Anda di halaman 1dari 3

SECRETS OF ZERO O`CLOCK

Aku Nadine Zuraika biasa dipanggil ika, aku seorang anak bungsu yang sedang berusaha
melawan sisi negative dari pikiranku sendiri. Aku lahir ditengah keluarga yang sederhana hanya
sayangnya ada beberapa kesalahan ayahku yang mengakibatkan ayah terlilit hutang banyak hingga
ia harus banting tulang ditengah kondisi ayah yang bisa dibilang buruk, karena ayah yang terlalu
sibuk dengan dunia kerjanya mengakibatkan aku tidak pernah merasakan kasih sayangi seorang
ayah. Keluargaku sendiri sebetulnya bisa dibilang rumit dan itu semua dimulai dari ayah yang
berselingkuh hingga berpoligami. Singkatnya hidupku mulai berubah pada masa SMA dan inilah
kisahku melawan semua keterpurukanku. Kisah inipun kupersembahkan untuk ibuku, orang terkuat
dan tersabar yang pernah aku temui, yang tidak pernah meninggalkanku bahkan disaat masa
terpurukku.

Desember 2020. Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Aku juga tidak pernah memiliki
kesempatan untuk memilih begaimana aku nantinya akan dibesarkan. Bahkan aku juga tidak pernah
memiliki kesempatan untuk memilih siapa orang tua yang aku inginkan. Banyak orang menganggap
keluarga adalah rumah, tetapi kenapa rasanya aku tidak nyaman untuk pulang?

Aku terus tumbuh dalam diam. Semakin fasih menahan luka, menyimpan ribuan cerita tentang
susahnya menjalani kehidupan sebagai anak yang memiliki orang tua seperti mereka. Pada akhirnya,
aku menyadari satu hal, terkadang beberapa luka datang dari orang yang paling dekat. Bahkan
memiliki hubungan satu darah yang katanya saling sayang.

Tidak ada yang baik baik saja dengan kehilangan kasih sayang karena kesibukan orang tua, tidak ada
yang baik baik saja dengan pertengkaran didepan mata hanya karena perbedaan pendapat. Aku tau,
pada beberapa moment akhirnya teman yang menggantikan posisi keluarga. Tapi tidak munafik, aku
juga merindukan makna sebenarnya apa itu keluarga.

Sejak aku berani berdebat kini ada lebel baru yang melekat pada diriku yaitu anak keras kepa atau
susah dibilangi. Padahal ini adalah bentuk dari pelarian atas kekecewaan dan luka dari orang tua.
Serta sebagian luka dari luar yang tidak pernah orang tuaku dengarkan. Luka dari dunia luar yang
membuat aku terlalu susah untuk berbaur dengan orang baru, mencari validasi dan sibuk menjadi
orang lain hanya untuk membeli pertemanan.

Jiwaku terasa sangat lelah. Ketika dirumah aku harus bertemu banyak luka dan berpura pura bahagia
diluar sana. Tidak ada yang mau menjadi air ketika saling menjadi api. Sibuk menyulut emosi hingga
semuanya terasa semakin perih.

Diusia 15 tahun aku pernah membuat keputasan besar untuk keberlangsungan hidupku meskipun
pada akhirnya itu akan merusak diri sendiri untuk kedepannya. Aku memutuskan aku pindah dan
bersekolah didaerah kabupaten yang jauh dari ibuku, awalnya semua terlihat baik baik saja namun
kenyataannya makin lama aku kehilangan diri sendiri dan semakin kesepian.

Dalam hati kecilku, aku begitu ingin membanggakan orang tua terutama ayahku. Ketika aku
memasuki bangku SMA aku memutuskan mengikuti ekstrakulikuler dance. Aku tidak bisa
membohongi diri sendiri bahwa rasa cintaku terhadap dunia seni sungguh besar. Waktu aku
mendapat tanggung jawab untuk menampilkan dance untuk acara sekolah pada saat itu dan
mendapatkan banyak penghargaan atas lomba dance.

Menjadi pemenang dalam setiap perlombaan dance membuat sebagian mimpi kecilku menjadi
nyata. Tapi sayangnya ayah tidak pernah hadir untuk sekedar menonton atau melihatku menerima
penghargaan, padahal ayah mempunyai akses keluar masuk area sekolah secara bebas karena ayah
memiiki status tinngi disekolah sebagai ketua komite. Begitu pula dengan ibu, ibu jauh dari sekola
dan sibuk dengan pekerjaanya sehingga tidak pernah bisa melihatku menerima penghargaan
ataupun berfoto denganku dipanggung saat aku menerima penghargaan.beruntungnya aku masih
mempunyai teman yang masih tetap mensuportku.

Tetapi ada kesedian yang pasti, kesedihan yang tidak bisa aku ceritakan kepada teman temanku,
bahwa aku pindah hanya karena aku ingin menghindari perdebatan antara aku dan ibuku. Hatiku
begitu nelangsa, akalku sampai tak habis pikir kenapa harus sampai jadi seperti ini. Anak bungsu ini
harus menjalani yang begitu keras. Aku harus tinggal dengan ibu tiriku istri kedua dari ayahku, bisa
kalian bayangkan se kesepian apa aku disana apalagi dengan hubunganku bersama ayah yang tidak
akrab layaknya anak dan ayah.

Naasnya aku tidak bisa menerima keadaan yang harus aku hadapi dikala itu. Pura puraku membuat
mentalku hancur secara perlahan. Terlalu banyak cerita yang aku rangkai dengan indah tentang
kebahagiaan hidup bersama keluarga yang sebenarnya malah terasa begitu memilukan . aku harus
berusaha menjadi pendengar teman temanku dikala aku sendiri ingin didengarkan hanya karena aku
tidak ingin teman temanku merasakan lukanya kesepian yang mendalam sepertiku. Tapi aku justru
semakin fasih dalam memendam cerita tanpa dapat mengungkapkan apa sesungguhnya masalah
yang aku hadapi sekarang.

Aku benar benar tidak dapat mengendalikan perubahahan moodku yang begitu ekstrim. Waktu
tidurku semakin berkurang menjadi tiga jam dalam sehari. Bebrapa bulan kemudian perasaanku
makin tidak terkontrol, pemikiranku menjadi semakin negative terhadap diri sendiri. Aku semakin
jauh dengan tuhan, bahkan diriku sendiri. Aku jadi membenci diri sendiri, bahkan aku sudah menjadi
pecandu selfharm, ketika aku sedang berada pada tekanan atau stress maka disitulah aku akan
malakukan selfharm untuk melegakan pikiranku.

Semakin dewasa entah mengapa rasanya kehidupan semakin terasa hampa dan terkesan mulai
hilang arah. Aku dihadapkan oleh banyak kenyataan hidup yang rasanya mulai tidak masuk akal .
ketakutan jika aku tidak bisa menjadi apa apa semakin membesar dengan seiring waktu berjalan
bersama beban pikiran yang semakin bertambah. Semangatku kini tak membara, justru kehidupanku
kini semakin tersa hampa dan begitu tak memiliki banyak harapan.

Aku terjebak dalam kondisi hidup penuh kekhawatiran, aku takut hidupku berhenti disitu situ saja.
Bahkan aku mulaimerasa bosan menjalani rutinitas hidup yang terasa biasa saja. Aku kesepian,
tetapi aku juga terlalu takut untuk memiliki pasangan. Untuk memahami diri sendiri saja aku masih
kesusahan, bagaimana kau bisa memahami anak orang.

Kondisi hatiku memburuk, gairahku dalam mengejar mimpi semakin hilang. Aku semakin takut dan
binggung dengan apa yang lakukan sekarang apakah aku sudah benar atau justru membawa semakin
jauh larut dalam kegelapan. Bukannya menemukan jalan keluar, justru aku semakin hidup dalam
penuh ketakutan dan tanda tanya.

Anda mungkin juga menyukai