Anda di halaman 1dari 5

The True Happiness

Nurhidayah Gani
@nrhdyah_gni
Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan
teman. Sebutan “si gendut” tak jarang memekakkan telingaku.
Aku berusaha mengabaikan semua itu, walau hatiku terus
bergejolak. Jika kebanyakan anak menyukai mata pelajaran
olahraga. Bagiku itu adalah mata pelajaran tersulit. Jika jam
pelajaran akan berganti, aku menerka-nerka penuh khawatir.
Jenis olahraga apalagi yang akan dipelajari. Anak-anak
berhambur keluar lapangan. Jantungku memompa lebih cepat,
keringat dingin mulai mengucur, saat melihat kedua temanku
membopong sebuah benda mengerikan. Segera mungkin aku
mencari cara agar bisa terhindar dari aktvitas per-matras-an
itu. Belum juga kelar aku berpikir. Seorang kawan menegur
mukaku terlihat pucat. Aku sedikit lega karena telah
menemukan solusinya. Aku meminta izin kepada guruku
untuk pulang. Suatu perbuatan yang sama sekali tak
kuinginkan, tapi mau bagaimana lagi, fisikku mungkin sedang
baik-baik saja, tapi tidak dengan batinku.
Aku termasuk siswa yang selalu menjadi andalan para
guru jika ada lomba akademik. Aku senang, karena dipilih
untuk mewakili sekolah. Tapi, teriakan-teriakan “si genduut”
berkelebat memenuhi kepalaku. Bagaimana jika para siswa
disana juga meledekku?. Dan yah, aku tak tahu apakah ini
hanya firasatku saja, aku merasa setiap anak yang melihatku,
seolah-olah melihat sesuatu yang aneh. Tatapan
mengintimidasi, menatap dari atas hingga bawah. Refleks aku
melihat diriku sendiri, apa ada yang salah?. Saat memulai
mengerjakan soal, telingaku mendengar suara tak asing
menggema dalam ruangan. Berkali-kali aku menggelengkan
kepala untuk fokus, mungkin saja aku terlalu memikirkannya
sampai suara itu terbawa ke ruangan seleksi. Tapi tidak, suara
itu tidak juga hilang. Walau samar-samar, aku mendengarnya
begitu jelas. Ah, seorang anak perempuan dan lelaki yang
duduk persis dibelakangku, tersontak kaget saat aku menoleh.
Ternyata merekalah yang menghadirkan suara itu. Aku yakin,
mataku saat itu pasti berkaca-kaca, gemuruh dalam hatiku
terasa hebat. Sekuat tenaga aku mencoba menahan, namun
setetes air mata berhasil jua lolos dari cengkraman kuat
kelopak mataku.
Waktu itu sedang pemantapan di sekolah. Aku
menaiki sebuah meja untuk mengambil sesuatu di jendela.
Dua orang anak lelaki tiba-tiba datang membawa sebuah tali
tambang, awalnya aku tak menghiraukan, tapi mereka
mendekatiku. Saat itu mereka membentangkan tali tersebut
tepat didepan kakiku. Mereka mencoba membuatku terjatuh.
Sebelum meninggalkanku, lagi-lagi mereka meledekku “si
gendut”. Andai saja aku masih kelas 5, aku pasti sudah
pindah dari sekolah itu, atau mungkin aku berhenti sekolah.
Di bangku putih biru tua, aku bertekad untuk menjadi
yang terbaik. Dan yah, aku berhasil menjadi yang terbaik
selama 3 tahun berturut-turut. Aku tetap melanjutkan
pendidikan, hingga sampai pada strata 1. Dua bulan setelah
wisuda, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Aku fikir,
kisah kelam semasa kecil dulu telah berakhir, ternyata masih
juga berlanjut. Hari hariku dipenuhi oleh perbincangan orang-
orang mengenai eksistensi diriku.
Terkaan demi terkaan yang mereka sampaikan, aku
terima. Menumpuknya dalam kepala dan relung jiwa. Tak
sedikit membuat hati tersayat-sayat. Ingin rasanya bersuara,
melontarkan sedikit rasa yang ada. Namun apa daya, mereka
mengucap kata tiada jeda. Detik demi detik, hari demi hari.
Aku telah tumbuh menjadi orang yang seperti mereka
katakan. Mereka bilang, aku tidak punya keahlian, aku tidak
bisa dapat kerjaan, susah dapat jodoh, bagaimana mau
bahagia?. Kalimat itu terputar berluang-ulang di benakku.
Tanpa sadar aku telah berkembang menjadi orang yang tak
punya lagi gairah dalam hidup. Beberapa kali mencoba
melawan kalimat-kalimat itu agar tidak selalu muncul. Tapi
tetap saja, bisikan-bisikan itu selalu saja datang dan lebih
kuat.
Menutup diri dari keramaian menjadi alternatif
penyelamatan diri. Bersama kesendirian dalam sunyi, sedikit
meredakan sesak yang selama ini hadir. Berusaha meyakinkan
diri bahwa aku baik baik saja dengan semua ini. Berupaya
menahan gejolak dalam dada. Namun apa dikata. Tangis pun
pecah jua menemani kesunyian malam.
Aku menangis sejadi-jadinya, apakah benar aku
seburuk itu?, apakah benar aku hanyalah benalu?, apakah
benar aku tak berguna?, apakah aku tak pantas bahagia?
Pikiran menjadi sempit, sesak bahkan penuh dengan
keputusasaan. Aku menampar kedua pipiku dengan amat
keras. Sesaat kemudian, Aku merasakan sesak yang jauh lebih
dahsyat dibandingkan omomngan-omongan orang terhadapku.
Aku menangis mearung-raung, kemana saja aku selama ini?.
Membiarkan hidupku dikendalikan oleh perkataan orang lain.
Bahkan nyaris bunuh diri!
Pelan pelan, aku mulai menerima diri. Jika orang-
orang menghina fisikku. Aku senantiasa bersabar dan
mengingat bahwa inilah yang terbaik dari Sang Maha Raja.
Jika orang-orang selalu menilai aktivitasku sebatas
pencapaian dunia, aku tak lagi peduli, sebab tugas dari Sang
Maha Pemilik Hati hanya satu, yaitu beribadah kepadaNya,
menjadikan seluruh aktivitas bernilai pahala di sisiNya.
Bukankah Dia telah menyampaikan dalam surat cintaNya “
Dan aku tidak mencipkan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepadaku” (TQS. Az Zariyat: 56). Selagi
ruh dan raga masih bersatu, aku masih punya kesempatan
untuk berbenah, menemukan bahagia yang sesungguhnya.
Selama ini aku terlampau jauh dariNya. Dia yang tetap
tinggal, walau yang lainnya meninggalkan. Omongan buruk
pasti akan selalu hadir. Tapi kini aku tak lagi khawatir.
Sebab aku tak akan bertanggung jawab atas apa yang
mereka katakan. Aku hanya perlu fokus pada misiku,
yaitu taat untuk bahagia.

Nurhidayah Gani, muslimah bugis yang lahir 22 tahun lalu,


sedang mengembara di muka bumi. Mengumpulkan serpihan
demi serpihan bekal kebaikan untuk dipersembahkan kepada
Sang Maha Pemilik Hati. Menjalankan misi dariNya, menjadi
sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Baginya, menulis adalah kebutuhan. Sebab menulis adalah
wadah menebarkan kebaikan untuk membangun peradaban
gemilang.

Anda mungkin juga menyukai