Anda di halaman 1dari 68

Baca Buku Ini

Saat Kamu

Lagi Ngopi.

-p.s
Perlukah merasakan sakit?

Suatu hari aku dan teman sekelompokku dalam suatu mata kuliah,

melakukan presentasi. Kami bekerja keras untuk menyelesaikan tugas yang

diberikan. Walaupun memang takaran usaha keras setiap orang pasti berbeda. Tapi

di etika kehidupan sosial, menghargai kerja keras orang lain itu wajib. Setelah

presentasi, alih-alih mendapat penghargaan untuk kerja keras kami, kami malah

dianggap bercanda dan tidak serius dalam mengerjakan tugas. Dosen pengajar

menganggap ide kami konyol, dan analisis kami seperti analisis anak SMP. Tapi

yang ingin kubicarakan adalah, anehnya ketika mendengar semua kritikan itu aku

tidak merasa sakit hati atau terbebani sedikitpun. Normalnya, teman-temanku akan

marah dan menganggap itu tidak adil. Karena sudah sepantasnya yang namanya ide

dan analisis tidak boleh dihakimi begitu rendahnya. Berbeda, aku malah tertawa

saat mendengar Dosen itu berkata bahwa ide kami konyol. Aku masih terus tertawa

satu jam kemudian ketika tanpa sadar aku terus mengulang-ulang kata “konyol”.

Ah, rasanya kata konyol terdengar konyol juga.

Selama ini aku hidup dengan membangun benteng antara diriku dan dunia

luar. Aku terus mempelajari diriku sendiri agar tidak mudah terpengaruh oleh

apapun yang berasal dari luar diriku. Maka ketika aku mendapat ejekan sekalipun,

aku masih bisa bahagia dengan diriku sendiri. Tidak peduli seberapa banyak hal

dari luar diriku yang mencoba masuk, aku terus fokus pada keadaan yang ada di

dalam diriku sendiri. Itulah kenapa kritikan Dosenku waktu itu tidak dapat

membuatku sakit hati. Awalnya, kupikir itu adalah hal yang bagus. Tapi rasanya
ada yang aneh juga ketika kita tidak bisa merasakan sakit hati.

Saat melihat jungkat-jungkit, aku bertanya-tanya kenapa anak-anak begitu

terlihat bahagia saat naik-turun memainkannya. Mungkin sama halnya dengan

diriku, sesekali berada di bawah setelah beberapa kali di atas memang perlu. Karena

memang hal-hal kecil akan menjadi kebahagiaan besar ketika kita dalam keadaan

sakit. Jadi kupikir, sah-sah saja menerima rasa sakit. Membentengi diri dari dunia

luar memang perlu, tapi beberapa hal sah-sah saja untuk diperbolehkan masuk.

Karena rasa sakit dari luar juga dibutuhkan agar jungkat-jungkit dalam hidup kita

bisa dimainkan. Juga, apabila kamu hanya fokus pada apa yang ada dalam dirimu,

saat kamu bahkan tidak lagi bisa memotivasi dirimu sendiri, tidak ada lagi yang

bisa menyelamatkanmu.
Jadi, ternyata kita juga butuh merasa engga baik-baik saja untuk bisa terus

baik-baik saja. Beberapa hal memang terkesan konyol, tapi nyatanya kita juga perlu

gila untuk menjaga hidup yang waras.


Belajar menerima masakan ibu

Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku ini biasa-biasa saja dan memang

aku ini ya biasa-biasa saja. Kalau mau fokus membandingkan entitas positif dan

negatif yang ada di diriku, aku jelas tidak bisa berdiri tegak seperti Dewi Themis.

Aku mungkin akan terhuyung ketika berjalan di jalanan. Jadi alih-alih

membandingkan yang positif dan negatif dari diriku, aku lebih fokus menghargai

yang positif dari diriku dan menerima yang negatifnya.

Tapi hal ini membuatku larut dalam diriku sendiri. Aku jadi kelewat santai

dalam menjalani hidup. Rasa legowo menerima diri kita apa adanya membuat kita

memaklumi hal-hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan. Ya, memang kita ini

begini adanya. Tapi kalau begini-begini terus hidup kita juga jadi membosankan.

Sama seperti saat kamu menerima masakan ibumu dan memujinya enak, lalu dua

minggu ke depan ibumu hanya masak makanan yang itu-itu saja. Kamu menerima

bahwa memang kamu bisa makan masakan itu. Tapi sejatinya, kamu tidak terima

bahwa ibumu hanya masak makanan yang itu-itu saja. Menerima diri sendiri dan

orang lain nyatanya saling berhubungan untuk membentuk keharmonisan dalam

dirimu. Agar kamu benar-benar bisa menerima bahwa kamu bisa makan masakan

yang itu-itu saja dan ibumu yang hanya masak makanan itu saja. Sehingga kamu

bisa makan dengan harmonis.


Kita lebih fokus menerima diri kita sendiri. Bahwa tidak apa-apa kalau kita

biasa-biasa saja. Tapi kita lupa bahwa kita juga perlu menerima orang lain. Bahwa

tidak apa-apa kalau mereka biasa-biasa saja.


Berkenalan dengan yang namanya hidup

Aku suka mengunggah kata-kata yang kuanggap bijak ke Instagram. Suatu

waktu aku mengunggah kata-kata seperti biasanya, lalu salah satu pengikutku

mengirimiku direct message yang mengucapkan rasa syukurnya karena kata-kata

bijak seperti itu diunggah secara gratis. Lalu aku mengatakan bahwa sah-sah saja,

karena hidup ini juga gratis kok. Beberapa menit kemudian dia mengatakan bahwa

hidup tetap saja ada timbal baliknya, yaitu menjalankan tugas-tugas manusia.

Sejak percakapan itu aku mulai bertanya-tanya, bukankah hidup diberikan

secara gratis tapi kenapa untuk menjalani kehidupan itu terasa mahal sekali?

Sekadar untuk menjalani satu hari saja tak terhitung berapa penat yang kita rasa.

Ditambah dengan stress, sakit hati, dan lain-lainnya. Orang-orang yang menjalani

kehidupan dengan mahal, bangun saat langit masih merah dan tidur saat langit

sudah merah lagi. Mereka bekerja keras walaupun dilindas rutinitas. Namun di

samping itu, ternyata beberapa orang malah menjalani kehidupan dengan sangat

murah. Alih-alih stress dan penat dengan rutinitas hidup, mereka bersantai dan

menerima apa-apa yang diberikan hidup.


Ada yang namanya hidup. Kamu bisa memilih yang gratisan atau upgrade

ke yang langganan. Kalau gratisan, ya sudah kamu tinggal bersantai dan menerima

apa-apa yang diberikan hidup. Kalau mau langganan, kamu harus bekerja keras

untuk membeli hidup. Beruntungnya, ada banyak pilihan hidup yang bisa kamu

beli. Sah-sah saja kamu mau hidup gratisan atau langganan. Tapi biasanya sih

banyak feature yang hanya ada di langganan.


Hal yang dianggap kecil

Aku menjalani hari-hariku dengan biasa saja. Aku bukan orang yang rajin

di semua hal. Tidak ada hal besar yang bisa kulakukan. Terkadang untuk

menyelesaikan satu tugas rumah saja, mencuci piring misalnya, aku tidak bisa. Tapi

setiap malam, sesaat sebelum tidur, aku merasakan ada rasa bangga dalam diriku.

Aku bangga dengan diriku yang bisa melewati hari ini. Aku merasa hebat telah

melewati hari ini. Aku berterima kasih pada diriku sendiri yang bisa bertahan

sampai hari ini berakhir. Dan aku harap, aku bisa memulai hari esok lagi dengan

lebih baik.

Kupikir membanggakan diri sendiri karena telah melakukan hal-hal kecil

yang biasa-biasa saja juga perlu untuk menjaga kehidupan kita tetap waras. Untuk

menjaga diri kita tetap berbentuk walaupun nyatanya sedang dilindas berkali-kali.

Rasa terima kasih terhadap diri sendiri untuk hal-hal kecil juga ternyata bisa jadi

penghibur diri sendiri.


Kebahagiaan dari sudut pandang lain

Aku lahir dan tumbuh di lingkungan ekonomi yang pas-pasan, bahkan

kadang kekurangan. Rasa lapar sudah seperti sahabat karib. Rasa ikhlas untuk tidak

menggunakan pakaian bermerk, tidak makan makanan mahal, dan tidak liburan

kemanapun yang dimau itu sudah diajarkan sejak aku kecil. Bahwa ayahmu tidak

ada uang, jangan kamu minta ini dan itu.

Bagi orang-orang sepertiku, kebahagiaan yang ideal adalah bisa bersekolah

tinggi, mendapat beasiswa, mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan pemasukan

yang stabil. Orang-orang sepertiku menganggap kebahagiaan yang ideal itu sesuatu

yang berkaitan dengan kecukupan secara ekonomi. Sah-sah saja memiliki konsep

kebahagiaan seperti itu. Karena nyatanya sejak kami lahir, sebagian besar

kesusahan hidup disebabkan oleh lilitan garis kemiskinan. Namun pada suatu

waktu, aku terbangun di pagi hari dengan sebuah pertanyaan : Bagaimana jika kamu

melihat kebahagiaan dari sudut pandang yang lain? Karena aku masih akrab dengan

kekurangan di segi ekonomi, maka aku belum bisa melihat kebahagiaan dari sudut

pandang orang yang berkecukupan secara ekonomi.

Di lain waktu, aku menjalani hari yang begitu sibuk. Setelah mengerjakan

ini dan itu di siang hari, aku duduk bercengkrama dengan kedua orang tuaku di

malam harinya. Setalah membicarakan beberapa hal yang biasa-biasa saja, aku

berbaring di tempat tidurku. Rasanya sangat nyaman dan tenang.


Sesekali kita juga perlu melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain.

Karena ternyata ada hal-hal membahagiakan yang bisa kita temukan hanya jika kita

merubah sudut pandang kita. Memiliki kedua orang tua yang utuh, memiliki waktu

untuk beristirahat, juga salah satu kebahagiaan yang ideal.


Ternyata yang menghina itu hina

Waktu itu aku masih berumur 10 tahun. Di suatu sore yang cerah, aku

sedang bermain bersama seorang teman di depan rumahku. Lalu lewatlah ibu dari

temanku yang lain sambil menghinaku. Dia berkata bahwa seharusnya aku harus

bisa ngaca kalau aku ini anak miskin, tidak usah besar kepala. Aku meneteskan

air mata mendengar hinaan itu dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Itu adalah

hinaan pertamaku dan aku bahkan tidak tahu kenapa dia menghinaku.

Keesokan harinya, aku baru tahu kalau anak dari ibu itu tengah

memusuhiku. Entah karena waktu itu temannya lebih memilih berteman denganku

atau karena guru kami lebih memilihku untuk tampil menari di acara pringatan Hari

Pendidikan Nasional. Sejujurnya, harusnya aku yang lebih berhak merasa iri

dengan kehidupannya. Kalau boleh dibandingkan, dia memang hidup jauh lebih

berkecukupan dariku. Namun setelah beberapa tahun berlalu, ternyata roda

kehidupan memang berputar. Jika boleh, sebenarnya sekarang ini ada hal-hal yang

bisa kuhina darinya. Namun, aku selalu menahan diri.

Aku menyimpan hinaan itu sendirian selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya aku

sudah tidak lagi merasa sakit hati dengan penghinaan itu. Tapi kenangan itu akan

selalu menjadi bagian dari hidupku. Aku sadar setiap orang akan mengalami

penghinaan pertamanya, bisa jadi di usia yang masih kecil atau mungkin saat mulai

dewasa. Kamu mungkin merasa sedih, marah, bahkan kecewa saat mendengar

hinaan dari orang lain. Itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai emosimu terus
menggerogoti dirimu. Kamu harus bisa memaafkan mereka yang bahkan tidak

meminta maafmu. Bukan karena mereka berhak, tapi justru kamulah yang berhak

hidup dengan damai. Secara tidak langsung, mereka yang menghinamu itu sedang

merefleksikan dirinya sendiri. Karena apa yang keluar dari seseorang adalah apa

yang memang ada dalam diri seseorang itu sendiri.

Jadi, maafkanlah orang-orang yang menghinamu. Tapi bagaimanapun

juga, memaafkan tidak sama dengan melupakan. Karena menerima penghinaan

juga pengalaman yang berharga. Mengajarimu bahwa memang yang dirinya hina

akan menghina orang lain.


Aku ingin mencintaimu

Waktu untuk dua insan menjalin hubungan asmara yang ideal menurutku

adalah berapapun asal bisa dibilang lama. Aku ingin mencintai seseorang dengan

lama. Aku ingin mencintai seseorang yang perhatian, yang baik hati, yang

memperlakukanku dengan hati-hati, seseorang yang berbicara dengan lembut.

Sejujurnya jika kutulis semua kriteria pasangan yang ideal menurutku, maka

seluruh lembar buku ini akan penuh olehnya. Namun singkatnya, aku ingin

mencintai seseorang yang bisa mencintaiku dengan cara yang kuinginkan. Sah-

sah saja jika ingin seperti itu. Tapi kenyataannya, tidak ada seorang pun yang bisa

mencintaimu dengan cara seperti yang kamu inginkan. Maka kamu bisa tinggal,

boleh juga pergi.


Tapi aku harap alih-alih fokus mencocokan cinta orang lain dengan

keinginan kita, kita lebih bisa menerima cinta yang diberikan apa adanya.
Usia dua puluhan ngapain aja?

Saat aku masih berusia belasan tahun, aku banyak melihat orang-orang di

usia dua puluhan yang hidup dengan kaku. Mereka seperti sudah disetel untuk

hanya melakukan ini dan itu, tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal

lain seperti bermain kelereng, lompat tali, atau bermain bola bekel. Di lingkungan

tempat aku dibesarkan, laki-laki yang sudah memasuki usia dua puluhan seperti

diharuskan sudah berpenghasilan tetap, sedangkan perempuannya seperti

diharuskan sudah memiliki calon pasangan. Di lingkungan tempat aku menimba

ilmu, di usia dua puluhan laki-laki dan perempuannya sama-sama diharuskan sudah

memiliki rencana masa depan yang matang, pekerjaan yang diinginkan misalnya.

Kalau pun sudah tau pekerjaan yang diinginkan, mereka juga harus sudah tau

perusahaan mana yang akan ditargetkan, juga jenjang karir seperti apa yang

diinginkan. Melihat semua itu, aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa

ketika sudah usia dua puluhan, jangan menjalani hidup yang kaku.

Saat aku memasuki tahun pertama usia dua puluhan, aku melihat teman-

teman seusiaku yang sudah bekerja, menikah, dan merubah penampilannya menjadi

lebih menarik. Awalnya, aku bodo amat dengan semua itu. Tapi ketika aku akan

memasuki tahun kedua usia dua puluhan, rasa cemas menghantuiku. Rasanya aku

seperti sedang berdiam diri di tengah orang-orang yang berlari mengejar impiannya.

Orang-orang seperti sudah menemukan jalannya masing-masing, sedang aku

masih berdiri saja, bingung. Orang-orang seperti sedang menulis kisah-kisah besar

di kehidupannya, sedang aku masih tak bergerak, linglung. Aku tak menyangka di
awal usia dua puluhan, aku sudah seperti mati terbakar rasa cemasku sendiri.
Orang-orang bilang usia dua puluhan adalah waktu dimana kita mengalami

krisis dalam hidup kita. Semua orang mengalaminya. Ada yang selamat dan

melanjutkan hidup, ada yang menyerah dan terseret hidup. Sah-sah saja kamu

merasa cemas melihat teman-temanmu yang sudah melangkah maju sedang kamu

masih rebahan, melihat teman-temanmu yang sudah memakai pakaian bermerk

sedang kamu masih koloran, melihat teman-temanmu sudah memiliki pekerjaan

impian sedang kamu belum. Sah-sah saja. Tapi sebenarnya siapa yang bilang di

usia dua puluhan kamu sudah harus mengejar cita-citamu? Sudah harus bekerja?

Sudah harus menikah? Sudah harus memakai pakaian bermerk? Usia dua puluhan

hanya angka. Sebenarnya kamu tidak perlu cemas membandingkan kehidupan dua

puluhanmu dengan yang lainnya. Karena langit memberikan waktu yang tepat

untuk setiap manusia. Kamu boleh memiliki cita-cita di usia 40 tahun. Kamu boleh

menikah di usia 30 tahun. Kamu boleh memakai sweater dan celana kolor saat

nongkrong dengan teman-temanmu.

Memang apa salahnya?


Membuat keputusan yang keliru

Saat masih sekolah, orang-orang bilang aku anak pintar. Aku mendapat

peringkat di kelas dan sering mengikuti lomba. Jika boleh pamer, masa-masa

sekolahku sudah seperti masa emasku. Saat aku akan memasuki sekolah menengah,

aku membuat keputusan besar. Aku masuk sekolah menengah dan mengambil

jurusan yang berkaitan dengan teknologi informasi. Padahal, itu adalah hal yang

sangat baru bagiku yang memiliki cita-cita sebagai penulis. Namun saat di sekolah

menengah, orang-orang juga masih menganggapku pintar. Akupun selalu

mendapat peringkat di kelas. Maka waktu itu aku percaya bahwa aku kompeten.

Karena itu kupikir aku akan menjalani kehidupan perkuliahan yang lancar-lancar

saja.

Ternyata di masa-masa kuliahku, kemampuanku semakin menurun. Aku

yang sedari kecil tumbuh dengan label “pintar” tentu merasa tidak terima jika

sekarang harus mendapat label “bodoh”. Maka aku sering bertanya pada diriku

sendiri, sebenarnya kenapa kemampuanku bisa menurun. Kupikir itu semua karena

aku tidak tahu arah kemampuanku. Apakah harus di bidang teknologi informasi,

seni , atau yang lainnya. Seiring berjalannya waktu aku teringat kembali dengan

kegemaranku dulu yaitu menulis. Sejak dulu memang aku ingin sekali jadi penulis,

tapi entah sejak kapan cita-cita itu terlupakan.


Keputusanku untuk masuk dunia teknologi informasi bisa dibilang keliru.

Aku yang waktu itu belum tahu akan seperti apa medannya, dan bahkan tidak tahu

apa yang kumiliki untuk melewatinya, memutuskan untuk masuk di dunia

teknologi informsi. Itu adalah keputusan yang keliru. Dan kenyataan bahwa aku

menjalani keputusan itu dengan membiarkan kemampuanku menurun begitu saja

juga adalah hal yang keliru.

Kamu boleh membuat keputusan yang keliru, tapi

kamu harus menjalani keputusan itu dengan tepat.


Mencoba jadi pendengar yang baik

Teman-temanku suka curhat denganku. Entah itu tentang kehidupan,

percintaan, atau persoalan lainnya. Aku lebih suka mendengarkan cerita mereka

dengan memosisikan diriku sebagai mereka. Agar setidaknya, aku bisa memberi

beberapa kata penyemangat untuk mereka. Akupun berusaha sebisa mungkin untuk

tidak mencela ceritanya dengan ceritaku dan tidak membanding-bandingkan

ceritanya dengan ceritaku. Lalu suatu waktu, aku benar-benar ingin bercerita

tentang suatu persoalan. Maka aku memutuskan untuk bercerita dengan salah

seorang teman yang ceritanya suka kudengar dengan saksama. Tapi ketika aku

bercerita, ternyata aku tidak didengar dengan saksama. Aku marah dan kecewa.

Aku seperti menyesal telah mendengar ceritanya dengan saksama selama ini. Itu

sah-sah saja.

Sekarang ini, kemampuan mendengar sangat diperlukan. Banyak orang-

orang menyerukan untuk bisa menjadi pendengar yang baik. Ya, aku setuju.

Ketika kita mendengarkan cerita seseorang, sudah sepatutnya kita tidak mencela

ceritanya dengan cerita kita sendiri. Orang-orang yang belajar menjadi seorang

pendengar yang baik, akan belajar untuk memahami apa yang dibicarakan,

mengamati dengan saksama, dan tidak menunggu gilirannya untuk mencela

pembicaraan. Namun tidak hanya itu, untuk menjadi pendengar yang baik kita juga

harus paham bahwa mendengarkan cerita seseorang dengan saksama tidak

menjamin cerita kita didengar dengan saksama juga. Ketika kita sudah paham hal

tersebut, maka kita bisa benar-benar mendengarkan cerita orang lain tanpa pamrih.
Memperhatikan diri sendiri

Suatu hari aku memesan makanan lewat layanan pesan-antar makanan

online. Aku sudah menuliskan alamatku dengan tepat dan sesuai. Namun si

pengantar makanan kebingungan mencari alamatku padahal kami sudah berada

dalam jarak beberapa meter saja. Hal itu memakan waktu sekitar 15 menit untuk

akhirnya si pengantar makanan menemukan alamatku. Saat melihat si pengantar

makanan itu aku merasa sungguh bersalah karena telah memberinya kesulitan.

Sambil menyerahkan makanan pesananku, dia meminta maaf karena telah

membuatku menunggu lama. Lalu aku mengatakan bahwa harusnya aku yang

meminta maaf karena telah merepotkannya dan memberinya kesulitan.

Awalnya kupikir hal yang kulakukan sudah benar. Tapi fakta bahwa aku

telah menuliskan alamat dengan sesuai, namun aku merasa bersalah karena telah

menyulitkan si pengantar makanan saat mengantarkan makananku membuatku

merasa aneh. Mungkin ini karena aku terlalu memperhatikan orang lain dan

kurang perhatian pada diri sendiri. Sah-sah saja. Tapi seperti kebanyakan orang

sekarang ini, aku jadi terlalu engga enakan sama orang lain, dan seenaknya sama

diri sendiri. Maksudku, kamu juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Bahkan,

perlu memperhatikan diri sendiri sebelum orang lain. Jangan menyalahkan diri

sendiri atas kesulitan orang lain yang memang sudah bagian dari takdir.
Aku ini orang yang santai

Seperti kebanyakan orang, aku tumbuh dengan memendam luka hidup

sendirian. Ada banyak hal yang tidak bisa kuungkapkan. Karena seberapa hancur

hidupku pun, ketika diceritakan hanya akan terdengar seperti basa-basi obrolan.

Maka sejak saat itu, sudah kuputuskan untuk meninggalkan hatiku jauh entah

dimana. Agar apa-apa yang terjadi dalam hidup, aku masih bisa terlihat santai.

Suatu hari aku berjalan dengan beban yang begitu berat. Lucunya, beberapa orang

yang melihat dengan santai berkata “Kamu kok jadi orang santai banget sih?”

Beberapa yang lain juga berkata “Kamu mah engga bakal bisa stress.” Sejujurnya

aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Aku tak sempat menjawab pertanyaan

mereka, juga tak sempat membantah pernyataan mereka. Suaraku sibuk

mengatakan “Engga apa-apa! Kita pernah ngelewatin yang lebih buruk dari ini.”
Terkadang orang yang terlihat paling santai, bukan berarti tidak memikirkan

atau menyepelekan apa yang terjadi. Boleh jadi ia pernah mengalami yang terburuk.

Sehingga apa-apa yang terjadi sekarang, sudah seperti basa-basi obrolan.


Menyalakkan tanda

Suatu waktu aku menangis sedu, di lain waktu aku tertawa terbahak-bahak.

Semuanya, terjadi tanpa alasan yang jelas. Ada banyak pertanyaan di kepalaku.

Pikiran dan hatiku sibuk berdebat tentang jawabannya. Lalu ketika aku merasa

sudah menyerah dengan jawaban-jawaban yang tak bisa menjawab pertanyaan-

pertanyaanku, aku memutuskan untuk meminta bantuan. Untungnya, ada salah satu

temanku yang mendengarkan. Satu per satu keluhan kulontarkan. Lalu kami

berbagi keluh kesah. Saat itu aku sadar bahwa, ah ternyata dia juga mengalami hal

yang sama. Nyatanya, setiap orang punya kesulitannya masing-masing.


Kita semua berada di satu terowongan gelap yang sama. Kita berjalan

melewatinya seakan-akan kita sendirian. Padahal, jika kita mau menyalakan senter,

kita bisa melihat orang lain yang berjalan di samping kita. Jadi, alih-alih merasa

sendirian dalam melewati sebuah kesulitan, nyalakanlah sentermu dan lihatlah

orang-orang yang melalui hal yang sama denganmu. Di terowongan yang gelap ini,

kita bisa saling menyenteri jalan satu sama lain.


Kamu berhak tidur

Saat aku masih sekolah menengah, aku tinggal di sebuah kos-kosan

bersama temanku. Kami memiliki perbedaan yang lucu mengenai jam tidur. Dia

selalu tidur sebelum jam 10, sedangkan aku selalu tidur di atas jam 10. Sebenarnya

tidak ada hal yang perlu kukerjakan sampai-sampai harus begadang. Hanya saja

waktu itu aku belum paham nikmatnya tidur. Sampai pada suatu waktu, aku tidak

bisa tidur. Bukan karna aku memang tidak mau tidur, tapi ada banyak hal yang

menahanku untuk tidur. Ada banyak tugas kuliah, tugas sebagai manusia, tugas

sebagai anak, tugas sebagai hamba, yang perlu kuselesaikan. Karena itu, ada hari-

hari dimana bahkan ketika aku ketiduran, aku harus bangun dengan menyalahkan

diriku sendiri karena tertidur.

Menjalani kehidupan sebagai seorang dewasa rupanya harus

mengorbankan banyak hal, salah satunya ialah tidur. Ada banyak orang-orang

sepertiku di luaran sana. Mereka tetap terjaga sampai jam dua, bahkan jam tiga.

Ada pekerjaan yang harus diselesaikan, ada pikiran yang harus dirapikan, dan ada

hati yang harus ditenangkan.

Untuk orang-orang yang selalu menghakimi diri sendiri saat ketiduran,

yang terus terjaga sampai pukul tiga, yang walaupun badannya bekerja tapi

pikirannya mengembara, yang hatinya selalu was-was, yang nafasnya tercekik

ekspektasi orang lain, aku hanya ingin bilang bahwa kamu berhak tidur. Istirahat

sejenak dari pekerjaanmu, hentikan pengembaraan pikiranmu, ambil nafasmu

dengan lega, dan dengan hati yang tenang, kamu berhak tidur.
Kita tak lain hanya sekumpulan atom

Sejak kecil sampai sekarang, aku selalu punya teman yang bisa dibilang

sempurna dari banyak hal. Misalnya saja, sudah pintar, baik, kaya, cantik, lagi

menarik. Setiap kali aku melihat temanku yang seperti itu, aku merasa “Ah betapa

kecilnya aku ini.” Tapi setelah dipikir-pikir, kita ini cuma kumpulan atom-atom

saja. Jadi mau kita pintar, kaya, cantik, baik, bahkan dikatakan sempurna

sekalipun, toh kita ini tak lain hanya sekumpulan atom saja.
Apakah orang tak berbakat harus bekerja dua kali lebih keras ?

Suatu hari aku menonton sebuah drama berjudul “Cheese in the trap” lalu

ada kutipan dari pemeran utama wanitanya yang masih membekas di pikiranku

sampai sekarang yaitu “orang-orang yang tak berbakat harus bekerja dua kali lebih

keras dari yang berbakat.” Awalnya aku setuju dengannya, bahwa orang-orang tak

berbakat seperti kita harus bekerja lebih dan lebih keras lagi. Tapi ketika aku

bekerja lebih keras, kata “lebih” ini seperti tidak ada batasannya. Aku jadi

menuntut segalanya menjadi lebih, bahwa aku harus lebih ini dan lebih itu. Tapi

sekeras apapun kita berusaha, yang tidak ditakdirkan untuk kita takkan pernah

terjamah tangan kita. Jadi kupikir tidak peduli kamu berbakat apa tidak, bekerja

keras itu wajib dan engga ada yang namanya bekerja lebih keras. Karena tidak ada

parameter jelas untuk sebuah usaha manusia. Jadi, apapun yang kamu lakukan,

kamu sudah bekerja keras. Jika memang hal itu ditakdirkan untukmu, ia pasti akan

menemukan jalan untuk sampai padamu, kok.


Orang cerewet dan orang tuli

Temanku adalah orang yang cerewet. Dia suka sekali menanyakan

berbagai hal baik secara langsung ataupun melalui grup chat. Tetapi suatu hari dia

berubah menjadi pendiam. Pada suatu diskusi, dia tak berucap sepatah katapun.

Lalu setelah diskusi selesai, temanku yang lainnya berkata “Kenapa kamu diam

saja? Kamu ini apatis sekali.” Saat itu aku jadi paham bahwa orang lain tidak

begitu peduli apa yang kamu bicarakan jika itu tidak menyangkut diri mereka atau

sesuatu yang mereka sukai. Jika kamu menemukan orang-orang yang tidak

berpura-pura tuli saat kamu membicarakan hal yang tidak ada hubungannya sama

sekali dengan mereka, kamu mungkin sedang beruntung, dan pastinya itu langka

sekali.

Orang-orang menjadi tuli saat kamu cerewet tentang hal yang tidak

berhubungan dengan mereka. Lalu mereka mengabaikan perkataanmu. Dan ketika

kamu tak membahas apa yang berkaitan dengan mereka, mereka akan

menganggapmu apatis.
Apakah aku seorang monster ?

Sejak aku mulai bisa berfikir, aku telah memikirkan banyak hal. Sebagian

darinya memang hal-hal tidak penting, sebagiannya lagi adalah hal-hal aneh. Dan

tanpa kusadari,seiring beranjak dewasa pikiranku juga berubah menjadi lebih

besar. Ada saat dimana pikiranku terlalu besar sampai aku tidak bisa berdiri dari

tempat tidur. Semakin hari pikiran-pikiran itu menyatu jadi seperti monster yang

besar. Ia suka membisikkan hal-hal aneh kepadaku seperti “Bagaimana jika hari

ini kita tidur saja? Jika kamu kesulitan tidur, bagaimana jika minum pil tidur saja?”

Karena ia terlalu sering membisikkan hal-hal seperti itu aku jadi percaya bahwa
aku ini seperti apa yang aku pikirkan, bahwa aku juga monster sepertinya. Tapi

saat aku hidup dalam pikiranku sebagai monster, ada hal lain dari diriku yang

selalu menarikku keluar dari lubang hitam ini. Walaupun terkadang ia harus

sampai tertatih-tatih ketika menuntunku keluar dari pusaran kehidupan monster

ini, tapi ia tidak pernah menyerah. Aku berterima kasih padanya. Karenanya, aku

tahu bahwa aku bukanlah monster, aku masih bisa jadi aku yang seutuhnya.

Di dalam dirimu ada kamu, pikiranmu, dan hatimu. Ingatlah ketika muncul

pikiran-pikiran untuk menyakiti dirimu sendiri, muncul kekhawatiran akan masa

depan, dan hal-hal aneh lainnya, itu hanya ada dalam pikiranmu. Jangan biarkan

pikiran-pikiran itu tumbuh menjadi monster yang bisa mengendalikan hidupmu.

Rasakanlah dengan hatimu, bahwa kamu masih ada di sana. Kamu masih hadir

dalam dirimu. Bahwa kamulah yang akan menjalani hidupmu, sebagai manusia.
Cukup pentingkan dirimu saja!

Dalam berkehidupan sosial, aku percaya bahwa tidak melulu menceritakan

kesusahan kita adalah hal yang perlu dilakukan. Karena semua orang juga

merasakannya, maka simpan saja kesusahan itu sendiri. Dan aku juga percaya

bahwa yang harus ditampilkan dalam berkehidupan sosial adalah hal-hal yang

menyangkut khalayak umum saja. Tapi agaknya orang-orang tidak berpikir

demikian. Beberapa orang yang kutemui mencoba memasukan ekspektasi pribadi

mereka dalam berkehidupan sosial. Beberapa lagi menghakimi yang bukan

urusannya. Agaknya orang-orang ini terlalu peduli dengan urusan pribadi orang

lain. Sah-sah saja. Tapi beberapa orang menjadi tidak tahu batasan, mereka jadi

kelewat peduli, dan cenderung memaksa. Mereka seperti jadi memiliki kewajiban

untuk ikut menyumbang pendapat tentang masa depan anak tetangganya, tentang

umur berapa anak tetangganya harus menikah, tentang ini dan itu.

Jika kamu memiliki lingkungan kehidupan sosial seperti itu, berhentilah

peduli. Kamu memang tidak bisa menghentikan orang lain yang selalu ikut campur

urusan pribadimu, yang selalu mengawasimu, yang selalu menghakimimu. Tapi

kamu bisa menghentikan dirimu sendiri untuk peduli dengan semua itu. Kamu

sudah cukup lelah dengan memedulikan dirimu sendiri. Perihal orang lain yang

suka mengkotak-kotakanmu, bairkan itu jadi urusan mereka.


Karena aku juga manusia

Orang lain yang hanya melihatku, mereka akan bilang “Kamu ini sudah

cukup beruntung! Lihatlah orang-orang yang tidak seberuntung kamu!” Tapi

anehnya, di beberapa hal aku sama sekali tidak merasa beruntung. Apakah aku

terlalu tidak tahu diri? Aku diberikan ini dan itu oleh Tuhan, tapi aku masih merasa

ada yang kurang dari diriku. Aku masih tersesat dan kesulitan untuk pulang. Saat

aku bilang seperti ini pada mereka, mereka hanya bilang “Dengan

keberuntunganmu itu, kamu hanya perlu bekerja lebih keras!”

Di pagi hari aku terbangun dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-

baik saja. Di malam hari aku berdo’a agar Tuhan menyelamatkanku. Aku juga

sudah bekerja keras. Tapi aku juga lelah. Aku tersesat.


Aku juga ingin kehidupan yang lebih beruntung. Karena aku juga manusia.
Jika kamu pernah merasa sendirian ...

Jika teman-temanmu sudah punya pasangan sedangkan kamu belum, jika

teman-temanmu memiliki keluarga yang suportif sedangkan kamu tidak, jika

kamu bahkan tidak punya teman, jangan pernah merasa sendirian! Coba kamu

lihat mulai saat kamu bangun tidur, ada kasur yang rela kamu tiduri. Ada guling

yang bisa kamu peluk. Ada kolor yang selalu kamu pakai. Ada WC yang selalu

kamu kunjungi. Ada cermin yang selalu memperhatikanmu. Ada gelas yang tak

pernah mengeluh saat kamu cium. Ada banyak hal lainnya yang tak pernah

berhenti menemanimu. Jika kamu berpikir bahwa benda-benda itu berbeda dengan

orang-orang itu, aku ingin bertanya “Memang apa bedanya? Toh mereka sama-

sama sekumpulan atom saja!”

Dan jika memang kamu membutuhkan sosok manusia, apakah dirimu

sendiri kamu lupakan? Bukankah di dirimu ada kamu, jiwamu, dan pikiranmu

yang selalu menemani?


Berani-beraninya kamu merasa

sendirian!

Padahal ada aku juga yang menjelma

tulisan ini untuk menemanimu.


Jika kamu hidup maju tapi mundur

Jika kamu menjalani kehidupan sekarang dengan terus memikirkan

kenangan-kenangan di masa lalu, maka kamu sedang hidup maju tapi mundur.

Orang-orang yang hidup seperti ini tidak menjalani hidup, tapi terseret hidup.

Mereka akan kesulitan melihat pelangi yang ada di depan, karena sibuk

memerhatikan pelangi di belakang yang semakin hari malah semakin memudar.

Untuk orang-orang yang menjalani kehidupan seperti itu, aku hanya ingin

bilang bahwa masa lalu itu tidak untuk diulang. Masa lalu itu hanya sekadar untuk

ditengok, bukan untuk terus dipandangi. Jika masa lalu itu adalah kesalahan-

kesalahan yang terus mengikat dirimu sekarang, lepaskanlah! Maafkanlah dirimu

sendiri! Aku tidak menyuruhmu untuk melihat ke masa depan. Setidaknya, lihatlah

dirimu yang sekarang!


Apa yang begitu menyedihkan dari hidup ?

Saat kamu bangun tidur lalu dengan semangat kamu berangkat kerja, tapi

sampai di tempat kerja kamu mendapat surat PHK. Atau saat kamu dengan

semangat memulai sebuah projek baru tapi tidak bisa menyelesaikannya. Atau saat

kamu ingin makan, tapi tidak ada uang untuk membeli makanan. Atau saat kamu

pikir tidak akan hujan, tapi di perjalanan kamu malah kehujanan. Atau bahkan

lebih buruknya, saat semangatmu sudah patah dan impianmu dalam hidup sudah

pupus. Saat kamu mengalami kehidupan yang seperti itu, namun kamu masih

terbangun dengan pikiran bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kehidupan

memang semenyakitkan ini. Saat hal-hal buruk terjadi dalam hidupmu tapi kamu

hanya bisa berkata “Ya namanya juga hidup!”

Aku ingin bilang “Apa yang begitu menyedihkan dari hidup? Pun hidup

yang memberimu luka. Nantinya hidup juga yang menyembuhkannya. Sialnya,

memang hiburanmu satu-satunya hanyalah berlapang dada.”


Ketika ingin memulai hal baru

Dari kecil aku memang memiliki ketertarikan pada alat musik piano.

Namun, aku tidak memiliki kesempatan untuk belajar alat musik itu karena ada

banyak keterbatasan yang kupunyai. Sampai akhiranya saat aku dewasa, aku

memiliki kecukupan untuk membeli sebuah keyboard sederhana. Sebelum aku

membelinya, ayahku menentang rencanaku itu dan berkata bahwa membeli hal

tersebut tidak akan ada gunanya. Tapi aku tidak menghiraukan perkatan ayahku.

Aku menyukai musik, dan aku ingin memulai hobi baru.

Lalu beberapa hari setelah aku membeli keyboard tersebut, ayahku malah

ikutan memainkannya. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang merasukinya?

Bukankah dulu dia bilang bahwa ini tidak akan berguna?

Dan kini aku sadar bahwa melihat seseorang dengan serius memulai hal

baru, menekuni hal yang disenangi, telah mentrasfer energi yang positif. Sorot

mata seseorang saat melakukan hal yang disukainya seperti sebuah euphoria

tersendiri. Jadi, untukmu yang sedang ragu untuk memulai hal baru, kuharap kamu

bisa lebih berani untuk memulai dan menekuni apa yang selama ini kamu sukai.

Karena semangat dan kepercayaan dirimu itu bisa mentransfer energi yang positif

untuk orang-orang di sekitarmu. Mereka yang melihat sorot semangatmu itu juga

akan merasakan euphoria yang sama. Begitulah yang terjadi pada ayahku.
Siapa yang datang ke pernikahanku?

Beberapa hari yang lalu kakak keduaku mendapat undangan pernikahan

salah satu temannya. Lalu ibuku bilang bahwa kakakku harus menghadiri

undangan itu, agar saat kakakku menikah, dia juga punya tamu untuk diundang.

Ibuku juga menambahkan bahwa akan sangat menyedihkan kalau tidak ada tamu

undangan yang hadir saat pesta pernikahanmu.

Perkataan ibuku menimbulkan pertanyaan di kepalaku, “Siapa yang akan

datang ke pernikahanku? Apakah tamu undangan saat pernikahan itu hanya

sebatas mereka yang kukenal namanya? Atau mereka yang benar-benar kukenal

dekat?”

Aku merasa tidak tahu malu jika mengundang orang-orang yang hanya

sebatas kenal nama. Tapi jika mengundang orang-orang yang benar-benar kenal

dekat, aku juga ragu apakah akan ada tamu yang kuundang. Atau bisa jadi

kematian yang akan jadi satu-satunya tamu undanganku.

Tapi siapapun tamu undangan saat pernikahanmu, aku hanya ingin bilang

bahwa semua yang diundang belum tentu hadir, malah yang tak diundang bisa jadi

hadir. Sama seperti kebahagiaan, kematian, orang yang dicintai, dan hal-hal

lainnya dalam kehidupanmu. Mereka tidak hadir sesuai undangan. Mereka hadir,

karena memang begitu takdirnya.


Meletakkan sesuatu pada tempatnya

Suatu hari aku merasa menyukai seseorang. Dia adalah orang yang baik,

dermawan, dan dewasa. Kemudian aku bercerita tentang hal ini pada temanku.

Lalu temanku bertanya apakah aku benar-benar menyukainya atau hanya sekadar

mengaguminya. Aku ini memang tidak pernah menyukai orang lain. Jika aku

senang akan keberadaan orang lain, itu hanya karena aku kagum dengannya. Tapi

kali ini aku merasa benar-benar menyukai orang tersebut.

Beberapa hari kemudian, aku menanyakan sesuatu pada orang yang

kusukai itu. Tapi responnya benar-benar membuatku kecewa. Maka sejak saat itu,

aku berhenti menghubunginya. Tapi beberapa waktu kemudian orang itu

menghubungiku lagi. Aku mengatakan bahwa aku mudah tersentuh dengan sikap

seseorang dan aku telah tersentuh oleh sikapnya padaku, tapi aku memutuskan

untuk memutus hubungan karena beberapa hal darinya telah mengecewakanku.

Lalu orang itu berkata bahwa selama ini aku memang hanya mengagumi sikapnya

saja, dan dia pun hanya mengagumi tulisan-tulisanku saja.


Selama ini aku masih sering salah dalam meletakkan suatu hal baik itu

barang, manusia, maupun perasaan. Kupikir kita perlu membuat batas garis yang

jelas untuk setiap hal. Agar kita bisa merespon sesuatu sesuai dengan batasannya

itu. Seperti jika kamu menyukai sesuatu, berperilakulah seperti kamu

menyukainya. Dan jika kamu mengagumi sesuatu, perlakukanlah ia sebagai

mestinya hal yang kamu kagumi. Dan jika kamu bertanya “Memangnya beda

menyukai dan mengagumi seseorang itu seperti apa, sih?” Kira-kira seperti aku

yang menyukai sikapnya yang baik, dermawan, dewasa. Dan aku yang

mengagumi orang itu karena memiliki sikap seperti itu. Jadi, kuharap mulai

sekarang kamu tidak lagi meletakkan lingkaran pada wadah persegi.


Jenis penderitaan

Kamu pasti sering mendengar perkataan bahwa waktu akan

menyembuhkan semua luka, atau biar waktu yang mengakhiri semua penderitaan.

Mungkin itu memang benar. Dalam hidup ini ada dua jenis penderitaan. Ada

penderitaan yang bisa kita akhiri masanya. Misalnya jika kamu kelaparan, maka

kamu bisa mengakhiri penderitaan itu saat kamu makan. Tapi ada juga penderitaan

yang bisa terus menyertai kita sepanjang waktu. Misalnya, jika kamu mengalami

trauma masa kecil, mengalami masalah pada kesehatan mental, memiliki trauma

pelecehan seksual, gagal dalam mencintai diri sendiri, maka penderitaan semacam

ini bisa terus menyertaimu sepanjang waktu. Kamu tidak bisa mengakhirinya,

bahkan waktu pun tidak bisa menyembuhkan luka yang ditimbulkannya.

Maka jika kamu mengalami jenis penderitaan yang kedua ini, satu-satunya

hal yang bisa mengurangi rasa sakitmu adalah menerima bahwa penderitaan itu

memang ada, bahwa penderitaan juga bagian dari hidup. Alih-alih merasa kecil

karena mengalami semua penderitaan itu, berbesar hatilah karena kamu masih

selamat dari penderitaan itu.


Untuk kedepannya mungkin

tidak ada yang berubah dari

penderitaan itu, tapi kamu

akan tumbuh semakin kuat

untuk bisa tetap melanjutkan

hidup.
“Bangsat!”

Sejak kecil aku dididik untuk bertutur kata yang baik, lemah lembut, dan

menggunakan kosa kata yang etis bahkan ketika aku sedang marah sekalipun. Tapi

entah kenapa, kurasa kehidupan ini ingin mengajariku untuk mulai berkata kasar.

Akhir-akhir ini aku sering berkata kasar seperti “Bangsat!”. Jika terdengar oleh

orang lain mungkin ini akan terdengar seperti perkataan orang yang tidak tahu

sopan santun. Tapi di beberapa hal, kehidupan ini memang bangsat. Kehidupan

terus memutar-mutar kebahagiaan kita. Dan ketika kita berada dalam keadaan

terpuruk sekalipun, akan ada orang yang menyuruh untuk bersabar. Sebagian dari

mereka akan menceritakan kisah insipirasional beberapa tokoh, ada yang

menceritakaan kisah-kisah kesabaran Nabi dalam menghadapi cobaan. Tapi, aku

ini manusia biasa! Aku bukan tokoh yang mereka ceritakan! Aku bukan Nabi! Aku

bukan malaikat!
Jika kehidupan membawamu pada titik terendahmu, jika memang orang-

orang itu biadab terhadapmu, jika memang keadaan membuatmu berkata bangsat,

engga apa-apa berkata kasar. Semua itu memang bangsat!


Angkat teleponmu!

Aku adalah tipe orang yang entah kenapa tidak suka mengangkat telepon.

Jika ada telepon masuk bahkan dari orang terdekat sekalipun seperti ayah ataupun

kakak, aku seringkali hanya memandangi teleponku yang berdering. Harus ada

riwayat telepon kesekian kalinya untuk akhirnya kuangkat juga telepon itu.

Awalnya kupikir itu sah-sah saja, karena toh tidak ada informasi penting yang bisa

dicari dariku. Sampai pada suatu saat, aku teringat pada kakak pertamaku dan

ingin meneleponnya. Waktu itu siang hari, namun sampai telepon kesekian, belum

juga diangkatnya. Aku jadi bertanya-tanya kenapa teleponku tak kunjung diangkat

juga karena biasanya saat bekerja sekalipun dia selalu mengangkat teleponnya.

Setelah itu kuputuskan untuk menelepon istrinya. Namun tidak diangkat juga.

Pada telepon kesekian, kekhawatiranku memuncak. Bermacam-macam pikiran

sudah memengaruhiku. Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia tertidur? Apa hp-

nya dalam mode silent? Atau hal buruk terjadi padanya?

Sejak saat itu aku sadar bahwa mengangkat telepon seseorang itu penting

walaupun hanya untuk percakapan sederhana seperti menanyakan kabar. Fakta

bahwa seseorang itu meneleponmu, kurasa itu menjadi alasan yang cukup jelas

bahwa kehadiranmu itu penting. Maka angkatlah teleponmu!


Jika kamu orang yang bodoh

Walaupun semasa sekolah, teman-temanku menganggapku pintar dalam

akademik. Aku adalah orang yang bodoh dalam kehidupan. Banyak sekali hal-hal

konyol yang kulakukan. Banyak juga kesalahan-kesalahan dalam berinteraksi

sosial, interaksi dalam keluarga, dan kesalahan-kesalahan yang kulakukan pada

diriku sendiri. Awalnya kupikir aku adalah orang yang paling bodoh karena hal-

hal tersebut, tapi ternyata banyak juga orang-orang bodoh di luaran sana. Mereka

juga melakukan hal-hal konyol. Mereka juga melakukan kesalahan dalam

menjalani kehidupan.

Jika kamu merasa bodoh dalam menjalani kehidupan, kurasa tidak pernah

terlambat untukmu memulai belajar. Setiap pengalaman adalah guru terbaik, kata

mereka. Mungkin itu memang benar. Dan jika kamu melakukan kesalahan

pertamamu dalam hidup lalu orang lain memarahimu. Jangan dihiraukan! Pikirkan

saja dalam satu menit, setelahnya jangan lagi dipikirkan. Toh, ini juga kehidupan

pertamamu. Bahkan jika kamu melakukan kesalahan kedua dan ketigamu, itu juga

wajar, kok! Yang ada dalam hidup ini bukan kamu yang membuatnya, wajar jika

kamu belum bisa memahaminya.


Memaafkan orang lain dengan cara meminta maaf

Dalam berinteraksi sosial, kita sering terluka oleh kesalahan-kesalahan

orang lain yang bahkan tidak mereka sadari. Aku pun sering mengalaminya.

Ketika orang lain menyakitiku dengan perkataan atau perbuatan mereka, aku

biasanya hanya memendam rasa benciku sendirian dan tidak mengungkapkannya

pada mereka. Tapi jika rasa benci itu dipendam dalam waktu yang lama, rasanya

hatiku sendiri yang merasa sesak. Maka suatu hari aku memutuskan untuk

memaafkan dengan cara meminta maaf pada mereka.

Kita bisa memaafkan kesalahan orang lain dengan cara memaafkan diri

sendiri dan meminta maaf pada mereka. Maafkanlah diri sendiri yang sudah

menyusahkan diri dengan membenci mereka. Dan meminta maaflah pada mereka

karena telah membenci mereka. Karena kupikir semua orang juga bisa melakukan

kesalahan. Kamu pun boleh jadi tanpa disadari telah menyakiti mereka. Jadi alih-

alih menanam kebencian, kita bisa hidup damai dengan saling memaafkan.
Uang bagi si kaya dan si miskin

Aku pernah melihat sebuah tulisan yang mengatakan bahwa orang-orang

itu memotret si miskin ketika sedang tertawa dan memotret si kaya ketika sedang

menangis, lalu mereka mengatakan bahwa uang bukanlah sumber kebahagiaan.

Tapi kupikir mereka lupa memotret si miskin ketika sedang menangis karena

kelaparan sementara mereka tidak punya uang untuk membeli makanan. Mereka

juga lupa memotret si kaya ketika sedang belanja dengan nominal yang cukup

untuk menghidupi satu kamp pengungsian.

Uang memang bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Tapi ia ibarat

sebuah galah. Jika kamu ingin memetik buah kebahagiaan, kamu perlu memanjat

pohonnya terlebih dahulu. Tapi memanjat pohon membutuhkan perjuangan yang

tidak mudah, belum lagi dengan adanya angin kencang yang menerpa. Apalagi

jika pohon itu dipenuhi dengan semut ataupun sarang lebah. Ada banyak

kemungkinan untuk bisa jatuh ketika memanjat pohon kebahagiaan itu. Tapi untuk

orang-orang yang punya galah, mereka tidak perlu susah-susah memanjat pohon

itu, mereka bisa menyengget buah kebahagiaan itu sembari duduk di bawah pohon

dan menikmati rindangnya dedaunan pohon itu.

Jadi aku perlu mengatakan pada orang-orang yang miskin sepertiku, bahwa

tidak perlu merasa malu ketika mengejar kebahagiaan dengan uang. Memang

beberapa kebahagiaan itu bisa didapat dari uang, kok.


Urusi saja hal-hal yang kecil

Saat kuliah, aku pernah menjadi salah satu anggota Badan Eksekutif

Mahasiswa. Kata mereka, menjadi seorang mahasiswa itu jangan melulu

memikirkan ikhwal akademik. Seorang mahasiswa juga harus ikut aktif dalam

mengkritisi urusan politik, lingkungan, sosial, dan kebudayaan. Maka dari itu,

semasa aku menjabat di Badan Eksekutif Mahasiswa, mereka sering mengajakku

diskusi ikhwal kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada. Apakah kebijakan ini

sesuai dengan kebutuhan rakyat? Atau malah kebijakan itu dibuat untuk

kepentingan golongan?

Aku setuju dengan mereka bahwa kita juga perlu menaruh perhatian pada

hal-hal semacam itu. Tapi bukan berarti kita harus berdiskusi tentang kebijakan

pemerintah, mengkritik pemerintah lewat sosial media, ataupun ikut demo. Kita

bisa ikut aktif dalam membantu masyarakat untuk hidup sejahtera dengan cara

mengkritisi diri kita sendiri. Melakukan kewajiban sebelum menuntut hak kita.

Menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk lingkungan di sekitar kita, misalnya

lingkungan pertemanan atau lingkungan keluarga.

Hal-hal yang tidak bisa kita ubah secara langsung adalah hal-hal yang

terlalu besar untuk dilakukan. Yang lebih kecil dari hal tersebut adalah melakukan

hal-hal yang bisa kita ubah secara langsung. Untuk membuat sebuah rumah yang

besar dan kuat, diperlukan juga pondasi yang kokoh. Sama seperti sebuah negara.

Kita butuh sumber daya manusia yang berkualitas dari segi pengetahuan dan

moral. Jika kamu ingin berkontribusi dalam kesejahteraan khalayak umum, kamu
bisa mulai dengan mengurusi hal-hal kecil saja dahulu sebagai pondasi yang

kokoh.
Apakah aku mencintai diri sendiri?

Walaupun aku cenderung fokus pada apa yang ada dalam diriku sendiri,

aku tidak teralu menaruh perhatian pada hal semacam “Love yourself”. Tapi

kemudian aku merasa orang-orang sering mengabaikan keberadaanku. Aku

merasa seperti tidak ada yang mencintaiku. Lalu di saat aku terpuruk sendirian,

aku sadar bahwa hanya ada aku disana. Di saat aku sedih karena mereka

mengabaikan keberadaanku, aku sadar bahwa hanya aku lah yang melihat

keberadaanku itu. Kemudian aku mulai mencoba untuk lebih mencintai diriku

sendiri. Lalu suatu hari ada yang bertanya “Apakah kamu sudah mencintai dirimu

sendiri?” setelah berfikir beberapa waktu, aku menjawab bahwa aku belum

mencintai diriku sendiri.

Sebenarnya aku tidak terlalu mencintai diriku sendiri. Hanya saja orang

lain terlihat begitu bahagia dengan mencintai diri mereka sendiri. Maka dari itu

aku mencoba untuk mencintai diriku sendiri. Ternyata, hal itu tidak terlalu

mengasyikkan. Tapi kabar baiknya, aku masih mencoba. Kupikir kamu boleh

gagal dan berhenti mencoba di hal lainnya. Tapi ketika kamu gagal dalam

mencintai diri sendiri, kuharap kamu bisa selalu mencoba lagi dan lagi. Karena

walaupun terlihat menyedihkan, tapi pada akhirnya memang hanya dirimulah yang

akan selalu merasakan keberadaanmu.


Apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun?

Suatu hari aku melihat tulisan di sosial media yang isinya menanyakan hal

apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun. Tentang dirimu

dahulu saat kanak-kanak yang memiliki sebuah impian, apakah dirimu sekarang

yang dewasa telah mewujudkan impian anak kecil itu. Lalu, aku jadi

membayangkan sedang duduk di depan diriku yang berumur 10 tahun, kira-kira

apa yang akan kukatakan. Apakah aku harus menghiburnya karena diriku yang

dewasa ini mungkin belum bisa mewujudkan mimpinya itu? Atau haruskah aku

berterima kasih padanya yang telah memberikan impian itu?

Teruntuk diriku yang berumur 10 tahun, aku ingin bilang bahwa kehidupan

yang kamu desain terlalu buram dan kurang detail. Ada banyak hal yang terjadi

seperti sebuah kejutan. Tapi engga apa-apa. Aku yang sekarang akan melanjutkan

desain hidup yang kamu beri. Mungkin akan ada yang sedikit tidak sesuai dengan

ekspektasimu. Tapi aku berterima kasih karena telah memberi pondasi yang kuat.

“Apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun?”
Narsisme dan popularitas

Aku tidak memiliki banyak hobi. Semenjak aku di sekolah dasar, ketika

ditanya apa hobiku aku pasti menjawab menulis. Jika dilihat sekilas, hobi ini

sangatlah cocok untuk orang-orang dengan kepribadian tertutup. Maksudku,

seperti jika kamu tidak suka bercerita banyak hal pada orang lain, kamu bisa

menulisnya di buku harian. Aku pun seperti itu. Dulu aku menganggap bahwa aku

menulis agar bisa menyalurkan perasaanku. Tapi lama-lama aku sadar bahwa

menulis menjadi bentuk narsisme bagi diriku. Aku sadar aku bukanlah orang yang

populer. Maka dari menulislah aku seperti memamerkan diriku sendiri untuk

mendapat pengakuan dari khalayak umum.

Seperti kebanyakan orang yang tidak populer di dunia nyata, mereka akan

memamerkan diri mereka di dunia maya untuk mendapat pengakuan. Kupikir itu

sah-sah saja. Tapi kupikir akan menjadi sangat membahayakan jika kita tidak

sadar akan sikap narsisme kita yang dilakukan hanya untuk meraih popularitas.

Maksudku, ketika kita mencintai diri sendiri, kita tidak berhak berharap orang lain
juga akan mencintai diri kita. Karena perihal perasaan orang lain adalah urusan

mereka. Jadi kuharap mulai sekarang kamu bisa mencintai dirimu sendiri tanpa

berharap orang lain juga akan mencintaimu.


Kamu perlu marah

Jika orang lain menyakitimu, melakukan kesalahan padamu, untuk

menghindari pertengkaran biasanya kamu akan menahan dirimu dan bersabar. Itu

sah-sah saja. Tapi jika dilakukan secara terus-menerus, kemarahanmu itu akan

terus menumpuk dan suatu hari itu semua pasti akan memaksa untuk keluar dari

dirimu. Di beberapa kasus, orang-orang yang terbiasa sabar dan tidak pernah

marah, tidak tahu cara melampiaskan kemarahannya. Mereka cenderung akan

melampiaskannya dengan menyakiti diri sendiri.

Untuk orang-orang yang selalu menahan amarahnya, aku ingin bilang

bahwa kamu tidak perlu selalu bersabar. Kamu juga perlu marah dan jika perlu,

bertengkar dengan orang lain. Marah juga tidak selamanya menjadi hal yang

negatif, kok. Asal dilakukan dengan tepat. Maksudku, kamu boleh marah dengan

cara meluapkan apa-apa yang membuatmu marah. Misalnya, katakan jika kamu

marah karena mereka tidak membalas pesanmu. Katakan jika kamu marah karena
mereka mengabaikan keberadaanmu. Katakan jika kamu marah karena mereka

menghakimi kehidupanmu. Dengan begitu, kamu tidak akan menumpuk

kemarahan dalam dirimu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membuatmu

marah pada dirimu sendiri yang tidak bisa mengungkapkan kemarahanmu itu.
Keluar dari lingkaran relasi yang tidak perlu

Orang-orang banyak mengajariku untuk masuk sebuah organisasi agar bisa

mencari relasi baru. Ketika orang-orang membicarakan perihal relasi, kupikir yang

dimaksud adalah sebuah tali pertemanan yang tulus. Ternyata yang dimaksud

mereka adalah, jalinlah relasi dengan orang yang memiliki popularitas,

kedudukan, dan berpengaruh. Semua itu dilakukan agar ketika kamu

membutuhkan bantuan, melamar pekerjaan misalnya, atau mau melamar sebuah

posisi di sebuah organisasi, kamu bisa dengan mudah lolos dengan mengandalkan

relasi itu.

Aku pernah tereliminasi dalam sebuah hal karena yang lain punya relasi

yang lebih kuat. Teman-temanku pernah gagal melamar pekerjaan hanya karena

pelamar yang lain punya relasi yang lebih kuat. Beberapa rekrutmen ternyata

hanya dilakukan sebagai formalitas. Lalu, apakah kita harus memperkuat relasi

untuk bisa lolos? Kuharap tidak.

Dulu aku menyimpan kontak orang-orang dengan alasan jika suatu hari

nanti aku butuh bantuan, aku bisa menghubunginya. Lalu aku seperti harus rutin

menghubungi mereka agar sewaktu-waktu aku menghubungi mereka karena

memerlukan bantuan, aku tidak terlalu kelihatan seperti orang yang tidak tahu

malu. Tapi sikap seperti itu membuat kita terbiasa membangun hubungan yang

berlandaskan suatu materi. Bukan hubungan yang berlandaskan kasih sayang dan

rasa tulus. Jika kamu terus mempertahankan hubungan yang semacam itu, kamu

akan terus hidup diikuti rasa pamrih. Jadi kuharap mulai sekarang kamu bisa
keluar dari lingkaran relasi yang tidak perlu. Dan bisa benar-benar membangun

relasi pertemanan yang dilandaskan ketulusan. Kuharap kamu bisa

mengembangkan dirimu bersama orang-orang yang benar-benar suportif.


Jika kamu sedang jatuh cinta ...

Saat mencintai seseorang, kita cenderung dituntut untuk menerima bagian

yang tidak kita sukai darinya. Kita menjadi seperti wajib tinggal, meski sebagian

dari yang kita cintai itu membuat kita ingin pergi. Ada perkataan seperti “Jika

kamu memang mencintaiku, maka kamu akan menerimaku apa adanya.” Kupikir

sah-sah saja jika kamu ingin mencintai dengan cara seperti itu. Tapi aku perlu

bilang padamu bahwa cinta yang datang tidak selalu tepat. Terkadang, cinta datang

pada mereka yang tidak kita sukai. Jika kamu melihat dua orang yang saling

mencintai itu bersama, tidak semua dari mereka yang akan bertahan lama. Karena

mereka saling mencintai, tapi tidak saling menyukai.

Jadi aku harap, alih-alih memaksakan diri menerima sesuatu yang tidak

disukai dengan alasan cinta, kuharap kamu lebih bisa mencintai apa yang kamu

suka. Beberapa orang bersikeras mempertahankan hubungan atas nama cinta dan

berharap hal-hal yang retak bisa mereka perbaiki. Tapi karena cinta yang tidak

tepat itulah terkadang mereka tidak sadar bahwa yang retak itu sudah lama remuk.

Mungkin ini terlihat kejam, tapi menentukan siapa yang menemanimu

melangkah dalam hidup adalah perkara penting. Jadi, kelilingilah dirimu bersama

orang-orang yang bisa membantumu menumbuhkan bunga-bunga di tamanmu.

Tinggalkan mereka yang akan memetik bunga-bungamu dengan alasan cinta.


Jangan membuang kepercayaan orang lain

Di dunia ini, ada orang yang mudah percaya pada orang lain. Ada juga

orang yang tidak mudah percaya bahkan pada orang-orang terdekatnya sekalipun.

Jika kamu termasuk orang yang tidak mudah percaya pada orang lain, jangan

membuang kepercayaan orang lain. Maksudku, cukup kamu saja yang menjadi

ragu terhadap orang lain. Jangan membuat orang lain itu merasa tidak dapat

dipercayai. Perihal percaya atau tidak itu kan urusanmu.

Dalam hubungan antar sesama, ketika seseorang sudah merasa tidak dapat

dipercayai, mereka cenderung akan berkecil hati dan kehilangan kepercayaan juga

terhadap diri sendiri serta hal lainnya. Jika sudah tidak ada rasa percaya pada diri

sendiri, lantas siapa lagi yang bisa dipercayai?

Jadi, perlu kutegaskan sekali lagi. Kamu boleh tidak percaya pada orang

lain, tapi jangan membuat orang lain itu tidak merasa tidak dapat dipercayai.
“Aku kira orang lain telah melakukannya.”

Saat kuliah, kami diharuskan membuat projek akhir pada salah satu mata

kuliah pemrograman. Lalu untuk mengontrol jalannya pengerjaan projek itu, akan

diadakan review rutin, biasanya setiap minggu atau dua minggu sekali. Suatu hari

saat sedang menunggu urutan review, aku heran kenapa kelompok sebelumnya

belum selesai juga review-nya. Maka untuk memastikan, aku bertanya pada

teman-teman lainnya melalui grup chat. Ternyata, untuk hari itu cukup 5

kelompok saja yang melakukan review, sisanya akan dilanjutkan keesokan

harinya. Aku bertanya kepada kelompok 5 yang terakhir review di hari itu, kenapa

tidak memberitahu lewat grup chat bahwa review untuk hari itu dicukupkan pada

kelompoknya. Aku merasa kesal karena telah menunggu lama dengan khawatir,

namun penantianku pada hari itu berakhir sia-sia. Ternyata, salah satu anggota

kelompok 5 itu mengira bahwa teman kelompoknya sudah memberitahu di grup

chat, maka dari itu dia tidak lagi memberitahu.

Ada orang yang lebih suka menunggu orang lain untuk melakukan

kebaikan. Ketika satu kebaikan telah ditunaikan oleh satu orang, kebanyakan

orang sudah tidak peduli lagi untuk menunaikannya. Sah-sah saja jika ingin seperti

itu. Tapi sudah kebanyakan orang yang berpikir demikian, cukup mereka saja!

Kamu jangan ikut-ikutan! Yang namanya kebaikan itu bisa dilakukan oleh

siapapun. Kalau perlu, berbalapanlah dalam melakukan kebaikan. Pikiran seperti

“Kukira orang lain telah melakukannya” bisa membuat kita menunda-nunda untuk

melakukan kebaikan. Kebaikan yang ditunda-tunda kupikir bisa kadaluwarsa juga

masa kebaikannya. Jadi kuharap dalam melakukan kebaikan, kita tidak lagi
bergantung pada orang lain. Tanamkan pada dirimu pemikiran seperti “Aku akan

melakukan kebaikan! Jika orang lain telah melakukannya, tidak ada salahnya jika

aku melakukan kebaikan itu juga. Dan jika ternyata orang lain belum

melakukannya, maka kebaikan ini bisa ditunaikan dengan tepat waktu.”


Kalimat penghibur

Jika kamu benar-benar menaruh perhatian pada buku ini, lembar demi

lembar halaman ini sejujurnya hanya berisi kalimat-kalimat penghibur. Aku ini

seorang pengecut. Jadi aku harus selalu menghibur diriku sendiri untuk bisa

bertahan. Aku selalu membuat-buat alasan bahwa penderitaan memang bagian

dari hidup, bahwa memang hanya ada diri sendiri yang akan bertahan menemani

sampai akhir, bahwa engga apa-apa usia dua puluhanku masih gini-gini aja.

Semuanya memang cuma kalimat penghibur.

Aku juga tidak berharap kamu akan terhibur oleh kalimat-kalimat ini, biar

setidaknya, aku sudah cukup terhibur dengan kalimat-kalimat ini. Tapi meskipun

kamu tidak merasa terhibur, aku harap saat kamu membaca kalimat-kalimat ini,

setidaknya kamu sembari duduk santai menikmati secangkir kopimu. Menghirup

udara yang segar. Dan dengan matamu yang berbinar itu, aku ingin kamu hanya

melihat hal-hal yang indah saja saat ini.


Jadi perlu kukatakan padamu bahwa wajahmu yang rupawan itu, tanganmu

yang cantik itu, kakimu yang kuat itu, badanmu yang tahan banting itu, aku

berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakannya. Dan aku harap

walaupun sesaat, kamu bisa menikmati saat-saat ini.


Baca ini saat kamu selesai ngopi

Saat kamu sampai pada halaman ini, mungkin kopimu hanya sisa

ampasnya saja. Setelah ini, kamu beranjak dari tempat dudukmu, mencuci cangkir

kopimu lalu melanjutkan pekerjaanmu yang lainnya.

Demikianlah, satu per satu halaman telah dibaca. Ketika kamu bertemu koma,

kamu pikir titik akhir akan segera tiba. Tapi di halaman selanjutnya, masih ada

kalimat panjang yang sarat makna. Sehabis buku ini, masih ada halaman-halaman

dalam hidupmu yang perlu kamu baca. Dengan ditemani secangkir kopi, kuharap

kamu akan lebih berani untuk melanjutkan hidupmu. Karena kalimat masih

berlanjut, dan hidup masih bersambut!

Anda mungkin juga menyukai