Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan Diri Terbaik Versi Saya

“The Common People”

Hardianti

Memiliki banyak saudara kandung memang akan sangat membantu dalam beberapa
lini di kehidupan. Beberapa hal juga bisa diatasi dengan mudah ketika dilakukan bersama
saudara kandung. Sebagai contoh, orang-orang bersaudara seringkali membagi pekerjaan
mereka. Pekerjaan rumah misalnya, ada yang ditugaskan oleh orang tuanya menyapu
halaman, ada juga yang disuruh mencuci piring, atau sekedar membantu ayah di kebun, dan
lain sebagainya, yang intinya pembagian tersebut akan memudahkan mereka dalam berhidup.
Namun, tak jarang juga ditemukan bahwa memiliki saudara kandung mampu menjadi
bumerang ketika orang tua belum sepenuhnya mengetahui ilmu cara mendidik dan kemudian
ditambah dengan hidup dalam masyarakat yang kurang teredukasi. Walhasil, salah satu
dampak buruk dari realita ini adalah adanya kesenjangan dalam bersaudara.

Hal tersebut saya alami dalam kehidupan ini. Dilahirkan menjadi anak kedua, adik
dari seorang kakak yang dijuluki “anak idaman” oleh masyarakat di daerah saya, terkadang
menjadi perkara yang membebani saya. Bagaimana tidak, anak pertama dari keluarga ini,
kakak saya, adalah seorang yang ambisius. Ia bahkan mampu mempertahankan posisi
peringkat pertamanya di dunia akademik sejak dari SMP sampai menjadi Yudisiawati terbaik
pertama di akhir pendidikan S1-nya. Bukan hanya itu, dia juga seringkali menjuarai lomba
tilawah MTQ, olimpiade, debat, berpidato, menyanyi, menari, berpuisi, dan masih banyak
lagi lomba yang dia ikuti. Saya sama sekali tidak merasa keberatan akan pencapaian kakak
saya. Malah saya berbangga hati memiliki kakak yang multitalenta. Tetapi, masalah akan
muncul ketika saya dituntut untuk menjadi seperti dia. Ironisnya, ketika orang tua berdalih,
“Kamu kan dilahirkan dari rahim yang sama dengan kakakmu, pasti kamu juga bisa seperti
dia”, sangatlah menyayat hati. Walau begitu, saya tidak membenci orang tua. Sebaliknya,
saya menganggap bahwa orang tua saya belum mengetahui ilmu dan konsep bahwa setiap
anak mempunyai kemampuan dan bakat yang berbeda. Beliau belum mengetahui bahwa ada
11 bakat yang dimiliki manusia, tetapi hanya bakat yang pandai menghafal dan menghitung
yang dianggap hebat. Beliau juga belum mengetahui bahwa ada dua konsep manusia, yaitu
manusia generalis dan spesialis. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-
masing.

Kakak saya bisa dikategorikan sebagai seorang generalis. Ia mengetahui semua


bidang yang ia geluti tapi tak ada satu yang dia kuasai penuh secara mendalam dan detail.
Sedangkan saya, setelah proses lama pengobservasian diri, saya mulai mengenali diri sebagai
seorang yang spesialis. Tepatnya, orang biasa yang spesialis. Di sekolah, ada beberapa mata
pelajaran yang saya tidak ungguli. Sebut saja matematika, kimia, fisika dan kawan-
kawannya. Aduh, mendengar beberapa kata itu saja sudah berhasil membuat kepala saya
pening. Namun, hal itu tidak berlaku untuk pelajaran mengarang dan menyusun kata dalam
tulisan. Saya seakan menemukan kebahagiaan di sana. Tak ada beban. Senang sekali. Tak
jarang saya mendapat pujian dari kakak saya akan caption yang saya buat untuk postingan di
sosial media saya.

Ya, seperti itulah saya. Saya tidak bisa selalu menjadi juara satu layaknya anak
pertama di keluarga ini. Saya pernah menjadi jawara kelas tapi tak pernah selalu, kadang
turun ke peringkat dua bahkan pernah ada di tingkat lima. Saya juga tak pandai seperti kakak
saya yang mahir mengolah kata-katanya dalam berdebat ataupun berpidato. Atau sekadar
mengkuti kepiawaian suaranya dalam bernyanyi atau bertilawah. Tapi tak mengapa. Itulah
saya, orang biasa, Common people. Orang biasa yang berusaha untuk senantiasa terus
mencari dan menggali apa yang menjadi keahlian, kemampuan dan bakat saya daripada
mengkhawatirkan kekurangan-kekurangan yang saya miliki.

Selain masalah ilmu, fisik saya juga menjadi hal yang mendapat perundungan. Saya
mewarisi warna kulit ayah yang berwarna hitam manis sedangkan kakak dan adek saya
mewarisi warna kulit ibu yang berwarna putih. Ya, saya berbeda dari kedua saudara saya.
Lalu, masyarakat yang kurang teredukasi yang saya sebut diawal pun berdalih “yang ini juga
anakmu? Wah, dia berbeda yah dari yang lain, ngikut ayahnya”. Saya tidak memungkiri,
untuk ukuran anak seusia saya perkataan itu membuat hati saya sakit, mental saya diusik.
Tetapi, lambat laun saya mulai memahami bahwa warna kulit yang hitam bukanlah kesalahan
melainkan mereka sajalah, masyarakat Indonesia, yang menganggap bahwa standar cantik
itu ada apa kulit berwarna putih. Dan tentunya, saya tak ingin hidup mengikuti standar
mereka. Berbahagia dengan apapun yang saya miliki, toh berkulit hitam bukanlah sebuah
dosa kan?
Hambatan-hambatan yang saya alami di atas sama sekali bukanlah sesuatu yang dapat
membuat langkah saya terhenti. Walau saya orang biasa, saya juga mempunyai tekad dan
tujuan yang harus diraih dalam hidup ini. Alih-alih mengumpat balik orang-orang yang
menghakimi dan mencaci, saya lebih memilih untuk fokus melakukan pengembangan
terhadap diri sebagai langkah prefentif dalam kehidupan saya.

Hal yang paling pertama dan utama yang harus dilakukan adalah perbanyak rasa
syukur. Ini adalah senjata ampuh untuk segala sesuatu yang dirasa kurang dalam hidup.
Orang yang di hatinya senantiasa disiram dengan rasa syukur akan selalu merasa cukup. Ia
tak dikhawatirkan dengan pencapaian orang lain. Memilih fokus akan diri adalah jalan
ninjanya. Karena dia yakin, semua orang punya alur dan jalan hidupnya masing-masing.
Bukankan Allah telah berfirman dalam kitabnya bahwa siapa-siapa yang senantiasa
bersyukur maka akan ditambah karunianya dan siapa-siapa yang kufur, maka dialah orang
yang merugi. Saya selalu mengingat bahwa tidak ada penderitaan yang abadi. Pun tidak ada
kebahagiaan yang abadi, kecuali bagi yang pandai bersyukur. Selamanya ia akan merasakan
kebahagiaan. Mereka yang selalu membiasakan diri untuk bersyukur adalah orang-orang
yang tahu cara menikmati hidup. Sangking pentingnya perilaku bersyukur, Imam Ghazali,
seorang Sufi terkenal sekaligus cendekiawan mashur di zamannya pernah berkata bahwa rasa
syukur merupakan tingkatan tertinggi, lebih tinggi dari kesabaran, ketakutan dan keterpisahan
dari dunia.

Dewasa ini, banyak sekali orang yang sulit untuk merasa dan membuat dirinya
bahagia. Hemat saya, hal ini dikarenakan standar yang mereka buat sendiri untuk berbahagia.
Di luaran sana, ada yang punya standar bahwa dia baru akan bahagia kalau sudah mempunyai
mobil sporti mewah. Baru terukir senyum di wajah kalau sudah naik pangkat atau mungkin
bergembira hatinya jika berliburan keliling eropa. No! Don’t! Jangan seperti itu. Itu akan
menyulitkan hidup kita sendiri. Hidup yang singkat ini terlalu berharga jika dibuat seperti itu.
Mulailah bersyukur dan bahagia dari hal-hal kecil. Coba ingat lagi dulu ketika masih kecil
atau coba perhatikan anak-anak kecil di sekitar kita. Mereka mudah sekali bahagia bukan.
Bermain kejar-kejaran layangan di lapangan sudah membuat hatinya senang, jiwanya
bahagia, senyumnya terurai dan gelak tawa diperdengarkan. Kira-kira apa alasannya? Itu
karena mereka tidak muluk muluk menstandarisasi kebahagiaan yang harus dicapai dengan
penghargaan yang diraih. Cobalah mulai berbahagia ketika misalnya di pagi hari masih
terbangun, masih diberi kesempatan hidup dan menghirup udara segar atau mungkin
berbahagia karena masih berkesempatan melakukan hobi, memancing misalnya. Terlebih lagi
kalau dapat ikan yang enak dan segar, wah sudah Alhamdulillah sekali. Coba dibiasakan
setiap hari, berkelanjutan, bersyukur dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita.
Sekecil apapun itu.

Perilaku kedua yang dapat mengembangkan diri yaitu menerima dan mencintai diri
sendiri. Saya akui bahwa proses mengenali diri adalah proses yang lama. Di tahap tersebut,
kita menganalisis seperti apa diri kita, tipe yang seperti apa, apa yang diri kita butuhkan,
tujuan dan impiannya akan bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terhadap diri
lumrah adanya bahkan adakalanya itu wajib. Karena setelah kita tau seperti apa diri kita, kita
akan lebih mudah memahami diri kita dan menerimanya. Mengetahui kelebihan dan
kekurangan diri. Menerima kekurangan dan memanfaatkan kelebihan. Di proses ini jugalah
kita bisa menemukan apa passion kita, sesuatu yang kita bisa dan kita senang melakukannya.
Ketika berhasil menemukan passion, kita akan lebih terarah menjalani hidup. Dan yang
paling penting adalah tidak menjalani hidup karena tuntunan orang lain melainkan atas
kemauan dan inisiatif diri, kita tidak akan merasa tertekan dan terbebani. Titik dimana kita
dapat menerima diri kita, disitulah kita dapat mencintai diri. Jangan terlalu keras terhadap
diri. Berusaha sesuai dengan kemampuan saja. Nikmati hidup. Contoh konkritnya adalah
Allah saja tidak memaksa kita untuk unggul di semuanya dalam beribadah. Toh surga
mempunyai banyak pintu untuk dimasuki. Yang kuat beribadah sunnah di malam hari,
silahkan konsisten dengan ibadah malamnya. Yang senang berpuasa, maka akan masuk surga
lewat pintu Rayyan, pintu untuk orang berpuasa. Yang gemar bersedekah, lanjutkanlah itu.
Dengan demikian, semuanya disesuaikan dengan kemampuan dan apa yang disuka. Yang
terpenting adalah konsisten.

Selanjutnya, agar memudahkan saya dalam mengembangkan diri,saya juga selalu


berpikir positif dan menjauhkan diri dari pikiran negatif karena pikiran negatif hanya akan
menghambat segala urusan dan rencana kita. Ketika kita hanya berpatokan pada pikiran
negatif, maka rasa takut akan menghantui setiap langkah kita. Maka dari itu, kita harus selalu
berpikir positif. Selain tidak menghambat perkembangan otak kita, berpikir positif juga
menghindarkan diri dari keadaan stres yang berlebihan dan juga tekanan dari segala arah.
Dengan demikian, hidup kita akan terasa lebih baik.

Kemudian, untuk mencapai titik yang tinggi maka kita juga harus memiliki motivasi
yang kuat. Sebab, setiap proses akan memerlukan kerja keras yang cukup maksimal untuk
mencapai suatu tujuan dengan hasil yang baik. Memotivasi diri adalah hal yang paling
berpengaruh dalam proses menuju kesuksesan dan motivasi yang paling penting adalah harus
berasal dari diri kita sendiri. Ketika saya hampir ingin menyerah biasanya saya selalu
mengingat bahwa ada kedua orang tua yang harus di banggakan. Ada kedua orang tua yang
senantiasa menanti hari kesuksesan anaknya. Ada kedua orang tua yang tak kenal lelah
banting tulang siang dan malam demi untuk menyekolahkan anaknya. Dan saya selalu ingat
bahwa banyak anak di luar sana yang ingin berada diposisi saya sebagai pelajar dan menimba
ilmu. Maka saya harus menggunakan kesempatan yang sangat berharga ini dengan baik.

Akhirnya, Tulisan ini saya tujukan juga untuk orang-orang biasa seperti saya untuk
tidak cepat berputus asa. Alih-alih mengeluh, akan lebih baik kita mengembangkan dan
meng-upgrade nilai diri dengan langkah-langkah positif yang saya sebutkan di atas.
Diantaranya adalah senantiasa bersyukur, menerima dan mencintai diri hingga terus
berpikiran positif dan selalu memotivasi diri. Harapannya, tulisan ini bukan hanya menjadi
sebatas ide dan gagasan yang dipaparkan melainkan bisa lebih dari itu, diamalkan dan
realisasikan dalam kehidupan. Terakhir, saya katakan:

“ Yang terbaik bukan dia yang datang dengan kelebihannya, melainkan dia
yang tidak pergi dengan segala kekurangan, tetapi tetap belajar dan berusaha”

Anda mungkin juga menyukai