Anda di halaman 1dari 2

DEPRESI

Narasi: Dunia adalah sebuah lembaran penuh makna, ada garis hitam yang selalu di coretkan dalam
sebuah kertas, dan adapula putih yang di kaitkan dalam menemani sang hitam. Terlalu banyak keluh
kesah yang harus di lewati. Marah, sedih, kecewa, tertawa bahkan cinta. Entah apa daya, saat
seorang perempuan yang baru menginjak jenjang remajanya harus menjalani masa-masa terindah
dalam hidupnya (red: masa putih abu-abu) dengan penuh tekanan.

(Masuk ke dalam kamar dan membanting buku paket. Menatap tajam kearah cermin (jika ada)

Lalu tertawa masam tak berarti dan lalu berjalan sambil memutarkan rambut dengan telunjuk sambil
bersenandung na na na, Tiba-tiba merengkuh tersender pada dinding kamar.)

“Tuhan, di manakah Engkau? Di mana, Tuhan?”

(Terus bertanya dengan keberadaan Tuhan dengan suara parau. Hati mulai bergejolak dan mata
semakin sayu. Suara pun naik turun.)

“Tuhan, tolong jawab! Di manakah Engkau sekarang?”

(Tetap merengkuh, tersungkur di atas lantai. Namun, mulai memeluk ke dua kakinya dengan erat
dan Semakin berlarut dalam kesedihan. )

“Di mana Tuhan? Di mana? Di mana?” (Suara mulai meninggi.)

“Tuhan, tolong jangan tinggalkan aku. Jangan biarkan aku sendiri. Jangan biarkan aku terjatuh,
terjatuh dalam jurang yang penuh keabadian. Aku tahu, jurang itu cukup tangguh untuk menyeretku
masuk ke dalamnya. Aku takut, sangat takut Tuhan. Tolong jangan lepaskan tanganku, Tuhan. Aku
hanya membutuhkanmu. Bisakah Engkau berlama berada di dekatku? Sebentar saja, menuntunku
untuk keluar dari tempat busuk ini. “

(Bangkit berdiri lalu menunjuk penonton (anggap saja ada), Wajah mulai menampakkan aksi geram,
maka kesedihan mulai menciut, dan terganti dengan wajah penuh amarah.)

“Mengapa? Mengapa dunia terasa tak adil bagiku. Semuanya tak pernah memedulikanku. Aku hanya
sendiri dalam kegelapan. Aku terkurung, aku di cekam, dan aku di kekang. Aku takut”

“Hei, mengapa kalian menatapku dengan topeng busuk itu? Topeng yang telah lam membatasi
wajah asli kalian. Dan bisakah kalian berhenti memasang senyum di depanku? Tolong jangan
munafik di depanku. Aku tahu kalian yang sebenarnya. Para peneror yang tak pernah menghargai
orang lain. Menyiksa dan melihat orang lain dengan sebelah mata? Hei, siapa yang pencundang
sobat? Aku atau kalian yang penuh kebusukkan?”

(Senyum sinis mulai merekah dan tertawa kecut pun mulai terpancar dari wajahnya. Lalu sambil
mengacak-ngacak rambutnya dan meremas kepalanya, ia pun berkata…)

“Jujur, aku capai (red: capek), aku capai Tuhan. Mengapa mama papa tak pernah melihatku? Dan tak
pernah berpaling dari anak-anak kesayangannya?”

(Memperagakan seorang ibu yang sedang sibuk berbelanja.)

“Mama hanya pergi berbelanja, berbelanja, menggais uang dari kantong papa.”

(Memperagakan pula seorang ayah yang sedang duduk membaca atau menulis sesuatu.)

“Sedangkan papa hanya bekerja, bekerja, dan bekerja demi mencari uang yang banyak.”
“Kini, aku telah memasuki dunia baru, dunia para remaja, dan aku bingung, apakah jiwaku harus
terus melayang di tengah kelamnya dunia? Aku masih labil. Aku butuh sentuhan hangat dari kalian,
aku hanya butuh kasih sayang dari mama dan papa, Cuma itu.”

(Sambil duduk, Memegang uang dan mengibas-ngibaskannya di depan penonton.)

“Bukan uang, pa? Bukan uang, ma? Apalah arti uang apabila aku terus dalam kesendirian serta
mereka yang selalu menghiraukan keberadaanku”.( Membuang uang sehingga uang-uang tersebut
berserakan di depan panggung.)

menghela napas.) Yah…

(Terus berdiri. Melanjutkan omongan sambil memegang dada yang serasa sesak.)

“Hidup memang selalu merisaukan hatiku. Aku di biarkan, aku di tinggalkan, aku di manfaatkan, aku
terpojok, dan selalu aku sendiri. Seperti anak hilang di antara kerumunan orang. Aku hanya ingin
mengungkapkan bahwa aku ingin mengucapkan terima kasih karena kalian (menunjuk para
penonton), mama papa, adik-adik telah menjadi bagian dari warna sari kehidupanku. Terlebih Tuhan
yang tak pernah meninggalkanku di saat ku semakin terpuruk dan setidak adilnya Tuhan buktinya
hingga saat ini aku masih bisa bernapas. (Menghela napas sekali dengan tajam dan membuangnya
dengan kasar). Namun, hidup memang pilihan.”

(Mengambil sebuah pil yang telah berada di dekatnya sadari tadi. Menelannya tanpa setetes air.)

“Maka pilihan inilah yang telah ku ambil dan aku harus menanggung segala sesuatu yang telah ku
perbuat.”

(Dada semakin sesak, pikiran terasa jauh di angan-angan, badan semakin terhuyung-huyung tak pasti
arahnya, mata semakin sayu, tangan dan kaki yang begitu lemas. Bersenandung na na na semakin
lama semakin pelan suaranya. Lalu, berteriak histeris, melolong-lolong, menggerogoti tenggorokan
para penonton.)

“Terima kasih, Tuhan.”

(Tubuhnya tersungkur di atas tanah dan tergeletak tak bernyawa di atas lantai kamarnya.)

Narasi: Semilir angin berembus di sekeliling, udara malam memang sungguh mencekam, tak pernah
peduli hati yang sedang tertekan. Maka, begitulah sepenggal kisah gadis remaja yang sedang
mencari jati diri sebenarnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya. Segala
sesuatu terasa sulit, namun saat kita merasa hidup kita sangatlah berharga, jangan pernah menyia-
nyiakan kesempatan bernapas yang telah di berikan, tapi tetaplah berusaha tersenyum menghadapi
tantangan di depan walau hati terasa perih kesakitan.

Anda mungkin juga menyukai