Anda di halaman 1dari 3

Ada empat hal yang selama ini mencegahku untuk mengakhiri ini semua.

1. Rasa sakit akan sakaratul maut.


2. Rasa takut akan siksa neraka.
3. Rasa percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
4. Rasa senang akan pertemuan dengan Rasulullah SAW.
Sebenarnya aku ingin hidup, dengan lepas dari perasaan yang aku pendam selama ini. Jika
tidak ada agama, surga dan neraka, dan tidak ada rasa sakit dan nyeri, mungkin aku memilih
pergi ke isekai. Entah ini kabar bahagia atau bukan, aku masih percaya dengan agama, dan
aku masih setengah sadar. Alhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala Rosulillah. Butuh usaha
keras untuk meyakini adanya Tuhan di tengah gempuran dunia yang semakin gila.
Aku dikelilingi dengan banyak orang baik. Hatiku selalu berusaha untuk berpikir seperti itu.
Alhamdulillah lingkunganku baik, walau seperti jarum di dalam busa. Aku sering mendengar
perkataan bahwa aku adalah anak yang seharusnya tidak ada, yang tiba-tiba malah ada di
dunia. Ini perkataan klise,tetapi jiwa dan kesadaranku yang berada di dunia ini meyakini
bahwa aku tidak pernah minta dilahirkan. Aku ada karena perbuatan mereka. Aku ada karena
diciptakan oleh Dzat Yang Maha Besar, bukan aku yang mau. Aku juga seringkali bingung,
mengapa aku diciptakan. Apakah memang aku diciptakan untuk menjadi penghias dan NPC
bagi kehidupan orang-orang di sekitarku. Aku selalu berusaha menjadi orang yang baik dan
menyenangkan bagi seluruh orang di sekitarku, walau sudah kuketahui bahwa itu adalah hal
yang mustahil. Aku selalu berusaha mencerna apa yang orang lain intruksikan atau katakan
kepadaku.
Aku bingung, seringkali intruksi seseorang, aku memahaminya, tapi pada akhirnya orang lain
melihat bahwa aku sering menyalahartikan atau salah dalam menalarinya. Padahal pada
awalnya aku yakin bahwa aku sudah paham. Hal ini aku sadari waktu aku baru masuk SMP,
ketika aku diperintahkan untuk mengambil sesuatu, tapi aku kurang mengerti harus
bagaimana. Banyak hipotesis yang aku pikirkan selama ini. Apakah karena aku budek,
kurang dalam penalaran, atau bahkan sulit berpikir, atau aku mengalami lupa ingatan jangka
pendek, atau apakah aku autis? Jujur, aku sering berpikir apakah aku anak yang memiliki
kelainan? Tapi sayangnya aku tidak bisa pergi sendiri ke tempat untuk berkonsultasi, karena
aku takut, salah satunya takut dibilang lebay. Selain itu, aku juga seringkali takut dan malu
untuk berkomunikasi dengan orang baru. Takut akan penilaian kesan pertama mereka
terhadapku. Oleh karena itu, setiap kali aku memiliki teman baru di lingkungan baru yang
sangat menghargai aku, aku akan lebih menghargai dan lebih loyal kepada mereka. Aku
adalah seseorang yang sangat menghargai suatu hubungan interpersonal. Aku juga sulit untuk
mengikuti tren yang sedang terjadi pada masyarakat umum, sehingga aku termasuk seseorang
yang kurang up to date.
Aku bersyukur, atas diriku yang bisa bertahan hidup selama ini. Aku berusaha untuk tidak
bersyukur atas kekurangan yang dimiliki orang lain, seperti yang dilakukan banyak orang
lain. Aku bersyukur menjadi diriku sendiri.
Hal yang paling aku benci adalah, ketika aku telah berusaha semaksimal mungkin melakukan
suatu hal yang sesuai dengan penalaranku sendiri atas intruksi yang diberikan kepadaku,
tetapi tidak ada apresiasi atau minimal rasa menghargai sedikit pun terhadapku, malah pada
akhirnya berburuk sangka terhadapku. Menanyakan apa perasaanku pun tidak, dalam pikirku
untuk apa aku bertanya-tanya mengenai perasaan seseorang yang bahkan tidak peduli dengan
perasaanku, tapi aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa setiap mungkin perasaan orang
itu sedang tidak baik-baik saja dan aku harus tetap berdiam diri dan pendam perasaanku
pribadi.
Dulu aku adalah seseorang yang sangat sulit untuk bersabar. Semua emosi dengan mudah aku
luapkan. Rasanya kemarahan adalah suatu nikmat, aku pun tidak harus peduli dengan
perasaan orang yang aku marahi. Namun, ada beberapa perkembangan hidup yang membuat
aku jadi enggan untuk marah sejak SMA atau sejak usiaku lima belas. Selain karena lelah,
karena aku juga mencoba untuk bersabar dan pendam saja. Namun, hal ini memiliki efek
samping yang sangat aku tidak sukai.
Setiap beberapa masa sekali, emosi tersebut tidak terbendung. Aku hanya bisa menangis
untuk meluapkannya, jika tidak seorangpun, aku juga bisa marah. Marah kepada air keran
yang mengalir, marah kepada tembok, marah kepada angin. Aku sering mengumpat kepada
diriku sendiri, mengucap kata kasar kepada diriku sendiri karena aku tidak mungkin
mengatakannya kepada orang lain. Terkadang hal itu membuat hatiku sedikit lebih lega.
Tetapi ada satu titik dimana hal itu sudah tidak mempan lagi, aku mulai menyakiti diri
sendiri, seperti meninju kepalaku sendiri, menampar diri sendiri, atau dengan menggigit
tanganku sendiri. Namun sesuatu yang cukup membuatku terkejut dan takut adalah, pada hari
ini hal ini sudah mulai tidak terkendali. Untuk pertama kalinya, aku berdarah karena
menyakiti diri sendiri, setelah aku menggigit jari kelingkingku, yang malah melewati batas,
karena aku sudah tidak bisa menahan perasaanku yang terpendam. Aku menjadi risau, apakah
suatu hari nanti aku masih bisa menjaga kesadaranku atau tidak. Aku hanya bisa berharap
kepada Tuhan yang aku yakini.
Hal yang membuat aku malas untuk bercerita kepada manusia adalah, mereka hanya
memikirkan diri mereka sendiri. Aku pun begitu, sebenarnya lelah jika harus memikirkan
orang lain, tapi aku masih selalu berusaha berpikir sepositif mungkin. Mereka hanya
memikirkan masalah mereka sendiri, karena sudah pasti setiap manusia memiliki apa yang
mereka pikirkan dan alami. Seringkali jika aku menceritakan keluh kesahku, mereka akan
membandingkannya dengan masalah mereka sendiri dan merasa bahwa masalah mereka jauh
lebih berat. Aku juga selalu memikirkan apakah profesi psikolog benar-benar menyimak
masalah setiap manusia dengan saksama, atau mungkin tertawa dalam batin mereka. Semoga
saja asumsi ini tidak benar.
Aku menulis semua ini karena aku anak yang tidak tahu diuntung dan tidak bersyukur
terhadap apa-apa yang telah diberikan kepadaku? Ya itu benar, silahkan anggap aku anak
tidak tahu diri, durhaka, dan tidak tahu rasa syukur, dan tidak tahu diuntung. Atau aku adalah
anak beban keluarga? Ya silahkan saja, aku juga tidak merasa itu adalah masalah jika itu
adalah hal yang benar atau tidak.
Dunia ini memang tidak adil. Apalagi menjadi kaum tengah-tengah seperti ini. Mereka orang-
orang hanya memandang orang-orang pertama dan orang-orang terakhir. Selalu seperti itu.
Tapi aku harus menjaga kewarasanku, agar impianku ke isekai yang indah tidak sia-sia.
Terima kasih kepada orang-orang yang telah membuatku bertahan hidup, memberi makan,
memberi pakaian, dan memberi ajaran kehidupan kepadaku. Aku juga sangat berterima kasih
kepada orang-orang yang telah memanusiakanku dan menghargai perasaanku. Memang
sebaiknya aku melanjutkan hidup dengan senyuman ini, tidak peduli dengan perasaan dalam
hatiku. Toh manusia hanya dapat melihat apa yang terpancar dari wajah manusia lainnya, dan
bukan melihat perasaan manusia itu, karena mereka tidak memiliki mata batin. Biarlah kita
teriak di semesta vakum, karena gelombang suara tidak dapat berjalan di ruang hampa.
Alasan mengapa aku sangat menyukai anime isekai adalah, karena memang aku
mendambakan kehidupan di sana, kehidupan yang bersahaja, dikelilingi manusia bersahaja,
dengan sungai mengalir, dan rumah batu bergaya abad pertengahan, yang di belakangnya ada
kebun yang luas, setiap musim panen aku dapat menjualnya ke pasar.

Salam.

Anda mungkin juga menyukai