Aceh.
11 November 2019
Blurb
Katakan!
Fahmi Nandakusuma.
“Vi!!”
Aku berdiri, dalam hati
berpamitan kepada suamiku.
Jum’at depan aku akan
kembali, seperti biasa.
“Baik, Mas.”
Aku melihat ke ruang tengah,
menunggu seseorang muncul
dari arah sana.
“Hah?”
“Mas sadar?”
Ayah?
Kehidupannya cukup
sempurna. Harta berlimpah,
istri-istri yang cantik juga
anak-anak yang hidup dengan
penuh materi.
Bukannya aku tidak bahagia
dengan kehidupanku bersama
mas Fahmi yang seorang PNS.
Justru, aku akan gila, jika mas
Fahmi membagi cintanya
dengan wanita lain.
Minggu depan?
****
"Mas!!"
Hanya menjemputku.
"Belum."
"Kan, bisa telpon Rida. Acara
beberapa hari lagi. Aku mau,
kedua keponakanku hadir saat
akad nikah kita."
Allah...
Astagfirullah.
Apalagi ini?
Bab 3
Ucapan mas Arga, rupanya
tidak main-main. Dia serius
membawaku ke acara
pernikahan kliennya yang
dilaksanakan di sebuah hotel.
"Mas saja."
Benarkah?
Oke.
Kali ini, aku percaya. Anggap
saja, aku menemani salah satu
keluargaku.
Aku menggeleng.
Mataku kembali melihat
pantulan diriku. Aku pasrah,
ini kejadian pertama dalam
hidupku. Menghadiri acara
resmi seperti ini, dengan gaya
nge-mall.
"Hah?"
Aku menoleh.
Mati aku!!
"Rupanya benar."
Apa maksudnya?
"Maaf. Saya yang
mengajaknya ke mari." mas
Arga menimpali, mungkin
karena melihatku
kebingungan.
Astaghfirullah.
Cara nyebutin kata dia, kok
nggak enak banget sih.
"Om siapa?"
"Eng----"
"Saya calon suaminya."
Mampus.
"Hah?"
Astaga.
Astagfirullah.
"Mas aja!"
"Vi."
"Dia---"
Aku agak bingung, ketika mata
pengantin pria tersebut
mengerling padaku.
"Hah?"
Rahangnya...
Aku menggeleng, menepiskan
kata jiwaku dan kembali pada
duduk permasalahan.
Aku terkejut.
"Jadi, benar?"
Eh.
"Turun!"
Aku beristighfar dalam hati,
dan bergegas turun tanpa
mengucapkan salam.
Bab 4
Apalagi...
"Keluar dulu."
Aku mengangguk.
"Baik," jawabku.
Aku mengangguk.
Nanyain dia?
Buat apa?
Bisakah?
"Begini Mba---"
Pembicaraan kami
menggantung, karena tidak ada
niat dari Yuni maupun
suaminya menjelaskan kalimat
yang sangat membingungkan.
Namun, meresahkan.
Mirip seserahan.
+6285261******
17.21
Yuni sudah sampai?
17.30
Vi, itu untuk hari pernikahan
kita.
18.01
Lusa, pakai yang ungu.
Apa maksudnya?
Apa dia...
Dia...
>Me.
Boleh aku tanyakan sesuatu?
Karena tidak mungkin
mengajaknya bertemu, aku
memilih mengirim chat.
<Mas Arga.
Tanyakan.
>Me.
Maaf sebelumnya. Tapi, ini
penting buatku. Masalah mba
Lina.
Hanya itu yang kuketik.
Semoga saja dia mengerti
maksudku.
<Mas Arga.
Kami sudah lama berpisah.
Bukan karenamu. Jadi, buang
aja ge-ermu itu.
Apa?
Aku ge er?
>Me.
Bukannya lancang. Kalau
sudah lama, kenapa aku baru
tahu sekarang?
<Mas Arga.
Karena dulu, kita hanya
sebatas ipar. Bukan sepasang
calon pengantin seperti
sekarang.
Voice note.
Sekarang, apapun yang ingin
kau tahu, katakan saja.
Aku kenapa?
Bab 5
"Wow."
"Masya Allah."
"Hah?"
Aku bergeming.
"Vi."
Aku tidak suka ia memanggil
nama kecilku. Aku tidak
sedekat itu dengannya.
"Pas."
"Hah?"
Oh Tuhan...
Dia, kakak iparku.
"Bulan depan."
"Sekarang, biasakan
denganku."
"Hah?"
"Sekarang, mau?"
"Vi."
"Ya?"
"Hah?"
"Ini kan?"
"Sunnahnya berhadapan,
haram posisi seperti ini,"
katanya lagi.
"Vi."
Ya Allah...
"Hah?"
Aku menggeleng.
Tahu jawabannya?
Hatiku teriris.
Aku mengangguk.
Nathan mengangguk,
kemudian mencium punggung
tanganku. Diikuti Fathan,
namun, si sulungku tidak
melihat ke arahku.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ini canggung.
Sumpah.
"Mau makan?"
Mas Arga menoleh. "Masak
apa?"
"Makan apa?"
Hah?
Kok?
"Makan siang," jawabku cepat.
"Nanti."
Iya.
Aku tahu.
Hanya sesaat.
Karena lagi, mas Arga lah
yang memutuskan tatapan itu.
"Tidur di sini."
"Vi."
"Iya."
"Iya."
Hah?
Dia...
Maksudnya apa?
Dan ketika kufokus-kan antara
rungu dan perasaanku...
"Biarkan."
Ya Allah...
"Hah?'
"Dzuhur pertama?"
Mataku mengerjap perlahan,
hingga senyum mas Arga
terasa aneh dan ...
Bab 7
Mas Fahmi...
"Satu bulan."
Lumayan.
...dia kembali.
"Maaf."
"Jangan katakan, kalau masih
mengulanginya."
Aku menunduk.
Hatiku menguatkan.
Mas Arga!
"Sejak kapan di sini?" aku
melihat mas Arga masih di
posisi yang sama.
"Boleh."
"Yuk."
"Kenapa?"
Iya, ya?
"Terimakasih."
Hah?
Dia ngomong apa?
Astagfirullah!
Apalagi ini?
Ayah...
Jemput aku.
"Rasanya jelas."
Dan, bawa aku ke rumah sakit.
"Kapan, Vi?"
Jantungku bermasalah!
"Tapi----"
"Apa sayang?"
Ya Allah...
Aku menggeleng.
"Vi."
Allah...
Kenapa dia memanggilku
seperti itu?
"Sekarang?"
Aku...
...belum siap.
Aku...
...harus bagaimana?
Bab 9
Kecanggungan yang ku
rasakan tadi siang, kembali
menderaku malam ini. Tidak
tanggung-tanggung, mas Arga
membuatku semakin tersudut.
Seperti saat ini, Nathan sedang
menyelesaikan PR nya. Dan,
mas Arga ikut menemani
kami.
Nathan memperlihatkan
lembaran tugasnya.
Nathan mengangguk.
Astaghfirullah.
"Tanggapannya?"
Pikiranku salah.
"Biasa aja."
"Jujur!"
Aku membuang muka, ketika
tatapan mas Arga menghunus
mataku.
"Vi."
Apa bedanya?
Aku salah?
Perasaan, kata-kata tersebut
baku dan ada di KBBI.
Apapun itu.
"Semuanya?"
Ya Allah...
"Vi."
"Vi..."
Allahu Rabbi...
Aku menatap mas Arga, tidak
benar-benar menatap karena,
bola mataku tidak tetap.
Aku tahu.
"Semuanya."
"Anggap saja begitu," kataku
ingin mengakhiri pembicaraan
ini.
"Mana bisa."
See ??
"Over?"
"Kamu sadar?"
Kata-katanya...
Gusti...
"Mau kamu duduk dengan
jarak sejuta meter, kamu tetap
milikku!"
Puisinya, bagus!
"Nggak."
"Dibekalin aja."
Meninggalkannya, aku
kembali ke meja makan.
Mengisi roti ke dalam bento,
yang biasa dibawanya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Yuk, Bu."
"Apa aja."
Fathan melihatnya?
Sekilas, memory-ku memutar
pada kejadian tadi malam,
setelah menyelesaikan
prakarya Nathan.
Fathan...
...maafkan Ibu.
Sedikit trenyuh.
Bagaimana bisa aku memberi
pengertian pada putraku itu?
Tuna?
Ikanku...!
Aku mengejar kucing itu
hingga ke belakang rumah.
Aku naik ke tembok berkawat,
berharap bisa menarik ekor
kucing tersebut yang berada di
atas tembok panjang.
"Mas Fahmi..."
Aku sakit!
*****
Lelah.
Jam lima?
"Nginap?" tanyaku.
Nathan mengangguk.
Tapi sekarang?
"Sehat, Vi?"
"Alhamdulillah, Mbak."
Sikap Mba Yeyen terlihat
biasa saja. Wanita yang sudah
memiliki empat anak itu masih
terlihat cantik dengan rambut
sebahu yang di-blow.
Aku mengangguk.
"Yuk, istrahat dulu. Mas
capek."
What?
Meninggalkannya, aku
kembali ke meja makan.
Mengisi roti ke dalam bento,
yang biasa dibawanya.
Lima potong roti, lengkap
dengan saus nenas
kesukaannya. Kemudian, aku
menyerahkan padanya.
“Kenapa?” tanyaku.
Fathan bukannya menjawab, ia
pergi meninggalkanku setelah
berteriak pada adiknya ia
tunggu di mobil.
“Apa aja.”
Fathan melihatnya?
Fathan...
...maafkan Ibu.
Sedikit trenyuh.
Bagaimana bisa aku memberi
pengertian pada putraku itu?
Tuna?
Ikanku...!
Aku mengejar kucing itu
hingga ke belakang rumah.
Aku naik ke tembok berkawat,
berharap bisa menarik ekor
kucing tersebut yang berada di
atas tembok panjang.
“Mas Fahmi...”
Aku sakit!
Lelah.
Jam lima?
“Nginap?” tanyaku.
Nathan mengangguk.
Tapi sekarang?
“Sehat, Vi?”
“Alhamdulillah, Mbak.”
Sikap Mba Yeyen terlihat
biasa saja. Wanita yang sudah
memiliki empat anak itu masih
terlihat cantik dengan rambut
sebahu yang di-blow.
Aku mengangguk.
“Yuk, istrahat dulu. Mas
capek.”
What?
Perasaanku aneh.
"Vi."
"Iya Mba?"
Ya Allah...
Ternyata tidak!
Ia masih menempati
bangkunya.
Pembantu?
Lamunanku, terhempas ke
lantai. Berceceran hingga tak
terbentuk, ketika mendengar
suara mas Arga.
"Antarkan ke atas!!"
Menepuk dadaku.
Bab 12
Sepertiga malam, aku
terbangun. Entah jam berapa
aku terpejam saat masuk ke
kamar. Tapi, ketika mata ini
terbuka rasa hangat
melingkupi.
...mas Arga.
"Mau ke mana?"
Aku menurut.
"Tentangku, atau---"
Aku menunduk.
"Tidurlah!"
Kepalaku tertunduk.
"Tidurlah."
"Mas!!"
Panggilanku tidak direspon
mas Arga, karena kulihat ia
sudah membuka pintu.
"Tidurlah, Vi."
Lirihannya, membuatku
terpaku.
Dari dulu?
Maksudnya?
...menciumnya.
Bab 13
Pagiku yang harusnya berjalan
seperti biasa, berbanding
terbalik, karena ada sosok mba
Yeyen yang menemaniku
sarapan pagi ini.
Ya Allah...
Kunyahanku terhenti.
"Iya Mba."
"Sudah."
Aku mengerjap.
Ya Allah...
Ya Allah...
Ya Allah...
Seketika aku menunduk,
ketika wajah mas Arga
mendekat.
"Dosa, Vi!"
"Hah?"
Tapi...
...dengan sesuatu yang lembut
dan aku bisa merasakan
ketulusannya.
Bab 14
"Mas!"
"Iya sayang."
Ya Allah...
Dan...
Cup!
Aku mencubit perutnya ketika
ia mencium pipiku, dan
kekehan mas Arga membuatku
memberenggut.
Sadar!!
"Sudah Vi?"
Aku melongo.
Kado?
Buatku?
Allah...
Suaminya?
Sebenarnya, hati mba Yeyen
itu terbuat dari apa sih?
Iya.
Eh!
Matanya.
"Vi!"
Sentakan di lenganku
membuatku mengerjap.
"Sekarang sudah berani
melihatku dengan terang-
terangan?"
"Kam---"
Apa maksudnya?
Mas Arga...
Kecewa.
Sejak awal?
Hah?
"Perih ya?"
Astagfirullah.
"Mau ke mana?"
"Mas mandi duluan," sahutku
tanpa melihatnya dan langsung
keluar.
"Mas Arga!!"
Allah...
Serah kamu, Mas!!
Dia...
Berbeda.
******
"Nyetrika."
"Duduk, Vi."
Aku menarik nafas pelan dan
menuruti perintah mas Arga.
Kemudian, ia menyodorkan
segelas kopi telur yang baru
saja kubuatkan untuknya.
Ya Allah...
"Mas----"
Cup.
"Aku...nggak capek."
"Beneran?"
Apa urusanku?
"Matanya Vi!"
"Maksudnya?"
Aku mengerjap.
Selama itu...
"Mas----"
Dua-duanya salah.
Itu dosa.
Dan pengkhianatan.
"Dan, aku membuktikannya
sekarang. Kalau cintaku bukan
sekedar obsesi apalagi nafsu.
Ini, murni pilihan hatiku dari
dulu."
Pikiranku sedang
mengimbangi rasa asing yang
batu menyusup. Rasa itu,
membingungkan.
Menilaiku?
Untuk apa?
Aku beristighfar.
Logikaku terus
menyalahkanku. Tapi, sudut
hati kecilku membela.
"Mau ke mana?" mas Arga
menarik tanganku saat aku
bangun.
Juga waktu.
"Nanti saja."
Dan...
Kenapa?
Menumpahkan rasaku...
Sesakku...
Dan...
Termasuk...hatiku.
Kasar...
Sangat kasar...
Dan...
...aku ingin meledakkan hatiku
saat ini juga.
Hah?
"Hm."
Aku menarik diri dari pelukan
mas Arga, agar bisa
memperhatikan wajahnya.
Bukan untuk melihat raut jujur
atau dusta, melainkan
memastikan ucapan dan
perasaannya.
Tubuhku membeku...
Setelah mba Lina...kini aku
harus mengetahui kenyataan
tentang mba Yeyen. Istri
pertamanya.
Laya...
"Selama itu?"
"Iya."
"Ngarang!"
Aku ingat.
"Bahasanya Mas!"
Bahagiaku...membuncah.
Hah?
Masa sih?
"Mas!"
"Hm."
Mataku terpejam, menikmati
aliran panas yang kembali
menyapa. Gerakanku
mengikuti alur yang diberikan
mas Arga.
"Hm."
Dan...
Dia...mas Arga...
Mantan kakak ipar...
Paman anak-anakku...
Walinya anak-anak...
Dia juga...suamiku.
Bab 19
"Sama Om Arga?"
Dia menolak.
Dan, tidak lagi menyebut
dirinya 'Abang'. Pertanda ia
sedang kesal denganku.
"Mas!"
"Laki-laki yang di pegang
omongannya, Bang!!"
"Oh ya?"
"Kapan Om?"
"Kapan-kapan, Nathan." aku
yang menjawab. Karena,
kulihat mas Arga mulai fokus
ke jalan yang cukup ramai.
"Kok sama?"
Kini, tatapanku penuh pada
mas Arga.
Apa maksudnya?
*****
"Boleh?"
Nathan mengangguk ragu,
mungkin ia bingung dengan
permintaan mas Arga.
"Abang?"
"Hm!"
Maksudnya?
"Hm."
"Sudah cinta, kan?" tatapan
mas Arga mendapat alarm di
instingku.
"Vi..."
Cintaku...
Sesederhana ini.
Bab 20
"Aku menerimanya...dengan
alasan anak-anak. Juga,
permintaan keluarga. Sejauh
ini...rasaku mulai ada pada
dia...tanpa membunuh rasaku
padamu. Karena bagiku, kamu
cinta pertamaku dan cinta
terbesarku."
Menunduk, menyampaikan
rasaku yang masih besar pada
mas Fahmi. Laki-laki yang
membuktikan perjuangannya,
namun harus terhenti karena
garis takdir.
Kelopak mataku,
membenarkan.
"Tidak."
Dia...sudah pergi.
Menunaikan kewajiban pada
tanggung jawabnya yang
pertama.
******
"Ibu nangis?"
"Nggak."
Tiduran, males-malesan.
Kadang aku tertidur setelah
kelamaan di depan layar
ponsel.
'Nice pict'
'Devi...miss u.'
Dan, bla-bla-bla...sederet
komentar yang tidak lagi
menyita perhatianku karena
notice WA di layar atas
ponselku, dari mba Lita.
Aku, cemburu?
Rasanya tidak pantas.
"Arga...baik, kan?"
"Baik."
"Kamu?"
Kok aku?
"Maksud Mba?"
"Mau mengelak?"
Imanku...setipis itu.
*****
"Sehat kan?"
"Iya."
"Anak-anak udah tidur?"
"Sudah."
"Vi..."
"Hm."
"Sudah ngantuk?"
Belum...bahkan, jadwal
tidurku tidak teratur satu bulan
ini.
"Iya."
Mungkin, dia...
"Terimakasih Mba."
"Yeyen!"
Apa...
"Kumohon Ye---"
"Yen..."
"Aku mencintaimu...juga
menyayanginya."
Aku...tahu.
Aku...mengerti.
Ya...lakukan itu.
"Melamun?"
"Mikirin Mas."
Kepala mas Arga menunduk
dan mau tidak mau bibirnya,
menyentuh lembut bibir
bawahku. Tanpa ada
pergerakan, benar-benar
sentuhan biasa, namun
menggetarkan jiwaku.
Masih memposisikanku
sebagai wanita pertama di
hatinya. Walau tidak
menampik ada ruang untuk
mba Yeyen dan Mba Lina di
hatinya.
"Vi..."
"Hm..."
"Terimakasih."
"Untuk?"
Aku berdeham, karena buncah
bahagia yang mewarnai hatiku
satu minggu ini tak kunjung
pergi. Dan, euforiaku tidak
bisa mengendalikan sikapku
setiap kali bertatapan dengan
mata elang itu.
Itu janjinya.
"Makasih Mas."
"Iya. Balas cinta Mas dengan
doa dan kasihmu."
Aku mengangguk.
Pasti Mas.
"Nggak."
Allahu...
Kok nyebelin?