Anda di halaman 1dari 13

Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah

Tak sepatutnya aku menyesali hidup yang telah kujalani selama enam
belas tahun ini. Aku masih punya cukup waktu untuk menata hidup yang lebih
baik dari apa yang aku lalui sekarang. Melegakan memang jika aku sadar
bahwa umurku masih sangat muda dan tidak terlalu cocok untuk mengeluh soal
hidup yang tidak berjalan sesuai keinginan. Tapi, menunggu waktu yang tepat
akan datang hanya akan membuatku seperti orang bodoh yang menyebrang
saat lampu sedang hijau. Tanpa persiapan, tidak tahu apa yang dihadapi, dan
mati.
Memikirkannya saja membuat segelas jus yang sedang kunikmati
menjadi terasa tawar, begitu juga dengan sepiring nasi goreng ini. Orang-orang
lalu-lalang tepat di depanku. Membayangkan apa yang sedang mereka lalui
dan telah mereka lewati, rasanya tak ada yang seberat apa yang telah kujalani.
Aku yakin diantara mereka semua tidak ada yang habis bersinggungan
pendapat dengan seorang ibu tadi malam.

“Aku selalu saja gagal dalam segala hal yang aku tekuni. Bahkan sejak
aku SD.”
“Nak, gagal itu bagian dari hidup. Itu hal yang biasa terjadi.”
“Ya, benar Mah, memang benar itu semua. Aku yang tidak pernah dapat
peringkat 10 besar di sekolah, aku yang baru sehari ikut ekskul silat langsung
pingsan, aku yang tidak pernah dipilih jadi pemain utama di tim basket sekolah
dan satu hal penyesalan terbesar yang tidak pernah aku lupakann Mah. Saat
dimana aku ditunjuk menjadi peniup terompet solo waktu ekskul marching
band. Mama tahu kan?”
“Iya, Mama lihat nak, Mama ada disitu. Tapi, tidak seharusnya...”
“Aku benar-benar merasa menjadi orang paling tidak berguna kalau aku
ingat itu Mah. Semua penonton melihat ke arahku. Pemain lain hening
menunggu aku bermain. Dan saat aku bersiap untuk meniup, semua yang ada
di kepalaku hilang. Aku tidak ingat apa-apa. Tuts terompet yang awalnya lincah
aku mainkan, serta merta menjadi sebuah benda asing. Aku lupa semua notnya
dan terdiam. Semua hening melihatku. Aku keringat dingin Mah. Pertunjukan
terus berlanjut dengan bagian cacat yang seharusnya menjadi bagian paling
menarik dari penampilan kami. Tapi, semua berakhir buruk hanya karena aku
Mah. Dan Mama masih bisa bilang itu hal yang biasa?”
“Setidaknya kan marching band sekolahmu masih mendapat juara 3
Dafa.”
“Kami bisa juara 1 seandainya aku tidak lupa. Jika bukan karena kepala
bodohku ini, kami pasti bisa....”
“Eh Daf, kamu makan di kantin juga ya ternyata.”
Dan Lusi tiba-tiba datang dan menghamburkan semua renungan yang
dari tadi aku asah untuk mempertajam rasa bersalah yang inginku tancapkan
dalam-dalam di dasar pikiranku. Terutama pada bodohnya aku dalam ekskul
yang sangat kucintai itu.
“Iya, aku makan nasi goreng pakai telur ceplok, minum jus mangga,
duduk tenang, dan kau datang mengganggu.”
“Hehe.. iya maap. Aku minta dikit ya?” Katanya sambil duduk
disebelahku dan menyendok penuh nasi gorengku yang sudah dingin.
“Kamu kalau masih mikirin urusan marching band itu, aku bisa paham
gimana susahnya itu buatmu. Sudah dari seminggu yang lalu kamu berhenti
karena kejadian itu, dan sampai hari ini kamu masih aja tidak membaik.”
Sambung Lusi dengan mulut penuh nasi.
“Aku susah melupakannya Lus.”
“Gak bahasa, gak pemikiran, sama-sama kaku kamu Daf.”
“Ya biarkan saja, aku suka dengan cara bicara dan berpikirku yang
seperti ini. Berkarakter.”
“Nah itu tuh, salah satu hal yang bisa kamu banggain diantara semua
kegagalanmu.”
“Apa itu Lus?”
“Kepedeanmu. Hahahaha...”

Aku hanya melihat Lusi terbahak-bahak mengejekku seenaknya. Saat


tertawa, rambutnya yang sebatas leher bergerak kesana kemari, bibirnya
tersenyum lebar, tangannya mendorongku pelan berulang-ulang dan matanya
berkaca-kaca hampir-hampir meneteskan air mata.
Dia memang suka seenaknya sendiri. Untungnya dia temanku yang jujur,
apa adanya, tidak palsu, terbuka tanpa ada hal yang ditutupi. Semua mengalir
saja jika bersama Lusi. Dia teman yang baik untuk seorang apatis sepertiku.

“Cabut yuk!”
“Ini akan jadi yang ketiga dalam minggu ini Lus.”
“Gak apa-apa kali Daf. Mumpung nanti jam kosong.”
“Tapi, besok ulangan. Lebih baik kita pakai jam kosong nanti untuk...”
“Bentar aku ambilin tasmu.” Katanya sambil lari kecil membelakangi dan
menjauh dariku.
Punggung Lusi pelan-pelan mulai samar terlihat dari pandangan. Dia
berbelok ke kelas tergesa-gesa kegirangan. Percuma menyusun pendapat
sedemikian kongkret untuk membantah ajakannya. Dia hanya akan
membantah-nya dengan ketidakpedulian dan pemaksaan yang tak bisa ditolak.
Lalu dibumbui dengan sebuah ajakan yang cukup menggiurkan. Bolos.

***

“Daf pegangin ya.” Lusi bersiap naik ke sebuah kursi kayu berdebu.
“Terus nanti kalau aku naik siapa yang megangin?”
“Kamu ini Daf, jangan manja jadi laki-laki!”
“Ini kenapa aku juga malas menjadi laki-laki. Apa-apa harus mengalah
sama perempuan. Katanya emansipasi tapi, sama aja. Aku nye...”
“Gak usah nyesal-nyesal, masih mending punya genre.”
“Gender Lus.”
“Iya, itu maksudku. Gendeng kan?”
“Gender.” Kataku pelan dengan nada lesu.

Setelah melompat dari pagar, kami mendarat di rerumputan sisa lahan


sekolah, lompati selokan, berlari menyebrang jalan, kemudian lari lagi menjauh
dari sekolah, berhenti sebentar, lari lagi, berhenti mendadak, dan Lusi
melambai-lambai terburu-buru untuk memberhentikan angkot yang lewat.

“Mau kemana neng?” Kata supir angkot.


“Ke Pemancingan bang.” Kata Lusi dengan nafas yang belum teratur.
“Pemancingan mana neng?”
“Pemancingan yang ada ikannya bang.”
“Semua pemancingan ada ikannya kali neng.”
“Ada bang pemancingan yang gak ada ikannya.”
“Pemancingan mana neng? Dimana-mana pemancingan pasti ada
ikannya.” Balas supir angkot tidak mau kalah.
“Pemancingan air panas.”

Hening. Lusi diam menunggu respon si supir dan si supir juga


memasang wajah yang sedang berpikir keras. Mungkin dalam pikiran si supir
sekarang sedang berkata, “Ini bocah dari planet mana sih? Kok nyebelin
banget.”
“Hahahaha... Itu pemandian Lus, bukan pemancingan.” Kataku dengan
kalimat yang diawali dengan tawa formalitas.
“Hahahaha... Kamu tau aja Daf.” Lusi ketawa sungguhan.
“...........” Supir angkot tetap diam, berniat tertawa pun sepertinya tidak.
Bahkan kumisnya yang melintang di atas bibir layaknya jembatan Suramadu,
tidak bergeming sedikitpun.
“Yaudah bang, yang terdekat aja dah yang penting.” Sambung Lusi.
“Oke deh neng.”

Lusi bergegas masuk ke dalam angkot. Sedang aku masih terdiam


memandang tangga masuk ke angkot. Bukan, bukan karena tangganya kotor,
berkarat atau karena bingung kenapa motif tangga angkot gitu-gitu aja. Tapi
aku bingung aja kenapa ke pemancingan? Kan biasanya ke warung es oyen
atau tidak ke warung bakso beranak.
“Daf, jangan bengong aja. Ayo naik.” Ajak Lusi yang sudah berdiri tepat
di pintu angkot.
“Aku belum pernah ke pemancingan Lus. Aku tidak bisa memancing,
nanti malah membosankan disana.”
“Sudah, gak apa-apa. Kamu kan belum coba, mana bisa nyimpulin kalo
bakal bosan.”
“Ayok naik Daf.” Sambung Lusi sambil menunduk dan mengulurkan
tangan.
“Yaudah deh. Tapi, sebentar saja ya.” Aku pun meraih tangan Lusi.
“Iya Daf.” Jawab Lusi disertai senyum yang ramah.

***

Setengah jam di pemancingan, kami tidak kunjung dapat apa-apa selain


lelah. Belajar dengan Lusi yang tidak begitu paham benar bagaimana
memancing, memang tidak dapat memperbaiki suasana. Yang kami lakukan
sejak tadi hanya mengayun tongkat pancing yang kami sewa. Kail dan umpan
melambung jauh tapi, itu tidak menjamin kami akan mendapat ikan.

“Lus, dari tadi kita hanya pasang umpan, lempar, umpannya hilang di air,
tarik, pasang umpan lagi, lempar lagi, terus hilang lagi dan begitu seterusnya.”
“Sabar, mancing itu harus sabar.” Kata Lusi dengan santainya.
“Ya aku tahu Lus, tapi aku sudah tidak tahan dengan bau tanganku
sendiri yang dari tadi berurusan dengan umpan ini.”
“Hahaha... gak apa-apa. Ini itu mainan laki-laki tau. Laki-laki kuat bau.”
“Oh gitu? Jadi tukang sedot tinja adalah pekerjaan paling jantan di dunia
ini?”
“Oh salah Daf. Yang bener KPK.”
“Kok gitu?”
“Kan bau korupsi lebih busuk dari tinja.”
“Hahaha... pintar kamu Lus.”
“Eh ngomong-ngomong Ana apa kabar Daf?”
Aku tidak suka dengan pertanyaan Lusi yang satu ini. Aku sedang duduk
bersandar di gazebo pemancingan, menunggu ikan yang tidak kunjung
melahap umpan, umpan hanya larut dalam air dan akhirnya menghilang dan
sekarang yang muncul bukan ikan, malah pertanyaan tidak penting dari Lusi.

“Aku tidak tahu dan tidak peduli.”


“Loh, loh baru seminggu putus udah gitu ya. Bukannya kamu masih stalk
dia di sosmed?”
“Kita bisa ngomongin yang lain aja Lus?” Kataku dengan nada tanya
yang meninggi.

Lusi lalu diam. Ada jeda lama diantara kita. Sesaat yang terdengar
hanya suara angin yang meniup pepohonan di sekitar, orang-orang yang teriak
kegirangan mendapat ikan, riak air tambak, dan suara patahan-patahan hati
yang belum selesai.

“Aku tahu Daf kamu lagi dalam posisi yang sulit. Pikiranmu sedang
banyak tekanan. Dan juga kamu sudah tidak tahu harus melanjutkan hidupmu
kemana. Kamu terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri tanpa ada usaha
untuk mem-perbaiki semuanya. Kamu harusnya bisa bertanggung jawab pada
apa yang telah gagal kamu lakukan di masa lalu. Dan menurutku kamu harus
mulai memperbaiki semuanya dari awal. Dari Ana.”
“Tapi kenapa harus dari Ana?”
“Tanpa Ana, kamu gak mungkin bisa memperbaiki semuanya. Kamu
sendiri Daf. Ego-mu untuk gak minta maaf atas apa yang sudah kamu lakukan
ke Ana, membuatmu kehilangan dia dan liat dirimu sekarang. Berantakkan!”

Wajah Lusi tiba-tiba berubah dari yang awalnya ramah dan penuh
keceriaan sekarang menjadi wajah yang penuh dengan emosi yang tidak stabil.
Aku sendiri bingung harus seperti apa menghadapi orang yang sedang seperti
ini. Lusi terlihat sangat aneh dan sedikit menakutkan.
“Aku hanya tidak tahu harus bagaimana Lus. Waktu itu semua terasa
serba salah. Makanya aku diam saja dan menanggung semua rasa sedih itu
sendiri. Tanpa aku, kurasa Ana bisa bahagia.”
“Kamu harus bikin surat cinta sekarang.” Kata Lusi mantap.
“Hah? Buat siapa? Untuk apa? Aku belum pernah bikin hal-hal kayak
gitu.”
“Dafa dafa, kamu ini gak ngerti sama kemampuan sendiri. Aku kan tahu
kamu suka baca buku, puisi, ya hal-hal yang gitu-gitu lah. Kosakata yang kamu
punya pasti bisa bikin surat cinta yang manjur buat Ana.” Kata Lusi dengan
wajah yang amarahnya mulai padam.
“Tapi, Lus aku tidak berpengalaman kalau untuk..”
“Bentar ya aku ambilin kertas sama pulpen.” Untuk kesekian kalinya Lusi
kembali memotong omonganku.
Lusi dengan sigapnya menarik tasnya, merobek bagian tengah buku
tulisnya, membuka kotak pensil, menarik pulpen, lalu menghampiriku.
“Ini Daf.”
“Ya ini mau aku isi apa?”
“Udah spontan aja. Coba deh pikirkan hal-hal yang terdekat aja. Hal-hal
yang menyangkut hubungan kalian dulu, coba bahas di surat itu.”
“hmmm...” Kataku sambil kembali menyandarkan punggung ke dinding
gazebo.

Aku coba menyusun kata dari apa yang kuliat disekitar. Menyusun
analogi-analogi dan diksi-diksi yang kira-kira bisa kumasukkan dalam kertas
kosong yang nantinya akan menjadi surat cinta mmm.. maksudku surat
permohonan maaf. Kupandangi tambak ikan, pepohonan, barisan gazebo dan
orang-orang yang sedang bersantai. Semua yang ada disini seperti sebuah
kesatuan aktivitas yang menyenangkan, suara tawa dan keseruan tapi terasa
tenang, sejuk desir angin dan riak air tapi tetap hangat. Seperti sebuah rumah.

“Rumah!” Suaraku sedikit keras, cukup untuk mengejutkan Lusi yang


sedang berjongkok menunggu pancing.
“Kenapa Daf?” Kata Lusi kaget.
“Rumah Lus, rumah. Aku sudah tahu harus menulis apa.”

Aku langsung menulis dengan cepat dan hati-hati. Beberapa kali ada
kata yang kucoret. Suratnya menjadi kotor oleh coretan, tapi tidak apa-apa,
masih bisa disalin di kertas lain. Lusi sendiri sudah duduk disebelahku sekarang
dan meninggalkan tongkat pancing yang disewa begitu saja. Kalau pancing itu
ditarik ikan, selesai sudah. Pancing itu akan tenggelam dalam tambak, karena
dua orang ini sedang teralihkan perhatiannya.

“Gimana Daf? Udah selesai?” Tanya Lusi.


“Bentar Lagi Lus.” Kataku dengan masih fokus ke surat.
“Tapi itu kotor ya, banyak coretannya.”
“Bodo amat.”

Tulis dan tulis. Coret dan coret. Satu halaman hampir penuh oleh isi
surat cinta. Terus sampai di baris terakhir dan selesai. Tinggal tulis nama
pengirim.

“Sudah selesai Lus.”


“Mana Daf? Coba liat.” Kata Lusi sambil menarik suratnya.
“Coba baca, menurutmu udah cukup bagus belum?”
“Oke, bentar aku baca dulu.” Lusi menatap surat itu sebentar, lalu mem-
bacakannya dengan suara pelan.
“Na, jika hubungan kita ini adalah sebuah rumah, kita lah penghuninya.
Dekorasi rapi, warna putih, bersih, tulus, seperti bagaimana kita memulainya.
Warna-warna material kayu menghias langit-langit dan perabot rumah. Pintu-
pintu kaca menghadap taman-taman yang indah, natural seperti pertemuan
kita. Dinding-dinding dihiasi foto-foto kenangan kita. Ada satu foto yang paling
kusuka, saat dimana aku pertama kali melihatmu di depan kantin sambil makan
mie ayam kesukaanmu. Disitu waktu terasa terhenti, orang-orang disekitarmu
menjadi samar, dan gelas es tehku yang kosong menjadi penuh lagi.
Ruang tamu, ruang favorit kita. Kita berbincang, bertukar pikiran, bahkan
membicarakan orang lain he.. he... sangat menyenangkan. Sebuah sofa dan
meja tempat kita menghabiskan waktu, minum teh, dan mengisi buku harian.
Tapi sekarang rumah itu sepi. Kau sudah tak lagi ada disana. Semua
karena kesalahanku, tak dapat membicarakan masalah dengan baik-baik. Aku
termakan emosiku sendiri, lalu kau bersedih. Rumah kita waktu itu diisi oleh
dua orang yang saling diam, tidak tau harus berbuat apa. Aku kemudian sadar
pada apa yang telah aku lakukan dan mencoba untuk memberi penjelasan atas
apa yang terjadi. Lalu, kau hanya tersenyum pahit dan pergi meninggalkan
rumah kita.
Aku sendirian menenggak segala sepi dan rasa bersalah sekarang. Hari-
hariku hanya kuisi dengan duduk di sofa tempat kita biasa berdua. Bedanya
sekarang aku sendiri. Membersihkan rumah, minum teh, bahkan mengisi buku
harian semua sendiri. Buku itu tak seperti dulu lagi, dimana semua isinya
tentang kita, sekarang hanya berisi tentang aku. Tentang diriku yang menahan
segala rindu. Aku sedih dan menyedihkan memang, tak dapat berbuat apa-apa
untuk membuatmu kembali ke rumah kita. Rumput di taman kita mulai tinggi tak
beraturan, kayu-kayu mulai lapuk, perabot berdebu, dan foto-foto kita yang
terpasang rapi di dinding sekarang kusam, pudar, dan berjatuhan ke lantai.
Ku ratapi segala kesalahan, berusaha memaafkan diri. Tapi percuma,
aku lebih suka membusuk bersama segala kenangan kita, rumah kita. Semoga
kau kembali Na, aku tunggu.”
“Gimana Lus?”
“Daf.”
“Iya Lus?”
“Ini parah sih. Keren surat cintamu hahaha.” Lusi terbahak.
“Ah, masa sih?”
“Iya, pasti Ana mau balik lagi habis baca ini.” Katanya sambil meng-
acungkan jempolnya ke wajahku.

Setelah surat itu selesai, Lusi lalu buru-buru mengajakku pergi ke rumah
Ana sesegera mungkin dan waktunya memang sangat pas, jam setengah tiga.
Ana pasti barus sampai dirumah sekarang. Lusi membayar semua harga sewa
di pemancingan dari harga sewa tempat dan tongkat pancing. Lalu Lusi kembali
menyetop sebuah angkot dan kami pergi ke rumah Ana sambil mempersiapkan
beberapa rencana yang kami rancang di dalam angkot.

“Daf, kamu nanti masuk ke rumah Ana sendiri, aku tunggu di seberang
jalan. Kamu basa-basi dulu ke dia baru keluarin suratnya.”
“Basa-basi yang seperti apa Lus? Aku bingung.”
“Udah kamu tanya kabar aja. Terus tanya kabar keluarganya. Udah gitu-
gitu aja. Terus minta maap. Nah, habis itu keluarin deh suratnya, kasihin ke
dia.”
“Oh iya, iya, aku paham.”

Angkot pun berhenti tepat di seberang rumah Ana. Lusi berkata kepada
supir angkot untuk menungguku dulu. Lalu, aku pergi menuju rumah Ana. Kaki
gemetar, pandanganku sedikit merunduk dan tanganku berkeringat. Lalu,
sampailah aku tepat di depan pintu rumah Ana. Baru hendak mengetuk, tiba-
tiba pintu itu terbuka.

“Dafa?” Wajah Ana terlihat bingung dan sedikit kaget.


“Eh, Ana.” Aku pun kaget juga.
“Ada apa ya Daf?”
“Ada anu, tadi habis bolos ke pemancingan.” Dan keceplosan.
“Bolos? Kamu tadi bolos?”
“Nggak itu anu Na anu, emmm kamu mau kemana?”
“Ke warung depan gang, mau beli gula. Kamu sendiri, ada perlu apa
tiba-tiba kesini Daf?”

Sumpah, semua rencana yang tadi disusun dalam angkot sama sekali
hilang dalam kepalaku. Sekarang kami berhadapan dan saling menatap. Kakiku
yang tadinya bergetar, sekarang jadi kesemutan dan tanganku yang tadinya
berkeringat sekarang mulai kaku.
“Aku kesini sebenarnya mau minta maaf Na.”
“Maaf untuk apa?”
“Untuk kesalahan yang sudah aku buat Na.”
“Yaudah gak...”
“Bentar-bentar aku punya sesuatu buatmu.” Kataku sambil membuka tas
lalu memberikan suratnya kepada Ana.
“Ini apa?” Ana heran.
“Baca aja dulu.” Kataku sambil memandang surat yang kini siap Ana
buka.
“.....” Ana diam membaca surat itu dalam hati. Beberapa saat aku melihat
dia tersenyum. Lalu beberapa saat aku lihat dia mengernyitkan alisnya. Proses
Ana dalam berusa mencerna isi surat itu terlihat cukup jelas dari wajahnya.
“Gimana Na?”
“Aku suka sama isi suratmu. Kamu makin jago ya Daf dalam merangkai
kata-kata.” Katanya sambil tersenyum.
“Iya makasih Na, hehe.” Kataku sambil nyengir.
“Tapi maaf Daf, aku sudah gak bisa hadir di rumah yang kamu maksud
di surat ini. Aku hanya tamu sekarang di rumahmu itu. Aku bukan pemiliknya
lagi Daf. Kamu jaga baik-baik rumahmu itu, dan buat kenangan baru bersama
dia yang lebih membutuhkan.”
“I.. Iya Na.”

Aku berbalik dan berjalan menuju angkot. Aku membawa surat tadi, Ana
sudah tidak peduli denganku, begitu juga dengan suratnya. Aku masuk ke
angkot. Duduk disebelah Lusi dengan tatapan kosong.

“Daf, boleh aku aja yang menemanimu di rumah itu?” Kata Lusi dengan
pandangan penuh empati sambil tersenyum
“Maksudnya Lus?”
“Iya Daf, aku mau jadi orang yang selalu menemanimu di rumah yang
kau maksud itu. Membantu membersihkannya, mencetak foto-foto kenangan
bersama, mengisi buku harian...”

Lusi terus mengutarakan isi hatinya selama ini. Sedangkan aku hanya
melihat wajahnya tanpa fokus pada apa yang dia bilang. Dia temanku selama
ini orang yang paling aku percayai, orang yang kuanggap tidak pernah
menyembunyikan apapun dariku sekarang malah seperti ini. Penyesalanku
sekarang bertambah. Tekanan dalam kepalaku hari ini berlipat-lipat rasanya.
Aku kembali menyesal. Menyesal telah memilih dia sebagai temanku. Sebuah
rasa sesal yang sangat manis selama hidupku.
Lusi terlihat lega telah mengutarakannya, namun wajahnya menjadi
sedikit khawatir akan respon apa yang akan aku sampaikan kepadanya. Lalu
aku hanya tersenyum. Begitu juga dengan supir angkot yang sedari tadi
menguping kami.
Sungguh hari yang penuh dengan sesal yang tak biasa Lusi. Entah hal
apa saja yang kau sembunyikan selama ini.

Anda mungkin juga menyukai