Anda di halaman 1dari 2

Belenggu

Tak tahu sampai kapan aku merenungi penderitaanku. Mungkin saja penderitaan
ini tak akan menepi. Air mata tak henti-henti menetes. Kepulan asap rokok memenuhi
ruang kamar kecilku. Aku tak peduli lagi dengan mataku yang semakin perih. Aku tak
peduli lagi soal oksigen. Aku menyandarkan ragaku ke dinding. Mataku menatap langit-
langit kamar yang aku tahu tak dapat melenyapkan kesedihanku. Sesekali tanganku
memukul dinding. Mencabik-cabik bantal lalu melemparnya ke jendela. Entah apa lagi
yang kurasakan kini. Semua yang indah telah hilang. Hati menangis dan mengharapkan
belahan jiwaku kembali dalam dekapan. Entah apa yang ia pikirkan kini. Adakah ia
memikirkanku? Apakah ia sedang memperjuangkan cinta kami? Tak tahulah. Mungkin
ia menunduk dan bersimpuh mohon ampun di kaki orang tuanya, memohon ampun
telah mencoreng nama baik orang tuanya karena merangkai kisah bersamaku.

Asap rokok masih mengepul seperti asap yang keluar dari cerobong pabrik. Aku tak
peduli tentang diriku lagi. Aku masih memikirkan gadisku. Sekarang aku merasa dingin.
Aku merasa asing. Aku merasa sepi, tanpa dia yang selalu mengumbar senyum
kepadaku. Aku masih bertanya-tanya, mengapa penderitaan datang saat kebahagiaan
mendekat?

Dalam kelengangan ini


Hati sangat sulit menerima yang terjadi

Desah nafas amat sesak


Mata tak berbinar lagi
Penuh derai yang menitik tak henti

Aku masih tak habis pikir, mengapa status sosial selalu saja dibawa-bawa dalam cinta.
Seperti halnya yang kualami. Cinta yang bersemi kembali layu hanya karena status
sosial. Dunia memang menjadi aneh karena pemikiran-pemikiran primitf orang-orang
yang berpendidikan. Tidakkah ada logika di benak mereka? Aku juga tidak tahu, hanya
mereka yang sendiri yang tahu jawabannya. Yang aku tahu, cinta yang ideal akan hilang
seandainya status sosial ikut di dalamnya. Kadang aku tersenyum kecut membayangkan
keputusan calon mertuaku itu. Memisahkan aku dengan anaknya, memisahkan cinta
kami yang hadir atas nama sama-sama cinta. Ah...dunia memang edan. Sungguh geli aku
menyaksikannya. Kadang juga aku menangis karenanya. Bagaimana tidak, bidadariku
telah lenyap dari pelukanku. Sungguh kejam prinsip hidup feodalisme ini. Aku sadar aku
memang tidak memiliki gemercing ringgit, apalagi batangan emas untuk meminangnya.
Aku hanya memiliki cinta yang kujadikan maharnya.

***
Aku paksakan diriku berdiri. Sungguh susah rasanya kakiku melangkah. Otot-ototku
lemas. Pandanganku mengabur. Aku merasa tidak hidup lagi. Aku menggelengkan
kepalaku berkali-kali. Aku paksakan mataku terbuka memandang dunia yang tak
berpihak kepadaku. Aku tidak melihat cahaya. Sejauh mataku memandang, aku hanya
melihat gelap yang siap menelanku yang tak berdaya ini. Aku kembali terlentang di atas
kasur. Pikiranku jauh memikirkan gadisku.
Sehelai arti hidup melepaskan sayapnya
Terlepas …
Melayang tertiup angin
Berputar menari …
(Cuplikan puisi “Daun Menangis” karya Rukmi Wisnu Wardani)

Seperti orang miskin yang tertindas, hidupku selalu dihantui beban. Aku tak beda
seperti anak kecil yang dibuang orang tuanya, sepi. Sekedar menghela nafas, aku pun
susah. Aku tak tahu apa jadinya aku tanpa gadisku. Mungkin saja aku menjadi debu.
Penderitaanku ini melenyapkan kebebasanku. Sesekali aku mencoba tersenyum, namun
aku tak bisa. Keceriaanku terampas sudah. Aku bertanya-tanya pada diriku, sanggupkah
aku melepas gadisku? Pertanyaan itu tak bisa kujawab. Hanya air mata yang
membuncah di pelupukku. “Feodalisme biadab!” umpatku penuh amarah.

Aku semakin lemas. Aku tak kuasa lagi mengendalikan diriku. Aku tak hiraukan bisikan
yang menyuruhku mundur. Namun aku juga tak tahu bagaimana aku melawan untuk
menyelsaikan problemaku. Hanya Tuhanlah yang sanggup melakukannya.
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
...
(Puisi “Kupanggil Namamu” karya WS Rendra)
#Kado untuk saudaraku

Anda mungkin juga menyukai