Anda di halaman 1dari 5

HATI YANG MERAGU

Karya Ayesha RA

Jariku masih betah mengetik tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Buku-buku terbuka lebar
penuh dikiri dan kananku. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh, namun tugasku belum juga
selesai. Kulihat kamarku sudah seperti kapal pecah, tas sudah tidak ditempatnya, tatakan di atas
meja sudah berantakan, rontokan rambutku masih terletak di bawah meja rias, bahkan dibalik
pintu pun terdapat sampah yang masih belum aku buang. Terlebih yang lebih membuatku jengah
adalah kain kotor yang sudah menumpuk yang sialnya kubiarkan terus menerus.

Tenggorokan ku terasa kering. Segera kugerakkan kakiku menuju dapur, menuangkan segelas air
dan meminumnya. Ahh.. segar sekali minuman ini. Lumayan untuk menenangkan hatiku.

Aku terus memikirkan pacarku. Mengapa sikapnya sudah berubah? Apa aku berbuat salah? Tapi
mengapa ia hanya diam saja? Biasanya ia selalu menegur dan mengingatkanku jika aku berbuat
yang tidak sesuai keinginannya.

Sudah lama, ya sudah lama perubahan itu terjadi, semenjak ia diterima di salah satu pabrik
swasta. Aku tau ia memang memiliki sifat yang cuek. Namun, tidak dengan cueknya kali ini. Ia
selalu menjadikan pekerjaannya sebagai alasan sibuk dan lelahnya.

Terakhir aku bertemu dengannya sebulan yang lalu ketika aku mengajaknya makan di sebuah
warung mie Aceh. Mie ini sangat terkenal di daerahku, bahkan sudah tersohor keluar kota juga
negeri. Selain rasanya yang enak juga banyak varian menunya. Harapanku pertemuan itu suatu
perubahan dari hubungan kami. Tapi tidak, sikapnya malah bertambah acuh padaku. Aku tau ia
percaya padaku, tapi jika terus begini rasanya seperti tidak mempunyai hubungan. Contohnya
saat aku liburan pekan lalu, semua teman-temanku menanyai kapan kepulanganku. Berbeda
dengannya yang sama sekali tidak menanyai kabar, keadaan, dan kepulanganku. Bahkan untuk
mengatakan rindu saja tidak.

“Mal, kok kamu ga pernah nanya kabar dan keadaanku sih? Jangankan itu, chat aja sudah
jarang.” Ketikku.

“Aku sibuk.” Balasnya.


“Tapi, kamu kan hanya bekerja sampai pukul lima.” Balasku tak ingin mengalah.

“Iya benar. Setelah itu aku capek dan istirahat.” Balasnya kembali.

Begitulah salah satu isi pesanku dengannya. Aku tak ingin mendebatnya, karena aku tau pasti
nanti ia mengatakan “gak usah ajakin ribut”.

Sebenarnya ada hal lain yang kupikirkan tentangnya. Ia sangat jarang memenuhi panggilan lima
waktu. Sedangkan aku tak ingin mempunyai seorang imam yang sering lalai terhadap hal itu.
Aku selalu mengingatkannya untuk melakukan ibadah tersebut. Bahkan, aku pernah berkata
begini.

“ Mal, kamu udah salat?” Tanyaku dalam pesan setelah ia pulang kerja.

“Belum, ntar lagi aja.” Balasnya.

“Salat dulu, keburu waktunya habis. Kalau sampai kita menikah kamu terus-terusan begini,
mohon maaf aku ga bisa sama kamu. Aku malu, karena keluarga aku bukan keluarga yang
enggak salat.” Ketikku padanya.

“Iya iya aku salat. Tenang aja, kalo udah nikah nanti pasti beribadah sendiri. Lagian masih
lama pun nikah. Ngapain sih cepat-cepat sekali. Aku masih mau menikmati hidupku.” Balasnya.

Aku tak habis pikir dengan pola pemikirannya. Rasanya aku ingin menangis, sungguh. Mungkin
karena keadaan kami yang sebaya. Ya, aku dan Akmal memang seumuran, tapi pemikiran kami
sangatlah berbeda.

Memang aku bukan perempuan alim, tapi aku tau yang agamaku perintahkan. Jujur, aku ingin
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Maka dari itu aku ingin memiliki imam yang bisa
membimbingku ke arah yang benar.

“Kya.. Kya..”

“Eh, iya mak. Ada apa, mak?” Aku tersadar dari lamunanku.

“Mak liat kamu ngelamun. Itu gelasnya hampir jatuh loh. Kenapa? Ada masalah? Cerita dong ke
emak.” Tanya ibuku.
“Enggak mak, lagi gak enak badan aja. Aku ke kamar dulu ya mak.” Kataku sambil menaruh
gelas di atas meja kembali.

“Yasudah kalau begitu. Kamu istirahat ya. Jangan banyak pikiran. Mak gak mau liat kamu sakit.
Apalagi besok kamu mau ke Calang kan.” Peringat ibu seraya mengusap lenganku.

“Iya mak, InsyaAllah.” Sahutku sambil tersenyum.

***

Azan telah berkumandang, pertanda subuh sudah datang. Kubuka mata dari terpejam, bergegas
kubersihkan hadast kecil untuk sembahyang. Tak lupa doa kupanjatkan sambil harap doaku
terkabulkan. Ya, hari ini aku akan ke taman yang ada di Calang bersama teman-temanku. Kulihat
di berbagai postingan taman itu memang indah, membuatku tak sabar ingin mangabadikan diriku
disana. Rasanya perjalanan ini akan sangat melelahkan juga menyenangkan. Entahlah, aku ingin
menghabiskan waktu sebentar dengan teman-temanku.

Sambil menunggu teman-temanku sampai, aku ingin memberitahu sesuatu. Belakangan ini salah
satu teman laki-lakiku mendekatiku. Iwan namanya. Lelaki hitam manis, sebutku. Ia lebih tua
empat tahun dariku. Ia juga lebih tinggi daripadaku, kisaran 170an mungkin. Tubuhnya tidak
gemuk juga tidak kurus. Suaranya itu lembut, tidak seperti suara laki-laki pada biasanya.
Terlebih ia sangat sangat sopan, baik dari sikap maupun tutur katanya. Entah darimana, ia sedikit
tau masalahku dengan pacarku, karena itu ia menghiburku. Sehingga bisa kusimpulkan ia bukan
laki-laki yang ingin pacaran. Ia tipe-tipe serius, kalau sudah pas, langsung ke rumah. Entah
kenapa aku merasa nyaman dengannya. Rasanya sangat berbeda ketika aku mengobrol dengan
pacarku. Aku masih ragu menyebut rasa ini apa, mungkin kagum.

Kudengar suara mobil bang Iwan di depan rumah. Ternyata mereka sudah sampai. Iya, aku dan
teman-temanku menggunakan mobil bang Iwan dalam perjalanan ini. Kami beranggotakan lima
orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Akhirnya kami berpamitan dengan ibuku dan memulai
pejalanan. Jangan tanyakan pacarku, sekedar mengucapkan hati-hati untuk kepergianku saja
tidak.

Dalam perjalanan kulihat bang Iwan sangat menjaga jaraknya dengan perempuan. Ia tidak
terlihat seperti laki-laki nakal. Memang sudah kudengar kebaikan sifatnya dari teman-temanku
yang lain. Bahkan yang membuat aku bertambah kagum, walaupun dalam perjalanan begini ia
tidak pernah lupa akan panggilan Tuhan. Berbeda dengan teman-temanku yang tidak
memerhatikan itu, bang Iwan justru mengatakan, “Sebentar ya, abang salat dulu.” Seketika aku
teringat dengan Akmal, pacarku. Ia tidak pernah seperti itu. Jangankan salat, teringat saja tidak.
Kalau kami sedang jalan, ya jalan saja, tidak ada pemberhentian untuk menunaikan panggilan
Allah. Bahkan aku juga teringat kalau pacarku tidak suka jika aku memakai rok. Katanya dia
malu boncengin perempuan be-rok, karena ia belum baik seperti diriku. Berbeda dengan bang
Iwan yang malah mendukungku, hmm.

Singkat cerita, aku dan teman-temanku telah kembali ke Banda Aceh. Huft.. Rasanya sangat
lelah, namun sangat menyenangkan. Bercanda tawa, makan-makan, bahkan mengabdi foto
bareng.

Sekarang aku semakin bingung. Aku sudah semakin nyaman dengan bang Iwan, namun disatu
sisi aku masih berpacaran dengan Akmal. Aku masih sayang padanya, tapi kurasa sayangku itu
telah sedikit memudar. Jujur, sekarang fisik bukan nomor satu bagiku. Aku lebih
mengedapankan salat dan akhlaknya. Karna aku mencari seorang imam yang bisa
membimbingku.

***

Seperti biasa, aku selalu menuntun ilmu agama di pengajianku. Namun, aku tidak bisa fokus
terhadap apa yang dijelaskan oleh ustadku. Aku masih saja tepikir akan hal itu, akhirnya
kutanyakanlah masalahku kepada ustad di pengajianku. Alhamdulillah beliau pun memberi
jawaban dengan berkata,

“Pilihlah yang terbaik, yang bisa membawamu ke kanan bukan ke kiri. Ingat, jangan karena cinta
kamu bisa buta”.

***
LATIHAN

1. Analisislah unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerpen di atas!


2. Analisislah struktur beserta alasannya pada cerpen di atas!
3. Analisislah kaidah kebahasaan pada cerpen di atas!

Anda mungkin juga menyukai