Anda di halaman 1dari 10

"Dia anak nampung yang tinggal kedua orang tuanya, dia terpaksa bekerja dan bersosialisasi karena dia

harus bekerja until makannya sehari sehari bersama make dan neneknya"

Hai namaku adalah Yudha Piraminata, lebih tepatnya Yudha Piramitha. Aku hanyalah seorang anak kecil
yang sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tua, anak kecil yang selalu ingin mendapat
perhatian lebih dari seorang ibu dan ayah, Anak kecil yang... yang.. yang.. dan seterusnya akan tertulis
tentangku.

Laki laki kelahiran tahun 2001 yang baru masuk dunia perkuliahan, di usia remaja nya ia sudah harus
merasakan bagaimana sakitnya merasakan perpisahan Ayah Ibunya. Entah karena alasan apa orang
tuanya bisa mengambil keputusan untuk bercerai. Menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah
resmi berpisah sangatlah berat untuk dirinya.

Prangg!!!! suara pecahan kaca itu kembali terdengar. Bukan hal biasa lagi bagiku dengan kejadian yang
hampir setiap hari terjadi. aku kembali meletakkan kepalaku pada lipatan tangan yang kubuat di atas
lutut, merasakan sesak yang setiap saat aku rasakan, tanpa disuruh air mataku mengalir deras
membasahi pipi.

Aku tersenyum menutupi sesak yang terus menggebu dalam dada, memejamkan mata dan mencoba
mengabaikan suara teriakan ayah, ibu, dan pecahan kaca. Berharap akan keindahan dalam mimpi,
Bermain main dengan harapan semu walau hanya sementara, melupakan sejenak pertengkaran orang
tua dan berharap saat aku terbangun tidak ada lagi pertengkaran dan akan merasakan kasih sayang
orang tua yang selama ini aku harapkan.

Memang sempat aku berfikir, untuk apa Allah menyatukan kedua orang tuaku kalau pada akhirnya akan
menimbulkan luka pada ku yang mungkin tidak akan bisa untuk di lupakan.

Fungsi Keluarga yang seharusnya bisa menjadi tempat berbagi kasih sayang, saling melindungi tetapi itu
sudah tidak lagi berfungsi dalam keluargaku.

Namun aku akan selalu ingat akan pesan nenekku. Sejahat apapun, sekejam apapun, mereka akan tetap
menjadi kedua orang tuamu, orang yang menjagamu dari kecil, merawatmu, dan tidak ada yang
namanya mantan ibu ataupun ayah di dunia ini.

Menjadi anak dalam keluarga broken home menjadikanku pribadi yang lebih kuat, lebih mandiri. Allah,
rangkul tasya selalu, pegang tanganku, jangan kau lepaskan dan kuatkan aku apapun yang terjadi.
Realitanya keluarga memang harta yang paling berharga. Cinta yangyang paling tulus pun datangnya
dari keluarga. Tidak ada yang bisa memberikan kasih sayang yang tak terhingga selain orang tua.
Besarnya mengalahkan emosi jiwa dan saat itulah cinta sejati sesungguhnya terbentuk. Baginya hadiah
terbesar dari Allah yang bermakna adalah sebuah keindahan, kebahagiaan dan keharmonisan sebuah
keluarga. Tetapi apa jadinya jika keharmonisan itu tak pernah Ia rasakan. Itulah yang pernah dialami
oleh seorang anak perempuan dari keluarga sederhana. Iya, menjadi seorang anak broken home setelah
perceraian kedua orang tuanya

Ia terpaksa harus memilih salah satu di antaranya, bersama siapa dia akan tinggal. Dan itu merupakan
pilihan sulit untuk Diandra, tapi sesulit apapun itu ia harus bisa mengambil keputusan. Keputusannya Ia
memilih tinggal bersama sang ibu. Rasanya Diandra memang tidak bisa jauh-jauh dari Ibunya. Baginya
Ibu adalah segalanya, dirinya dan sang Ibu tidak akan bisa dipisahkan oleh apapun, kecuali kematian.

Tetapi, berpisah dari sang Ayah pun sangat berat dan menyakitkan untuknya. Ya bagaimana tidak, Ayah
adalah cinta pertama untuk anak perempuannya. Bagi Diandra Ayahnya adalah pahlawan dalam
hidupnya. Malaikat pelindung untuknya, namun kali ini Ia bertanya-tanya apakah ayahnya masih bisa
menjadi malaikat pelindung nya?

Sedangkan, Ia dan sang ayah saja tidak tinggal satu atap lagi. Bagaimana bisa ayah melindungi dirinya?
Lantas siapa yang akan menjadi pelindung untuknya saat ini? Ya Ibu, tentu saja Ibu tapi apakah cukup.
Bukankah seharusnya jika ada Ibu pasti ada sosok ayah. Karena mereka memang memiliki peran dan
tanggung jawab nya masing-masing dalam sebuah keluarga. Sebagai orang tua mereka seharusnya saling
melengkapi satu sama lain untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Bukan dengan lebih
mementingkan egonya masing-masing.

Lalu, bagaimana jika mereka berpisah? Bagaimana dengan nasib anaknya?

Jika ditanya bagaimana perasaan Yudha saat ini sudah pasti hatinya hancur sekali. Diandra menjadi anak
broken home. Di mana itu akan menjadi sesuatu hal yang akan terus membekas dalam hidupnya.
Bahkan yang lebih mengerikan nya lagi itu akan menjadi trauma untuk dirinya.

Entah mengapa sampai saat ini Yudha masih belum bisa menerima perceraian kedua orang tua nya.
Dirinya masih terpuruk meratapi nasib menjadi anak broken home, yang sejujurnya tidak pernah Ia
bayangkan sama sekali. Dia selalu berdoa dalam sujudnya. “Ya Tuhan apakah keluarga ku masih punya
harapan untuk bersatu kembali? Jika memang masih Aku mohon tolong persatukanlah kembali ayah dan
ibu ku agar kami bisa seperti dulu lagi, menjadi sebuah keluarga yang utuh & bahagia. Rasanya Aku tidak
sanggup jika harus terus menyaksikan kehancuran keluarga ku. Aku benar-benar tidak sanggup. Tolong
kasihanilah Aku Tuhan, kasihanilah keluarganya ku. Aku mohon kabulkan doa ku.” sebuah doa yang
selalu dirinya panjatkan kepada sang pencipta. Dia masih memiliki harapan besar untuk keutuhan
keluarganya. Diandra sangat ingin agar Ibu dan Ayahnya bisa rujuk kembali. Ia merindukan suasana
rumah yang hangat, lengkap dan penuh canda tawa.

Aku, adalah bukti nyata kalau broken home sangat menyeramkan. Bayangkan saja, di masa aku kecil aku
kehilangan sosok ibu, sosok yang sangat kuat bagi seorang anak kecil. Banyak yang mengira kalau aku
baik-baik saja, ada juga yang mengira kalau aku tidak terpengaruh oleh adanya kerusakan rumah di kala
aku kecil.

Terlalu lama kayaknya prolognya. Tanpa basa-basi lagi, namaku Toto, mungkin sekarang aku lebih baik
daripada aku yang dulu. Sudah lama sekali aku tidak menangis, dan sudah lama juga aku tidak
merasakan kasih sayang ibu.

Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku 4 tahun, masih sangat kecil, bahkan terlalu kecil bagi seorang
anak yang harus ditinggalkan ibunya.

Aku masih ingat semua kejadian awal, semua pertengkaran ayah dan ibuku. Semua kejadian di
pengadilan, semuanya terekam baik di kepalaku, di otakku, memori itu seakan tidak bisa dihapus.
Termasuk kata terakhir ibuku sebelum dia pergi meninggalkanku, ‘Mulai sekarang jadi anak yang baik,
jangan nyusahin ayah. Ibu pergi dulu.’ Dengan polosnya aku menjawab, ‘Iya, ibu cepat pulang’.

Jawaban yang terlalu lugu, aku masih umur 4 tahun dan aku hanya berharap bisa ketemu ‘dia’ lagi.
Ketika itu aku masih berpikir mungkin ibuku pergi ke luar kota, lalu tiba-tiba pulang bawa mainan besar,
tapi kenyataannya tidak. Itu tidak pernah terjadi.

Entah bagaimana aku tahu kalau sebenarnya ibuku tidak pergi, melainkan dia bercerai dengan ayahku.
Coba pikirkan apa yang aku bayangkan? Yang saat itu bayangkan adalah kosong. Aku bingung apa itu
cerai?.

Ada pertanyaan yang sampai saat ini menjadi misteri di kepalaku. Pernyataannya sederhana, ‘Kenapa
kalian cerai? Apa karena kehadiranku? Atau justru ada penyebab lain?’. Ingin sekali aku bertanya kepada
ayahku, tapi buat apa juga, biarlah itu jadi masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu.

Setelah perceraian itu, aku, ayahku, neneku, tanteku, dan kedua saudaraku pindah. Aku tumbuh sebagai
anak yang tidak pernah merasakan sosok ibu. Bahkan ketika pendaftaran masuk ke sekolah dasar aku
hanya ditemani tanteku.

Tumbuh sebagai anak yang kurang perhatian, membuatku dipaksa menjadi dewasa. Ada yang bilang
ketika kita bertambah umur, maka kita akan bertambah dewasa. Tapi itu tidak berlaku untukku,
menurutku keadaanlah yang membuat kita bertambah dewasa, umur hanya sebuah angka.

Ketika aku kelas 2 sd salah satu temanku berkata dia lagi kesal sama ibunya, dia bilang begini, ‘Aku malas
sama ibuku’.

Lalu aku menjawab, ‘Kenapa?’.

Dia menjawab, ‘Kenapa aku masih ditunggu di depan pintu gerbang sekolah? Kan aku malu’

Aku diam, bingung. ‘Kenapa malu?’ jawabku polos.

‘Malu aja’ jawab dia, singkat.

Entah apa yang ada dipikiran dia, memang ada anak yang malu kalau masih ditunggu orangtuanya?.
Tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sayang. Ketika kecil aku melihat cinta dan jenisnya seperti
seram, ketika remaja aku takut itu masih kugenggam nyaman, dan semua itu aku dapat dari kecil.

Ketika kelas 3 sd, ayahku menikah lagi. Aku bahagia, entah apa yang membuat aku bahagia. Aku tumbuh
di lingkungan yang berbeda, kehidupanku bisa dibilang nomaden. Sewaktu kecil aku tinggal bersama
kedua orangtuaku, tak lama dari itu kami berpisah aku ikut ayahku, dan ibuku pergi. Setelah itu juga aku
dikasih sebuah kehidupan baru yaitu sekolah. Kelas 4 sd aku berpindah sekolah, yang mana itu memaksa
otakku, tubuhku, kedewasaanku. Aku bilang dari awal, bahwa lingkunganlah yang membuat kita
dewasa, umur hanyalah angka.

Waktu aku pindah ke sekolah yang baru aku dipaksa buat adiptasi sama lingkungan yang baru. Teman
sebangku aku cerita tentang orang tua mereka. Dia bilang "Kamu pernah dimarahin mamah sama papah
kamu?"

"Maksudnya? "

"Iya gitu, kayak misal kita berbuat nakal terus dimarahi, pernah gak?’ jawab dia.

‘Engga deh, gak pernah hehe "jawabku dengan singkat

Memang aku tidak pernah berbuat nakal kalau di depan ayahku, tapi mungkin pernah sih kalau tidak ada
ayahku. Ayahku mendidik aku cukup keras, jadi aku selalu takut ayahku.

Ada yang pernah bilang juga sama aku, dia bilang gini, ‘Kamu pernah gak tidur bareng orangtua?.’

Aku jawab jujur, ‘Pernah, tapi itu dulu’

Dia menjawab, ‘Enak ya, coba aja aku jadi kamu’

‘Yakin mau jadi kayak aku?’ tanyaku.

‘Iyalah, enak jadi kamu,’ jawab dia. ‘Coba bayangin aku, aku nih, yang udah besar masih aja tidur
sekamar bareng ayah-ibuku.’

‘Bersyukur aja kali, lah coba, kamu masih mending, aku?’ sahutku. ‘Udah lama gak tidur bareng, kedua
orangtuaku cerai sedari aku kecil’

‘Yang bener?’ tanya dia, kaget.

‘Iyaalah, masa aku bohong’ kataku.

Lanjut ke masa smp, dimana lagi-lagi aku harus bertemu orang baru, bagiku pengalaman ini tidak cukup
asing. Aku selalu ngelakuin ini dari kecil.

Ketika kelas 3 smp, salah temanku bertanya, ‘Gimana sih rasanya broken home?’
Aku menjawab, ‘Ya gitu, enak sih kalau dipikir’

Temanku bingung, aku juga bingung. ‘Kok enak? Apanya yang enak?’

‘Gatau, asal keluar di kepala aja’ jawabku.

‘Tapi jujur, broken home membuatku semakin dewasa, aku jadi tau kalau tidak semua cinta itu baik, tapi
sebagian dari cinta itu seram’ sambungku.

Dari kecil aku dibentuk oleh rasa takut, hanya ada satu pertanyaan yang selalu aku ingat ketika aku lagi
sendiri, ‘Untuk apa aku dilahirkan, kalau pada akhirnya aku ditinggalkan.’

Tumbuh tanpa kasih sayang membuat aku menjadi pendiam, aku sering kehilangan emosi. Aku lebih
senang ketika melihat kejadian brutal, apa aku tumbuh menjadi psikopat?. Tidak, aku bukan psikopat,
tapi aku hanya orang yang kehilangan emosinya. Karena aku, kehilangan segalanya.

Keluargaku meninggal 2 minggu yang lalu, para polisi mengatakan kalau mereka dibunuh oleh
seseorang. Dan lebih kejamnya pembunuhan ini direncana, seakan pembunuh ini punya dendam
terhadap keluargaku.

"Udah selesai ceritanya?’ kata temanku.

Ada keheningan sesaat.

‘Berikan ini kepada keluargaku, bilang ke mereka aku sudah bahagia’ kataku.

‘Ini apa?’ tanya dia.

‘Cuma secarik kertas yang isinya mungkin bisa membuat mereka tenang’ kataku.

Dia mengambil secarik kertas, lalu memasukkan ke katong yang ada di dadanya.

‘Pasti aku sampaikan’ katanya. ‘Kamu sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi’

‘Aku selalu siap, aku tau konsekuensinya. Aku tau apa yang kuperbuat’ kataku.

Kami berdua jalan di sebuah lorong, gelap, pengap, tidak ada jendela sekalipun selama kami berdua
berjalan. Kalau kalian tidak tau, temanku bekerja di kepolisian.

3 menit kami berjalan, dengan keadaan tanganku terikat borgol. Pada akhirnya kami sampai di depan
khalayak orang, hakim, serta puluhan polisi.

Aku berdiri di depan mereka semua, dengan tiang setinggi 4 meter di sebelahku.

‘Suadara Toto, anda dinyatakan bersalah, atas pembunuhan berantai yang menyebabkan 13 orang
meninggal. Dan tragisnya anda melakukan itu dalam waktu 3 bulan dan 13 orang itu juga termasuk
keluarga anda. Maka sesuai hukum yang berlaku anda akan digantung. Apa anda siap menanggung itu
semua?’ kata hakim.
‘Saya selalu siap’ jawabku, singkat.

‘Apa ada kata terakhir?’ tanya hakim.

‘Mana yang lebih buruk? Hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik?.

Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang nyaman, harmonis dan juga mendapat kasih sayang
dari orangtua. Namun, mengapa aku tidak pernah bisa memiliki kehidupan itu. Tak pantaskah aku
mendapatkannya? Sesungguhnya, sebuah kasih sayang dari orang tua tak akan bisa tergantikan dengan
apapun. Aku yakin Allah merencanakan semua ini adalah yang terbaik buatku dan juga keluargaku.
Semoga dengan aku menceritakan semuanya bisa membuat perasaan ini jauh lebih baik dan tak akan
ada kesedihan lagi di hari-hari yang akan aku jalanin.

Entah darimana aku harus memulai ini semua, Seorang ibu yang terus bersabar mengadapi sebuah
cobaan yang tidak bisa aku bayangkan membuatku setiap hari harus menangisi keadaan ini. Aku benci
keadaan ini. Aku benci diriku sendiri yang lemah. Aku membenci Ayah yang tak pernah bisa mengerti
perasaan ibu mengapa Ayah harus menuruti permintaan nenek yang membuat keadaan ini semakin
rumit. Mengapa nenenk setega ini memisahkan Ayah dengan Ibu. Aku gak habis fikir semua yang ada di
rumah ini harus menjadi orang yang gak punya perasaan sama sekali. Aku juga mempunyai seorang
kakak, tapi percuma aku punya seorang kakak yang hanya membahagiakan dirinya sendiri, menjadi
leleki yang selalu membuat situasi ini tak akn pernah berakhir dari pertengkaran. Harusnya kakak tau
keluarga kita sedang berantakan tapi masih sempat-sempatnya kakak memikirkan dirikakak sendiri
dibanding adik yang selalu disalahkan di hadapan Ayah. Aku benci semuanya. Aku tahu ibu memang
wanita yang tak sempurna dia mempunyai kekurangan gak bisa berjalan seperti wanita normal, tapi
apakah mereka harus berpisah rumah seperti ini dan ayah harus meninggalkan ibu dalam keadaan yang
tak berdaya ini.

"Nak, kau jangan pernah berbicara seperti itu, Kamu adalah anak ibu yang dianugrahkan dari tuhan
untuk melengkapi keluarga ini. Ayah, munkin bersikap seperti itu karana dia tidak bisa menerima ibu
seperti wanita yang sempurna.” Mencoba terlihat tegar dihadapanku.

“ Ibu, bagiku kau adalah wanita yang sempurna yang pernah ku miliki. Mengapa ayah jahat sama kita,
apakah ayah udah gak sayang lagi sama kita”? terus menangis.

“ Ayah tidak jahat sama kita nak, ayah sayang sama kita.” Kata ibu meyakinkanku. “Lalu mengapa kalo
ayah sayang sama kita, ayah harus memilih berpisah ruamah. Aku benci sama ayah.” Dengan nada yang
keras hingga terdengar ayah saat lewat. “Apa! Kamu membenci ayah, berani-beraninya kau mengatakan
itu pada ayah!”.kata ayah dengan nadak kasar dan marah. “ Ayah, kenapa ayah tega melakukan semua
ini sama ibu.Apa salah ibu ayah sampai ayah membuat ibu menangis, ibu sangat mencintaimu dan
menyayagimu tapi apa balasanmu ibu, kau hanya pada membuatnya sakit hati dan menangis.” Kataku
dengan kesal. “ Ayah melakukan semua ini demi kebaikan kita semua. Kamu harus tau itu Hany.” Dengan
nada menenangkanku.
“ Sudahlah hany ibu tidak apa-apa kalau memang itu yang terbaik buat keluarga kita,ibu tak keberatan
dan kamu Ayah sebaiknya kita memang lebih baik berpisah agar kau lebih tenang dengan hidupmu.”
Sedikit kesal dan terus menangis. Lalu akupun berlari masuk kekamar denan terus menangis tanpa henti
dan berkata “ Aku benci sama ayah”!.

Hingga aku tak mampu menahan beban yang ku hadapi ini. Semakin lama semakin tak mampu untuk
aku hadapi bagaimana mungkin aku harus menerima ibu tinggal bersama kaka dan aku harus tinggal
bersama ayah. Aku ingin keluarga kita utuh seperti dulu lagi manjalani masa-masa yang indah dengan
canda tawa yang tak bisa tergantikan dengan apapun. Saat itu aku mendengar ayah bersama ibu
bertengkar di ruang tamu dan aku berada di kamarku.

“kamu bukanya sebagai ibu mengajari anakntya dengan sopan santun malah membuatnya membenci
ayahnya sendiri, ibu macam apa kamu ini!” dengan nada kasar.

"Harusnya kamu sebagai ayah yang bertanggung jawab di keluarga ini lebih mengutamakan anakmu
dibanding memilih untuk berpisah. Apa kau tak kasian dengan mereka yang setiap hari mendengar kita
berantem seperti ini!”. Menangis tanpa henti. Lalu aku pun sudah takuat lagi mendengar mereka
bertengkar setiap hari akau malu dengan teman-temanku mereka selalu bahagia yang selalu menyayagi
mereka, tapi kenapa aku gak memilikinya, semua ini gak adail. Aku pergi keluar dan menghentikan
pertengkaran ayah dan ibu.

"Berhenti! Apa kalian ini tak malu dengan anakmu yang terus melihat kalian seperti ini. Apa kalian belum
cukup membuatku menangis harus menahan rasa kekecewaan ini,mungkin ayah dan ibu bahagian
denan keadaan ini tapi aku gak sama sekali ayah,ibu. Aku ini anak kalian harusnya kalian memberikan
contoh yang baik kepada anaknya bukanya seperti ini. Tak mengertikah kalian dengan perasaanku.”
Menangis dan sangat kecewa.

“Lihat itu anak kamu. Hany terlalu kecil untuk menerima ini semua apakah kau tega memeisahkan aku
dengannya.” Kata ibu dengan tegas.

“ Aku memang memisahkan kalian. Aku tidak mau mempunyai seorang istri yang lumpuh seperti kamu!
Tidak bisa merawat anak kita dengan baik karena kau tak bisa berjalan. Sebentar lagi aku akan
menceraikanmu dan mencari ibu yang mamapu membuat hany bahagia.” Kata ayah dengan penuh
amarah.

"Diam! Tidak bisakah kalian diam. Semua ini membuatku tersiksa. Ayah, apa ayah tidak mempunyai
perasaan dengan ibu, sehingga kau mampu untuk melupakannya dan memutuskan untuk menikah lagi.
Baiklah ayah ceraikan ibu! Lebih baik ayah menceraikan ibu dari pada ibu menahan sakit hati yang
begitu dalam. Aku benci ayah!”. Menangis dan keluar dari rumah

"Sayang kamu mau kemana nak? Jangan dengarkan ayahmu dia hanya bercanda,kembalilah nak?”
berlari mengejarku.

Aku tak mau punya ayah yang gak punya perasaan. Biarkan akau pergi untuk sementara waktu untuk
menenangkan hati ini ibu. Maafkan aku.” Pergi dan terus menangis sepanjang jalan.
Setelah kejadian itu, aku menjadi anak yang Broken Home dan terus menjalani kehidupan yang sering
kali aku tak bisa berfikir positif. Setiap hari aku disekolah menjadi anak pendiam, nilai pelajaranku turun
semua kehidupan ku menjadi berantakan. Hingga aku memutuskan untuk pergi jauh dari rumah agar
aku tak mendengar pertengkaran yang membuatku tak tahan untuk tinggal dirumahku sendiri.
Sebenarnya ku tak ingin melakukan ini semua tapi aku tak tahan dengan semua yang aku hadapi aku
menjadi korban dalam pertengkara ibu dan ayah. Ibu maafkan aku melakukan ini aku telah menjadi anak
yang tidak berbakti kepada orangtua, aku berjanji dengan kepergianku ini aku akan menjadi anak yang
baik dan aku akan kembali setelah aku bisa membalas semua jasamu. Akau ingin membahagiakanmu
dan memberikan yang terbaik untuk ibu. Semoga ibu disana baik-baik saja. Ayah, aku tahu ayah malu
dengan keadaan ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tak seharusnya kau tega menceraikan ibu dan
mencari wanita lain yang jauh lebih sempurna dari ibu. Ayah harus tahu ibu sangat mencintai ayah
seperti aku mencintai ayah.

Sehabis maghrib ku lihat hari ini ibu tidak sedang sibuk memasak cateringan, mungkin tak ada pesanan
untuk besok atau mungkin ibu ingin libur sehari, jadi aku memilih bermain sambil mengerjakan PR di
teman sekelasku Rina yang juga adalah tetanggaku.

Saat aku sedang asik mengerjakan PR, tiba-tiba Andi datang memarkir sepeda di teras rumah Rina dan
ikut gabung dengan kami. Andi adalah kakak kelasku. Rumahnya hanya terpisah 1 rumah dari rumahku.

"Maya, kamu kok tidak ikut ayah ibumu?” tanya andi padaku

"Memang ke mana?” Aku penasaran.

“Tadi waktu kutanya mau ke mana, kata ayahmu mereka mau ke pasar nyari sandal.”

"Oh iya ? memang sandalnya Mila sudah putus, sandalku juga hampir putus. Mungkin mereka mau nyari
sandal untuk aku dan Mila.” Aku sedikit sedih, kenapa aku ditinggal.

"O...” sahut Andi datar.

“Mau antar aku ke pasar naik sepedamu untuk nyusul ayah ibuku?” Aku harap Andi tak menolak
permintaan tolongku itu.

"Ayo aku antar.” Andi langsung menuju sepedanya. Aku mengikutinya dan kami berboncengan menuju
ke pasar yang tak jauh dari kompleks rumah kami.

Sampai di pasar, Andi menurunkanku di parkiran, kami bingung sendiri. Aku tak ingin merepotkan Andi
terlalu banyak, jadi ku suruh Andi pulang, biar aku sendiri yang mencari ayah dan ibuku.

Setelah aku menoleh ke kanan kiri berjalan di sekita toko-toko sandal, aku lelah sendiri, jadi kuputuskan
untuk beristirahat saja sambil menunggu ayah dan ibuku.
Aku kembali ke parkiran, berjalan ke sana ke mari mencari mobil pickup tua yang biasanya dipakai ayah
dan ibu jika bepergian. Aku menemukannya, lalu aku segera naik di bagian belakang, duduk sendirian di
pickup menunggu ayah dan ibuku, sesekali aku melihat ke atas memandang langit.

Setelah kurang lebih 2 jam aku menunggu, ku lihat ayah, ibu, Mila dan adikku menuju mobil. Aku
melihat ayah dan ibuku sedikit terkejut melihat aku.

“Ibu sudah dapat sandalnya?” Tanyaku segera.

“Iya sudah, nanti dilihat di rumah ya.” Ibuku masih sedikit bingung melihat aku.

Aku hanya mengangguk, lalu aku dan Mila duduk di pickup belakang.

Di sepanjang jalan aku dan mila hanya diam dan sesekali tersenyum. Kami tidak sedang marahan juga
tidak sedang bercanda.

Sesampai di rumah aku tak sabar untuk membuka kresek itu, begitu pula Mila dan adik bungsuku.

Aku dan Mila berlari ke arah kresek-kresek itu sambil rebutan mencoba menggapai mana yang harus
dibuka terlebih dahulu.

“Maya, besok kita ke pasar lagi ya nyari sandal untuk kamu.” Tiba-tiba ayahku berbicara.

“Iya, soalnya tadi mau ngajak kamu tapi ibu nggak tahu kamu tadi main ke mana, tadi ibu mau beli
sandal untuk kamu tapi takutnya kamu tidak suka modelnya dan ukuran nggak pas.” Sambung ibuku.

Ku lepas kresek-kresek belanjaan itu. Ah bukan punyaku. Aku juga melihat Mila sedang tidak enak hati
kepadaku.

Iya bu, aku mengerti.” Jawabku lemah. Mungkin saat itu ibu dan ayah sedang tak punya uang untuk
membeli 2 pasang sandal sekaligus.

Malam itu langit tak seperti biasanya. Bulan dan bintang yang selalu menjadi hiasan langit pun tertutup
oleh sekelebat awan putih, diiringi tetesan air hujan yang jatuh ke tanah, memunculkan aroma petrichor
yang sangat saya sukai.

Dulunya ayah adalah sosok yang mencintai keluarga, tapi semenjak memutuskan untuk pindah bekerja
di suatu perusahaan swasta, ia mulai berubah. Ayah selalu pulang malam dan kadang tak pulang ke
rumah. Membuat saya curiga dan menuduh ayah berselingkuh dengan teman wanitanya di kantor. Ibu
bilang ibu punya bukti, entahlah bukti apa itu karena akupunbelum berani menanyakannya

Duarrrr..."
Suara itu bagaikan sambaran petir di langit yang cerah tanpa awan gelap. Badanku merasa lemas, dan
aku merasa pasokan udara di sekitarku berkurang. Namun aku segera berlari menuju ibuku yang
menangis dan memeluknya, mencoba menyalurkan kekuatanku yang masih ada. Dan setelah itu, ayah
pergi dan tak pernah pulang lagi ke rumah.

Setelah perceraian kedua orangtua ku, hari-hari ku dengan air mata, rasa marah, kecewa, semua
perasaan itu bercampur menjadi satu. Bahkan aku ingin bunuh diri saja karena tak mampu dengan
cibiran orang-orang yang mengatakan bahwa anak broken home tak punya masa depan.

Setelah perceraian kedua orangtua ku, hari-hari ku dengan air mata, rasa marah, kecewa, semua
perasaan itu bercampur menjadi satu. Bahkan aku ingin bunuh diri saja karena tak mampu dengan
cibiran orang-orang yang mengatakan bahwa anak broken home tak punya masa depan.

Dan dengan tekad yang bulat, akupun kembali merajut mimpi setelah lulus SMA nanti. Aku ingin kuliah
dan membuktikan kepada mereka bahwa broken home punya masa depan.

kakak," ibu yang sedang memotong sayuran pun memanggilku.

“iya bu," timpalku.

“Setelah lulus SMA kakak ingin apa?” tanya ibu.

“Hmm, kakak ingin kuliah bu,” ujarku dengan hati-hati.

“Tabungan ibu tidak cukup untuk membiayai kuliahmu, mungkin ayah bisa membantu membiayaimu
coba kamu menghubungi ayah,” sambungnya.

Setelah mendengar penuturan ibu, aku pun langsung menghubungi ayah.

“Halo Assalamualaikum Yah," ucapku mengawali.

“ Walaikumsalam, ada apa?” balasnya.

“Kakak ingin lanjut kuliah, ayah bisa bantu biaya kuliah kakak karena tabungan ibu tidak cukup?”
tanyaku.

“Tidak perlu kuliah, mending kamu bekerja membantu ibumu, kuliah hanya membuang-buang waktu
saja” jawab ayah.

Setelah lulus sekolah, akupun melamar di suatu perusahaan swasta sebagai staff admin dan
alhamdulillah akupun diterima di sana.

Anda mungkin juga menyukai