pasien, ada banyak alasan mengapa prosedur CPR dapat rumit
dalam pengaturan perioperatif.
Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering mengalami
dilema dalam kode etik kedokteran maupun masalah moral. Dimana kita dihadapkan oleh
suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu
beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita.
Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini
akan berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah
perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba
pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan RJP
membiarkan pasien mati dengan begitu saja tapi masalahnya jika kita memiliki hati dan
melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien
tersebut.
Ini adalah sebuah dilema. Dan hal ini terjadi pada pasien pada penyakit kronis dan
terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia
(dibiarkan mati ataupun suntik mati karena karena kehidupan yang sudah tidak terjamin).
Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya resusitasi yang
biasanya terdapat pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk, sudah ada
tandan tulisan “DNR”.

1
BAB II
KASUS

A. Descripsion
Seorang pasien, Ibu SW berusia 67 tahun, dirawat hari ke 2 di ICU (masuk ICU tgl 20 – 1
-2014, jam 00.15 wib) dengan penurunan kesadaran dan gagal nafas serta riwayat
hydrocephalus post pemasangan vp shunt. Terpasang ET - ventilator dengan metode P-
SIMV 12, Peep 5, F1 O2 50 %, (sejak tgl 20 – 1 - 2014, jam 04.00 wib). Keadaan Umum
Jelek, Coma, GCS : E1 V1 M1, Pupil ka/ki Medriasis 4 mm, Reflek Cahaya : - / - ,Reflek
Kornea : - / - , Tekanan darah : 80/40 mm Hg, Nadi : 112 x / menit, RR : 12 x / menit,
SpO2 : 98 % – 100 %, gambaran ECG Sinus Tachicardi. Terpasang Infus Asering 20 tetes
permenit makro, terpasang Dobutamin 250 mg dalam 50 cc larutan (Nacl 0,9 %) syring
pump 10 cc / jam. Terpasang NGT residu coklat ± 30 cc, terpasang kateter, urine kuning
coklat residu tertampung ± 150 cc . Terapi yang lain : Parenteral iv (Pantoprazole 40
mg/12 jam, Kalnek 500 mg/8 jam, vitamin K 1 ampul / 12 jam, Primperan 1 ampul /8
jam), Oral NGT : Impepsa 15 cc/8 jam. Sejak 21-1-2014 pukul 07.35 wib, keadaan
gambaran ECG PEA, saturasi SpO2 menurun 70-80%, Tensi ; tidak terdeteksi. PASIEN
ADALAH DNR = Do Not Resuscitate. Sampai dengan 21-1-2014 pukul 08.25 wib pasien
dinyatakan meninggal.
B. What Were You Feeling (Apa Yang Anda Rasakan)
Merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kasus ini, sehingga sebagai dokter umum tahu
manajemen terapi yang harus diberikan kepada pasien dengan DNR (Do Not Resuscitate),
terkait dengan berbagai aspek Agama, Etika / Moral, Mediolegal dan Aspek Lainny
C. Evaluation
Pengalaman baik : menjadi tahu dengan kondisi dilematis pasien (terkait prosedur dan
pelaksanaan DNR).
Pengalaman buruk : Kurang siap terhadap kasus anastesi dan intensif care (harus belajar
lebih giat lagi, supaya dapat memenuhi kriteria knowledge dan ketrampilan skil terkait
anastesi dan intensif care)
D. Analysis (Based On EBM)
Dibahas lebih lengkap pada bab pembahasan, yaitu terkait kondisi DNR pada kasus
dengan aspek Agama, Etika/ Moral, Medikolegal dan Aspek lain.

2
E. Conclusion (I Would Done Differently)
Terapi yang diberikan pada kasus refleksi kurang lebih sudah sesuai dengan gadline, yaitu
pasien DNR tidak benar-benar mengubah perawatan medis yang diterima. Pasien masih
diperlakukan dengan cara yang sama. Semua ini berarti bahwa jika tubuh pasien
meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan
melakukan CPR/RJP. Menjadi pasien DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan.
Ketika dokter dan perawat berhenti berfokus pada pengobatan dan mulai fokus pada
tindakan penghiburan adalah sesuatu yang disebut Perawatan Paliatif.
F. Actual Plan (The Way I Manage My Patient In Future / Cara Saya Menangani
Pasien Saya Di Masa Depan)
Sesuai dengan standart pedoman bagi dokter, yaitu seperti pedoman yang
dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal College of Nursing mengatakan
bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan setelah diskusi dengan pasien atau keluarga
mereka. Meskipun mungkin sulit untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka
tentang apakah untuk pasien dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga
diskusi terhadap keluarga pasien diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan atau
tidaknya CPR.
Kasus-kasus yang paling sulit untuk diskusi biasanya pasien melibatkan yang tahu
mereka akan mati, menderita banyak rasa sakit, tapi kemungkinan bisa hidup selama
beberapa bulan. Sebaiknya sebagai dokter kita benar-benar membutuhkan banyak diskusi
dengan pasien dan keluarga mereka untuk membantu mereka membuat keputusan
mengenai apakah, jika mereka menderita serangan jantung, apakah tepat untuk memberi
harapan mereka hidup beberapa bulan lagi. Beberapa pedoman (sesuai Profesi Kedokteran
Indonesia) untuk menentukan keadaan di mana DNR mungkin dikeluarkan, antara lain :
1. Jika kondisi pasien adalah sedemikian rupa sehingga resusitasi tidak mungkin berhasil.
2. Jika pasien dengan mental yang baik secara konsisten menyatakan atau menandatangani
bahwa dia tidak ingin diresusitasi
3. Jika ada pemberitahuan lanjutan atau kemauan hidup yang mengatakan pasien tidak
ingin diresusitasi
4. Jika resusitasi berhasil tidak akan berada dalam kepentingan terbaik pasien karena akan
menyebabkan kualitas hidup yang buruk.
5. Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat
6. Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur

Anda mungkin juga menyukai