Anda di halaman 1dari 6

Anakku,

Bagaimana kabarmu, apakah kamu baik-baik saja? Di rumah, ibumu juga sehat.

Sekarang ini aku sedang memandangi cermin dan fotomu. Tiba-tiba aku menjadi sadar

bahwa aku sudah mulai tua. Kerut merut di wajahku sudah semakin banyak dan aku

tidak cekatan lagi seperti dulu. Aku sering iri padamu yang selalu ceria, riang, aktif dan

penuh dinamika. Akupun pernah mengalami seperti itu dulu.

Anakku,

ketika menikah dengan ayahmu, aku tidak pernah membayangkan akan mempunyai

anak seperti kamu. Sungguh, aku bangga padamu. Setelah engkau besar kini, aku baru

sadar betapa kecilnya aku ini, betapa tidak berartinya aku. Engkau lahir dan tumbuh

semata-mata karena mukjizat dan rahmat Tuhan belaka.

Tak kuingkari memang akulah yang mengandungmu selama sembilan bulan. Saat itu

aku selalu gelisah menanti kelahiranmu. Aku selalu menjaga diriku agar bayi di perutku,

yaitu kamu, sehat. Dengan susah payah dan sakit kulahirkan engkau. Aku termasuk

beruntung karena tidak harus meninggal untuk melahirkanmu. Aku sampai menitikkan

air mata bahagia saat mendengar tangis pertamamu yang lucu.


Engkau ini darah dan dagingku sendiri; engkau tumbuh dari bagian tubuhku namun

engkau lahir keluar sebagai manusia yang baru sama sekali. Dalam beberapa hal kamu

memang mirip aku tetapi selebihnya engkau sungguh baru.

Sejak kecil kurawat engkau dengan sangat hati-hati dan penuh kasih; engkau lebih

kuperhatikan dari pada apapun yang pernah kumiliki. Kusuapi dan kususui engkau

dengan air yang mengalir dari dadaku sendiri. Bila engkau menangis kugendong dan

kuhibur. Kuberi engkau pakaian dan sepatu dan topi yang cocok untukmu. Tak lupa

kubelikan juga mainan yang kau gemari; mobil-mobilan atau boneka-boneka yang

lucu. Engkau masih ingat masa kecilmu, kan?

Setiap pagi dan sore kumandikan engkau. Bila kau ngompol atau e’ek di celana atau di

popok, dengan sabar kubersihkan dan kuganti dengan yang baru.

Paling sedihlah aku, bila kamu sakit. Memang engkau waktu itu hanya makhluk kecil

yang tidak berdaya, yang bisa saja kubuang ke kotak sampah atau ke selokan kalau aku

mau. Tapi aku cinta padamu, engkau bagian dari hidupku sendiri. Maka kurawat engkau

sungguh-sungguh, kubawa engkau ke dokter, kuusahakan agar kau mendapat

vaksinasi dan makanan bergizi.

Anakku,

pada waktu masih kecil dulu, kamu sering rewel, ngambeg bila tidak diberi uang jajan,

atau sulit bila disuruh mandi. Kau ingat betapa manjanya kamu. Setiap kali kau lari ke

pangkuanku bila engkau bertengkar dengan kakakmu, bila dimarahi ayah, atau bila
dinakali teman-temanmu. Aku menjadi saksi untuk masa kecilmu yang manja, sehingga

aku tak sempat lagi mengurus diri atau pergi sesuka hati.

Kini engkau sudah dewasa,

aku bangga padamu, engkau harapanku. Namun aku sering sedih melihat kelakuanmu;

kala engkau bermalas-malasan untuk bangun, kala bermain seharian tak tahu waktu.

Hampir-hampir aku menangis bila kuingat betapa sulitnya menyuruhmu belajar,

mengerjakan PR, atau mengingatkanmu untuk tidak membolos. Sepertinya kau tidak

tahu bahwa ini semua demi kamu sendiri. Sungguh aku tidak bermaksud mau

menyengsarakanmu dengan aturan-aturanku. Aku ingin engkau bahagia, bisa hidup

pantas di tengah-tengah dunia yang penuh dengan persaingan ini. Kamu harus pandai

supaya tidak mati tertelan jamanmu nanti.

Anakku,

betapa sedihnya aku, ketika aku kau tuduh orang tua kolot, orang tua yang tidak

mengikuti jaman, atau orang tua kampungan. Aku ingin dipahami bahwa kalau kusuruh

kau bergaul tidak sembarangan, berpakaian yang pantas dan mau menghargai orang

lain, adalah sungguh-sungguh supaya kamu menjadi manusia yang bermoral, bukan

begajulan yang menghancurkan hidupnya dengan mau hidup sebebas-bebasnya.

Kau lihat betapa banyak teman sebayamu yang sudah harus berhenti sekolah untuk

mengasuh anak, betapa banyak teman seusiamu jatuh pada obat bius dan pornografi.

Anakku, aku tahu engkaupun tidak ingin menjadi seperti itu.


Sungguh kalau aku keras dalam hal ini karena aku tahu betapa halusnya bujukan setan

dan betapa beratnya hidup yang tidak tegas terhadap yang jahat. Aku ingin kau pun

memahami itu. Hatiku akan hancur bila sikapmu selalu melawan aku, bila kau selalu

menganggap dirimu benar sendiri.

Setiap malam aku berdoa untukmu, tak sekejap pun engkau hilang dari hidupku. Bila

aku sedang memasak di dapur, yang kubayangkan adalah kepuasan makanmu dan

juga kesehatan tubuhmu. Bila aku ikut membantu bekerja, yang kuinginkan engkau

tidak terhambat karena biaya. Bila kubenahi kamarmu yang selalu berantakan yang

kuinginkan agar kau krasan di rumah. Bila kubelikan kau baju-baju yang modis, aku

ingin kau tidak malu pada teman-temanmu. Dan bila aku merawat kesehatan tubuhku

sendiri, aku hanya ingin agar aku dapat lebih lama lagi mendampingi dan menyerahkan

hidup kepadamu.

Sekarang ini kamu sudah dewasa, banyak hal sudah dapat kau lakukan sendiri. Lambat

laun akan terasa bahwa hidupmu memang menjadi tanggung jawabmu sendiri; tidak

ada seorangpun yang dapat menggantikannya termasuk ibumu ini. Mohon jangan

kecewakan aku dengan sikap keras kepalamu yang kekanak-kanakkan itu. Aku tidak

cemburu kalau kamu sekarang sudah melebihi aku dalam segalanya. Aku malah

bangga karena Tuhan sudah berkenan membiarkan aku ikut menyaksikan

pembentukkan hidupmu. Seperti sebatang lilin, hidupku sudah meleleh habis… dan

sebentar lagi pasti akan padam… untuk menerangi hidupmu, anakku. Kini engkau

sendiri sudah mulai menyala, lebih terang dari yang kupunya.


Anakku,

kalau engkau memang sulit menerima aku yang sering rewel, kolot atau lamban ini,

aku mohon paling tidak kamu mau menghormati ayahmu. Sepanjang hari setiap hari

selama bertahun-tahun dia bekerja keras untukmu, hingga tubuhnya lemah, hingga

kulitnya kerut merut tertimpa banyak penderitaan. Cintanya padamu membuatnya

tidak malu untuk bekerja di tempat-tempat yang kotor, membuatnya tahan duduk

berjam-jam menangani tugas-tugas yang membosankan, dan membuatnya setia

menjagai kita semua.

Dia juga hanya ingin agar kita ini berbahagia. Anakku, jangan sia-siakan cintanya.

Jarang sekali dia mengeluh kala menghadapi beratnya beban kehidupan, tugas-tugas

berat dan tuntutan anak-anaknya. Di hadapan kita, dia selalu tersenyum dan tertawa

gembira. Kadang-kadang aku merasa kasihan kepadanya kalau dia tidak bisa pulang

seharian, kalau tubuhnya yang sudah kecapaian itu harus dipaksa untuk bekerja lagi.

Saya sendiri sering merasa bersalah karena rasanya hanya memperlakukan ayah seperti

kuda beban atau sapi perahan. Kita bisa beli ini itu, bisa pergi ke sana kemari atau

bermain-main dengan santai di rumah, sementara itu dia hanya puas dengan secangkir

kopi dan baju yang itu itu saja, dia juga tidak mempunyai banyak waktu untuk

bersantai-santai seperti kita. Sungguh anakku, aku mohon hormatilah ayahmu.

Akhirnya,

sebagai orang tuamu aku minta maaf kalau selama ini aku kadang-kadang egois,

menuntut terlalu berlebihan, kolot dan keras terhadapmu. Maafkan aku bila aku kurang
mengerti kebutuhan-kebutuhan dan dunia mudamu. Kadang aku masih

menganggapmu seperti anak-anak yang harus kuatur segalanya agar tidak keliru.

Maafkan aku anakku, yang membuat banyak kesalahan atau malah

menyengsarakanmu, yang tidak dapat mencintai dengan cara yang cocok dengan

keinginanmu. Kata maaf darimu adalah hadiah yang paling kutunggu.

Anakku,

aku sudah kangen kamu. Ingin rasanya kubisikkan aku sayang kamu. Hanya peluk

ciumku untukmu.

ibumu

Anda mungkin juga menyukai