Anda di halaman 1dari 20

Depresi #Naskah Drama Monolog (Canty Gracella)

Dunia adalah sebuah lembaran penuh makna, ada garis hitam yang
selalu di coretkan dalam sebuah kertas, dan adapula putih yang di
kaitkan dalam menemani sang hitam. Terlalu banyak keluh kesah
yang harus di lewati. Marah, sedih, kecewa, tertawa bahkan cinta.
Entah apa daya, saat seorang perempuan yang baru menginjak jenjang
remajanya harus menjalani masa-masa terindah dalam hidupnya (red:
masa putih abu-abu) dengan penuh tekanan.
Masuk ke dalam kamar dan membanting buku paket.Menatap tajam
pada
para penonton sambil menaikkan sebelas alis.
lalu tertawa masam tak berarti dan mulai bersenandung na na na
sambil mengitari para penonton dengan wajah layu.
Tiba-tiba merengkuh tersender pada dinding kamar.
Tuhan, di manakah Engkau? Di mana, Tuhan?
Terus bertanya dengan keberadaan Tuhan dengan suara parau.
Hati mulai bergejolak dan mata semakin sayu.
Sura pun naik turun.
Tuhan, tolong jawab! Di manakah Engkau sekarang?
Tetap merengkuh, tersungkur di atas lantai.
Namun, mulai memeluk ke dua kakinya dengan erat dan
semakin berlarut dalam kesedihan.
Di mana Tuhan? Di mana? Di mana?
Suara mulai meninggi.
Tuhan, tolong jangan tinggalkan aku. Jangan biarkan aku sendiri.
Jangan biarkan aku terjatuh, terjatuh dalam jurang yang penuh
keabadian. Aku tahu, jurang itu cukup tangguh untuk menyeretku
masuk ke dalamnya. Aku takut, sangat takut Tuhan. Tolong jangan
lepaskan tanganku, Tuhan. Aku hanya membutuhkanmu. Bisakah
Engkau berlama berada di dekatku? Sebentar saja, menuntunku untuk
keluar dari tempat busuk ini.
Bangkit berdiri lalu menunjuk setiap penonton yang berada di
depannya.
Wajah mulai menampakkan aksi geram, maka kesedihan mulai
menciut, dan terganti dengan wajah penuh amarah.
Mengapa? Mengapa dunia terasa tak adil bagiku. Semuanya tak
pernah memedulikanku. Aku hanya sendiri dalam kegelapan. Aku
terkurung, aku di cekam, dan aku di kekang. Aku takut
sebias cahaya menyinariku. Bermain-main di atas kepala dan
memaksaku untuk masuk ke dalam dunia entah berantah itu.
Hei, mengapa kalian menatapku dengan topeng busuk itu? Topeng
yang telah lam membatasi wajah asli kalian. Dan bisakah kalian
berhenti memasang senyum di depanku? Tolong jangan munafik di
depanku. Aku tahu kalian yang sebenarnya. Para peneror yang tak
pernah menghargai orang lain. Menyiksa dan melihat orang lain
dengan sebelah mata? Hei, siapa yang pencundang sobat? Aku atau
kalian yang penuh kebusukkan?
Senyum sinis mulai merekah dan tertawa kecut pun mulai terpancar
dari wajahnya.

Lalu sambil mengacak-ngacak rambutnya dan meremas kepalanya, ia


pun berkata…
Jujur, aku capai (red: capek), aku capai Tuhan. Mengapa mama papa
tak pernah melihatku? Dan tak pernah berpaling dari anak-anak
kesayangannya?
Memperagakan seorang ibu yang sedang sibuk berbelanja.
Mama hanya pergi berbelanja, berbelanja, menggais uang dari
kantong papa.
Memperagakan pula seorang ayah yang sedang duduk membaca atau
menulis sesuatu.
Sedangkan papa hanya bekerja, bekerja, dan bekerja demi mencari
uang yang banyak.
Melangkah dengan sangat pelan, suara masih labil, kadang tinggi,
kadang pelan seperti membisiki sesuatu.
Kini, aku telah memasuki dunia baru, dunia para remaja, dan aku
bingung, apakah jiwaku harus terus melayang di tengah kelamnya
dunia? Aku masih labil. Aku butuh sentuhan hangat dari kalian, aku
hanya butuh kasih sayang dari mama dan papa, cuma itu.
Memegang uang dan mengibas-ngibaskannya di depan penonton.
Bukan uang, pa? Bukan uang, ma? Apalah arti uang apabila aku terus
dalam kesendirian serta mereka yang selalu menghiraukan
keberadaanku. Membuang uang sehingga uang-uang tersebut
berserakan di depan panggung.
Menunjuk sekali lagi pada para penonton. Lalu, menghela napas.
Yah…
Terus berdiri. Melanjutkan omongan sambil memegang dada yang
serasa sesak.
Hidup memang selalu merisaukan hatiku. Aku di biarkan, aku di
tinggalkan, aku di manfaatkan, aku terpojok, dan selalu aku sendiri.
Seperti anak hilang di antara kerumunan orang. Aku hanya ingin
mengungkapkan bahwa aku ingin mengucapkan terima kasih karena
kalian (menunjuk para penonton), mama papa, adik-adik telah
menjadi bagian dari warna sari kehidupanku. Terlebih Tuhan yang tak
pernah meninggalkanku di saat ku semakin terpuruk dan setidak
adilnya Tuhan buktinya hingga saat ini aku masih bisa bernapas.
(Menghela napas sekali dengan tajam dan membuangnya dengan
kasar). Namun, hidup memang pilihan.
Mengambil sebuah pil yang telah berada di dekatnya sadari tadi.
Menelannya tanpa setetes air.
Maka pilihan inilah yang telah ku ambil dan aku harus menanggung
segala sesuatu yang telah ku perbuat.
Dada semakin sesak, pikiran terasa jauh di angan-angan, badan
semakin terhuyung-huyung tak pasti arahnya, mata semakin sayu,
tangan dan kaki yang begitu lemas. Bersenandung na na na semakin
lama semakin pelan suaranya. Lalu, berteriak histeris, melolong-
lolong, menggerogoti tenggorokan para penonton.
Terima kasih, Tuhan.
Tubuhnya tersungkur di atas tanah dan tergeletak tak bernyawa di
atas lantai kamarnya.
Semilir angin berembus di sekeliling, udara malam memang sungguh
mencekam, tak pernah peduli hati yang sedang tertekan. Maka,
begitulah sepenggal kisah gadis remaja yang sedang mencari jati diri
sebenarnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya.
Segala sesuatu terasa sulit, namun saat kita merasa hidup kita
sangatlah berharga, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan
bernapas yang telah di berikan, tapi tetaplah berusaha tersenyum
menghadapi tantangan di depan walau hati terasa perih kesakitan.
CINTA KRISTAL

SETTING : SEBUAH RUANGAN YANG TIDAK BEGITU BESAR, TERDAPAT


SEBUAH MEJA KAYU BERBENTUK PERSEGI DI SUDUT KIRI RUANGAN BESERTA
SEBUAH KURSI YANG TERSIMPAN TEPAT DI BELAKANG MEJA. DI ATAS MEJA
ITU TERDAPAT SEBUAH PIRING PLASTIK BERISI MAKANAN DAN SEGELAS AIR
YANG TERLETAK TAK JAUH DARI PIRING ITU, SERTA BUKU-BUKU YANG
TEBALNYA BERAGAM TERTUMPUK DENGAN RAPI DI SUDUT KANAN MEJA
DAN SEBUAH PIGURA FOTO DI SUDUT KANAN MEJA TERSEBUT. DI BAGIAN
KANAN RUANGAN TERSEBUT TERDAPAT SEBUAH PINTU YANG
MENGHUBUNGKAN RUANGAN TERSEBUT DENGAN RUANG LAINNYA.
WAKTU ITU KIRA-KIRA PUKUL LIMA SORE, DI MANA MATAHARI SUDAH MULAI
MENGANTUK DAN SESAAT LAGI AKAN MEMEJAMKAN MATANYA. AGUNG
MASUK DARI PINTU TERSEBUT, KEMUDIAN BERJALAN PELAN SAMBIL
MENENGOK KANAN KIRI SEPERTI ORANG YANG HERAN. IA KEMUDIAN DUDUK
DI KURSI YANG TERLETAK DEKAT DI BELAKANG MEJA KEMUDIAN MENEGUK
AIR MINERAL DALAM GELAS YANG TERLETAK DI ATAS MEJA ITU SAMPAI
HABIS.
AGUNG TERMENUNG, SESEKALI IA MEMUKUL-MUKUL KEPALA LALU
MENGGELENG DAN KADANG IA MENGGARUK KEPALA DAN PUNDAKNYA.
Mengapa badai tak kunjung reda? mengapa hujan terus mendera? mengapa ??
( KEMUDIAN MENUNDUK KEMBALI )
MENGANGKAT GELAS YANG TELAH KOSONG ITU KEMUDIAN
MELETAKKANNYA KEMBALI
Ana..Ana..ambilkan segelas air..
TIDAK ADA JAWABAN
Ana..apakah ada batu besar menyumbat telingamu?
TETAP TIDAK ADA JAWABAN
Ana..
( BERTERIAK )
Aaaah..tenggorokanku seperti diserang kemarau panjang
Ana..
IA MEREBAHKAN TUBUHNYA DI KURSI DAN MENGHELA NAPAS PANJANG
Ana..ada apa denganmu hari ini? Mengapa kau tak segera melaksanakan perintahku
seperti biasanya? Bahkan menjawab pertanyaanku saja tidak.
MEMEJAMKAN MATANYA SEJENAK DAN MEMBUKA MATANYA KEMBALI, KINI
IA TERLIHAT SEPERTI ORANG YANG KETAKUTAN, IA MENCARI-CARI PIGURA
YANG TERLETAK DI ATAS MEJA, MERAIHNYA, KEMUDIAN DITATAPNYA PIGURA
YANG TERSELIP FOTO ANA DI DALAMNYA.
Ana..
( DENGAN SUARA LIRIH, KEMUDIAN MATANYA MULAI MEMERAH )
Ana, mengapa kau biarkan langit membunuh semua bintang dan menjatuhkan
rembulan ke dasar bumi, kemudian daun-daun yang hijau berubah menjadi arang.
Hujan tak pernah reda, dan awan hitam tak juga terlepas dari dadaku
( MEMELUK PIGURA ITU )
Ana, kau biarkan sebuah pohon hidup sendiri di tengah padang pasir..mengapa kau
pergi Ana?
Ana…
( MELEMPARKAN SEMUA BUKU YANG TERTUMPUK DI ATAS MEJA ITU DENGAN
AMARAH )
Aku marah padamu Ana…apa kau tau itu?
( MEMUKUL-MUKUL KEPALANYA )
Mengapa kau tak memberikan aku kesempatan untuk mengubah bunga yang layu
menjadi permata? Kau tak pernah mengizinkan aku mengganti sirip-siripmu yang
patah dengan sayap yang indah? Mengapa tak sempat kau izinkan aku menghentikan
segala siksaanku padamu Ana? Aku sungguh mencintaimu, tapi seumur hidupku kau
tak pernah mendapatkan cinta itu..cintaku yang seumur hidupmu mengkristal dan
perlahan mencair semenjak kau pergi..seumur hidupmu aku hanya bisa menyuruhmu
ini dan itu…tanpa mempedulikan kau lelah atau tidak, bahkan kau sampai menunda
waktu makanmu demi menyuapi aku..
( MATANYA KEMBALI MEMERAH )
TIBA-TIBA TERDENGAR ALUNAN SUARA DARI KOTAK MUSIK MILIK ANA
Suara ini ?
Ana ?
Ini tidak mungkin, dia sudah mati..burung-burung yang setiap hari menggonggong
itupun tau kau sudah mati..
( DIAM KEMUDIAN TERTAWA )
Hahaha..Ana..kau sudah pergi..
( MENANGIS SAMBIL SESEKALI TERTAWA )
Aah..ada apa dengan pikiranku ini? Ana..kau telah terbang bersama mega-mega,
menyeberangi dinding yang tak bisa ku tembus..dari dasar hatiku aku ingin sekali
menebus segala badai penyesalanku ini dan mengatakan padamu bahwa aku
mencintaimu Ana..
( BERDIRI KEMUDIAN MEMBUNGKUK DAN MEMUNGUT KEMBALI BUKU-BUKU
YANG TELAH DILEMPARKANNYA )
Kau sabar, kau tak pernah mengeluh walaupun setiap malam kau aku suruh untuk
membereskan buku-buku yang bertebaran di setiap sudut ruangan ini..bahkan buku-
buku ini juga pernah aku pakai untuk memukul kepalamu..tapi kau selalu berkata,
setiap pendakian akan sampai pada suatu puncak, setiap sungai yang kau susuri akan
berujung pada suatu muara..dan jika suatu saat kau lelah akan kau biarkan arusnya
menghanyutkanmu sampai ke muara itu dengan sendirinya..
( BERDIRI KEMBALI DAN MERAIH PIGURA YANG TERSIMPAN DI ATAS MEJA
DAN MENATAPNYA DALAM-DALAM )
Kau telah lelah Ana, Kau telah lelah mengarungi lautan siksaku sedang kau selalu
meneteskan setitik cinta agar lautan nila itu dapat kembali menjadi air susu..tapi kau
menyadari bahwa impianmu itu seperti mengukir di udara..
( MEMELUK PIGURA ITU ERAT-ERAT )
Kau lelah…kalau begitu tidurlah kau di bawah pohon Baringtonia asiatica ( Pohon
Perdamaian ) bersama burung-burung yang setiap saat bernyanyi untukmu..
NASIB JADI BABU (Monolog Script)

(masuk panggung berjalan santai dengan kacamata berdandan norak, sambil membawa beberapa
tas besar, seperti telah berjalan jauh... melambai2kan tangan ala puteri Indonesia)

Huahahahaaa....

(kemudian meletakkan tas, sambil berbicara ia Trus langsung mengeluarkan alat make up,
berdandan tambah menor)

Haduh nih make up luntur teyus, mang susah ya jadi orang klo terlanjur cuantik kyak
akyu,huahaa...

(pemusik: Gubrakk!! Dari Hongkong cantik neng, wkwkwkw)

(pelan2 kemudian nada bicaranya mendadak cengeng)

Yee sirik aja yeee, aku sudah berjalan jauh, aku tidak punya tempat tinggal, sanak saudara sudah
tidak ada lagi, dan meski wajahku terlihat tenang tapi sebenarnya aku kesepian , klo malam hanya
dingin jadi persinggahan, dibawah malam aku tidur bersama rembulan sesekali meneteskan butir2
embun yang tak tertahankan, entahlah apa ini takdir Tuhan, hiks...hiks....

(pemusik: ikut meramekan tangisan, kemudian mendadak buyar rame2 mentertawakan MAMPUS
wkwkwkw....!!!!)

(kemudian tersadar dan menghapuskan air mata)

Klo begini terus aku mau makan apa ya toh, mau makan batu atau makan tai.... aku harus kerja
donk, kerja apa aja aku bisa kok, jadi penyanyi owkeh

(pemusik: mengiringi lagu Issabela)

Mau jadi apa lagi, jadi akuntan, walau begini aku hampir lulus jadi sarjana Ekonomi, 10 tahun lho
aku kuliahh, dan akhirnya terselesaikan juga meski dgn sangat terpaksa, huahuaaahaa..... :p

Asal jangan jadi PNS saja bung, aku ga mampu.... lho la iyalah gimana mau bisa jadi PNS lho makan
aja aku susah dari mana aku dapat uang ratusan juta coba, bullshit!!! potongGggggg.... klo ada tes
CPNS yang ga pake ini atau pake ini,hehehe....

Bicara tt pekerjaan, aku teringat waktu jadi babu di negeri jiran, sial nasibku, aku terpaksa
aborsikan kandunganku dengan lelaki yang tak bertanggung jawab, kemudian lari, usai
meniduriku, lalu aku diusir oleh orang tuaku karena aku dianggap telah menjadi aib bagi keluarga,
aku tak tau harus kemana....

(lalu mengeluarkan sirih, sambil makan sirih...)


Akhirnya aku jadi TKI, jadi babu dinegeri orang, uangku habis dengan berbagai macam birokrasi
yang begitu berbelit-belit, entahlah mau jadi babu aja susah setengah mati kayak jadi mau
presiden saja, pake inilah pake itulah.... ukur beha lah, ukur anulah.... wuahhhhhhh!!

Birokrasi yang begitu panjang lebar yang entah bwt apa, dalam hati aku berbisik masih ada juga
penjahat perang yang tega menilap uang rakyat kecil yang hanya punya cita2 Cuma jadi babu
doang.... huhuuu

Dan finally, aku sampai juga dinegeri tak bertuan negeri jiran malaysia, aku ditempatkan dirumah
orang yang kaya raya... mereka adalah keluarga Ipin Upin, wuahhaa....

(Pemusik: ha... betul betull betull....)

ketika pertama kali datang, aku disambut dengan hangat, dalam khayalanku, Ahhh aku bisa
mengumpulkan banyak uang dengan hanya Cuma jadi babu, bayangkan sebulan gaji bersihnya 2
jeti, ampir sama dengan gaji PNS klo diIndonesia, wkwkwkw...

Mulai hari pertama aku bekerja dengan sebaik2nya, membersihkan kaca meja, kaca tivi, menyapu
halaman , trus mencuci piring, mencuci baju dan memasak nasi... jangan sampai mengecewakan
tuanku, ha betul betul betull...

Tapi beberapa hari menjelang seminggu tingkah laku tuanku berubah 180 derajat, ia mendadak
buas, disaat aku sedang membersihkan kaca meja seperti biasanya, tiba2 saja mereka
menendangku, auhhhhh aku terjatuhhh.....

Tapi aku diam saja, karena kupikir mungkin tanpa sengaja melakukan kesalahan, di pagi harinya
kelakuan mereka semakin menjadi, saat aku sedang memanaskan air tiba2 saja nyonya tuan
rumah menyiramku dengan air yang baru mendidih ituh, byuRRrrrr..... aku basah kuyuPp
wuaaahhh panaSss panasSS.... Kupikir kulitku bakal melepuh tapi untunglah hanya memerah
saja...

Hiks...hiksss.... belum puas nyonya menyiksaku, disaat aku sedang menggosok pakaian dengan
hikmatnya sambil mengoyang2kan pinggul bahenolku, mendadak nyonya datang dan memukulku,
dan langsung menggosok punggung hampir separoh mulusku.... akhhhhh, atiTttttt.....

Dan Malam itu dalam kamar aku menangis sepuas2nya, aku telah putus asa, aku ingin pulang,
hampir setahun aku kerja disini tapi lum mendapatkan gaji sepeserpun meleset dengan khayalku
waktu pertama kali datang, gaji tak dapat malah penyiksaan yang kudapat...
Malam itu juga aku berniat melarikan diri, tapi malangnya nasibku... tiba2 tuan datang kekamarku,
aku heran kenapa dia datang sambil mengendap2, pasti dia punya maksud jahat.... ternyata benar
pelan2 tangannya mulai menyentuh wajahku, aku berusaha menolaknya.... jangan tuan kataku
nanti ada nyonya!! Dia cepat membantah nyonya sudah tidur... tangannya semakin buas kali ini
jemari nakalnya mulai piknik ke bagian yang tak musti kusebutkan, hehehe.... aku semakin keras
memberontak jangan tuan, jangan.... nanti ada nyonya, aku mau tidur tuan.... tapi genggamnya
semakin kencang ke pinggangku, dia mencekik leherku kemudian aku terbaring, aku tak kuasa aku
tak berdaya.... pelan2 dia mulai menguraikan bajuku satu2, ouhhh sudahlah tuan .... dia semakin
buas, terlanjur malam itu aku jadi Bonekanya, dia puaskan nafsu setannya... hiks..hiksss... aku
telah ternoda, hiks... hiksss.....

Bukan sekali dua kali hampir sebulan 3x aku terus jadi pelayan nafsunya, tapi kali itu aku sudah
tidak tahan lagi , aku khilaf, aku nekat....

Malam itu hujan gerimis jadi pasti asyik sekali klo mau bikin anak,heee... seperti biasa tepat pukul
2dini hari, tuan datang mengendap2 kekamarku, dan tanggannya mulai menggerayangi tubuhku,
akhhhh.... aku hampir terlena, aku telah berusaha bilang padanya jangan tuan... jangan tuan...
dosa... dosa... jangan tuan, capek tuan... capek.... tapi dia terus memaksa, aku terlentang tapi
terus coba melawan, akhirnya ditengah keputusasaan, kutancapkan pisau yang telah kupersiapkan
dibawah bantal tepat ke dadanya, berulang2 ulang hingga darah bersimbah kemana2....

Huahahaaaa.....

Aku telah membunuh teriakku, seketika rumah itu jadi ramai ditengah hujan yang sepi.... aku
lantas dijebloskan di penjara Malingsia, berharap dapat terbebas dan diproses di pengadilan
indonesia tapi perkiraanku kembali meleset, aku dipenjara aku dicambuk dan disiksa dan tak ayal
aku diperkosa..... entah berapa lama, akhirnya dengan berbagai macam birokrasi tai kucing aku
baru dipulangkan ke tanah air, dengan muka tak tentu dan harga diri yang telah hilang.... pikirku
Indonesia tanah airku memang sengaja menyiksaku, di Indonesia pikirku aku pasti dihukum mati,
tapi kembali meleset aku malah dibebaskan.... hikss... hikssss.....
Dan sekarang dari pada aku tidak makan lebih baik aku jadi kupu2 malam2, dapat uang juga dapat
kepuasan, huahahaa....

(pemusik: bunyikan alarm tanda ada Satpol PP datang....!!!!

(berlari.....)
SESAL
SAAT ITU IA MELAMUN TERDIAM DI DEPAN RUMAH, BERSAMA
SINAR REMBULAN YANG MULAI MENERANG.
Wahai bulan, kerlipkan cahayamu demi aku yang sedang merindukan
kemenangan. Aku takut akan jiwaku yang terus menggelap seiring berjalannya
detikan jarum jam.
IA MENDENGAR BAPAKNYA MEMANGGIL, DAN IA TERSENTAK.
Hah... hah... Iya pak sebentar, ini lagi asyik – asyiknya.
NAMUN SUARA BAPAK TERDENGAR SEMAKIN KENCANG.
Iya pak, nanti dulu. Bapak nggak suka ya melihat aku sukses nanti.
HENINGPUN MULAI DATANG.
Hahhhh... akhirnya diam juga. Dasar orang tua, bawel. Akukan mau curhat
dulu dengan sang rembulan yang tak setiap hari berkenan mendengarku, ia
sibuk, harus menerangi setiap malam semua orang. (KEMBALI BERBICARA
PADA REMBULAN). Bulan, kamu lihat aku, bisa menjadi sukses atau tidak?
Pasti bisa kan? Walau banyak orang yang mengatakan bahwa orang seperti ku
tak akan pernah sukses. Tapi aku tetap yakin, aku akan mengunduh
kesuksesanku kelak. Dan kamu adalah harapan ku satu – satunya bulan. Di
keheningan malang nasibku, tak satupun orang dapat aku percaya untuk
menerima curhatku. Tapi kamu beda, kamu adalah teman sejatiku. Biarkan saja
bintang iri, toh dia sudah punya banyak teman. Sedang engkau bulan, hanya
sendiri seperti aku disini. Sepi, sunyi, hening.
TERDENGAR SUARA PECAHAN PIRING.
Haduh, ada apa itu. Pasti lagi – lagi piring di banting oleh bapak. Setiap aku
curhat sama kamu bulan. Bapak terus membanting apapun yang tergeletak di
smpingnya. Tanya saja sama pisau yang sejak pagi sudah ada di sana. Heh,
kamu di banting bapakku ya? Apa, kau bilang aku gila? Bajingan. Dasar pisau
bodoh. Apa, kau akan membalas perbuatanku. Silakan saja. (KEMBALI
BICARA PADA REMBULAN). ya sudah bulan aku menemui bapakku dulu ya,
sebelum semua benda di lemari kaca habis di makan emosi. (BERTERIAK
PADA BAPAKNYA). Iya pak, aku kesana.
SEMBARI BERJALAN IA MENDENGAR BAPAKNYA YANG SEDANG
MENGGERUTU TENTANG DIRINYA.
Aku tak menyangka setelah bapak janji tak akan mengungkit kata – kata itu
lagi, kemarin. Ternyata kau desahkan lagi celaan itu. Aku bukan orang gila. Aku
bukan orang gila. (RINTIHANNYA SEMAKIN MENGERAS). Aku bukan
orang gila. Aku bukan orang gila.
BAPAKNYA MENCOBA JELASKAN KECEROBOHANNYA, DENGAN
SOROT MATA PENUH SESAL.
E... nak, kamu mendengarkan pembicaraan bapak? Bukan maksud bapak
untuk ungkap hal bodoh seperti itu. Kamu sungguh pintar nak dan buat bapak
bangga telah memiliki buah hati sepertimu. Tolong maafkan bapak nak. Bapak
hanya seorang hamba Allah yang tiada pernah sempurna dan dipenuhi oleh
beban kehilafan. Maafkan bapak nak, Bapak janji tak akan ulangi hal bodoh ini
lagi.
IA MENYANGKAL MAAF DARI BAPAKNYA DENGAN TAMPIKAN
DINGIN.
Sudah pak. Sudah terlambat, kau telah ingkari janjimu, engkau telah
merobek habis kesabaranku, hingga terbesit luka yang saat ini menyiksa
batinku. Lebih baik aku pergi saja.
DENGAN CUCURAN AIR MATANYA. IAPUN PERGI BERLALU.
Bulan. Ini tak adil bagiku. Orang tuaku sendiri, menghancurkan hatiku,
apalagi orang di luaran sana. Aku tak kuat menahan semua ini. Apa yang harus
aku lakukan bulan? Jawab bulan, jawab. Jawab bulan. (MENGAMBIL PISAU
DI DEKATNYA). Mungkin ini terbaik untukku. Telingaku telah lelah
mendengar celaan, cacian, hinaan, yang selama ini menusuk jantung
perasaanku. Kukira dendam yang menyatu dalam kilaumu, dapat membelah
nadiku. Aku sendiri yang akan membantumu untuk balas dendammu padaku.
(TERDENGAR SUARA BAPAK YANG LEMAH TAK BERDAYA,
MENGHALANGI TINDAKAN ANAKNYA YANG TELAH BERULAG KALI
MENGAGETKANNYA). Hey, untuk apa bapak kesini? Aku hanya orang gila
yang tiada pernah bermakna di hati Bapak. Biarkan aku meraih kesukseanku di
akhirat nanti. Pergi kamu. Pergi! (MENODONG PADA BENDA – BENDA DI
SEKITARNYA). Apa kalian lihat – lihat? Kamu juga? Kalian ingin
menghancurkan hatiku seperti biasa? Silakan, toh aku sudah akan pergi. Jadi,
kalian dapat menghinaku sepuasnya. Aku hanya orang gila. (AKHIRNYA
PISAU DITUSUKKAN KE PERUTNYA). Ekghhhh.... selamat tinggal semua,
sampai jumpa bulan, aku akan segera menyandingimu, disinggahsanamu.
BAPAKNYA MENGHAMPIRINYA DENGAN HISTERIS KHAS ORANG
YANG DI TINGGAL PERGI ANAKNYA.
Tidaaaaaaaaak.... Anakku, jangan tinggalkan Bapak. Ibumu telah
tinggalkanku dalam kekelaman, jangan. Bapak sungguh menyayangimu, walau
semua orang tahu, engkau punya kelainan jiwa. Ya Allah jangan ambil anakku.
Jangaaaaaaan....( AYAHNYA IKUT PINGSAN MELIHAT ANAKNYA YANG
TELAH PERGI KARENANYA).
...SELESAI...

KEPADA AYAH (Monolog)


DI SEBUAH SENJA YANG TEMARAM, DI SEBUAH TERAS RUMAH YANG SEPI. DI
SEBUAH KURSI, DUDUK SEORANG LELAKI YANG SEDANG GELISAH. SESEKALI IA
BERDIRI, SEPERTI TENGAH MENANTI SESEORANG.

SEMENTARA, LAMPU TERAS YANG KECOKELATAN ITU HANYA MAMPU MENYAPUT


SEBAGIAN WAJAHNYA. GURATAN DI WAJAHNYA SEAKAN MENYIRATKAN SEBUAH
PERJALANAN HIDUP YANG SANGAT PANJANG. KEMATANGAN HIDUP NAMUN JUGA
LUKA YANG MENDALAM.

DI KEHENINGAN ITU, DIA HANYA TERDIAM.

TIBA-TIBA DERING TELEPON MEMECAH SUASANA. IA BERDIRI DAN MASUK KE


DALAM RUMAH. DI BALIK KACA RUMAH, IA TERLIHAT BERBICARA SERIUS DI
TELEPON. NAMUN, KARENA CAHAYA RUMAH YANG REDUP, HANYA BAYANGAN
TUBUHNYA YANG BISA TERLIHAT.

Ayah bilang kamu pulang sekarang juga!


Ayah tak peduli!

Ah...itu cuma alasan kamu saja!


Kamu pikir gampang?! Hah?!
Ayah tidak mungkin menerima keputusanmu itu....titik!

Tidak ada tapi-tapian....ayah sudah terlalu lama berharap agar kamu bisa kembali hari ini
juga. Dan kamu tahu, sekarang sudah senja!
Seharian ayah menunggu dan menunggu agar kamu segera pulang. Ayah sudah tidak punya
kekuatan lagi untuk bisa.....Ah, apa...? Heh....Ayah belum selesai bicara!...
Kamu ini maunya apa sih?!
Heh!!! Halo...halo...halo...

HANYA ITU YANG BISA TERDENGAR. SETELAH MENUTUP TELEPON, IA KELUAR


DENGAN GONTAI LALU KEMBALI DUDUK DI TEMPAT SEMULA. DI KEHENINGAN ITU,
IA SEPERTI INGIN BERBICARA KEPADA SESEORANG; TAPI ENTAH KEPADA SIAPA.
TERKADANG MATANYA MENYAPU KE DEPAN SEPERTI MELIHAT ADA SESEORANG
YANG DATANG. TAPI KETIKA YANG DILIHAT TERNYATA KESEMUAN, IA TERTUNDUK
MENYERAH.
Salah apa aku ini. Inikah karma untukku. Aku benar-benar sudah tak berharga lagi.....Kenapa
ia mesti berpikir kalau dia akan menggantikan semuanya? Kenapa dia beranggapan kalau
semuanya bisa diganti dengan uang? Dia benar-benar tidak tahu. Aku tidak mau berhitung
soal itu. Oh Tuhan...apa salahku?

SESEKALI IA BERDIRI, NAMUN LAGI-LAGI IA KEMBALI MENGHEMPASKAN DIRNYA DI


KURSI MALAS. TUBUHNYA MENJADI TAK BERTENAGA MESKI HANYA UNTUK
MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA SEKALIPUN.
Apakah aku berdosa bila aku punya permintaan kepada anakku? Apakah aku salah? Aku
hanya minta satu hal. Ya, sedikit harapan yang belum sempat aku lakukan, ketika aku muda
dulu. Dan harapan itu ingin kusandarkan kepada dia,...anakku satu-satunya.
Bukankah, anakku adalah belahan jiwaku. Bukankah anakku adalah darah dagingku? Separuh
nyawa yang bersemayam bersama nyawa istriku,...ibunya...(SEDIKIT TERBATA)…yang
telah pergi...
CAHAYA BERUBAH. DIA TENGGELAM. KINI, DIRINYA MENJELMA MANJA DAN NAIF.
Ayah...kenapa sih ayah tak pernah memberi aku kesempatan...
Ayah tidak percaya?
Ayah tidak percaya kalau aku mampu melakukan semuanya, hah?!
Ayah, ingat! Aku lahir bukan karena kamu. Aku lahir karena memang aku harus lahir. Kamu
tidak punya urusan dengan apa pun ketika aku sudah ada di muka bumi ini...! Aku terlempar
di sini bukan kehendakmu. Tapi kehendak Sang Waktu.

Aku, adalah manusia utuh. Aku adalah manusia namun dibatasi status sebagai anak, bocah,
atau apa pun yang membuat aku harus tunduk kepadamu. Sebagaimana kamu, aku lahir
karena waktu. Aku lahir karena angin. Urus saja semua urusanmu untuk menjadi manusia.
Dan aku, ya, aku, juga akan mengurus diriku sendiri untuk menjadi seorang manusia. Bukan
seorang bocah!

Dan ingat ayah! Jangan mentang-mentang kamu yang mengalirkan spermamu ke rahim ibuku
lalu kamu seenaknya menghatur cara hidup dan kemauanku?! Kalau kamu memang ingin
menyayangi aku, sayangi saja dirimu sendiri!

CAHAYA KEMBALI BERUBAH. IA KEMBALI LUNGLAI MENANTI SANG ANAK.


Oh, Ayah...Tiba-tiba aku jadi ingat engkau....Oh, aku sama sekali tak pernah menyangka
kalau aku juga harus mengalami seperti ini...
Aku sungguh malu.

Ayah, apakah kau di sana mendengarku? Betapa sulitnya menjadi ayah. Oh, kenapa aku
masih merasa seperti seorang anak sementara kini, aku telah benar-benar memiliki seorang
anak. Kenapa aku masih...Ah!!

DIA TERBANGUN. NAMUN ENTAH UNTUK APA DIA TERBANGUN. LELAKI ITU BINGUNG
MENENTUKAN SIKAPNYA. IA BERJALAN SEPERTI INGIN MENGHAMPIRI SESEORANG.
Mungkin ini karma. Ya, karma. Dulu, aku tak pernah puas sebagai seorang anak kepada orang
tuaku, terlebih kepada ayahku. Apakah ini balasan untukku karena aku tak pernah mengenali
ayahku, sehingga kini anakku juga tak pernah mau mengerti aku? Apakah benar seperti itu
yang tengah terjadi?

IA KEMBALI MENOLEH KE KURSI MALAS. DI SANALAH AYAHNYA DUDUK. DIA


MENDAPATI SOSOK YANG SUDAH TAK ASING BAGI DIRINYA.
Ayah, masihkah kau ingat semua kenakalanku? Apakah kau akan mengampuni kenakalan
yang pernah aku lakukan, Yah?
Ayah, aku...kini telah menjadi seorang ayah. Tapi, tapi aku kalah menjadi ayah. Aku tak
mampu tersenyum sebagaimana kamu dulu selalu tersenyum ketika aku menentangmu. Aku
tak bisa menjadi dirimu saat ini. Dulu, aku tak pernah berhasil menjadi seorang anak
kepadamu, dan kini aku pun tak berhasil menjadi seorang ayah untuk anakku.
Ayah, aku...kalah.

LELAKI ITU TERSUNGKUR. IA MERANGKUL KURSI AYAH. IA MENANGIS. TAK LAMA, IA


BANGKIT. IA MENGUSAP AIR MATANYA.
Mungkin aku bukan seorang ayah. Secara genetik mungkin dia anak keturunanku. Tetapi, dia
bukan anakku. Seperti aku kepada ayahku.

TIBA-TIBA
Tapi, untuk apa aku bersikap bodoh dengan membatasi diriku sebagai ayah atau bocah.
Bukankah tugasku sebagai seorang anak sudah selesai? Dan tugas menjadi ayah, juga sudah
tamat. Ah, omong kosong! Persetan anakku, akan melakukan apa pun. Toh, dia telah
mencoba menjadi dirinya. Seperti aku yang sekarang ini. Dan aku pun harus menjadi diriku
sendiri. Ha ha ha ha ha....Ya...ya...ya...sekarang aku mengerti.

IA MELOMPAT.
Hai anakku, dengar!....Terserah kamu mau melakukan apa...terserah!...Aku bukan siapa-siapa
mu lagi. Apa pun boleh kamu lakukan. Dan aku, ya aku, aku juga akan melakukan apa pun
tanpa harus...

DERING TELEPON KEMBALI TEDENGAR DARI DALAM RUMAH. IA TERBENGONG


SEJENAK LALU TURUN DAN MASUK KE DALAM RUMAH. IA MENGANGKAT TELEPON.
Ya halo. Hai anakku....apa kabar?
Kamu jadi ke makam ibumu?
Oh, syukurlah.
Kapan rencana kamu menyelesaikan skripsimu?
...Hah, sudah selesai? Kamu tidak bohong, kan?
Iya...iya, ayah percaya.
Kok Ayah tidak dikasih tau?
Ha ha ha ha...Kamu mau surprise?

Terus?
Hah? Kamu mau datang kemari? Serius? Kapan?
Nak, mungkin tadi ayah salah. Ayah tidak serius kalau...tunggu, tunggu dulu ayah belum
selesai bicara. Ayah bisa mengerti. Apa yang kamu inginkan. Tapi tolong untuk yang satu ini
kamu jangan membantah. Paling tidak, cobalah kamu tunjukkan i'tikad baikmu. Aku tidak
minta apa-apa darimu. Aku tidak menuntutmu untuk memberi ayah sesuatu. Sama sekali
tidak. Aku hanya minta cobalah kamu rubah cara hidupmu.

Hah, apa?
Iya, apalagi kalau bukan tentang hidupmu.
Kamu tidak pernah menentukan arah hidupmu dengan jelas. Ini hidup, Nak! Kamu jangan
sembarangan dengan cara hidup yang kamu pilih. Iya, aku bisa hargai pilihan hidup yang
kamu pilih, tapi aku tidak yakin dengan apa yang akan terjadi kelak!

Oh, tidak.
Ayah bukan pesimis.

Ini sederhana. Kalau kamu tidak merubah hidupmu, kamu pasti akan,...sebentar. kamu jangan
mengalihkan pembicaraan!
Ini ayah lagi ngomong serius!
Ok! Terserah.
Ok, silakan! Memangnya kamu mau ngomong apa?

Apa?
Kamu sudah punya pacar?
Siapa?
Apa? Anjing?!
Anjing, kamu bilang?
Kamu bercanda?
Heh...ini ayahmu?
Kamu jangan bercanda. Masa pacarmu anjing?!
Ya jelas ayah tidak percaya dong!
Maksud kamu apa sih?!
Ah! Sudah, sudah. Hentikan omong kosong tentang anjingmu itu...
Heh, kok diam?
Halo, halo. Jangan ditutup.

DENGAN WAJAH BINGUNG IA KEMBALI DUDUK DI KURISNYA.


Anjing?

MESKI TERSENYUM, NAMUN BUKAN SENYUM BAHAGIA. IA SEMAKIN KALUT


DENGAN KEDAAN ITU. IA MENARIK NAFAS DALAM-DALAM. IA TERPEKUR.
TANGANNYA MENOPANG DAGUNYA YANG TERASA BERAT.
Mungkin, aku harus menyerah.
Aku mungkin bisa mengembalikan harapanku dengan caraku sendiri. Aku harus merasa
cukup dengan apa yang selama ini aku peroleh.
Aku tak mampu melihat lagi. Tapi meski begitu, aku akan tetap menanti.

Ya, satu hal yang bisa aku lakukan hanya menanti.


Bukankah aku juga tinggal menunggu saat-saat itu tiba?
Oh, seandainya anakku tahu kalau tak lama lagi aku mati.
Mungkin dia tidak seegois seperti itu. Atau aku harus mengatakan padanya kalau tak lama
lagi aku harus pergi meninggalkannya. Ah, tidak! Dia tidak boleh tahu. Aku benar-benar
sayang padanya.....
Dan dia harus tetap bebas menentukan sikapnya.

DIAM. MENANGIS
Oh, anakku, seandainya kamu tahu apa yang aku inginkan.
Aku hanya ingin di saat-saat seperti ini...kamu ada di sini, menemaniku. Seperti dulu, ketika
kamu masih kecil; akulah yang menemanimu.
Apakah kamu tidak tahu. Di sini, ayahmu ini...benar-benar merasa..sepi.
Aku hanya ingin kamu tahu itu...

DIA MENYERAH. DIA BERDIRI NAMUN SEPERTI ENGGAN. SEPERTI MASIH BERHARAP,
SESEKALI IA MELIHAT KE HALAMAN DEPAN. TAPI SELALU SEPI YANG IA SAKSIKAN.
IA PUN LALU MELANGKAH MASUK.
Semoga besok ia benar-benar datang.

SEBUAH MUSIK KLASIK MENGALAUN. SEPERTI GITAR ATAU PIANO YANG MANJA.
TAK LAMA IA PUN KEMBALI KELUAR. KALI INI IA MENGENAKAN PIYAMA DAN
SELIMUT. WAJAHNYA BENAR-BENAR MEMELAS.
Ah, sepi!....
Mungkin pagi-pagi.
Semoga besok ia benar-benar kembali.

IA KEMBALI MASUK KE DALAM RUMAH.


HENING, SEPI. KEMUDIAN LAMPU PUN PADAM.
PARA-PARA PELAYAT

TEMARAM MERAH YANG MENCEKAM DI ATAS PANGGUNG. BATU NISAN


BERSERAKAN DI MANA-MANA, SAMPAI KE ATAS MEJA. SEORANG TUA
SEDANG SIBUK MENATA RUANGAN AGAR KELIHATAN SEDIKIT RAPI.
KEMUDIAN MENGAMBIL SAPU LIDI, MENYAPU LAYAKNYA TUGAS
PEMAKAMAN.

BACKROUND SILUET YANG MEMPERTONTONKAN ORANG-ORANG


MENGERANG (TERLEPAS DARI LAKI-LAKI ATAU PEREMPUAN) SALING
CEKIK, SALING PUKUL, SALING TENDANG, SAMPAI SALING BUNUH.

ORANG TUA ITU TIDAK BERGEMING

DIA MEMBETULKAN LETAK PHOTO-PHOTO ( PHOTO ORANG-ORANG YANG


TAK DIKENALNYA). DIA MELIRIK KE KANAN PANGGUNG, MELIHAT
KERANDA YANG KOSONG, LALU TERSENYUM DAN AKHIRNYA TERTAWA
KERAS.

DIA MENGAMBIL KORAN, DUDUK DI MEJA SAMBIL MEMBACA.

Berita hari ini : headline-nya “KORBAN MUTILASI ITU BERNAMA BUNGA”

Hmmm, Bunga kenanga harum sepanjang malam, atau Bunga bangsa. Teramat ngeri!

Apa yang harus kuperbuat?

Wah,sepertinya aku harus bergegas ke warung Mpok Sumirah, menanyakan apa artinya nama
Bunga itu? Mungkin akan ada banyak jawaban dari pelanggan kopinya, dengan mengalihkan
sedikit cerita (DIA TERTAWA) agar deretan hutangku agak dilupakan oleh Mpok Sumirah,
walau mendamaikan ceracaunya sekedar hari ini, jadilah.

Astaga, aku lupa. Hari ini aku harus membayar juga hutang kepada Pak Pandu, tapi aku
mampir dulu ke warung kopi, setelah itu baru aku ke rumah Pak Pandu, minimal memberi
tahu kalau aku belum punya uang hari ini, sekaligus memohon memperpanjang tempo
hutang. Seperti biasa Pak Pandu.

SESAMPAI DI WARUNG KOPI, NAFASNYA MASIH TERENGAH-ENGAH,


LANGSUNG MENARIK PERHATIAN PENGUNJUNG LAINNYA.

Lha… kok bukan pelanggan yang lama Mpok Sumirah? Aku tak mengenal wajah-wajah dari
mereka, tak satu pun. Apa hal rupanya?

Sekilas aku melihat wajah Mpok Sumirah dengan bibirnya yang sungging. Lalu berkata:

Begitulah adanya Mukar, mereka datang dan pergi! Yang datang saya sambut,toh untung
buat saya, yang pergi saya persilakan. Begitu juga hidup, aku kira Kar.
Oooh,tapi hari ini ada sedikit kerikil kecil dalam pikiranku Mpok, tentang berita dalam Koran
hari ini. Korban mutilasi, dengan nama Bunga. Tapi tak ada keterangan Bunga jenis apa, itu
terus membuatku bertanya hari ini setelah membaca Koran tersebut.

Koran apa?

Ah, itu yang tidak aku perhatikan. Apa itu penting? Aku rasa tidak, karena semua berita itu
sama, intinya : MEMBERITAKAN.

Tidak ada yang menarik, aku lebih baik sibuk dengan jualan kopi, dapat duit, melayani
orang, yaa sekedar itu. Daripada sibuk dengan yang tidak terlalu penting, seperti yang kau
sebutkan tadi. Apakah kau telah berkunjung ke pemakaman Pak Pandu (MUKAR KAGET,
WAJAHNYA MEMUCAT) yang tinggal di ujung simpang jalan ini, aku rasa semua orang
tahu siapa dia, kau pun juga pasti tahu. Mana tahu kau dapat makan gratis di sana (DIA
PUN TERTAWA).

Mau Bunga, bangkai, pohon cemara, meja, kursi atau apalah namanya si korban, aku tak
pernah peduli Mukar.

Tunggu dulu, Pak Pandu meninggal? (DIA BERTERIAK, SEOLAH TAK PERCAYA)

Ya!

Pasti, sudah kubayangkan, Mpok tidak pernah peduli. Bagaimana pun keadaan di sekitar,
kecuali pikopikopi. Tapi Mpok, aku tadinya ingin menanyakan kepada pelanggan kopi Mpok
yang aku kenal, tapi ya sudahlah, sekarang aku tak menemukan jawaban kiranya. Baiknya
aku pergi bergegas ke rumah almarhum Pak Pandu.

Mana tahu di sana aku menemukan misteri Bunga korban mutilasi.

MUKAR BERGEGAS KE LUAR PANGGUNG.

PANGGUNG AGAK GELAP, DIISI MUSIK YANG SANGAT MENCEKAM, SILUET


KEMBALI KELIHATAN SEPERTI SEBERMULA AGAK BEBERAPA MENIT.

MUKAR MASUK PANGGUNG DENGAN WAJAH AGAK LAYU.

Sungguh heran, sungguh heran, aneh, tak adil.

Tak ada yang tahu siapa Bunga di sana.

Pak Pandu, ya, Pak P-A-N-D-U. Punya rumah seperti istana, istri cantik, uang yang tak
terbilang, kabarnya juga ketiga anaknya belajar di luar negeri (SAMBIL BERBISIK :
Mungkin dia tidak terlalu percaya pendidikan dalam negeri ini, sama tahulah), coba
bayangkan, punya teman bisnis dan relasi yang banyak, sama seperti dia juga. Lengkap sekali
hidupnya, aku pun iri, mungkin seratus tahun lagi aku bisa seperti itu.

DIA MENGAMBIL SAPU, DAN MELAKUKAN KEWAJIBANNYA SEBAGAI


PENJAGA KUBURAN.
Nantinya Pak Pandu dimakamkan di sini (MENUNJUKKAN TANAH YANG KOSONG).
Aku akan membersihkan kuburannya setiap hari, tak kubiarkan sehelai daun mati mengotori
kuburannya nanti, apalagi tumbuh rumput liar. Aku akan mempercantik makamnya dengan
cat terbaik, mungkin dengan ini aku bisa membalas budinya.hutangku masih belum dibayar.

DIA DUDUK DI SALAH SATU KUBURAN, DENGAN PIKIRAN YANG JAUH

Dahulu, orang pertama yang aku kenal saat datang ke kompleks ini, Pak Pandulah orang
pertama yang aku kenal. Roman wajah yang berwibawa, baik, terlalu banyak aku berhutang
budi kepada beliau. Seperti yang aku katakan tadi, aku heran sekali, tak ada siapa pun yang
datang ke rumah beliau di hari kematiannya hari ini. Yang ada hanya dua orang pembantunya,
bertiga serta aku yang hadir. Di mana istrinya, karib kerabat, teman bisnis, tetangga, anak-
anaknya, klien-kliennya, atau mungkin istri simpanannya, oh aku tidak boleh bilang kalau
Pak Pandu punya istri simpanan (SAMBIL MENUTUP MULUTNYA, SAMBIL
BERJALAN MEMUTAR), tapi ke mana mereka?

Pembantunya tadi sambil terisak menghampiriku,

Pak Mukar, semua orang yang Pak Pandu kenal sudah saya beri tahu. Tapi semuanya hanya
bilang “ya,ya,ya…ooh” Tapi, sampai saat ini aku tak menemukan batang hidung mereka Pak
Mukar. Nyonya hanya bilang “tolong urus semua urusan pemakamannya Tukimin, aku akan
kembali satu minggu lagi, ada meeting di Hawaii yang mesti diselesaikan, tolong yah?”

Dia juga mentransfer 50.000.000 ke rekening saya, agar saya bisa urus biaya pemakaman
ini. Beda sekali dengan hari pernikahan anak pertamanya Pak Mukar, si Puteri Bulan.
Semua ada, makanan, parkiran disediakan, sampai pengemis yang lewat pin diundang. Aku
piker, kebahagian memang selalu dibagi, tapi kesedihan adalah milik sendiri.

Tidak, tidak…

Saya tidak boleh berpikiran seperti itu! Maafkan saya Tuan Mukar (DIA MEMOHON).

Terus terang, aku kaget mendengar cerita si Tukimin. Banyak hal yang dilakukan Pak Pandu
membantu orang lain, kenapa mereka semua membalas seperti ini,untuk sekedar hadir
melihat wajahnya terakhir tak mau, dingin, sampai istrinya bisa berbicara seperti itu. Apa
salah Pak Pandu sebenarnya? Bagiku tak ada. Aku tak mengerti dengan semua ini. Yaa Allah,
apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin juga aku yang salah menilai.

Lebih baik seperti Bunga saja Pak Pandu, mereka tak tahu siapa dia, aku pun begitu. Tapi
semua orang ribut, semua orang peduli, photonya ada di mana-mana, semua orang menangis,
haru, sedih, atau apalah namanya untuk mengekspresikan simpati dan empati. Banyak yang
datang ke pemakamannya. Yang kutahu, dia hanya seorang koruptor, korban penganiayaan,
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA mereka bilang, dibunuh oleh
beberapa orang gembel kelaparan, dan mayatnya ditemukan dalam mobil mewah. Tapi setiap
orang sebermula dari lahir, punya hak asasi. Kau pun juga begitu Pak Pandu. Aku bingung,
kau seharusnya sejajar juga dengan Bunga, layak juga kau mendapat empati. Apakah zaman
sudah gila, edan? Mungkin juga ya. Keadilan hanya bisa dikoar-koarkan, simpati hanya
bunga bicara. Semuanya demi kepentingan, sampai kematian seseorang pun diperjualbelikan
di balik wajah mereka yang bertopeng itu. Munafik. Aku rasa, dibunuhnya Bunga itu wajar.
Jikalau hukum hanya bisa bungkam, sudah jelas-jelas dia bersalah, didukung bukti yang
valid, selalu diundur penangkapannya, selalu ada saja penyakit yang kambuh ketika akan mau
disidang.

Semasa hidupnya, ia juga membunuh petani, gembel-gembel, rakyat kecil, bayi-bayi yang
butuh asupan gizi, wajar dia mengakhiri hidupnya seperti itu. Tapi mengapa semua orang
peduli atas kematiannya, hah? Begitulah keadaan sekarang, semua kabur, hitam-putih sudah
tak jelas, abu-abu. Bangsaaaaaaat.Keparaaaat!

Beda Bunga, beda lagi Pak Pandu… Trus, bagaimana nasib aku besok? Nasib kita masing-
masing tak ada yang tahu.

Seberapa banyak orang datang di hari pemakamanku nanti, aku tak banyak berbuat, tak ada
budi yang berbekas, aku bukan orang terkenal, tak ada yang tahu siapa aku, hanya berkawan
orang-orang mati di sini (MENUNJUK KE SEMUA MAKAM).

DIA MENANGIS

Jujur, jauh dalam hati, aku ingin juga dilihat rami-rami oleh karib kerabat, handai tolan,
teman, atau siapa pun itu yang aku kenal di hari pemakamanku besok. Ada yang menangis,
ada yang simpati, ada yang mengenang semua memori bersamaku. Saat pemakaman nanti.
Tapi aku sudah tahu bagaimana esok, selagi aku hidup, tak ada yang peduli. Mungkin saja
nanti, anjing lebih ditangisi kematiannya daripada aku.

Anda mungkin juga menyukai