Anda di halaman 1dari 5

Aku Ingin Pulang

Libur semester telah tiba. Ini adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh semua
kalangan akademik dimana pun, Aku pun begitu. Rasa penat yang mengganjal di kepala,
beban yang tak berkesudahan seolah luntur begitu saja jika mendengar kalimat ini.
“Akhirnya libur semester telah tiba” Rio tersenyum gembira lepas tanpa beban.
Rio, (Aryo Pamungkas, aku biasa memanggilnya Rio), dia adalah teman satu kelasku saat ini,
sebenarnya lebih dari itu, dia sudah seperti sahabatku sendiri. Kami banyak melewati hari
bersama sepanjang semester ini, dari peristiwa yang menjengkelkan seperti pernah suatu
kali kita berdua tidak mengikuti satu mata kuliah gara-gara motor bututnya yang mogok
ditengah jalan dan terpaksa kami pun akhirnya mampir di warung kopi. Aku tidak mengerti,
mengapa motor mogok harus di bawa ke warung kopi. Rio.., aku tidak mengerti dengan
jalan pikirannya. Tapi itu cukup mengurangi kejengkelanku.
Bukan hanya itu, peristiwa yang menyenangkan pun kerap kami alami, seperti tugas
kelompok bersama (nyontek), membantu dosen (cari muka biar dapan nilai), membantu
sekretaris kelas meringankan bebannya (bolos), melawan ketidakadilan (tagihan
bendahara), dan masih banyak lagi. Seingatku itu yang paling berkesan.
“Kamu liburan kali ini mau kemana, Fais? Rio bertanya kepadaku.
Oh ya, Fais adalah namaku. Muhammad Fais Abdillah. Umur 18 tahun (aku mengklaim
diriku sendiri), Mahasiswa (mungkin) semester empat, cita-cita ingin menjadi orang kaya
(itulah mengapa aku memilih masuk jurusan ekonomi), hobi mencari ketenangan dan
kedamaian (gak mau dibikin pusing), dan tolong jangan tanyakan yang satu ini, STATUS ku.
Aku tidak mau membahas ini.
“Aku juga tidak tahu” jawabku datar.
“Kamu tidak merindukan rumah?” Rio kembali bertanya. Penasaran.
Dari pertanyaannya aku sudah mengerti. Kebanyakan dari teman-temanku yang lain,
mereka menghabiskan waktu liburan bersama keluarga di kampung halaman,
bercengkerama dengan anggota keluarga, menemui kawan lama, menceritakan pengalaman
selama kuliah, jalan-jalan bersama dan banyak lagi yang menggembirakan hati jika masa
liburan telah tiba. Semuanya hanya ada kata KEBERSAMAAN dan KEBAHAGIAAN. Itulah inti
dari kata liburan.
Entah mengapa ada kebimbangan dalam hatiku dan sulit mengutarakannya. Rindukah aku
pada kampung halamanku?
“Semua orang pasti merindukan rumah, bukan?” jawabku kalem.
“Lalu, kenapa kau begitu murung sekali? Seharusnya ini menjadi momen yang paling
membahagiakan dalam hidupmu, kan?” Sepertinya dia melihat ekspresiku saat ini yang
begitu kacau dan bingung.
“Kamu kenapa is, kamu lagi ada masalah” selidiknya.
“Gak papa yo, mungkin aku cuma lelah menghadapi UAS seharian ini” Aku mencoba
tersenyum menyembunyikan kecurigaannya.
“Haha.. mungkin juga ya,” kemudian menengok jam tangan yang baru dibelinya dua
hari yang lalu dibursa jual beli online. “Sekarang sudah jam 4 sore, aku langsung pulang ya
sobat. Aku harus membantu ibuku dirumah” ucapnya dengan kesan terburu-buru.
“Bilang aja mau pamer jam tangan baru terus mencoba menghindar supaya tidak
dipinjam olehku” Aku senyum sedikit menyindirnya.
“Hahaha...nanti saya beliin deh buat kamu, tapi dengan satu syarat” tatapannya yang
misterius mencoba membuatku penasaran.
“Syarat? Apa syaratnya?” aku menanggapi dengan serius.
“KAMU...HARUS...PUNYA...PACAR...DULU” bisiknya ditelingaku. Menepuk pundakku
dan kemudian tertawa terbahak-bahak sambil pergi meninggalkanku dengan lambaian
tangannya.
“Dasar!”, gumamku dalam hati dan tersenyum membalas lambaian tangannya.
Aryo adalah teman yang baik, dia banyak sekali membantuku dalam segalah hal,
membantuku mengerjakan tugas kuliah, selalu memberiku nasihat, meminjamkan uangnya
ketika aku tidak punya uang, menolongku ketika kesusahan, dan masih banyak lagi. Bagiku
dia adalah teman yang istimewa dan bisa menghargai aku dengan baik dibanding temanku
yang lain. Asal kalian tahu, tidak semua orang bisa memahami dan menghargaiku dengan
baik.
Selain itu, dia juga anak yang berbakti kepada orangtuanya. Dia selalu membantu ibunya
berjualan. Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan, dan kini ibunya
menjadi tulang-punggung keluarganya dengan berjualan mie ayam setiap sore hingga
malam hari diperempatan jalan yang lalu-lalang ramai dilewati pengendara yang melintas.
Aryo sebenarnya sudah bersikeras untuk berhenti kuliah dan mencoba mencari pekerjaan
agar bisa meringankan beban orangtuanya, namun ibunya begitu bersikukuh menginginkan
anaknya itu untuk tetap kuliah dan meraih cita-citanya kelak suatu hari nanti. Jujur saja, Aku
begitu iri dengan Rio.
“Ahh, lelahnya..” Aku menjatuhkan tubuhku diatas kasur yang tidak begitu empuk.
Memandang langit-langit dan pikiranku jauh entah kemana. Mataku agak berat.
“Allahuakbar, Allahuakbar....”
Aku segera membuka mataku, “Ternyata sudah waktu maghrib”. “Dimana pun kamu berada
Fais, jangan pernah meninggalkan ibadah dan bergaulah dengan orang yang baik” Aku jadi
teringat perkataan pamanku dulu menasehatiku. Lantas aku bangun dan segera beranjak
mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadah.
Dikamar ini aku sendiri, temanku-temanku semuanya pulang kampung untuk bertemu
keluarga masing-masing. Mengisi liburan mereka. Dikamar ini aku tidak memiliki aktivitas
lain selain membaca dan menulis menjadi santapanku setiap hari. Dan dikamar ini juga, aku
dididik menjadi seorang yang mandiri, mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, makan
sendiri, dan beban pikiran pun terasa ditanggung sendiri. Kadang aku merasa kesepian,
kadang juga menyukai kesendirianku yang hening dan damai tanpa diganggu oleh
siapapun. Tetapi aku lebih banyak merasakan kesepian.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku meratapi kesendirianku, aku tidak bisa tidur malam ini.
Entah apa yang membuatku tetap terjaga. Aku berulang kali memutar tubuhku menemukan
sisi kenyamanan untuk bisa tidur barang satu atau dua jam, tetapi tetap saja tidak bisa. Aku
menengok jam dinding disamping kananku, jam 1 dini hari. Aku begitu gelisah dan kacau
malam ini dan tidak tahu lagi harus melakukan apa. Mataku mencari-cari sesuatu entah apa
yang hendak dicari. Aku merasakan kehampaan yang amat begitu dalam dan mengganggu
pikiranku serta perasaanku saat ini. Ada apa ini? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku melihat kalender dimeja depanku, dan kemudian menghampirinya.
“Ya, aku melihatnya” kataku dalam hati. Aku mengambil kalender itu.
Aku melihat karya tanganku disana. Bulatan merah yang sengaja kubuat dengan spidol
permanen agar tidak ada yang bisa menghapusnya.
“Satu..,dua..,tiga....,empat.,lima..enam...” Aku menghitungnya dalam hati. Entah
kenapa aku harus melakukan ini” Aku merasakan hal yang aneh terjadi didalam hatiku.
“....sebelas..duabelas.,tigabelas.....” Aku merasa tidak sanggup lagi untuk berhitung,
seakan-akan hatiku menolak untuk melakukannya. Kupandangi bulatan merah itu dengan
perasaan dingin yang menggigil menjalar diseluruh tubuhku. Aku tidak sanggup lagi
melihatnya. Kuletakkan kalender itu ditempat semula tanpa melihatnya.
Perasaanku tidak karuan dan terasa berat sekali, aku merasakan beban yang mengganjal
yang tidak bisa aku lepaskan, beban didasar hatiku. Hatiku terasa sakit, sesak dan sukar
bernafas. Nafas ku tak beraturan. Aku semakin gelisah dan basah kuyup dihantui rasa
bimbang yang bergejolak semakin besar. Aku merasa tidak kuat lagi dengan perasaan
bersalah yang bertubi-tubi menghampiriku ini.
Aku menundukkan kepalaku, menempel diatas meja dan memejamkan mata. Kudengarkan
hembusan angin yang terngiang ditelingaku. Ada kedamaian yang kurasakan, dan tanpa
terasa air mataku mengalir begitu saja ...

“Aku ingin pulang...” hatiku bergumam.


IDENTITAS PENULIS

Nama Lengkap : HENDI NURYANDI


ID Instagram : @hendynur1001
Nomor WA : 081515632989
Email : hendynuryandy@gmail.com
Alamat : Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46 Kudusan-Plosokandang
Tulungagung, Jawa Timur 66221

Anda mungkin juga menyukai