Anda di halaman 1dari 12

BETTER VERSION

By: saa

Ada Lelah yang sengaja kutahan karena ada impian yang menunggu untuk
diwujudkan, begitu juga tentang aku yang tidak mampu membungkam rindu dalam
sandaran sejadahku. Inginku berserah diri saja kepada-Nya. Akankah semuanya
menjadi lebih mudah? Tapi satu hal yang kutahu. Tuhan sangat menyayangi hamba-
Nya. Aku yakin, setiap perbuatanku akan ada ganjarannya. Afinitas karma bergerak.
Dengan aku berusaha sebisa mungkin, aku bisa meraih batas apapun.

***

Hari ini awan diatasku sedang bosan. Berjalan lambat. Membuat kamarku agak
redup. Hmm.. bisa aja kunyalakan lampu, tapi males.. Sekarang aku lagi mode nolep.
Kamar sudah berwujud kapal pecah. Bisa aja kurapikan, tapi males..

Di dinding kamarku, banyak tempelan foto-foto. Mulai dari foto-foto


keluarga, temen-teman, sampai foto biasku (hehe). Tapi daripada itu, ada satu
gambar berbeda dari yang lainnya. Tertimpa banyak notes. Gambar itu adalah
tujuanku. Tujuan profesi yang kuinginkan. Ah.. Teringat aku saat menempelnya.
Penuh rasa harap dan optimisme yang meluap. Hahaha.. Kemana semua itu
sekarang? Menghilang tak berbekas begitu saja. Heran, ya? Cepat sekali roda
kehidupanku berputar. Kututup mataku untuk menghilangkan ingatan itu sejenak.
Dengan harap aku cepat terlelap.

***

“Hayung!”

Mendengar seseorang memanggilku, aku pun menoleh. Hafa berlari seperti orang
kesetanan. Kenapa dah ni anak?
Hafa ini definisi teman partner in crime-ku. Sahabat sih lebih tepatnya. Waktu SMA,
kita suka madol bareng sampai dikejar-kejar guru BK. Tapi untungnya, semua
kenakalan sirna setelah kita naik kelas 12. Masanya fokus untuk bersiap-siap masuk
Univertas.

“Hayung!! Woi gayung..!”

“Heh, Fa! Jangan teriak-teriak. Malu tau.” Kataku dengan muka cemberut.

“Yung, gayung. Ini tuh urgent banget! Lu harus liat!!”

Hafa menyodorkan hape nya. Layarnya berisi pengumuman daftar nama


yang diterima di Universitas ternama, Universitas incaranku. Aku pun langsung
meraih hape nya dengan cepat-cepat. Sumpahsumpahsumpahsumpahsumpah.

Perlu waktu agak lama untuk mencari namaku. Diantara ribuan orang ini. Aku capek

menscroll ☹ .

‘NIRINA HAYUNGGI’

”Yaampun, yung! Nama lu ada!!”

“Sumpah, Fa! INI BENERAN!!”

“Bener, lah! Sumpah gua bangga banget sama lu, Yung!!”

Kita berpelukan sambal melompat-lompat kegirangan. Sebenernya, kita


udah pernah melakukan ini. Saat Hafa diterima label musik terkenal. Ya, dia itu
musisi. Sangat berbakat. Walaupun aku di lingkup sains, aku sangat suka dengan
musik. Inilah yang membuat kita dekat. Tentu saja aku sangat mendukung karirnya.
Begitu pula denga napa yang dia lakukan sekarang.

”Oke, gua umumin di grup angkatan sekarang. Si Gayung bakal neraktir kita
GEPREK!!”

Aku melotot, “Heh, Jangan ngadi-ngadi lu, Fa!”

Aku tau dia bercanda. Dia Cuma mengajak di grup angkatan agar kumpulan
lagi. Alasannya biar bisa tukar kabar secara langsung. Apalagi tentang dunia kampus.
Pasti dia pengen pamerin aku. Hehe. Dia emang the best. Tapi tetep aja suka ngatain
gayung :/.

Hari itu penuh luapan kebahagiaan. Keluarga suportif, sahabat yang selalu
ada, serta impian yang bisa tercapai. Semuanya terkabulkan. Apa yang bisa lebih
baik daripada ini? Ataukah lebih buruk?

***

Ini sudah tahun kesekian aku berkuliah. Semakin kesini, aku merasa sangat
kesusahan. Ternyata, masuk fakultas bagus ada resikonya. Sangat berat bagiku
untuk tetap mengikuti pelajaran. Aku tau resikonya, tapi tidak kusangka akan
seberat ini. Yah.. sudah terlanjur memilih, mau tidak mau aku harus menghadapi ini
semua.

Tetapi belakangan ini hidupku seperti berantakan. Jadwalku juga tidak


teratur. Jadwal makanku tidak menentu, tugas-tugas menumpuk. Mati-matian aku
berusaha agar nilaiku tetap stabil. Inikah yang kuinginkan dulu? Mau tidak mau aku
merasa januh. Menumbuhkan rasa optimisme tidak segampang itu!
Belum lagi orang-orang yang mengomentari pola hidupku. Terus gua harus
gimana?? Di mata orang-orang, aku dianggap kurang rajin, kurang berusaha, dan
lain-lain.

Harusnya mereka sadar, komentar mereka itu tak berefek apa-apa bagi
hidupku. Mereka pikir, habis mereka komen hidupku jadi lebih baik? Mereka Cuma
berpikir aku ini pantas di judge. Mereka pikir komentar mereka itu diperlukan.
Semua itu percuma. All I need is support word. Aku ingin orang-orang memberiku
semangat. Dan kalaupun akua da kekurangan, just give me some advice, not
judgement.

***

Suasana kantin fakultasku kini ramai. Melihat banyaknya insan-insan


seperti sarang tawon membuatku merinding. Padahal aku dan temen sefakultasku
ingin makan bareng.

“Lit, kita ke kafe depan aja deh, ya?” ucapku ke Lita, temen satu kelasku.

“Sip, dah. Rame banget emang ini.”

Saat di kafe, kita langsung mendapat tempat duduk karena tak terlalu ramai.

“Yung, gua ke toilet dulu ya, lu pesen aja duluan. Nanti gua nyusul.” Ucap Lita yang
sepertinya sedang kebelet.

“Okee..”

Aku memesan makananku, lalu hanya duduk diam. Pandanganku menyapu sekitar.
Lalu aku melihat seseorang, yang juga sedang menatapku.

Bang Nendra?

***
“Nama kamu Nirina Hayunggi, kan?”

“Iya, bang. Kenapa ya bang?”

Bang Nendra ini asdosnya Bu Rika. Matkul yang susah banget, dan aku mati-matian
mengejar nilainya. Pertanda yang kurang bagus kalua sampai disamperin Bang
Nendra.

“Kamu tau kan, saya asdosnya Bu Rika?” aku mengangguk. “Nah, sebenernya saya
Cuma inisiatif sendiri, bukannya mau nakut-nakutin kamu.” Ucap Bang Nendra
pelan.

“To the point aja nih, ya. Kamu masih tertarik Matkul ini gak?”

“Masih Bang.”

“Kalo gitu, saya Cuma mau bilang, nilai kamu dari semester awal itu menurun terus,
dan, hmm.. sekarang jadi yang terendah.” Ucap Bang Nendra dengan hati-hati.

Aku menelan ludah dengan kasar. Tekanan di dadaku seperti berkumpul di


satu tempat. Sesak. Terendah?

“Cuma mau ngingetin aja, ya. Bu Rika belum bilang apa-apa ke saya. Saya emang
suka mengantisipasi aja. Saya juga it uke semua mahasiswa.” Ucap Bang Nendra,
“Saya inisiatif aja. Daripada Bu Rika yang bertindak duluan. Tau kan, Bu Rika gimana
orangnya?”

Bu Rika memang terkenal sebagai satu diantara dosen yang ‘Tidak


Menyenangkan’. Kalo ngomong suka nyelekit dan melukai hati pendengarnya.

“Iya bang. Makasih udah ngingetin saya” ucapku lemah.

“Santai aja. Yaudah ya itu aja, saya duluan.”


Begitu selesai, Bang Nendra beranjak keluar kafe. Bang Nendra emang
orang yang baik, pembawaannya juga santai. Tapi kenapa rasanya begini? Kalimat
yang dilontarkan Bang Nendra langsung membuatku down. Terendah? Separah
itukah?

Rasanya kepalaku hanyut dalam pusaran pikiran-pikiran jelek. Aku merasa


sangat sedih.

“Hayung, lu kenapa deh, pucet banget. Eh, eh, yung, kok nangis?”

Lita ternyata sudah Kembali dari toilet. Tepat sekali saat mataku mulai
memerah. What should I do?

***

Kepalaku terasa berat. Sudah dari kemarin aku terdiam lemas di dalam
kamar. Mau makan pun gak selera. Belum cukup aku dijatuhkan tempo hari lalu,
kemarin pembagian hasil ujian semester. Dan ya, nilaiku terendah.

Aku tak tau harus berbuat apa. Rasanya ingin ku berbagi cerita tentang ini
kepada orang lain. Keluarga? Aku tak ingin mengecewakan mereka, terlebih
membuat mereka cemas. Sahabat? Hafa masih sibuk dengan karirnya. Walaupun
tidak menempuh Pendidikan yang lebih jauh, sekarang dia sukses. Hafa itu cerdas
dalam bidang Musik.

Tentu aku tak ingin mengganggunya. Dan jujur saja, aku sedikit iri
dengannya. Just a littIe. Jalan karirnya terbentang jelas di hadapan. Hafa sangat
berpotensi. Masa depannya terjamin. Sedangkan aku? Haha. Mengejar nilai aja
butuh usaha mati-matian. Dan sekarang malah jadi yang terendah. Masa depanku
meragukan. Mau tak mau aku merasa skeptis.
Kupandang dinding kamarku. Ada gambar tentang cita-citaku. Sedang
memandangku jemu. Seolah menunggu untuk kugapai. Aku beranjak dari Kasur.
Lebih baik aku lepas saja. Tapi.. Aku bergeming.

Tak kuasa aku mencabutnya. Lebih baik aku tutupi dengan sticky notes.
Lebih baik kututup saja. Setiap melihatnya, hatiku terasa sakit.

Ya Allah, hamba mohon berikan hamba petunjuk. Berikanlah hamba titik


terang dalam masalah hamba. Sungguh hamba tidak ingin menyerah. Tetapi jika
masalah terus menimpa hamba, hamba bisa apa? Tolonglah hamba mengatasi
semua ini. ‫ َيا رّب‬Hamba Cuma bisa memohon kepada-Mu. ‫آِم ين‬

Mataku jadi sedikit basah. Setelahnya, entah mengapa dadaku menjadi ringan.

***

Suasana puncak ramai seperti biasa. Aku dan anak-anak se departemenku


juga salah satu penyebabnya. Kami sedang rekreasi ke Puncak. Semuanya senang
sekali. Seperti anak sekolah umumnya yang sedang Field Trip. Lucu kalau melihat
mereka.

Belum ada yang bisa menyembuhkan kesedihanku. Mungkin dari luar aku
tampak oke-oke aja. Tapi di lubuk hati aku masih merasa melankolis.

Tapi khusus hari ini, mungkin pengecualian. Aku mungkin bisa


memanfaatkan hari ini untuk menghibur hatiku. Tertawa dan bepergian dengan
yang lainnya. Tak terasa sore hari pun terlewati.

Aku terus bersama rombongan, sampai kulihat di rerumputan yang


menghadap panorama kota di lembah. Dan ada seorang perempuan duduk di kursi
panjang menghadap lukisannya. Oh, disini juga ada pelukis ya.
Aku merasa tertarik. Aku berpamitan dengan mereka. Aku tau mereka
tidah ada yang berminat ke Seni. Karena berseberangan dengan Fakultasku yang
ada di ranah eksakta. Mungkin hanya aku yang berbeda.

Aku melihat lukisannya. Sangatlah indah. Ia melukis seorang yang duduk


bersandar ke pohon yang rindang. Seseorang itu menutup matanya. Terlihat sangat
damai. Dengan latar lukisan rerumputan hijau tua yang kontras dengan latar langit
biru muda. Dengan awan-awan yang menghiasi bagian atas lukisannnya. Entah
kenapa hatiku berdesir melihatnya. Seolah-olah kedamaian bisa kuraih kapan saja
asalkan melihat lukisannya.

Aku pengen lukisan itu. Aku hampiri perempuan itu. Kulihat wajahnya. Parasnya
terlihat seperti perempuan dewasa, terlihat beberapa kerutan di wajahnya pertanda
Lelah. Tapi anehnya, wajahnya tampak segar, matanya teduh.

Sadar ada yang mengamati, ia menoleh kearahku. Rautnya terlihat bingung. Aku
pun menyapanya.

“Bu permisi, saya lagi lihat lukisan ibu. Bagus banget lho bu.” Ucapku sambal
tersenyum.

Si ibu tersenyum juga, “Makasih, mbak. Mari duduk di sebelah saya.” Sambal
menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Aku yang dari awal tertarik tanpa babibu
langsung duduk.

“Nama mbaknya siapa?”

“Panggil aja Hayung, Bu. Kalau nama ibu?”

“Nama saya Kinasih.” Aku mengangguk-angguk.

“Hmm.. Boleh tanya bu, mohon maaf kalua lancing, apa lukisan ini dijual? Saya suka
lukisan ibu.”
Bu Kinasih terkekeh, “Suka? Kenapa mbaknya suka lukisan ini emangnya?”

Aku berpikir sejenak, “Hmm, entah kenapa, lukisan ibu sepertinya berefek kepada
saya. Melihat ini kayak, pikiran saya damai. Seperti terhanyut ke dalam situ…
Seolah-olah sedang menghibur hati saya.” Ucapku sambil tersenyum getir.

Bu Kinasih meniti wajahku, kemudian menghirup udara lalu


menghembuskannya. Ia perhatikan lukisannya.

“Sebenarnya mbak, lukisan ini juga ada filosofi nya. Ini bukan hanya sekedar lukisan
pemandangan yang biasanya. Lukisan ini merepresentasikan hati saya. Dari lubuk
hati saya, tergambar seperti ini. Ya, saya memang sedamai itu sekarang. Saya
senang lukisan ini bisa menggambarkan hati saya sekarang.”

Bu Kinasih tersenyum, dan menghadapku. “Tapi saya seperti ini bukan


tanpa sebab, Mbak. Dulu, saya ini Wanita karir. Saya punya pekerjaan bagus, di
perusahaan unggulan. Saya merasa karir saya cukup sukses. Itu juga dikarenakan
usaha saya selama ini. Dari awal saya bersekolah, saya selalu rajin dan disiplin.
Merongrong kepala saya untuk terus mengingat akan masa depan. Bagaimana saya
kuliah, dapet pekerjaan, lalu menikah. Skenario kehidupan saya sudah tergambar
jelas di kepala layaknya cetak biru. Saya rasa semua itu memang yang harus saya
lakukan. Terus merasa berambisi dengan tujuan masa depan yang cemerlang.”

Aku masih mendengarkan beliau, “Lalu? Ada apa dengan semua itu? Bukankah itu
bagus?”

“Di satu sisi memang hal yang bagus. Tapi tau tidak? Setelah semua itu, saya telah
mencapai garis akhir. Lama-kelamaan saya berfikir ‘Ini bukan yang saya mau’. Saya
baru menyadarinya. Saya memang sukses, tapi bekerja dengan adanya tenggat
setiap hari, pulang pergi ke kantor selalu terjebak macet, kadang bekerja sampai
larut malam, ini bukan yang saya mau. Suasana hectic seperti ini tidak membuat
saya Bahagia. Memang karir saya sukses, tapi kesuksesan itu tidak menggairahkan
batin saya. Jadi, disinilah saya sekarang. Beristirahat demi mencari kedamaian.”

Aku cuma bisa menyimak, lalu termenung sendiri. Cerita masa lalu bu
Kinasih seperti memberiku titik terang.

“Hm.. Maaf jika saya agak tidak sopan. Menurut saya, mbak Hayung bukan ingin
lukisan saya, tapi keadaan yang ada di dalam lukisan ini.”

Aku tersenyum kecil, “Sepertinya memang iya, bu. Saya sekarang lagi kacau. Banyak
hal-hal belakangan ini bikin saya kaya gini. Saya mengalami kegagalan, tapi
bukannya bangkit, saya malah terjebak sama kondisi ini. Saya gak mampu berdiri
sendiri. Setelah semuanya kacau, saya mulai memikirkan masa yang akan dating.
Saya membandingkan diri saya dengan orang lain yang lebih sukses hidupnya. Saya
merasa lebih kecil lagi. Terus-menerus mengalami kegagalan membuat saya Lelah.
Padahal saya sudah berusaha mati-matian. Saya tidak tau harus bagaimana lagi.”
Tanpa sadar, mataku memerah dan nafasku tercekat.

Tak kusangka, reaksi bu Kinasih tenang. Ia hanya tersenyum maklum dan


menepuk-nepuk pelan bahuku.

“Sebenarnya lagi mbak Hayung, saya mulai sadar saat saya membaca satu buku.
Saya menemukan bagian yang membuat saya berubah.

Mereka yang bekerja tanpa henti, dikendalikan stress, bekerja tanpa rasa
Bahagia, akan kalah dengan mereka yang bekerja dengan senang hati dan santai.
Itu cenderung lebih efisien dan kreatif.

Oleh karena itu, mbak, jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Oke?” seraya
tersenyum bu Kinasih merangkulku.

Aku pun balas memeluknya. Sungguh melegakan.


***

Hari demi hari berjalan mengikuti tatanan waktu. Terkonversi menjadi


tahun. Dan sampailah pada saat ini. Setelah hari itu, semuanya terasa menjadi lebih
mudah. Kehadiran Bu Kinasih layaknya superhero di hidupku. Kita menjadi lebih
dekat dan akrab. Seperti keluarga. Walaupun ada perbedaan usia, gak masalah.

Aku sekarang menjadi lebih terbuka. Hafa, keluargaku, kuveritakan


semuanya. Aku didampingi Bu Kinasih. Tetapi kita harus berjauhan. Tempat tinggal
kita beda kota, dan waktu seolah tidak mau berkompromi. Tapi ya.. gak masalah.
Kita tetep kontakan, dan selalu mengabari satu sama lain.

Bu Kinasih memang berjasa besar atas semua ini, tapi aku tetap menjaga
sikap. Ada kalanya aku terlalu berterimakasih sampai-sampai membuat ia tidak
nyaman. Enggak. Aku gak mau ia bersikap seperti itu. Aku harus melakukan yang
sama juga. Berbuat sama terhadap bu Kinasih. Dengan begitu kita saling memahami.

Berkat beliau, waktu kuliahku berjalan lebih lancar. Pemahamanku mulai


meningkat karena pikiran jernih. Belajar untuk mengenali diri sendiri lebih dalam,
dan berhenti jika sedang kelelahan. Siapa yang tau kalau hal seperti ini
berpengaruh.

Pernah Hafa cerita, kalau dia juga pernah ada di posisi seperti ini. Dia
pernah merasa stress karena tidak bisa merampungkan lagunya. Seperti buntu

“Kayaknya lu gak inget deh. Tapi ini membekas banget di kepala gua. Waktu it ulu
pernah random banget dateng ke studio gua, terus ngajak jalan-jalan. Mungkin lu
gak ngeh, tapi itu berpengaruh banget, Yung.” Ucap Hafa.

“Kita jalan-jalan, ke bioskop, ke seaworld, ke kafe-kafe. Gua gak tau apa alesan lu
tiba-tiba banget ngajak jalan-jalan. But, you know, I’m so glad at the moment.
Karena elu, yung. Gua bisa dapet inspirasi. Tau gak? Kepala gua langsung penuh
rancangan-rancangan buat lagu baru.” Ucap Hafa sambil tersenyum.

“Mau tau cara penghilang rasa sedih instant? Spend your time with your closest
person. Tanpa lu sadari, itu lebih berpengaruh sama perasaan elu, Yung.”

Aku tersenyum, “Oke, I’ll be a better version of myself.”

Anda mungkin juga menyukai