Anda di halaman 1dari 8

Naskah Teater

Haruskah Kucium Kaki Ibuku

Karya : Gunung Arifan

Deskripsi peran

Simbok : Gadis pendobrak ide, datang dari samping panggung. Bergerak


ringan dan lebih sering tersenyum, karena pada dasarnya dia sudah
mati dan tidak memiliki beban moral atas apa yang dikatakannya.
Meragukan sosok Tuhan, dan juga tidak sepakat dengan konsep-
konsep yang ada di masyarakat. Tokoh intelek dan berbicara dengan
intonasi jelas dan cenderung cepat. Pergerakannya paling aktif.
Kegiatan melamunnya adalah ketika dia membayangkan kembali
semasa hidupnya, dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah.

Nopek : Gadis peragu, datang dari bangku penonton. Tidak pernah


menunjukkan lebih dari separuh wajahnya hingga separuh
pertunjukkan, hal itu menunjukkan opininya yang selalu setengah
hati dan tidak mencoba terbuka. Intonasi seperti orang yang sedang
malas berbicara. Kepala lebih sering tertunduk setelah berbicara
menunjukkan ketidakpercayadirian.

Pincil : Gadis penyimpan dendam, datang dari samping panggung. Korban


kekerasan anak oleh ibunya. Kepala cenderung sedikit tertunduk
dengan mata menyorot tajam ke depan menunjukkan dendam yang
teramat sangat terhadap orang-orang yang tidak mengerti rasa
sakitnya. Sering menitikkan air mata tanpa menunjukkan kalau dia
sedang menangis. Intonasi bicara berat dan cenderung diseret.
Banyak menarik nafas dalam.

Bela : Gadis pembangkang, sudah berada di dalam panggung di sudut


belakang panggung dengan kursi dan merokok. Itu menunjukkan
posisinya yang terus disudutkan, dan kemanapun dia pergi
meneriakkan amarahnya, dia akan kembali ke sudut posisi dimana
dia disana duduk dan merokok, menunjukkan dia merasa tidak
terbebani untuk terus disudutkan. Mengabaikan nilai moral sedari
awal, pergerakannya mantap dan lantang. Intonasi tegas dan
meledak-ledak.
Simbok : Haruskah kucium kaki ibuku? Pertanyaan klise yang bahkan anak
kemarin sore telah didoktrin untuk menjawabnya. (Menghela
nafas panjang) Kau, kau, dan kau yang ada di belakang sana
(Menunjuk penonton yang tersenyum). Apakah kalian harus
mencium kaki ibu kalian yang bau? Yang mungkin saja tidak sengaja
pernah menginjak tahi, dan mungkin saja lagi, dia lupa untuk
mencuci kakinya. Dan sekarang, kau harus mencium kaki bertahi
itu?? Hahahahahahaha!!! (Tertawa lepas) Lucu, bukan? Ya. Kita
bisa mengkomedikan banyak hal. Kita bisa mengkomedikan Tuhan,
kita bisa mengkomedikan agama, hal-hal berbau SARA, dan kenapa
tidak dengan ibu kita tercinta. Ya, kenapa tidak? Bukankah kita
hidup untuk bahagia? Kalau untuk tertawa saja kalian masih ragu,
bagaimana kalian bisa bahagia? (Tersenyum sinis) Cih, orang-
orang tolol... (Berpindah dari sentral panggung, menuju ke
suatu bangku kosong dan melamun) (Pincil masuk ke
panggung dan duduk di kursi kosong)

Bela : (Menghembuskan asap rokok) Haruskah kucium kaki ibuku?


(Tersenyum kecut, dan kembali menghembuskan asap
rokok) Haruskah kucium kaki ibuku???!!!! Ahahahahahahaha!!!
(Tertawa cekikikan, sambil berjalan menuju sentral
panggung) Memangnya aku pernah memintanya untuk
melahirkanku? Lalu, kenapa juga aku harus berbakti padanya? Ibuku
itu orang bodoh! Tidak bisa mencari uang! Sudah tahu miskin,
masih saja mau melahirkanku! (Membuang rokoknya, lalu
menginjak-injaknya) Haruskah kutanyakan padanya, apakah dia
pernah berpikir bagaimana nasib anaknya kelak yang akan hidup
dalam kemiskinan, yang setiap hari harus makan dalam kelaparan?
Pernahkah dia berpikir, betapa iri dan dengkinya anaknya melihat
anak-anak itu berjalan sambil membawa bukti serba-serbi
kecukupan mereka? Sabar, Nak. Sabar. Akan Ibu belikan nanti kalau
Ibu sudah punya uang Kapan, Bu? Kapan??!! Untuk makan saja,
harus kumakan nasi yang semakin membuatku lapar. Dan haruskah
kupercaya mulutmu? Janji-janji palsumu yang tidak pernah berhenti
terucap? Aku tidak sepertimu, Bu!! Aku tidak sudi menjadi orang
miskin! (Tertawa keras, kemudian segera terdiam seolah ada
orang yang memotong) Pernahkah, katamu? Pernahkah kucoba
menyingkirkan pikiran kotor ini? (Tersenyum miris, sambil
berlutut) Setiap hari....!!! Setiap hari kucoba mengusir pikiran
kotor ini! Tapi kau tak pernah tahu, Bu! Betapa sulit kusingkirkan,
betapa sering aku menangis, betapa aku mengutuk diriku sendiri.
Kau tak tahu, Bu. Kau tak pernah tahu! (Memalingkan wajah
sembari mata berarir) Dan sekarang, haruskah kucium kaki
ibuku? Haruskah??!! (Kembali duduk di sudut pojok panggung)
Pincil : Haruskah kucium kaki ibuku? (Berdiri dari kursi, dengan bibir
bergetar hebat) Sumber kesengsaraanku, mimpi burukku, pelangi
hitam di bawah mataku. Begitu sucikah sosok ibu di mata kalian?
Pernahkah kalian berpikir, bahwa beberapa manusia tidak pernah
pantas tercipta dengan rahim di dalam perutnya? Setiap hari,
disisirnya rambutku oleh ibuku. Disisir, terus disisir, disisir dengan
rapi oleh tangan manisnya, hingga aku tak mau berbagi
keindahannya dengan orang lain, sehingga harus kututupi dengan
rapi betapa indah rambutku sekarang ini. (Mendekat ke salah
satu penonton) Lihat, lihatlah! Wajahku cantik! Mereka bilang aku
pintar bersolek. Hei, pesolek! begitulah mereka memanggilku. Dan
haruskah kuceritakan kepada kalian bagaimana aku bisa menjadi
seorang pesolek yang handal? Dari bagaimana aku menyamarkan
lebam di sekujur tubuhku? (Menyeka air mata, lalu melihat
seluruh penonton. Matanya menyorot ke Nopek yang sedang
duduk) Katakan, katakan padaku sekarang, haruskah kucium kaki
ibuku? Haruskah? (Mata terus menyorot ke tempat Nopek
sampai Nopek memulai monolog, lalu kembali ke kursi
tempat dia duduk)

Nopek : (Berdiri dari bangku penonton, berjalan ke arah kursi


dengan boneka, lalu duduk menyamping) Haruskah kucium
kaki ibuku? Entahlah. Aku sendiri tidak begitu dekat dengan ibuku.
Begitu pula dengan ayah kandungku, ayah tiriku yang pertama,
ayah tiriku yang kedua, yang ketiga, yang keempat, dan beberapa
pria lain yang tidak begitu aku kenal yang sempat kukira akan
menjadi ayah tiriku. (Tertawa kecil) Mungkin ibuku terlalu sibuk
mencarikan masa depan untukku. Aku sendiri mulai kebal dengan
semua ini. Yah, tidak ada orang yang mau bercerai. (Mengerutkan
dahi) Itu yang selalu kukatakan ketika orang-orang mulai bertanya.
Aku selalu berpikir apa yang ia lakukan adalah terbaik untuknya. Dia
bilang, aku masih kecil dan tidak mengerti apapun dalam hidupnya.
Dia juga selalu bilang kalau hidupnya itu sulit. Mungkin hidupnya
akan lebih mudah, dengan mempersulit hidup orang lain. (Kembali
tertawa kecil) Aku telah berhenti menyalahkannya atas semua
kondisi yang terjadi padaku ini, karena, yaaa...untuk apa? Apakah
dengan menyalahkan dirinya orang-orang akan berhenti
memandangiku dengan wajah iba? Dan ibuku pada akhirnya akan
berhenti membawa pulang pria-pria yang tidak satupun aku kenal
itu? Kalau ditanya, haruskah aku mencium kaki ibuku? Entahlah.
Apakah aku harus benar-benar menjawab pertanyaan itu?
(Menundukkan kepalanya, dan mengusap-usap bonekanya)

Simbok : Manusia suka menciptakan tokoh-tokoh suci dalam hidup mereka,


dimana mereka itu tidak benar-benar suci, tapi, mereka suka akan
hal itu. (Memulai monolognya sambil berjalan menuju sentral
panggung) Bidadari, Tuhan, Ibu-ibu kalian, dan bahkan sosok Nabi-
Nabi yang hanya tertulis di kitab kalian masing-masing itu.
(Tersenyum sinis) Aku suka melihat kebodohan orang-orang itu.
Aku suka melihat bagaimana mereka mengamuk ketika tokoh suci
mereka dihina. Ketika aku meludahi Ibu-ibu kalian, kalian marah,
bukan? (Menahan tawa) Kalian suka mengatakan bahwa kalian
akan melindungi hal yang kalian nilai berharga. (Berhenti
sejenak) Tidak. (Menggelengkan kepala sambil tersenyum
lebar) Kalian hanya suka melampiaskan kemarahan kalian. Aku
tahu, diantara kalian ada yang tidak benar-benar mencintai ibu
kalian, tapi kalian akan tetap marah ketika aku menghina ibu kalian.
(Tertawa miris) Ironis, bukan? (Memutar tubuh dan
memainkan tangan dengan manja)

Bela : Mereka bilang aku tak tahu balas budi. (Tertawa kecut)
Sekarang jelaskan padaku, apakah aku harus menanggung beban
untuk berbakti padanya tepat setelah aku lahir dari rahimnya? Apa
aku ini? Investasi masa depan? (Meludah) Dia tetap
mengandungku, walau ditinggal mati bapakku. Aku dihidupinya dari
belas kasihan orang lain! Kalian dengar!! Belas kasihan orang lain!!
Kalian tidak akan pernah mengerti, sampai kalian benar-benar
menjadi diriku. Tak sadarkah kalian bahwa ibu kita menggunakan
kita sebagai investasi? Agar kelak nasib mereka dapat berubah.
Agar kelak mereka dapat hidup dengan layak, lebih dari kehidupan
yang sekarang mereka jalani. Kita diam-diam dituntut untuk
menghidupi mereka kelak. Coba saja, setelah kalian beranjak
dewasa kelak, tinggalkan saja ibu kalian! Dan kau akan dengar
cacian dan hinaan yang dilontarkan dari mulut sucinya, atas hutang
budi yang kalian tanggung selama ini, dimana kalian tidak pernah
meminta untuk itu, dimana kalian tidak pernah memohon
kepadanya untuk lahir hanya untuk menjadi tabungan masa depan
ibumu yang suci itu!! (Memalingkan wajah, berkacak
pinggang, lalu melihat ke arah penonton dengan senyum
miris) Kasih ibu sepanjang jalan, katamu? Di matanya, kita ini
hanya celengan babi yang mereka pelihara untuk masa tua mereka
nanti.

Nopek : (Memotong monolog) Ibuku selalu bilang, untukku mencari


suami yang kaya, yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam
hidupku kelak, sehingga aku dapat bahagia, bahagia hingga nanti 7
keturunanku. (Tersenyum) Aku rasa dia salah. Dia mencari
kebahagiaan hingga pria ketujuh, dan tidak pernah membahagiakan
keturunannya yang pertama. (Berdiri, namun berputar
membelakangi penonton)

Lihatlah, betapa keras Ibu mencarikan kebahagiaan untuk kita!


Apakah kau malu akan ibumu yang bekerja keras untukmu ini? Kau
tidak perlu membawa pulang pria-pria yang berjanji untuk
membuatmu bahagia; kau tidak perlu melakukan apa yang Ibu
lakukan. Kau cukup memilih satu diantara mereka yang cukup kaya,
hingga kita berdua bisa hidup dalam kemewahan

(Berjalan menuju sentral panggung dengan dahi berkerut,


volume suara naik) Mana ada yang mau denganku? Mana ada
pria yang mau datang ke rumahku, untuk melamarku di depan
seorang pelacur??!! Jangankan pria kaya raya bergelimang harta,
pengemis pun merasa enggan! Ayah kandungku, ya, orang yang ia
sebut mungkin sebagai ayah kandungku, merasa jijik kepadaku!
Seolah aku ini dalang dari semua malapetaka dalam rumah tangga
mereka! Kau akan tumbuh menjadi wanita seperti ibumu! Wanita
murahan yang mencari receh di kantong celana pria-pria yang ia
tiduri! Aku bukan pelacur seperti Ibu! Aku malu, Bu! Aku malu...!!!!
(Berjalan tertatih ke kursi, kembali duduk menyamping)

(Volume turun) Mungkin ini salahku, karma dari semua dosa-


dosaku. Mungkin aku kurang berdoa. Atau mungkin, Tuhan sedang
sibuk memilihkan pria yang baik untuk ibuku. Entahlah.
(Menunduk)

Bela : Bayi-bayi malang. Bayi-bayi yang tertidur lelap dalam


ketidaktahuannya. Ibu-ibu sucimu menjual mereka demi lari dari
lubang kemiskinan yang lebih dalam. Menjual mereka untuk menjadi
pengemis! Dicekoki minuman keras, agar mereka diam sepanjang
hari, tanpa rengekan dan juga tangisan, dan akhirnya mati!! Mana
mereka peduli? Manapula mereka harus menjerit?? Toh itu bukan
anak mereka, mereka hanya bayi-bayi yang mereka sewa, dari Ibu-
ibu kalian yang busuk itu.

(Mengangkat botol dengan posisi kepala menyamping)


Aaaah, tidak heran kenapa aku begitu menyukai minuman keras
semenjak aku kecil. (Mempertahankan posisi mengangkat
botol) Ya, kalian tak akan tahu, rasanya dijual oleh ibu kalian.
Karena kalian itu hanya anak-anak ingusan! Anak-anak yang tidak
pernah mau mengerti betapa banyak orang yang menderita karena
Ibu-ibu mereka! Yang kau tahu kan, kalian akan terus mengatakan
kalau kalian mencintai Ibu-ibu kalian yang suci itu, bukan? (Tertawa
keras) Selamat, kalian semua terbukti mencintai ibu kalian! Itu kan,
yang kalian ingin dengar?

Simbok : (Menengadah, dengan wajah sedih) Nak, tegakkanlah


sholatmu! Itulah yang menunjukkan bahwa kau seorang Muslim
sejati! (Menunduk) Baik, Bu! (Kembali menengadah) Nak,
bacalah kitabmu! Itulah yang akan menjadi penuntunmu di akhirat
kelak! (Kembali tertunduk) Baik, Bu!! (Melihat ke arah
penonton) Nak, carilah imam yang baik, yang mampu
membawamu ke tanah surga, yang mampu memimpinmu di jalan
yang benar! (Memalingkan wajah ke samping) Baik, Bu...!!!
(Volume berat, intonasi pelan) Tiada pernah kubantah perintah
ibuku, kulakukan semuanya untuk ibuku. Kudengarkan semua yang
menjadi keluh kesahnya, kujadikan diriku sempurna untuknya, tanpa
ia bertanya gundah gulanaku. Tak pernah kutanggalkan kain ini di
depan mereka yang bukan mahramku. Kurang apa aku ini? Kurang
sempurna apa aku ini dimatamu, Ibu? Sehingga pada akhirnya kau
buang aku demi egomu!

(Volume turun, kembali dengan intonasi awal) Ibuku? Ibuku


seorang muslimah yang taat. Seorang ibu rumah tangga, yaaaah,
ibu rumah tangga seperti pada umumnya. Ibuku dikenal ramah oleh
lingkungan sekitarku. Sosok yang bijaksana, yang berhasil
memasangkan kain penutup aurat pada ketiga putrinya, berhasil
menjadi istri yang baik untuk ayahku. Sebelumnya, aku memiliki
hubungan yang sangat baik dengan ibuku. Aaaaaah, masa-masa itu
begitu indah. Dimana manusia dapat hidup dengan damai dibalik
topeng mereka masing-masing. Aku masih ingat masa-masa
terakhir dalam hidupku.

Pincil : (Memotong kalimat) Aku perlu menghajarmu, agar kau tahu


bahwa apa yang kau lakukan itu salah!! Itu yang dia katakan,
sembari memijat leherku dengan lembut. (Sembari berjalan
menuju sentral panggung) Si pesolek yang tidak tahu apa yang
telah ia perbuat, yang hanya bisa terdiam membisu, agar hari ini
dapat dilewatinya dengan sedikit lebih mudah. Mudah bagi kalian
untuk mendengar, tapi sulit untukku, untukku membuat kalian
semua mengerti. Hingga suara ini bisa menembus kulit kalian,
hingga kalian merasa kesakitan untuk setiap suku kata yang
kukatakan, dan akhirnya kita bisa duduk bersimpuh dan berbagi
sakit. Ah, tidak mungkin! Pasti wanita ini sedang meracau! Mana
mungkin ibunya memperlakukannya seperti itu? Buka mata kalian!!
Ibu tidak hanya kau saja yang punya! Apakah kau kira penjara tidak
penuh dengan Ibu-ibu yang kalian banggakan itu? Apakah kau kira,
sakit yang kuterima ini adalah hasil dari dosa-dosaku? Katakan
padaku, apa salahku??!!

Nopek : (Dalam tangis terisak, berteriak kepada boneka yang ia


pegang. Berdiri lalu berjalan secara acak menuju penonton
di dekat panggung, lalu menangis tersungkur sambil
memeluk bonekanya) Aku bukan pelacur, Bu! Aku tidak
sepertimu! Aku akan menemukan pria baik yang akan menjagaku!
Jangan bawa aku dalam hidupmu, Bu! Berhenti membawa pulang
pria tak kukenal itu!! Aku malu mengakuimu sebagai ibuku!! Ibuku
seorang pelacuuuur...!!!

Pincil : (Dalam tangis terisak, dan tubuh terguling-guling di


tanah. Tubuh membungkuk dengan tangan menutupi kepala
seolah ada orang yang mencoba memukulinya, kemudian
menangis sambil mempertahankan posisinya) Hentikan,
Buuuu.....!! Sakiiiiit!!! Tubuhku sakiiiiit!!! Aku tidak mau mati,
Bu....!!! Apa salahku??!!! Sampai kapan kau akan meyiksaku,
Bu???!! Bu, berhenti melukaiku, Bu!!

Simbok : (Bersamaan dengan suara tangis Nopek dan Pincil) Malam


itu, tepat 2 hari sebelum akhirnya jasadku mati. Mati membusuk di
selokan di pinggir kota yang tidak kuketahui. Ibuku, pada akhirnya,
mengetahui akan keraguanku. Ya, aku selalu meragukan Tuhan.
Sosok yang mereka selalu bilang Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
Maha Segalanya. Tidak pernah sekalipun kuutarakan keraguanku
pada ibuku. Kututup auratku! Kulaksanakan perintah agamaku!
Kulakukan semua yang ibuku mau!

(Sembari berjalan ke sentral panggung) (Suara mengiba)


Aku berjanji, Bu! Aku akan terus berusaha, berusaha membuang
keraguan ini! Beri aku waktu, Ibu! Bukankah selama ini aku telah
mengikuti semua perintahmu, tak satupun kubantah perkataanmu!
Aku juga tidak mau, Bu, terlahir dengan keraguan ini. Terlahir untuk
tidak berbakti padamu. Kalau aku bisa, aku ingin menjadi kakimu,
membawamu melangkah di tanah surga kelak! Ibu, ampuni aku!
Jangan buang aku!

Terlambat. Sudah sangat terlambat. Ibuku membuangku. Ibuku


membuangku, tanpa menoleh sedikitpun. Demi egonya, demi
orang-orang yang menilai setiap gerak-geriknya, demi nama
baiknya di depan ayahku. Aku dibuang! Aku menangis sebisanya,
berteriak sekeras mungkin. Berteriak, memohon ampun. Tidak,
ibuku tidak kembali untuk mencariku. Ibuku tidak mencariku sama
sekali, bahkan esok, bahkan setelah tubuhku membusuk mati.

Kau telah melakukan dosa yang terlampau besar! Kau telah


menyekutukan Tuhan! Aku tidak sudi menyimpanmu di rumahku!
Aku tidak sudi menyimpan kafir laknat sepertimu! Keraguanmu,
membuat aku tidak mempercayai sepatah katamu lagi! Diluar sana,
mungkin saja kau sudah tidur dengan pria-pria hidung belang,
meminum khamr yang memabukkan, dan mungkin kau juga sudah
mengutuk Tuhan untuk melampiaskan keraguanmu! Ah,
membayangkannya saja sudah membuatku mual! Pergi kau!
Percuma aku memiliki anak yang tidak bisa menjadi amal jariyah-ku
kelak! Membuatku malu di depan orang-orang yang
mengagungkanku, membuatku cacat di depan imam hidupku! Anak
yang akan membawaku ke dasar neraka! Pergi kau, kafir terkutuk!
Pergi!

Oh, ibu... Enak benar dirimu. Bersandar pada mimpi bahwa surga
ada di bawah telapak kaki kotormu, bebas menjadi penentu bagi
nasib kami anak-anakmu, bebas menentukan siapa yang durhaka,
bebas melangkahkan pergi surga kami, mudah sekali untukmu
menjadi orang suci!

Oh ibuuuuuuu, haruskah kucium kakimu, ibuuuuu???!!!!


(Bersujud)

Bela : (Berteriak keras) Aaaaaaah!!! Akulah orang terkaya di muka


bumi ini!! Semua uang adalah milikku!! Ahahahahaha!!! Semua
uang adalah milikku!!! (Berlari ke arah penonton, melakukan
atraksi dengan penonton)

Nopek : (Berteriak keras, sambil melempar bonekanya ke Pincil)


Dasar pelacur! Ahahahaha! Kau itu pelacur! Ibumu saja pelacur!
Berapa pria yang kau tiduri hari ini? Katakan padaku, hei kau
pelacur! Jangan kau diam saja! Ahahahaha! Kalian semua juga
pelacur! (Menunjuk ke penonton) Wanita murahan kalian!
(Keluar panggung)

Pincil : (Berteriak keras) Ibu, gilranmu ibu, giliranmu merasakan sakit


ini, Bu. (Mencekik boneka Nopek sambil bersimpuh di bagian
depan panggung) Mati kau, Bu! Matiiiiiiiii!!!!!!! (Suasana sunyi
sejenak, Pincil berhenti sejenak) Ibu? Ibu? Kenapa kau tidak
bergerak, Bu? Menjeritlah, Bu! Menjeritlah! (Kembali sunyi)
(Pincil berdiri sambil melihat kanan dan kiri dengan
bingung) Ahaha... AHAHAHAHAHA!!! Aku membunuh ibuku!! AKU
MEMBUNUH IBUKU!!!! AHAHAHAHAHAHAHA!!!

Anda mungkin juga menyukai