0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
50 tayangan4 halaman
Dokumen ini menceritakan pengalaman penulisnya dalam menemukan arti keluarga. Penulis merasa kesepian karena jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama keluarganya sejak kecil. Meskipun memiliki anggota keluarga yang lengkap, penulis merasa tidak dimengerti dan tidak memiliki keharmonisan keluarga. Namun, setelah berbicara dengan saudara perempuannya, penulis mulai memahami bahwa keluarga d
Dokumen ini menceritakan pengalaman penulisnya dalam menemukan arti keluarga. Penulis merasa kesepian karena jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama keluarganya sejak kecil. Meskipun memiliki anggota keluarga yang lengkap, penulis merasa tidak dimengerti dan tidak memiliki keharmonisan keluarga. Namun, setelah berbicara dengan saudara perempuannya, penulis mulai memahami bahwa keluarga d
Dokumen ini menceritakan pengalaman penulisnya dalam menemukan arti keluarga. Penulis merasa kesepian karena jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama keluarganya sejak kecil. Meskipun memiliki anggota keluarga yang lengkap, penulis merasa tidak dimengerti dan tidak memiliki keharmonisan keluarga. Namun, setelah berbicara dengan saudara perempuannya, penulis mulai memahami bahwa keluarga d
Sabtu, 21 September 2019. Hari yang berbeda dengan hari sebelumnya. Banyak pengalaman yang mungkin baru kali ini membuat hari-hariku berwarna. Dulu aku dan duniaku tidak ada maknanya. Selama aku di dunia, aku merasa tidak memiliki kebahagiaan sendiri dan tidak memiliki kebahagiaan bersama. Bukan hanya tentang teman melainkan tentang keluarga. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Setiap hari aku merasa kesepian hingga sampai saat ini aku tidak merasakan keramaian bersama kebahagiaan. Satu dan dua. Aku suka angka itu. Namun, entah mengapa dengan angka itu aku merasa tidak nyaman. Aku tidak pernah menekankan diriku, aku hanya sekadar butuh penekanan. Tidak pernah ada orang yang tahu tentang hidupku, tentang hari-hariku, bahkan tentang pikiranku. Mungkin memang banyak orang yang mengenalku, namun aku tidak sama sekali mengenal mereka. Aku mempunyai keluarga. Dua orangtuaku, satu orangtua dari orangtuaku, dua saudara kandungku, dan satu kakak iparku, serta satu ponakanku. Lengkap. Tapi tidak selengkap keluargamu. Aku senang memiliki keluarga seperti mereka. Aku juga senang jika mereka ada. KELUARGA. Sejak kecil aku jarang bersama dengannya. Dari ujung pulau jawa ke ujung pulau jawa pun aku belum menemui keberadaannya. Hanya sekadar berbicara melalui via telefon aku bisa mengenalnya. Dari awal aku sadar bahwa hidup ini tidak seindah apa yang aku bayangkan. Dan aku tahu bahwa hidup di dunia ini bukanlah sesuatu yang diharapkan. Aku tidak bilang bahwa aku membenci kehidupanku. Jika kamu bertanya, apa aku tidak bisa syukur atas kehidupanku? Maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jawaban yang sangat simple. Ya. Hidup ini menyedihkan. Dan itu tidak dapat ditafsirkan melalui sebesar apa rasa sedih yang dapat kalian bayangkan. Aku punya keluarga seperti kamu mempunyai keluarga. Bahkan lebih lengkap daripada keluargamu. Tapi, tak selengkap keluargamu juga. Banyak orang yang bilang “Aku bahagia bersama keluarga” sedangkan aku, “aku bahagia dengan kesepianku yang ramai”. Bukan tentang anggota tubuh yang tidak lengkap, segala bentuk kekurangan, atau dalam kamus tipis yang banyak kurangnya. Ini keharmonisan keluarga yang berujung pada penceraian atau perpisahan. Aku punya tapi tiada. Aku punya tapi lupa. Jarang bertemu, namun sering berbicara. Kata saudara specialku “Bertemulah Dek. Aku sebenarnya lebih suka bertemu dan berbicara daripada hanya berbicara tanpa harus bertemu. Teknologi hari ini menghambat kita. Bukan semakin dipermudah. Tetapi, dipersulit. Memang sebagian dengan teknologi aku terbantu. Tapi, dari sebagian itu juga aku merasa terganggu.” Ini hidupku Kak. Tak semudah apa yang kamu bayangkan. Tak semudah apa yang kamu pikirkan. Dan tak semudah apa yang kamu ucapkan. Boleh saja, aku terima pendapatmu bahkan aku suka dengan pendapatmu. Namun, di balik semua itu kamu masih belum mengetahui apa maksudku. Dan kamu pun tidak akan pernah mengerti aku dan kehidupanku. Aku tidak membenci kehidupanku yang sekarang. Tapi bukan berarti aku menyukainya. Aku tahu, seburuk apapun hubunganku dengan orangtuaku pasti ada rasa sayang yang akan orangtua berikan kepadaku. Kalau tidak, pun bagaimana bisa aku hidup hingga saat ini. Bisa menjalankan hari-hari layaknya anak normal yang menikmati lika-liku tanpa sedikit beban. Ini bukan tentang broken home or broken heart. Jadi bagaimana cara aku dan kamu selalu bahagia dalam kehidupan kita. Aku yang berbicara kehidupanku. Kamu yang berbicara kehidupanmu. Dan orang lain yang berbicara kehidupan aku dan kamu. Wangi bunga matahari yang baru mekar menyerbak di sekitar, menggelitik aroma hidung hingga membuatku terlena sebelum membuat pertanyaan dan pernyataan dalam aktivitasku di hari esok. Sosok perempuan yang sedang bertemu dengan lelakinya membawa alunan bibir yang merona dan menggoda tersenyum lebar dihadapannya seraya menatap lama, lama, cukup lama, lalu bersama-sama menjejerkan deretan gigi seolah-olah tertawa bahagia bersama. Riro. Namanya Kak Riro. Kak Riro saudara specialku. Kak Riro tidak pernah tahu apa yang sudah aku lakukan, apa yang sedang aku pikirkan, dan apa yang ingin aku rencanakan. Tapi, Kak Riro selalu tahu apa yang aku utarakan. Saat aku bersamanya, hari itu aku kembali menemukan rasa. Bukan soal rasa cinta selayaknya pada seorang kekasih. Ini seperti rasa senang, sedih, dan bahagiaku yang muncul tanpa sebab dan akibat. Indah. Sangat indah. Seperti rembulan di malam hari yang amat terang dan ditemani oleh berjuta-juta bintang. Kehadirannya dalam kehidupanku sangat menarik duniaku. Aku lupa akan hal yang pernah aku lakukan. Aku lupa dengan kata-kataku yang pada saat itu aku menganggap aku punya namun tiada. “Dek, kamu tau gak ketika aku pake foto profil macan putih kemarin-kemarin?” Tanya Kak Riro dengan ucapan yang lesu, seperti orang yang sedang ingin dipahami. “Tau.” Jawabku dengan tegas, seolah-olah aku memberi kode untuk tidak leye. “Jadi, saat itu aku lagi menganalogikan diriku seperti itu. Dan aku sempat menganalogikan aku dan teman-temanku seperti watak hewan.” “WOW. Tapi, kenapa gitu kak?” “Ya, aku suka aja. Seperti di dongeng-dongeng. Bagaimana hewan itu hidup dalam hutan. Hidup berdampingan dengan gayanya masing-masing. Yang raja singa suka berdiam. Yang raja macan suka berkelana. Yang raja buaya suka gerilya di bawah air tapi, menerkam kalau ada mangsa. Suka aja pokoknya.” “Kamu jangan pernah merasa sendiri, kamu itu selalu ditemani oleh yang lain. Saat kamu merasa kesepian lakukanlah berdasarkan tujuan kamu yang belum tercapai. Contohnya kamu ingin merasa keluargamu ada dan lengkap bersamamu. Lakukanlah itu. Buatlah keluargamu bersamamu. Tapi jangan pernah kamu menganggap bahwa kamu punya tapi tiada. Kamu ada tapi tiada. Kamu itu segala hal untuk mereka. Ingatlah. Esok, setelah kamu merasakan kebahagiaan dalam keluargamu, setelah kamu merasakan keharmonisan keluargamu, maka kamu akan menemukan keluarga kedua di sekelilingmu.” Ujarnya. 47 detik setelah ia mengucapkan seperti itu, tiba-tiba aku berpikir dalam. Sedalam lautan dunia. memang ada benarnya. Namun, sekali lagi aku katakan, ini kehidupanku. Bukan kehidupan kamu, dia, dan atau yang lainnya. Jadi, cukup aku yang merasakan. Cukup aku yang berperan. Kamu tidak perlu ada di dalam ini sekalipun kamu saudaraku. Notabanenya sudah cukup. Tidak perlu dikurangin dan tidak perlu ditambahin. Dua puluh hari setelah itu, aku merasakan. Saat itu aku tidak membutuhkan celotehannya. Tapi entah mengapa celotehan itu sangat berarti di hari ini dan di kemudian hari. Aku sangat berterima kasih kepadanya yang telah memberikan masukan. Mungkin bila Kak Riro tahu bahwa pada saat itu aku tidak mau dicelotehi ia sangat berkecil hati. Maaf. Hari itu egoku sangat ambisius. Aku takut akan menjalani kehidupanku. Tapi aku sudah mulai berani saat kamu mengatakan aku untuk tidak berpresepsi, aku punya tapi tiada. Aku tidak pernah menginginkan orang-orang mendengarkan ceritaku. Pun, aku jarang bercerita. Karena hidupku bukan tentang cerita. Tapi tentang perjalanan. Setiap aku melangkah ke suatu tempat, selalu saja aku tidak menginginkan kembali, aku ingin tetap di tempat itu karena, aku tidak mau meninggalkan jejakku. Apalagi jika aku melangkah bersama keluargaku. Sungguh sangat besar rasaku untuk tidak meninggalkan jejak itu. Matahari yang sangat indah di kala terbenam saja membawa kegelapan. Kata Kak Riro, “Keluarga bisa didapatkan dimanapun.” Tapi kenapa sampai saat ini aku tidak mendapatkan keluarga setelah aku lama tidak bertemu dengan keluargaku. Dan Kak Riro juga bilang “Keluarga adalah orang yang paling mengerti dan memahami kita.” Mana ada? Bagaimana aku bisa dimengerti dengan keluargaku jika aku tidak memiliki keluarga? Dan bagaimana juga aku bisa mengerti jika keluargaku mengerti dan memahami aku? Tanda tanya besar buat aku yang tidak pernah tahu arti matahari dalam keluarga.