Anda di halaman 1dari 26

PUISI KOMPAS, MINGGU, 1 JUNI 2014

Monogram Dua Huruf

Meski kau menuduhku sebagai penyamun, tetap


aku berpaling darimu. Dan meski tujuan kita sama,
aku mencoba pikiran kita bertolak belakang.

Aku ingat, kau tiba-tiba bertanya padaku:


Jalan apa yang kau loncati. Bagaimana. Dan
Apakah kau tak terjebak untuk mabuk? Kenapa?

Barangkali kau keliru merabai aku, jika aku ternyata


dapat menjadi si buas yang sopan ketika mendung
belum tercatat sebagai perih. Mungkin kau hanya

membaca di sisi luarku, lalu menduga bahwa aku


adalah si kecil yang berlindung di batu gelap sembari
berdoa dijauhi hari sial. Memang tak salah ketika

kau menuduhku, sebab kau berkeyakinan seekor


harimau yang kencur belum bisa membedakan
antara mangsa dan kawan. Tapi aku menganggap:

Seekor harimau, meski kencur, tetaplah harimau.


Apalagi taring harimau merupakan ruang kerja bagi
dewa maut untuk memulangkan jiwa yang buram.

Dan aku akan menjawab pertanyaanmu: Sebuah


jalan merupakan buku semu. Dan aku tetap selalu
mabuk, meski jalan kita bertolak belakang.

Surakarta, 2014
Handuk Hangat

Uap yang mengepul menandakan


aku telah siap melumat kaku dagingmu.

Tujuanku hanya satu, membuatmu


tenang dengan sedikit kejutan tak terduga.

Dan keluarlah kotoran lewat pori-porimu,


seperti lava dingin yang merembes.

Bahkan, aku tak memaksa kotoran


keluar, tapi aku memanfaatkan tarikan.

Dan bersikaplah seolah kau melakukan


kelahiran kembali, biar kau tak sia-sia.

Benar, syarafmu akan mengembang dengan


detak jantung melamban secara berurutan.

Jika kau mau menjawab, apakah kau


setuju aku akan mencuri keterjagaanmu?

Begitu, sayang sekali jika ternyata matamu


tak menyukai kelelapan semurni licinku.

Sekarang minumlah susu itu, lalu duduklah


dan pikirkan kenapa kau melewati kilauku.

Gresik, 2014
Dinding Sekarang

Aduh, saya tidak asli sini, Mas. Semua orang


di sini kebanyakan berasal dari luar. Cuma,
saya dan semua orang di sini bisa tinggal

karena kakek buyut kami pandai membuat


tuan besar senang. Padahal hanya membuatnya
kenyang dan tenang.

Saya dan semua orang di sini tahu, jika


tuan besar sangat berjasa. Untuk menghormati
jasanya, tempat ini kami buatkan dinding dan
di dinding itu kami beri tulisan:

Kami bahagia

dan tuan besar semoga diberkati Tuhan.


Oya, sudah dengar belum, Mas, jika tuan besar
turun tahta? Kami tidak khawatir meski
nanti kami diusir. Kami akan tetap menyambut
tuan besar dan menjamunya hingga muntah.

Surakarta, 2014
Tak Bertuan : Bawah Tanahnya Dostoyevski

Jangan kalungkan koin emas


di leherku. Aku puas dengan deheman palsu,
timbangan keruh dan pergulatan gelapmu.

Bahagiakan saja aku, demi


sentuhan tak terarah yang bersembunyi
di kedipan matamu. Tapi simpan dulu

serabut hasratmu dan jangan gegabah


untuk membebatku. Karena aku
seorang yang tak mengimamimu.

Aku hanya ingin anjing di tubuhmu


liar. Terus menggonggong sampai kita
melihat bintang merekah di langit utara.

Lalu kau pun berdoa: Tenang,


tanpa sangsi. Sudah kau jangan
pikirkan hidup, karena kita sudah payah

menjalankan alur derita. Mari kita


selesaikan ini, meski kita saling luput
ketika kokok ayam tak patah dan aku

melupakan gonggongan anjing di tubuhmu.

Surakarta, 2014
Langit Tampak Mencolok

Biarkan langit tampak mencolok setelah kurvanya


kehabisan mekar. Dan biarkan juga langit tak lagi elok,
sebab orarenya telah membayang.

Tapi misalkan, langit tak menawarkan pemandangan


tersebut, barangkali aku jadi khawatir jika nanti malah
menampakkan batu-batuan yang beterbangan.

Seperti sabda si suci yang memberikan


kuliah umum kepada kaum gemar berhitung.

Oh, takutlah aku bahwa langit tak disangga pilar gaib.

Dan langit pun rebah di laut, bersama kurva dan


oranyenya. Seperti berubahnya gambar karena luntur.

Dan motif bunga di bajuku yang semula diam, sekarang


pun bergoyang-goyang ingin menjatuhkan putiknya.

Gresik, 2014
Pesta Minum Teh

Pesta minum teh baru 13 menit berlalu.


Beberapa boneka belum meminum
secangkir pun. Si gadis tersenyum

melambai-lambai tangannya.
Memainkan pertemuan secara anggun.

Di pesta minum teh tadi,


boneka kuda tampak sedih. Si gadis cuek
dan lebih bercerita keluguannya.

Boneka lain tampak bahagia melihat aksi


si gadis. Seolah tidak mubazir dihidupkan.

Ibu peri belum datang, kita tunggu


ibu peri dulu, kata si gadis.

Pesta minum teh baru 13 menit berlalu.


Boneka kuda sudah frustasi. Diharapkan
si gadis memberhentikan permainannya.

Akhirnya jam pun mendatangkan si mama


menjemput si gadis itu. Itu, akhirnya ibu peri
datang, kata boneka kuda dan menyiapkan
diri untuk berlari dalam ilusi.

Surakarta, 2014

* Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Tengah, 22 Februari 1994. Ia tinggal di Surakarta.
Salah satu buku puisinya adalah Sepatu Kundang (2012).
Puisi-puisi Koran Tempo edisi 14 Juni 2015

Selamat Tinggal

Kuletakkan kepalaku
sejajar dua dengkulmu

Kau mengangkangi wajahku seperti penyanyi dangdut


aku menyesap semua getahmu serupa babi penurut

Susumu terbuka seperti setengah kubah


kujilat latah seperti mencecap cinta pelupa

Tidak. Tidak. Cium dan cinta


telah kulepas bersama kulit-kulit remajaku

Kulepas pula sisikku, culaku, ekorku dan taringku


agar aku lekas mengelupas kulup upasmu, sayangku

Tapi kau memasang sisikmu, susukmu juga tiga tandukmu


bocah-bocah gundul itu pun mendengung dan merubungmu

Tidak. Tidak. Mereka tak benar menggandrungimu, sayangku


bocah-bocah semprul itu, seperti juga diriku

Adalah begejil manis, begejil lamis


mereka tak gampang kepincut getah iblis

Sebab, seperti aku, dari cangkang keras mereka menetas


mereka lebih mencintai tikus, curut dan cuwut, sebenarnya

Dan tentu berpura-pura memujamu sekadarnya, kau


yang kadung mengangkang bagai dewi balak tujuh itu

Alamak, kenapa kau bayangkan diri bagai berhala begitu?


sedang mereka telah menyaru sebagai tuhan-tuhan tengil

Seperti semut-semut geramang yang mabok kepayang


dan bergandengan meninggalkan ciut lubang.

(2015)
Tukang Kunci

Berpeci putih, perangaimu mirip orang suci


Rautmu serupa petapa paling sabar di bumi
Ditebali jenggot dan cambang kusut masai
Kau seperti pengkhutbah yang lari dari toa.

Tidak. Tidak. Kau tak ingin berkhutbah


Kau tak suka cocot corong dan pengeras suara
Sebab kuping adalah gua, tempat para nabi
Menemukan kembali diri dan Tuhannya.

Tidak. Tidak. Kau tak tahu jarak diri dan Tuhan


Tabir tipis yang tak tertembus mulut dan mata bebal.
Maka kau pun memilih menjadi perajin besi
Mengantur logam berat di mana malam berkarat.

Tidak. Tidak. Kau yakin, tak ada yang paham,


Paham hatam kelambu alam dan rahasia malam.
Sebab itulah demit, jerangkong, jenglot, begejil,
Weleg, genderuwo dan asu buntung melolong

Di sisimu, saat kau menyalakan lampu putih


Mengambil gagang gerendo dan kasar kikir
Menaksir sandi-sandi sulit dan watas wingit
Membikin bolongan alit seperti lubang langit

Tidak. Tidak. Kau tak paham tentang bolongan


Dan lubang langit. Jemarimu juga tak terampil
Memutar bebutir tasbih dan pentil. Jemarimu
Hanya karip dengan seperangkat alat tukang

Di mana gerendo, kikir, obeng, gergaji, palu


Dan uncek bekerja, mengatur logam, memutar
Sandi besi yang mengunci kaki dan langkah
Agar belenggu dan pintu-pintu kembali terbuka.

(2014)
Hidangan

Buya menyesap kuah sup buntut. Jarak tuwung


Dan mulut Buya begitu rapatnya.
Tidak. Tak ada jarak
Antara tuwung dan mulut Buya, bahkan.
Mungkin renyah kerupuk rambak yang kukunyah
Mengacau pikiran Buya
Atau gumpalan lemak lembut yang meruapkan aroma rempah itu
Naik ke mata Buya. Hingga mata Buya
Tak bisa membedai putih bawang dan belatung kambang.
Tidak. Tidak. Minyak dan lemak tak akan mampu
Mengecoh tajam mata Buya.
Maafkan aku yang tumpul dan semprul ini, Buya.
Mungkin sudah kodrat
Bila bawang goreng remuk dan daging gampang membusuk. Bawang goreng
mengambang. Belatung daging mengambang.
Keduanya mengambang putih, seperti jubah mini saat dicuci.
Tidak. Tidak. Sekali lagi, maafkan aku, Buya.
Aku tak punya kasyaf tinggi, tak bisa membedai
Belatung banal dan bangkai batal.
Tak paham seluk-beluk biologi dan dalil kimiawi.
Tak percaya jika belatung mengandung protein tinggi.
Tak ngerti bila belatung semacam pelaku sufi
Yang membimbing jalan busuk di bumi.
Tidak. Seperti bumi, perut tabah
Mencerna apa saja yang Buya telan.
Mungkin Buya hatam menyelam kalam, menyunting birahi
Jadi berkah dalam, hingga daging
(yang kini bonus belatung)
Juga gajih, lima, usus, kacang, bawang, buncis, cabai, selada
Dan kubis Buya kunyah, seperti omnivora radikal
Sehingga perut Buya melorot mirip perut Semar.
Badan Buya melar dan jubah Buya pun bubar.
Alamak, apa Buya titisan kiai Semar? Tidak. Tidak, Buya
Jauhkan aku dari kentutmu yang tak terpahamkan.

(2014)
Raminthen

Kelak
kau akan menangis
mengingat ambin licin
di hotel kecil
di kota sultan tengil
ketika padaku kau dongengkan
riwayat buyamu
yang menyaru serupa harem
demi mengecoh juru mudi
dan petugas imigrasi.

Tidak. Tidak.
Kelak kau akan tersenyum
mengingat kafe kampung kimpet
saat aku menyesap kopi iblis
kau menatap cawan es krim melankolis
sementara dari langgar terdekat
terdengar tarkhim terakhir
dan dua banci di kiri meja kita
bercinta-cintaan
sambil mengutuk Tuhan
dan simpul kemaluan.

Tidak. Tidak.
Kelak kau tidak menangis atau tersenyum
sebab kita mungkin telah modar
dan (seperti kita) puisi ini pun bubar
ke nusa nasib nun samar.

(2015)

A. Muttaqin tinggal di Surabaya. Buku puisinya adalah Pembuangan Phoenix (2010)


dan Tetralogi Kerucut (2014).
Puisi-puisi Koran Tempo edisi 21 Juni 2015

Kelampan Penenun

sebelum kau ayunkan bebiremu, sangkutkan dulu benang itu


pada bawang kesune, beras hibah pemerintah, dan lumut di telabah

kaudengar biji padi memimpikanmu malam tadi


waktu tekong berkunjung dengan tangan kosong
mengangkut para janda ke seberang dan menjadikan
mereka bahan gunjing janda-janda lain yang hilang kesempatan

sementara lelaki mencuci tangan dalam akad pernikahan


kau tamatkan satu bagian dari kain yang kelak lusuh di pajangan
nyanyikan tembang moyang, tembang gugur mayang
lelaki akan kembali, dengan tangan telah disucikan
berhak memutus benang, yang di tubuhmu halus berkilauan

(Bakarti, 2015)

Kelampan Tenun Pesanan

benang marun benang serat daun, kelampan jauh


tak dapat ditempuh kecuali dengan menebus seluruh perhitungan
pada kerutan kain timang

di bawah batang srikaya, bunyi ketukan menimbang langgam


bilamana benang tersusun simpang-menyimpang

ini pesanan seorang tebon, suaminya raden tanpa blangkon


seolah mau berkata: raden hanya gelar pemberian
jin gunung Rinjani, lewat mulut juru kunci yang mabuk ketan merah

tapi mereka akan marah apabila kita dedah semua sejarah


lantas serapah dilepas bagai ribuan anak panah

hanya lewat tangan yang cekatan memisah benang


dapat kita lihat bagaimana pikiran liar dihapuskan
tinggal garis-garis lurus, timbul tenggelam di tengah bidang
bagai keinginan berkisah yang tertahan tembok rumah

(Bakarti-Pagesangan, 2015)
Penata Peniti : Hanafi

aku letakkan peniti di antara yang tertutup dan belum tertatap

bukankah ia jembatan yang membuka jalan


atau jemputan yang mengarah pada tujuan

aku melihat caraku melihat


aku dengar mesin jahit
melubangi suara-suara jahat dari luar
menemui benang dan bakal pakaian, menuliskan ingatan
di dinding-dinding muram

aku mau kalian meniti lengkung berujung tajam ini


agar asin darah dari jari jadi abadi di merah lidah

(Bakarti, 2015)

Paras Beras : Hanafi

di bawah lampu, kupu-kupu, patah putih sayapnya


jadi butir beras, berandal lepas dari anai
dan tenteram dalam kenang-kenangan
sebentuk lubang yang disembunyikan paman di tengah ladang

serbuk yang kupu-kupu


diberkati di Bakarti
tempat tinggalku, tempat aku menanggalkan pakaian penyair
lantaran anyir air tak bisa dijernihkan kata, tak bisa
dibersihkan bunyi yang keluar dari puing-puing puisi

pada paras beras itu


orang mencangkul sawah, mencungkil batu basah
memanjangkan bayangan paman yang berdiri sendirian
di tepi lubang, di tengah keluasan lading

(Bakarti, 2015)
Menatap Irisan Garis : Hanafi

bila tanah tak cukup pantas aku akan berkubur di dalam kanvas
mengalami garis dan bidang, menghuni kekosongan ruang
tak ada pidato, tak ada nina bobo, hanya percik dan pelik akrilik

menghidupkan kayu tua yang lama mati


dan seekor unggas biru di atasnya berusaha berdiri

(Bakarti, 2015)

Penyamaran Busana : Auguste Soesastro

tubuh tumbuh dengan caranya sendiri


karenanya tak kubuat garis di lengan ini
cuma bagian lurus dan tembus melewati
tangan di bawah bayangan benang

benang yang tenang menyamar dalam pakaian


telah ia saksikan serat-serat rontok
di butik-butik New York, dan bau batik malam
di rumah-rumah Pekalongan

lalu ia ulur benang leluhur untuk mencari pangkal


bagaimana orang dulu mengukur potongan
agar upah tak dipangkas lantaran gagal menyusun bakal
dan putih kupu-kupu tak mau hinggap di baju

selalu ada lengang pada bayang-bayang lipatan


cap biru seperti bulu unggas di atas kayu
juga ingatan, ingatan yang pelik dan selalu mengusik
bagai bunyi waktu di balik derit mesin jahit

kenangan tumbuh dengan caranya sendiri


karenanya kututup mata dengan perca
kutatap suara-suara yang lepas dari kanvas
kudengar garis-garis ganjil memanggil

(Bakarti, 2015)

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Buku puisinya yang terbaru adalah Penangkar
Bekisar (2015). Ia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram
PERPISAHAN

Kawan

Ingatkah ketika kita pertama kali kita datang di sini

Di tempat para pecinta ilmu dan kemuliaan

Kita datang tanpa apa-apa

Dengan kepolosan dan keluguan kita

Tak kenal huruf dan angka

Masih sedikit ilmu dan etika

Sedikit demi sedikit kita di ajar dan di didik

Hingga kita mengenal ilmu dan pengetahuan

Mengenal budi dan kebaikan

Memahami cinta dan kasih-sayang

Mengerti sahabat dan persaudaraan

Menjunjung disiplin dan kegigihan

Kawan

Ingatkah ketika kita

Pernah menentang guru-guru kita?

Mengolok-olok mereka?

Tetapi mereka tetap tabah dan tegar?

Bercerita tentang indahnya kehidupan

Bercerita tentang damainya persaudaraan

Sri Mulyani ( 2010)


GURU GURU KAMI

Guru-guru kami ..

Kalau hari ini harus kami tumpahkan air mata

Air mata ini bukanlah air mata kebencian

Kami ingin air mata ini menjadi penghapus kesalahan kami

Menjadi penyejuk hati kami

Guru-guru kami

Kalau hari ini kami bersedih

Kesedihan ini bukan karena sakit hati

Kesedihan ini laksana kesedihan seorang anak

Yang berpisah dengan ayah dan bundanya

Guru-guru kami .Lepaskan kami dengan restu dan doa kalian

Doakan kami, karena jalan kami selanjutnya tidaklah mudah

Restui kami, agar jadi manusia berguna

Untuk orang tua kami..

Karena kalianlah kami disini

Kau rela menahan panas, hujan, bahkan lapar

Hanya demi kami, demi pendidikan anak-anak kalian

Kalian korbankan setiap tetes keringat dan air mata

Agar kami jadi manusia mulia

Terima kasih guru-guru kami

Terima kasih ayah bunda kami

Karena kalian kami menjadi lebih berarti

Sri Mulyani ( 2010)


UJIAN

Hitungan hari aku akan ujian

Menggapai dan mengejar nilai

Aku takut dan cemas

Takut nilaiku jatuh

Mama, Papa

Malam ini aku tak bisa tidur

Memikirkan kekecewaan kalian

Kecewa karena harapan yang pupus

Mama, Papa

Lima hari lagi aku ujian Ujian semester

Mama, Papa

Lima hari lagi aku ujian

aku takut aku cemas

Eka , 6 Desember 2012


SEKOLAHKU NAN INDAH

Kupandangi sekolahku yang indah menawan

Lama kupandangi tak terasa

Disitu aku belajar

Disitu aku mendapat ilmu

Banyak guru isinya

Guru yang bermutu

Guru yang memberi ilmu

Untuk bekal muridnya nanti

Terimakasih sekolah dan guruku

Kau sangat berjasa kepadaku

Tanpamu ku tak akan tahu tentang dunia ini

Terima kasih sekolahku nan indah

Karya: Diva Zuleiqa Ananta

IBUKU

Ibu engkau telah melahirkanku

Engkau telah menyusuiku sewaktu aku kecil

Dan engkau juga telah membesarkanku selama ini

Engkau merawat dengan sabar

Sewaktu ku kecil engkau telah memberiku ASI

Sampai akhir ini aku tidak akan melupakan jasamu Ibu

Karya: Aisyah Nur Romadani


PAHLAWAN YANG GUGUR

Pahlawanku...

Engkau berjuang siang dan malam demi negaramu

Engkau pertaruhkan nyawamu demi Indonesia

Engkau lawan penjajah-penjajah asing di Indonesia

Tekat kalian hanya satu yaitu INGIN MERDEKA

Indonesia adalah negara yang subur

Terimakasih pahlawanku

Kan kukenang jasamu selalu dalam hatiku oh...

Pahlawanku Karya: Aisyah Nur Romada

Sumber: http://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id/2015/09/5-contoh-puisi-anak-sd-
terbaik.html
Negeri Tercinta

Negeri nan elok, aman dan tentram

Terjaga alam melintang

Surga khatulistiwa dunia

Indonesia negeri tercinta

Hamparan laut membentang

Membiru, terlihat kaya akan sumber daya alam

Gunung yang kokoh bak perisai

Selalu menjaga negeri dari goncangan

Dengarlah ibu pertiwi

Aku, takkan diam berpangku tangan

Aku tak pernah takut menerjang gelombang

Takkan biarkan negeri ini tersapu ombak kesedihan

2015
Sepak bola

Begitu senang aku bermain


hingga waktu sampai aku lupakan
Berlari, menyerang, menyerbu lawan
membawa bola lari masuk ke gawang

Oh, sepak bola siapa gerangan engkau mencipta


Keberadaanmu membawa angin segar dunia
Semangat didalammu membawakan kobaran gelora

Oh, sepak bola apa dikata engkau tiada


dunia sepi!, sunyi !, suram !
bak kota mati yang ditinggal pergi

Sajak Untuk Tidur

Hai kawan waktu sudah beranjak malam


Ayo kita tidur, mata sudah mulai sayu
Sang mata sudah berbisik berkata
pejamkan aku, aku mau tidur teman !

Bersiaplah untuk berlomba esok hari


Pak guru sudah menanti
Ilmu baru pun akan di dapati

Selamat tidur kawan, pejam, pejamlah sang mata.


Besok kita akan bertempur
Sepertiga Akhir Malam

Kubuka pintu depan rumah


Kusaksikan langit begitu berkilauan
Dihiasi gugusan bintang
Hati pun nampak senang
Sungguh udara dan pikiran begitu lengang
Di sepertiga akhir malam

Kulawan dan kukalahkan udara dingin


Air wudlu pun menembus membasahi kulitku
Dalam sujudku kupanjatan doa kehadiratMu
Jadikanlah bangsa ini,
Bangsa yang aman ,tenteram
dan sejahtera
Bangsa yang menghidupkan
akhir sepertiga malam itu

Taman Surga
Saat tatapan mata memandang lepas
Wujud ciptaanNya di dunia
Berdegup hati ini berkata,
Sungguh mempesona tak ada duanya
Ku bayangkan dan kuresapi siapa gerangan
Membuat sama sedemikian rupa
Hati semakin berdegup seraya menangis
teringat dan terngiang, seperti apa
taman surga berada
Meratap dan menangis kembali hati ini
Mengingat janji Tuhan
Hanyalah mereka manusia pilihan
Yang jauh dari perbuatan nista dan angkara murka
Yang akan menjadikan mereka penghuni taman surga
kekal selamanya
Oh, Tuhan walau seribu jalan berliku
Berikanlah petunjukMu pada langkah kaki ini
Agar hambaMu termasuk ke dalam golongannya
Mentari

Hai mentari pagi


Hari ini kau datang tampak cerah sekali
Engkau datang tiap hari
Untuk sumber energi pribumi

Semua orang berlari pagi


Untuk menyehatkan diri
Tanpa kau, hai mentari
Di seluruh bumi ini
Akan mati tiada lagi

Pengemis-Pengemis Kecil

Ditengah persimpangan warna warni


Di banyak kerumunan besi berasap
Tersaksikan tangan tangan kecil menengadah
Meminta belas kasihan pada sang raja jalanan

Bertalu talu berada di bawah mentari


Menahan hausnya rintihan hati
Mengharap ada yang memberi
Tak pernah lusuh walau dilakukan setiap hari

Sungguh, membenakan hati dirimu itu terlukiskan


Namun siapa gerangan bisa berbuat
Tukmembalikkan telapak tangan
tentang keberadaanmu itu berada
Indah Nian Desaku

Kulihat sawah membentang


Warna hijau bagai permata alam
Ku coba telusuri jalan
Akankah tetap begitu ?
Kuingin tetap begini
Terlihat apa adanya
Kuingin tetap begitu
Terlihat kenyataannya
Mentari mulai tenggelam
Danakupun tetap disini
Menikmati alam yang ada
Anugrah dari yang kuasa
Oh..alam desaku
aman dan damai
Oh..alam desaku
lestarikanlah

dimana hati nuranimu?


Apakah engkau tidak mempunyai mata hati ?
Dimana sebenarya rasa kemanusiaanmu berada ?
Sungguh kejam kau perbuat waktu itu

Manusia kau perlakukan seperti binatang


Kau pekerjakan paksa orang orang tak berdosa
Mereka menangis, merintih , dan menahan keluh
Dan kau diam saja lagi senang
Memang,sudah sepantasnyalah engkau binasa dari muka bumi ini
Candi Borobudur

Hamparan susunan batu tertata apik


Pahatan dan ukiran terbaik dari orang orang terpilih.
Tak berbelok mata ini menatapnya
Reliefmu begitu melegenda

Oh, nenek moyangku sungguh kekuatanmu maha hebat waktu itu


Kau torehkan tanpa pamrih usahamu
Kau bangun peninggalan sejarah itu untuk keindahan dunia
Kini kusaksikan hasil keikhlasanmu itu
ada di depanku

Terbesik dalam hati menyentuh stupa-stupamu.


Sungguh warisan usahamu begitu membekas
Semangat gotong royongmu bak kehidupan kerajaan semut
Dan saatnyalah kini kau berikan contoh
Kau berikan tauladan
Agar kami bangkit membangun negeri ini

Ayo Membaca

Sesobek kertas telah diberikan


Seuntai tulisan juga berada di dalamnya
Duhai anak yang malang
Kenapa engkau diam saja ?
Kenapa kertas itu hanya kau simpan ?

Sungguh banyak harapan terpendam


Ilmu maha luas telah tertuliskan
Namun sayang kau malas membaca

Dunia begitu luas ilmu pun begitu terbentang


Sungguh dunia telah berkata,
Kau ingin tahu isiku ?
Kau ingin mengerti apa tentang dunia ini ?
Malang beribu malang kau malas membaca

Duhai anak yang malang


Bangkitlah sekarang
Wawasan luas telah menantimu
Lawanlah jiwa kotormu itu
Tuk mencapai impianmu

Sinar pelangi
Kulewati jalan setapak menyusuri pantai
di kala pagi buta meninggalkan bumi
Kala itu gerimis kecil pun datang
Datang menemani sang mentari bangun

Aku lihat di seberang ufuk timur


Bersama dinginnya tetesan embun
Sinar pelangi melingkar merangkul menyinari bumi

Betapa elok nan indah Tuhan kau ciptakan


Tak ada dua bentuk yang menyamainya
Sinarnya menorehkan hiasan langit di kala pagi
Mengajak manusia menatap indah dunia
Menggapai hasrat mencapai mimpi

Kertas dan Goresan Tinta

Putih Bersih bak jiwa yang suci

Jika teraba tinta, bukan berarti kotor

Dulu, aku hanya mampu menuangkan goresan saja,

Dan ternyata tinta begitu licin

Jika tumpah, bisa menyebar membasahi jiwa

Ternyata ilmu juga begitu,

Dari satu goresan tinta, bahkan kumpulan titik pun bisa mencipta huruf,

Meramu kata menjadi kalimat yang mewarna

Perlahan membuka jendela pikiran,

menemukan celah cahaya pengetahuan darimu,

Secarik kertas dengan goresan tinta berjuta makna

2015
Ruang Kelas

Kau adalah tempat meramu ilmu

Memelukku dari kebodohan

Merangkul diriku dari dunia luar yang keras

Kau, sarana yang tak pernah merasa bosan untuk ku singgahi

Kau pertemukan aku dengan puluhan pasang mata

Semuanya berbeda, tapi kau mampu membuatku paham akan arti perbedaan itu

Hadirmu memberikan warna suasana

Gaduh, sepi, berantakan!

Ah... semuanya lengkap

Itu sungguh suasana yang mengasyikan bagiku

Tak pernah ku temukan kebahagiaan seperti ini di tempat lain

Saat waktu mengajarkanku untuk berbagi

Ketika waktu menuntutku untuk mengerti

Ruang kelas ini, yang setia menemani.

2015

Anda mungkin juga menyukai