Anda di halaman 1dari 5

PELANGI SENJA

Ayu Damayanti

Untukmu, yang memiliki hati tangguh.

Dear gadisku,

Tak terasa sepuluh tahun lebih sudah kau temani aku, Ibumu. Serangkaian waktu yang tidak bisa
dibilang sebentar namun sangat singkat ketika kita bicara tentang rindu. Rindu? Ya, nak. Setiap
saat ada terselip kerinduan akan dirimu meskipun ragamu ada disampingku. Rindu yang entah
apakah bisa aku terjemahkan untukmu dalam bahasa yang sederhana. Setiap saat waktu berjalan,
engkaupun semakin dewasa dan otomatis semakin dekat langkahmu untuk jauh. Disitulah
terselip rasa yang entahlah … Rindu yang mengunciku dalam kesepian. Rindu yang memaksaku
memutar waktu meskipun sebatas kenangan. Rindu ketika pertama kulitku menyentuhmu. Rindu
ketika melihat mata kecilmu memandangku, mengenaliku untuk pertama kalinya. Ah nak,
seandainya kau tahu apa yang sedang bergemuruh dalam hati ibumu ini.

Kesepian ini semakin mencekam. Ketika kutemukan helaian rambut putih yang semakin
bertambah di kepalaku. Ibumu ini semakin tua, nak. Dan kulihat kaupun semakin jangkung,
sama seperti ayahmu. Ah, sudahlah… mengingatnya hanya menghadirkan perih, meskipun
harusnya itu tak boleh ya, nduk. Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungmu. Klise!! Ya,
klise memang, tetapi itulah tulisan takdir yang tak bisa kamu rubah, tak bisa kamu tolak.
Menolaknya sama dengan kau tak mengakui takdir Allah untukmu. Jangan pernah lakukan itu!
Karena meskipun pahit, apa yang sudah Allah gariskan itulah yang terbaik.

Nak, sebenarnya Ibumu ini harus banyak belajar darimu. Engkau yang sedari kecil menjadi anak
yang tangguh. Engkau yang sedari kecil selalu setia di samping Ibu. Masih jelas tampak dalam
ingatan Ibu, kalau itu kau masih belum genap empat tahun, engkau berlari sambal membawa
handphone dan menunjukkan foto yang sebenarnya sudah Ibu sembunyikan. Dengan polos
engkau bertanya, “Ini siapa, bu? Kok ayah foto sama perempuan?” Cepat Ibu ambil paksa HP itu
dari tangan mungilmu. Lalu Ibu ajak kau ke ruang tengah dan Ibu nyalakan TV untuk
mengalihkan perhatianmu. Ibu hanya menghiburmu, tanpa menjawab pertanyaanmu.

Sendiri Ibu di dapur sambil melihat foto yang tadi kau lihat, nak. Ya, foto laki-laki yang
ditakdirkan menjadi ayahmu, laki-laki yang seharusnya memegang penuh tanggung jawab
nafkah, perlindungan, pendidikan dan kasih saying atasmu, laki-laki yang dalam foto itu sedang
memeluk mesra perempuan lain dari belakang. Laki-laki yang kehilangan kodrat dan akal
sehatnya sebagai ‘laki-laki’. Foto itu sebenarnya Ibu simpan sebagai bukti di pengadilan nanti.
Karena Ibu hanya tinggal menghitung waktu melihat mahligai yang bernama pernikahan hanya
tinggal selangkah lagi untuk menjadi puing.
Hebatnya kau, nak. Tak ada sedih, tak ada air mata, tak ada rengekan, tak ada lagi pertanyaan.
Hari-harimu selalu kau setia di samping Ibu yang setiap saat berhujan air mata. Selalu bertanya
ketika buliran bening kembali jatuh sebagai teman setia Ibu.

Terkadang ketika hari terasa berat, tak jarang kau jadi sasaran luapan emosi yang tak bisa Ibu
sampaikan kepada siapapun. Betapa teganya Ibu dulu nak, hingga kau menjulukiku sebagai “Ibu
Monster” saking mudahnya Ibu marah padamu. Dan yang tidak Ibu kira, ternyata kau mengingat
semuanya dengan sangat jelas. Dimana, kapan, karena apa Ibu mencubitmu, memukul,
menjewer. Ah, sakitmu rasanya semakin sempurna. Maafkan Ibumu, nak. Jangan kau
menyimpan luka itu, apalagi hingga menjadi dendam. Maafkan Ibumu, sayang.

Masih ingatkah kau nak, ketika engkau Ibu ajak ke Pengadilan Agama untuk pertama kalinya.
Dengan menggunakan motor tua mbahkung, engkau yang saat itu baru saja berusia empat tahun,
engkau yang bahkan tak pendapat ucapan selamat dari Ayahmu ataupun keluarganya, engkau
yang saat itu tak mengerti apa-apa, hanya mengikuti kemana Ibumu pergi. Hanya berdua kita
saat itu, nak. Ibu sendiri mengajukan gugatan, tanpa kabar dari Ayahmu dan tanpa
kedatangannya. Ternyata Ibu baru sadar bahwa selama ini Ibu menikahi seorang pengecut. Mulai
dari Ayahmu menyatakan tak ingin kembali pada Ibu, hingga akhirnya Ibu sah menyandang
status single parent, tak pernah Ibu lihat batang hidung Ayahmu datang untuk sekedar pamit dan
meminta maaf pada mbahkung. Jangankan kedatangannya, lewat telpon atau smspun, tidak!!!

Beberapa kali kita kembali ke Pengadilan dan pada tanggal 15 Oktober 2014 jatuhlah keputusan
hakim, resmi sudah perceraian Ibu dan Ayahmu. Sejak hari itu Ayah dan Ibu sudah resmi
kembali menjadi dua orang asing yang tak lagi terikat. Sah sudah mahligai pernikahan itu hancur
dengan sempurna.

Tetapi sekali lagi Ibu tetap harus belajar darimu. Sosok mungil yang saat itu boleh jadi tak
paham apapun namun mampu menjadi secercah penghangat dalam hidup Ibu yang semakin
dingin. Kamu yang ketika itu tetap menjadi anak empat tahun yang periang, sanggup
menghafalkan lagu-lagu dari kartun Frozen kesukaanmu dan membuat Ibu terkekeh melihatmu
menirukan gaya Elsa sang tokoh utama.

Nak, kisah kita baru dimulai ya sayang. Ke depan mungkin bisa jadi semakin berat, namun Ibu
percaya denganmu di samping Ibu, Insha Allah Ibu akan selalu kuat.

Nduk, cah ayu, ketika engkau sudah mampu memahami kehidupan ini nanti, ketika engkau
membaca goresan pena Ibu ini, Ibu ingin engkau banyak belajardan mengambil hikmah. Hidup
itu tidak hanya sekedar kisah dan cerita tawa dan air mata atau hanya sekedar sedih dan bahagia.
Hidup itu terkadang kita harus melepaskan, hidup jangan menghitung seberapa banyak memberi,
namun teruslah memberi sepanjang kau dalam kemampuan.

Buah hati Ibu … , mungkin di usiamu yang masih belum genap sebelas tahun ini, masih banyak
pertanyaan-pertanyaan yang bergerombol dan seakan ingin selalu berloncatan ya, nak. Ibu yakin
itu. Karena sejak kecil kau sangat cerewet. Hahaha … . Ibu selalu bahagia dan tersenyum sendiri
jika mengingat celoteh lucumu dan sederet rasa ingin tahumu yang terkadang membuat Ibu
gemas dan berakhir dengan menyuruhmu diam. Hhh … banyak sekali kesalahan Ibu padamu,
nak.

Ya Allah, waktu itu cepat ya nduk. Seandainya Ibu bisa menahannya. Ah Ibumu terlalu berandai-
andai, nak. Hehehe … . Ibu hanya ingin lebih berlama-lama denganmu, nak. Karena dalam
perjalanan hidup Ibu, engkaulah sebenar-benar anugerah yang luar biasa untuk Ibu. Anugerah
yang membuat Ibu menjadi sempurna sebagai seorang wanita. Anugerah sekaligus amanah yang
sungguh berat luar biasa dari Allah untuk Ibu.

Kasih Ibu … , kenapa harus Ibu menceritakan ini padamu, nak. Padahal sebenarnya Ibu tak ingin
membuka lagi luka. Karena Ibu ingin mengajarkan kepadamu bahwa segala sesuatu yang kau
lakukan karena Allah tidak akan pernah sia-sia. Ibu sakit? Ya, tentu. Ibu hancur? Sangat, nak!
Namun Ibu yakin dengan tanpa keraguan bahwa Allah pasti akan menolong Ibu. Perceraian itu
tidak disukai Allah nak. Tapi Allah tetap membolehkan jika alasannya sesuai dengan syariat.
Perceraian dengan apapun alasannya meskipun demi alasan yang benar, tetap memiliki nilai
negative di masyarakat sayang. Tetapi kenapa Ibu memilihnya? Karena Ibu memilih dan
memutuskan karena Allah. Ketika bertahan malah memberi banyak mudharat, sedangkan Ibu tak
mampu merubahnya, maka Ibu pilih tinggalkan. Karena saat itu Ibu sedang berjalan menuju
Allah, Ibu sedang dalam perjalanan merubah diri, lebih mendekat lagi pada Sang Maha
Segalanya. Tetapi lihat apa yang Allah beri? Allah membuka mata Ibu agar bisa melihat sendiri
bagaimana selama ini laki-laki yang Ibu paksakan untuk menjadi suami. Paksa? Iya, nak. Inilah
hasilnya jika orang tua tak merestui dan Allah juga tidak akan merestuinya. Pernikahan Ibu
dengan Ayahmu kala itu karena desakan Ibu pada mbahkung untuk merestui dan menjadi wali
dalam pernikahan Ibu. Lihat dan pelajarilah, nak. Kala Allah menunjukkann cinta-Nya, kala Ibu
ingin kembali mendekat pada-Nya, Allah membuat Ibu mampu berdiri tegar dan melangkah
meninggalkan Ayahmu yang sudah mengkhianati kita.

“Bingung aku, Bu …,” mungkin itulah jawabanmu jika Ibu menceritakan langsung padamu,
nduk. Jadi biarlah semua kisah hidup ini Ibu sampaikan melalui rangkaian tulisan yang bisa kau
baca berulang-ulang nanti. Bahkan kau masih bisa membacanya ketika Ibu sudah tiada nanti. Oh
iya Ibu lupa, bukankah kau selalu ucapkan ingin kita hingga mati terus bersama. Menghadap
Allah juga bersama, bahkan kita berjanji saling membela di hari persidangan nanti. Nduk – nduk
… , ada-ada saja kamu, nak. Seumpama semudah itu kita merencanakan semua. Ingat Allah
selalu punya rahasia yang hanya Dia saja yang mengetahuinya. Jangan berdoa yang memaksa
Allah untuk mengikuti inginmu, sayang.

Hidup ini tidak hanya sekedar merasa menang karena kita sudah lebih baik, atau merasa lebih
benar dari yang lain. Hidup ini bukan tentang merasa punya hak untuk membenci dan
mendendam karena kesalahan orang lain pada kita. Sayang, janganlah engkau pernah
menyimpan rasa benci yang terlalu dalam bahkan benci itu berubah menjadi dendam.
Naudzubillahi min dzalik. Jangan ya, nduk. Bukankan kau tahu bahwa dendam itu ibarat api
yang memakan kayu bakar. Dendam yang akan memakan segala amal baik yang sudah kau
kumpulkan dengan susah payah nak. Ikhlaskan!! Tak mudah, memang!! Tapi harus!! Semua
yang terjadi di dunia ini atas ijin Allah nak. Pun pernikahan Ibu, kelahiranmu, dan perceraian ini.
Semua telah Allah tuliskan sebagai takdir terindah yang harus Ibu jalani. Jangan membenci
takdir, nak. Karena dengan itu kau belajar betapa Allah menyayangi kita. Satu hal saja yang
harus kau ingat, catat dan amalkan dalam hidupmu. Ingat untuk selalu melakukan segala hal
karena Allah semata. Selalu arahkan langkah kakimu mendekat pada-Nya. Itu saja, nduk. Maka
apapun yang terjadi dalam hidupmu insha Allah semua atas dasar kasih sayang-Nya.

Jika boleh Ibumu flash back ke masa lalu, betapa Allah sangat luar biasa menyayangi hamba-
Nya dengan cara yang begitu indah. Terkadang Allah beri ujian, supaya kita kembali mendekat
pada-Nya. Dunia terlalu menyilaukan memang sayang. Penuh tipuan yang sangat-sangat halus.
Hingga tak jarang kita terperdaya dan jatuh pada kubangan hina menjadi penghamba dunia.
Teruslah senandungkan zikir dan doa memohon keselamatan pada Allah, nak. Supaya
langkahmu tetap terjaga di jalan menuju-Nya.

Nduk, tak akan pernah ada manusia sempurna di belahan bumi manapun nak. Carilah dan
bertemanlah dengan mereka yang sama-sama sedang melangkah menuju Allah. Karena dengan
begitu kalian akan saling menjaga dan mengingatkan kala setan menghembuskan bisikan dan
godaannya padamu.

Teruslah menjadi putriku yang tangguh dan tegar demi Allah dan Rasulullah nak. Jangan hanya
sekedar setegar batu karang, karena hempasan air laut akan mengikisnya. Jangan hanya setegar
bulan atapun matahari yang bisa tenggelam bergantian karena putaran waktu. Tancapkan
pancang keimanan sedalam mungkin dalam hatimu nak. Agar tak gentar ketika masalah
menyerangmu, tak getir ketika pahit hidup menyapamu, tak kalut ketika sedih menemanimu, tak
lelah dan tak menyerah ketika agama memanggilmu.

Anakku, terima kasih untuk hadirmu yang selalu setia untuk Ibu nak. Sungguh Ibu banyak
belajar darimu. Terima kasih sudah membantu Ibu melewati semua. Hingga pada akhirnya Ibu
bisa berdiri lagi dan merasakan senyuman yang sebenarnya. Tak ada lagi air mata tertumpah sia-
sia. Bahkan ketika merangkai aksara demi aksara dalam surat ini, tak ada lagi tetes air mata
untuk masa lalu. Ibu benar-benar bisa merasakan bahagia.

Tak perlu kata mendayu rayu untuk menyampaikan pesan hidup ini nak. Karena setiap saat kita
berpacu dengan maut yang selalu siap datang menjemput. Tanpa kata, tanpa ijin, tanpa bicara.

Hidup ini penuh episode sayangku. Jika dulu mendung selalu menggelayut, hingga hujan deras
dan badai menerpa. Lantas pelangi itu muncul mengindahkan hidup kita. Tetapi sekarang
lihatlah, pelangi itupun mulai senja dan memudar, tanda sebentar lagi matahari akan membuat
terang dengan cahayanya yang cemerlang.
Tersenyumlah nak, semangatlah, melangkahlah. Simpan iman dalam hati titian nadimu, genggam
erat takwa dalam tanganmu, sempurnakan semua dengan amalanmu. Senandungkan doa agar
Allah mempertemukan kita kelak di hari kebangkitan dan kemudia di kehidupan yang kekal.

Waktu semakin mengikis usia kita berdua, nak. Jatah hidup sedetik demi sedetik semakin
berkurang. Berpaculah dengannya. Jangan biarkan rasa sakit, sedih, luka yang sudah terlewat
menggilas kita. Kasih sayang Ibu tak akan pernah berhenti untukmu begitupun juga deraian doa
yang semoga mampu mengetuk pintu langit-Nya. Supaya berkenan dia menyediakan tempat di
surga kelak untuk kita. Aamiin yaa mujib …

Sudah ya, nak. Simpan nasihat hidup ini selamanya. Kelak ketika Ibu tak lagi ada di sampingmu,
kau masih bisa membacanya untuk menguatkan langkahmu. Ingat, kau adalah anak luar biasa
untukku, anugerah terindah dalam hidup Ibu. Jangan lagi menggugat takdir. Karena semua ini
indah untukmu, untuk kita. Patuhlah pada Dia yang sudah memberimu hidup. Semangatlah
selalu pelita hidupku, dan jadilah penerang bagi sekitarmu, seperti namamu CAHYA.

Dari wanita yang bersyukur tanpa henti memilikimu,

IBU

***

Profil Penulis

Ayu Damayanti adalah seorang ibu rumah tangga dengan (masih) satu putri usia 10
tahun dari pernikahan pertamanya. Disela waktunya Ayu juga mengelola sebuah
bimbingan belajar Bimba Rainbow Kids dan Cerdas Mandiri, bekerja paruh waktu
sebagai tim akademik PAUD di PKBM Generasi Juara, serta mengelola sebuah
toko online Cahya Edu Store. Menulis adalah salah satu cara Beliau untuk mengurai
banyak sekali luka di masa lalunya. Dan tulisan ini adalah karya keempat bersama
dengan RAI.

Anda mungkin juga menyukai