Anda di halaman 1dari 6

CERITA PENDEK

MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Dibuat Oleh :
Utiya Sari
XII MIPA 1

SMA NEGERI 1 DEWANTARA


TAHUN AJARAN 2020/2021
(BUKAN) MATA BIASA
Kata orang, datangnya cinta itu dari mata turun ke hati. Dan menurutku itu benar adanya.
Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Matanyalah yang membuatku jatuh cinta. Bola matanya
bulat dengan iris yang bewarna coklat terang membingkai sempurna pupil mungilnya. Bulu
matanya yang lentik dan tatapan matanya yang tajam namun sarat dengan kelembutan. Semua itu
membuatku jatuh cinta sekaligus iri. Iri karena mataku tak seindah dia.

“Aku suka matamu.” Kataku terus terang.

“Dan aku suka apa yang aku liat darimu dengan mataku.” Jawabnya penuh misteri. Maksudnya?
Aku tidak mengerti apa maksud dari ucapannya tadi. Dan dia tak mau repot-repot
memberitahuku.

Aku suka matanya. Teramat suka. Dan kau tahu, ternyata ia tak pernah menyukai matanya.
Kenapa? Karena matanya bukan mata biasa. Matanya luar biasa.

“Kamu tahu? Aku tak pernah menginginkan mata ini. Lebih baik aku buta daripada harus
mempunyai mata ini.” Ia berkata dengan nada kesal.

“Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Karena ini bukan mataku.”

“Lalu mata siapa ini kalau bukan matamu?” Aku bertanya keheranan.

“Clara, dulu aku ini buta. Tak secuilpun kehidupan ini dapat kulihat. Sampai akhirnya ada
seseorang yang mau mendonorkan matanya untukku. Sejak saat itu aku bisa melihat. Aku bisa
melihat apapun. Bahkan hal-hal yang tak seharusnya aku lihat. Apapun yang kulihat dengan
mata ini aku tak pernah suka. Kecuali satu…”

“Apa?” Tanya ku memotong.

“kamu, kamu satu-satunya hal yang aku suka melihatnya dengan mata ini.”

Aku terdiam. Tak tahu ap yang harus aku katakan. Aku tersipu malu tapi ada rasa bahagia yang
perlahan menyusup ke relung-relung jiwaku. Dan perlahan tapi pasti ada semburat merah jambu
yang muncul di pipiku.

Pada lain kesempatan, ia menceritakan apa yang ia lihat dariku.

“Memandangmu itu selalu menyenangkan.” Ucapannya mengawali pembicaraan.

“Kenapa?”
“Karena aku melihat ketulusan di matamu, kelembutan disetiap gerakmu dan kebahagiaan yang
selalu mengiringi langkah kakimu.” Ia berhenti sejenak. Aku menunggu apa yang ia ucapkan
selnajutnya. Lalu, ia bertanya, “Apakah kamu tahu bahwa kau selalu diikuti oleh sepasang kupu-
kupu?” Aku menggeleng, ia menunjuk sepasang kupu-kupu yang hinggap disamping tempat
duduk kami.

“Kedua kupu-kupu ini selalu mengikuti kemanapun kamu pergi. Dan satu hal yang kamu harus
tau, kupu-kupu itu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Lalu apa yang kau lihat dariku?” Tanyaku penasaran.

“Aku melihat bahwa kau ditakdirkan untuk menjadi jodohku.”

***

Siang ini, dunia berkabung. Langit mendung dan sang raja siang enggan menampakkan diri.
Mataku membengkak sebesa bola tenis. Aku terlalu lelah untuk menangis. Sudah cukup banyak
air mata ini tumpah menggiringi kepergianya. Dia telah pergi meninggalkan dunia fana ini.
Meninggalkan aku yang mempunyai segudang Tanya tentang dirinya. Kuantarkan dia sampai ke
peristirahatan terakhirny. Aku ingin memastikan dia tenang di tempatnya sekarang.

Aku mengutuk keadaan. Pada saat aku merasa bahagia karena ia ada di sisiku, selalu ada
untukku. Mengapa Tuhan setega ini mengambil dia dari sisiku? Aku tak sanggup menjalani lika-
liku kehidupan ini tanpanya. Tanpa mata ajaibnya. Ini tidak adil. Tuhan terlalu egois. Teganya
mengambil dia tanpa permisi. Mengambil ia secara tiba-tiba. Terlalu mendadak.

Masih kuingat jelas pesan terakhirnya, “Clara, belajar makna kehidupan itu lebih sulit daripda
belajar ilmu pengetahuan di sekolah formal. Teruslah belajar dan jangan pernah menyalahkan
keadaan, meskipun aku tak lagi berada di sisimu..Berjanjila, Clara! Berjanjilah kepadaku!” kala
itu aku hanya mengangguk menyanggupi. Tak kuduga akan serumit ini menerima keadaan tanpa
dia di sisi. Padahal aku sudah berjanji padanya. Ah, semoga saja ia memaafkanku atas semua ini.

Aku mengurung diri di kamar. Panggilan ayah dan ibu tiada pernah aku hiraukan. Makanan yang
ibu antarkan untukku tak secuilpun ku sentuh. Aku tak ingin makan, aku tak ingin berbicara
dengan ayah dan ibu, aku hanya ingin bertemu dengannya. Entah berapa hari aku mengurung diri
di kamar, sampai akhirnya ada sebuah kejadian yang mengejutkanku. Dari jendela kamarku, ku
lihat dua titik cahaya bewarna biru. Cahaya itu semakin dekat dan semakin dekat menuju ke
mataku. Aku ketakutan. Tapi cahaya itu terus mendekat dan akhirnya masuk ke kedua mataku.
Seiring dengan masuknya cahaya itu, aku tak sadarkan diri.
Di dalam ketidaksadaranku, sepertinya aku bermimpi. Bermimpi bertemu dia. Dia datang dengan
wajah berseri dan senyum manisnya. Sedangkan aku dalam keadaan menangis. Ia membelai
rambutku.

“Clara, bukankah kau sudah berjanji padaku? Mengapa engkau mengingkari janjimu. Tidakkah
kau ingat perkataanku?”

“Aku ingat, selalu ingat. Tapi tak mudah melepaskan kepergianmu begitu saja. Apalagi kamu
pergi terlalu mendadak.”

“Ingatkah kamu siapa penulis favoritmu?”

“Ya tentu saja aku ingat. Darwis Tere Liye”

“Bukankah ia pernah berkata, apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk
memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan. Lalu,
mengapa akal sehatmu menghilang? Membuat kamu berani melawan takdir tuhan. Itu salah,
Sayang. Teramat salah. Tidak seharusnya kamu melawan tuhan. Dia yang menciptakan aku,
kamu, dan apapun di dunia ini. Jadi, sudah haknya untuk mengambil kembali yang
diciptakannya. Tidakkah kamu mengerti, Clara?”

“Maafkan aku. Aku terlalu menyayangimu. Itulah yang membuatku sulit untuk mengikhlaskan
kamu pergi. Aku terlalu biasa ditemani kamu. Aku tak bisa hidup tanpamu.”

“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Aku mohon padamu, belajarlah menerima keadaan, sesulit
apapun keadaan itu. Jangan pernah salahkan Tuhan. Karena Tuhan selalu adil. Selalu.
Percayalah, Clara! Terkadang hanya kitalah yang tidak merasakan keadilan itu. Semua itu karena
kita tak pernah merasa cukup. Mengertilah, Sayang! Aku harap setelah ini kamu menjadi lebih
dewasa. Lebih ikhlas menerima apapun yang Tuhan takdirkan untukmu. Jangan lagi kamu
menangisi kepergianku. Aku tidak butuh dan tidak suka tangisanmu. Tersenyumlah!”

Aku tersenyum. Ya, aku merasa apa yang ia katakana sepenuhnya bena. Akulah yang egois.
Akulah yang tidak menerima keadaan. Beraninya aku menyalahkan Tuhan. Aku makhluk yang
tak tau bersyukur. Oh, Tuhan maafkan aku ini.

“Oh, ya. Satu lagi. Mulai saat ini matamu akan berfungsi seperti mataku.”

“Mengapa seperti itu?”

“Iya.”

“Gunakanlah matamu dengan bijak. Semoga engkau menjadi seseorang yang bisa mensyukuri
keadaanmu. Tenang saja, kau masih bisa bertemu denganku. Tapi tidak setiap saat aku akan
berbicara padamu. Aku hanya berbicara untuk mengingatkan kamu.”
“Baiklah. Terima kasih telah datang untuk mengingatkanku.”

“Sama-sama. Sekarang pulanglah! Orang tuamu menunggu.” Ia tersenyum. Dan aku pulang,
kembali ke duniaku. Dunia dimana orangtuaku berada.

Aku kembali dengan pola pikir yang baru. Aku siap menerima takdir Tuhan, serumit apapun
takdir-Nya. Aku telah menerima kepergiannya. Dia memang mati, tapi matanya hidup. Matanya
hidup di dalam mataku. Dan kata-katanya melekat di memori otakku. Menjadi semangatku. Aku
melihat dia lebih bahagia disana daripada disini. Selamat jalan, Sayang! Aku berjanji akan
membuatmu bahagia dan tunggu aku menyusulmu.
BIOGRAFI PENULIS

Utiya Sari adalah nama lengkapnya, dengan nama panggilan utiya atau tiya lahir pada tanggal 11
Oktober 2003 di Krueng Geukueh, Aceh Utara. Berstatus pelajar di SMA Negeri 1 Dewantara
yang menduduki kelas XII MIPA 1.

Utiya Sari adalah anak dari pasangan Bapak Hasan Basri dan Ibu Nurhayati. Utiya merupakan
satu-satunya anak perempuan dari 5 bersaudara.

Cerpen ini merupakan tulisan pertama yang ditujukan sebagai tugas sekolahnya pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia yang di bimbing oleh Ibu Asmaul Husna, S.Pd.

Anda mungkin juga menyukai