Anda di halaman 1dari 561

SUPER PSYCHO LOVE

Jongchansshi

Tidak untuk disebarluaskan atau diperjualbelikan


ulang dalam bentuk apapun.

1
Karya ini dlindungi Undang-Undang
RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang
Hak Cipta

2
Chapter 1. The Evil Queen
'Sayang... Sibuk ga?'

'Iya.'

'Entar malem?'

'Nugas.'

'Besok gimana? Mau ngajakin nonton Beauty and the


Beast, yang lain udah pada nonton.'

'Lusa ujian blok.'

'Minggu aja deh. Udah kelar kan ujiannya? Nonton


bareng yuk.'

'Minggu namatin battlefield.'

"YAELAH KAPAN LO PUNYA WAKTU BUAT GUE SIH


JING?"

Natella Narundana, cewek berambut sepunggung yang


masih berada dalam kelas bersama 3 orang teman
dekatnya itu tiba-tiba menggerutu kesal sendiri. Saking
kesalnya, dia bahkan sudah menulis kata-kata kasar
itu di aplikasi line dengan gregetan, tapi tidak jadi
dikirim demi menghindari perang tak seimbang karena
lawannya tidak pernah kalah.

"Udah balesnya lama. Ada aja alesan buat nolak! Cih,


niat punya cewek nggak sih?" omelnya ke arah
handphone. "Mana lebih mentingin namatin game lagi

3
daripada jalan sama gue. Emang bener-bener ya ini
orang!"

"Arka ya, Nat?" Jeana, cewek imut yang duduk


disebelahnya menyahuti.

Siapa lagi coba yang bisa bikin Natella sebal tiba-tiba


kalau bukan Arkasa Sean Hadinata, cowok yang sudah
berstatus sebagai pacarnya selama satu setengah
tahun lebih?

"Makanya pacaran tuh sama manusia, jangan patung


es." tambah Dennisa judes, masih sempat-sempatnya
menyambung meskipun sedang video call dengan
pacarnya.

Tidak mau diam saja, Meira yang sibuk mencatok


rambut cokelatnya ikut menimbrung, "Arka emang
cakep sih meskipun kaku, pinter lagi, anak kedokteran
yang kayaknya punya masa depan cerah." Dia menjeda
kalimatnya sebentar. "Masalahnya, dipandang dari segi
manapun lo sama Arka ga ada cocok-cocoknya sama
sekali, Nat. Arka air suci, lo comberan."

Sontak ketiga temannya yang masih menguasai salah


satu ruang kelas gedung FISIP yang sepi itu tertawa
terbahak-bahak, persis senior-senior menyebalkan
yang sedang membully anak baru. "Lagian gue juga
bingung, kok bisa sih lo sama Arkasa? Lo pake guna-
guna ya?" Dennisa lagi-lagi mencemoohnya.

Ini temen atau bukan, sih? Udah cowoknya nggak


beres, teman-temannya juga sama nggak beresnya.

Memangnya Natella setidak pantas itu ya disandingkan


dengan Arka? Iya sih, Arka itu baik-baik, pinter, alim

4
sedangkan Natella tuh dimata orang-orang dikenal
brengsek, nakal da nagak-agak psikopat. Tapi menurut
Natella, dia sama Arka saling sayang.

Atau dia doang kali ya yang sayang Arka?

"Bangs*t."

"Didenger Arka lo ngomong kotor entar dimusuhin lagi


loh." Dennisa mengingatkan.

Natella menghembuskan napas kesal yang terkesan


frustasi, dia memang tidak lupa kalau Arka pernah
mendiaminya dua hari karena cewek itu ngomong
kasar di depan Arka.

"Kalian tuh ya, temen lagi kesel bukannya dihibur


malah dibikin tambah kesel!!"

"Hibur diri sendiri dong, Nat. Selingkuh kek sekali-


sekali, kayak ga laku aja lo." Meira menyarankan.
Diantara seluruh makhluk bumi yang pernah
berinteraksi dengan Natella, Meira yang omongannya
paling tidak boleh ditiru, apalagi untuk anak yang
gampang terpengaruh hasutan iblis seperti Natella.
"Yang kayak Arka gausah dipertahanin. Inget, good boy
ain't l fun," hasutnya lagi.

Dennisa mengangguk-anggukan kepalanya setuju, ikut


memberikan saran yang tidak kalah sesatnya. "Hooh,
emang enak gitu punya cowok satu doang?" Cewek
cantik itu memperhatikan Natella sebentar, "coba lo
itung-itung, dalam satu setengah tahun ini kayaknya
lebih banyak jumlah cowok yang gue pacarin daripada
lo jalan berdua sama Arka di mall."

5
Natella diam-diam membenarkan. Arka itu sibuknya
sudah kayak kepala negara. Kalau bukan urusan
tugas, pasti urusan himpunan. Sudah tahu jurusannya
banyak tugas-tugas ekstrim, masih sempat-sempatnya
mau ikut kepengurusan organisasi. Gimana mau
menikmati hidup coba kalau kayak gitu?

Natella berkali-kali menyarankan cowoknya yang super


kaku itu buat menyontoh pola perkuliahan dia yang
santai dan menyenangkan, habis kuliah-langsung
ngemall. Sayangnya, tiap kali Natella ngomong begitu,
Arka cuma memberikannya decakkan singkat, tanpa
respon lain. Padahal apapun saran Arka untuknya,
selalu Natella dengarkan dengan baik. Iya didengarin
doang, tidak dilaksanakan.

"Udah ah pada berisik. Mau ikut gue nonton Beauty


and the Beast nggak?" Ajaknya, sekali lagi,
memutuskan tetap menonton film itu tanpa Arka.
Menunggu cowok itu mau bias-bisa filmnya sudah
turun layar duluan.

"Ogah, gue mau ketemu sugar daddy." Meira langsung


memberikan tolakkan.

"Sugar daddy yang kemarin, Ra? Ganti dong. Yang


kemarin jelek." balas Dennisa enteng.

"Cakepan sugar daddy gue kali, Den, daripada cowok lo


yang bibirnya ga lebih seksi dari pantat babi," ejek
Meira balik.

"Gitu-gitu cowok gue ahli waris tahta kerajaan minyak


tahu!"

6
"Iye-iye, jangan aduin ke cowok lo ya, Den. Bisa ngga
kecipratan tas Prada lagi gue."

Natella memutar bola matanya mendengar percakapan


temannya yang tidak pernah jauh dari pacar-pacar
mereka yang selalu mereka pamerin kebaikkan dan
keroyalannya, tapi kalau bawa-bawa tampang, jelas
Arka jauh lebih ganteng kemana-mana. Sayangnya
tidak dengan tindakannya terhadap Natella yang jauh
dari definisi romantis.

"Beneran nggak ada yang mau ikut gue?"

"Pergi sendiri sono, udah biasa juga kan?" sindir Meira


lagi.

Ahelah, ini anak minta dijitak banget, ya?

"Iya, Jeana ada jadwal boci hari ini. Nate ajak mas
gojek aja."

"Emang udah pesen gojek sih gue. Jadwal yang paling


deket 30 menit lagi," balasnya cuek.

"Pacaran sama gojek aja, Nat. Lebih guna buat hidup lo


daripada Arka."

Sial, kok bener?

"Masalahnya gue sayangnya sama Arka, bukan mas


gojek."

Sambil berjalan keluar, Natella mengetik pesan balasan


untuk Arka yang tadi sempat menggantung karena rasa
kesalnya. Untung Natella sudah terbiasa menghadapi
tingkah laku cowoknya itu.

7
'Yaudah, kamu fokus belajar buat ujian aja ya, aku bisa
nonton sendiri. Jangan lupa makan dan jangan capek-
capek banget. Entar minggu biar aku ke rumah nemenin
kamu ngegame.'

Mending begini daripada minggu ini tidak ketemu sama


sekali dengan cowoknya itu.

Tidak lama dari itu, muncul pesan balasan dari Arka.


'ok. hati2,' bacanya. Sesingkat dan sepelit itu buat
ngetik.

Menyebalkan banget, kan? Untung Natella sayang.

***

Cewek yang mengenakan kemeja berwarna pastel dan


celana denim di atas lutut itu memasuki pintu Bioskop.
Entah karena gaya pakaiannya aneh atau dia berjalan
sendirian yang membuat beberapa orang
memperhatikannya, ada yang sebentar dan ada pula
yang sampai memberikan pandangan mengganggu,
seperti dua laki-laki asing yang mengantri tiket di
belakangnya. Mereka memberikan pandangan norak
yang membuat Natella ingin sekali mencolok mata
mereka.

Selesai memasan tiket, Natella memutar bola matanya


judes saat mendengar dua laki-laki tadi mengatakan,
"pesan di sebelah cewek tadi ya, Mbak." katanya
kepada si penjaga karcis.

Diantara banyaknya hal yang membuat Natella suka


berpegian sendirian, ini satu-satunya alasan yang
membuat Natella tidak suka, selalu saja ada manusia-

8
manusia menyebalkan yang sengaja mengganggu
ketenangan orang lain.

"Arka sih, nggak mau nemenin gue!" keluhnya pelan,


agak sewot. Disaat yang sama, Natella juga berpikir
kalau sebenarnya gampang sekali baginya untuk
selingkuh. Apalagi Arka sibuk, cowok itu tidak akan
tahu.

Natella segera menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.


'Masalahnya kalau gue selingkuh, terus Arka balik
selingkuh gimana?' tanyanya dalam hati. 'Kan gue juga
yang bakal rugi banyak!'

Itu alasan kenapa dia tidak pernah bisa melakukannya.


Tidak mau mengambil risiko Arka akan
menghianatinya juga. Bagaimanapun ceritanya, pasti
dia yang lebih tersakiti karena dia sayang Arka.

Well, Natella juga heran kenapa dia segila ini kepada


Arkasa Sean Hadinata, padahal kata teman-temannya,
pacaran dengan Arka itu tidak memberikan
keuntungan apa-apa. Dia cuek setengah mati, sibuk,
tidak peka, dingin tapi tipikal cowok baik-baik.

Pacaran tapi tidak terasa seperti pacaran.

Arka memang tidak seperti Aldino, pacar baru Dennisa


yang baru dikencani cewek itu selama sebulan tapi
telah memberikan banyak hal pada Dennisa, termasuk
mengajaknya liburan ke Bali dan menginap di Villa
berfasilitas bintang lima milik keluarga Aldino. Mereka
berdua bak pengantin baru yang kemana-mana selalu
saja berdua.

9
Belum lagi Aldino itu royalnya bukan main, teman-
teman Dennisa saja mendapati impak atas hubungan
cowok itu dengan Dennisa, Meira saja pernah dikadohi
tas Prada sebagai hadiah ulang tahunnya, Natella juga
pernah ditraktir March Jacobs. Mungkin Aldino
bingung mau buang-buang duit kemana saking tajirnya
anak pengusaha minyak itu.

Meskipun Aldino ini kelihatan seperti paket komplit


yang punya tampang ganteng dan dompet tebal,
disuruh milih antara Aldino atau Arka, Natella bakal
lebih memilih Arka. Bukan karena cinta itu buta dan
dia sudah buta. Justru karena mata Natella bisa
melihat dengan jelas, makanya dia memilih Arka.

Aldino itu cowok genit dan tipikal fakboi. Bukan Natella


yang menyimpulkan, tapi Dennisa yang memberitahu.
Untungnya cowok seperti itu memang merupakan
tipenya Dennisa. Sedangkan Arka sebaliknya. Arka itu
tidak bisa genit, digodain juga responnya kadang tidak
nyambung. Atau paling sering cuma diam sambil
mandang dingin tidak yang menjadi khas-nya.

Cowok kayak gini yang malah berhasil bikin Natella


menjadi budak cinta yang sudi melakukan apa saja
agar Arka menjadi miliknya.

Cewek yang duduk sendirian itu kemudian membuka


line, mendapati notification 30 chat dari grup 'spice girl'
yang dia silent. Bosan, Natella membuka chat itu. Meira
sedang pamer karena baru dibelikan tas Chanel yang
dia incar oleh si pacarnya.

'Gila, lucky banget looooo.' Natella menanggapi,


menunjukkan keirian seperti temannya yang lain
karena itu merupakan tas impian mereka.

10
'Kalau mau juga, cari sugar daddy, Nat.' balas akun
Dennisa Radinka.

Natella baru saja mau mengetik lagi. Tapi Meira sudah


mengirim beberapa pesan dengan capslock, ditujukan
khusus untuknya.

Meira: NAT LO DIMANA

Meira: WOY NAT PARAH BANGET INI GUE SAMPE


TERDIAM

Meira : PARAH

Meira : PARAH BANGET

Natella tentu merasa khawatir dan aneh membaca


pesan heboh dari Meira. 'Kenapa sih, ra?' ketiknya.
'Jangan bikin gue penasaran!'

Meira : Lihat nih kelakuan cowok lo

Meira memberikan balasan disertai sebuah foto.

Foto cowok dan cewek lagi berjalan sebelahan di


sebuah mall. Cowoknya menggunakan kemeja biru
muda, celana jeans dan sepatu adidas putih. Tanpa
perlu memandang lama-lama, dia tahu itu Arka.

Meira: Gue liat di GI. Padahal katanya sibuk sampe


gamau nemenin lo nonton

Jeana Nadina : Wah kok bisa? Nggak nyangka Arka


kayak gitu..

11
Kemudian ketika temannya dalam grup itu langsung
membahas Arka.

'Gue pikir itu anak setia dan ngga kegatelan.'

'Rese banget, kan? udah cuek, selingkuh lagi.'

'Hampir dua tahun soalnya. Dia bosan kali.'

'Tapi jangan langsung ambil sikap dulu, Nat. Siapa tau


itu sepupunya Arka.'

Natella tidak mengikuti perkembangan group chat itu


lagi, tidak kuat membaca respon teman-temannya yang
tidak membuat hatinya yang tengah panas kembali
mendingin.

Dia menyimpan foto itu, membuka kontak Line Arka


dan mengetik pesan baru.

'Jadi ini yang lo bilang sibuk? Jalan sama cewek lain?'


tulisnya disertai mengirim foto yang tadi diberikan
Meira.

Setelah itu, dia langsung mengetikkan hal-hal yang


berjalan diotaknya sebagai pelampiasan kemarahan.

'Dasar cowok brengsek'


'Bajingan'
'Jahat.'
'Gatau malu.'
'Anj*ng'
'Gue benci sama lo'
'Benci banget sumpah'
'Benciiiii'
'Benci banget dasar bajingan'

12
5 menit berlalu. Arka belum juga membaca pesannya
ataupun mengangkat telepon membuat cewek itu
semakin meledak. Natella mengabaikan panggilan
speaker yang mengatakan kalau pintu teater film yang
ia tuju telah dibuka. Minatnya menonton sudah
menghilang digantikan dengan keinginannya untuk
mencekik Arka sampai pria itu memohon maaf
padanya.

Natella berusaha menahan tangis dan kesabaran. Baru


saja dia memuji Arka, ternyata cowoknya itu sama saja
seperti cowok berengsek dan murahan lainnya.

Beberapa detik kemudian, handphone Natella


berdering, dari Arka.

Dia sudah menyiapkan segala api kemarahannya


diujung lidah, siap melampiaskannya pada cowok itu.
Namun, belum sempat Natella berkata-kata, Arka lebih
dulu menyemprotnya dengan satu pertanyaan dingin.

"Maksud lo apa?"

Natella yang tengah emosi langsung memberikan


balasan, dia berdiri, "maksud lo yang apa? Jalan sama
cewek lain padahal katanya sibuk! Semua cowok itu
memang bangsat dan sama aja ya ternyata!!" dia
memekik, mengabaikan pandangan anak smp yang
duduk di sekitarnya, menatapnya ngeri sekaligus
prihatin. "Jangan pikir gue takut ya sama elo. Siapa sih
itu cewek? si perek Mentari itu lagi? Cih lo berdua
emang sama murahannya." tambahnya dengan nada
suara kesal. "gue kasih tau, ya. you messed with the

13
wrong bitch. Jangan pikir gue bakal diem aja atas apa
yang lo lakuin!"

Arka mendengarkan seluruh cacian Natella untuknya.


Setelah cewek itu tidak punya perkataan apapun lagi,
Arka membalas, "Jangan drama" tekannya. "Lo
dimana? gue mau ngomong langsung."

Natella terdiam sebentar. Dia merasa agak sedikit


takut. Tapi tidak jelas takut akan apa. Arka pasti mau
mengajaknya putus. Untuk menyelamatkan harga diri
yang kepalang tinggi, cewek itu berbicara.

"Gaperlu. Lo mau minta putus, kan? Gue males


berbasa-basi sama lo. Jadi sekarang aja. Kita putus!!!"
ungkapnya emosi kemudian langsung mematikan
handphone, tanpa sempat memberikan kesempatan
untuk Arka menjelaskan.

"Pokoknya awas aja gue ngga bakal biarin lo bahagia."


Natella berbicara sendiri, disertai tangis bodohnya yang
tak terbendung lagi.[]

**

14
Chapter 2. The Apologize
Natella memperhatikan pantulan wajahnya dari cermin
kecil yang ia pegang. Matanya masih bengkak akibat
menangis semalam, untung concealer yang dipolesinya
disekitar mata cukup menutupi itu.

Sempurna, make up yang melapisi wajah cantiknya


tidak ada cacat sedikitpun. Dia juga mengenakan
anting hoops yang membuat penampilannya terlihat
makin menarik.

Dengan senyum yang sengaja ia kembangkan, cewek


itu berjalan ke arah sebuah meja yang diduduki oleh
enam orang yang sedang mengrobol. Dia langsung
duduk di sebelah Arkasa, cowok yang sempat
meliriknya sebentar kemudian langsung buang muka,
sedangkan empat lainnya memberikan fokus
sepenuhnya ke arah Natella, menghentikan oborolan
seru mereka sebelumnya, mungkin terganggu.

Sadar diabaikan oleh laki-laki disebelahnya, Natella


tetap tidak menghilangkan senyum dari wajahnya.
Dengan lembut dia berkata, "Arka haus ya? Ini aku
bawain Vanilla Frappe." ucapnya sembari meletakkan
minuman yang ia bawa ke atas meja.

Perbuatannya itu tentu semakin menjadi pusat


perhatian orang-orang yang kebetulan ada di kantin,
terutama yang duduk di meja yang sama dengan Arka.
Natella kemudian meletakkan kotak Pizza yang ia bawa
ke atas meja, "ah, aku juga bawain Pizza untuk kalian,
di makan ya." lanjutnya manis. Benar-benar manis,
seperti Natella yang mencaci-maki Arka dengan

15
berbagai serapahan kotor kemarin menghilang di culik
peri apinya mimi peri.

"Kok pada natap aku begitu, sih?" tanyanya heran, dia


menatap sinis ke arah cewek yang duduk paling ujung
sebentar kemudian pandangannya terarah pada Aji,
satu-satunya cowok selain Arka yang duduk di bangku
itu. "Jangan diliatin doang Ji, ayo di makan." Tawarnya
manis.

Aji mengangguk, terpana dengan senyum manis


Natella, ini cewek kalau lagi cemberut sama senyum
bedanya bisa sampe 180 derajat. Aji membuka kotak
Pizza yang tadi dibawain Natella, kemudian mengambil
satu potongan, tidak lupa menawarkan teman-
temannya yang lain, yang tentu saja menolak halus.
Sedangkan Natella masih belum menyembunyikan
senyum lebarnya, tidak peduli dengan 3 orang cewek
yang duduk di bangku ini memberinya tatapan risih
terang-terangan.

"By the way, aku boleh pinjam Arka-nya bentar?"


tanyanya basa-basi. Namun tnpa menunggu jawaban
siapapun, dia langsung menarik tangan Arka yang
daritadi hanya diam itu beranjak dari sana.

Sekesal ataupun semarah apapun Arka padanya atas


perbuatan labilnya kemarin, Natella tahu kalau Arka
bukan tipe yang suka mempermalukan orang lain.
Setuju ataupun tidak untuk diajak pergi, Arka tidak
akan menghempaskan tarikkan tangan Natella, tidak di
depan orang lain.

"Beneran sakit jiwa itu cewek. Fix psikopat!" Nadine,


cewek mungil yang duduk di meja itu langsung
menyuarakan isi hatinya yang terpendam setelah

16
Natella dan Arka dilihatnya menjauh. "Jelas-jelas gue
kemaren ngintip apa isi chatnya dia ke kak Arka. Kak
Arka dikatain anjing, brengsek lah segala macem. Ga
habis pikir deh gue."

"Iya. Gue pikir kak Arka bakal terbebas beneran dari


jeratan ular betina kayak dia. Eh, malah ditarik masuk
lagi." Lisa merespon, "Gue kadang kasian sama Kak
Arka, dia kayak terpaksa gitu berada dalam status
tanpa cinta dengan si ular betina. Mending sama
Mentari kemana, iya ga, Tar?" Lisa kemudian melirik ke
arah Mentari, meminta persetujuan si cewek kalem
yang terus diam daritadi.

Mentari menggeleng, "Kak Arka sama kak Natella cocok


kok," jawabnya seadanya.

"Cocok apanya? Kak Arka tuh pangeran, si Natella mah


evil queen." Nadine merespon tidak terima, nada
suaranya penuh emosi. Cewek mungil itu sebenarnya
tidak mengerti kenapa dia bisa seterbawa perasaan
begini kalau membicarakan Natella. Mahasiswi ilmu
komunikasi yang entah kenapa bisa jadian sama
pangeran di fakultas mereka.

"Kalian tuh kenapa sih? Mending di makan Pizza-nya,"


ajak Aji, cowok berbadan agak besar itu sudah melahap
potongan kedua. "Diomongin sampai mulut berbusa
juga yang tahu hubungan mereka cuma mereka
berdua."

"Helah, emang kita semurah elo disogok pakai Pizza


langsung layu?" balas Nadine sewot.

"Mending kita berdoa aja, Din, moga-moga kak Arka


kali ini ditunjukkan jalan yang benar dan menolak si

17
wanita psiko itu. Serem tahu, kita jadi ga enakkan
kalau deket-deket sama kak Arka. Padahal kak Arka
kan baik banget." ucap Lisa selanjutnya yang tentu saja
disetujui Nadine. Oh tentu, mereka hanya beberapa
mahasiswi kedokteran yang tidak menyukai Natella.

***

Natella telah memasang raut semelas mungkin,


sementara Arka memilih memandang ke arah lain.
Kemana saja asal tidak Natella yang matanya sedikit
berair. Kedua orang itu sedang berada di belakang
toilet gedung H, tempat yang dipikir Natella sepi untuk
membicarakan hal serius.

"Arka marah ya sama aku?" tanya Natella pelan. Dia


menatap sendu cowok yang hampir dua puluh centi
lebih tinggi darinya itu.

Iya, Arka pasti marah, itu jelas dan Natella tahu.


Kejadian Natella mencaci maki Arka sampe minta
putus belum genap dua puluh empat jam berlalu.
Ucapannya terlalu kasar. Bahkan Natella yakin dia
tidak mau memaafkan begitu saja orang yang sudah
menudingnya seenaknya dengan kata-kata keterlaluan.
Dan Natella belum lupa bagaimana cowok ini sangat
membenci hal-hal yang tidak sopan dan diperlakukan
seenaknya.

"Iya, aku tahu aku salah. Menyimpulkan tanpa mikir


dan cari tahu dulu. Mulut aku jahat. Gausah dengerin
kata-kata aku kemaren, aku kilaf." Ucapnya pelan,
sebisa mungin mengeluarkan nada suara bersalah.
Karena Natella memang merasa bersalah.. "Aku lagi
'dapet' makanya impulsif." Lanjutnya beralasan,

18
mencoba menyalahkan hal lain agar dirinya tidak
terlihat salah-salah amat.

Natella mendengar decakkan Arka, yang masih belum


sudi memandang ke arahnya. Natella kemarin memang
keterlaluan, sangat malah. Apalagi untuk cowok
sensitif seperti Arkasa, "Iya deh, emang salah aku.
Pokoknya salah aku." Tekannya, mengingat kalau
cowok ini tidak suka apabila dia melemparkan
kesalahan ke hal lain. "Maafin aku ya, Ka? Aku sayang
sama kamu dan gamau kehilangan kamu." Lanjutnya
lagi, kedua tangannya memegang tangan kanan Arka,
memberikan pergerakkan sedang memohon.
Sayangnya, cowok tinggi itu tetap tidak merespon,
hanya memberikan kesan dinginnya yang cuek. Salah
siapa langsung menuduh tanpa pikir panjang?

"Arka, tatap aku dong." Pintanya, mulai frustasi.


Memang tidak gampang berdamai sama cowok satu ini,
Arka jarang marah tapi dia juga bukan tipe yang
mudah memaafkan. "Aku kan udah minta maaf dan
ngaku salah."

"Minta maaf dan ngaku salah aja ga cukup, Nat." ucap


cowok itu kalem, berbicara untuk pertama kali.

Deg. Kenapa kata-kata Arka barusan begitu dingin dan


membuatnya tertohok?

"Aku janji gabakal ngulang lagi." Balas Natella semakin


pelan.

Arka kemudian mengarahkan tatapannya ke arah


Natella. "Kamu tahu ga apa kesalahan kamu?"
tanyanya tenang, tapi dingin. Ini cowok yang biasanya

19
terlihat polos dan manis di mata Natella kenapa jadi
serem dan dingin kayak begini, sih? Sesebal itu, kah?

Natella tentu mengangguk. "Salah aku banyak."


Balasnya yakin.

Alis tebal Arka terangkat, menunggu Natella


mengabsen apa saja kesalahannya. "aku udah nuduh
kamu selingkuh, ga percayaan sama kamu, terus
ngomongin kamu brengsek, bajingan, jahat, gatau
malu, anjing, di line. Terus bilang benci sama kamu.
Itu ngga sopan, aku tahu." Natella bernapas sebentar,
dia sudah menghapal apa saja hal-hal tidak sepatutnya
yang ia katakan kemarin. "Aku juga ngangkat telepon
kamu dan marah-marah, ngomong kotor lagi. Aku juga
bilang kamu murahan. Maafin aku ya." Pintanya
setelah menyebutkan semua kesalahan yang dia ingat.

Sayangnya, Arka terlihat masih menunggu jawaba lain.


"Terus?"

"Aku ngomongin Mentari perek. Iya, aku salah."

"Terus?"

"Aku juga sempet ngomongin kamu di intastory."

"Terus?" Tanyanya lagi.

Dahi Natella berkerut bingung. "Apalagi sih, Ka? Itu


sudah semua."

"Kamu belum merasa salah kalau gitu."

An to the jinx. Natella menyerapahi cowok ini lagi,


untung dalam hati. Karena kalau dia betulan

20
mengeluarkannya, urusan akan semakin panjang.
Kayaknya lebih ribet minta maaf ke Arka deh daripada
minta maaf sama dosen yang lagi sebal ke kita.

"Kamu kasih tau aja kalau gitu. Aku lupa."

"Kamu ga serius minta maaf."

'Gue udah mohon-mohon begini daritadi sampai bolos


kelas buat ke starbucks dan beli pizza, ga serius apanya
sih anjing?‟ Keluh Natella dalam hati, berusaha
menahan sisi pemberontaknya untuk tidak keluar.

"Maafin aku ya, Ka. Aku beneran lupa." Natella


memberikan jawaban aman. "Coba kamu kasih tau aku
apa lagi."

"Kamu ngomongin diri kamu sendiri bitch."


Gumamnya.

Dahi Natella berkerut, tidak mengerti."Itu juga


kesalahan?" tanyanya bodoh.

"Bitch means jalang, anjing betina, cabul." Arka


menjelaskan. Natella dalam hati langsung menggerutu,
'memangnya bahasa inggris gue sebego itu sampai
gatau arti bitch apaan?'

Cowok berkemeja putih rapi itu kemudian melanjutkan


lagi, "Jangan merendahkan diri kamu sendiri, Nat. Aku
gasuka."

Natella membasahi bibirnya yang terasa kering. "Bitch


itu singkatan dari beautiful, intelligent, talenter,
creative and honest, tahu." Ucap Natella masih bisa
ngeles disaat begini. Namun langsung dia sanggah di

21
detik berikutnya, "Iya, iya. Aku minta maaf juga untuk
itu.".

"Kamu masih punya satu kesalahan lagi." Arka


memberitahu, membuat Natella sontak melepaskan
pelukannya yang tidak di balas cowok tinggi itu.

'Apalagi, sih ka? Kok banyak amat kesalahan gue?'


Natella lagi-lagi mengeluhkan dalam hati. Berpacaran
satu setengah tahun dengan Arka membuatnya
berpengalaman dalam beberapa hal, salah satunya
berpura-pura mengalah sepenuhnya seperti yang ia
lakukan sekarang,

"Apa?" Tanya Natella. Sudah kelewat pasrah dan tidak


mau berpikir lagi. Selama ini, Natella selalu berusaha
sebisa mungkin untuk tidak cari gara-gara sama Arka
karena dia tidak mau Arka meninggalkannya.

"Kamu mutusin aku." Gumamnya pelan.

"Kan tadi aku udah bilang aku lagi impulsif, jangan


didengerin yang itu!" balas Natella cepat. Dia takut
kalau Arka akan memperpanjang persoalan yang ini.
Natella belum sanggup untuk putus beneran dari Arka.
Lagian kenapa kemarin dia ga cari tahu dulu
kebenaran baru main tuduh-tuduh gitu, sih? Mana
nuduh dan caci-makinya tidak tanggung-tanggung lagi.

"But, I‟ve listened it."

Natella menggigit bibir bawahnya, makin pusing. Lalu,


dia menatap ke arah Arka yang juga menatap ke
arahnya. "Maaf, Ka. Aku salah dan bener-bener minta
maaf. Aku janji akan memperbaiki dan gabakal
ngulangin lagi." Natella mengatakan dengan nada suara

22
pelan yang sungguh-sungguh, dibuat agar terdengar
sungguh-sungguh sebetulnya.

Cowok itu kemudian memberikan anggukan singkat.


"Ok, dimaafin."

Barulah senyum cerah Natella datang lagi. "Damai kan


kita?" tanyanya meminta persetujuan.

Arka memberikan anggukan singkat, kembali menjadi


si Arka yang lugu dan menggemaskan di mata Natella.

"Sini peluk dulu." Natella melebarkan ke dua


tangannya yang langsung di sambut Arka.

***

Kalau saja Jeana tidak memaksanya membuka


instastory Aji, mungkin Natella masih menangisi
kesalahpahamannya terhadap Arka hingga detik ini.
Natella betulan ingin berterimakasih dengan siapapun
pencetus instastory, karena berkat fitur instagram
tersebut, hubungannya dengan Arka bisa
terselamatkan. Cowok itu tidak mungkin menjelaskan
dengan mulut sendiri, mengingat dia tidak mencoba
menghubungi Natella ataupun tidak mengangkat
telepon Natella sejak dia sadar atas
kesalahpahamannya.

Iya, yang kemarin itu benar-benar salah paham.


Setelah membuka instastory Aji, barulah Natella sadar
kalau Arka membantu juniornya itu untuk melobby
sponsor di GI. Cewek yang disebelah Arka itu Nadine,
bukan Mentari. Siapa suruh bentuk belakang mereka
mirip-mirip? Natella memang bisa sesensi itu kalau

23
udah bawa-bawa Mentari. Dan mereka pergi hanya
bertiga, ada Aji, Arka dan Nadine.

Dalam instastorynya Aji, cowok berbadan besar itu


mengatakan kalau dia benar-benar mengidolakan Arka
yang meskipun bukan urusannya, Arka tetap mau
direpotkan dan membantu junior-juniornya dalam
berbagai hal, termasuk mencari dana. Natella tahu
kalau cowoknya memang kadang sebaik itu sama
siapapun. Tapi, tetap saja, meskipun mereka sudah
damai sepenuhnya, beberapa persen dalam diri Natella
masih merasa kesal. Bagaimapun, Arka lebih
memprioritaskan organisasinya daripada Netella. Selalu
begitu.

"Nat, gila lo ya. Kok bisa balikkan sama Arka!" Meira


yang baru tiba di kamar Jeana langsung mengatakan
itu setelah melihat keberadaan Natella.

"Ya bisa lah. Gue sayang sama di," jawab cewek itu
masa bodoh. Mereka sedang piyama party di rumah
Jeana. Kegiatan bulanan yang selalu cewek-cewek
cantik itu lakukan sambil membicarakan hal-hal tidak
penting seperti lelaki, rambut dan make-up. "Lagian
yang kemaren cuma salah paham. Lo sih udah fitnah
cowok gue." lanjutnya tidak terima, mengingat awal
kesalahpahaman itu dimulai dari foto yang dikirim
Meira.

Meira berdecak. "Dih siapa yang fitnah?" cewek


berambut pirang itu tidak terima. "Anak-anak pada
ngomongin lo ga waras dan terobsesi sama Arka, tau
ga?" tanya Meira dengan raut tidak habis pikir. Meira
memang setidak suka itu melihat hubungan Natella
dengan Arka karena cowok temannya itu terlalu dingin
dan cuek.

24
"Memangnya kenapa?"

"Harga diri lo minus? Lo gamalu sampe mohon-mohon


minta maaf sama Arka di sebelah gedung kedokteran
sampai sujud di kakinya?"

Natella bingung sendiri. "Lo tahu darimana, Ra?"

"Dari sepupu gue yang anak kedokteran. Gossipnya


udah menyebar." Ucap Meira tidak habis pikir. .

"Gue emang minta maaf. Tapi gapernah sampe sujud


juga kali di kaki Arka." balas Natella membela diri.
Sedangkan Jeana dan Dennisa yang tadinya sedang
mengoleskan masker menatap sepenuhnya ke arah dua
orang temannya yang tengah beradu argumen itu.

Lagian siapa sih yang nyebarin? Natella yakin kalau


hanya ada dia dan Arka ketika mereka berbicara empat
mata. Mana mungkin Arka yang nyinyir, kan? Atau ada
yang menguping?

"Bersihin nama lo. Anak spice girls itu disembah,


bukan menyembah." ucap Meira lagi. "Gue sedang
mikirin caranya ini. Nama lo harus kembali wangi
kayak parfum gue."

Natella hanya memberikan jawaban jutek, "lo gajelas


banget deh, Ra."

"Ini karena gue prihatin dan sayang banget sama lo,


cun." balas cewek yang tengah sibuk membuka plastik
masker itu. "Kenapa ga putus aja sih, nyet? Kan mayan
kalau lo putus beneran bisa makan-makan elit di
Thamrin."

25
Natella memutar bola matanya malas. Memang ada
perjanjian di antara mereka. Siapapun yang putus,
harus traktir. Semakin lama waktu jadian, traktiran
semakin mahal. Dan diantara mereka berempat,
memang Natella yang bisa pacaran lebih dari setahun.

"Nat, lo sayang banget ya sama Arka?" Dennisa


bertanya, kenapa harus menanyakan sesuatu yang
sudah jelas?

Natella menjawab dengan anggukan. "Ah sayang


banget, padahal temen gue ada yang naksir elo banget.
Ditolak nih dia?"

Natella mengangguk masa bodoh.

"Gimana kalau Arka bukan jodoh Nate?" Giliran Jeana


yang kemudian bertanya. Dia merasa yang paling dekat
dengan Natella dan tahu dikit drama-drama yang
kedua orang itu hadapi.

Natella menatap handphonenya dengan pandangan tak


peduli,

"Kalaupun Arka bukan jodoh gue, tinggal minta aja ke


bokap nyokap biar gue dijodohin sama Arka." jawabnya
enteng. Kemudian kepala cewek itu langsung ditoyor
oleh Meira yang berada disebelahnya. Sementara
Dennisa dan Jeana hanya memberikan gelengan kepala
aneh untuk Natella.

"Lo beneran kayak cewek-cewek antagonis di FTV yang


hopeless romantic dan bakal melakuin apa aja demi
cinta." Dennisa berkomentar lagi.

26
Sedangkan Natella masih tidak peduli, lebih asik
memainkan handphonenya untuk menghubungi
cowoknya itu yang pastinya sedang belajar.[]

***

27
Chapter 3. The Prince Charming
Arkasa Sean Hadinata, mahasiswa kedokteran yang
lumayan dikenal, meskipun tidak semua orang di
kampus tahu dia karena yang namanya 'semua' itu
hanya ada dalam soal logika matematika. Jangankan
Arka yang hanya mahasiswa biasa, beberapa orang di
kampus saja kadang tidak tahu siapa Rektor mereka.
Tapi, kalau sudah masuk ke Fakultas Kedokteran,
nama cowok ini sering muncul di mading fakultas, baik
tercetak dalam brosur seminar, mahasiswa berprestasi
ataupun lomba-lomba yang diadakan FK karena dia
menjadi ketua panitia.

Sesekali namanya juga sering disebut seangkatan,


junior ataupun senior karena kelakuan positifnya dan
tampangnya yang enak dipandang. Cowok itu bahkan
kerap-kali dijuluki Pangeran oleh mereka karena aura
dan pembawaannya seperti berasal dari negeri
dongeng. Arka bukan dikenal hanya karena dia aktif
organisasi, cowok ini juga termasuk mahasiswa
berprestasi.

Dulu, sebelum pacaran, Natella bahkan kaget banget


waktu dengar kalau index prestasi Arka waktu
semester satu mencapai angka empat.

"Gila lo, kok bisa sih dapet IP segitu? Gimana caranya?


Matkul kedokteran kan susah banget, teman
seangkatan gue yang Fisip aja kagak ada yang IP 4."
Natella berbicara kayak hal itu nyaris mustahil dicapai
oleh seseorang, apalagi oleh cowok yang santai tidak
terlihat ambisius seperti Arka. Natella pikir, Arka kayak
cowok baik-baik kebanyakkan dengan IP seadanya.
Atau berita yang dia dengar dari teman SMA-nya yang

28
sejurusan dengan Arka itu hanya omong kosong
belaka.

"Belajar." Jawabnya tidak menyangkal. "Nggak ada


yang instan di dunia ini."

Iya juga, sih. Memangnya siapa yang bisa dapat nilai


sempurna tapi kerjaannya cuma tidur-tiduran di kelas
dan sering bolos? Secerdas-cerdasnya otak manusia
juga harus kenalan dulu sama materi baru bisa
memahami.

Sewaktu pacaran sama Arka, barulah Natella sadar


kalau Arka belajarnya bisa segila cuma tidur dua jam
ketika masa ujian blok. Hari libur kadang juga dipakai
buat belajar. Boro-boro jalan berdua sama Natella,
chatting-an atau teleponan saja nyaris tidak sempat.

"Setahu aku, manusia tuh belajar ada limitnya. Tapi,


kok kamu sanggup sih belajar unlimited begini?" Keluh
Natella antara kesal dan kasihan. Kesal karena Arka
tidak punya waktu buat dia dan kasihan, pacarnya
belajar sampai tidak tidur semalaman. "Atau
seenggaknya, berhenti kek ikut organisasi-organisasi-
an. Kamu tuh udah kebanyakkan kerjaan, tahu
nggak?"

Enam bulan pertama pacaran, hal-hal seperti ini


menjadi alasan paling sering mereka marahan, Natella
marah ke Arka lebih tepatnya. Malahan setelah
dimarah-marahi, Arka tetap tidak peduli, juga tidak
menyisakan waktu untuk Natella. Dalam kamus
kehidupan Arka, Natella tidak pernah menjadi prioritas
nomor satu. Makanya ada titik dimana Natella merasa
capek sendiri.

29
"Kenapa sih lo harus belajar segila ini? Tiap diajak
jalan, alesannya mau belajar mulu! Angka index
prestasi juga gabakal menjamin masa depan lo bagus!"
Natella selalu merasa Arka sengaja mengabaikannya,
sengaja mencampakkannya, sengaja tidak
memedulikannya.

Butuh enam bulan untuk Arka mau buka mulut,


cowok itu memberinya alasan yang akhirnya bisa
membuat Natella mengerti. Mengerti kalau beberapa
orang seumuran mereka memiliki beban dan tanggung
jawab yang lebih besar dari sekedar berlovey-dovey ria
sama pacar.

"Kalau IP gue dibawah 3.5, bokap gamau ngasih duit


buat kuliah gue lagi. Itu perjanjiannya, Nat."

"Tinggal cari beasiswa." Balas cewek itu


mengentengkan. "Lo kan pinter."

"Ga segampang itu." Arka membalas pakai nada


suaranya yang tenang, kontras dengan Natella yang
meledakkan emosinya.

"Bokap gapernah setuju gue masuk kedokteran."

"Terus, kenapa lo masuk kedokteran? Durhaka banget


sih jadi anak!"

"Karena gue mau." Ucapnya kalem. "Dan kalau gue


mau, gue harus perjuangin gimanapun caranya dan
apapun konsekuensinya."

Arka itu tertutup. Dia jarang menceritakan tentang


dirinya, tentang bagaimana hidupnya, tentang
perasaannya, tentang apa yang dia pikirkan. Makanya

30
kadang Natella, atau mungkin orang-orang lain, selalu
berbuat seenaknya terhadap Arka, selalu memikirkan
apapun yang memuaskan ego mereka tentang cowok
itu. Arka tidak pernah menjawab pertanyaan muluk-
muluk, selalu simpel, sesimpel yang orang-orang pikir
tentang hidupnya padahal dia selalu lebih rumit dari
ribuan benang kusut.

Karena gue mau. Cuma alasan bodoh yang bisa saja


Natella sangkal dengan mudah. Anehnya, perkataan itu
malah membuatnya merasa tertohok dan tertusuk.
Otaknya tidak dapat berhenti berpikir.

Kenapa dia pacaran sama Arka?

Karena dia mau.

Kenapa dia berteman dekat dengan Jeana, Dennisa dan


Meira?

Karena dia mau.

Kenapa dia masuk jurusan ilmu politik?

Karena dia menyerah dengan apa yang dia mau.

Di dunia ini, tidak ada satupun manusia yang bisa


mendapatkan apapun yang mereka mau. Pasti ada hal-
hal tertentu yang tidak tergapai oleh mereka. Bisa jadi
karena hal itu bukan untuk mereka, atau bisa juga
karena mereka malas memperjuangkan.

Natella dulu pengen sekali masuk jurusan perfilman,


dia ingin menjadi sutradara, membuat film yang bisa
membekas di hati penontonnya. Lantas, kenapa malah
di Ilmu Politik? Sesederhana karena dia malas

31
memperjuangkan. Atau mungkin untuk masalah
jurusan, dia belum mengerti dengan apa yang dia mau.
Sedangkan Arka sebaliknya, dia tahu apa yang dia mau
dan dia sedang memperjuangkan kemauannya,
meskipun kemauan itu bertentangan dengan kemauan
orang lain terhadap dirinya.

"Tetep aja, Nat. Kita memang bisa memperjuangkan


apa yang kita mau, tapi kita ga seharusnya memaksa
orang lain untuk mengikuti kemauan kita." Cowok itu
bersuara lagi, disaat paling tepat, Arka memang bisa
menjadi seseorang yang banyak bicara. Sedangkan
Natella seperti tidak memiliki perkataan apapun untuk
menjawab, apalagi menentang.

Natella kemudian memeluk kekasihnya, petanda bahwa


dia batal mengakhiri hubungan enam bulan mereka
yang awalnya dia pikir akan berakhir disini meskipun
dari lubuk hati terdalamnya,

Natella tidak bisa merelakan Arka.

"Sekarang gue tahu jawabannya."

"Hah?"

"Pertanyaan diri gue sendiri tentang kenapa mau


bertahan punya status sama lo padahal dianggurin
melulu," balasnya ceplas-ceplos. "Jawabannya karena
gue mau elo dan gue mau memperjuangkan lo."
Lanjutnya. "And I don't care about what you feel."

Itu enam bulan pertama mereka pacaran, masalah


prioritas merupakan masalah utama di hubungan itu.
Arka yang cuek, Arka yang tidak pedulian, Arka yang
tidak punya waktu untuk Natella. Namun, Natella juga

32
tidak boleh lupa kalau Arka tetaplah lelaki baik hati
yang dia kagumi.

Arka baik, meskipun baiknya ke semua orang. Arka


baik, meskipun Natella tidak diperlakukan spesial.
Arka baik, karena cowok itu ada dikala Natella paling
membutuhkan. Arka baik, karena dia membiarkan
Natella menjadi yang cewek itu mau, bukan malah
memaksakan kemauannya seperti yang dilakukan
Natella.

***

"Sayang, ini aku bawain cheesecake. Aku buat sendiri


loh dari tutorial di Instagram." Natella langsung
menghampiri Arka yang berada di living room, bisa
masuk karena pintunya tidak terlalu tertutup. Lelaki
itu menggunakan kaos putih dan celana pendek,
duduk di karpet lantai dan stik playstasion 4
tergenggam erat pada tangannya sedangkan layar TV
tertulis tulisan pause karena kedatangan Natella.

Cewek itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dekat Arka


duduk, membuka tupperware yang berisi potongan
cheesecake yang dia buat. "Tadi pagi jadi joggingnya?"
tanyanya pada Arka mengingat cowok ini sempat
menelponnya tadi pagi. "Aku nggak kebangun."

Arka mengangguk, kalaupun ada waktu menganggur


sedikit saja, pasti dia manfaatkan untuk berolahraga.
Salah satu alasan kenapa dia memiliki badan yang
ideal.

Cewek itu kemudian membuka bomber jaket berwarna


hitam yang ia pakai, menyisakan dirinya hanya dengan

33
croptee berlengan pendek dan juga ketat, yang dilihat
Arka sebentar lalu langsung buang muka.

Arka mengambil sebagian kecil cheesecake itu dan


memakannya, tidak lupa melanjutkan game yang
tengah ia mainkan sambil mengunyah.

"Gimana?" tanya Natella meminta pendapat.

"Masih bisa ditelan."

Natella memberikan tawanya mendengar respon jujur


dari Arka, "Polos banget sih pacarnya aku." Ucapnya
gemas sembari mencubit pipi putih cowoknya yang
sedang bermain game itu. "Tadi Ferre malah langsung
buang ke kotak sampah. Kenapa aku kalau bikin
sesuatu gapernah beres ya?"

"Nggak niat sih."

"Niat banget, tahu." Balas Natella tidak mau kalah.


"Aku tuh niat banget buat bahagiain kamu."

Arka hanya memberikan tampang dararnya mendengar


godaan Natella yang terkutuk dan menggelikan itu.

"Kamu tuh kalau digodain, blushing dikit kek, dijawab


kek. Datar bener sih jadi manusia." Protes Natella lagi.

Arka kembali diam, memilih fokus pada layar yang


menampilkan gambar tembak-tembakan. Setelahnya
mereka menghabiskan waktu dengan kesibukkan
masing-masing. Arka dengan gamenya dan Natella
dengan handphonenya sambil tidur-tiduran di sofa.
Mereka memang lebih sering menghabiskan waktu di

34
dalam ruangan pribadi seperti ini. Tidak café-café lucu
ataupun mall.

"Arka, aku bosen. Kamu kapan tamatnya, sih?" Curah


Natella tiba-tiba, setelah satu jam lebih berlalu. Tapi,
Arka tidak meladeni, game yang dia mainkan sedang
menjadi prioritas. Sembari mendudukan badannya,
cewek itu mengatakan, "mending kita duel aja. Kalau
aku menang, kamu cium aku. Kalau kamu yang
menang, aku cium kamu. Gimana?"

Arka masih tidak memberikan respon apapun selain


pencetan-pencetan yang menurut Natella random pada
stik PS. Biasanya, penawaran seperti itu diberikan oleh
lelaki genit untuk kaum perempuan, yang langsung
diberikan respon jijik oleh perempuan-perempuan. Dan
Natella berbaik hati memberikan Arka penawaran yang
seharusnya tidak ditolak lelaki normal.

"Ih kamu tuh emang nggak normal ya." Gerutu Natella


lagi. Dia kembali tidur-tiduran di sofa. Melanjutkan
aktifitas yang tadi sempat tertunda. "Arka, kemaren pas
kita berantem, kamu blokir line aku, ya?" tanya Natella,
mengingat topik yang sempat dia lupakan. Cewek itu
kembali duduk, menatap ke arah punggung lebar Arka
yang membelakanginya.

"Nggak kok."

"Masa? Chat aku semalem sama kemaren ga ada yang


kamu bales." Natella memicingkan matanya
memandang ke arah cowok yang menyender di sofa
yang dia duduki curiga.
Natella kemudian mengambil handphone yang
tergeletak di atas meja, tanpa persetujuan dari yang
punya langsung membuka isinya. Handphone Arka

35
memang pakai password, tapi sidik jari Natella sudah
ditambahkan sehingga bisa langsung membukanya
dengan hanya ditempelkan ke tombol home.

Cewek yang duduk dengan kaki terangkat diatas sofa


itu membuka aplikasi yang berlogo hijau itu. Benar
saja, namanya memang masih ada di daftar teman
Arka, cowok itu tidak memblokirnya. Tapi, ketika
Natella membuka chat namanya, cewek itu sontak
mengatakan, "wah jahat banget chat gue di silent dasar
anj..." Natella memutar lidahnya sendiri, dia menahan
napas sembari melirik ke arah Arka yang untungnya
tidak bergeming. "Aku gajadi ngomong kotor ya."
Ingatnya.

"Lagian sih kamu parah banget sampe ngesilent chat


aku."

"Lupa."Balas Arka kalem. "Soalnya yang kemaren


ganggu."

Jawaban Arka yang terkesan tidak peduli malah


membuat Natella naik darah. Gaya bicaranya tadi yang
begitu manis berubah seketika.

"Ih, kalau terjadi apa-apa sama gue gimana? Pantesan


chat beratus kali ga ada satupun yang dibales." Natella
mulai mengomel, tiba-tiba merasa begitu kesal. Untung
setidaknya kemarin mereka sempat telponan. Dia
melihat-lihat chat yang lain, memang rata-rata chat
dalam Line Arka dalam keadaan silent, apalagi grup-
grup yang ada Arka dan berjumlah puluhan. "Nah, ini
chat-nya si Mentari lo bales!" Natella mengeluarkan
nada sinisnya terang-terangan setelah menemukan
sesuatu yang membuat darahnya berdesir.

36
"Itu chat 3 hari yang lalu." Jelas cowok itu, dia masih
terlihat tenang dan baik-baik saja. Matanya bahkan
tidak melirik ke Natella yang duduk dibelakangnya
sama sekali.

"Lo bahkan ingat kapan Mentari ngechat tapi lupa kalo


chat gue malah di silent!"

Kalau sudah kayak begini, Arka pasti akan diam saja


dan membiarkan Natella mengomel sampai puas.
Kadang Arka tidak habis pikir dengan perubahan mood
Natella yang bisa sedrastis ini. Padahal dia datang
dengan tingkah yang begitu manis, seperti melupakan
dengan iklas kalau empat hari hari yang lalu mereka
sempat bertengkar hebat. Lalu tiba-tiba cewek ini
meledak hanya karena masalah yang menurut Arka
sangat sepele.

"Tau ga pas lo gabales chat gue sama sekali, gue sampe


gabisa tidur." Ucapnya bercerita. "terus karena gabisa
tidur gue jadi mikir yang aneh-aneh." Natella
memelankan suaranya, ngomong keras-keras membuat
dirinya lelah sendiri. "Gue tahu lo memang terpaksa
sama gue. Tapi lo kan cowok gue, punya gue."
lanjutnya posesif.

"..."

"Ka, lo suka ya sama Mentari?"

"..."

"Arka jawab dong jangan diem aja!"


Suara Natella semakin lama semakin memelan, seperti
tidak sanggup untuk melanjutkan perkataan demi
perkataan yang dikeluarkan bibirnya. Arka menatap

37
kesal ke arah TV yang mengatakan kalau dia kalah. Dia
benci kalah, apalagi dalam bermain game kayak begini.
Cowok itu berbalik ke belakang, menjeda
permainannya, menatap ke arah cewek yang
menatapnya marah.

"Lagi mengarang cerita fiksi?" balasnya enteng, beda


sekali dengan Natella yang sudah naik darahdan
menahan serapahan daritadi.

Anjay

"Arka, gue serius!"

Memang Arka pernah nggak serius, gitu?

"Lo naksir Mentari ya? Bener kan lo pernah nembak dia


tapi ditolak? Makanya lo mau-mau aja sama gue buat
pelarian!"

"Nggak." Jawabnya, santai bener.

"Tapi orang-orang bilang..."

"Orang-orang yang mana?"

"Banyak pokoknya! Semua orang ngomong gitu." tekan


Natella lagi, jujur saja pertanyaan-pertanyaan insecure
yang dia berikan sebelumnya tentu berdasar.

"Ya itu sih terserah mau dengerin mereka atau gue."

"..." Giliran Natella yang terdiam. Dia sedang


memikirkan perkataan untuk menyerang Arka. Tapi
menyerah pada akhirnya. Bukannya Natella selalu
mengalah dan kalah kalau sudah tentang Arka?

38
"Kalian lagi pacaran atau ribut sih? Atau pacaran
sambil ribut? Di kamar aja." Satu suara berat
menginterupsi. Seorang cowok tinggi baru keluar dari
kamar dengan stelan yang tidak jauh berbeda dari
Arka, kaos hitam baru saja dia pakai sembari berjalan
ke arah Natella yang sontak merapikan duduknya.

"Lo kok disini, sih?" tanya Natella sewot.

"Lah, ini kan apart gue juga." balas cowok itu balik
sambil menguap. Kelihatan kalau baru bangun tidur,
padahal udah jam setengah 2 siang.

"Ya, tumben-tumbenan aja ga cabut."

Cowok itu duduk manis di sofa sebelah Natella, dia


menatap ke arah Tupperware besar yang tadi di bawa
Natella dan membuka isinya, "apa nih?" tanyanya,
tanpa meminta persetujuan siapapun, dia langsung
menyantap isinya.

"Kok kagak enak? Pasti lo yang bikin ya, Nat?"

Natella memutar bola matanya. Dengan nada judes, dia


mencetus, "Iya."

"Kejunya pait gini. Pake keju murah ya lo?"

"Enak aja. Itu keju gue lebih mahal dari harga diri lo
tau."

Cowok yang tingginya cukup diatas rata-rata lelaki


Indonesia yang bernama Reno ini hanya menghabiskan
satu gigitan. Membuat Natella teringat Arka yang rela
menghabiskan satu potong. Benar, kan? Arka itu
sebaik dan semenghargai itu jadi manusia.

39
Reno gentian melihat ke arah Natella dan Arka, "Ribut
karena apa lagi kali ini?" tanya Reno mengintograsi.
Natella menggerekkan badannya yang terasa kaku
sehingga bajunya yang pendek sedikit terangkat,
membuat Reno yang kebetulan melihat ke arahnya
sontak mengatakan,

"Astagfirullah, udel lo tuh keliatan!" beritahunya. "Lo ke


apart cowok pake baju yang bener kek sekali-sekali."
Pria itu setengah protes.

"Otak lo tuh yang dibenerin, bukan baju gue!"

Reno memberikan senyuman selebar mungkin ke arah


Natella yang menatapnya kesal, "ya gapapasih, gue
seneng-seneng aja ngeliatnya. Tapi Arka nih yang
biasanya risih. Ye, ga, Ka?"
Sedangkan Arka cuma memberikan Reno tatapan
'apaansih' nya.

"Btw, ga ada yang mau cerita sama gue, nih? Gini-gini


gue calon mediator loh." Lanjut Reno bangga. Reno
memang selalu kepedean dan bangga atas apapun yang
dia lakukan dan peroleh dihidupnya. "Bentar lagi gue
Sarjana Hukum."

"Bodo."

"Gile, makin judes aja ini anak. Dulu perasaan pas


baru kenal lo kalem bener kayak putri solo" Komentar
Reno sambil geleng-geleng kepala mendapati Natella
malah membuang muka. "tapi makin cakep sih."
Pujinya sambil mengerling nakal.

"Dih."

40
"Bener-bener tipe abang." Reno berkata genit,
menggoda Natella yang terus memberikan tampang
masam. Sedangkan Arka hanya memperhatikan
mereka, gamenya masih dalam status tidak
dilanjutkan.

"Jangan najis deh, Ren!"

"Tuh kan, makin suka deh."

Natella memutar bola matanya malas. Reno memang


suka bermain-main seperti ini, cowok tinggi yang begitu
terkenal di kampus karena ketampanan dan
kekerenannya ini sudah dia anggap kakak laki-laki
sendiri, kakak tiri lebih tepatnya karena Reno suka
jahat. Makanya mereka berdua sering bertindak
sesukanya satu sama lain.

Natella kemudian melirik Arka,"Ka, lo tuh gapunya


perasaan banget, ya? Cewek lo digodain sebegininya
sama lelaki hidung belang malah cuek aja. Jangan-
jangan kalau ada cowok yang ngajakin gue jadian di
depan mata lo, lo tetep aja gabakal peduli, malah
ngasih gue dengan sukarela ke cowok itu." Ucapnya
panjang pada cowoknya yang menolak menatap ke
arahnya itu.

"Buset deh, drama bener." Reno tidak ketinggalan


memberikan komentar sembari ketawa-ketawa
mentertawakan. Kok bisa sih ini orang pacaran terus
pacarannya bisa lama lagi? Yang satu drama queen,
yang satu lagi don't have time for drama.

"Ya, soalnya gue bukan Mentari sih. Makanya lo ga


peduli." Lanjut Natella untuk Arka. Tatapannya tajam
sepenuhnya ke arah cowok itu.

41
"Nat!" Ia langsung ditegur. Bukan Arka, tapi Reno.
Cowok yang beberapa detik lalu masih sempat ketawa-
ketiwi itu sekarang memberikan tampang seriusnya
untuk Natella.
"Kenapa? Mau belain Mentari sama Arka? Mau
nyalahin gue juga? Iya, apapun yang terjadi memang
selalu salah gue," ucap Natella makin kesal, heran
kenapa tidak ada satupun orang di dunia ini yang
berpihak padanya.

Natella memiliki banyak toleransi untuk masalah


prioritas. Tapi nol besar kalau sudah bawa-bawa
tentang si Mentari yang selalu membuatnya menjadi
jauh lebih sensitif. Cewek itu mengganti pandangannya
kembali pada Arka yang sedang memejamkan matanya
rapat-rapat, "gue bahkan harus minta maaf karena
ngomongin Mentari perek. Kalau gue dikatain perek di
depan muka lo, lo bakal marah, ga? Atau gamau
peduli?" Natella sudah kepalang emosi.

"Natella, you've crossed the line."[]

***

42
Chapter 4. The Line
Reno mengeluarkan suara beratnya lagi yang terdengar
begitu serius. Suara serius ini tidak biasa cowok tinggi
itu keluarkan untuk teman sepermainannya. Dia
melirik Arka sekilas, cowok berkaos putih itu tengah
menatap dingin ke arah Natella yang menjadi penyebab
suasana menjadi sehorror sekarang. Reno mengenal
Arka, jauh lebih dulu dan lebih baik daripada Natella,
menurutnya.

"Cross the line-cross the line apaan sih. Ga ada garis


polisi juga," ucap cewek itu garing untuk Reno. Dari
suaranya juga kelihatan kalau dia tengah panik,
sedangkan matanya sengaja menghindari kontak
dengan Arka. "Aku nggak niat cari ribut kok, Ka. Cuma
lagi bete dikit aja makanya sensi," lanjut Natella tidak
lama kemudian beralasan untuk Arka, nada suaranya
telah kembali tenang, sadar kalau dia tengah
melakukan kesalahan, lagi.

Natella terus menyalahkan dirinya sendiri dalam hati


dan merutuki kebodohannya. Baru saja damai, sudah
ribut lagi. Mana mulutnya kali ini sangat tidak bisa
dikontrol, lebih parah dari pertengkaran terakhir
mereka pula, yang seharusnya menjadi pertengkaran
paling hebat mereka selama pacaran. Salah siapa kalau
dia tidak bisa menahan emosi apabila membawa-bawa
Mentari? Well, meskipun Natella sendiri yang bawa-
bawa lebih dulu.

"Aku cuma takut kehilangan kamu," katanya pelan,


seperti berbisik.

43
Natella dapat mendengar Arka menghela napas berat,
"yaudah, nggak apa-apa," jawab cowok itu kalem.

Natella agak terkejut. Tumben secepat ini dan Natella


tidak perlu melakukan ritual minta maaf basa-basi
yang ribet setengah mampus itu? Mood Arka sedang
baik atau bagaimana?
Cewek itu mengangkat kepalanya dan sontak menatap
ke mata Arka, "Beneran nggak apa-apa? Nggak dendam
kan sama aku?"

Arka menggelengkan kepalanya, mematikan playstation


yang dia mainkan kemudian berdiri. "aku mandi dulu."
pamitnya datar. Cowok itu masuk ke kamarnya,
namun tidak lama kemudian sempat balik lagi dengan
membawa selimut tipis yang masih terlipat rapi, "nih
untuk nutupin perut, biar nggak masuk angin."
ucapnya untuk Natella.

Cewek itu tersenyum, mengambil yang Arka kasih,


"makasih sayang." ucapnya, kembali dalam mode
manisnya.

Setelah Arka berlalu, barulah Reno menatap tidak


habis pikir ke arah Natella .

"Hobi banget sih cari ribut, bipolar ya lo?" tuduh Reno


untuk Natella. Tidak serius sebenarnya, tapi cewek ini
memang sering bertingkah di luar nalar orang waras.
Reno bahkan syok sendiri mendengar perkataan-
perkataan drama yang keluar dari bibir Natella.

"Dih gue masih waras tau." respon Natella balik.


Melihat Arka yang sudah menghilang setelah pintu
kamarnya ditutup rapat, Natella langsung mengelus
dadanya lega, "Gue takut banget anjir."

44
"Ckck. cowo lo kalo ngamuk serem loh." Reno
memberitahu.

"Bukan itu." Natella membalas. "Gue takut diputusin


kali. Mau dia ngamuk juga bodo amat kok." lanjut
cewek itu santai. Yaialah, orang selama ini dia nggak
pernah lihat Arka marah-marah sampai
membentaknya, kalau merajuk sih sering.

Untung Reno masih baik hati dan menahan niat untuk


menoyor kepala Natella yang menurutnya kelebihan
dopamin itu.

"Mentari salah apa deh sama lo?" Reno bertanya,


membuka topik yang membuatnya penasaran. Dia
jarang mengobrol hal serius dengan Natella, apalagi
hanya berdua begini. Mungkin ini yang pertama kali
karena Reno lebih sering di luar tiap kali Natella
mengunjungi apartemen yang ditempati dua cowok ini.
"Lo kadang keterlaluan kalau udah bawa-bawa Mentari.
Sadar ngga?"

Natella diam sebentar, dia bingung mau menjawab apa


sekaligus merasa sedang mengalami eksekusi
hukuman mati atas pertanyaan penuh tekanan Reno.
"Ngga ada sih, tapi gue takut aja." dia memberikan
jawaban aman.

"Ngapain takut?"

Natella membasahi bibirnya yang terasa kering. "Ya,


takut." Dalam hati, cewek itu melanjutkan. Takut Arka
berakhir sama dia. Takut Arka direbut dia. Takut Arka
ninggalin gue. "Soalnya lo nggak bakalan ngerti."

"Gimana gue bisa ngerti kalau lo kagak cerita?"

45
"Memangnya Arka nggak pernah cerita?" tanya Natella
balik. Cowok itu memang jarang bercerita mengenai
apapun. Tapi ini Moreno? Roomate sekaligus
sahabatnya, masa Arka tidak pernah cerita satu hal
penting-pun soal Mentari?

Satu alis Reno terangkat menanyakan maksud Natella.

"Tentang dia sama Mentari?" Reno terlihat berpikir,


kemudian memberikan gelengan, "Seingat gue, nggak
pernah sama sekali." "Lo lupa kali."

"Mungkin." Reno menjawab tidak yakin, cowok yang


duduk di sofa sebelah Natella itu mengotak-atik remot
untuk mengganti siaran TV. "Gue ingetnya Arka pernah
cerita tentang lo."

"Apa?" tanya Natella panik, takut Arka menceritakan


yang jelek-jelek tentangnya seperti tidak tahan lagi dan
mau meninggalkan Natella, misal?

"Arka bilangnya dia sayang banget sama Natella." lanjut


Reno lagi.

Hening sejenak. Lalu Natella mengeluarkan tawa


senangnya yang tak bisa dia tutupi. "bohong lo"
tuduhnya.

service "Biar dek Natella senang."

Natella langsung memukul bahu lebar Reno "Emang


senang ini. Meskipun bohong." Balasnya, masih
ketawa-ketawa malu-malu. Tidak mengerti kenapa bisa
sebahagia ini hanya karena kebohongan palsu yang
diciptakan Reno tentang perasaan Arka kepadanya.

46
Sebenarnya, tanpa Arka mencintainya balik-pun
Natella tetap merasa senang, selama Arka menjadi
miliknya. She really looked like a psycho bitch in this
state of mind.

***

"Sumpah si Arka mandinya kayak anak perawan."


Natella berkomentar gusar sembari mengocok kartu
remi edisi spesial starwars di tangannya. Dia sudah
ditinggal berdua sama Reno selama 30 menit lebih.
Natella bahkan sempat memasak indomie dan
memakan makanan favoritnya itu sampai habis. "Gue
aja kalau luluran kagak selama ini."

"Namanya juga cowok, Nat." Reno membalas santai,


membuka satu persatu kartu yang diberikan Natella.
"Lo sih ngga pernah kasih. Jadi self service kan dia."

"Enggak pernah diminta juga." balas Natella polos.

Reno langsung menatap Natella tidak menyangka,


"Arka sih bego, punya cewek sebening lo ga
dimanfaatin."

Natella tiba-tiba berteriak, "Sayang, cepetan dong


mandinya. Aku takut nih diapa-apain sama fak boi
kayak Reno."

Kali ini, Reno tidak segan menoyor kepala Natella,


"mulut si anak anjing emang keterlaluan ya."

Natella tidak membalas, dia hanya mengerucutkan


bibirnya kesal. "Lo kok tumben di rumah aja?"

"Mengurangi bala. Lusa gue sidang."

47
Natella membulatkan matanya kaget, "Udah sidang
aja? Kok cepet banget?"

"Gue usah semester 10, bego."

"Oh iyaya. Lo sih, belagak jadi Presma. Makanya lama,


kan."

"Daripada bacot mending doain lancar."

"Nggak akan lancar kalau para cewek barisan sakit hati


karena lo PHP-in masih dendam sama lo." Natella
mengingatkan. Sebagai informasi, Moreno ini salah
satu cowok paling hits kampus, lebih tenar dari Arka
karena mantan Presiden Mahasiswa dan juga tingkah
lakunya yang supel dan gaul, bikin anak gadis cepat
terbawa perasaan. "Salah satunya tuh temen gue,
masih sakit hati sampai sekarang."

Reno menatap Natella sebentar. "Dennisa?"

"Iya." Natella mengangguk membenarkan. "Kurang apa


sih dia sampe lo PHP-in gitu?" tanyanya dramatis,
masih tidak terima temannya dipermainkan oleh cowok
seperti Reno.

"Bukan tipe gue." jawab Reno santai.

Mereka mengobrol sembari bermain empat satu. Natella


hanya butuh satu kartu love bernilai 10 lagi untuk
menang.

"Kenapa lo deketin kalau gitu?"

48
"Siapa tau nyantol." balasnya cuek. "Tapi ternyata
ngga." Reno menjeda sebentar, "soalnya ada yang gue
suka."

"Siapa?" tanya Natella tertarik.

Reno tidak langsung menjawab, dia menatap Natella


insten sembari tersenyum, "yang jelas bukan elo."
jawab cowok itu judes, lalu mentertawakan Natella
yang mukanya langsung masam.

"Awas lama-lama naksir gue." Natella menyumpahi.

"Ogah. Lo gila. Udah paling cocok sama Arka."

Natella tersenyum lebar lagi. Paling suka saat ada


orang mengatakan kalau dia cocok sama Arka.

"Emang." ucapnya ceria. Kemudian dia menutup kartu


sebagai tanda skakmat, sebagai pernyataan kalau
permainan berakhir dan dia menang.

Tidak lama dari itu, Arka keluar dari kamarnya. Sudah


ganti baju dan celana, rambut hitam pendeknya masih
basah dan handuk putih terletak sembarangan di
bahunya.

"Cakep banget sih pacar aku habis mandi." komentar


Natella menggoda, persis ibu-ibu yang mengomentari
balita laki-lakinya sehabis dimandikan.

Arka hanya memberikan tampang datarnya sembari


berjalan ke arah balkon untuk menjemur handuk.

"Ka, ikut main kartu yuk. Mau ga?" Natella


menawarkan.

49
"Arka mah udah puas main sabun di kamar mandi."
Reno menjawab, membuat Natella memberikan
pukulan pada pahanya.

"Jangan ganggu cowok gue deh." ancamnya untuk


Reno.

"Dih, posesif amat." balas cowok tinggi itu sambil pura-


pura kesakitan.
Arka duduk di sebelah Natella. Menyatakan secara
tidak langsung kalau dia setuju untuk ikutan bermain
kartu.

"Main cangkul aja." Ucap Arka kemudian. "Soalnya


kalau 41, pasti curang." dia berkata begitu sembari
melirik sekilas ke arah Natella, membuat Reno
langsung tertawa terbahak-bahak sementara Natella
memberikan tampang masamnya. "Main apa aja
biasanya curang tapi paling parah 41." lanjut Arka lagi,
mengingatkan Natella atas dosa-dosanya selama ini
sampai Arka malas bertaruh ataupun bertanding
apapun dengan Natella.

"Itu karena kamu gamau ngalah." balas Natella


membela diri. "Masa aku kalah terus? Main PS kalah,
main xbox kalah, main nitendo kalah, main monopoli
kalah, main UNO kalah. Terus aku menangnya kapan?"

"Ajak Arka main ke kamar, Nat, lo pasti menang."


sambung Reno tak penting. Mulut cowok ini memang
tidak bisa diam di saat apapun.

"Ga pinter-pinter kamu kalo aku ngalah." Arka


menjawab santai. Dia mengocok kartunya dan
membagikan untuk mereka bertiga. Tapi sebelum

50
mulai, dia sempat ngomong lagi ke Natella. "Sini lo janji
dulu gaboleh curang."

Natella menyerahkn dan menautkan jari kelingkingnya


ke tangan Arka dengan tampng tidak iklas.

"Iya, janji."

Apasih yang nggak buat Arka?

"Kok kalian berdua najis sih?" Tanya Reno pura-pura


jijik. "Ini apart, bukan tempat pacaran." lanjut Reno
lebay.

Natella langsung memberikan tatapan tajamnya untuk


Reno. "Eh, lo kalau bawa cewek kesini lebih
mengganggu ya. Cowok gue sampe nggak bisa belajar
karena dengerin desahan berisik lo sama cewek lo yang
sebelas dua belas sama bintang JAV."

Reno syok sebentar, begitu juga Arka yang bingung


ceweknya tahu darimana kalau misal Reno sudah bawa
perempuan ke kamarnya itu berisik setengah mati.

"Ya, padahal kalau COWOK LO mau, bisa gue ajak


threesome ini." Reno membalas menggunakan nada
bicara posesif ala Natella, membuat cewek yang sudah
kesal itu jadi makin kesal karena olokan Reno
menancap di hatinya.

Cewek cantik itu memicingkan matanya, menatap Reno


seperti ingin memakan hidup-hidup cowok tengil itu.
"Udah cukup cowok gue lo ajarin nonton bokep. Awas
aja lo berani nyentuh dia beneran, gue anyutin di
citarum!!!" ancam Natella sadis. Hanya dia dan Tuhan
yang tahu itu betulan atau hanya bercanda.

51
Arka hanya bisa memutar bola matanya malas melihat
kelakuan Natella dan Reno yang menurutnya terlalu
kenakan-kanakan. "Ren, gausah dijawab lagi. Gabakal
kelar."

"Ih, kok kamu malah belain Reno?" tanya Natella


protes, mengambil ancang-ancang untuk mengajak
ribut lagi.

"Ya Tuhan, Natella..." ucap Arka capek sendiri melihat


ulah absurd ceweknya ini yang kayak tiada hari tanpa
drama.

***

Katanya, lagu favorit sesesorang itu biasanya secara


tidak langsung menggambarkan isi perasaan orang itu,
entah yang terpendam atau ingin tunjukkan.

Natella pernah random suka sama lagu Dewa 19,


Risalah Hati, yang dalam liriknya tertulis 'aku bisa
membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak
cinta.' Menurut dia, itu benar-benar menggambarkan
perasaan dia untuk Arka. Tapi, Arka sangat tidak suka
sama lagu itu karena kata dia, lagunya terdengar
creepy dan terlalu obsesi. Kalau didengar-dengar lagi
sih iya juga, makanya Natella berpikir ulang untuk
memfavoritkan lagu itu. Dia gampang sekali
terpengaruh Arka.

Ketika lagu itu terputar di radio mobilnya, Natella


segera mengganti ke frekuensi lain.

Malam itu lagi hujan, Natella baru pulang dari


apartemen Arka dan diantar oleh cowok itu. Iya, Arka
yang mengantarnya pulang meskipun Natella tadinya

52
membawa mobil sendiri. Padahal Natella sudah
mengatakan kalau dia bisa dan berani pulang sendiri,
tapi Arka tetap maksa untuk menjadi supirnya dan
mengantar Natella sampai ke rumah.

"Terus kamu pulangnya gimana?" tanya Natella masih


tidak yakin untuk menerima tawaran Arka. Dia seneng
banget sebenarnya, dengan begini Arka jadi kelihatan
peduli padanya. Meskipun Arka bakal menawarkan dan
melakukan hal yang sama ke semua cewek yang dia
kenal dekat.

Natella biasanya memang selalu dijemput dan diantar


pulang Arka kalau main ke apartemen cowok itu pas
hari libur. Tapi, kali ini dia lagi sok ide bawa mobil
sendiri karena tidak mau minta jemput, niatnya juga
tidak akan pulang kemalaman. Sayangnya main kartu
dan board game sama Arka dan Reno membuatnya
lupa waktu dan baru sadar kalau udah kemaleman pas
Reno mandi untuk clubbing. Itu cowok bisa gila kalau
sehari saja tidak keluar seharian.

"Bisa taksi atau ojek."

"Kan repot."

"Lebih repot kalo kamu sampe kenapa-kenapa, Nat."

"Memangnya kalau sama kamu gabakal kenapa-


kenapa?" Tanya Natella polos. Kalau misal dijalan
takdirnya kecelakaan, sendirian atau berdua sama
Arka bakal tetep kecelakaan, Kan? Atau kalau misal
ketemu begal dan takdirnya jadi korban bakal tetep jadi
korban, kan?

53
Arka memutar bola matanya malas. Ceweknya ini
memang terkadang tidak bisa membuatnya habis pikir.
Dipeduliin atau tidak dipeduliin sama aja, bakal dibikin
ribet.

"Aku bakal hati-hati." Jawabn cowok itu kemudian. "Ini


udah malem, hujan deras, kaca mobil kamu gelap, dan
kamu bawa mobil suka seenaknya."

Sampai sekarang, ketika mereka berada di jalan dan


hujan masih turun dengan derasnya, Natella masih
memikirkan gimana cara yang lebih baik pas Arka
pulang.

"Ka, mending kamu nginep di rumah aku aja deh."


Ucap Natella tiba-tiba. "Udah tengah malem gini, naik
taksi serem tau."

"Yaelah, gausah. Ada taksi langganan"

"Minta jemput Reno aja," saran cewek itu lagi. "Kalau


kamu diculik gimana?"

Pertanyaan Natella membuat Arka hanya bisa


menghela napas frustasi, tidak berkemampuan
menjawabnya karena logikanya tidak sampai situ.

"Aku aja mau nyulik kamu kalau bisa." Lanjut cewek


itu bercanda. Tapi dalam hatinya yang paling dalam
emang pernah berniat begitu.

Arka hanya merespon dengan decakkan malasnya.


Sedangkan Natella memandang dan memperhatikan
segala pergerakkan cowok yang sibuk menyetir itu.
Mata tajamnya fokus ke jalanan yang mulai sepi, tapi
kabur karena air hujan. Arka kelihatan serius sekali

54
dan semua cowok yang kelihatan serius biasanya
terlihat lebih ganteng. Entah teori itu betulan berlaku
atau karena Natella sedang jatuh cinta pada Arka.

Katanya, semua orang itu biasa saja hingga kita jatuh


cinta.

Dia terkadang mempertanyakan kenapa bisa selama ini


bersama Arka ketika beberapa orang berpikir bahwa
mereka tidak cocok, hubungan beracun dan hal-hal
negatif lainnya.

Natella tidak sadar kalau lamunannya hanyut dalam


ingatan tentang kejadian-kejadian masa lalu, waktu
pertama kali ketemu Arka, waktu pertama kali ngobrol
sama Arka, waktu pertama kali jalan sama Arka, waktu
pertama kali curhat sama Arka, waktu pertama kali
ciuman sama Arka, waktu pertama kali Arka mengakui
Natella sebagai pacarnya dan waktu pertama kali
Natella mutusin Arka.

"Ka, menurut kamu aku creepy nggak?" cewek itu


mengeluarkan sebuah pertanyaan random, teringat
dengan segala ketidakmasukakalan yang dia lakukan
selama ini karena Arka. Dia creepy ngga? Terlalu obsesi
nggak? Bukankah dia sudah melangkah terlalu jauh?

Natella setuju kalau awalnya dia lebih mirip cewek gila


yang terobsesi untuk memiliki Arka. Dia tidak bisa
membela diri apabila ada yang menuduhnya begitu
karena kalau dipikirkan secara obyektif, Natella
menyebalkan dan merugikan orang lain. Tapi makin
kesini, dia yakin kalau dia betulan sayang sama Arka,
bukan cuma sekedar obsesi yang selalu memberikan
dampak buruk ke dirinya sendiri atau orang
disekitarnya.

55
"Nggak, lah." Jawab cowok itu tanpa ragu.

"Kamu tau kan aku kayak gimana?"

Arka mengangguk, kebusukkan Natella yang mana


yang Arka tidak tahu atau tidak diberitahu Natella?

Believe it or not, Natella bahkan lebih berani


menceritakan apa yang ia alami atau masalahnya
kepada Arka daripada teman-temannya.Bahkan
masalah yang dia rasakan dengan Arka sendiri.

Cewek yang duduk manis disebelah Arka itu


mengeluarkan senyum manisnya mengetahui itu,
membuatnya semakin merasa bersalah tiap kali
menginginkan Arka seperti yang dia mau ketika cowok
itu tidak pernah memaksanya untuk berubah,
meskipun dia juga punya banyak kekurangan.

Lagu di Radio mobil berganti dengan lagu yang


sepertinya agak mustahil kalau tidak diputar sehari
saja di radio. Lagunya Armada, Asal Kau bahagia.

Tangan Arka sontak mendekati tombol untuk


mengganti ke frekuensi lain karena dia bosan setengah
mati.

"Jangan diganti!" Natella lebih dulu mencegahnya


melancarkan niat. "Ini lagu kebangsaan aku setelah
Indonesia Raya, tahu."

"Flashdisk aku mana?" tanya Arka. Cowok itu sengaja


meninggalkan flashdisk-nya di mobil Natella yang berisi
lagu-lagu favoritnya.

56
"Dipinjam Jeana buat bikinin tugas," jawab Natella
enteng. Well, bukan sekali dua kali barang Arka yang
berada di mobil Natella selalu menghilang tanpa jejak.

Arka mengalah, lagi-lagi harus pasrah mendengarkan


lagu ini sampai selesai karena Natella menjaga dengan
baik tombol-tombol tape mobil.

Natella ikut menyanyikan lagunya, pake gaya sok-


sokan menghayati. Enak juga kalau dia
menyanyikannya dengan serius, bukan malah teriak-
teriak tidak jelas disertai nada menyindir.

"Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia. Aku


punya ragamu tapi tidak hatimu...WOOO" ucapnya
kemudian di telinga Arka.

"Nat, berisik ah."

Natella tidak peduli, dia tetap menyanyikan lagu itu


dengan teriak-teriak tak jelas, saat lagu ini terputar
merupakan saat dimana Natella merasa benar-benar
menang dari Arka yang kayaknya tidak pernah kalah
melawannya. Natella tidak terlalu mengidolakan lagu
ini sebenarnya, tapi liriknya benar-benar
menggambarkan apa yang terjadi antara dia, Arka dan
Mentari.

"Kau tak perlu berbohong, kau masih


menginginkannya."

"..."

"Ku tetap tak rela kau dengannya meskipun kau


bahagia."

57
Tapi lirik terakhir bagian chorusnya itu malah Natella
ganti, membuat Arka tiba-tiba tertawa ngakak.

"Lah tumben sampe ngakak?" tanya Natella kaget,


udah tidak peduli sama lagu kesayangan yang masih
keputar itu. Dia lebih takut kalau cowoknya ini
kerasukan penunggu jembatan yang baru saja mereka
lewati barusan. Manusia dingin dan batu kayak Arka
jarang banget tertawa yang bener-bener tertawa kayak
sekarang apalagi karena Natella. Makanya Natella
curiga.

"Soalnya lucu." Jawab cowok itu, masih ada sisa-sisa


tawa.

"Apanya yang lucu coba?" tanyanya heran. "Itutuh


ngasih tau kamu kalau aku gabakal iklas kamu sama
cewek lain meskipun kamu seneng." Jelas cewek itu
bercanda. "udah kayak pacar psikopat belum aku?"

Arka mengangguk, "lumayan."

"Tau ga? Yang suka sama kamu itu banyak. Tapi yang
lebih baik dari aku ada ga?" tanya Natella asal,
melanjutkan candaan ala posesifnya itu. "Pasti ada
sih." Natella menjawab sendiri, dia benar-benar
memikirkan jawabannya meskipun awalnya dia hanya
bermaksud main-main. "Tapi yang sayang sama kamu
melebih aku ada ga?" lanjutnya, dia juga memberikan
jawabannya sendiri, "ga mungkin ada." Ucapnya lagi.
Arka sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk
buka mulut, atau memang cowok itu tidak akan buka
mulut disaat Natella mengatakan hal-hal kayak begini.

"Makanya kamu jangan nakal deh."

58
Natella pikir, Arka tidak meladeni ucapan tak
pentingnya itu sama sekali. "Gue gapernah nakal. Lo
tuh yang selalu nakal." Ucap cowok itu menyerang
balik Natella.

"Ih kapan?"

"Ngajak ribut terus padahal udah janji mau damai."

Natella melihat ke samping, mengamati cowoknya itu


sebentar. Dia pikir Arka lagi bercanda, sama seperti
dia. Tapi dari rautnya kelihatan kalau Arka sepertinya
serius. Bukannya raut Arka memang kebanyakkan
serius ya? Makanya kadang Natella tidak peka dan
kurang bisa bedain kapan cowoknya ini serius dan lagi
bercanda.

"Ka..." Natella memanggil, mereka sudah sampai di


komplek perumahan Natella, tapi Natella merasa masih
ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersma
Arka, seperti seharian ini sama sekali tidak cukup,
mungkin tidak akan pernah cukup. "Lebih terbuka lagi
ya sama aku?" Pintanya pelan, mengatakan itu dengan
begitu hati-hati. "Aku juga pengen tahu kamu dari
sudut pandang kamu."

Arka tidak memberikannya jawaban. Itu bukanlah


permintaan yang berat, bagi orang-orang kayak Natella
memang tidak berat untuk memberitahu orang lain
seperti apa mereka, bagaimana kisah mereka dan hal
apa saja yang menyebabkan mereka menjadi seperti
sekarang. Tapi, Arka sulit sekali, sesulit dia selalu
menghentikan ceritanya tiap kali mau memulai.

"Ka, kamu percaya sama aku?"

59
Arka langsung mengangguk, melakukan gerakkan itu
tanpa ragu. Mereka mengenal dan dekat sudah hampir
3 tahun. Senyum tipis Natella terukir.

'Tapi, kenapa selalu sesulit itu untuk terbuka sama


aku?'[]

***

60
Chapter 5. The Princess
Sederhana tapi menarik, itu adalah kalimat singkat
yang pas untuk mendeskripsikan Mentari Adrianni.
Tidak seperti gadis seusianya yang begitu
memusingkan soal trend fashion, make up, rambut
atau laki-laki, Mentari lebih memilih fokus pada cita-
citanya untuk menjadi dokter yang baik. Dokter yang
punya attitude, skill and knowledge.

Dia tidak hanya punya passion dan cerdas, wajahnya


juga ayu dan sifatnya yang supel semakin memperkuat
alasan kenapa banyak kaum adam berlomba-lomba
untuk merebut hati seorang Mentari Adrianni sejak kali
pertama memandangnya.

"Adik kelas gue dulu tuh, juara umum terus. Kayak


namanya, Mentari itu beneran Matahari. Bisa
menerangkan kehidupan gue yang gelap gulita"

"Bener-bener calon istri idaman."

"Sayang... kapan gue dipanggil sayang sama dik


Mentari?"

"Cakep banget sih, bikin adem. Jadi ingin


menghalalkan."

"Kerjain ah, siapa tau dia jadi baper juga sama gue."

"Ya anjing, kalau saingan gue Arka mending mundur."

Itu adalah sepenggal percakapan sebagian cowok-


cowok yang menjadi pengagum Mentari Adrianni waktu
zaman ospek. Mereka sudah memperhatikn cewek itu

61
sejak technical meeting ospek Fakultas. Tidak seperti
mereka yang selalu melihat ke arah Mentari, Mentari
malah melihat ke arah lain, Arka. Entah kebetulan,
atau sengaja.

Dimulai dari hal-hal tidak penting seperti banyaknya


panitia yang berdiri disekitar tempat duduk Mentari
dan teman-teman barunya, cewek itu malah memilih
memanggil Arka yang berdiri cukup jauh, si kakak
ganteng yang punya tampang sengak setengah
mampus, untuk meminta penjelasan mengenai apa
yang sedari tadi dia dan teman-temannya belum
mengerti.

Setelah sesi tanya jawab singkat Mentari ke Arka


selesai, Lisa, cewek yang duduk disebelah Mentari
langsung berbisik ke cewek itu, "Kok lo berani banget
manggil dia, Tar? Yang kayak begitu pasti tatib songong
yang suka marah-marah gajelas."

"Kayaknya dia baik?" Mentari ikut berbicara dengan


nada pelan.

"Baik atau ganteng, Tar?" sambung Nadine


menggodanya.

"Baik doang kok." Mentari mengatakan dengan nada


pelan, takut dimarahin senior yang merasa terganggu
karena ketua panitia masih komat-kamit di depan.

"Tapi ganteng banget juga, kan?"

"Biasa aja."

Nadine memberikan decakkan mengejeknya. Munafik


banget kalau ada yang bilang cowok dengan tinggi 180

62
ke atas itu biasa saja ketika tampangnya bisa
mengalahkan member boyband-boyband Korea yang
semakin hits di kalangan anak muda zaman sekarang.
Atau mungkin juga karena Mentari sudah terbiasa
dikelilingi cowok ganteng, makanya yang kayak Arka
hanya masuk dalam kategori biasa di matanya.

"Biasa aja-biasa aja, ntar naksir baru tahu rasa lo."

Mentari hanya senyum simpul mendengarkan


sumpahan Nadine, pembicaraan kayak begini tidak
akan ada usainya. Jadi, dia memutuskan untuk
mendengar arahan dari kakak-kakak panitia mengenai
ospek mereka dibanding membicarakan hal-hal tidak
bermanfaat seperti barusan.

***

Arka itu gantengnya memang kadang tidak manusiawi,


wajar kalau banyak Maba terutama yang suka cowok
sudah memperhatikannya sejak TM yang diadakan
sehari sebelum kegiatan ospek berlangsung.
Kebanyakkan mereka percaya kalau Arka pasti
mainnya di tata tertib, mengingat bagaimana sengak
dan dinginnya tampang dia waktu TM dan juga hari ini,
saat ospek berlangsung.

Sayangnya, bukan bentakan-bentakan jahat yang bikin


kuping dan hati sakit yang diberikan cowok itu ketika
berada di lapangan dan mengelilingi barisan Maba,
melainkan pertanyaan serta pernyataan khawatir
seperti:

"Ada yang merasa gaenak badan?"

63
"Muka kamu pucat, masih kuat berdiri?"

"Kalau ada yang sakit bilang sama saya, ya."

Dan sebagainya yang bikin dedek-dedek jadi pengen


mendadak sakit. Sial, udah tampang kayak malaikat,
perannya juga benar-benar malaikat. Siapa coba yang
nggak tiba-tiba pusing melihat cowok itu?

Mentari merasa pusing, tapi tentu bukan karena senior


yang diketahuinya dari Lisa bernama Arkasa itu terus
berdiri disekitarnya dari tadi, perutnya juga mual,
mungkin karena penyakit maaghnya kambuh dan dia
serta kumpulan maba lain sedang dijemur dibawah
terik sinar matahari untuk dihadiahi cacian-cacian
tidak berfaedah yang katanya penguat mental dari
panitia.

"Mau ke belakang?" Arka menawarkan, mengajaknya


untuk berteduh dan beristirahat. Ini adalah kesekian
kali Mentari diberikan penawaran untuk melarikan diri
dari siksaan ospek oleh Arka, sedangkan cewek itu
terus menolak, berpikir kalau dia harus berjuang
dengan teman-temannya yang lain.

Benar saja, belum sampai 10 menit sejak pertanyaan


terakhir Arka mengenai kondisinya yang tidak terlihat
baik-baik saja, Mentari tiba-tiba terjatuh, untung Arka
bergerak lebih cepat dan berhasil menangkap tubuh
kurusnya sebelum mencapai ke tanah, membuat
panitia-panitia lain dan juga Maba menjadi latah dan
menggerumbungi mereka. Padahal, sebagai anak
kesehatan, seharusnya sudah tertanam di benak
mereka kalau orang pingsan itu jangan dikerembungi.

Tapi ayolah, ini Mentari Adrianni yang pingsan.

64
"Pingsan beneran atau pura-pura tuh?" Pertanyaan dari
Dila langsung mendapat kecaman dari panitia-panitia
cowok didekatnya.

"Kayaknya udah demam daritadi." Arka berkata


menjelaskan.

"Bawa ke klinik aja, Ka." Pinta Wildo, koor tatib. Arka


mengangguk menyetujui, dia menggendong tubuh
Mentari yang terasa lebih berat karena pingsan.

"Kuat lo gendong sendiri?"

Arka mengangguk, dia membawa Mentari ke Klinik


universitas yang terletak disekitar gedung FK, tidak
terlalu jauh dari lapangan diikuti oleh 3 temannya yang
juga jadi panitia kesehatan. Mentari bukan satu-
satunya yang pingsan, tapi cewek ini yang paling bikin
heboh.

Maba-maba yang barisannya sudah tidak rapi itu


memiliki pikiran sendiri-sendiri mengenai kejadian
yang biasa terjadi di lapangan itu. Tapi beberapa
perempuan tentu berpemikiran, "Kenapa ga gue aja sih
yang pingsan dan digendong kak Arka?"

"Seharusnya dari awal dikasih pita merah." Keluh


Ridho melihat kondisi Mentari, takut-takut terjadi
sesuatu sama adik kelasnya sejak SMA ini.

"Nih anak bebal, Arka udah berkali-kali ngajakin dia ke


belakang tapi gamau." Dian membalas, menunjukkan
kekesalannya yang kentara ke Mentari yang baru saja
diletakkan Arka ke tempat tidur klinik.

65
"Ambis banget ini anak." Komentar Lia, tapi tidak
dalam artian buruk. "Dia setia kawan, gara-gara
banyak yang naksir dia gue jadi ikut merhatiin. Cakep
banget ya? Kalau gue cowok, gue juga naksir kali."
Lanjur cewek itu cerewet.

Mbak Ayu, Dokter yang tengah berjaga di klinik


menghampiri mereka, dia mengeluarkan stetoskopnya
dan memeriksa bagian vital Mentari serta mengecek
responnya.

"Dia gapapa mbak?" tanya Arka setelah mbak Ayu


selesai memeriksa. Sebenarnya kalau hanya pingsan
biasa, siapapun juga bisa mengurus.

"Khawatir banget sih. Calon pacarnya ya?" balas Mbak


Ayu menggoda.

Arka memutar bola matanya malas untuk merespon


godaan mbak Ayu, si dokter umum yang umurnya
masih muda dan dekat dengan mahasiswa, lebih suka
dipanggil Mbak daripada dokter oleh mahasiswa yang
dekat dengannya.

"Cantik banget nih dia. Pingsan aja cantik. Cocok nih


sama kamu yang ganteng-ganteng jomblo."

"Dianya belum tentu single, mbak." Balas Arka


bercanda. Meskipun semua bisa sepakat kalau Arka ini
dingin dan tampangnya songong setengah mampus, dia
tahu cara merespon keadaan dengan baik.

"Kalau single gimana? Kamu mau?"

Arka mengangkat kedua bahunya. "Dia juga belum


tentu mau."

66
Lia ikut menimbrung percakapan akrab antara Mbak
Ayu dan Arka, "ga ada yang gamau sama elo, Ka. Ini si
Ridho yang cowok aja mau." Ucap cewek itu bercanda,
tapi setengah serius juga karena yang suka Arka
biasanya gacuma cewek, cowok-pun suka, setidak-
tidaknya kagum dan pengen menjadi Arka.

"Jadi gimana mbak keadaan Mentari?" Arka bertanya


lagi, menantikan keingintahuannya sejak tadi.

"IP kamu kan 4, berani diagnosa dini ga?" tantang


mbak Ayu untuk Arka.

"Hipotensi dan maag?" tanyanya ga yakin. "Daritadi dia


megangin perut terus."

Mbak Ayu tertawa, dia kembali berniat mengusili Arka.


"Ciyeeee katahuan merhatiin."

***

"Gimana? nyenyak tidurnya?" Itu pertanyaan pertama


yang didapati Mentari ketika dia membuka mata.
Kepalanya tidak lagi pusing, badannya bahkan terasa
segar. Satu-satunya manusia yang ditangkap matanya
hanya cowok berkemeja biru donker dengan jas
almamater yang terletak di pangkuannya.

Arka yang tadinya memandang dingin kemudian


memberikan tampang manisnya yang disertai tawa biar
tidak awkward meskipun suasana antara dia dan
Mentari sudah secanggung itu, "saya bercanda."
ucapnya. "Tapi kamu beneran ketiduran setelah
pingsan."

67
"Maaf, kak." Mentari membalas tak enakkan. Dia
melihat jam dinding klinik yang menunjukkan pukul 3
siang, masih ingat kalau mereka di jemur di lapangan
dari jam 9 dan kemungkinan dia pingsan sekitar jam
11, itu artinya Arka sudah menunggu dia disini selama
4 jam lebih. "Seharusnya aku dibangunin aja kak."

"Saya gapernah tega bangunin orang yang pengen


tidur." Ucapnya, matanya masih memandang ke arah
Mentari. "Makan dulu ya? Biar bisa minum obat. Ini
obat maag kamu biasa diminum setelah makan, kan?"

"Iya kak." Jawab Mentari lagi, masih merasa canggung


dan tidak enakkan karena telah merepotkan seniornya
ini.

Lagian ngapin sih baik banget sampe nungguin maba


yang bukan siapa-siapa ini ketiduran segala? Terus,
kalau Mentari tidak salah ingat, wajah Arka adalah
terakhir yang dilihatnya sebelum dia menutup mata.
Itu artinya...kak Arka juga yang telah membawanya
sampai kemari?

Duh, gausah baper, Tar.

Arka memberikan makan siang yang tadinya berbentuk


nasi kotak, sudah dia pindahkan ke atas piring agar
Mentari makannya lebih enak.

"Gausah kak. aku..."

"Saya ga naro racun apapun, kok." Potong cowok itu


sebelum Mentari menolak sepenuhnya.

Pada akhirnya cewek itu mengalah dan menurut.

68
"Gimana perutnya, udah enakkan?"

Pasti enakkan lah kalau dirawat sama yang bentuknya


begini.

"Iya, kak."

"Tuh minum obatnya, nanti saya antar pulang. Maba


gaboleh bawa kendaraan sendiri, kan?"

"Gausah kak..." Mentari mencoba menolak lagi, merasa


terlalu merepotkan seniornya ini. Dia bukan tipikal
cewek canggung sebenarnya, tapi entah kenapa cowok
ini berhasil membuatnya merasa canggung. Atau lebih
tepatnya merasa bersalah karena terlalu membuat
repot orang lain, apalagi ini baru kenal. "Saya udah
banyak ngerepotin kakak."

"Kalau kamu kenapa-kenapa, bisa makin repot." balas


cowok itu telak, dia suka menggunakan kalimat ini
apabila ditolak ketika berniat baik. Mentari menggigit
bibir bawahnya, terpaksa mengalah sekali lagi karena
Arka benar-benar berhasil membuatnya menurut dan
berakhir berada di dalam mobil Arka yang dalamnya
memiliki wangi Vanilla, wangi favoritnya. Kebetulan
sekali, kan?

"Kamu suka Vanilla?" tanya cowok itu tiba-tiba.

Mentari mengangguk, sekaligus memberikan jawaban


telak yang menyatakan tebakkan Arka benar. "Persis."
gumamnya. Tapi ketika Mentari menanyakan maksud
kalimat itu, Arka tidak memberikan penjelasan apapun.
Dia diam dan kemudian mengganti topik.

69
Itu merupakan awal kedekatan Arkasa dan Mentari
Adrianni, si Pangeran dan Tuan Putri mereka memiliki
banyak kesamaan dan kebiasaan, membuat teman-
teman mereka diam-diam mengharapkan ada
hubungan yang spesial diantara mereka.

Maka dari itu, Natella juga memikirkan hal yang sama


dan tidak mau merelakan Arkasa begitu saja.[]

***

70
Chapter 6. The Disturber
Natella merupakan plot twist yang tidak diduga
siapapun karena bisa berakhir dengan Arkasa, kecuali
Reno. Makanya diantara banyaknya teman-teman Arka
yang secara terang-terangan memberikan respon risih
tiap kali Natella berada di sebelah Arka sambil
memeluk lengan cowok itu posesif, Reno merupakan
satu-satunya yang memberikan Natella ucapan
'welcome' dengan nada ramah. That's why she likes him
a lot. Ya, meskipun kadang-kadang Reno tetap saja
menyebalkan.

"Lo ngasih Reno bunga? Emang Arka ga cemburu?"


tanya Meira kaget mendapati temannya itu memangku
sebuket mawar merah yang dirangkai cantik dan juga
parsel kecil berisikan cokelat Kisses Hersheys.

"Bunga titipan Dennisa yang masih ngarepin Reno kali,


gue cuma kasih cokelat. Lebih mahal dan lebih
berfaedah,” balas cewek itu congkak, sedangkan
Dennisa yang duduk disebelahnya memberikan
tampang masa bodoh. "Tapi kalaupun gue kasih bunga,
Arka juga gabakal cemburu. Taulah itu makhluk kayak
gimana." lanjutnya memberikan jawaban untuk Meira.

"Kayak ga mencintai Nate sama sekali ya?" Sambung


Jeana usil.

Mereka lagi di kantin hijau, salah satu kantin fisip yang


menjadi favorit keempat cewek cantik itu setelah atau
sebelum kelas dimulai. Dan jika mereka sudah duduk
disana, mau seramai apapun keadaan, kantin itu tetap
terasa milik mereka. Bisa ribut dan bergossip
sepuasnya tak peduli di dengar orang.

71
"Tai."

Ketiga temannya tertawa terbahak, Natella memang


paling bully-able diantara mereka berempat, meskipun
kalau cewek itu sudah bete ataupun marah, tidak ada
yang berani mengganggunya bahkan sekedar teguran
sekalipun.

"Semalem gue ketemu Arka, Nat." Cerita Meira


kemudian. Satu alis Natella terangkat, menunggu
lanjutan dengan tampang sinis, Natella ingat terakhir
Meira bertemu dengan Arka, kejadian itu membuat
hubungan Natella dengan Arka nyaris berakhir.

"Tenang, dia ga sama cewek lain kok. Helah, takut


amat lo."

Natella hanya memberikan tampang datarnya untuk


lanjutan ucapan Meira, menduga bahwa cewek ini akan
menjelek-jelekan cowoknya itu lagi dan memintanya
memutusi Arka secepatnya. Seperti biasa.

"Dia sendirian sih, tapi belinya dua kotak nasi. Gatau


satu lagi buat siapa."

"Buat kasih makan gue lah."

Dennisa menatap Natella pura-pura kaget, "tumben


Arka peduli dengan peliharaannya yang ini."

"Fak berisik lo." Sinisnya untuk Dennisa. Matanya


kemudian beralih ke Meira yang memberikan raut
serius, seperti hal yang ingin diberitahunya ini benar-
benar penting, "Terus?" tanya Natella untik cewek yang
duduk di sebrangnya itu. Namanya juga Natella, dia

72
akan penasaran dengan apapun yang berbau cowoknya
itu.

"Gue baru sadar aja kalau badannya Arka bagus,


meskipun ga sebagus Sugar daddy gue."

"Sugar daddy lo buncit, Ra." Dennisa memotong


sekaligus mengingatkan.

"Jangan dipotong, benga. Gue jadi ga mood kan."

"Udah sih lanjut aja." Sahut Dennisa kesal dengan


drama yang teman-temannya ini buat.

"Nah, ternyata bahunya Arka sandarable. Lo pernah


nyandar disana ga, Nat?"

"Ya, sianying. Gue pikir penting banget. "

Natella kesal sendiri dengan kelanjutan ucapan Meira


yang sangat tidak bermanfaat, pasti berujung untuk
mengoloknya lagi.

"Jangankan nyandar, nyentuh tangan Arka aja


hukumnya haram buat Natella." balas Dennisa
menambah olokan.

"Kalian tuh taarufan atau gimana sih? Parah banget


kalau sampe belum pernah ena-ena."

"Ih, masih kecil tahu."

"AH NYET, SERIUS LO GAPERNAH DIENAIN ARKA?


anjeng satu setengah tahun ngapain aja lo berdua?
Main barbie?"

73
Natella sempat berpikir kalau Meira dan pertanyaannya
kelewat lebay, tapi reaksi yang diberikan dua temannya
yang lain sama blanknya dengan cewek ini. Mana Meira
ngomongnya kekencangan lagi, buat malu saja.

"Cowo lo homo tuh, Nat." Rio, cowok yang duduk di


meja sebrang mereka menyahut. Sebenarnya kadang
Natella juga pernah berpikir begitu. "Kalau lo butuh
diena-in panggil gue aja." sarannya diikuti tawa
menggelegar oleh sekelompok teman cowoknya.

Netella memegang pelipisnya yang tidak sakit, tidak


kuat dengan candaan temannya yang kelewat kotor.

Lagian Arka kemana sih? Katanya mau jemput, tapi ini


udah jam berapa coba?

Baru saja Natella menggerutukan hal itu, dia melihat


sosok Arka berjalan menuju kantin,

"Kok nggak nelpon?" tanyanya kaget. Tumben-


tumbenan Arka mau turun dan menjemputnya sampai
ke kantin. Cowok itu sempat tersenyum simpul ke arah
teman-teman Natella lalu langsung berdiri di sebelah
cewek itu.

"Udah, but your number was unreachable." balas cowok


itu santai. Natella buru-buru mengacak tasnya untuk
mencari handphone berwarna silvernya. Benar, benda
persegi panjang itu dalam keadaan mati.

"Cabut sekarang, nih?" tanya Natella yang dijawab


anggukan Arka.

Natella berdiri, tidak repot-repot berucap pamit kepada


teman-temannya itu, malah Arka yang

74
mengucapkannya bak sedang mengobrol dengan
temannya sendiri, matanya berhenti agak lama ke arah
Meira, dibalas senyuman balik oleh teman-teman
Natella.

"Kalau bukan pacar temen gue, udah gue embat tuh si


Arka." Meira berkata tiba-tiba ketika dilihatnya
punggung Natella dan Arka sudah menjauh, mendekati
parkiran kampus. "Sekarang gue paham kenapa Natella
nggak bisa lepas dari dia."

"Lah cun, tumben?" Tanya Denissa tidak percaya.


Jelas-jelas Meira itu dari awal paling anti sama yang
namanya Arka, malah mengutuk cowok itu mati-
matian dan merasa Natella kebagusan untuk laki-laki
secuek dan sekalu Arka.

"Arka itu ganteng, tau sih. Tapi dia good boy."

Iya, Arka kurangnya cuma satu di mata mereka, he is a


good boy and good boy is boring. Makanya meskipun
suka mencemooh Natella, kadang mereka bangga
dengan temannya yang satu itu, bisa setia berada
dalam huhungan dengan cowok cuek bukan main
seperti Arka.

"Dia tuh gentle. Banget." Gumam Meira pelan, matanya


seperti menerawang jauh. Dan perlahan, Jeana sadar
kalau dibalik candaan Meira daritadi mengenai Arka,
ada yang cewek itu sembunyikan dan belum siap untuk
dibagikan ke siapapun.

"Gue sebenarnya bingung." Dennisa bergumam tiba-


tiba, "Arka tuh suka beneran atau terpaksa ya sama
Natella? Dia kayak ga ada sayang-sayangnya sama
sekali."

75
"Cinta mati." Meira menjawab dengan gumaman. Ini
cewek tiba-tiba jadi aneh, seperti bukan Meira yang
selalu meremehkan hubungan Arka dan Natella yang
menurutnya terlalu kekanak-kanakan. "Arka itu cinta
mati sama Natella." lanjutnya pelan.

"Tau darimana lo?"

Meira mengeluarkan cengiran bodohnya merespon


pertanyaan heboh Dennisa, "itu sih maunya Natella."
jawabnya kemudian.

Sementara Dennisa dan Jeana hanya berdecak sebal,


Meira memang paling suka mempermainkan mereka
seperti ini.

"yaialah maunya Natella." Balas Dennisa ketus.


"Maunya Arka gimana?"

Dan Meira hanya mengangka bahunya, tidak mau


melanjutkan percakapan itu lebih lanjut.

***

Wangi lembut vanila merupakan bau yang terhirup


apabila memasuki mobil Arka. Tidak pernah ganti, dari
mobilnya masih CRV sampai CX-5 seperti sekarang,
selalu merek dan wangi fluffy vanila dari Febreze yang
sebenarnya masih jarang beredar di Indonesia, kecuali
toko online. Natella pernah mencari merek dan wangi
yang persis, tapi tidak ketemu meskipun sudah
menanyakan di setiap supermarket mall yang dia
kunjungi.

He addicted to everything about vanilla. Itu dugaan


pertama Natella karena apapun yang Arka pesan

76
biasanya ada vanilanya. Minuman vanilla frappe, roti
rasa vanila, eskrim rasa vanila, susu rasa vanila,
pengharum mobil vanila, kamar juga bau vanila.
Untung parfum baju atau badannya lebih jantan dari
vanila.

Tapi ada yang aneh dengan kecintaan Arka terhadap


vanila. Natella sudah mengenal cowok itu hampir 3
tahun, dia menyukai Arka dan artinya dia selalu
memperhatikan cowok itu secara detail, mulai dari
yang disadari semua orang atau pelan-pelan hanya
Natella yang sadar.

Arka tidak habis tiap kali minum vanilla frappe atau


susu vanila, dia juga biasa saja tiap melihat roti vanila,
bahkan dia tidak seperti orang yang menikmati bau
vanila. Dulu-dulu, Natella sempat memakai parfum,
body mist, sabun, dan lulur berbau vanila. Boro-boro
Arka mau nempel terus, cowok itu malah tetap biasa
saja.

Padahal setahu Natella, ketika kita tergila-gila sama


sesuatu, kita biasanya bakal berbinar tiap kali ada hal
yang berhubungan dengan kesukaan kita itu. Misal
Natella kepada Indomie dimana kecintaannya itu tidak
pernah berubah. Jangankan memakannya, mendengar
nama Indomie disebut saja sudah membuat Natella
bahagia. Dan meskipun seluruh orang di rumah
(kecuali Ferre, adiknya, yang bernasib sama) mencoba
menjauhkan dia dengan Indomie, Natella pasti selalu
mendapati cara untuk memakannya, walau tidak
sering.

Sedangkan Arka sama sekali tidak begitu. Arka seperti


tergila-gila dengan kemanisan vanila, tapi disaat yang
sama, dia seperti terpaksa menyukai vanila. Makanya

77
Natella berpikir kalau cowoknya itu tidak sedang
menjadi dirinya sendiri.

"Sayang, aku bosen sama wangi parfum mobil kamu.


Ganti dong?" tanya Natella iseng tiba-tiba, mereka tidak
memiliki percakapan apapun setelah Arka
meminjamkan powerbanknya untuk Natella dan mobil
berjalan menuju gedung FH.

Natella tidak serius, siapa sih yang gasuka dengan bau


seenak ini? Natella bahkan betah berlama-lama
menunggu ataupun tidur-tiduran di dalam sana karena
mobil Arka rapi dan wangi.

Arka yang sedang menyetir menengok ke sampingnya


sebentar, ceweknya itu masih sibuk mencatok
rambutnya dengan catokan portable yang sengaja ia
tinggalkan di mobil Arka. Padahal Arka hanya
meninggalkan satu flashdisk dengan ukuran tidak
seberapa di mobil Natella yang biasanya lansung hilang
keesokkan hari sedangkan Natella meninggalkan
catokan, peralatan make up, sepatu, bahkan baju ganti
di mobil Arka.

"Gasuka, turun aja."

"Kok jahat banget sih."

"Bercanda." Iya, tahu, Arka tidak mungkin sekejam itu


sampai menurunkan dia di jalan cuma gara-gara hal
sesepele ini.

Tapi, apakah itu sepele buat Arka? Siapa yang tahu


kalau akhirnya Arka beneran mau nurunin Natella
cuma gara-gara ini?

78
"Kalau gitu aku ganti beneran ya?"

"Yaudah, diturunin beneran." Jawabnya datar.

"Turunin aja. Udah nyampe juga." Natella membalas


gregetan. Mereka sudah tiba di parkiran dekanat FH,
tinggal mencari tempat kosong untuk parkir. "Kamu
tuh suka vanila karena Mentari suka sama vanila ya?"
tembak cewek itu lagi, selalu mengungkapkan
kecurigaannya dengan to-the-point.

"Hah?"

"Pura-pura gangerti. Tuh, parfumnya Mentari Vanilla


Lace VS." balasnya. Gila, si Natella kok bisa tahu
sedetail ini? Arka saja tidak pernah tahu menahu soal
itu. "Kamu sok-sok suka vanila karena Mentari suka
vanila, padahal kamu gasuka."tebaknya, anak ini suka
sekali menyerukan isi imajinasinya seakan-akan itu
sebuah kebenaran.

"Ya, ngga lah." Jawab cowok itu kemudian, sudah


menarik rem tangan dan mobil putih itu benar-benar
terhenti. "Ngapain ngikutin orang?"

"Aku ngikut-ngikut kamu suka vanila pas tau kamu


suka vanila." lanjut cewek itu sinis.

"What do you actually mean?" Tanya Arka lagi, karena


mobil itu sudah terparkir, dia jadi bisa menatap ke
mata Natella. "Salty mulu tiap ketemu." lanjutnya
menunggu penjelasan. "PMS ga kelar-kelar, ya?"

"Habis kamu mau nurunin aku di tengah jalan cuma


gara-gara parfum vanila."

79
"Kan cuma bercanda, Natella." Tekan Arka.

"Bohong, kamu serius." Natella membalas, dia buang


muka, tidak mau setatapan mata dengan Arka. Hening
sebentar, cuma ada lagu Nirvana-Dumb dari tape mobil
yang terdengar.
Tidak lama dari itu, Natella menatap ke arah Arka,
"Tapi yaudah sih, karena semalam kamu baik mau
beliin aku makan meskipun nyampenya lama. Aku
gaakan cari ribut dan langsung maafin kamu aja."
Cewek itu memberikan senyum lebar kemudian.
Membuat Arka melongo, kemudian ia menghembuskan
napas berat.

„Ini kayaknya si Natella benar-benar butuh di bawa ke


psikiater, deh.‟

***

Natella takjub ketika melihat depan ruangan yang


digunakan untuk sidang anak FH seramai ini, seperti
lagi acara pameran karena dipenuhi balon, bunga
ataupun berbagai macam hadiah bertuliskan nama
Moreno. Natella bahkan bingung harus duduk dimana
saking ramainya.

Natella tidak kenal semua dengan orang-orang yang


berkeliaran, cuma beberapa muka yang dia tahu, entah
itu musuh bebuyutannya Dennisa di FH, atau teman
SMA Natella dulu. Tapi, mata cewek itu malah
langsung fokus agak lama dan tertarik ke arah lelaki
yang duduk sembarangan di lantai, mengobrol dengan
teman-temannya sambil ketawa.

"Wow ada Daniel ..." gumam Natella, matanya tetap


terarah ke Daniel, memperhatikan cowok itu dari jarak

80
lumayan dekat mumpung ada kesempatan. Biasanya,
Natella hanya mencaritahu informasi mengenai Daniel
Simamora lewat media sosial dan mulut Jeana.
Kenyataan yang dianggap aneh oleh Natella, cowok
super sederhana yang kemana-mana naik vespa butut
ini merupakan sepupu si Jeana yang hidupnya kayak
Princess di negeri dongeng, tidak pernah susah.
"Saingan kamu tuh, Ka." Bisik Natella kemudian. Arka
memberikannya tatapan meminta penjelasan,
"mantannya Mentari waktu SMA."

Arka melongo, lagi. Takjub dengan pengetahuan Natella


mengenai hal-hal tidak penting yang luar biasa.
Kayaknya si Natella tahu banyak tentang Mentari dan
orang-orang disekitar Mentari, lebih banyak dari
siapapun. Atau mungkin Natella lebih tahu segala hal
mengenai Mentari daripada mengenai Arka.
Sebenarnya, yang disukai Natella itu Mentari atau
Arka, sih?

"Daniel?" Arka memastikan.

Natella mengangguk, "Iya." Cewek itu berbisik lagi.


"Kamu kalah tuh sama dia. Dia berhasil dapetin
Mentari, kamu ngga." ejeknya enteng.

"Yaelah."

"Duh, selera cowoknya Mentari bagus-bagus banget


ya." Natella berkomentar lagi, mengakui kalau Daniel
memang terlihat keren dan 'berbeda'. Cewek itu masih
berdiri disebelah Arka karena kehabisan tempat duduk,
belum memperhatikan Daniel dan mengeluarkan
gumaman tidak pentingnya mengenai cowok yang
merupakan adik tingkat Reno tersebut,
membandingkannya dengan Arka.

81
Lalu.

"Daniel." Arka tiba-tiba memanggil, membuat Natella


terkejut kemudian salah tingkah, apalagi ketika Daniel
mau-mau saja menghampiri mereka ketika Arka
memberinya kode untuk datang.

Natella sontak memukul bahu Arka karena cowoknya


ini menyebalkan.

"Ngapa, Ka?" Tanya cowok itu langsung.

"Ada yang mau kenalan." Arka menunjuk Natella yang


berdiri di sebelahnya dan jadi panik sendiri. Sumpah,
Natella tidak tahu kalau mereka berdua saling kenal.
Niatnya mau gangguin Arka, malah dia yang menjadi
sangat terganggu.

"Cewek lo?" Daniel memastikan dan Arka memberikan


anggukan singkat.

"Katanya banyak yang pengen dia tanyain."

Daniel menatap ke arah Natella yang malah


memberinya tatapan panik, nyaris kayak cewek yang
lagi ketakutan habis digangguin sama penjahat
kelamin. Makanya Daniel jadi bingung sendiri.

"Oh, hi ceweknya Arka." Sapa cowok itu ramah ke


Natella. "Gue daniel."

"Natella." Cewek itu menjawab seadanya, dalam hati


dia lagi panik bukan main, tapi beruntung Natella
selalu bisa menyembunyikan perasaannya.

82
Arka memberikan senyum simpul saat Natella menatap
ke arahnya, bukannya membantu mencairkan suasana
yang menjadi awkward karena Natella. Cowok itu
malah dengan tidak berdosanya berkata, "titip Natella
bentar ya, Dan. Gue dipanggil dosen." Ucapnya santai.

'Sialan.' Natella mengutuk cowok itu kesal dalam hati.


'Gak takut gue selingkuh sama Daniel apa?'

Natella mau menahan tangan Arka, tapi cowok itu lebih


dulu melongos pergi, meninggalkan dia yang salah
tingkah dan Daniel yang kebingungan melihat Natella
yang tampak tak nyaman. Padahal Natella tidak
kelihatan seperti orang yang gampang menguasai
keadaan.

"Mau nanya apa, Nat?" tanya Daniel lagi, berusaha


akrab. Natella belum menjawab, dia malah menatap
kesal punggung Arka yang menjauh. "Si Arka kok rela
ninggalin ceweknya yang cantik sama gue gini ya?
Gatakut gue tikung?" tanya Daniel bercanda.

Natella mendengus, memberikan jawaban dalam hati


kalau Arka pernah 'membuangnya' bahkan lebih parah
dan lebih terang-terangan daripada yang dilakukannya
barusan.

Meskipun terpaksa, cewek itu akhirnya memberikan


senyuman manisnya, "gue mau nanyain Jeana."
Jawabnya cari aman. Ga mungkin kan kalau Natella
betulan bertanya soal Mentari? Ya, paling tidak dia
masih punya Jeana yang bisa dijadikan pelarian,
meskipun Natella yakin kalau dia tahu lebih banyak
tentang Jeana daripada sepupunya ini.

***

83
"Natella Narundana."

Natella mendongak ketika nama lengkapnya dipanggil,


mendapati seorang cowok aneh yang membuatnya
menaikkan satu alis sedang tersenyum ke arahnya.

Cewek itu lagi duduk di kursi panjang yang berada di


depan ruang sidang, berdempet-dempetan dengan
mahasiswa-mahasiswi lain yang tidak dia kenal,
walaupun kenal paling cuma tahu nama. Dan itu
bukan sifat Natella suka beramah-tamah, apalagi
ketika moodnya sedang tidak baik karena kepanasan
dan bosan. Belum lagi tatapan orang-orang yang kerap-
kali memandangnya penuh penghakiman, Natella
merasa kalau beberapa orang disini sedang
membicarkannya.

Arka belum selesai juga dengan urusannya di FK


sedangkan Daniel sudah kembali ke teman-temannya.
Lagian Natella bukan tipikal manusia yang bisa
langsung akrab dengan orang dalam satu kali
pertemuan.

"Ya?" Cewek itu merespon singkat. Dia tidak kenal


dengan cowok yang memanggilnya ini, seingatnya
begitu. Tapi perasaannya menjadi sangat tidak enak
karena banyak mata tiba-tiba memandang kearahnya
dan juga cowok yang berdiri tepat dihadapannya
dengan terang-terangan. Ada yang berbisik-bisik dan
menahan tawa.

"Kamu cantik." lanjut pria itu memujinya.

Penampilan pria ini agak berantahkan, mukanya penuh


jerawat, jeans yang ia gunakan pudar dan kemeja serta
almamater yang ia gunakan kusut seperti tidak pernah

84
disetrika. Natella tiba-tiba teringat kalau Reno pernah
cerita mengenai cowok freak di fakultasnya. Suka
random dekatin cewek dan nembak seenak jidat. Atau
sesekali cowok itu pernah ngaku-ngaku jadi pacar
orang. Apakah ini cowok yang Reno maksud?

"Thanks." balas cewek itu seadanya.

"Saya suka sama Natella." Pria itu melanjutkan, dia


yang tiba-tiba berjongkok membuat raut Natella
langsung memucat, sementara orang-orang
disekitarnya mulai mengeluarkan sorak-sorai yang
membuat Natella menjadi makin bingung. Mendengar
sorakan dukungan itu, si pria mengeluarkan senyum
miring sok kerennya.

Cowok itu mengeluarkan bunga hidup yang sepertinya


baru dipetik dari taman kampus kemudian
melanjutkan ucapannya, "Natella mau menjadi kekasih
saya?" tanya cowok itu dengan raut serius, bertekuk
lutut dan menatap dalam-dalam ke mata Natella.

Hening sesaat. Ini bukan kali pertama Natella dipuji


cantik oleh cowok, ataupun seseorang mengatakan
kalau menyukai Natella. Ayolah Natella tidak mengenal
cowok ini sama sekali, namanya saja tidak tahu. Tapi
dia malah menembak Natella? Dengan cara serandom
ini?

Lagian apa sih yang ada di otak cowok ini sampai


mengutarakan cinta ke orang yang tidak mengenalnya
sama sekali? Cowok ini gila atau gimana?

"Gak." Jawab Natella to-the-point. "Kita belum kenal."

85
"Saya Yudha, dan saya tahu kamu Natella. Kita sudah
kenal, kan?" Tanyanya lagi, Natella baru sadar kalau
suara pria ini agak gagu.

"Ya, nggalah." Jawab cewek itu kesal. Dia menatap ke


kiri dan ke kanan karena blank, bukannya pembelaan
yang ia dapati, malah dukungan agar dia menerima
pernyataan cinta Yudha. Dan Arka masih menghilang
entah kemana. Kayak orang-orang disekitar sini seneng
banget melihatnya dijadikan 'badut dadakan'. Kalau
mood Natella sedang bagus, dia mungkin akan
bertingkah lebih baik seperti pura-pura menerima
cowok ini. Sayangnya, perasaannya menyuruh dia
langsung menolak. "Pokoknya ngga." Tekan Natella.

"Saya mau menunggu Natella sampai siap."

"Ngga." Natella memberikan penekanan, lagi.

"Kenapa begitu, Natella?"

"Gue ga cinta sama lo." Cewek itu kembali memberikan


jawaban yang cukup masuk akal menurutnya.
Seharusnya Yudha bisa mengerti dan berhenti. Jujur,
Natella ingin sekali ikut tertawa seperti yang lain,
menganggap ini hanyalah lelucon semata karena
betulan seperti lelucon. Namun pandangan Yudha
terhadapnya betulan kelihatan serius dan sungguh-
sungguh.

"Tapi saya cinta sama Natella dan saya mau serius."

Wah, sial. Ada yang membuatnya merasa tertusuk


karena tiba-tiba teringat kalau dia cinta Arka, tapi Arka
belum tentu.

86
Natella menghembuskan napas frustasi, sangat
menyesal kenapa tidak mengikuti Arka kemanapun
cowok itu pergi, sehingga dia tidak perlu diganggu oleh
cowok aneh ini. "kenapa harus gue sih?"

Iya, dari sekian banyaknya cewek yang ada disekitaran


sini dan pastinya bukan anak FH, kenapa harus
Natella yang menjadi sasaran?

"Karena Natella sempurna."

Ehw, jijik.

Natella membuang muka, berharap dia punya


kekuatan yang bisa membuatnya menghilang tiba-tiba.
Untung tidak lama dari itu, Reno keluar dari ruang
sidang dengan santainya. Kayaknya disuruh keluar
sebentar untuk menunggu tim penguji mendiskusikan
kelayakan skripsinya. Sayangnya, meskipun pemeran
utama hari ini seharusnya Reno, orang-orang tetap
tidak bisa berhenti menunggu kelanjutan pertunjukan
yang dilakukan Yudha untuk Natella.

Melihat keadaan yang jauh lebih berantahkan dari


dugaannya, Reno bertanya.

"Ada apa nih?"

"Lagi syuting Katakan Cinta." Seorang cowok yang tidak


Natella kenal menjawab bercanda. Reno melihat ke
arah Yudha, kemudian bergantian ke Natella, lalu
cowok tinggi itu malah ketawa terbahak, seperti yang
lain.

"Elo korbannya, Nat?"

87
"Bantu jelasin, bego." Pinta Natella kesal. Bukankah
Reno satu-satunya harapannya agar terbebas dari hal
ini? "Gue udah bilang 'ngga' daritadi."

"Makanya diiyain aja Nat, biar cepet." Jawab Reno lagi,


dan jawabannya itu mendapat banyak dukungan dari
yang masih menonton.

Sumpah ya, Reno beneran minta disumpahin ngulang


dan ga lulus sidang skripsi banget!!!

"Iya dong diiyain."

"Si Yudha sudah lama cari tuan putri."

"Diterima dong mbak."

"Terima aja. Yudha juga sempurna." Orang-orang itu


mengatakan dengan nada melucu.

Well, mungkin cuma Natella yang tidak merasa lucu


dengan ini dan terlalu menganggap serius disaat semua
orang berpikir ini bercanda. Ya, mungkin ini memang
bercanda, tapi, Natella cuma takut kalau Yudha-Yudha
ini menyukainya beneran, apalagi kalau sampai
terobsesi. Karena Natella tahu bagaimana rasanya
perasaan kayak begitu.

"Jangan cewek gue, lah." Satu suara yang terdengar


tenang ikut menginterupsi.

Fak, Natella sampai mengutuk dalam hati saking


senengnya ketika melihat Arka yang datang, cowok itu
mengatakan hal paling berguna disaat paling tepat,
meskipun Natella awalnya berpikir jika Arka paling
akan memberikan respon yang sama seperti Reno

88
ketika menyaksikan ini. Well, cowoknya itu memang
tidak pernah bisa ditebak.

"Tuh Yud, pawangnya dateng. Meskipun keliatan jinak


kayak anak ayam. Kalau udah ngamuk lebih serem
dari singa, loh." Reno memberitahu Yudha yang tidak
berhenti melihat ke arah Natella. Reno tiba-tiba merasa
bersalah kepada Natella karena ikut memanas-manasi
bukannya menghentikan sejak dia melihat ini.

Well, melihat tatapan Yudha yang tidak bisa berpaling


dari Natella, Reno jadi meringis sendiri membayangkan
cowok ini betulan menyukai Natella. Dan mungkin,
seperti itulah yang terjadi sekarang.[]

***

89
Chapter 7. Her Cold Boyfriend
"Yakin Nat gamau ikut?" tanya Reno merayu untuk
yang kesekian kali.

Jawaban cewek yang lagi duduk di sofa living room


apartemennya dan Arka itu tetap sama, gelengan dan
satu kata 'tidak'.

"Mau lo traktir makan di Amuz juga gue tetep ogah."


Natella membalas judes.

"Yaelah, ngga ada Yudha kok." Reno tidak lelah


menawarkan. Well, Natella cukup membantu dalam
pengerjaan skripsi Reno, cewek itu punya link salah
satu pimpinan Mahkamah Agung, meskipun sisa
bantuan lainnya yang diberikan untuk Reno hanyalah
bacotan tidak berguna. Makanya Reno berusaha
merayu Natella untuk ikut ke acara siang syukuran
kelulusannya. Iya, masih ada acara malam, di club.

"Tapi ada temen-temen rese lo yang udah nge-bully


gue."

"Lagian lo nolak Yudha halus bener." gumam cowok


tinggi itu.

Natella menatap tajam Reno yang secara tak langsung


menyalahkannya, "Gue udah bilang 'ngga' berkali-kali,
tahu!" Balas Natella membela diri, tidak mengerti
bagian 'halus' yang dimaksud cowok yang baru saja
duduk di sebelahnya ini.

Reno mengeluarkan cengiran lebarnya yang charming.


Dia mendengar kronologis lengkap kejadian yang

90
dilakukan Yudha tadi dari temannya yang
menyaksikan dari awal, dan dari cerita itu, Reno
menyadari kalau Natella tidak pernah seburuk yang
orang-orang gambarkan.

"Lo bukan orang pertama yang digituin, Yudha. Gue


bahkan sering liat dia beraksi langsung di depan mata
gue. Tapi, Nat..." Reno menggantung kalimatnya
sebentar, dia memandangi wajah Natella yang memang
enak untuk dipandang. Wajar kalau cowok yang di cap
freak dan agak sinting bernama Yudha itu mengganggu
Natella, dia selalu melakukan aksi itu terhadap cewek-
cewek cantik dan modis. "Lo tau ga Yudha biasanya
mendapati prilaku kayak gimana setelah bertingkah
extreme begitu? Dia pernah kena tampar, disuruh
ngaca, dicaci-maki dan dihina-hina. Terus besoknya
dia bakal biasa aja sama cewek-cewek itu."

Reno menghentikan kalimat panjangnya sebentar


untuk mengambil napas, he seems so serious, jarang-
jarang orang kayak Reno serius, dia mengikuti arah
pandang Natella, TV yang menyiarkan siaran ulang
Asia's Next Top Model yang dia yakini sedang tidak
dinikmati Natella

"Tapi elo malah dengan sopannya cuma bilang 'ngga'


doang. tanpa embel-embel jahat apapun. The way you
replied him was so kind, you didn't even try to hurt his
feeling. it was actually suprised me, to be honest.
Makanya gue takut kalau dia tergila-gila beneran
sama..."

"Stop scaring her, Reno." Arka memotong, cowok itu


sibuk duduk di meja makan dengan laptopnya,
membuat baik Reno dan Natella keheranan menyadari

91
Arka diam-diam ikut menyimak obrolan tidak penting
mereka.

"Iya, berhenti nakut-nakutin gue, goblok." Natella


menyetujui kalimat Arka yang tidak berbicara apapun
lagi setelahnya, membuat hening beberapa saat hingga
tawa besar Reno terdengar.

Natella bahkan mencubit lengan cowok tinggi itu


sekuat mungkin saking kesalnya, sadar tengah
dipermainkan.

"Sakit, anjing." ringisnya, tapi tawanya tidak berhenti.


"Habisnya lo lucu sih. Kalau ada cowok yang nembak
tuh seharusnya seneng, bukannya takut sampe mau
muntah." Ejeknya. She is amusing. Natella itu terkenal
dan cewek cantik seperti dia tentu banyak yang naksir
dan sering didekati, bukannya seharusnya dia biasa
saja 'ditembak' laki-laki?

Reno belum lupa bagaimana wajah Natella yang pucat


meskipun warna lipsticknya belum memudar. Cewek
itu sempat bercerita tentang apa yang ia rasakan
setelah 'ditembak' si 'cowok-paling-ganteng' se-Fakultas
Hukum. Dan dengan polosnya, Natella menjawab 'mau
muntah. Gue pasti udah nangis kalau Arka ga
berhentiin kalian.'

Reno mengenal Natella sejak dia belum pacaran sama


Arka meskipun dikenali oleh Arka, this girl was stuck
on his best friend like staples. Kebanyakkan teman-
temannya Arka memang tidak menyukai Natella, dia
bukan tipikal manusia yang menyenangkan dalam awal
pertemuan, apalagi tingkahnya yang seperti mau
menguasai Arka membuat orang-orang memberikan
nilai yang buruk terhadapnya. Tapi, Reno mengenal

92
Arka, pasti ada alasan yang lebih kuat dari segala
kenegatifan Natella sehingga cowok itu tidak pernah
menjauhi Natella, langkah yang seharusnya orang
seperti dia lakukan.

Arka was actually stucked on her too.

Lalu, setelah pertemuan-pertermuan berikutnya


dengan Natella, dia tahu bahwa cewek ini ada sisi
baiknya. Bukan karena Natella enak disuruh-suruh
dan dia mau-mau saja, tapi karena dibalik sikap buruk
yang dia tunjukkan, Natella sering melakukan hal-hal
yang sebenarnya belum tentu bisa dilakukan orang
yang beneran baik sekalipun.

"It's actually creepy, you know," Natella menjawab


dengan suara yang lebih pelan. "Gue beneran gabakal
sudi menginjak FH lagi."

"Memangnya kalau lo ga menampakkan diri di FH,


Yudha gabakal punya cara buat mendekati lo, gitu?"

"Ren..." Arka kembali menegur Reno yang mencoba


mengulangi kalimat-kalimat racunnya.

"Siap bos, gue diem." Balas Reno, lagian dia juga


kasihan dengan Natella. Di satu sisi, dia khawatir
kalau Natella bakalan kepikiran. Tapi disisi lainnya, dia
mengatakan ini semua tidak sepenuhnya didasari
bercanda, sesuka apapun dia mengusuli cewek ini.

Yudha memang betulan menyukai Natella, Reno yakin


soal ini. Dan untuk orang yang pernah belajar
kriminologi dan psikologi kriminal kayak Reno, dia
hanya mencemaskan cowok dengan mental ambis dan
agak-agak seperti Yudha berakhir terobsesi dengan

93
Natella dan melakukan hal yang tidak-tidak. Reno knew
exactly how far men can go if they obsessed to
something.

"Iya, emang seharusnya lo diem daritadi." Natella


kembali mengeluarkan suara ketusnya, menyetujui
Arka. Tumben-tumbenan kali ini mereka bisa
sefrekuensi. Makanya Reno heran kalau Natella
memberikan penolakkan super sopan untuk Yudha
ketika dia terbiasa berbicara seenaknya seperti ini
kepadanya.

"Jadi, serius gamau ikut?" Reno mengulangi


pertanyaannya.

"Nyinyir deh." Balas cewek itu judes. "Sama Arka aja,


dia belum makan siang."

Reno menatap ke belakang, melihat ke arah Arkasa


yang masih mengetik sesuatu di laptopnya. "Ikut ga,
bro?" tanya Reno untuk Arka. Well, Reno lebih terbiasa
memanggil Arka dengan nama tengah cowok itu.

"Males, banyak kerjaan,” jawab Arka seadanya. "Gue


mau ke perpus."

Reno menghembuskan napas panjangnya. Teman-


teman yang dia ajak pasti sudah lama menunggunya
yang tadi cuma bilang pulang sebentar untuk ganti
baju. Cowok itu kemudian berdiri. Dia memandang
Natella sebentar, "hati-hati, Nat." ucapnya.

Karena Yudha bisa saja menjadi sangat brengsek


apalagi untuk cewek kayak elo.

94
Kemudian Reno berpikir lagi, yaudahsih, dia tahu
kalau dibalik image polosnya Arka, teman dekatnya itu
bisa jauh lebih brengsek.

Jadi, dia tidak perlu terlalu khawatir terhadap Natella,


kan?

***

Jika ditanya tempat apa yang paling Natella sukai,


jawabannya adalah bioskop, kamarnya dan mall. Dia
menyukai tempat-tempat tertutup yang ber-ac dan
tidak membosankan. Sekarang, dia berada disalah satu
tempat tertutup ber-ac dengan rak-rak buku disekitar
kursi meja yang ia tempati; perpustakaan.

Kenapa perpustakaan bukan menjadi tempat yang


disukai Natella?

Karena membosankan.

Natella bukannya benci perpustakaan, dia jarang ke


perpustakaan. Dari SD, dia hanya ke perpustakaan
apabila ada tugas yang mengharuskan dirinya ke
perpustakaan dari guru. Pas kuliah, dia pertama kali
ke perpustakaan waktu diajak Arka, dan dia hanya ke
perpustakaan apabila diajakin Arka.

Arka jarang sekali menawarkan ajakkan untuk Natella


ke sesuatu tempat, biasanya Natella terus yang
mengajak duluan, meskipun lebih banyak ditolak
daripada diterima. Tapi, tiap kali dia sama Natella dan
lagi tidak terlalu sibuk, Arka pasti mengajaknya ke
perpustakaan.

Tahu kenapa?

95
'Karena Natella berguna kalau diajak ke perpustakaan,
dia cepat mencari buku di rak-rak yang ribet, bahkan
buku limited yang kesasar di rak lain pun bisa Natella
temui.' Itu jawaban Arka. Mungkin biasanya ngga
guna.

Well, Arka itu sangat menyukai perpustakaan. Karena


itu, Natella mulai menyukai perpustakaan.

Meskipun yang dia lakukan daritadi bukan membaca


buku, hal utama yang seharusnya dilakukan di
perpustakaan, melainkan menatap ke arah cowok yang
duduk disebrangnya. Tidak berhenti semenjak mereka
berdua sama-sama duduk disini.

"Nat, berhenti deh." Pinta Arka.

"Ih, kenapa lagi sih? Aku kan daritadi ngga ribut sama
sekali." jawab cewek itu heran. Iya, Natella biasanya
sering mengeluarkan keluhan apabila disini. Kapan sih
Natella tidak mengeluh? Tapi daritadi dia hanya diam
saja sambil memperhatikan Arka dan senyum-senyum
sendiri atas pemikirannya.

"Stop staring at me like that."

"Like what?"

"Jangan aja." Balasnya. Natella kadang heran kenapa


Arka tahu-tahu saja dia memperhatikannya daritadi
padahal dia lagi sibuk dengan layar laptop dan juga
buku.

"Jadi salting ya kamu?" Godanya bercanda.

"Nggak, biasa aja."

96
"Pipinya merah tuh." Ucap Natella bohong. Tapi Arka
malah mengangkat buku yang dia baca sejajar dengan
wajahnya.

"Apaan sih, Nat."

Natella tertawa, dia selalu terhibur mengganggu Arka.

"Makasih untuk yang tadi ya, sayang." Ucapnya lagi.


Dibalas anggukan singkat oleh cowok yang duduk di
sebrangnya itu. "Padahal aku pikir kamu mau ikutan
mereka godain aku sama Yudha."

"Yakali."

"Aku seneng banget loh."

"Hm." Pandangan Arka masih terlalu fokus sama


bukunya.

"Seneng kamu mau nolongin aku, mau ngakuin aku,


mau belain aku di depan orang-orang. erus kayak
cemburu lagi."

"Masa aku diem aja?"

"Biasanya juga diem aja."

"Kalau aku diem aja, berarti kamu yang salah,"


ucapnya lagi.

Natella mengerucutkan bibirnya. "Berarti selama ini


aku salah terus dong selain tadi?"

Dan teganya, Arka malah menganggukkan kepalanya


dengan santai, membuat Natella mengambil ancang-

97
ancang untuk menciptakan drama lainnya, namun
Arka lebih dulu mengatakan, "canda kok." yang dibalas
dengan deretan gigi putih Natella.

Cewek itu ketawa lagi. "Kamu tuh kalau bercanda gak


pernah lucu tahu."

"But you always laugh hard."

"Itu karena aku sayaaaaaang sama kamu."

Arka tidak membalasnya lagi, cowok itu menatap


bukunya dengan dahi berkerut hingga akhirnya dia
memutuskan berdiri, mencari referensi lainnya.
"Bentar." ucapnya pada Natella, dia memberikan
isyarat agar Natella tidak berisik selama dia pergi, dan
cewek itu memberi anggukan menurut.

Mereka lagi damai, makanya Natella bersedia menuruti


permintaan Arka tanpa protes.

Karena Arka tidak kunjung kembali, Natella


menghidupkan handphonenya yang sempat ia charges
penuh di apartemen Arka. Cewek itu membuka line dan
chat paling atas merupakan chat dari anggota 'spice
girls'. Sesuatu yang telah ia duga tertulis disana.

Dennisa Radinka : Lo beneran jadian sama cowok


paling ganteng se-Fakultas Hukum, Nat?

Jeana Nadina : Bilang bener dong, Nate, biar kita


terhibur'

Meira : (2)

98
Dennisa kemudian memasukkan gambar Yudha yang
bertekuk lutut di depan Natella, membuat Natella
kembali mual karena mengingat kejadian tadi. Gila, di
jaman internet seperti sekarang apa-apa bisa cepat
tersebar.

Natella Narundana : Jangan dibahas, gue masih syok

Natella Narundana : Beneran syok anjir

Jeana Nadina : Iya deh, Nate. Gabakal kita ceng-cengin


kok

Dennisa Radinka : Memangnya kenapa sampai lo yang


kena gitu, Nat

Natella Narundana : Kalo lo ikutan, paling sasaranya


malah elo, Den.

Dennisa Radinka : Kagak, gue pernah ke-FH dan


ketemu dia. Biasa aja tuh sama gue. Tipenya dia titisan
Medusa kayak elo kali, Nat.

Natella Narundana : Kamfret

Natella Narundana : Dia creepy banget tau gak, untung


tadi Arka tumben-tumbenan mau nolongin gue dan
marahin si Yudha

Jeana Nadina : Asli Arka?

Natella Narundana : Iya, tumben-tumbenan kan cowok


gue yang tidak pernah possessive terhadap gue itu tiba-
tiba mau mengakui gue di hadapan semua orang

99
Jeana Nadina : Tadi Meira bilang Arka cinta mati sama
Nate

Dennisa Radinka : Terus Meira juga bilang kalau Arka


itu gentle banget. Kalo bukan cowok lo, mau dia embat.

Jeana Nadina :Terus Meira juga bilang kalau Arka itu


gentle banget. Kalo bukan cowok lo, mau dia embat (2)

Dennisa Radinka : Keajaiban dunia ke-8 banget ga tuh


si Meira tiba-tiba kecantol sama yang modelan Arka?'

Natella tertawa-tawa sendiri melihat chat-chat


temannya itu. Biasanya kalau ada hal kayak begini
yang paling ribut itu Meira, tapi cewek itu banyakkan
tidak merespon daritadi dan malah jadi sasaran olokan
mereka.

Meira: Ngga ada, anjir

Meira: Gue tadi cuma asal omdo.

Natella Narundana : Kalo lo mau beneran sama Arka,


gue pinjemin seminggu deh nyed.

Natella mengetik, dia mengenal Meira hampir sama


lamanya dia mengenal Arka. Meira termasuk paling
anti sama Arka, dia bahkan mengatakan kalau Natella
pantas mendapatkan cowok yang lebih baik dan sayang
sama dia dibanding Arka yang tidak pernah
memprioritaskan Natella sama sekali, ditambah sikap
Arka yang tentu saja membosankan dimata mereka.

Benar kata Dennisa, saking tidak mungkinnya Meira


suka sama Arka, itu bisa masuk keajaiban dunia
apabila mungkin.

100
Dennisa Randinka : Tancap, Ra. Udah dikasih jalan
tuh sama si istri tua.'

Natella mengetik lagi sambil ketawa,

Natella Narundana : Arka tuh ya kalau bercanda suka


galucu, yang ada minta dicakar'

kalau diajak ke mall males gerak

Natella Narundana : diajakin ke bioskop malah tidur


sampai film selesai

Natella Narundana : diajakin clubbing gamungkin sudi

Natella Narundana : lo mabok atau ngomong kotor


dikit aja bisa langsung didiemin berhari-hari.

Natella Narundana : Gatau cara minta maaf yang


bener gabakal dimaafin.'

Natella Narundana : Lebih mengutamakan


playstationnya daripada siapapun.

Natella Narundana : Apabila kak Meira sanggup


melewati cobaan diatas setelah satu minggu, saya siap
bersaing sehat.

Baik Jeana dan Dennisa memberikan sticker ketawa


panpaka pants yang lagi tertawa terbahak-bahak.

101
Meira : Ga deh, makasih.

Meira : Lagian males bersaing sama lo, Nat. Suka licik


soalnya.

Natella ketawa ngakak, percakapan absurd dengan


teman-temannya betul-betul membuatnya sangat
terhibur.

Meira : Langgeng terus sama Arka ya, Nat.

Meira menambahkan, satu kalimat yang seharusnya


mustahil diketik oleh seorang Meira. Kesurupan apa
nih anak?

Natella menghentikan tawanya, dahinya menyernyit


bingung, ditambah dengan chat-an personal dari Jeana
yang berisi,

'Meira aneh banget, kan?' tanyanya meminta


persetujuan. Diantara mereka berempat, Jeana
memang paling peka, lembut dan peduli terhadap
lingkungannya.

Natella membenarkan, 'iya, kok jadi jinak gini sama


cowok gue. Biasanya antifan nomor satu?'

''Nate coba tanya Arka si Meira kenapa.' - Jeana

Natella mendongak, mendapati Arka sudah kembali


duduk dihadapannya dengan tumpukkan buku-buku
tebal lainnya, "Ka, Meira kenapa?" Tanya Natella lagi,
tiba-tiba, wajar kalau Arka terlihat bingung.

Satu alis Arka terangkat, "Nggak tau." Jawab cowok itu


singkat.

102
Natella kembali ke chat-an pribadinya dengan Jeana,
'Arka bilang dia ngga tau, Je.'

'Tadi Meira kan cerita dia ketemu sama Arka semalem.


Kayaknya, yang pengen dia sampaikan ga sebercanda
omongan dia tadi, deh.'- Jeana

'Kok gue jadi kepo'- Natella

'Jea sama Dennisa juga kepo kali,Nate.' - Jeana

'Coba tanya langsung ke Meira?' Tulis Natella


memberikan saran.

'Sudah, Nate. Meira cuma geleng-geleng kayak gaterjadi


apa-apa, dia kan pinter banget pura-pura.' - Jeana.

'Meira juga paling susah cerita kalau lagi ada masalah'


- Jeana.

'Masa sih Arka beneran gatau?' - Jeana.

Natella kembali menatap Arka yang masih berkutat


dengan laptopnya, "Sayang, beneran gatau si Meira
kenapa?"

"Tanyanya ke Meira, bukan aku." Arka memberikan


respon yang membuat Natella menghembuskan napas
panjang, mulai paham keadaan. Pantesan semalem
Arka ngaretnya lama banget.

"Semalem kamu ketemu sama Meira pas beliin aku


makan ya?" tanya Natella memancing.

Arka mengangguk membenarkan, "terus ngapain


sampe kamu nyampenya lama banget?"

103
Well, awalnya Natella pikir, Arka lama karena dia
berangkatnya lama.

"Nganterin si Meira pulang."

Natella memutar bola matanya, lumayan kesal


mendengar pengakuan Arka, "kok kamu ngga cerita?"

"Penting ya?"

Natella membasahi bibir bawahnya, Arka memang


cepat sekali membuatnya merasa ingin mencakar-cakar
wajah tampannya. Bukan, Natella kesal bukan karena
dia cemburu ke Meira, Natella tidak se-childish itu, dia
hanya cemburu dengan Mentari, dan Meira
sahabatnya. Natella saja bahkan cerita ke Arka hal-hal
paling penting dalam hidupnya sampai yang tidak
penting sama sekali, seperti jumlah kucing anggora
tetangganya. Tapi, Arka, hal langka kayak begini saja
tidak akan memberitahu kalau tidak dipancing.

"Terus ngapain lagi?"

"Nggak ada." jawabnya tanpa melihat ke arah Natella.

Natella kembali ke handphone ditangannya dan


mengetik.

'Je kayaknya cowok gue tahu tapi dia gamau kasih


tahu.' Adu Natella. 'Arka bilang dia nganter Meira
pulang. Terus gamau ngasih tahu apapun lagi.'

'Paksa, Nate.' Jeana menulis itu seperti hal tersebut


belum terpikir oleh Natella.

104
'Kalau Arka gamau cerita, dia gabakalan buka mulut'
Natella menulis lagi. 'Mungkin Meira minta ini sebagai
rahasia mereka kali, ya?'

'Coba Nate pura-pura nangis?' - Jeana.

'Gabakalan mempan, Je. Yang ada malah gue


ditinggalin.' Tulis Natella hampir pasrah.

'Sesusah itu ya, Nate?' Jeana menyertakan emotikon


sedih.

'Iya.' jawabnya, 'Coba besok kita sama-sama tanya


Meira.'

'Okedeh.' Jeana menyetujui.

Ketika Natella mendongakkan kepalanya, dia


mendapati Arka sedang memandang ke arahnya. "Nat,
kalau Meira belum mau cerita, jangan dipaksa."
ucapnya kalem.

"MAKANYA LO YANG CERITA KAMPRET," balasnya


kesal.

Natella menyadari sesuatu, dia harus siap-siap


dimusuhi lagi oleh Arka karena pandangan mata cowok
itu tengah menghakiminya.

Duh, kenapa hidupnya begini amat sih?[]

***

105
Chapter 8. Going Crazy

Natella sedang duduk di kursi teras rumah menunggu


Jeana. Hari ini kuliah jam setengah 8 makanya cewek
itu tidak menyetir mobil sendiri. Dia bukan tipikal
morning person yang bisa segar di pagi hari. Buktinya,
daritadi dia tidak henti menguap sembari memoleskan
wajahnya dengan make-up yang belum kelar karena
bangun kesiangan. Untung tidak lama dari itu, BMW
hitam kelihatan berhenti di depan pagar rumah.

Natella memasukkan peralatan make-upnya ke dalam


tas sembarangan, buru-buru berjalan keluar karena
tidak enak membuat Jeana menunggu, memasuki
pintu belakang mobil yang dibukakan supir Jeana,
cewek itu tidak pernah dibiarkan berkeliaran sendiri
tanpa supir. Dan seperti dugaan Natella, Jeana
mengeluarkan pertanyaan tentang pembicaraan mereka
kemarin yang belum selesai ketika Natella sudah
duduk manis di sebelahnya.

"Jadi, gimana? Arka belum cerita sama Nate?"

Natella menggeleng singkat, "yang ada gue malah


didiemin," ceritanya kesal sembari mengingat kejadian
tempo hari.

"Serius? Karena apa?"

Natella menghembuskan napasnya kasar, "Cuma


karena gue maksa dan ngebentak dia." Balasnya
dongkol. "Asli ya Arka tuh berlebihan banget!!! Kalau

106
ngga sayang, udah beneran gue barter sama makanan
kucing." lanjut Natella dengan suaranya yang gregetan,
masih ingat bagaimana Arka hanya meresponnya
dengan 'hm', 'ya', 'ga' di perjalanan menuju rumah
Natella.

Seenggaknya, Arka masih berbaik hati bersedia


mengantar Natella sampai rumah dengan selamat,
meskipun cewek itu mengeluarkan keluhan
menyebalkan sepanjang jalan. Sebesar apapun
kesebalan Natella terhadap Arka, pada akhirnya, cewek
itu pasti selalu menjadi yang mengalah dan meminta
maaf duluan.

Jeana hanya bisa mengeluarkan tawanya, melihat


Natella frustasi karena Arka memang bisa dijadikan
hiburan terbaik bagi dia, Meira dan Dennisa.

"Nate udah minta maaf?"

Natella memberikan gelengannya lagi, "Ngga ah, males.


Sekali-sekali dia kek yang negur gue duluan."

"Kalau Arka gamau, gimana?" tanya Jeana memancing.

"Yaudah." Balas cewek itu singkat.

"Yaudah apa?"

"Yaudah sih, paling gue lagi yang minta maaf duluan."

Jeana mengeluarkan tawa gelinya mendengar


pengakuan temannya itu. Sengakak apapun seorang
Jeana, dia masih bisa kelihatan anggun dan
mengontrol diri agar tetap terlihat seperti 'perempuan
tulen' yang tahu sopan santun.

107
Natella loves Arka so bad that this girl will do anything
to make him stay with her. Makanya, Natella selalu
bertingkah menjadi gadis baik dan penurut demi Arka.

Natella menghembuskan napas frustasinya. Dia


berpikir sebentar kemudian mengeluarkan isi
pikirannya itu, "kira-kira Meira kenapa ya?" tanyanya
makin penasaran, jujur Natella memikirkan hal ini
sampai ketiduran tadi malam karena Arka tidak mau
memberitahunya. "Terakhir Arka bilang, kalau Meira
belum mau cerita, jangan dipaksa."

"Jangan-jangan Meira hamil?" tebak Jeana cepat.


Natella juga kepikiran hal ini semalam, dia mau blak-
blakan, tapi disisi lain tidak enak dengan sopir Jeana
yang mendengarkan percakapan tidak jelas mereka.

"Kayaknya ngga deh, Meira kan lagi dapet? Terus dia


masih ngerokok." Natella mengingatkan kalau dua hari
terakhir, Meira sempat mengeluhkan sakit perut
karena lagi PMS.

"Iya juga." Jawab Jeana kemudian. "Tapi gimana kalau


itu cuma alibi Meira aja biar kita ngga curiga?

Bisa jadi.

"Sebenarnya, yang paling aneh itu... kok Meira mau sih


dianterin pulang sama Arka? Si Arman kemana? Yang
kayak Meira kan gasuka kemana-mana sendiri?"

Jeana mengangguk setuju, mempertimbangkan


pemikiran Natella. Arman itu nama asli lelaki yang
sering mereka sebut Sugar Daddy, 11 tahun lebih tua
dari mereka, awalnya memang sugar daddy secara

108
harafiah, tapi sekarang kayaknya sudah menjadi pacar
Meira.

"Mungkin kayak gini..." Jeana mulai mengeluarkan isi


imajinasinya. "Meira lagi ribut sama si Sugar Daddy
terus dilerai Arka? Arka nganterin Meira pulang,
makanya setelah itu Meira ga sebel lagi ke Arka ."

Natella menggelengkan kepalanya kurang setuju,


"Random banget cowok gue ikut campur orang pacaran
lagi berantem?"

"Kan bisa aja karena Arka kenal Meira, Nate."

"Gue ribut sama polisi lalu lintas tapi Arka malah bodo
amat, Jeana." Natella memberitahu salah satu kisah
dramatis yang pernah ia alami itu. Arka bukan tipe
orang yang suka ikut campur urusan atau masalah
orang lain.

Kecuali...

Masalah besar.

"Kalau Meira cuma berantem atau saling bentak sama


Arman, kayaknya Arka gamungkin ikut-ikutan." Cewek
yang mengenakan kemeja putih itu melanjutkan.

"Mungkin ga Arman mukul Meira?" Sambung Jeana


lagi.

"Arman memang tipikal lelaki brengsek, tapi masa iya


dia bisa main tangan ke Meira? Arman kan secinta itu
ke Meira sampai kayak suami takut istri, apa aja
diturutin?" ucap Natella.

109
"Kita kan ga kenal Arman, Nate. Bisa jadi kan dia
aslinya suka BDSM-an?"

"Je." Natella menegur, memberi kode kalau Jeana


harus menjaga kata-katanya yang mengarah ke liar
karena sopir pribadi Jeana yang membawa mereka ini
bisa mengadukan perkataan Jeana ke orang tuanya.

Jeana mengangguk mengerti dan mengunci mulutnya


kemudian. Yang mereka bicarakan tadi hanya
spekulasi tanpa bukti, bisa benar atau bisa sangat
menyimpang dari kejadian yang sebenarnya.

"Arka sih, pelit banget jadi orang. Padahal apapun yang


gue tau, selalu gue kasih tau ke dia." Keluh Natella
kemudian.

"Emang beneran apapun yang Nate lakuin, Arka tetep


gabakalan buka mulut ya?"

"Ngga." Jawab Natella. "Apalagi kalau itu rahasia.


Gabakalan bocor."

"Berarti enak dong cerita ke Arka?"

Natella membenarkan, cerita ke Arka memang enak,


karena meskipun dia jarang memberikan saran
apapun, tapi cowok itu selalu mendengarkan cerita
tanpa ngejudge, dan mulutnya bisa mengunci rahasia
apapun rapat-rapat,

"Iya, enak. Tapi kalau ngomongin kejelakan musuh lo,


yang ada malah diomongin balik." Natella berkata
dengan nada judesnya. Lalu, cewek itu menjentikan
jarinya karena mendapatkan ide, "gue tau gimana
caranya biar tau."

110
"Apa?" Tanya Jeana cepat.

"Kalau kejadiannya di dalam rumah makan, tinggal


tanya aja sama pramusajinya. Gamungkin ga ada
saksi, kan?"

Jeana memandang Natella takjub, cewek ini memang


selalu punya ide menarik untuk mencaritahu apa yang
ingin dia ketahui,

"Setuju!" Ungkapnya, dan mereka berdua


merencanakan untuk kesana setelah kuliah hari ini
selesai.

***

Natella mengetuk pintu apartemen di depannya sampai


lelah sendiri, sudah memencet bell juga tapi tetap tidak
ada sahutan. Ia bahkan berpikir kalau penghuninya
sedang di luar semua.

Cewek yang bajunya basah itu nemeluk badannya


sendiri. Hujan langsung turun dengan derasnya ketika
dia naik ojek, membuat kemeja dan celana jeansnya
benar-benar basah karena Natella memilih pilihan
untuk tidak berteduh.

Cewek itu merogoh isi tasnya, mencari handphone


untuk menghubungi Arka. Tapi belum sempat dia
menyentuh tanda hijau untuk menelpon, seseorang
yang dicarinya sudah lebih dulu meletakkan kunci
pada pintu dihadapannya dan mendorongnya.

"Kenapa ngga minta jemput?" Tanya cowok itu sembari


menyuruh Natella masuk. Melihat kemeja yang masih

111
digunakan Arka, Natella menyimpulkan kalau cowok
ini pasti baru pulang dari kampus.

"Tadi ngga hujan." Jawab Natella seadanya. Dia bukan


dari kampus. Seperti yang direncakannya dengan
Jeana tadi pagi, mereka pergi ke rumah makan yang
sempat dimaksud Meira, memesan makanan disana
dan mengintrogasi secara tak langsung beberapa
pramusaji. Tapi mereka tidak ada yang mengetahui
kejadian yang Jeana dan Natella maksud. Hasilnya
nihil.

"Udah mendung." Arka membalas dengan suara


datarnya. Natella mengiyakan, memang lagi mendung
daritadi. Tapi Natella berpikir kalau yang turun lebih
dulu adalah gerimis, jadi tidak masalah.

"Emang kamu mau jemput? Kan lagi marah..." Kata-


kata Natella tehenti karena mendengar suara-suara
aneh dari ruang tamu, dia tetap berjalan dengan
waspada. Bukankah seharusnya tidak ada siapapun di
apartemen ini?

"Yes, daddy?"

"Come sit on daddy's lap and tell daddy what you want."

"I want daddy's..."

"ARRRGGGGHHHHTTT" Natella berteriak histeris


mendapati apa yang disaksikannya di sofa living room,
dia belum sempat melihat secara penuh karena
langsung berbalik dan menabrak Arka yang tadinya
berjalan di belakangnya.

112
"Waduh, Sorry." Suara berat yang duduk di sofa itu
membalas, sementara Natella masih menyembunyikan
wajahnya di dada Arka.

"Go get a room, Ren." Arka menegur, sama tidak


menyangkanya kalau Reno senekat ini.

"IYA ANJING NGAPAIN SIH DI RUANG TAMU?" tanya


Natella kesal bercampur histeris, cewek itu masih syok
dengan apa yang disaksikannya barusan. Dalam hati
mengutuk Reno habis-habisan karena tidak
membukakan pintu untuknya dan malah enak-enak
sama cewek entah siapa ini.

"Yuk sayang, balik lagi ke kamar." Suara berat Reno


terdengar, membawa masuk kembali cewek yang
bersamanya itu ke tempat yang lebih privasi.

Natella tahu kalau Reno gila, tapi masa iya segila ini?

Setelah Natella mendengar suara pintu tertutup,


barulah dia mundur selangkah dan memandang
prihatin cowok di hadapannya, "Sayang, kamu beneran
harus jauhin Reno deh, dia tuh negatifnya banyak
banget." Ucap Natella kesal. "Terus apaan tuh daddy-
baby-daddy-baby. Si Reno punya kelainan atau gimana
sih?"

"Ngikutin perkembangan zaman." Jawab Arka santai,


seperti sangat sudah terbiasa melihat langsung
beragam kebrengsekan Reno.

"Sumpah ya, aku mending nonton bokep genre


hardcore daripada liat langsung beginian." kesalnya.
"Kamu pindah aja, yang, kalau perlu ke rumah aku.
Kasian kamu diginiin terus sama Reno, kalau kamu

113
terpengaruh, gimana?" tanya Natella berlebihan, tapi
matanya benar-benar menunjukkan kekhawatiran.

"Nat, mending mandi dan ganti baju. Udah menggigil


tuh." Saran cowok itu yang kemudian berjalan
mendahuluinya. Natella kemudian melihat ke arah
kemejanya yang 'nyeplak' karena basah.

Natella menyusul Arka, cowok itu membuka lemarinya


dan mengambil handuk, menyerahkannya langsung ke
tangan Natella.

"Gih mandi, biar aku yang siapin baju.".

***

Tidak ada siapa-siapa di kamar Arka ketika Natella


keluar hanya dengan handuk putih yang menutupi
tubuhnya. Dia dapat menemukan baju gantinya yang
sudah tersedia di atas kasur cowok itu. Well, Natella
memang sesekali menginap di apartemen Arka dan
meninggalkan beberapa potong baju gantinya disini
dengan kesengajaan.

Tapi, mereka tidak pernah tidur seranjang. Pernah sih


waktu Arka sakit, selebihnya cowok itu lebih suka tidur
di sofa. Natella ingat waktu mereka ke bandung dan
menginap di hotel, Arka bahkan menekankan ke si
mbak-mbak resepsionis untuk memberikan mereka
twin bed. kayak ketakutan banget bakalan diapa-
apakan Natella.

Setelah memakai bajunya, cewek itu ke luar dan


menghampiri Arka yang tengah memainkan playstation,
mainan kesayangannya melebihi apapun. Cewek itu

114
sempat memandang ke arah kamar Reno yang terbuka
lebar, "Reno lagi di luar." Ucap Arka memberitahu.

"Kamu bikin peraturan di larang mesum disini, deh,


biar si Reno tahu diri." dia memberikan saran.

Natella duduk di atas lantai yang dilapisi karpet, di


sebelah Arka. Dia kemudian mencuri kesempatan
untuk menekan tombol pause di stick yang dipegang
Arka, membuat cowok itu menatap malas ke arahnya
kemudian. Paling tidak, dia mendapati perhatian Arka.

"Mau diantar pulang sekarang?" tanyanya.

Natella menggeleng, dia memang sengaja datang kemari


hujan-hujanan untuk menemui Arka. Cewek itu
kemudian mengambil paksa stick PS cowok itu dan
meletakannya di sambing badannya.

"Ka, ada apa sih sama Meira?" tanya cewek itu to-the-
point, entah untuk ke berapa kalinya menanyakan hal
ini.

"You should ask her, Nat. Not me."

Sudah, tapi percuma, Meira tidak mau memberitahu


apapun, langsung ganti topik dan belagak tidak tahu
apapun ketika salah satu dari mereka mulai
menyinggung hal-hal yang salah pada Meira. Makanya
Arka merupakan satu-satunya harapan yang dia punya
untuk tahu secepatnya.

"Kamu kan tau, apa salahnya sih kasih tau aku?"

"Aku ngga punya hak buat kasih tau."

115
"Meira juga ngga bakal tau kalau kamu kasih tau aku."
Natella kembali memberikan agurmen yang
menurutnya masuk akal.

Arka memalingkan wajahnya, menghembuskan napas


frustasi. Dia gapernah suka dipaksa, tapi Natella,
seperti biasa, tidak pernah bosan untuk memaksanya.

"If I were Meira, I wouldn't let you know too." Ucap


cowok itu dingin. He looked annoyed.

"..." Natella mau membalas, tapi lidahnya tercekat


karena perkataan Arka cukup membuatnya merasa
tertusuk. Memangnya kenapa dia gapantes untuk tau?

"Kamu pengen tau cuma karena penasaran, it wont fix


anything." lanjut cowok itu dingin.

"Kalau aku tau, siapa tau aku bisa bantu Meira? Dia
sahabat aku, Ka."

"Siapa-tau." Arka mengulangi dengan penekanan. "It


sounds egoist."

"Kok egois sih? Kamu tuh yang egois." Serang Natella


balik. "Aku selalu kasih tau kamu apa yang aku tau.
Tapi kamu pernah ga kasih tau aku?"

"Itu bukan permasalahannya sekarang, Natella."

"Itu permasalahannya, kamu ngga pernah mau terbuka


sama aku." Balas Natella kesal.

Arka membasahi bibir bawahnya yang terasa kering.


They always end up argue like this, disaat paling santai
sekalipun.

116
"Nat, ini tentang Meira." Tekan Arka, agar Natella tidak
membawa argumennya lari kemana-mana lagi." Meira
temen kamu. Menurut kamu, kenapa dia ngga mau
kasih tau kamu?"

"Darimana aku tau, coba?"

"Karena dia malu," Arka memberikan jawaban atas


pertanyaannya sendiri. "Dan belum saatnya aja buat
kalian untuk tau." Lanjutnya pelan. "gini deh, kalau
kamu punya masalah dan lagi pengen nyimpen sendiri.
Kamu kesel ngga kalau dipaksa cerita di saat yang
belum tepat?"

Natella mengangguk membenarkan. Dia pernah berada


dalam keadaan seperti itu, tidak mau cerita tapi
dipaksa. Alhasil, dia malah merasa orang yang
memaksanya cerita itu egois dan tidak benar-benar
memedulikannya.

"Meira hamil, ya?" tembak Natella mengeluarkan


dugaannya dan Jeana yang paling mungkin. Ngapain
Meira harus malu sama mereka yang notaben teman-
temannya coba? Memangnya dia tidak malu pada
Arka? "Tinggal jawab iya atau ngga, Ka."

"Ngga." Cowok itu memberi penegasan, membuat


Natella mencoret kemungkinan yang itu.

"Berantem sama si Sugar Daddy?"

"Ngga, Nat." balas cowok itu lagi. "udahlah, gausah


dipikirin." Cowok itu memberikan saran. "Nanti juga
bakal diceritain Meira."

117
Natella mengalah pada akhirnya, memang bakal sia-sia
kalau memaksa Arka untuk memberitahunya sesuatu.
Jangankan rahasia orang lain, rahasianya sendiri saja
tidak ia bagikan ke Natella.

Untuk sesaat, Natella mulai menjinak.

"Ka, kamu udah ngga marah sama aku?"

Arka menggeleng, "masih." balasnya. "you are not sorry


yet."

Natella memutar bola matanya malas, menatap cowok


yang mengenakan kaos putih disebelahnya kemudian
memeluk lehernya, "maafin aku ya sayang...aku salah
karena udah ngomong kotor ke kamu, udah ngebentak
kamu dan maksa kamu cerita padahal itu rahasia."

"Aku sayang kamu dan gapengen kehilangan kamu."


ucapnya dengan suara semanis mungkin.

Arka mengangguk, dan seharusnya ini selesai. Tapi


tidak lama dari Arka mengambil kembali stick PS-nya
dan mulai melanjutkan game yang dia mainkan. Natella
kembali membuka mulutnya, "Ka, inget ga kemaren-
kemaren pas nganterin aku pulang, kamu pernah janji
mau terbuka sama aku?"

Arka tidak berjanji sebenarnya, dia hanya memberikan


anggukan ketika Natella memintanya begitu.

"Kamu ngga usah ceritain apa yang terjadi sama Meira


kalau itu rahasia." Cewek itu berbicara dengan hati-
hati, Natella hanya melakukan ini ketika dia benar-
benar serius. "Kamu cukup kasih tau aku apa yang
kamu lakuin malem itu sampe Meira..." Natella

118
menghentikan sebentar, mencari kata yang tepat,
"sampe Meira mau temenan sama kamu?" ungkapnya
kemudian, tidak yakin apakah kata 'temenan'
merupakan kata paling tepat. Karena Natella tidak
mungkin terang-terangan memberitahu Arka
setidaksuka apa Meira padanya sebelumnya. "Yang
kamu lakuin aja, Ka. Bukan yang kamu liat atau kasih
tau, selain nganterin dia pulang."

Arka menatap datar ke cewek di hadapannya ini,


Natella belum menyerah begitu saja rupanya. Dia
terlalu gigih untuk mendapatkan apa yang dia mau.

"I dont do anything."

"Bohong." Natella menjawab langsung. "Masih susah


ya, Ka?"

Arka menatap ke bawah, suara Natella barusan benar-


benar terdengar menyedihkan. Dia menghembuskan
napas beratnya sebelum menjawab, "I almost killed
someone."

"HAH?" itu reaksi reflek dari Natella tepat setelah Arka


membuka mulutnya. "Kamu nabrak siapa?" tanyanya
tak nyambung.

Arka membasahi bibir bawahnya, jujur saja, dia nyaris


membeberkan apa saja yang dia lakukan malam itu,
seperti yang diinginkan Natella karena cewek ini
kelihatan nyaris menangis. Namun pertanyaannya
barusan membuat Arka lebih ingin memeluk cewek ini
erat-erat dan menggigit-gigit pipinya dibandingkan
membicarakan sesuatu yang serius.

119
Akan tetapi, pada akhirnya dia hanya bisa menikmati
sorot mata cewek ini yang menunggu kelanjutan
omongannya dengan penuh penasaran,

"Nabrak kucing, terus hampir kena orang juga."


Jawabnya asal. "Tapi, kucingnya udah aku kubur kok."

Setelah ini, Arka dapat mendengar omelan-omelan


panjang Natella karena tidak berhati-hati, sementara
dirinya melanjutkan game yang daritadi ia mainkan.

Kelihatannya lebih menarik, padahal belum tentu. []

***

120
Chapter 9. Tell Me If You Are Hurt
Natella berani menjamin bahwa tidak akan ada orang
ketiga dari pihaknya di tengah-tengah hubungannya
dengan Arka. Meskipun cewek itu gampang
dipengaruhi dan teman-temannya kerap kali
memantang agar dia menduakan Arka, Natella tidak
sekalipun sanggup melakukannya meski telah mencoba
sekalipun.

Alasannya simpel karena dia tidak mau menyakiti


Arka. Padahal, cowok dingin yang berstatus kekasihnya
itu belum tentu merasa disakiti apabila Natella
selingkuh. Memangnya cowok secuek Arkasa Sean
Hadinata bakal peduli mengenai hal itu?

Sayangnya, Natella merupakan manusia egois yang


menjadikan dirinya sendiri tolak ukur. Dia pasti sangat
terluka apabila Arka menduakanya, tidak sanggup
membayangkan dirinya dihianati, maka dari itu,
terluka ataupun tidak Arka apabila Natella
menghianatinya, dia tidak mau melakukan hal-hal
kayak gitu.

Natella itu cantik, punya wajah yang menarik bagi


penyuka perempuan. Jadi, gamungkin kalau ga ada
cowok-cowok lain yang menyukai atau mengincarnya
untuk dijadiin pacar bahkan setelah dia sudah
memiliki status dengan Arkasa.

Tapi, tiap kali cowok-cowok itu terang-terangan


mencoba mendekati Natella, ia pasti punya cara untuk
membuat mereka mundur dengan sendirinya ataupul
ilfil kepadanya. Kalau ga Natella yang buat mereka
mundur, siapa lagi? Arka bukan tipikal lelaki posesif

121
senggol bacok yang cewenya diganggu dikit langsung
ngamuk, tidak peduli sama sekali sih iya.

Natella tidak peduli dengan risiko dibenci ataupun


kehilangan 'fans', dia bukan artis apalagi penghibur.
Buat apa fans? Buat apa pencitraan sok baik? Buat
apa pura-pura suka padahal nggak? Makanya
memblokir line lelaki-lelaki modus ataupun
mengabaikan chat mereka sampai dibilang sombong
dan sok kecantikan sudah biasa dia dapatkan, paling
ngga mereka tidak mengganggunya lagi.

Masalahnya, cowok bernama Yudha ini memiliki level


yang berbeda dalam cara mendekati Natella, dia
pantang menyerah sekali bahkan setelah 3 hari berlalu
sejak acara tembak-menembak di gedung FH itu
berlangsung. Natella sudah memblokir semua akun
chat atas nama Yudha yang tiba-tiba muncul di
rekomendasi dan menuliskan chat-chat yang membuat
Natella ingin muntah, berikut juga akun media sosial.
Sayangnya, akun atas nama cowok itu beserta chat
tidak bermutu yang ia berikan terus bermunculan lagi
berpuluh menit kemudian.

"Ini anak punya berapa akun sih?" Gerutunya sebal.

"Kenapa Nate?" Jeana bertanya penasaran, melihat


sahabatnya itu menunjukan raut masam.

"Gangerti lagi gue." Jawabnya tak jelas, mata


cokelatnya terlalu fokus memandang ke layar HP.
Kalau Natella sudah begini, dia biasanya hanya fokus
pada dunianya sendiri, susah sadar dengan keadaan
sekitar yang sebenarnya.

'Selasa aku melihat Natella aku langsung jatuh cinta'

122
'Natella cantik seperti bidadari aku sangat suka'

'Aku jadi suka Nutella karena mengingatkanku pada


Natella.'

'Aku ingin bertemu lagi Natella karena Natella cantik'

'Aku rindu Natella sekali. Kapan bisa bertemu?'

Natella memijit pelipisnya melihat chat-chat dengan


tata bahasa aneh itu. 'Yudha-Yudha ini gapernah
belajar SPOK ya?' batinnya. Dia menscrolling chat di
instagram itu dengan sabar. Iya, untung hari ini Natella
lagi sabar. Karena dia kesal juga sudah diblokir berkali-
kali, username yang mirip-mirip dengan nama Yudha
terus bermunculan di friend request dan direct
messagenya.

'Natella pasti cantik sekali hari ini.' pesan baru kembali


muncul di dm IGnya yang belum disetujui. Dia
membuka akun Yudha, melihat isi IG yang sepertinya
baru dibuat itu. Ada tiga foto Natella dari 5 foto yang di
post Yudha. Caption yang tertulis juga tidak jauh-jauh
dari 'bidadariku' 'calon istri masa depanku.' 'isi doa-
doaku tiap saat'

Cewek itu menghembuskan napas panjangnya lelah,


setidaknya keadaannya sekarang tidak seburuk
sebelumnya karena tidak berhadapan langsung dengan
Yudha. Ia kemudian menyetujui DM dari Yudha dan
mengetik hal-hal yang ada di pikirannya.

'Gausah suka sama gue plis.'

'Gue anaknya jahat loh, suka gigit orang, sifat gue


jelek.'

123
'Terus juga psiko, kalo ga percaya tanya aja sama Reno.
Pokoknya gue creepy gitu deh.'

'Jadi, gausah sama gue, ga ada bagus-bagusnya.'

Setelah menulis itu, tiba-tiba terlintas ide dibenak


Natella saat membaca pesan-pesan yang ia kirimkan.
Cewek itu mengeluarkan senyum liciknya sembari
mengetik dengan lincah,

'Gue punya temen nih masih single.'

'Namanya Mentari, anak Kedokteran. Keren banget ga


tuh kalau sakit bisa langsung minta diobati.'

'Dia anaknya cakep, baik-baik, pinter banget sampe


sering masuk spanduk karena berprestasi. Jatuh cinta
sama dia aja gimana? Nih usernamenya
@mentariadrianni, cek aja IGnya dia cantik banget loh,
pasti selera lo banget'

'Gue mah hanyalah serpihan chitato penuh mecin


kalau dibandingkan dia.'

Natella tidak behenti mengeluarkan tawa culasnya


sembari mengetik pesan-pesan licik itu dan
mengirimnya ke Yudha dengan penuh harap. Membuat
teman-teman yang duduk disekitarnya keheranan
sampai menegur,

"Senyam-senyum kenapa lo?" Meira bertanya curiga.


Karena dia duduk disebelah Natella, dia bisa mengintip
layar handphone cewek itu dengan mudah. "Anjing gila
lo senyam-senyum chattingan sama Yudha?" tanya
Meira tidak percaya. Kehisterisan Meira membuat
Dennisa dan Jeana yang duduk disebrang sontak

124
berdiri dan mengarahkan pandangan sedekat mungkin
pada handphone Natella.

"Eh anjing liat dulu dong apa yang gue tulis." protes
Natella sebal, dia memberikan kesempatan buat teman-
teman dekatnya itu membaca yang ia tulis disana.

"Mentari malah ditumbalin, dasar ular." ucap Dennisa


mengutuk kelakuan temannya.

"Pinter kan gue?" Natella membalas bangga. "Mending


Yudha suka sama Mentari aja biar gue ngga ada
saingan lagi. Lagian kalau dia diapa-apain, yang mau
ngelindungin dia juga banyak."

Jeana menghela napas panjang, dia duduk kembali ke


tempatnya dan geleng-geleng sendiri melihat ulah luar
biasa Natella. Kadang, Jeana pernah berpikir kalau
Natella ini lahirnya netas dari telur Kinderjoy, saking
absurdnya isi otak sahabatnya itu.

"Dibales tuh!" Seru Dennisa karena ada tulisan waiting


for message. Mereka berempat yang tengah makan
siang di kantin hijau itu menunggu balasan Yudha
selanjutnya dengan raut penasaran.

'Dia tidak cantik, hanya Natella yang paling cantik.'

"FAAAAKK." Natella menyerapah, sementara teman-


temannya tertawa ngakak.

"Mampus lo kualat." Ujar Meira mentertawakan.

"Ini cowok gila beneran sama Nate ya?" tambah Jeana


antara mau ketawa atau prihatin.

125
"Duh gue jadi pusing banget, butuh obat penenang."
Ucap Natella frustasi sendiri "Gue butuh Arka."
lanjutnya asal.

"Tapi Arka gamau ketemu sama lo." Ingat Dennisa.

Arka lagi sibuk, Natella sempat meminta cowok itu


menemaninya beli lisptick di mall dan seperti bisa,
cowok ktu menolak karena katanya hari ini dia harus
ngelarin tugas dan jadwal mail futsal.

"Apa gue paksa aja ya?" tanyanya main-main.

"Kayaknya ini karma karena lo gila sama Arka deh,


Nat." Dennisa berpendapat setelahnya. "Digilai balik
kan lo sama orang lain. Gimana rasanya, enak gak?"
tanyanya dengan nada menyindir.

Natella terdiam, raut wajahnya berubah. Dennisa


bercanda, Natella tahu. Lagipula mereka teman dekat,
tidak seharusnya Natella merasa tersinggung dengan
ucapan itu. Tapi, tidak tahu kenapa, dia tiba-tiba
merasa sesak. Benar-benar sesak.

Gimana rasanya, enak ga?

Apa kayak gini yang Arka rasain saat Natella ngejar-


ngejar dia?

***

"Kalau Arka mutusin lo gimana, Nat?" Ini merupakan


pertanyaan 'what if' yang biasa ditanyai teman-teman
dekatnya untuk Natella. Kadang dibalas serius oleh
cewek itu, kadang dipenuhi imajinasi-imajinasi tidak
jelasnya.

126
"Gue bakal pura-pura hamil dong."

"Atau sekalian aja nyuruh orang buat nyulik Arka terus


kurung dia. Duh gaperlu orang juga, nyulik yang kayak
Arka mah gampang."

"Gue apa-apain kalau perlu biar gue hamil beneran."

"Dia gaboleh ninggalin gue pokoknya. Kalau perlu gue


cari dukun nih."

Mungkin karena mulut Natella pernah mengancam


seseram dan segila ini makanya selama mereka
pacaran, Arka tidak pernah berani minta putus ke dia.
Well, tidak ada yang tahu berapa jauh cewek kayak
Natella berani melangkah, tapi Arka tahu apa yang
cewek itu lakukan agar Arka menjadi miliknya, bukan
Mentari.

Natella tidak pernah terlalu pusing memikirkan


perbuatan tidak etis yang dia lakukan. Tapi, melihat
bagaimana Yudha bertindak dan ucapan Reno serta
Dennisa, dia jadi merasa takut dan tidak nyaman,
padahal yang kayak Natella kelihatan tidak ada takut-
takutnya sama sekali terhadap laki-laki.

"Kenapa Yudha harus suka gue sih?" Natella


mengeluarkan omelannya yang sejak tadi tidak jauh-
jauh dari pertanyaan itu kepada Meira. "Kalo gue jadi
cowok normal, gue bakal lebih milih Mentari kemana."

Natella mengakui kalau dia itu gila, licik, berbisa,


sampai-sampai sering dikatakan jelmaan maleficent,
medusa, pipiyot dan tokoh-tokoh antagonis dalam
literatur terkenal lain, untungnya dia punya muka

127
cantik. Tapi, apalah arti cantik kalau sifatnya jelek?
Bukannya orang-orang selalu mencari yang muka dan
sifat semuanya ok?

"Tapi Yudha kayaknya ngga normal." sambung Meira


yang duduk disebelahnya asal. "Nat, nyetirnya yang
bener dong." Meira memperingatkan, dia bergidik
sendiri melihat cara Natella menyetir yang seenaknya
terabas sana-terabas sini, belum lagi omelannya
tentang Yudha yang ga kelar-kelar daritadi. "Emang
mengancam nyawa banget kalo nebeng di lo."

"Berisik Ra." Balasnya ketus. "Minta banget ya gue


turunin ke tempat sampah terdekat?"

"Gue aduin mas Arman kalo berani." Balas Meira tak


peduli, Natella selalu mengeluarkan ancaman yang
bermaksud candaan itu, tidak pernah betulan dia
praktikan.

"Gatakut." Ucap Natella enteng. "lo juga lagi ribut sama


Mas Arman." singgungnya disertai olokkan.

Meira tidak menyahut. Dia memang tidak mungkin


pulang dengan temannya kalau ngga ribut sama
pacarnya itu.

"Ribut kenapa lagi sih, Ra? Mas Arman nuntut serius


tapi lo ogah?" tebak Natella. Karena kalau Meira
berantem sama cowoknya itu, pasti tidak jauh-jauh
dari masalah ini.

Meira menggeleng, "bukan."

"Then?"

128
"Dia terlalu baik buat gue."

Natella mencibir, "cih klasik." Padahal Meira sering


mengatakan kalau Mas Arman merupakan tipe
idealnya. Dia bad guy, kaya raya, berpemikiran luas
dan mau menuruti segala kemauan Meira.

Meira meneguk salivanya, cewek itu menatap ke arah


jendela mobil yang melaju lumayan cepat, menatap
kendaraan disekitar mobil Natella yang dikendarai
banyak wajah. Ada yang tua, mudah, berseragam ojek
online, ngebut, hati-hati dan mereka semua tengah
menuju tempat tujuan masing-masing.

Tidak ada yang tahu kejadian di detik berikutnya,


entah mereka akan tiba, terhalang, atau tidak pernah
sampai ke tempat tujuan. Tapi seenggaknya, mereka
harus menikmati perjalanannya.

"Mas Arman gabakal sampai ke tujuan terbaiknya


kalau sama gue. Gue jahat, Nat, gue brengsek."

"Apa sih, Ra?" Tanya Natella tidak mengerti, meminta


penjelasan atas ucapan Meira yang diluar
ekspektasinya. Biasanya Meira akan bercanda setelah
bertingkah serius kayak sekarang, tinggal tunggu
ucapan berikutnya, pasti Meira akan ngakak sendiri.

"Lo mau tau apa yang terjadi senin malam?" Meira


bertanya setelah dia menjeda beberapa saat, membuat
Natella sontak melirik sebentar ke arahnya.

Natella mengangguk tanpa mikir. Senin malam itu saat


Meira ketemu sama Arka, yang menjadi dasar rasa
penasaran dirinya dan juga Jeana. Natella bahkan
sempat melupakan hal itu dan tidak mencoba

129
mengungkitnya ataupun menancing Meira buat cerita,
semenjak Arka memintanya untuk tidak memaksa
Meira. Tapi, disaat begini, Meira bertingkah seperti
ingin mengungkapkan semuanya, membuat rasa
penasaran Natella kembali memuncak.

Awas saja kalau tidak jadi cerita!

"Inget Brian?" Meira mengelurkan pertanyaan lagi,


dijawab anggukan tanp keraguan oleh Natella.

"Ingetlah. Mantan lo paling brengsek, matre, tukang


manfaatin orang, kasar, posesif dan sinting." Ucap
Natella gregetan, "dia pernah nunjuk-nunjuk muka
gue, hampir mukul malah, terus ngomongin gue
membawa pengaruh buruk buat lo. Ih sumpah,
gangerti ada cowok otaknya sedangkal dan sesinting
itu." Natella berbicara penuh emosi, masih dendam
karena perlakuan Brian yang menurutnya sangat
kurang ajar, yang paling membuatnya sakit hati, waktu
itu Natella tidak bisa berbuat apa-apa saat harga
dirinya diinjak-injak oleh Brian, Brian itu serem,
serius. "heran gue lo sempat suka sama sampah begitu,
untung udah ga lagi."

"Gue masih berhubungan dengan Brian, Nat." Meira


memberitahu, membuat Natella memelankan mobilnya
karena terkejut dengan pengakuan Meira yang ditolak
akal sehatnya. "Gue selingkuh sama Brian di belakang
mas Arman. Gue bahkan pacaran sama mas Arman
karena disuruh Brian yang butuh duit." Gumam Meira
pelan, pelan sekali, mungkin jijik dengan kenyataan
dan dirinya sendiri.

"Anjing..."

130
"Gue bahkan lebih buruk dari anjing."

"Emang." Jawab Natella tanpa mikir. "Lo gila beneran


ya. Gue gatau harus mengutuk lo kayak apa lagi."
Natella terdiam sebentar, "terus, Mas Arman udah tahu
semuanya?"

Meira menggeleng, membuat Natella bernapas lega. Dia


tidak kebayang aja apa yang terjadi kalau mas Arman
sampai tahu.

"Malam itu gue ribut sama Brian, dia ngancem mau


ceritain ke mas Arman apa yang kita rencanain selama
ini. Dia punya bukti, Nat. Bahkan foto gue waktu tidur
sama dia."

"Lo sih kenapa bego banget jadi..." Natella mendumel


lagi, menghakimi dan menyalahkan Meira karena ini
terjadi akibat kebodohan cewek itu sendiri.

"Lo gangerti." Potongnya agak membentak, alasan


kenapa Meira susah menceritakan kehidupan
pribadinya yang rumit kepada teman-teman dekatnya
sendiri. "Hubungan gue sama Brian itu gga
sesederhana yang kalian tahu. Gue cinta Brian, Nat.
Gue cinta Brian yang brengsek, yang kasar, yang suka
memanfaatkan gue. Gue cinta mati sama Brian, bukan
mas Arman."

"Anjing..." hanya itu respon Natella yang sudah tidak


konsentrasi mengendari mobilnya. Selama ini
dipikirannya, Brian sudah lama lenyap dan Meira cinta
sama mas Arman sebanyak cowok itu mencintainya.
Tidak se-plot twist dan se-drama yang baru
diketahuinya sekarang. Apakah cinta segila, sebodoh
dan sesakit itu?

131
Meira melanjutkan, "itu yang selalu gue percaya, Nat.
Tapi malam itu gue sadar." Meira menjeda untuk
menegak salivanya yang terasa sulit. "Gue sadar kalau
cinta gue buat Brian dan Brian buat gue itu ngga
sehat. Gue sadar kalau gue harus berhenti sama Brian.
Gue sadar kalo gue sayang Mas Arman."

"..."

"Gue bilang sama Brian kalau gue pengen hidup tenang


tanpa dia. Dan yang seperti gue duga dan gue takuti...
Brian ngamuk, dia nyeret gue ke tempat sepi, dia caci-
maki gue, dia mukul gue..."

Meira menangis. Natella dapat mendengar dari


suaranya. Diantara mereka berempat, Natella selalu
menyimpulkan kalau Meira paling kuat, paling berani,
paling bikin iri. Tapi sekarang Meira menangis,
kelihatan selemah dan se-tidak berdaya itu.

"Biasanya, gue ngga ngerasa sakit tiap kali dia mukul


gue. Tapi malam itu rasanya sakit, banget Nat. Gue
capek. Gue udah serusak itu. Gue udah ngga bisa kuat
lagi."

"...."

"Seharusnya malam itu gue mati digebukin Brian,


Nat...kalau aja Arka ga menyelamatkan gue."

"Hah?" Natella sontak merespon karena Meira


menyebut-nyebut nama cowoknya. dia menengok ke
arah Meira, kali ini agak lama sampai di klekson mobil
yang melaju disebelahnya, barulah cewek itu fokus lagi
menatap ke jalanan. "Arka cowok gue?"

132
Manusia bernama Arka kan tidak cuma satu, siapa
tahu saja Meira tengah membahas Arka yang lain.

Meira mengangguk, "gue ketemu Arka di dalem, dia


negur duluan, ga sesombong yang gue pikirin."

"Tapi gue ga memprediksi kalau dia bakal muncul


diantara gue dan Brian dan berhentiin Brian yang lagi
gila."

"Dia nolongin gue, Nat. Arka nolongin gue." Bisik Meira


frustasi, suaranya serak, dan Natella hanya bisa
memberikannya tisu yang ada di atas dashboard mobil
menggunakan tangan kirinya. "Diantara semua orang,
malah Arka yang mau nolongin gue, Nat."

"Padahal gue selalu jelek-jelekin dia di depan lo."

"Gue bahkan sering meminta lo buat ninggalin dia."

"Dan Arka malah nolongin gue."

Natella masih speechless, betulan tidak tahu mau


merespon apa. Pikirannya penuh dan campur aduk.

"Lo ngga apa-apa kan, Ra?" tanya Natella kemudian,


dia khawatir, bahkan sudah khawatir dan berfirasat
buruk saat dia belum tahu apa-apa. Dan
kekhawatirannya makin bertambah setelah mendengar
cerita menyedihkan yang keluar dari mulut Meira.

Meira mengangguk, dia menghapus airmatanya dan


mengelurkan tawa terpaksa, tidak mau terlihat
cengeng, "ngapain sih gue nangis." keluhnya. "Gapapa,
Nat. Brian cuma nampar gue sekali."

133
"Cuma?" ulang Natella tak menyangka, Meira
mengungkapkannya sesantai itu, kayak ditampar orang
bukanlah hal yang mengerikan.

"Udah dibales berkali lipat sama Arka. Brian bahkan


hampir mati." Ucap Meira lagi melanjutkan.

"Bentar..." Natella mengendarai mobilnya di jalur kiri


agar bisa sepelan mungkin karena sudah tiba di
komplek gedung apartemen Meira, "maksud lo si Arka
mukul Brian, gitu?" tanyanya memastikan.

Meira mengangguk membenarkan, membuat Natella


mengeluarkan pertanyaan terkejutnya.

"YANG KAYAK COWOK GUE MUKUL BRIAN?" ulangnya


lagi, berteriak. Jujur, ketika Meira bilang Arka yang
nolongin dia dan berhentiin Brian, Natella pikir Arka
cuma datang dan minta Brian berhenti. Atau seenggak-
enggaknya, Arka manggil security buat berhentiin
Brian, itu cara paling pintar yang bisa dilakukan oleh
orang seperti Arkasa. "Emang bisa?"

"Ya?"

"Arka tuh kalau ada yang ngajakin dia ribut, dia


balesnya pasti gini, 'bisa selesain pake otak aja ga?'
gitu. DIA BUKAN TIPE YANG BISA MUKUL ORANG.
Ngebentak orang dikit aja biasanya langsung merasa
berdosa. Cowok gue tuh selembut bayi." Cerita Natella
begitu yakin. "Tapi Brian kan gapunya otak. gue aja
pengen matiin dia kalau bisa. Eh lo yakin itu beneran
cowok gue yang mukul?" Natella melanjutkan
pertanyaan penuh keraguannya. Tiba-tiba dia teringat
sesuatu yang membuatnya ngilu sendiri, Brian itu
badannya serem, tampangnya juga sebelas-dua belas

134
sama preman. Natella saja tidak bernyali waktu face to
face sama Brian. "Terus, cowok gue diapain Brian?"
tanyanya panik.

"Perutnya di tendang, kakinya juga. Seingat gue sih


cuma itu."

Bisa-bisanya Meira bilang 'cuma itu' sementara Natella


panik setengah mampus.

"KOK LO BARU CERITA SEKARANG KALAU ARKA


PERUTNYA DITENDANG BRIAN?"

"Gue pikir Arka udah cerita sama lo... dia juga bilang
dia baik-baik aja, kok."

"Arka gamungkin cerita yang kayak ginian ke gue, Ra."


Jawab Natella pelan. Mobilnya berhenti di depan pintu
gedung apartemen Meira, membuat cewek disebelahnya
itu mau tidak mau harus turun secepatnya jika tak
ingin diomeli satpam.

"Nat, lo gapapa?" Tanya Meira khawatir, Natella


kelihatan melamun beberapa saat, kemudian airmata
tiba-tiba turun di pipinya.

Natella mengusap pipinya kasar, "Gapapa. Gue duluan


ya." Pamitnya, sama sekali tidak bisa memaksakan
senyum yang menjadi perwakilan dia beneran tidak
apa-apa.

"Pantesan waktu itu megangin perut terus pas dirumah.


Dia lagi nahan sakit."

***

135
Reno mengomel ketika mendapati Natella yang berada
di balik pintu, mengetuk dan memencet bell tidak
sabaran, menganggu tidur sorenya yang awalnya terasa
seperti surga. Lagian, Reno kadang takjub dengan
Natella yang bisa mengakses lift apartemen ini seenak
jidatnya meskipun bukan penghuni sini, udah akrab
sama security dibawah.

Tapi, omelan itu harus terhenti ketika mendapati mata


Natella yang sembab.

"Kenapa lo?" tanyanya khawatir, mempersilahkan


masuk cewek itu diikuti permintaan maaf karena
omelan sebelumnya. Eh, masa yang kayak Natella
nangis cuma karena omelan gapenting Reno?

"Arka mana?" tanyanya setelah duduk di sofa living


room.

"Belum pulang."

Reno dapat mendnegar tangis Natella semakin kencang,


membuat Reno kebingungan sendiri. Anak ini datang
tiba-tiba dan menangis sejadinya. Gimana reno tidak
panik?

"Kenapa sih? Ribut lagi sama Arka?"

Natella menggeleng.

"Diputusin Arka?"

Cewek itu menggeleng lagi, "ngga. jangan didoain."

136
"Arka selingkuh sama si Sunny?" tebak Reno makin
asal, hal-hal kayak gini yang menurut Reno paling bisa
membuat Natella nangis.

"Namanya Mentari bukan Sunny." jawab Natella


sesunggukan.

"Arka beneran selingkuh?" Reno memastikan dengan


nada tidak menyangka. Tapi kalau beneran begitu,
paling Natella hanya salah paham seperti sebelumnya.
Ini cewek kan memang kebanyakkan drama.

"Ngga! Jangan fitnah cowok gue deh." Balas Natella


sewot, tangisnya masih ada.

"Terus kenapa dong?" Reno makin penasaran, dari tadi


Natella tidak memberikan jawaban apapun atau
seenggaknya clue. "Jangan nangis gitu, gue kan jadi
pengen meluk biar lo tenang."

"Jangan berani-berani nyentuh gue ya!" Natella


memperingatkan, dia meletakkan kedua tangannya
menutupi muka. Tapi tangisnya ngga tambah reda,
melainkan makin hebat.

Natella juga sebenarnya ga pengen nangis, tapi dia


gabisa berhenti. Dia juga gangerti kenapa bisa sesedih
ini.

"Lo kenapa sih? Jangan bilang dihamilin Arka." Tebak


Reno curiga kemudian.Tapi, masa iya Arka sebego itu
gatau fungsi kondom yang 21 ribu dapat 3?

"Arka bukan PK kayak elo, goblok." Ketus Natella,


masih sempat-sempatnya, membuat Reno
menghembuskan napas putus asanya.

137
Untung tidak lama dari itu, pintu kembali terbuka dan
menampilkan sosok Arka yang baru pulang dari
kampus, kelihatan bingung melihat keadaan Natella
yang duduk di kursi depan TV...dan menangis.

"Lo apain si Natella sampe kayak gini?" tuduh Reno


langsung. Arka menggeleng, memberitahu Reno kalau
dia tidak tahu menahu, bahkan tampang datarnya
tidak dapat menutupi raut bingungnya yang kentara.
Cowok itu menurunkan tas ranselnya sembarangan
dan berjalan ke arah Natella, duduk berlutut
dihadapannya.

"kamu kenapa Nat?" tanyanya hati-hati.

Bukannya menjawab, Natella malah memeluk leher


Arka erat-erat, menangis sejadi-jadinya di bahu Arka.
Dia seperti mau cerita tapi kalah dengan tangisnya
yang begitu deras.

Melihat keadaan di depan matanya, Reno menghela


napas panjang, "gue keluar deh," ucapnya mengalah,
memilih pergi ke bawah untuk nongkrong di CK
ataupun godain mba-mba resepsionis baru yang cantik,
meninggalkan Arka dan Natella berdua di apartemen
ini untuk menyelesikan apapun masalah mereka.

"Nat." Arka memanggilnya lagi, cewek itu tidak


menjawab, tangisnya semakin deras, kelihatan seperti
dicoba dikontrol tapi malah makin parah. Arka memilih
memeluknya balik dan mengelus rambutnya pelan. Dia
jarang-jarang bersedia melakukan ini pada Natella.

"Kamu marah aku gamau nemenin kamu beli lisptick?"


Tanyanya, mulai menebak-nebak. Arka hanya

138
mengingat itu satu-satunya kesalahannya hari ini.
"Nanti aku temenin." bujuknya.

Natella menggeleng, memberitahu bahwa bukan itu


penyebabnya menjadi sesedih ini.Dia memang kesal
karena itu, tapi tidak akan sampai menangis.

"Ada yang jahat sama kamu?"

Natella menggeleng lagi, menyalahkan tebakan Arka.

"Kamu...hiks...kamu...hiks." Natella berkata tidak jelas,


seperti tak sanggup mengungkapkan isi pikirannya
yang kacau, seperti terlalu menyakiti untuk
dibicarakan.

"Aku yang jahat sama kamu?" tebak Arka lagi, Natella


sontak menggeleng dalam pelukan Arka.

Arka melepaskan pelukan mereka, memaksa Natella


menatap ke arah matanya. Cowok itu meletakkan
kedua tangannya di bahu Natella, "cerita aja sama
aku." pintanya pelan. Ia kemudian menggunakan
tangan kanannya untuk menghapus air mata Natella
yang terus keluar. Nangis sesunggukan itu memang
harus menunggu capek dan berhenti dulu baru bisa
berbicara dengan jelas.

Arka duduk di sofa, tepat disebelah Natella, ia


menuntun kepala cewek itu untuk bersender di
dadanya kemudian merangkulkan kedua tangannya
untuk memeluk, "nangis aja dulu, entar cerita." Saran
cowok itu. Mereka berada dalam posisi pelukan
bermenit-menit, sampai akhirnya tangis Natella mereda
dengan sendirinya, kehabisan stok airmata.

139
Masih dipeluk Arka, Natella berkata, "kamu kok ga
cerita sama aku kalau waktu itu kesakitan?"

"lah?" Balas cowok itu heran, dia nyaris mendorong


Natella dari pelukannya karena pertanyaan aneh cewek
itu yang tidak pernah diduganya.

Astaga, Arka bahkan memikirkan masalah berat seperti


keluarga, pertamanan ataupun hal lain yang memang
pantas ditangiskan.

"Meira udah cerita semuanya." Ungkap Natella. "Dia


bilang, kamu berantem sama Brian terus Brian
nendang perut kamu. Apa susah nya sih Ka kasih tau
aku? Padahal malemnya kamu ke rumah aku."

"..." Arka diam, dia tidak memiliki jawaban. Terlau


speechless dengan perkataan Natella setelah menangis.

"Kalau kamu kenapa-kenapa gimana, Ka?"

"Aku gapapa, Nat."

"Bohong, kamu pasti kesakitan."

Arka menghembuskan napasnya frustasi, "itu 4 hari


yang lalu."

"Kamu udah periksa ke dokter? Kalau kamu


pendarahan dalem, gimana?"

"Aku udah mati dari kemarin-kemarin kalau gitu."

Natella melepaskan pelukan Arka, dia menatap tajam


cowok itu dengan mata sembabnya, membuat Arka

140
menggunakan tangannya untuk menghapus sisa-sisa
air mata Natella sekali lagi.

"Kamu jangan asal ngomong gitu dong!" bentak Natella


kesal.

"Nat, jangan bilang nangis kayak gini cuma gara-gara


ini?"

"Kamu terluka, Ka."

"I am absolutely fine, Nat." Tekan cowok itu, mau kesal


tapi kasihan juga melihat keadaan Natella.

"Aku selalu kasih tahu kamu pas aku lagi ga baik-baik


aja."

"Nat." Pinta Arka agar Natella tidak memulai


pertengkaran apapun, tidak sekarang.

"Aku sayang kamu, Ka."

Arka mengangguk, menandakan kalau dia tahu itu.

"Makanya aku gamau kamu terluka."

Arka tidak merespon, dia membiarkan Natella


menyenderkan kepalanya di dadanya lagi, tiduran
disana. "Soal Brian, dia emang pantes sih dimatiin.
kamu jangan merasa bersalah ya karna udah mukulin
dia!" Natella mengatakan itu sembari mengingat
kejadian dua hari lalu dimana Arka hampir
menceritakan ini padanya, tapi tak jadi karena respon
bodoh Natella, dia malah mengalihkan pembicaraan
tentang kucing.

141
"Kamu ga marah aku berantem?"

"Aku marah kalau kamu dipukulin." Jawab Natella


enteng. "Aku bahkan pengen mukul Brian lagi karena
udah berani nyakitin cowoknya aku."

Arka tidak dapat menahan tawanya mendengar ucapan


polos Natella itu. Reno benar soal pendapatnya tentang
Natella, cewek ini lucu dan menggemaskan. Meskipun
kalau sedang menyebalkan, Arka bahkan ingin
menjualnya di pasar Ikan.

"Thanks for worrying about me." Bisik Arka setelahnya.


"tapi jangan nangis karena ini lagi ya?"

Natella menggeleng, dia tidak mau berjanji ataupun


menyanggupi. "Gabisa. Aku sakit kalau kamu terluka.
Awas aja kalau kamu diginiin terus nggak cerita lagi ke
aku. Aku beneran marah!"

It sounds excessive, this girl always acts too much.


Sayangnya, kelihatan jelas kalau Natella beneran
seperti orang yang kesakitan daritadi hanya karena hal
yang menurut Arka sangat sepele.

Arka menggerakkan badannya kemudian, "Udah Nat,


aku mau mandi. Nanti malam ada futsal sama anak
angkatan bawah" Ucap cowok itu hati-hati, meminta
Natella menyingkir dari dadanya, mereka sudah cukup
lama berada di posisi kayak begitu.

Natella bangkit kemudian, menatap jutek ke arah


cowok disebelahnya. "IH KATANYA MAU NEMENIN AKU
BELI LIPSTICK?"

142
Arka menghembuskan napas panjangnya frustasi,
untung dia tidak suka menyerapah ucapan kotor.[]

***

143
Chapter 10. Falling For You
Ini hari minggu. Untuk anak seumuran Natella
biasanya sudah mendapati undangan atas namanya
sendiri, entah itu dari teman sekolah dulu, teman main
atau bahkan teman kuliah. Pertama kali Natella
mendapati undangan pernikahan yang ditujukan
khusus untuknya, itu datang dari teman SD-nya yang
lumayan dekat, membuatnya terkejut sekaligus merasa
bahwa waktu memang tidak pernah berhenti dan dia
beranjak dewasa.

Tapi, tenang saja, sebanyak apapun dia mendapati


undangan pernikahan, Natella belum terpikir sama
sekali untuk menikah. Mentalnya masih terlalu kanak-
kanak untuk memikirkan peliknya kehidupan rumah
tangga, meskipun dia suka iseng membayangkan
malam pertama dengan Arka.

Cewek itu keluar dari kamarnya dan menuju ruang TV


dengan langkah tanpa beban. Seperti yang dikatakan
mbak Ratna dari belasan menit lalu, Arka sudah
datang daritadi dan menunggunya di ruang tamu.

Cewek yang mengenakan kimono satin serta beberapa


bagian rambut di roll itu mendapati Arka tengah duduk
bersebelahan dengan adik laki-lakinya yang masih
SMA, Ferre, memainkan handphone masing-masing.
Natella menebak kalau mereka pasti tengah
memainkan game Mobile Legend atau yang tidak jauh-
jauh dari itu. Well, sebenarnya, tiap kali Arka ke rumah
Natella, dia seperti lebih ingin menemui Ferre daripada
Natella. Kedua laki-laki itu memiliki hobi yang sama,
bermain game.

144
"Belom kelar juga, Nat?" Tanya Arka sembari
menatapnya datar. Cowok itu memandangi Natella dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Ayolah, Natella
bahkan masih mengenakan piyama satin, rambutnya
masih di roll dan bibirnya masih pucat.

"Kamu pakai baju apa?" tanya cewek itu masa bodoh,


tidak merasa bersalah telah membuat Arka
menunggunya. Dia keluar hanya untuk memastikan
pakaian yang Arka pakai, agar matching dengan
apapun yang ia kenakan nanti. Tapi, Arka masih
menenakan kaos hitam, belum memakai pakaian
formalnya.

"Batik."

"Warna apa?"

"Cokelat."

Ya, batik kan emang rata-rata warna cokelat! Natella


memutar bola mayanya malas.

"Lihat dong." Pintanya kemudian.

Arka menggeleng, "di mobil." ucapnya kalem.

"Buruan, Nat. 10 menit lagi belom kelar, aku tinggal


ya." ucapnya.

Natella cemberut. Apalagi ketika mendengar Ferre


bergumam mendukung rencana jahat Arka, "tinggalin
aja, bang. Daripada lo telat."

145
"Lo gausah ikut campur." Natella tentu saja mengomeli
Ferre, tapi cowok tinggi berumur 16 tahun itu tampak
tak peduli, masih memasang tampang resenya sembari
memainkan handphone. Kadang, Natella berpikir kalau
Ferre lumayan mirip dengan Arka. Sama-sama tinggi,
cuek dan beraura dingin. Bedanya, Arka lebih baik,
lebih pintar, lebih ganteng, jauh lebih sempurna di
banding Ferre. Entah itu memang benar, atau hanya
berlaku di mata Natella yang tentu pilih kasih terhadap
Arka.

"Tahu diri kek jadi orang, masih untung dijemput dan


ditungguin." Balas Ferre jutek. Natella
menghembuskan napas kesalnya, dia merasa ingin
sekali menjambak-jambak rambut Ferre, seperti yang
sering ia lakukan waktu mereka masih kecil. Tapi
mereka sudah tumbuh, badan Ferre lebih besar dan
lebih kuat darinya. Kalau Natella berani melakukan itu,
yang ada dia yang menanggung.

"Nat, gih lanjutin siap-siapnya." Arka meminta,


sekaligus menghentikan perkelahian kakak-adik itu
yang tidak asing lagi dari pandangannya.

Sementara Natella masih cemberut, cewek itu


menangkap kunci mobil Arka tergeletak di atas meja.
Dia mengulum senyumnya, berjalan mendekati meja di
depan sofa dan mengambil cepat kunci mobil itu.
"Kamu gabisa pergi duluan!" ucapnya usil untuk Arka
sembari memeletkan lidahnya.

Sebelum kunci mobil itu dirampas oleh yang punya,


Natella langsung berlari cepat, alhasil dia malah
menabrak buffet lemari dekat tangga yang berisikan
keramik-keramik Ibunya. Lebih tepatnya, tulang kering

146
kakinya menabrak kaki buffet lemari, membuat cewek
itu sontak memekik dan memegang kakinya.

Dia melirik ke belakang, mendapati Ferre tertawa


ngakak, dia kelihatan bahagia sekali. "Mampus lo
kualat." ucap anak laki-laki itu, masih tertawa.

Sejujurnya, Arka juga ingin tertawa, tapi dia tahan


melihat Natella tengah meringis kesakitan. Kena tulang
kering kaki, jelas sakit sekali.

Arka sontak berdiri, baru saja dia berniat menghampiri,


Natella lebih dulu memberinya pandangan masam.
"Kamu jahat banget sih!! Pasti mau ketawain aku juga."
ucapnya drama. Dia sempat memberikan Ferre
pandangan judesnya, kemudian cewek itu berjalan
tertatih-tatih memasuki kamarnya yang untungnya
berada di lantai bawah.

Meskipun kakinya terasa ngilu sekali, setidaknya kunci


mobil Arka masih di Natella, menghindari risiko cowok
itu betul-betul melaksanakan keinginannya pergi dulun
apabila Natella belum selesai juga dalam 10 menit.

Masalahnya, mana mungkin selesai dalam 10 menit!!!


Apalagi kali ini dia menemani Arka atas undangan
seniornya yang menikah, pasti banyak anak-anak yang
tidak menyukai Natella juga hadir disana.

Makanya Natella harus tampil secantik mungkin.

Setella Natella masuk kamar, Ferre memandang Arka


sebentar, dia kemudian mengucapkan keheranannya
selama ini. "lo kok bisa tahan sama si Pipiyot." ucapnya
membicarakan Natella. Cowok itu lanjut memainkan
game di handphonenya dan berbicara, "jujur sih, gue

147
sempat berpikir kalau si Pipiyot pake guna-guna
makanya lo mau sama dia."

Ucapan tidak berdosa Ferre lantas membuat Arka


tertawa. Dia sering mendengar hal-hal kayak begini,
semacam mempertanyakan bagaimana ia bisa berakhir
sama Natella, bukan cewek-cewek lain yang
seharusnya lebih cocok dengannya. Tapi mereka tidak
berbicara terang-terangan sementara Ferre begitu
terang-terangan.

"Memangnya kenapa?"

"Lo kayak pangeran." Ini sebenarnya agak menggelikan


bagi Ferre untuk memuji lelaki lain ketika dia laki-laki.
Tapi, itu bukan menurut dia melainkan perempuan-
perempuan disekitarnya yang mengenal Arka. Mulai
dari Oma sampai mbak Ratna, ART keluarga mereka,
kayak semua orang, terutama perempuan yang ia kenal
kerap-kali memuji Arka. "Sedangkan kakak gue
itu...dia bener-bener iblis betina." Ferre mengatakan
dengan suara gregetan. Teringat kenangan-kenangan
buruk yang ia lalui bersama Natella.

Well, Arka tentu sering mendengar Ferre menjelek-


jelekan kakak perempuannya sendiri di depan Arka,
seperti kekesalan atau bahkan kebenciannya terhadap
Natella bukan main-main.

Arka bahkan sempat bertanya, apakah kebencian


dalam saudara itu nyata atau itu hanya ilusi
pengungkapan kasih sayang yang tidak pernah sama
tiap orang?

Ferre belum selesai dengan kata-katanya. Dia


melanjutkan, "waktu kecil, kakak gue pernah bilang

148
kalau gue bukan anak kandung Mama-Papa melainkan
wewe gombel yang menitipkan gue ke keluarga ini.
Suatu hari nanti, wewe gombel itu pasti bakal
mengambil gue lagi. Begonya, karna waktu itu gue
masih kecil, gue percaya si Pipiyot itu dan nangis,
mimpi buruk sampai gabisa tidur. Tahu ga apa yang
dia lakuin pas gue nangis? Dia ketawa, mentertawakan
gue. Makanya pas otak gue udah bisa memainkan
logika, gue memutuskan untuk selalu membenci dia."

Ferre berbicara panjang lebar meskipun anak itu


kurang suka bicara. Dia bahkan hanya berbicara
seadanya pada Arka, tapi sekarang malah membuka
kenangan buruknya, memberitahu lelaki itu betapa gila
si kakak perempuannya itu.

"Gue bahkan sempat berpikir kalau Natella beneran


keluar dari si Pipiyot dongeng Nirmala majalah Bobo."

Arka tertawa lagi, membuat Ferre kembali melihat ke


arahnya. "Lo ga ilfil juga sama tuh anak?" Tanya cowok
itu tidak menyangka. Ayolah, Ferre telah menceritakan
sepenggal masa kecil tragisnya yang terjadi karena
Natella sementara Arka hanya tertawa-tawa seperti itu
bukanlah apa-apa.

"Re."

"Hm?"

"Gue ga bakal ninggalin kakak lo. Gausah takut." Arka


berkata santai, seperti ketenangan yang selalu menjadi
ciri khasnya.

"Bang, maksud gu..."

149
Arka menepuk pelan bahu cowok tinggi di sebelahnya
itu. "Lo pasti segitu sayangnya sama kakak lo." Balas
Arka kemudian, membuat Ferre langsung membalas.

"amit-amit."

Tapi Ferre masih kecil, setidaknya lebih kecil dari dia.


Dan mungkin saja, begini cara Ferre menungkapkan
sayangnya ke kakak perempuannya.

Karena jujur saja, Arka bahkan pernah menyakiti orang


yang ia sayang. Meskipun pada akhirnya dia sangat
menyesali itu.

***

"Ih cakep banget sih cowoknya aku." Natella bekata


gemas setelah Arka mengenakan pakaian formalnya.
Dia ganteng, kapan sih cowok ini tidak ganteng?
Apalagi di mata Natella. Cewek itu bahkan sempat
mencubit pipi Arka saking gemasnya, tapi tangannya
malah dihempas oleh cowok itu.

"Sakit oy." Ucapnya protes. Mereka tengah berada di


dalam mobil dan Arka baru saja akan melajukan
mobilnya.

"Bete ya aku lama?"

Arka mengangguk tanpa berpikir. Natella memang


lama, sangat-amat lama yang berakhir mereka pasti
terlambat karena keadaan Jakarta yang pasti macet.

"Aku udah buru-buru tahu, lihat aja lipstik aku ngga


cocok gini."

150
"..." Arka tidak menjawab.

"Enakkan aku ganti lipstiknya warna apa?" tanya


cewek itu kemudian. Dia tengah bercermin pada kaca
yang ada diatas kepalanya.

"Apa aja asal jangan merah." Balas cowok itu cuek.


Tumben dijawab. Tapi Arka memang kayaknya sangat
tidak suka Natella pakai lipstik merah. Cowok itu
bahkan dulu pernah menghapus pewarna bibir itu
pakai tisu ketika Natella menggunakan warna merah
terang.

"Kalau warna merah kamu jadi napsu pengen cium


ya?"

Arka menggeleng, "ngga, jadi mirip tante girang."


jawabnya enteng.

Natella langsung cemberut, dia bahkan sempat


berdecak sebal.

"gitu doang marah."

Natella menggelengkan kepalanya, "ngga marah. Kamu


udah nunggu aku lama. Jadi aku ga akan marah sama
kamu hari ini. Aku janji." balas cewek itu kemudian.

Tapi Arka berani bertaruh kalau Natella pasti marah


setelah dia menyampaikan apa yang ingin ia
sampaikan.

Cowok itu menunggu beberapa saat sampai akhirnya


dia merasa mood Natella terlihat baikkan dari
sebelumnya, mau tidak mau harus lelaki itu
sampaikan.

151
"Nat...ada yang mau aku omongin." Ucap Arka tiba-
tiba. Natella yang tadinya tengah merapikan bulu mata
palsunya memberikan gumaman membalas ucapan
Arka.

"Aku nggak bisa ikut nonton Coldplay di SG. Kajur


minta temenin konferensi di hari yang sama."

"Ka, jangan bercanda, itu dua minggu lagi." Natella


menjawab dengan suaranya yang pelan, dia bahkan
menatap speechless ke arah Arka. Benar-benar tidak
suka dengan ucapan Arka yang terlalu to-the-point
baginya. Pantas dua minggu terakhir Arka selalu
berbuat baik kepadanya. Itu mungkin karena dia harus
membayarnya dengan ini.

"Pak Herry maksa, Nat. Aku udah coba nolak." Balas


cowok itu lagi.

"Tapi, kita udah ngerencanain dari bulan November.


Udah beli tiket pesawat dan booking hotel!" Natella
mengingatkan dengan nada tingginya yang
menunjukkan kalau dia kesal bukan main.

"Aku juga pengennya ikut kamu tapi..."

"Bohong, kamu ngga mungkin nerima tawaran pak


Herry kalau maunya ikut aku."

"Nat, dari awal aku kan udah bilang kalau aku ngga
janji." Ucap Arka lagi.

Natella terdiam. Dia mau nangis sebenarnya


mendengar ucapan Arka yang terkesan begitu santai
sementara dia ingin terjun saja ke jurang mendengar
ini. Arka memang kebisaan memprioritaskan apapun

152
selain dirinya, ini adalah hal yang entah ke berapa
sekian kali. Natella seharusnya tidak merasa sesakit
ini.

Tapi, dia masih sakit. Dia sudah membayangkan


liburan yang sempurna dengan Arka. Sayangnya,
cowok itu membatalkan semudah ini. Kalau saja dia
tidak ingat sudah memasang make up diwajahnya, dia
pasti tidak akan menahan tangisnya seperti sekarang.
Make up yang ia gunakan waterproof sebetulnya, tapi
tetap saja akan mengurangkan ke-badaiannya kalau
dia mengeluarkan air mata.

"Yaudah, terserah." jawabnya jutek. Dia bahkan


memalingkan wajah ke arah jendela, menghindari Arka
sepenuhnya. "Sekalian aja tiketnya aku kasih ke
Yudha."

Bukannya menentang seperti yang diharapkan Natella,


cowok itu membalas santai, "hak kamu mau diapain
aja." membuat darah Natella semakin mendidih.

Kayaknya Arka memang bakalan biasa saja kalau


Natella selingkuh dengan Yudha ataupun yang lain.

***

Arka sudah menghancurkan harinya karena


pemberitahuan cowok itu yang cukup seenaknya dalam
memutuskan sesuatu. Natella berniat menampakkan
wajah cerah kepada siapapun yang hadir di acara ini,
supaya anak-anak FK atau siapapun yang sempat
memberikan penilain negatif kepadanya berubah
pikiran. Sayangnya, auranya malah semakin negatif.

153
Dia berjalan menjauhi Arka, sudah terpisah dengan
cowoknya itu dari memasuki pintu. Tapi Natella yakin
Arka tidak akan repot-repot mencarinya, apalagi ini
acara yang rata-rata dihadiri oleh orang-orang yang ia
kenal. Tapi Natella juga mengenal beberapa orang yang
daritadi menanyakan Natella pergi dengan siapa karena
tidak ada siapa-siapa di sebelah cewek itu, dan karena
ditawari, dengan senang hati Natella mengekori teman
SMPnya yang pergi dengan pacarnya.

Namun, Natella tidak betah. Dia berpamitan dengan


mereka, berjalan ke arah sudut yang sepi dan
memainkan handphone. Hingga seseorang menyentuh
bahunya dan membuatnya berbalik. Itu Arka.

"Apa?" tanyanya jutek.

"Nih makan, belom makan kan daritadi?" cowok itu


menyerahkan semangkok bakso yang ia bawa untuk
Natella.

Natella mengambil mangkok dari plastik itu tanpa ragu.


Jujur saja, dia memang kelaparan. Tapi terlalu banyak
orang disekitar tempat-tempat makanan. Dan tepat
sekali Arka memilih bakso, karena kalau sate padang,
meskipun Natella sangat menyukainya, dia tidak
mungkin makan di tempat seperti ini.

"Kamu nggak makan?" tanyanya pada Arka.

Cowok itu menggeleng, "udah kenyang."

"Aku masih marah ya." Cewek itu mempertegas setelah


mengabiskan setengah, baru sadar kalau Arka telah
berbuat baik kepadanya.

154
Bukannya menjawab, Arka yang berdiri di sebelahnya
itu malah menyerahkan botol air mineral yang ia
pegang, sudah dibukakan dan diberi pipet. Natella
mengambilnya, memang haus. Menyadari beberapa
orang memperhatikan mereka, Natella kemudian
mengarahkan sesendok daging berbentuk bulat itu ke
mulut Arka.

"Udah, makan aja." Ucapnya memaksa. Arka mau tidak


mau akhirnya menurut, membuka mulutnya dan
memakan yang diberi oleh Natella.

"Aku masih marah sama kamu." dia kembali


memberitahu cowok itu, yang cuma didengarkan saja
oleh cowok itu. Well, Arka hapal betul bagaimana
Natella. Jarang sekali cewek ini sesuai dengan
perkataannya, padahal baru beberapa menit yang lalu
dia bak berjanji tidak akan marah pada Arka, atau
setidak-tidaknya hari ini. Tapi lihat apa yang akhirnya
dia lakukan? Menjauh dari cowok itu dan mempertegas
kalau dia marah.

"You promise you won't be mad." Arka mengingatkan.

"Iya, tadi kan aku gatau kalau kamu akan kasih kabar
seburuk ini.

"It's not even my choice."

Natella sontak menggeleng tak setuju, "jelas-jelas


pilihan kamu."

"Nat..."

"Apa?"

155
"You better not promise me anything if you cant hold your
promise."

Natella memutar bola matanya malas, kenapa jadi ini


orang yang kelihatan kesal dan marah? Ya, wajar dong
dia tadi ngomong kalau dia nggak akan marah karena
dia gatau Arka bakal ngasih tau dia keputusan dia
yang rese itu.

"Gausah ngajak ribut cuma karena masalah sepele."

"Kamu yang marah cuma karena masalah sepele." Arka


membalas, dia tidak mau diam saja kali ini, seperti
ingin memberitahu Natella kalau cewek ini yang salah,
bukan dia.

"Ngebatalin hal yang udah direncanai lama itu sama


sekali ngga sepele!"

"Sikon ga mendukung, Nat." balasnya mempertegas.

"Bilang aja lo males pergi sama gue." bantah Natella


jutek, dia bahkan melipat kedua tangannya di depan
dada.

Arka tidak membalas lagi, dia hanya menghembuskan


napas panjangnya kemudian menatap ke arah lain
selain Natella, mendiaminya seperti biasa.

***

Mereka kembali bertengkar karena kejadian di


pernikahan senior Arka tersebut. Sudah dua hari
berlalu, Arka masih mengabaikan Natella juga.
Mungkin karena cowok itu juga lagi sibuk-sibuknya
minggu ini.

156
Sebenarnya, Natella punya alasan lebih masuk akal
kenapa dia marah pada Arka daripada cowok itu.
Semua orang menuduhnya yang kekanak-kanakan,
padahal Arka jauh lebih kekanakan. Cowok itu suka
merajuk tak jelas karena hal-hal yang bahkan tidak
penting.

Natella bahkan kerap kali bangga dan memuji dirinya


sendiri karena dia sering menjadi orang yang meminta
maaf lebih dulu. Kata kutipan yang ia baca, orang
pertama yang meminta maaf adalah yang paling berani.

Dan dia memang berani.

Setelah banyak sekali pesan yang ia kirimkan pada


Arka, cewek itu mendapati nomor Arka sedang
menelponnya. Dia tentu langsung cewek yang lagi
tidur-tiduran di kamarnya itu tanpa berpikir.

"Damai kan kita?" tanyanya langsung.

"Siapa yang ribut?" jawaban santai dari sebrang tentu


membuat Natella menghembuskan helaan napas kesal.
"kamu siap-siap deh, bentar lagi aku jemput."

"Mau kemana?" tanya Natella bingung. Ini orang


langsung main suruh-suruh saja, belum tentu Natella
setuju. Padahal, kalau Natella yang mengajak Arka,
prosesnya pasti panjang dimulai dengan pertanyaan
apakah cowok itu sibuk atau tidak.

"Richard mau ketemu."

"Richard kakak kamu?" tanya Natella memastikan, dia


tiba-tiba deg-degan sekaligus panik mendengar nama
itu ingin menemuinya

157
"Yoi."

"Kapan?"

"Sekarang."

"KOK MENDADAK?" Natella sontak berteriak, entah apa


kabar telinga Arka yang tengah menelponnya. Natella
sedikit berharap cowok itu tidak tengah mengenakan
headset melainkan menjawab telepon dengan speaker.
"kamu juga jempat-jemput aja, aku belum tentu
setuju."

"Jadi gamau?" Arka menanyakan itu kemudian.

Masalahnya, tidak mungkin Natella tidak mau. Dia


bahkan dari dulu sekali ingin ketemu kakak kandung
cowoknya itu. Natella bahkan sempat berpikir kalau
Arka tidak akan pernah sudi memperkenalkan Natella
kepada keluarganya, cowok ini kan selalu tertutup
mengenai kehidupan pribadinya dari Natella. Meskipun
Natella pernah sekali mengobrol dengan Ibu lelaki itu
lewat Video Call.

"Ka, jangan sekarang please."

"Richard balik ke New York entar malem." Jawab cowok


itu lagi. "Mau ga?"

"Harus sekarang ya?" tanya Natella lemas.

"Iya."

"Tapi aku habis Dermaroller, muka aku bahkan masih


merah-merah kayak tomat busuk. Tega banget kalau
harus ketemu kakak kamu sekarang."

158
Iya, Natella habis melakukan Dermaroller tadi pagi. Dia
tidak merencanakan itu sebetulnya, tapi karena Arka
mencuekinya dan tidak ada kerjaan karena hari ini jam
kosong. Alhasil dia pergi ke salah satu klinik milik
tante Sarah. Melakukan perawatan Dermaroller yang
lebih menyakitkan daripada facial. Iya, gimana ga sakit
saat kumpulan jarum kecil-kecil digosok-gosok ke
muka? Dia memang sempat di anestesi, tapi tetap saja
terasa ngilu.
"Ga sakit?" tanya Arka kemudian, dia mengerti
Dermaroller dari namanya dan Natella pernah
membahas prosesnya yang mengerikan kepada Arka.

"Lebih sakit dicuekin kamu."

Terdengar suara decakkan cowok itu dari sebrang.

"Aku udah dekat rumah kamu." Arka memberitahunya,


membuat Natella sadar kalau kepanikannya semakin
menjadi.

"KA, KAMU SERIUS NIH?" tanya cewek itu lagi,


berharap banyak Arka tengah mempermainkannya.

Tapi cowoknya itu bukan tipikal yang suka bercanda.


Apabila Arka mengatakan ingin menemui Natella
dengan Richard, hal itulah yang pasti akan terjadi.

Bagaimana kalau setelah Richard melihatnya, kakak


cowok itu malah tidak setuju dengan Natella karena dia
jelek?

Ehm, gimana ya. Natella sadar dan mengakui kalau


sifatnya memang jelek. Seengak-nggaknya mukanya
lumayan. Tapi saat ini, keadaan mukanya sedang jelek-

159
jeleknya. Tidak lucu kan kalau dia tidak punya salah
satu yang seengakknya terlihat cantik?[]

***

160
Chapter 11. Another Secret
Natella membuka pintu mobil putih yang terparkir di
depan pagar, dia masuk dengan helaan napas kesal
dan keluhan.

"Kenapa ngga bilang dari kemarin sih Ka?" Masih


keluhan yang sama dengan yang ia ungkapkan di
telepon. Arka memperhatikan cewek yang baru masuk
itu sebentar, setengah mukanya ditutupi masker
sementara rambutnya terlihat lurus bergelombang di
bawah hasil catokan.

Sore ini, Natella memakai dress berkera sabrina


berwarna biru langit, panjangnya hanya setengah paha,
dipadukan dengan tas selempang berwarna putih,
berikut sepatu berwarna senada dengan salah satu tas
terbaiknya itu.

"Nggak sopan banget kan kalau aku ketemu sama


kakak kamu pake masker segala."

"Nat." panggilnya. Cowok yang mengenakan kemeja


rapi itu belum melajukan mobilnya, masih memandang
ke arah Natella yang sejak tadi buang muka. "Sini aku
lihat." Arka mencondongkan tubuh jangkungnya
mendekat ke arah Natella. Tanpa persetujuan cewek
itu, Arka langsung menurunkan maskernya, sehingga
wajah merah-merah Natella yang habis kena 'vampire
masker' kelihatan. Benar-benar tanpa sentuhan bedak
ataupun make-up apapun karena kulitnya sedang
dalam keadaan sensitif.

"KAMU BELAJAR GA SOPAN DARI SIAPA SIH?" Natella


berteriak kesal, habis Arka dengan kurang ajarnya

161
melepaskan masker yang tadinya menambah sedikit
kepercayaan diri cewek itu yang sekarang menghilang
sepenuhnya. Natella menanggalkan maskernya dengan
pasrah, muka jeleknya yang sempat diejek habis-
habisan oleh Ferre psudah kepalang dilihat oleh
cowoknya itu.

"Ga jelek kok." komentar cowok itu enteng.

"Tapi ga cantik." Balasnya sewot. "Sifat aku itu udah ga


cantik, masa muka aku ga cantik juga?" tanyanya
kesal.

Arka tertawa kemudian, memperlihatkan deretan gigi


putihnya yang rapi. Membuat Natella makin kesal
karena cowok ini masih sempat-sempatnya
mentertawakan penderitaannya.

"Kamu tuh emang yang paling jahat ya." Natella


mengomel lagi. Memang bukan Natella kalau dia tidak
mengomel tiap ketemu Arka, apalagi kalau sudah
berhari-hari. "Kamu juga tumben-tumbenan mau
ngajakin aku ketemu Mas Richard. Pasti karena merasa
bersalah gabisa nemenin nonton coldplay kan?" tembak
cewek itu lagi, mengungkapkan isi pikirannya.

Kalau sama Arka, Natella memang selalu berani


mengutarakan langsung apapun yang ia pikirkan.
Lagipula tebakkannya itu berdasar, yang kayak Arka
mana mau 'terbuka' cuma-cuma sama dia. Meskipun
kemarin Arka berakhir mencuekinya karena mereka
berakhir ribut, Natella yakin jika cowok ini tetap
merasa bersalah tidak jadi menemaninya nonton
coldplay. Makanya Arka membayarnya dengan ini.

162
She can guess about Arkasa enough. Bukankah Natella
sering bilang jika Arka itu 'orang baik'?

"Aku udah ga marah, udah biasa pergi sendirian juga.


Jadi nyantai aja." Natella melanjutkan, dia tidak mau
membuat Arka terus-terusan merasa bersalah ataupun
memikirkan ini. Cewek itu kemudian melirik ke arah
Arka karena mobil itu belum juga di jalankan oleh yang
duduk di bangku kemudi.

"Gak usah pergi ke Singapore, Nat."

"Ntar aku pikir-pikir lagi." balas Natella malas-malasan.


"Kok gak jalan?" tanyanya bingung.,

"Kamu belum pake safety belt." Balas Arka pelan.

Natella memutar bola matanya malas, dia kemudian


memasang safety belt dibadannya dengan tidak iklas.
Naik mobil sama Arka sebenarnya tidak perlu pakai
safety belt, karena cowok itu biasanya mengemudi
dengan pelan dan hati-hati sekali.

"Kenapa masih ga jalan?" tanya cewek itu bingung.


Arka malah melihat ke dia. "Kenapa?" tanya cewek itu
lagi karena pertanyaannya malah diabaikan.

"Itu bulu mata kamu baru ya?" Arka memberikannya


respon, dijawab anggukan singkat oleh Natella.

"Iya, eyelashes extentionnya baru diperbaruin kemarin."


Jawab cewek itu membenarkan. Dia sudah mulai
menyambung bulu mata sejak semester dua, bukan
pemandangan baru untuk Arka, seharusnya. "Kenapa?"

163
Well, Natella terus menanyakan 'kenapa' karena Arka
melihat terus ke arah dia.

"Kamu kenapa natap aku kayak gitu sih, aku kan jadi
salting." Ucap Natella jujur, jantungnya bahkan
berdetak tidak karuan. Arka tidak mengburis, dia
malah mendekatkan wajahnya ke wajah Natella,
matanya masih menatap mata Natella lekat-lekat.
Tangan kirinya ia letakkan di pipi cewek itu,
kemudian...

"Ini bulu mata kamu ada yang jatuh."

Natella yang tadinya menahan napas menghembuskan


napas penuh rasa frustasinya.

"Sialan, aku pikir mau cium!" Ucap Natella memprotes.

Arka meletakkan bulu mata sambungan Natella yang


lepas ke tangan cewek itu. "cuma satu?" tanya Natella
melihat yang diletakkan Arka di telapak tangannya.

"Iya, cuma satu." Cowok itu membalas enteng.

"Padahal aku iklas kok bulu matanya rontok semua


biar kamu makin lama natap akunya."

Arka hanya mendengus mendengar gombalan Natella


yang sudah biasa ia dapati. Tidak lama dari itu, dia
mulai melajukan mobilnya.

Tersenyum diam-diam ketika Natella tidak melihat ke


arahnya.

***

164
Natella mendengar nama Richard pertama kali ketika
dia menguping pembicaraan Arka di telepon. Cowoknya
itu rata-rata memberikan respon berupa gumaman, ya
ataupun tidak. Memang tipikal Arka.

Selain Richard, Natella juga tahu siapa orang tua Arka


dan bagaimana mereka. Ibu cowok itu yang biasa Arka
panggil Mami kerap-kali berkomunikasi dengan anak
bungsungnya menggunakan Video Call, Natella bahkan
pernah beberapa kali mengobrol dengan perempuan
yang kelihatan masih muda dan cantik sekali itu.
Sumpah, Natella tidak melebih-lebihkan, Maminya
Arka memang benar-benar cantik, bahkan bisa
mengalahkan aura-aura model Victoria Secret.

Ya, anaknya saja kayak pangeran.

Dulu-dulu, karena Arka begitu tertutup tentang


keluarganya, Natella sempat berspekulasi kalau
keluarga cowok itu tidak harmonis. Tapi sepertinya
bukan begitu, Natella saja sering mendengar Mami dan
Papi cowok itu berlibur berdua dari satu negara ke
negara lain. Kalau soalnya Papinya, Arka memang tidak
sedekat dengan Maminya, tapi Natella dapat
menyimpulkan kalau ayah cowoknya itu sangat
menyayangi anak bungsunya meskipun sempat tidak
merestui pilihan Arka untuk menjadi dokter.

Seharusnya, tidak ada yang perlu disembunyikan dari


keluarganya. Jadi, apa alasan Arka tetap tertutup
mengenai itu selain karena Natella memang tidak
penting untuk diberitahu mengenai keluarganya?

"Ka, aku kok makin deg-deg-an ya." Natella


mengungkapkan isi pikirannya di tengah macet,

165
beberapa saat terakhir dia memang kerap kali
menunjukkan pergerakkan gelisa.

"Richard ga gigit." Jawab cowok itu santai. "Kamu tuh


yang suka gigit."

Bibir Natella mengerucut, Arka masih sempat


mengingatkan Natella pada kebisaan buruknya. Iya, dia
memang suka menggigit cowok itu kalau lagi gemas-
gemasnya.

"Aku serius tau, Ka." Cewek itu membalas gelisa.


"Gimana kalau Mas Richard gasuka aku?"

"Yaudah."

"Ih kok yaudah?"

"Terus, gimana?" Tanya Arka mengembalikan


semuanya pada Natella.

"Apa aku pulang aja? Aku kayaknya belum siap."

"Siap-siap buat apa sih, Nat? Ini cuma mau ketemu


Richard."

"Karena mau ketemu Richard makanya aku harus siap-


siap." Balas Natella nempertegas. "Aku beneran takut
dia gasuka sama aku."

"Dia gasuka sama kamu juga apa masalahnya deh?"

Natella sontak menatap Arka kesal. Ini anak gapeka


atau bego sih masalah beginian?

166
"Aku takut banget, Ka." Nada suara Natella memelan.
Arka kayaknya tidak mengerti apa yang terjadi dalam
batinnya. Meskipun Natella mengungkapkan pun,
sepertinya cowok itu juga tidak akan mengerti.

Dia takut apabila Richard tidak menyukainya,


kemudian meminta Arka untuk meninggalkannya.

Dia takut apabila Richard tidak menyukainya,


kemudian mendukung Arka buat menjauhi cewek itu.

Dia takut apabila Richard tidak menyukainya,


kemudian menyuruh Arka mencari perempuan lain
yang lebih baik.

Arka melirik sekilas ke arah Natella, dia menghela


napas berat, "Richard pasti suka sama kamu." Ucapnya
menenangkan. "Kalaupun Richard gasuka sama
kamu..." Arka menjeda kalimatnya sebentar. "aku tetap
suka kamu."

Natella sontak tersenyum mendengar itu. Dia memeluk


cowok yang lagi menyetir itu kemudian, tapi tidak bisa
erat karena terhalang seatbelt yang mengganggu. Dan
seperti dugaan Natella, Arka pasti protes dengan
gerakkannya yang impulsif dan bisa membahayakan
mereka berdua karena Arka lagi menyetir.

Orang-orang cenderung mengatakan kebohongan indah


untuk membuat orang lain merasa lebih baik, Natella
tahu itu, dan Natella benar-benar merasa lebih baik.

***

Awalnya, Natella berpikir kalau Arka akan


membawanya ke restoran yang terkenal mewah di

167
Pacific Place, tapi yang dia naiki sekarang merupakan
lift menuju Ritz Carlton.

"Kamu kok bawa aku ke hotel?" Tanya Natella


membuka mulutnya, tidak bisa diam.

"Kan mau ketemu Richard." Arka mengingatkan agenda


awal alasan mereka bisa pergi berdua sore ini setelah
sediaman dua hari terakhir.

"Beneran mau ketemu Richard, kan? Bukan jual aku


ke om-om?" tanya Natella main-main.

"Emang laku?" Arka membalas masa bodoh.

Natella mengeluarkan tawa sarkastiknya, dia mecubit


lengan Arka dengan tidak berperasaan kemudian.
"udah bisa melucu ya sekarang."

Sambil menunggu lift, Natella membuka mulutnya lagi.


"Ka, kemaren kan aku ke cinemaxx, terus masa
disebelah aku, tepatnya diujung, ada yang mesum.
Mana lagi sepi-sepinya lagi" Natella mulai menceritakan
hal-hal random yang ia lalui dua hari terakhir, kayak
apapun yang dialami tidak bisa dia sembunyikan
sendirian dan harus dia bagikan untuk Arka.
"Mesumnya juga ga nyantai, enak kalau cuma ciuman
doang kan ya. Lah ini, si cowoknya sampai nurunin
celana terus ceweknya nunduk-nunduk gitu."

Arka diam saja, dia memperhatikan Natella. Tangannya


ia lipat di depan dada, mendengarkan apapun yang
keluar dari bibir ceweknya itu yang tampak excited.

"Parahnya mereka masih pakai seragam sekolah."


Lanjut Natella mulai heboh, padahal kayaknya cuma

168
dia yang merasa seru sendiri dengan cerita tidak
pentingnya. "Karena aku sebel, Aku hidupin kan lampu
flash hp aku pura-pura kejatuhan sepatu, tapi arah
lampunya ke arah mereka." Cewek itu tertawa sendiri
kemudian. "Terus sumpah ngeliat ekspresi panik nya
mereka tuh lucu banget. Kayak bencong lagi mangkal
terus ketahuan satpol PP."

Arka mengeluarkan senyum tipisnya, cerita Natella


memang lucu dan cewek ini juga lucu. "suka banget
deh gangguin orang." Komentar cowok itu santai. Ini
tuh bukan kali pertama Natella mengganggu pasangan-
pasangan yang suka mesum di bioskop, karena markas
andalan cewke itu memang bioskop, dia bahkan pernah
disindir dan diajak ribut beneran. Tapi tidak kapok-
kapok juga.

"Mereka kali yang gangguin aku. Bioskop kan tempat


nonton."

"Iya mereka yang ganggu kamu."

"Emang."

"Tapi jangan gitu lagi, ya? Itu kan lagi sepi. Nanti kalau
mereka marah dan sampe ngapa-ngapain kamu,
jadinya ga lucu." Arka mengingatkan. Natella tentu
tahu motto hidup Arka yang seperti ini, jauhilah
masalah selagi bisa.

Arka memang tipikal orang yang sebisa mungkin


menghindari masalah, sementara Natella cenderung
sebaliknya. Kemudian pikiran Natella tiba-tiba teringat
sesuatu.

"Ka, kira-kira Brian dendam sama kamu ga sih?"

169
Arka membasahi bibirnya sebentar sebelum menjawab,
"ga bakal." Ucapnya yakin.

"Yakin banget entar malah di keroyok loh." Natella


malah menakut-nakuti. Tapi dia malah takut sendiri,
"Pokoknya jangan sampai, amit-amit. Jangan sampe
kamu kenapa-kenapa lagi."

Pintu lift kemudian terbuka, mereka tiba di lantai 25,


membuat Natella tidak dapat menahan mulutnya
untuk tidak bersuara.

"Ka...jangan bilang Presidential Room?"

***

Natella tidak mengerti bagaimana bisa Arka punya


kakak cowok kayak Alvaro Richard Hadinata. Baiklah,
cowok itu sedang duduk di kursi meja makan yang
disebelahnya berdiri dua orang butler, Natella dan Arka
juga duduk di meja makan yang sama. Pakaian yang
dikenakan Richard benar-benar bermerk upper class
dari atas sampai sepatu, meskipun itu hanya sweater
dan celana dasar, tapi bergaul sama tante Sarah, Meira
ataupun Dennisa tentu membuat Natella tahu merek
dan kisaran harga.

Terlepas itu semua, dari kamar yang ia inapi sekarang


saja susah kelihatan betapa banyaknya uang cowok
itu. It's presidential room ritz carlton, Natella bahkan
pikir-pikir untuk menginap di kamar paling biasa
karena itu sudah mahal, apalagi Presidential Room-
nya? Atau bisa jadi kamar ini dia dapati dari sponsor.
Atau mungkin juga dia punya saham di Mariott. Natella
tidak mau menebak salah satu karena dia bisa jadi
terlihat jauh lebih norak dari seharusnya.

170
"Aku dijual beneran ke Mas Richard gak nolak loh ka,"
bisik cewek itu asal ke telinga Arka. Yang tentu saja
tidak perlu di balas oleh cowok itu dengan perkataan.

Tapi, yang paling tidak dimengerti Natella, Arka malah


sering kelihatan kayak orang susah dan kekurangan
duit. Tiap kali Arka mau membeli sesuatu seperti PS4
ataupun alat-alat game lain, dia pasti harus menabung
dulu, kalaupun duitnya belum cukup, pasti ujung-
ujungnya Natella yang menambahkan beberapa persen.
Atau pas beli buku saja kadang dia pakai duit Natella.
Meskipun ujung-ujungnya berakhir impas karena Arka
juga sering memberikan Natella barang yang cewek itu
inginkan.

Mungkin karena Richard itu pengusaha sedangkan


Arka hanyalah mahasiswa dengan jurusan yang tidak
direstui bapaknya kali, ya?

Jauh dari dugaan Natella, Richard malah ramah,


sangat malah, dia daritadi terus tersenyum dan
berusaha membuat Natella nyaman. Auranya juga
beribawa, mana ganteng banget lagi. Ini mah om-om
inceran Meira ataupun Dennisa tidak ada apa-apanya
dibandingkan Richard. Richard benar-benar berbeda
dengan cowoknya itu dari segi sifat, meskipun dari segi
fisik mereka bak pinang di belah dua, benar-benar
mirip! Bedanya, Richard beraura lebih matang.

"Sean pasti sering merepotin kamu ya, Nat. Dia


memang manja, namanya juga anak bungsu."

Natella menggeleng, "Ngga kok, Mas. Malah aku yang


sering ngerepotin Sean." Jawab cewek itu hati-hai.
Lagian lidahnya masih terasa kaku untuk memanggil

171
Arka dengan sebutan 'Sean', nama panggilan rumah
cowoknya itu.

"Sean sering bahas kamu loh." Richard berbicara


sembari memotong stik dagingnya hati-hati, persis tata
cara makan sesuai table manner dan Netella benar-
benar memperhatikan detail cowok yang menurutnya
sangat menarik ini. Saking serunya memperhatikan
Richard, Natella daritadi hanya minum dan tidak
memakan apapun. "Tiap kali diajak jalan-jalan, he said
that he did not want to leave you alone." Ucap cowok itu
lagi, membuat Natella sontak melirik ke arah Arka.

Mas Richard bisa aja mengarang ceritanya.

Makanya Natella malah berakhir mengeluarkan


tawanya yang terkesan garing. Natella bersyukur,
sekaligus merasa bahagia karena Richard kelihatan
suka-suka saja kepadanya, cowok itu bahkn seperti
tidak peduli dengan wajah Natella yang dalam keadaan
jelek, dia tetap memandang Natella seperti Natella
merupakan perempuan cantik.

Richard terus bercerita memgenai 'Sean', betapa manja


dan keras kepalanya adik bungsunya itu. Menceritakan
bagaimana dia waktu kecil ataupun bagaimana dia
memutuskan untuk hidup sendiri di Indonesia.
Sementara Natella dengan senang hati menjadi
pendengar yang baik. Dia suka mendengar apapun
mengenai Arka, apalagi ini keluar langsung dari bibir
kakak kandung cowok kesayangannya itu.

Well, Arka dekat dengan nyaris semua keluarga Natella,


mulai dari Papa sampai Oma, sudah berapa banyak hal
mengenai Natella yang Arka dengar dari mereka?
Sedangkan Natella baru pertama kali ketemu kakak

172
cowok itu. Dan dia sudah merasa bahagia bukan main.
Meskipun Natella tetap merasa bahwa Richard juga
sama tertutupnya dengan Arka untuk beberapa hal,
wajar mungkin karena mereka baru bertemu sekali.

"By the way, Sean. I met Syailendra at Tullamarine. He


asked about you and wanna meet you soon." Mas
Richard bersuara lagi.

Syailendra? Siapa Syailendra? Soalnya, setelah Richard


mengatakan itu, Natella dapat merasakan aura Arka
yang duduk disebelahnya menjadi tidak bersahabat.
Rahangnya mengeras kayak marah. Secepat dan
sedrastis itu.

Oke, daritadi Arka memang kerap-kali memotong


Richard ataupun menyangkal kata-kata yang
diucapkan pria itu tentangnya kepada Natella, tapi
mukanya tetap biasa saja, santai dan tenang.

Sayangnya, ketika Richard menyebut nama Syailendra,


Arka tidak lagi terlihat setenang biasanya, dia bahkan
tidak mampu memasang poker facenya.

"Syailendra siapa mas?" Tanya Natella penasaran, tentu


dia menjadi sangat penasaran.

"Sahabatnya Sean waktu di Melbourne."

"Bukan." Arka membalas, suaranya terdengar seperti


desisan dan matanya terus melihat ke arah piring. "He
was not my friend. Not even." lanjut cowok itu
mempertegas.

Natella masih memperhatikan Arka, kadang Natella


yakin kalau dia cukup mengetahui mengenai Arka, dia

173
tahu kapan cowok itu marah, sedih, atau dalam
keadaan mood yang buruk meskipun ekspresinnya
gitu-gitu saja. Dan mungkin saat ini tengah
menggambarkan ketiganya. Sementara Richard tetap
terlihat biasa saja memakan Steaknya.

"Biasa, ribut gara-gara cewek." jelasnya enteng.

Dan tangan Arka mengepal, dia kemudian berdiri dan


beranjak meninggalkan ruangan Presidential Room
yang lengkap dan mewah itu. Natella kebingungan, dia
benar-benar tidak terpikir harus melakukan apa untuk
beberapa saat.

Kemudian, setelah sadar, dia akhirnya ikut berdiri,


berpamitan kepada Richard sementara cowok yang
lebih dewasa dari mereka itu dengan tersenyum
menjawab,

"He is still childish, sometimes. I am sorry for Sean's


behaviour."

Natella tentu menggeleng, justru dia yang harus minta


maaf karena harus pergi tiba-tiba. Rupanya, masih
banyak, atau bahkan terlalu banyak hal mengenai Arka
yang memang tidak pernah dia ketahui.

Selama hampir 3 tahun mengenal Arka, dia tidak


pernah mendengar nama Syailendra sama sekali,
jejaknya pun tidak meskipun Natella termasuk orang
yang suka menguntit hal-hal tentang Arka.

Siapa dia sampai membuat Arka kelihatan menjadi


begitu sensitif?

Sahabatnya? Tapi kenapa Natella tidak pernah tahu?

174
Musuhnya? Emang yang kayak Arka bisa punya
musuh?

Ribut karena cewek? Siapa ceweknya?

Kenapa Natella sampai tidak tahu apa-apa begini?

"Arkasa!" Natella memanggil cowok yang sudah masuk


ke dalam pintu lift yang nyaris tertutup itu, tapi untung
Arka membukanya lagi, meletakkan tangannya di sela
lift, menunggu Natella sampai ikut masuk.

Cewek itu melirik sebentar ke arah cowok yang berdiri


di sebelahnya. Dia ingin menanyakan mengenai hal-hal
yang bergelantungan di benaknya sejak Richard
menyebutkan nama Syailendra dan Arka tampak tidak
senang mendengar itu.

Tapi akhirnya, Natella malah memilih diam,


menyimpan segala keheranannya dalam hati, tanpa
diungkapkan. Hingga lift itu tertuju pada lantai
basement tempat mobil terparkir, tidak satupun dari
mereka yang membuka mulut, Natella bahkan seperti
kehilangan sisi cerewetnya.

Sebenarnya, kita tidak bisa benar-benar tahu tentang


orang lain selama orang itu masih memasang dinding
pembatas.

Benar ngga, tuh?

Well, kadang kita merasa tahu semua tentang orang


lain, merasa dekat, merasa mengenal dengan baik. Tapi
kadang, tanpa kita sadari, mereka memberikan batasan
yang membuat kita kerap kali mempertanyakan.

175
Gue tau 'dia' atau 'image dia'?

Natella pernah mempertanyakan, apakah dia mencintai


'Arka' atau 'Image Arka' karena siapapun bisa melihat
kalau cowok itu memberikan dinding pembatas antara
dirinya dan Natella. Dinding pembatasnya tinggi sekali,
membuat Natella kadang merasa dia tidak bisa
mencapai Arka meskipun cowok itu telah menjadi
miliknya secara teori.

Tentu diantara manusia yang satu dengan manusia


yang lain ada yang namanya privacy, sesuatu yang
tidak ingin dibagikan kepada orang lain, sesuatu yang
ingin di simpan hanya buat diri sendiri.

Sementara Natella termasuk orang yang berpemikiran


kalau privacy itu bisa dihilangkan ketika kita
mempercayakan sepenuhnya.

Contohnya, ada orang-orang tertentu yang merasa


badan mereka adalah privacy sehingga mereka menolak
untuk mengganti baju di depan orang lain, ataupun
mandi bersama meskipun satu jenis kelamin. Tapi,
orang itu bisa jadi sudi bertelanjang tanpa rasa malu di
depan orang yang dia percayai tidak akan menghakimi
tubuhnya yang tidak berbentuk ideal, atau penuh
bekas luka.

Ada juga yang menganggap masa lalu kelamnya


privacy, menutupinya rapat-rapat agar tidak
seorangpun bisa menerka. Kemudian bisa saja dia
mengungkapkan segala hal pahit yang dia alami tanpa
beban kepada orang yang ia percayai tidak akan
menghakimi kisah tragisnya.

176
Atau ada juga orang-orang yang menganggap
kehidupannya sendiri adalah privacy, hanya
memperlihatkan apa yang perlu orang-orang lihat dan
menyembunyikan sisanya. Mungkin dia ketakutan
akan dibenci ataupun dicampakkan apabila orang lain
tahu bagaimana dia sebenarnya.

Dan masih banyak atau-atau lainnya karena terlalu


banyak manusia dan kisah yang berbeda-beda.

Natella berani menyebut Arka sebagai orang yang


merahasiakan lebih dari separuh tentang hidupnya.
Dia jarang bercerita mengenai keluarganya, masa
lalunya, hal-hal yang dia takuti atau sebagainya.
Kalaupun Natella mengetahui Arka, itu pasti hasil dari
kesimpulan yang ia tangkap sendiri karena Natella
cukup sering menghabiskan waktu dengan cowok itu.

Singkatnya, Natella meyakini kalau Arka tidak


mempercayainya. Atau ini semua sesederhana karena
Arka tidak pernah mencintainya.

Pintu lift sudah terbuka, mereka berdua keluar.

"Ka, aku sayang sama kamu." Ucap Natella, memilih


mengeluarkan kalimat itu dari sekian banyak
pertanyaan-pertanyaan penting yang ia ingin tahu
jawabannya.

Seperti biasa, Arka tidak membalas. Tapi yang


dilakukan cowok itu malah menempelkan bibirnya ke
bibir Natella, mencium bibir ceweknya itu. Tangannya
ia gunakan untuk memeluk tubuh cewek itu.

Ini bukanlah kali pertama mereka ciuman. Bibir


mereka tentu pernah beberapa kali bersentuhan.

177
Tapi, tidak selama ini.

Tidak sedalam ini.

Dan tidak sepassionate ini, yang akhirnya membuat


Natella mengerti kenapa ciuman dikatakan cara
mengekspresikan cinta.

It feels good.

and she feels so secure.[]

***

178
Chapter 12. Shades of Cool
Moreno membuka pintu apartemen yang dia tempati
dengan Arka dan mendapati pintu balkon terbuka.
Lelaki jangkung itu melirik ke arah jam dinding, pukul
setengah 3 dinihari, memang terlalu pagi untuknya
pulang yang tidak dalam keadaan mabuk ataupun
menggandeng satu perempuan pun yang akan
dibawanya ke dalam kamar.

Reno berjalan ke arah balkon, berdiri di sebelah cowok


yang entah sejak kapan mengamati terangnya lampu-
lampu dari gedung-gedung tinggi di sekitar ataupun
jalanan yang mulai sepi. Yang jelas, bintang tidak
sedang kelihatan malam ini. Lelaki di sebelahnya
memakai satu earphone yang terpasang di telinga kiri
dan pakaian tipis selayaknya untuk tidur.

Well, lelaki ini adalah roomate-nya yang nyaris tidak


pernah protes tiap kali Reno membawa perempuan dan
menghasilkan suara berisik yang tentunya
mengganggu.

Setelah mengamati sebentar, Reno kemudian


mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong
celananya, mengambil satu untuk dibakar kemudian
menghirup dalam-dalam rokoknya yang terasa
menenangkan sekaligus menyenangkan.

"Gak tidur lo?" tanyanya membuka percakapan.

"Besok masuk siang." Cowok disebelahnya membalas


seadanya.

"Bilang aja lo insom, gabisa tidur."

179
Well, ada perbedaan antara sengaja untuk tidak tidur
di malam hari karena itu menyenangkan, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang yang menyebut diri mereka
nocturnal, yang lebih semangat beraktifitas di malam
hari. Sementara Insomnia merupakan penyakit dimana
penderitanya berusaha untuk tidur, tapi kesulitan atau
terus merasa terganggu. Dan itu menyiksa.

Reno menguluarkan bungkus rokoknya untuk Arka,


dan cowok itu mengambil satu, membuat Reno
tersenyum sekaligus mencibir ketika menghidupkan
pematiknya. Sayangnya, Arkasa tidak juga menghisap
ujung rokok itu, melainkan membiarkannya terbakar
dan mengusut sendiri karena angin.

"Ngabisin rokok gue aja lo.." Protes Reno kesal. Cowok


jangkung itu tahu kalau sahabatnya ini bukan
perokok, tapi bukan berarti dia tidak pernah merokok
ataupun tidak mau merokok, kan? Selain itu, Arka juga
kurang suka minum dan bersifat terlalu sopan ke
orang lain, apalagi perempuan. Jadi, dia
menyimpulkan, "You really define bad boy with good
habits," ucapnya sarkastik.

Reno menghisap rokoknya lagi, kemudian mulut


asalnya yang tidak bisa diam lanjut berbicara, "tahu
deh yang lebih suka ngisep tete Natella daripada
rokok."

Alhasil, dia mendapati tendangan pada tulang


keringnya, membuatnya memekik kesal, "anjing ya!
Ngga lo, ngga Natella sama-sama suka ngasarin gue."
keluhnya, mengingat sudah berapa kali dia kena
korban pukulan fisik.

180
Arka memutar bola matanya malas, ketenangan yang
coba dia hadapi dengan cara kayak begini dihancurkan
sepenuhnya oleh si Moreno sialan. "Kalau gak dapet
cewek, gausah ganggu gue." ucap Arka dingin. Serius,
dia lebih memilih mendengar ribut-ribut dari kamar
Reno ataupun tidak sengaja menyaksikan adegan
menjijikan itu daripada Reno ribut tidak jelas
didekatnya seperti yang pria jangkung itu lakukan
sekarang.

"Yang ada malah cewek yang gak dapetin gue malam


ini." balasnya songong.

"Cih."

"Lo dengerin apa sih, Ler." Reno mengambil paksa satu


earphone Arka untuk mencari tahu, lalu langsung
dilepasnya lagi setelah tahu, "Lana Del Rey." Dia
megomentari pelan, tentu tahu siapa pemilik suara
khas itu. "Yang suka Lana Del Rey itu elo atau orang
lain sih?" Reno menekankan kata orang lain-nya, tapi
sebisa mungkin dia mengucapkannya dengan hati-hati.

"Bacot deh, banyak tanya." Jawab Arka malas.

Reno tertawa hambar, rokoknya sudah hampir habis


dan dia matikan, menggantinya dengan yang baru. "Lo
hebat ya bisa tahan dingin begini tanpa ngerokok."

"Daripada cepet mati." Dipikir menghisap asapnya


seperti yang Arka lakukan sekarang tidak membuatnya
cepat mati?

"Menyimpan beban hidup sendirian juga bisa bikin


cepat mati." Sekali lagi, Reno mengucapkan perkataan

181
asalnya. "Tadi Natella ngeline gue." ucapnya kemudian.
"Dia nanyain Jovan."

Arka membasahi bibirnya, dia kelihatan seperti ingin


bereaksi atau mengatakan sesuatu, tapi akhirnya
cowok tinggi itu memilih untuk tetap tenang, "dia tahu
Jovan dari kakak gue." cowok itu mengucapkan kesal,
jarang-jarang dia menunjukkan kekesalan secara
terang-terangan. Dalam hati masih menyesali kenapa
dia mau-mau saja memperkenalkan Natella pada
Richard yang akhirnya malah membuat cewek itu tahu
sesuatu yang tidak perlu diketahuinya. "Lo beberin apa
aja ke cewek gue?" lanjutnya bertanya.

Dia mengangkat kedua bahunya, "Gue pura-pura


nggak kenal Jovan." Jawab Reno enteng.

"Thanks." balas Arka.

"Lo gak bisa terus-terusan diam dari Natella, Sean."


Reno berbicara lagi. Selama ini, dia terus merengek di
hadapan Arka, menumpahkan keluh kesah tentang
kehidupannya yang kacau terhadap pria dingin di
sebelahnya ini. Dan Arka sealu menjadi pendengar
yang baik, dan terkadang dia memberikan saran yang
cukup berguna untuk Reno. Mungkin, sekarang adalah
saatnya berganti posisi. "Lo tahu kan cewek lo itu
kayak gimana? Dia bakal melakukan apapun supaya
bisa memuaskan keigintahunnya."

"..."

"Gak lucu kalau dia malah tahu dari mulut orang lain
yang bisa jadi malah sangat merugikan lo." Reno
memberikan sarannya lagi. "Mumpung Natella percaya
elo."

182
"She is better not knowing anything."

Reno mendengus mendengar jawaban singkat Arka.


"Natella sering mengeluh kalau elo sama sekali gak
cinta dia. Lo cintanya sama Mentari dan Natella cuma
pelarian." Reno menjeda kalimatnya sebentar. "Dan
siapapun yang melihat mugkin berpemikiran yang
sama dengan Natella."

"..."

"Bahkan gue juga mulai berpikir begitu." Reno


menghisap rokoknya lagi, sedalam-dalamnya dan
menghembuskan asapnya di udara, membuat Arka
disebelahnya mau tidak mau ikut menghirup udara tak
sehat itu sejak tadi. "Lo cintanya sama Mentari, tapi
buat melindungi cewek itu dari Jovan ataupun musuh-
musuh lo yang lain, lo gunain Natella sebagai temeng.
Biar Mentari tetap aman."

Arka terkejut mendengar persepsi Reno, bahkan


ekspresi datarnya tidak dapat menutupi itu. "Did i look
that bad because I always remain silent?" desisnya
dingin.

Giliran Reno yang tidak memiliki kata untuk


menjawab. Dia memprediksi apa yang akan diperbuat
Arka kepadanya setelah ini. Akahkah cowok ini marah
kemudian menjauhinya? Atau bahkan memukulnya?
Atau mungkin pertemanan mereka berakhir disini?
Arka biasanya lebih suka bertindak daripada berbicara.

Of course it was too much.

Jeda beberapa saat hingga akhirnya Arkasa membuka


mulutnya lagi.

183
"Gue hanya gak mau menyakiti Natella, Ren."
Gumamnya pelan, memberitahu Reno alasannya
memilih diam.

***

"Arka tuh cakep banget ya, Nat." Dennisa memuji


cowok sahabatnya itu sekali lagi, mengamati foto-foto
di gallery handphone Natella yang rata-rata berisikan
wajah Arka yang kerap kali dia potret tanpa
persetujuan cowok itu.

"Putus sama Aldino ya lo?" Tebak Natella akhirnya,


menyimpulkan tingkah aneh Dennisa hari ini yang
tiba-tiba kegatalan dengan cowoknya.

Well, Arka memang sering menjadi korban atas


pelampiasan rasa fruatasi teman-temannya yang
sedang gacin, seperti yang diperbuat Dennisa saat ini di
dalam mobilnya. Terus membicarakan Arka padahal
cewek ini sempat memberikan putusan final kalau
Arkasa sama sekali bukan tipenya.

"Tahu aja." lanjut Dennisa santai. "Biasalah, gue


bosen."

Natella tidak habis pikir mendengar itu, "gak ngerti lagi.


Aldino kurang apa sih, Den? Dia tuh baik banget sama
lo, Jing." Natella mengingatkan sekaligus mengingat
betapa baiknya cowok yang sekarang berstatus mantan
Dennisa. Err, meskipun brengsek kan setidaknya
Aldino tetap punya sisi baik, jauh lebih baik dari Brian
paling tidak.

"Cakepan juga masih cakepan Arka. Jauh."

184
"Jangan gacinin cowok gue, tuh mas Arman aja."
ucapnya sembari mengumpani sugar daddy-nya Meira.
"Atau si Yudha sekalian. Pokoknya jangan Arka, dia
terlalu suci untuk otak lo yang kotor." Lanjutnya.
"Kakaknya Arka juga bening banget." Natella
memberitahu, tapi karna dia belum memberitahu
bagaimana Richard yang sebenarnya, Dennisa masih
tampak belum tertarik.

"Gue lagi berselera sama yang kayak Arka." jawab


Dennisa lagi. Yang paling dikesali Natella dari
percakapan ngelantur mereka, Dennisa merupakan
orang yang cenderung serius dengan kata-katanya,
tidak seperti Meira yang kebanyakan main-main.

Jadi, ketika Dennisa bilang dia berselera sama Arka,


Natella jadi kesal sendiri. Tidak ada yang betulan boleh
'mendapati' Arka selain dia, kan?

"Jangan sentuh cowok gue!"

Dennisa memilin rambut cokelatnya, "Arka rasanya


kayak gimana, Nat? Gue penasaran."

"Rasa apa?"

"Ya, rasa. Masa lo gak tahu sih? Oke deh kalau belum
pernah dicolok. Tapi kan..."

"APASIH DEN?" potong Natella kesal. Sialnya mereka


hanya berdua dalam mobil Natella, membuat Natella
tidak dapat meminta pertolongan siapapun atas
ucapan-ucapan tidak senonoh yang keluar dari bibir
Dennisa.

185
"Kalian beneran pacaran gaya anak TK atau lo belagak
polos sih, Nat?"

Natella memutar bola matanya kesal, dia baru saja


memarkirkan mobilnya di parkiran FK, mengajak
Dennisa untuk merasakan enaknya nasi goreng di
kantin ini.

"Atau si Arka beneran gay? Gue pernah merhatiin dia,


matanya gak kemana-mana bahkan pas gue pakai baju
belahan rendah."

Dan Natella hanya bisa mengeluarkan hembusan napas


beratnya. "Itu karena cowok gue bukan PK." Belanya
jutek. "Dia sukanya sama Miranda Kerr." Lanjut Natella
kemudian. "Ngeliat video Miranda Kerr pemotretan aja
dia sange kok."

Jujur saja, dia sangat tidak suka apabila orang lain,


termasuk teman-temannya memiliki pikiran kotor
tentang Arka. Bahkan Natella sudah berkali-kali
mencaci Reno tiap kali cowok jangkung itu kurang ajar
terhadap cowoknya, termasuk mempenaruhi Arka
untuk melakukan perbuatan tercelah yang kerap kali
Reno lakukan.

Her boyfriend is so innocent and doesnt deserve this


dirty world.

Dennisa ketawa, "bagus deh kalau gitu."

"Lo sama Meira kenapa jadi berubah gini sih?" tanya


Natella keheranan, seperti kehilangan teman-temannya
yang selalu mengolok sifat dingin, kaku dan cuek
cowoknya itu.

186
"Cerita Meira tentang Arka membuat gue sadar kalau
good boy is very sexy."

Natella yang masih berada dalam mobil bersama


Dennisa itu hanya bisa mengeluh dongkol sejak tadi.
Mereka belum keluar juga karena sibuk merapikan
bedak ataupun lipstick "Meira sama Arka ngapain
lagi?"

Dennisa menggeleng, "ini masih cerita yang waktu itu


kok, Nat. Tapi gue mendengar lebih panjang."

"Apa?"

"Masa kata Meira, waktu itu dia kacau dan blank


banget sampe-sampe bingung mau ngucapin
terimakasih ke Arka kayak gimana. Karena Arka ini
cowok, makanya Meira nawarin yang cowok normal
pasti mau. Bobo bareng. Tapi tau gak apa jawaban
Arka? Dia nggak mungkin tidur ama cewek lain apalagi
Meira ini temen pacarnya. Gila sih, gue belom pernah
ketemu cowok segentle itu!" Cerita Dennisa panjang.
Cewek itu bahkan tengah melihat-lihat ke langit-langit
mobil seperti sedang daydreaming, membuat Natella
memasang tampang sinis dan datarnya.

Natella agak lama memahami maksud kata Dennisa,


dahinya sampai berkerut. "KOK BISA-BISANYA MEIRA
NAWARIN COWOK GUE BOBO BARENG?" tanya
Natella tidak terima.

"Heh cun buka mata lo lebar-lebar. Itu adalah


penawaran paling masuk akal. Tapi akhirnya
tergantung yang diberi penawaran mau apa kagak!
Makanya gue heran kenapa ada istilah pelakor padahal

187
kalau lakinya yang brengsek mah salah lakinya juga
keles."

"Iya juga sih." Natella menyetujui.

"And Arkasa is simply a good boy."

Natella memutar bola matanya malas. "Yaialah, cowok


gue mah pasti kagak mau ditawarin begituan. Bukan
karena gue, tapi karena dianya aja yang gak suka
disentuh-sentuh sembarangan! Lagian Meira bisa-
bisanya dengan tidak beradab menawarkan cowok gue
yang suci untuk melakukan perbuatan kotor!" lanjut
cewek itu mengungkapkan kekesalannya.

"Akhirnya, Arka cuma minta Meira untuk berhenti


ngeracunin lo buat ninggalin dia. Isnt he so sweet?"
tanya Dennisa meminta persetujuan. Dia masih saja
senyam-senyum sendiri bak lagi nonton drama Korea.

Natella terdiam sesaat. Masa Arka minta Meira untuk


melakukan itu? Dan seketika, jantungnya malah
berdetak tidak karuan, terlalu cepat dan mati-matian
menahan senyum yang tidak mau ia keluarkan. Tidak
di depan Dennisa karena dia tidak mau terlihat bodoh
termakan tipuannya.

Paling sebentar lagi cewek ini akan mengatakan kalau


dia berhasil membohongi Natella, apalagi Natella ingat
betul dia tidak pernah menjelek-jelekan temannya
dalam artian sebenarnya di hadapan Arka. Jadi,
darimana Arka tahu kalau Meira selalu meminta
Natella meninggalkannya? Masa iya Arka langsung
peka cuma gara-gara kesalahpahaman yang
disebabkan Meira waktu itu?

188
"Lo ataupun Meira jangan coba-coba kegatelan ke
cowok gue lagi ya!" Natella memperingatkan dengan
nada sok mengancamnya.

"Dih kok lo pelit?"

"Kecuali kalian mau ngerasain manisnya jus sianida."

"Dasar cewek psikopat lo," ejek Dennisa bercanda.

Sementara Natella malah senyam-senyum tidak jelas


sendiri, membayangkan kata-kata Dennisa tadi
mengenai Arka yang tidak mau Natella
meninggalkannya. "Ngapain lo senyam-senyum? Makin
yakin gue ada yang salah sama otak lo!"

Natella kemudian memberikan tampang juteknya, "Yuk


turun, udah laper gue," ajaknya lalu membuka pintu
mobil.

***

Hampir mustahil apabila Natella dan Dennisa tidak


menjadi pusat perhatian saat mereka melewati koridor
FK.

Well, meskipun mereka berdua bukan anak Fakultas


Kedokteran, tapi lebih dari setengah penghuni FK
mengenal mereka berdua. Dennisa yang memang
terkenal disana-sini dan juga Natella yang memang
terbiasa kemari. Selain itu gaya pakaian mereka yang
berbeda dengan anak cewek FK kebanyakan tentu
semakin menambah perhatian.

"Gue tahu gue cantik. Tapi gak gini juga kali


mandangnya? Anak FK sini pinter-pinter tapi norak

189
ya?" Dennisa mengeluh kesal sendiri, dia bahkan tidak
terbebani berbicara dengan cukup kuat yang tentu bisa
di dengar orang lain, membuat Natella mencubit
lengannya agar cewek itu diam sedikit.

"Heh, jangan cari masalah di kandang orang." Natella


berbisik pelan ke telinga sahabatnya itu. Iya sih,
mereka memang terkenal suka cari ribut, tapi harus
lihat-lihat tempat juga, kan?

"Keluarin jurus tatapan medusa lo dong Nat biar


mereka berhenti mandangin kita." Pinta Dennisa lagi.

Natella hanya mencibir, dia bahkan menarik tangan


Dennisa supaya lebih cepat mencapai kantin yang
sudah dia hapal betul.

Setelah duduk di salah satu kursi kantin bersebelahan


dengan Dennisa, Natella mengucapkan pesanannya
sekaligus Dennisa ke ibu kantin yang cukup
dikenalnya, membuat Dennisa kemudian berbisik
setelah ibu kantinnya pergi.

"Awas ya kalau sampai gak enak!" ucapnya untuk


Natella.

"Kalau gak enak, gue yang bayarin." lanjut cewek itu


menjamin.

"Arka mana ya, Nat?"

"Dia kuliah siang, lo gak bakal ketemu."

"Duh sayang banget." Lanjut Dennisa tampak kecewa.

190
"Eh sekali lagi lo gatelin cowok gue, beneran gue
jambak ya lo."

"Galak banget sih kayak anjing pitbull." Komentar


Dennisa masa bodoh. "Gue cuma ngefans sama Arka,
Nat. Tenang aja, cinta tak terbalas gue hanya untuk
Moreno tersayang." Dennisa masih menampakkan
senyum cantiknya, "yang murah kayak Reno aja
menolak gue, gimana yang mahal kayak Arka?"

Dan Natella tidak bisa mengontrol tawa ngakaknya


mendengar lelucon Dennisa. Padahal di mata Natella,
Dennisa itu cantik, tidak ada kurangnya sebagai
perempuan. Apa yang membuat Moreno tidak
menyukainya kembali?

"Lo putus cinta tapi kelihatannya kok sangat baik-baik


aja?"

Dennisa mengeluarkan tawa manisnya, "gue udah


puluhan kali putus cinta, jadi biasa aja." Dennisa
menegak salivanya, "seenggaknya sekarang rasanya
selalu biasa aja."

Natella mencibir sendiri, "udah mati rasa ya lo."

"Lama-lama lo juga bakal mati rasa kalau udah capek


sendiri, Nat."

Mereka berdua sibuk dengan percakapan seputar itu


yang tidak ada habisnya. Sampai suatu ketika, Natella
samar mendengar pembicaraan orang lain yang
membuat telinganya panas.

"Arka masih sama Natella, ya? Belum diputusin juga


tuh cewek?"

191
Dennisa yang duduk disebelahnya lantas berbisik,
"tenar banget sih sahabat gue." Ucapnya bangga.

Natella berbalik, menampakkan wajahnya pada mereka


yang membicarakannya dengan sengaja, "kalau masih,
kenapa? Lo keberatan?" tanyanya sinis.

Pelaku yang baru saja membicarakannya adalah


seorang cowok yang duduk pada bangku yang sama
dengan Mentari, menyulut api kemarahan Natella,
membuat cowok itu awalnya terkejut melihat kehadiran
Natella di wilayah fakultasnya, kemudian berusaha
agar terlihat sebiasa mungkin.

"Santai, mbak." jawab cowok itu seadanya.

Natella mencibir, "takut lo sama gue?" tantang cewek


itu kemudian, dia sudah mulai berdiri dan berjalan
mendekati meja mereka. Membuat Dennisa kagum
sekaligus khwatir dengan apa yang diperbuat Natella,
makanya akhirnya dia berusaha agar memastikan tidak
ada yang merekam kejadian ini. "Oh, jadi lo salah satu
babunya Mentari?" Tanya Natella dengan suara
sinisnya sembari melirik merendahkan ke arah
Mentari. Jelas kalau dia sebenci itu terhadap cewek
manis yang seharusnya tidak perlu dibawa-bawa kalau
dia tidak mau berurusan sama Arka.

"Eh, jaga ya mulut lo!" Lisa menambahkan kemudian,


kesal karena Natella malah bawa-bawa Mentari.

"Gue gak ngomong sama lo ya, another Mentari's maid."


balas cewek itu makin kurang ajar, membuat Lisa
nyaris melayangkan tangannya kalau Nadine tidak
menahan.

192
Cowok yang tadinya ketangkap basah menyebut nama
Natella berdiri, face to face dengan cewek yang lebih
pendek darinya itu, "Lo seharusnya belajar untuk jadi
perempuan yang baik." sindirnya, menyadari kalau
Natella memang sekacau yang teman-teman dekatnya
bicarakan.

"Lo juga harus belajar agar gak keliatan kayak


bencong." balas cewek itu. "Ah, bahkan bencong
kebagusan buat disamain sama lo."

Tangan cowok itu terkepal. "Jangan pikir gue gak


berani mukul lo karena lo cewek ya!" balas cowok itu
membentak, emosinya semakin terbakar, gregetan
bukan main dengan cewek di hadapannya ini.

Dennisa tentu tidak tinggal diam mendengar itu, "lo


berani nyentuh ujung rambut temen gue, lo mati."
ancam Dennisa ikut-ikutan. Kenal Natella dari
semester satu, ini kali pertama Dennisa melihat Natella
ribut betulan dengan orang lain, sahabatnya ini
biasanya hanya berani main di belakang ataupun
berkomentar pedas sedikit, tidak sejauh ini. Dennisa
bahkan baru saja menghubungi Meira dan Jeana agar
membantu mereka.

"Gas, udah, tenang." Mentari berbisik, dia bahkan


memegang lengan teman lelakinya itu agar mampu
menenangkan diri. Mereka menjadi tontonan di kantin
yang makin detik makin ramai, beberapa mulai
membuka handphonenya untuk merekam.

"Cih, dasar perek murahan sok suci." Mulut Natella


kembali bereaksi, kali ini membicarakan Mentari.
"Bilang aja lo seneng babu lo ini ribut sama gue, kan?"

193
"Anjing ya lo!" si Bagas-bagas itu mulai mendorong
Natella kasar, membuat beberapa cowok di kantin
menahannya agar tidak melanjutkan aksi yang
keterlaluan, tidak etis.

Natella masih menatap tajam Mentari, "Jangan pikir


gue gak tau apa aja yang lo lakuin, Mentari Adrianni.
Nama gue jadi jelek si FK gara-gara lo dan babu-babu
lo ini." Natella menjeda kalimatnya sebentar, "pas gue
minta maaf ke Arka di gedung H, lo yang menguping
dan nyebarin ke orang-orang supaya gue keliatan
seobses itu, kan?"

Mentari terdiam, entah karena merasa difitnah atau


ketangkap basah karena Natella benar.

Well, Natella diam selama ini karena Arka kerap-kali


memberinya peringatan untuk tidak pernah menyentuh
Mentari ataupun teman-teman cewek itu, meskipun
Natella ingin sekali melakukannya sejak lama.

Dan sekarang, tidak ada Arka disini, kan?

Natella menatap tajam ke arah Mentari, sebenarnya dia


daritadi ingin menangis karena hatinya terasa sesak.
Tapi kekesalannya paling menguasai sehingga dia
hanya terus mengeluarkan ucapan pedasnya. "Jangan
pikir semua orang menyukai lo. Disini juga banyak
yang gak suka sama perek kecentikan sok baik gak tau
ma..."

"Watch your mouth, Natella Narundana." Seseorang


berbisik dingin di telinganya, membuat cewek itu
langsung terdiam melemas dan menyadari kalau
tangannya sudah ditarik menjauhi keramaian, tidak

194
ada yang bisa melakukan apa-apa, bahkan Dennisa
hanya diam saja.

"Lo nariknya kekencengan." Natella berbicara dingin


pada akhirnya setelah merasa antara diseret dan
terpaksa mengikuti langkah Arka yang membawanya ke
parkiran mobil.

Natella benar-benar merasa tengah mengalami kejadian


dimana tokoh antagonis sedang diberikan pelajaran
karena mengganggu pemeran utama. Dan dia baru
sadar kalau Arka bisa terlihat sekesal ini, bahkan lebih
kesal dari saat Richard menyebut nama Syailendra.

Cowok itu membuka pintu mobilnya, "masuk." ucapnya


dingin, terkesan memaksa yang akhirnya membuat
Natella terpaksa untuk memasuki mobil cowok itu,
satu-satunya tempat paling privasi untuk
menyelesaikan masalah mereka.

Arka masuk ke bangku kemudi disebelah Natella,


menutup pintunya kasar sebelum menghidupkan mobil
agar mereka tidak mati kepanasan di dalam sana.

Natella sempat bertanya-tanya, apa yang akan


dilakukan Arka kepadanya apabila dia berani mengapa-
apakan Mentari? Menyembelihnya hidup-hidup kah?
Atau lebih parah dari itu? Oh tentu saja dia berlebihan.

"Mereka duluan yang mulai." ucap Natella kesal,


melihat ke arah bawah karena berusaha untuk tidak
menangis.

"You are too much, Natella." Arka memberitahunya,


cowok itu kelihatan lebih dingin dari biasanya. Oh
tanpa melihat rautnya pun Natella tahu kalau Arka

195
tengah marah besar, jelas dari nada bicaranya. "Iam
dissappointed on you."

"Yaudah." jawab cewek itu pelan kemudian. Setidaknya


dia bersyukur karena Arka sama sekali tidak
menamparnya daritadi ketika dia sendiri merasa kalau
dia pantas mendapatkan tamparan. "Lo memang bakal
menyalahkan gue."

"Dan lo gak merasa bersalah?"

Natella menggeleng. "Kali ini nggak akan." tekannya


masa bodoh.

Arka meremas rambutnya sendiri karena frustasi,


semua yang mendengar kata-kata cewek itu tadi
seharusnya setuju kalau dia sudah kelewat batas.

"Nat, lo pernah janji sama gue untuk gak pernah


nyentuh Mentari."

"Iya...tapi si temannya Mentari duluan yang..."

"Temennya, bukan Mentari." tekan Arka lagi. "dan lo


gak seharusnya bawa-bawa Mentari." ingat Arka.
"Sebelum melakukan sesuatu, apa lo pernah mikirin
akibatnya?" tanya cowok itu kemudian.

Natella mencibir, dia tidak tahan untuk tidak


melakukan itu. "Lo pernah belain gue gak atau
seenggaknya, percaya sama gue? Lo secinta itu ya
sama Mentari sampai-sampai buta dan menjadi
sesubjektif ini?" tanyanya kalem. Natella berusaha
meneguk salivanya yang terasa benar-benar sulit. "Gue
capek, Ka. Capek banget." bisiknya lirih. Dia ingin
melanjutkan, tapi dadanya terlalu sesak. Terlalu sakit.

196
Baru saja tadi Dennisa mengatakan bahwa akan ada
saatnya dimana Natella akan capek sendiri dengan
semuanya. Kemudian dia akan mati rasa. Seperti
sekarang.

Alhasil, Natella membuka kunci pada mobil Arka dan


keluar, menjauh dari sana untuk menuju mobilnya.
Beruntung, dia meletakkan kunci mobilnya ke dalam
celana kulotnya, tas yang tadi ia bawa masih
ketinggalan di kantin.

Dan seperti yang ia duga, Arka sama sekali tidak


menyusulnya. Lagipula, dia memang tidak berharap
disusul, tidak sekarang.[]

***

197
Chapter 13. Broken
Yang paling menyakitkan ketika sedang sedih, kita
biasanya tidak hanya sedih karena satu hal itu,
kejadian-kejadian lalu yang belum selesai akan ikut
bermunculan di otak, membuat rasa sakit itu menyatu
menjadi berlipat ganda.

Rasa sakit atas perasaan tidak diinginkan.

Rasa sakit karena dicampakkan.

Natella menatap kabur ke jalanan, dia berusaha


menyetir setenang mungkin, sesakit apapun hati dan
perasaannya saat ini dan bisikkan untuk mati itu terus
bermunculan, dia tentu belum mau mati.

"Tenang, Nat. Ini cuma sebentar." Bisiknya dengan


suara terisak. "Lagian, hal kayak gini udah sering
terjadi."

Iya, sebentar dan pasti berlalu.

Seperti perasaan dikhianati dan tidak diinginkan oleh


orang tuanya ketika Ferre lahir. Waktu itu, Natella
masih kecil, masih egois dan tidak mengerti jika dia
tidak seharusnya menyalahkan adik laki-lakinya yang
tidak bersalah atas rasa sepinya.

Atau bisa juga seperti perasaan yang sama karena


orang tuanya lebih membela Ferre daripada dirinya
setiap kali mereka berkelahi.

"Kakak kan sudah besar, harus ngalah sama adek." Itu


ucapan Mama ketika Natella berumur 10 tahun,

198
membuatnya menyimpulkan bahwa umur 10 tahun
berarti sudah besar. Sayangnya, Ferre tetap dianggap
anak kecil oleh Mama, Papa, Oma atau siapapun ketika
berumur segitu, mereka tetap menganggap Natella yang
salah dan menyuruhya mengalah atas apapun yang
terjadi pada dia dan Ferre. Natella sempat kesal dan
marah besar kepada keluarganya karena hal ini, waktu
itu dia juga masih kecil, otaknya belum bisa berpikir
logis jika itu seharusnya tidak dipermasalahkan.

Kemudian dia juga pernah merasa perasaan itu karena


teman-temannya. Dia memang tidak asik, tidak
menarik, merepotkan dan kadang menyebalkan. Jadi,
Natella sempat berpikir wajar apabila teman mainnya,
teman SDnya atau bahkan teman SMPnya sering
bertingkah tidak menginginkannya dalam kelompok,
berpergian tanpa mengajak Natella atau terang-
terangan menghindar apabila Natella berada di dekat
mereka. Itu menyakitkan sekaligus membuat Natella
menyadari bahwa diri sendiri jauh lebih penting
daripda teman.

Sadar ataupun tidak, apapun yang menjelma menjadi


orang itu saat ini adalah hasil dari pengalaman-
pengalaman masa lalu yang menyakitkan, entah itu
menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Natella sempat berpacaran tiga kali sebelum dia


memiliki status dengan Arka. Orang-orang sempat
mengatakan bahwa dia sulit didekati, padahal dialah
yang payah dalam mendekatkan diri pada orang lain.

Laki-laki pertama yang menjadi pacarnya adalah


seorang kakak kelas ketika Natella kelas 1 SMA,
namanya Ivan, juga seorang anak osis. Ivan baik, dia
bermulut manis dan memanggil Natella dengan

199
panggilan cantik, dia bahkan menunggu Natella di
depan kelas hanya untuk menawarkan tumpangan
sampai ke rumah, rela habis bensin hanya untuk
memastikan Natella pulang dengan selamat.

Ivan menyatakan cintanya pada Natella dengan


romantis, apabila definisi romantis adalah memberikan
kejutan sampai menyewa EO di sebuah cafe mahal, di
depan teman-temannya, membuat Natella akhirnya
mengangguk meskipun Papa tidak menyuruhnya
berpacaran.

Ivan tetap menunjukkan sifat baik dan sisi


romantisnya pada Natella meskipun cewek itu masih
merasa canggung. Dia bahkan diam saja ketika Ivan
mencium bibirnya di bioskop, ciuman pertama dari
lawan jenis atas bibir yang sebelumnya hanya disentuh
keluarga dekatnya.

Natella selalu berusaha bertingkah sebaik yang


dilakukan Ivan kepadanya, dia berusaha keras agar
setara dengan Ivan, agar tidak canggung, agar bisa
membahagiakan Ivan seperti Ivan membuatnya
bahagia.

3 bulan mereka berpacaran, Ivan masih sangat baik


kepadanya, tetap memperlakukannya bak tuan putri.
Sayangnya, Natella cukup peka untuk sadar jika Ivan
memperlakukan Mira, teman seangkatanya, seperti
ratu.

Lagi-lagi dia dicampakkan, jadi sebelum Ivan terang-


terangan membuangnya bak sampah, Natella meminta
putus lebih dulu, menyelamatkan harga diri. Ivan
sempat berkata jika Natella salah paham, yang
sayangnya tidak di dengar oleh Natella yang masih

200
merajuk. Kemudian tidak sampai seminggu, Ivan
menembak dan menyatakan cinta ke Mira di depan
kelasnya.

Lelaki memang bajingan, Natella menangis sampai


seminggu untuk membuat perasaannya lebih baik.

Pacar keduanya adalah Deri. Deri terkenal ganteng,


anak basket dan teman satu angkatannya. Deri tidak
kalah baik dari Ivan, dia sering mentraktir Natella
makan, menolak tiap kali Natella mentraktirnya
kembali. Deri juga sering membelikannya tas, sepatu,
baju mahal, untuk membahagiakan Natella alasannya.
Padahal Natella merasa terbebani dengan barang-
barang yang selalu ingin ia ganti itu. Well, tidak ada
yang gratis di dunia ini, Natella tahu. Dia sangat
berterimakasih pada Deri dan Deri memang selalu
berhasil membahagiakannya. Natella berharap mampu
melakukannya hal yang sama. Sampai akhirnya, suatu
malam, Deri membawanya ke hotel, mencium Natella
hingga membuat bekas di leher cewek itu. Oke, Natella
masih bisa terima jika sekedar ciuman, mereka sering
melakukannya. Tapi Deri kemudian membuka
celananya, meminta Natella menunduk dan
membuatnya bahagia dengan memanjakan 'adik'nya.

Tentu Natella menolak, dia bahkan menutup mata


ketika menonton porno di umur segitu sementara Deri
memintanya melakukannya langsung. Deri memaksa,
tapi Natella masih beruntung karena berhasil kabur.

Well, sebut pacar keduanya merupakan penjahat


kelamin. Dan sebelum Natella berhasil mengucapkan
putus kepada Deri, cowok itu lebih dulu memamerkan
pacar barunya yang ia sebut-sebut lebih bermanfaat,
lebih cantik dan tahu diri dibanding Natella.

201
Dia dicampakkan lagi.

Mantan pacar ketika adalah Firga, cowok yang sempat


ditaksir Natella sewaktu kelas 1 SMA. Dia ganteng,
anak band, jago olahraga, pintar, sebut dia cowok
sempurna yang memang ditaksir banyak anak-anak
perempuan. Natella bahkan tidak menyangka ketika
Firga menembaknya di Festival Band sekolah, di depan
banyak orang, jadilah mereka disebut-sebut sebagai
'relationship goal' dan banyak yang menyebut Natella
beruntung. Tapi Firga mengatakan bahwa dia yang
beruntung karena mendapatkan Natella.

Firga romantis, menghabiskan banyak waktunya


dengan Natella, sama-sama suka nonton bioskop dan
lucu. Natella berpikir bahwa Firga memang sangat
cocok dengannya. Tapi, seiring berjalannya waktu,
Natella merasa Firga menyebalkan karena terlalu
posesif.

'Masa pacar aku pakai baju kayak pelacur.'


'Dasar kegatelan.'
'Maksud kamu apa senyam-senyum ke Darryl? Merasa
cantik?'
'Kamu gendutan ya.'
'Liat tuh Maya, badannya oke banget, mana kalau
dandan gak norak lagi. Coba deh kamu kayak dia.'
'Si Raina cantik banget ya'

Serius, Natella awal-awalnya sempat berusaha berubah


menjadi seperti yang diinginkan Firga, berusaha
membuat bangga cowok itu, berusaha menjadi lebih
cantik ataupun lebih baik dan memberikan Firga
apapun yang cowok itu mau. Tapi, sebanyak Natella
berusaha, sebanyak itu pula rasa sakit hatinya ketika

202
melihat Firga gandengan sama cewek lain di mall, di
depan matanya sendiri.

Sekali lagi, dia dicampakkan, jauh lebih sakit dari yang


pernah ia alami sebelumnya. Sebut Firga merupakan
mantan pacar paling brengsek. Rasa sakit di hatinya
akibat ulah Firga membekas cukup dalam, membuat
Natella kala itu berpikir untuk berhenti memiliki
hubungan special dengan lawan jenis. Semua cowok itu
sama saja...brengsek.

Hingga akhirnya dia bertemu Arkasa Sean Hadinata.


Kali pertama dia bertemu Arka di lift rektorat, Arka
membuka lift yang hampir tertutup untuk
mempersilahkan Natella masuk, cowok itu bahkan
tersenyum simpul yang membuat Natella terpanah
pada pahatan wajahnya yang indah dan senyumnya
yang manis.

Tapi, Natella tidak langsung jatuh cinta disitu


meskipun dia yakin Arka pasti sering jadi korban 'love-
at-first-sight' orang-orang karna rupanya. Oke, dia
mungkin hanyalah cowok ganteng yang pastinya punya
kelakuan tidak seganteng wajahnya.

Pertemuan kedua seminggu kemudian di kedai kopo,


waktu itu jam sibuk yang membuat nyaris semua
bangku sudah di tempati. Natella yang waktu itu
ngidam Red Velvet dan mau makan disitu harus
berpikir ulang, sampai akhirnya sebuah tangan
melambai ke arahnya, memberinya isyarat dengan
tangan dan mulut yang tidak bersuara, 'di depan gue
kosong, duduk sini aja', karena Natella sudah kepesan
dan membawa nampan, dia akhirnya duduk di sana, di
depan cowok ganteng yang dia ingat satu universitas
dengannya itu.

203
Cowok itu sedang duduk dengan macbook yang
terbuka, Vanilla Frappe yang masih penuh dan kemeja
biru yang bikin dia kelihatan ganteng.

"Gue Arkasa." Dia memperkenalkan diri, mengulurkan


tangannya ke arah Natella. "Kita pernah ketemu di lift
rektorat, inget gak?"

Mana mungkin Natella lupa pernah ketemu sama


cowok yang kayak jelmaan pangeran ini?

Tapi, Natella keheranan, sampai jantungnya berdetak


tidak normal karena menyadari kalau cowok ini
mengingatnya.

Iya, dia diingat dan tidak dilupakan begitu saja,


tumben sekali.

"Natella." Jawab cewek itu, menyempatkan senyum


manis. "Inget kok. Makasih ya udah nawarin tempat
duduk." Sekaligus masih mengingat gue yang tidak
penting ini.

"Map lo kemarin warna biru, anak FISIP ya?"

Natella mengangguk lagi sembari menyeruput green


tea-nya, kagum dengan ketelitian cowok ini padahal
mereka hanya bertemu sekilas di lift 3 lantai.

"Iya, jurusan Ilmu Politik. Tapi gue gak mau jadi


anggota partai politik. Sumpah ya, tiap kali gue kasih
tahu orang tentang jurusan gue, mereka pasti
merespon kalau gue mau calon anggota partai politik
ataupun Kepala Daerah."

204
"Gue juga baru aja mikir gitu." Jawab cowok itu sambil
mengetik di macbooknya dan sekali-sekali melirik ke
arah Natella.

Natella menyeruput lagi green tea yang ia beli, "gue


maunya jadi Sutradara karena gue suka nonton Film."
ucapnya kemudian, membuat Arka tentu menatapnya
heran.

"Terus ngapain ngambil Ilmu Politik?"

"Gak sepenuhnya salah jurusan sih." Cewek itu


membuka mulut lagi. "Guru gue dulu pernah bilang
kalau orang paling bodoh di dunia adalah mereka yang
gak ngerti politik sama sekali. Gue gak mau jadi orang
paling bodoh di dunia, jadi bodoh aja udah cukup,
makanya gue ngambil ilmu politik."

Arka tertawa mendengar jawaban santai cewek yang


bergaya fashion jaman sekarang ini, sedangkan Natella
baru menyadari kalau cowok ini tidak sedingin aura
yang ia tampilkan ketika melihatnya tertawa.

"Lo lucu juga ya." Komentarnya, dia berkomentar


sembari menatap dalam ke arah Natella. Gimana
Natella tidak gemetaran dan jadi salah tingkah?
"Percayaan amat sama guru lo."

"Gue emang gampang percayaan sama orang yang


udah gue percaya." Natella berucap lagi, mungkin ini
kali pertama dia bisa berbicara banyak dengan orang
yang baru dikenalnya langsung, bukan hasil perantara
orang lain. "By the way, lo jurusan apa?"

"Kodekteran."

205
"Wow." Natella berkata takjub. "Otak lo encer banget ya
pasti? Anak kedokteran kan terkenal pintar-pintar,
apalagi kedokteran Universitas kita itu." Lanjutnya
dengan intonasi memuji.

Arka menggeleng, "ini lagi rezeki aja dapat kedokteran."

"Kalau gue masuk kedokteran, itu pasti karena bokap


gue temennya Rektor atau udah nitip duit setengah M."
balas Natella merendahkan dirinya sendiri.

Arka menunjukkan tawa lagi, membuat Natella


ketagihan untuk melihat tawanya yang begitu lugu,
seperti dia bersedia melakukan apa saja agar membuat
cowok itu terus menunjukkan tawa di hadapannya.

"Gue awalnya berpikir kalau lo anaknya pendiam" Arka


berkata kemudian, matanya yang tajam tak lepas dari
pandangan Natella, membuat cewek itu berusaha agar
terlihat sebiasa mungkin. "Tapi ternyata selucu dan
seasik ini."

"Kayaknya lo orang pertama yang ngomongin gue lucu."


Balas Natella datar, "orang-orang bilangnya gue garing
dan gak asik."

"Itu karena gak semua orang cocok."

"Hah?"

"Kalau lo bergaul dengan orang-orang yang cocok sama


lo, apapun yang lo lakuin akan terlihat positif dan lo
akan merasa lebih positif."

206
"Oh gitu ya?" tanya Natella mulai canggung, padahal
daritadi dia merasa nyaman banget mengobrol dengan
cowok ini.

Arka menutup macbooknya, sehingga fokus


sepenuhnya ke arah Natella, tidak memberikan
jawaban apapun selain ekspresi wajahnya yang
terkesan datar. Namun tatapannya malah membuat
Natella salah tingkah seketika.

"Gue awalnya mikir lo dingin dan tak tersentuh kayak


puncak gunung Everest." ucap cewek itu kemudian.

Arka menampakkan gigi putihnya, "udah banyak kali


yang sampai ke puncak Everest."

"Tapi gue gak akan bisa mencapai puncak." jawab


Natella pelan. "Gue gak suka naik gunung dan gak
suka salju."

Tapi, kalau akhirnya lo memang benar mendefinisikan


puncak gunung tertinggi dan juga salju, gue akan
mencoba naik untuk mencapai puncak, meskipun gue
harus merasakan jatuh berkali-kali.

Karena jatuh cinta memang berarti harus terjatuh.

Kemudian dia terjatuh, berkali-kali, dan kali ini


sepertinya yang paling sakit.

Katakan bahwa Arka bukan cinta pertamanya, tapi


Arka merupakan orang pertama yang membuat Natella
mencintai orang lain sedalam-dalamnya. Natella
mampu bercerita tentang mantan-mantannya yang
brengsek ataupun teman masa kecilnya yang
menyebalkan tanpa beban apapun pada pertemuan

207
ketiga, lalu di pertemuan ke empat dan seterusnya,
Natella mampu menceritakan hal-hal lebih intim atau
memalukan kepada Arkasa yang bahkan tidak
memberinya jaminan apapun.

Natella nyaman apabila berada di dekat pria itu. Jujur,


Arka merupakan orang pertama yang bisa membuatnya
berpikir berdua dengan orang lain lebih menyenangkan
daripada sendirian.

Tidak seperti lelaki kebanyakan yang Natella kenal,


Arka benar-benar membuatnya semakin kagum setelah
Natella makin dekat dengannya. Cowok itu bermulut
sopan, dia tidak pernah mengatakan hal-hal sampah
yang menjelekkan orang lain, apalagi soal fisik. Dan
Natella juga baru sadar kalau Arka otaknya bahkan
jauh lebih cerdas dari perkirannya.

Natella hanya memikirkan dirinya sendiri, dia senang,


dia bahagia, dia nyaman namun dia tidak pernah
penasaran dengan perasaan Arka kepadanya karena
dia takut.

Dia takut pria itu tidak merasakan hal yang sama, atau
malah sebaliknya.

Setahun lebih Natella memilih mencintai cowok itu


dengan sederhana, mencintainya dalam diam, cukup
dia yang tahu. Toh, dengan menjadi teman, Natella
sudah merasa cukup. Walaupun saat itu dia mulai
sadar jika Arka melakukan semua orang yang dekat
dengannya seperti dia memperlakukan Natella.

Well, Natella salah apabila dia diperlukan spesial


meskipun dia merasa spesial. Mungkin, Arka hanya

208
bertingkah sewajarnya versi dirinya sementara Natella
terlalu terbawa perasaan.

Dari situ, Natella mulai bertingkah tak wajar, dia tidak


mau kehilangan Arka, makanya dia selalu ingin ikut
kemanapun pria itu pergi, dia kesal apabila Arka tidak
mengajaknya dan dia benar-benar bertingkah
menyebalkan

Saat itu, Natella betul-betul merasakan perasaan


antagonis tidak diinginkan yang biasanya dia lihat di
Tv-Tv, menyedihkan.

Puncaknya, saat penerimaan mahasiswa baru, ada


perempuan yang bernama Mentari, satu jurusan
dengan Arka, wajahnya cantik, kulitnya putih mulus,
anak dokter dan dia ramah serta menyenangkan.

Melihat cewek itu tentu membuat Natella merasa tidak


aman, apalagi beberapa orang mulai mencocok-cocokan
Arka dengan Mentari, belum lagi cara pandang Arka
yang berbeda untuk Mentari, meskipun mereka baru
bertemu beberapa kali.

Natella merasa ini tidak adil. Dia yang mengenal Arka


lebih dulu, dia yang jatuh cinta pada Arka lebih dulu,
dia bahkan rela melakukan apapun demi Arka, tapi
kenapa malah Mentari, cewek yang baru Arka kenal
yang malah disukai cowok itu?

Paling menyakitkan, Mentari juga sepertinya menyukai


Arka. Well, tidak sulit untuk jatuh cinta pada orang
seperti Arkasa Sean Hadinata dimana Natella dibuat
tidak bisa tidur hanya dalam dua kali pertemuan.

209
Takut dicampakkan dan tidak mau merasakan rasa
sakit yang lebih parah membuat Natella akhirnya
berbuat sesuatu yang lebih salah untuk mendapati
Arka. Untung dia tidak betulan memakai dukun atau
pura-pura hamil. Karena rupanya, memisahkan Arka
dan Mentari agar tidak jadi bersatu tidak sesusah yang
ia bayangkan.

Fine, Arka menjadi miliknya pada akhirnya. Dia


senang, dia bahagia, dia mendapati apa yang dia mau.
Sayangnya, dia terus merasakan takut dan perasaan
tidak aman.

Karena sejatinya, Natella tahu Arka tidak memiliki


perasaan yang sama dengannya. Entah apa alasan
Arka mau tetap bersamanya meskipun dia tidak
memiliki perasaan pada Natella.

Mungkin dia kasihan atau mungkin hal lain yang tidak


Natella ketahui.

Maka dari itu, tiap kali Natella terluka karena Arka, dia
menganggap ini adalah harga yang harus dia bayar
atas keculasannya untuk mendapatkan cowok itu.
Paling tidak, Natella selalu menganggap jika ini tidak
akan lebih menyakitkan daripada melihat cowok itu
bersama dengan orang lain.

Natella baru saja tiba di depan pagar rumahnya,


membuyarkan segala ingatan-ingatan menyedihkan
yang membuatnya semakin kesakitan. Dadanya sakit
sekali, dia bahkan tidak mampu bernapas dengan
benar sekarang.

"Lo memang sayang Arka, tapi bukan salah Arka kalo


gak sayang sama lo." bisiknya lagi untuk diri sendiri.

210
"Sampai lo mati pun, Arka juga gak bakal memihak
sama lo."

***

Natella mendengar pintu kamarnya diketuk berkali-kali


oleh Ferre. Air matanya sudah tidak mau terjatuh,
maka dari itu yang dia lakukan hanyalah menonton
film di laptop dengan pandangan kosong.

Dia dapat mendengar ketukan pintu di kamarnya oleh


Ferre daritadi. Namun, Natella yang tengah merajuk
tentu hanya berdesis kesal dan pura-pura tidak
mendengar.

"NAT, ADA BANG ARKA TUH." Teriak adik laki-lakinya


dari luar. Seperti tertimpa keajaiban, Natella langsung
turun dari tempat tidur, tanpa berpikir, berjalan ke
arah pintu dan membukanya.

Dia menemukan Ferre di depan pintu sambil membawa


mampan yang diatasnya terdapat makanan dan
minum, "Nih makan, biar lo gak cepet mati. Hidup gue
gak seru kalau gak ada momen kita berebut harta
warisan. Dibilangin ada bang Arka baru mau keluar."
Ejek Ferre untuknya, membuat Natella sadar kalau dia
baru saja kena tipu.

Lagipula, mana mungkin kan Arka mau menemuinya


lebih dulu ketika mereka ribut. Boro-boro mengambil
makanan yang diserahkan Ferre, cewek itu malah
melempar pintunya dengan kuat agar kembali tertutup,
menguncinya dua kali dan bersumpah jika dia tidak
akan membuka pintunya lagi siapapun yang mengetuk
dan memintanya keluar.

211
Kemudian, airmatanya jatuh lagi, tumpah semakin
deras menandakan bahwa dia sedang sesakit dan
semenyedihkan itu. Badannya melorot ke lantai dan dia
menyender di balik pintu.

Mengharapkan Arka datang itu seperti sama kosongnya


dengan mengharapkan cintanya dibalas cowok itu.
Hanya berlaku dalam mimpi indah.

"Gue kok drama banget sih." Komentarnya untuk diri


sendiri, masih terisak. "Tapi rasanya memang sesakit
itu." lanjutnya lagi.

Mengingat kejadian beberapa saat yang lalu


menyadarkannya jika dia masih mengharapkan Arka.
Dia mengharapkan cowok itu datang dan
membujuknya. Dia mengharapkan cowok itu meredam
rasa sakitnya, bukan malah memperparah.

Tapi itu tidak mungkin, kan? Kecuali kalau dia bukan


Natella, tapi Mentari.

"Pathetic lo, Nat. Salah sendiri kenapa obsesian banget


jadi cewek." Dia memarahi dirinya sendiri, tangisnya
masih belum herhenti. Ini semua gara-gara Ferre sialan
yang membuat perasaannya malah semakin kacau.
Well, anak itu tentu hapal bagaimana tingkah kakak
perempuannya ketika merajuk. Mengurung diri di
kamar dan memutus kontak dengan semua orang.

"Lo emang pantas dibenci, Nat."

"Lo emang gak diinginkan siapapun."

"Lo emang seharusnya dicampakkan."

212
"Lo emang sampah."

Natella masih merutuki dirinya sendiri, suaranya tidak


karuan, dia merengek dan meringis, memegang
dadanya yang terasa sakit sekali.

"Gue ngapain nangis sih." Dia menghapus kasar


airmatanya. "Kalaupun gak ada yang menginginkan
gue, gue seharusnya tetap menginginkan dan
menyayangi diri sendiri. Iya, kan?"

Di kampus, Natella hampir mendiami semua orang,


tersenyum paksa pun dia tak mampu. Dia sangat
malas untuk mengeluarkan suaranya, tidak sedang
dalam mood yang baik untuk mengobrol. Hanya
sesekali membalas pertanyaan Jeana itu juga hanya
berupa anggukan, gelengan ataupun satu kata.

"Nat, putus lo sama Arka?" Meira bertanya ketika


mereka berada di kantin. Seenggaknya di mata teman-
temannya, cewek itu masih kelihatan baik-baik saja
karena masih mau makan.

Natella mengangkat kedua bahunya, menandakan


kalau dia tidak tahu. Padahal sebelumnya, ketika
berkelahi dengan Arka ataupun putus, Natella akan
menyemprotkan kekesalannya terhadap cowok itu
dengan menggebu-gebu sembari mencaci-maki Arka
dengan sebutan kebun binatang.

"Ngga mau damai?"

Sekali lagi, Natella mengangkat kedua bahunya.

213
"Nate susah banget dihubungin. Jea telpon-telpon tapi
gak aktif. Di line juga gak dibales." Jeana
mengeluarkan keluhannya. Dia sama sekali tidak dapat
menghubungi Natella sejak kemarin.

"HP mati." Jawabnya seadanya.

"Nat, nonton yuk. Guardian of Galaxy 2 nih. Blm


nonton kan lo? Mumpung Jumat nih." Ajak Dennisa.
"Kan udah lama kita gak ngemall bareng."

Natella menggeleng, "Lagi males."

"Gue traktir deh." Ajak Meira.

Sayangnya Natella masih menolak. "Gue mau langsung


pulang."

"Nate jangan sedih sendiri." Ucap Jeana kemudian.

"Gue gak sedih kok." Balas cewek itu lagi.

Bohong.

"Biasa aja. Gue cuma...capek aja gitu. Jadi...yah gitu


deh." lanjutnya tak jelas. Menatap makanan yang
tinggal setengah, Natella kemudian berdiri, mengambil
dompet dan membayar pesanannya kepada ibu kantin.

"Gue duluan ya." Pamitnya pada teman-temannya.


Natella bersyukur mereka tidak menanyakan apapun
mengenai kelanjutan perkelahiannya dengan Arka
tempo hari, meskipun Dennisa sempat pura-pura
marah pada Natella karena sempat meninggalkan
cewek itu di kantin FK. Well, sebrengsek-brengsek
apapun teman-temannya di mata orang-orang, Natella

214
belum pernah mendapatkan teman sebaik mereka
sebelumnya.

Natella pura-pura tidak mendengar panggilan


temannya yang merayu agar dia berdiam disana lebih
lama. Cewek itu memutuskan untuk menuju tempat
mobilnya terparkir. Ditegur oleh beberapa teman
sejurusan yang ia lewati dan masalah perkelahiannya
dengan anak FK yang lagi booming. Tentu, Natella
mengabaikan mereka.

Sampai di mobil, cewek itu menangis lagi. Dia benar-


benar tengah merasakan definisi sendirian dan
kesepian kali ini.

***

Natella masih mensyukuri setidaknya dia tidak akan


diganggu siapapun untuk tiga hari kedepan. Senin
merupakan hari libur nasional dan dia bisa menyendiri
sepuas-puasnya.

Cewek itu tidak memedulikan ketukan pintu dari Ferre,


Mbak Ratna atau bahkan Mama dan Papa yang
menanyakan kabarnya dan memintanya keluar. Natella
bahkan membesarkan volume TV menjadi paling
kencang tiap kali mendengar ketukan pintu . Dia masih
hidup, tenang saja. Dan soal makan, Natella pasti
menyempatkan diri ke dapur lewat tengah malam
untuk mengisi perutnya.

Dia tidak mau bunuh diri, jika hanya itu yang mereka
khawatirkan. Meskipun cewek itu sempat
mengharapkn agar dia sakit saja, siapa tahu Arka tiba-
tiba menyesal dan meminta maaf padanya apabila dia

215
sakit. Tapi, dia sudah sering kesakitan sementara Arka
tetap tidak peduli.

Mungkin dia malah menikmati kesempatan


bermusuhan dengan Natella. Cowok itu bisa terbebas
dari Natella dan bisa mendekati cewek yang
disukainya, Mentari.

Natella masih bingung kenapa dia membenci Mentari


sebanyak itu. Dia bahkan menuduh Mentari yang telah
menyebarkan gossip jelek tentangnya hanya karena
sepupu Meira di FK berkata begitu. Tapi belum tentu
benar, kan?

Well, ini semua jelas karena Natella merasa iri terhadap


Mentari. Dia ingin menjadi seperti Mentari. Tidak usah
disukai orang-orang dan punya banyak teman. Dicintai
oleh Arka saja sudah cukup.

"Kayaknya gue harus berhenti, ini udah gak sehat."


Natella berkata lagi pada dirinya. Dia mengingat bahwa
baru saja melewati rekor baru. Tidak sekontakan
dengan Arka lebih dari dua hari.

Lihat? Hubungan mereka tidak akan kembali baik


apabila Natella tidak lebih dulu meminta maaf dan
mengalah pada cowok itu.

Natella tahu bahwa dia memang bersalah, memfitnah


Mentari adalah hal yang salah. Tapi kali ini, dia ingin
menjadi orang paling egois di dunia sesekali. Dan dia
membiarkan dirinya menjadi egois. Dia tidak akan
mengalah, salah ataupun tidak ditinya.

Dia tidak mau lagi mengalah, tidak lagi.

216
***

Natella nyaris memuji dirinya sendiri yang berhasil


mendiami Arka selama empat hari, nyaris lima. Kali
pertama dia mampu tidak berhubungan dengan Arka
lebih dari dua hari. Tidak ada kabar apapun, tidak ada
kontak apapun.

Natella keluar dari kamar jam setengah 3 malam,


lampu luar sudah dimatikan yang menandakan bahwa
penghuni rumah sudah tidur semua. Cewek itu masih
memakai handuk di kepalanya yang menandakan
kalau dia habis mandi.

Perasaannya sudah lebih baik dari malam pertama dia


bertengkar dengan Arka. Dia sudah mulai menerima
kenyataan, menggunakan logika-logikanya untuk
mencari jalan keluar terbaik.

Sepertinya, dia betulan harus merelakan Arka untuk


melakukan apapun yang pria itu mau. Natella belum
memutuskan apa-apa, tapi setidaknya, dia berjanji
untuk membiarkan semuanya berjalan semestinya.

Dia akan melepaskan Arka, apabila ini yang terbaik


untuknya dan cowok itu.

Natella nyaris menjatuhkan mangkuk yang berisi


indomie kuah yang baru saja dia masak karena
kehadiran Mbak Ratna betulan mengejutkannya.

Tapi Natella tidak bersuara, dia masih mendiami semua


orang di rumah, termasuk mbak Ratna yang tidak
salah apa-apa. Kalaupun dia ketemu Ferre atau
siapapun, Natella pasti menggunakan jawaban
ketusnya untuk menjawab pertanyaan.

217
"Kak." Mbak Ratna memanggilnya dengan panggilan
rumahnya. Suara perempuan tua itu terdengar takut
dan ragu-ragu, ada nada cemas disitu. "Tadi jam 11,
teman Mas. Arka kesini."

Natella pura-pura tidak mendengar mbak Ratna dan


mengaduk Mie instan favoritnya.

"Kalau tidak salah namanya Reno."

"Ngapain? Mbak gak bohong, kan?" tuduhnya. Mbak


Ratna gak mungkin kenal Reno kalau Reno tidak
betulan ke rumahnya.

Mbak Ratna menggeleng singkat, "katanya Mas Arka


kecelakaan naik motor. Kakak gak bisa dihubungi
makanya mas Reno sampai ke rumah. Mas Arka..."

Natella tidak mendengar kelanjutan ucapan mbak


Ratna karena yang ia tahu, mangkok indomie rebusnya
terjatuh, dia berlari menuju kamar untuk mengambil
sweater dan kunci mobil. Tidak peduli dengan
panggilan Mbak Ratna yang menyarankan agar Natella
diantar supir.

Pikirannya kosong. Jauh lebih kosong dari saat Arka


terang-terangan lebih membela Mentari daripada
dirinya.

Ternyata, ketakutannya masih sama. Takut kehilangan


cowoknya itu.

***

Natella meyakini kalau rambut setengah basahnya


masih kusut, dia memakai pakain tidur dan hanya

218
dilapisi sweater, baru saja menyetir dengan kecepatan
paling pelan 80km per jam. Untung sudah malam dan
tidak banyak orang di jalan, sehingga dia tidak perlu
melibatkan orang lain apabila terjadi sesuatu.

Cewek itu sampai ke IGD rumah sakit, napasnya ngos-


ngosan, kelihatan seperti orang yang habis
mengeluarkan seluruh tenaga untuk berlari di dinihari
begini.

"Natella." Suara berat yang dia kenal memanggil


namanya. Reno menghampiri cewek yang baru saja
mau mendatangi perawat yang berjaga, membuat
cewek itu mengerahkan fokus sepenuhnya ke arah
Reno yang berjalan ke arahnya.

"Arka dimana Ren?" Tanyanya dengan suara bergetar.


Reno yang awalnya terlihat ingin mencacinya berpikir
ulang setelah menyadari keadaan cewek dihadapannya
ini.

"Nat, lo sendiri kesini?" Reno menanyakan hal lain. Dia


berdecak keheranan, "lo kenapa gak minta jemput gue
aja sih? Parah badan lo sampe dingin semua begini.
Ngebut banget kan lo? Untung gak kenapa-kenapa."
Reno malah memarahinya.

"Ren, Arka?" ulangnya sekali lagi. Seperti bisa gila


apabila tidak tahu kabar Arka secepatnya.

"Udah dipindahin ke ruang inap, di lantai 5."

Mendapati informasi itu, Natella langsung


meninggalkan Reno dan mencari lift untuk menuju
lantai atas, yang tentu saja disusul oleh pria tinggi itu.

219
"Santai, Nat. Arka udah baikkan kok." Ucap Reno yang
ikut naik dalam lift yang sama dengan Natella. "Tapi
kalau gak pakai helm, udah lewat tuh dia."

Reno dapat mendengar hemhusan napas frustasi dari


Natella.

"Apa aja yang luka?"

"Tangan keseleo, kaki juga. Pahanya kena 9 jahitan,


benturan keras di punggung tapi gak sampe
pendarahan dalem."

"Gak ada yang patah?" tanya Natella lagi, mereka baru


saja keluar dari lift, menunu kamar Arka.

Reno menggeleng, tapi kemudian cowok itu nyengir dan


menjawab, "hatinya yang patah habis lo cuekin 4 hari."

Natella memutar matanya malas. "Bukan saatnya


untuk bercanda kampret."

"Siapa yang bercanda? Lo sih gak berperasaan banget


jadi orang. Ngambek sampe menutup segala
komunikasi, Arka ke rumah malah dibodo amatin. Gue
aja sampe pusing ngeliat dia frustasi gara-gara lo.
Bahkan gue tadi mikirnya lo gak peduli meskipun Arka
hampir mati begini."

Lah? Natella bengong mendengar itu, meyakini dengan


sangat jika Reno hanya berkata omong kosong, seperti
biasa. Yaialah, ucapan Reno tidak terdengar masuk
akal sama sekali, mengarang bebas atau Reno sedang
mabuk.

220
Arka datang ke rumahnya dalam empat hari terakhir
ini hanya ada dalam mimpi yang ia harapkan menjadi
nyata.

"Gih, masuk." Suruhnya untuk Natella sembari


menunjuk salah satu ruangan VIP.

Natella yang sejak tadi tampak buru-buru tentu


langsung memegang gagang pintu, sayangnya dia tak
kunjung menakannya dan malah duduk di deretan
kursi yang tersedia di depan, membuat Reno
memandangnya keheranan.

"Kayaknya gue nunggu disini aja deh." Ucap cewek itu


setelahnya. "Arka udah baik-baik aja kan?"

Reno mendengus, mendekati Natella yang tengah


duduk, "yaelah." ucapnya. "masih salty lo?"

Natella menggeleng, "Ngapain gue salty?" tanyanya


pura-pura bodoh. "Arka pasti masih marah dan gak
mau ketemu gue. Nanti kalau dia tambah sakit,
gimana?"

"Dia nanyain lo daritadi."

"Gak usah ngarang." balas cewek itu ketus. "Paling


yang dia tanyain si Mentari."

Reno menarik tangan Natella paksa, membuka pintu


kamar rawat Arka dan mendorong cewek itu masuk.
Natella tentu kesal dengan perbuatan Reno padanya.

Dia dapat melihat Arka yang tengah terlelap, beberapa


bagian tangannya di perban sementara setengah
badannya ditutup selimut. Cewek itu mearih pintu

221
yang tadinya dituup oleh Reno untuk keluar, tidak mau
mengganggu tidur cowok itu yang pasti tengah
kelelahan bukan main. Dalam hati masih berdoa agar
Arka cepat sembuh dan baik-baik saja.

Tapi, belum sempat dia menekan gagang pintu, dia


mendengar suara Arka memanggil namanya, "Natella."
Pelan sekali, membuatnya merinding dan melupakan
segala rencananya untuk keluar. Natella langsung
berjalan cepat ke arah tempat tidur Arka dan memeluk
tubuh terbaring cowok itu, seperti segala keinginannya
yang terusun mantap selama empat hari terakhir
hilang begitu saja, terlupakan. Dia tidak bisa
meninggalkan Arka, mungkin tidak akan pernah bisa,
sesakit apapun perasaan yang disebabkan pria itu
untuknya.

"Kamu ngapain naik motor sih, Ka? Kan aku udah


bilang kalau bawa motor sendiri itu bahaya. Lagian
kamu mau kemana coba? Bandel banget sih jadi orang,
untung masih selamat tahu gak?" Natella mengatakan
itu sambil menangis kesal, masih memeluk cowok itu
meskipun dia harus setengah berdiri dan kepalanya
berada diatas dada Arka.

Arka tidak menjawab, dia hanya tersenyum simpul ke


arah Natella, tangannya ia gunakan untuk menghapus
air mata cewek itu.

"Kamu kenapa gak ngasih aku kabar apa-apa, Nat?"


tanya cowok itu balik, tidak mengeluarkan protes apa-
apa meskipun Natella lumayan menindih badannya
yang masih sakit semua. "Kamu marah sama aku?"
Lanjutnya pelan.

222
Natella menggeleng, menyalahkan dugaan Arka. "aku
marah sama diri aku sendiri." balasnya.

Dan pandangan sayu Arka kepadanya semakin jadi.


"Maafin aku, Nat." Bisiknya.

Natella mengangkat kepalanya, dia menatap lamat-


lamat mata Arka, setengah terkejut. "Sayang, jangan
ngomong gitu."

"Maaf, Nat." lanjutnya.

"Kamu jangan bikin aku takut dong!" ucap Natella


kemudian, setengah marah. Lalu dia terisak lagi.
"Kamu kayak orang yang mau mati tahu gak tiba-tiba
minta maaf kayak gini, padahal mana pernah minta
maaf ke aku."[]

***

223
Chapter 14. It’s Okay Not To Be
Okay
Jika Natella dikasih pilihan untuk memiliki kekuatan
super kayak yang ada di film X-Men, dia tanpa berpikir
akan memilih kemampuan dapat membaca pikiran
orang lain. Atau tidak perlu semua orang, cukup
pikiran Arka saja. Karena selama apapun dia kenal
Arka, Natella tidak pernah tahu apa yang diingikan pria
itu sebenarnya, atau setidak-tidaknya memprediksi apa
yang akan dia lakukan atau pilih.

Well, ketika kita cukup lama kenal orang, kita biasanya


mulai hapal dengan apa hobinya, apa kebisaannya, apa
yang dia suka atau tidak sukai. Manusia pada
dasarnya memiliki sikap monoton, bahkan mereka
yang labil dan suka berubah-ubah pun monoton,
monoton menjadi labil dan berubah-ubah. Mungkin itu
yang menjadi dasar kenapa beberapa psikolog dapat
membaca sikap dan pikiran orang lain setelah
mempelajari banyak teori.

Sayangnya, Natella yakin kalau psikolog handal pun


belum tentu bisa membaca Arka. Cowok itu nyaris
tidak bisa Natella prediksi sama sekali. Kadang, ia ingin
berteriak sekencang-kencangnya hanya untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan,

"Mau lo tuh apa sih, Bangsat?"

Natella masih menangis ketika tangan Arka yang dingin


menggenggam tangannya erat sekali. Cowok yang
terbaring lemah dihadapannya ini baru saja
mengatakan kalau dia minta maaf pada Natella, tidak
jelas untuk apa. Sesaat, Natella berpikir kalau Arka

224
meninggalkan perangai seperti petanda orang mau
mati, melakukan tindakan aneh yang sangat bukan
dirinya. Mereka sebenarnya bermain adil, siapapun
yang salah harus minta maaf. Dan selama ini, anggap
Arka memang benar dan dia salah.

Lalu kemudian, otaknya mulai mencerna alasan-alasan


lain kenapa Arka minta maaf.

Maaf karena lebih membela Mentari daripada Natella?

Maaf karena tidak pernah berada dipihaknya?

Maaf karena tidak bisa mencintai Natella?

Atau maaf karena Arka ingin mereka putus?

Kegalauannya empat hari terakhir tentu membuat


Natella terus berpikir, dari pikiran egois yang membuat
sisi masokis untuk menyakiti dirinya sendiri muncul
sampai pikiran objektif yang selalu mendepankan
logika daripada perasaan.

Mentari tidak salah apa-apa waktu itu sementara


Natella menyeret-nyeretnya ke dalam masalah, apakah
salah Arka apabila cowok itu lebih membela Mentari
daripada Natella yang jelas salah?

Semua orang punya ukuran nilai baik-buruk masing-


masing, apabila menurut cowok itu Natella tidak patut
dibela, apakah salah Arka tidak berada dipihaknya?

Yang paling mengerikan adalah soal perasaan.


Perasaan itu tidak bisa dikendalikan. Seperti Natella
yang tidak bisa mengontrol perasaannya untuk

225
berhenti mencintai Arka, apakah salah Arka jika
perasaannya tidak mencintai Natella?

Lalu, yang terakhir, apalagi permintaan maaf ini Arka


tujukan padanya karena dia ingin mengakhiri
hubungan mereka yang diujung tanduk. Apa lagi yang
bisa Natella perbuat? Selama proses pengurungan diri
di kamar, ada saat dimana Natella yakin jika dia
sanggup melepas Arka dan membiarkan cowok itu
memilih jalan yang dia mau. Sayangnya, melihat Arka
sebentar saja langsung menghilangkan seluruh
keinginan warasnya dan membuatnya kembali menjadi
budak cinta bodoh yang ingin menguasai pria itu.

Natella masih diam, dia tidak terpikir kata-kata yang


pas untuk merespon Arka. Apabila Arka selalu
menuntutnya untuk menyadari kesalahannya ketika
minta maaf, sedangkan Natella malah tidak ingin tahu
alasan Arka minta maaf.

Masih menggenggam tangan Natella, Arka membuka


mulutnya lagi, membuat Natella ingin mencegahnya
agar tetap diam. Dia lebih ingin bisu. Dia tidak butuh
penjelasan.

"Aku nyakitin kamu." Arka berbisik, suara rendahnya


terdengar serak, seperti sedang dehidrasi. He looked
hurt. "aku nyakitin kamu, ya?" dia mengulangi kalimat
yang sama sebagai pertanyaan.

Natella tercekat, pertanyaan itu seperti menusuk di


hatinya. Apabila dia menjawab iya dan memberitahu
Arka bahwa cowok itu menyakitinya, apakah Arka akan
merasa bersalah?

226
Natella menggeleng setelah menegak salivanya yang
terasa sulit. "Kamu gak nyakitin aku, aku yang
nyakitin diri aku sendiri." Balas Natella kemudian.

Well, dia tidak berbohong, toh itu kesimpulan yang dia


pikirkan matang-matang dengan logika.

Love doesnt hurt, darling. It's because people tend to


like to hurt themselves.

"Kalau gitu, tolong jangan nyakitin diri kamu lagi."


Arka berbicara lagi, ada nada memohon dalam
suaranya yang serak. Membuat Natella semakin
bingung dan perasaannya campur aduk.

Kenapa harus minta tolong?

Kenapa sampai minta tolong?

Arka selalu berhasil membuat Natella percaya jika dia


punya sayap dan siap terbang dari lantai gedung
tertinggi di dunia. Namun ketika Natella sudah
melompat, cowok itu malah membiarkannya jatuh
sendirian.

"Ka." Ucapnya. "Aku sayang sama kamu." Ini


merupakan kalimat andalan yang kerap kali diucapkan
Natella. Dia selalu menyatakan perasaannya tanpa
ingin tahu perasaan Arka. "Dan aku gak mau
kehilangan kamu."

Biasanya, Arka hanya mengangguk kemudian Natella


akan memeluknya erat-erat, namun kali ini cowok itu
memberikan balasan kata-kata.

"Janji jangan jauhin aku lagi, ya?" pintanya.

227
Mendengar itu, Natella mengeluarkan sedikit tawanya,
untuk pertama kali malam itu dan sehabis tangis yang
bekasnya masih bersisa. Her boyfriend is cute.

"Iya, sayang."

Cowok ini memang kerap kali bertingkah lebih manis


ketika sedang sakit, Natella masih ingat kali pertama
Arka memanggilnya 'sayang' adalah ketika cowok itu
tengah demam tinggi, Kali ini, Arka juga tiba-tiba
bertingkah aneh, lebih manis. Dia bahkan mengambil
tangan Natella untuk menautkan jari kelingkingnya.
Dan dia juga sedang dalam sakit. Apakah otaknya
ikutan menjadi sakit ketika badannya sakit?

"Aku kan ngambek gitu gara-gara ketularan kamu.


Makanya jadi pacar jangan suka kasih contoh yang
jelek-jelek." Natella berkata asal.

Sampahnya, Arka malah mengangguk mengiyakan


mendengar ucapan tidak bermanfaat Natella itu.
Mereka melanjutkan bercerita sampai akhirnya Natella
tertidur dengan kepalanya bersender di dada Arka yang
terbaring.

Tapi, karena cewek itu merasa pegal dan kebiasaan


sebelum tidurnya yang tidak bisa diam sementara
badan Arka pasti masih sakit semua setelah badannya
terbanting di aspal, Natella memutuskan untuk pindah
dan tidur di sofa.

***

She once read that it's okay to fight for someone who
loves you, but it's not okay to fight for someone to love
you. There's a huge different.

228
Waktu pertama kali Natella membaca kutipan itu, dia
cukup tertohok tapi tidak terlalu perduli karena kurang
setuju. Namun terkadang, kutipan-kutipan yang
awalnya dianggap tak penting ataupun nasihat-nasihat
orang yang dipandang sebelah mata bisa sangat
membantu untuk sadar disaat paling tepat.

Kenapa tidak boleh?

Natella tidak pernah mau memikirkannya pun mencari


jawaban atas sekelibat pertanyaan yang muncul di
benaknya. Namun, kejadian beberapa hari yang lalu
terpaksa membuatnya berpikir dan mencerna.

Kenapa tidak boleh berjuang agar seseorang mencintai


kita?

Karena itu sama seperti bertanding di pertempuran


dimana kita nyaris tidak mungkin menang.

Lalu ketika kalah, rasa sakitnya mungkin keterlaluan,


menyadari bahwa kita kalah dan hanya sendirian.

Natella terbangun, perasaannya tidak enak karena


baru saja mimpi buruk. Setidaknya dia langsung
merasa lebih baik karena menyadari itu semua hanya
mimpi.

Dia mimpi jika Arka kecelakaan, dia memanggil-


manggil nama Mentari dan orang-orang menyalahkan
Natella atas kejadian yang menimpa Arka. Kemudian
cowoknya itu mati karena keracunan dan dia bersedih.

'Fak, drama banget sih mimpi gue.'

229
Natella mengatur napasnya, dia melihat ke sekeliling
dan menyadari sebab dia terbangun tiba-tiba dari
mimpi buruk yang berasa nyata, tubuhnya masih
terbaring di atas sofa. Seorang perempuan cantik
tertangkap berdiri tidak jauh dari sofa berwarna cokelat
itu, Natella menebak jika dia baru saja melapisi
badannya dengan selimut. Ketika mata mereka
berpandangan, perempuan bergaya elegan itu
memberikan Natella senyum manis dan isyarat agar
Natella melanjutkan tidurnya.

Tapi, tentu saja yang cewek itu lakukan adalah reflek


terduduk dan tersenyum canggung. Tangannya mulai
bergerak merapikan rambutnya yang kusut. Dan
memikirkan ucapan basa-basi apa yang harus dia
berikan untuk perempuan ini, tidak mungkin kan dia
hanya diam saja sembari mengagumi keindahan
perempuan ini dalam hati?

"Udah lama ya tante?" Tanya Natella kikuk. Perempuan


ini Maminya Arka atau Natella pernah menyebutnya
dengan panggilan 'Tante Anna'. Natella bahkan kaget
mendapati perempuan ini jauh lebih cantik dan anggun
dari yang ia lihat di video call. Well, semalam, sebelum
Reno pulang dan menyuruh Natella menjaga Arka,
cowok jangkung itu sempat memberitahu kalau
Maminya Arka akan datang untuk menjenguk anak
laki-lakinya, penerbangan dari Hongkong dan sampai
sekitar pukul 6 pagi.

Mimpi buruknya barusan tidak sepenuhnya hanya


mimpi. Arka betulan kecelakaan dan lumayan parah.
Natella bahkan sok ide keluar ruangan dan
menanyakan perawat yang berjaga tentang kondisi
Arka, apakah cowok itu sudah di ronsen sepenuhnya
atau belum.

230
Natella tidak ingat tidur pukul berapa, yang jelas dia
yakin kalau jatah tidurnya malam ini sangat amat
kurang, begitu juga dengan Arka. Dia sudah menyuruh
Arka untuk istirahat dan segera tidur, tapi cowok itu
malah menahannya dan menyuruh Natella
menceritakan apa saja yang dia lakukan empat hari
terakhir, mempertanyakan alasan Natella tidak
memberinya kabar sama sekali.

He acted like he was hurt so bad. Membuat Natella


kebingungan bukan main tadi malam. Setiap kali
Natella berpikir bahwa dia dicampakkan dan tidak
diingankan cowok itu, Arka kadang bertingkah seperti
membutuhkannya.

Natella tersadar dari lamunan panjangnya ketika Tante


Anna duduk di tempat kosong sebelah Natella. "Baru
sampai kok sayang." Balasnya lembut. Bahasa
Indonesianya tidak terdengar lancar, lumayan mirip
Cinta Laura ketika berbicara bahasa, tapi dia seperti
nyaman berbicara dengan Bahasa. "Thanks for taking
care of my boy."

Natella pernah berpikir jika Maminya Arka akan


memancarkan aura mirip-mirip dengan Cersey
Lannister dari Game of Thrones. Cantik, anggun tapi
seram dan begitu sayang sekaligus protektif terhadap
anak-anaknya. Namun, melihatnya langsung, Natella
dapat menilai jika Maminya Arka malah mirip putri-
putri di kerajaan Romawi, cantik, elegan, baik hati.
Tante Anna-lah yang bahkan bersedia melapisi tubuh
terbaring Natella, yang malah membuat cewek itu
terbangun.

"Tante bawain oleh-oleh buat kamu." Maminya Arka


memberikan Natella paperbag yang terletak dalam

231
jangkauannya. "Sean ever told me that you're going to
like chocolate more than bags or shoes."

Mendengar itu, Natella tiba-tiba menjadi pusing.


Mungkin karena dia kurang tidur dan Maminya Arka
terlalu cantik, makanya dia merasa seperti baru saja
berhalusinasi. Ngapain Arka cerita tentang dia ke
maminya? Mungkin ini hanya basa-basi biasa.

"Makasih Tante." balas Natella, cukup lama untuk


memberikan balasan sesingkat itu. Dia merangkai kata
lagi. "Aku suka banget sama oleh-olehnya. Makasih
banget ya Tante."

Tante Anna mengangguk, terlihat ikut senang melihat


Natella yang excited meskipun matanya masih bengkak
karena kurang tidur.

"Kamu beneran ga mau lanjut tidur?"

Natella sontak menggeleng.

Yakali, gue sinting kalau masih bisa tidur di saat ada


Maminya Arka kayak sekarang. Bisa rusak image gue
sebagai calon menantu idaman.

Tiba-tiba, terlintas pikiran aneh-aneh di benaknya.


Jika Arka tidak mencintainya, dia harus membuat Ibu
cowok itu menyukainya, dengan begitu kan langkahnya
bakal lebih gampang untuk mendapatkan cowok itu
sepenuhnya, iya gak?

"Tante disini sampai kapan? Mau aku temenin jalan-


jalan?" tawar Natella kemudian, nada bicaranya dibuat
seramah mungkin.

232
"Mau banget." Balas perempuan yang duduk anggun
disebelahnya itu. "Tapi flight tante jam 5 sore,
kayaknya gak sempat." lanjutnya dengan nada
menyesal.

"Hari ini?" tanya Natella cukup terkejut. Kan baru


sampai?

Tante Anna tertawa, mejunjukkan gigi-gigi putihnya


yang rapi. "Yes, sweetheart. Hari in. Tante titip Sean
lagi ya."

Natella hanya menganggukan kepalanya ragu-ragu


sekaligus bingung, memilih mengomentari dalam hati.

"Ma."

Baik Natella ataupun Tante Anna memokuskan


pandangan ke tempat tidur pasien, Arka baru saja
memanggil namanya dengan suaranya yang serak dan
lemah. Tante Anna tentu berdiri, berjalan menghampiri
anak laki-lakinya itu. Dia mencium puncak kepala
Arka lembut dan menggenggam erat tangannya.

"Get well soon, sweetheart." Bisik Tante Anna pelan,


tapi masih bisa didengar Natella yang tengah duduk di
sofa ruang rawat VIP tersebut. Perempuan itu
kemudian mengusap-usap puncak kepala Arka dengan
lembut, penuh kasih sayang. "I miss you so bad." Tante
Anna berkata lagi. "But I dont like to meet you in this
kind of condition."

"I am okay, Mam." Balas cowok itu seadanya, seperti


yang dia jawab kepada Natella sehabis cewek itu
memarahinya. Pandangan Arka terarah pada jam
dinding lalu memandang Natella, "Nat, kamu ada ujian

233
jam 9." Arka mengingatkan, dan Natella nyaris
melupakan itu sepenuhnya.

Kok bisa kamu yang inget? Natella ingin menanyakan


itu, tapi ditahannya mengingat ada Mami cowoknya itu
di dalam ruangan ini, bisa-bisa Tante Anna sadar kalau
Natella kadang suka seenaknya dan labil terhadap
Arka.

"Dianter sama Supir Mami, ya?" Arka menawarkan,


tapi Natella menggeleng dan menolak. Membuat Arka
memfokuskan pandangan ke arah cewek itu yang
mendekat, "Dianterin aja, Nat. Kamu masih capek."
Tekannya kemudian.

"Tapi, kan..." Natella masih ingin membantah, dia bisa


pulang sendiri dan dia merasa masih mampu.

"Please." Potong Arka kemudin, membuatnya tidak


berkutik untuk menolak atau berdebat lebih lanjut.
Apalagi Tante Anna baru saja memberikan pandangan
bingung ke arahnya.

"Aku pulang sekarang ya." Pamit Natella. Dia mencium


tangan tante Anna dengan sopannya, membuat
perempuan anggun itu mengajaknya cipika-cipiki, juga
mengatakan kalau dia sangat senang bisa bertemu
langsung dengan Natella, meminta Natella kembali ke
rumah sakit secepatnya dan kalau bisa sebelum Tante
Anna melanjutkan penerbangan ke Australia.

Sedangkan dengan Arka, dia hanya memberikan


senyum dan mengatakan cepat sembuh untuk
cowoknya itu, sekaligus menanyakan Arka apa yang ia
inginkan atau titipkan pada Natella. Cowok yang

234
terbaring lemah itu hanya meminta agar Natella segera
kembali.

Untung ada tante Anna, kalau ngga, Natella pasti


sudah membalas kalimat itu dengan gombalan-
gombalan tidak bermanfaat yang kerap kali ia berikan
ketika mengganggu Arka.

Pintu kamar Arka kembali tertutup, menyisahkan


hanya dirinya dan ibunya di dalam ruangan yang
cukup luas itu. Tante Anna memandang Anak laki-
lakinya dengan pandangan sedih, tidak pernah suka
apabila anggota keluarganya terluka seperti ini. "I like
her, she is cute." Komentarnya lembut. "But i guess, she
was responsible for this. "

Arka menggelengkan kepalanya menyangkal, "bukan,


Ma. Aku jatuh sendiri."

"You did it in purpose and hurt yourself." Balas Maminya


menekankan. "I know you enough."

Arka membuang muka dan membahasi bibirnya yang


masih kering, "It's not her fault."

Perempuan yang berdiri di dekatnya memandang anak


laki-lakinya ragu. "Did she hurt you?"

Sekali lagi, Arkasa menggelengkan kepalanya sembari


menjawab, "she never hurts me."

Perempuan itu memberikan senyum manisnya


kemudian, seperti menantang, dia memberikan
pernyataan. "If she never hurts you, it means you never
love her."

235
"I dont love her." Arka memberikan balasan, suaranya
cukup kuat hingga membuat perempuan di dekatnya
itu terkejut, mencari kebohongan dalam mata pekat
putra nya itu. "So, believe me that she never hurts me."

***

"Gimana kabar Arka?" Dennisa bertanya ketika mereka


keluar dari ruang kelas. Natella datang terlambat,
membuat waktunya untuk menjawab soal berkurang
lumayan banyak, sehingga baru sekarang teman-
temannya itu bisa berbicara dengan Natella kemudian
memaksa cewek itu untuk makan di kantin sebelum
pulang.

"Tahu darimana?"

"Reno lah, siapa lagi." Meira menggantikan Dennisa


untuk menjawab pertanyaan bodoh Natella.

"Ngga ada yang patah sih, udah baikkan juga?tapi tetep


aja dia sakit." balas Natella dengan nada sedih.

"Makanya jangan dicuekin Nat." Meira membalas


santai.

"Dih lo kok sama kayak Reno sih malah nyalah-


nyalahin gue?" Tanya Natella kesal. Ya, orang-orang
bertingkah seperti dia yang bersalah dan penyebab
sampai Arka kecelakaan kayak begitu. "Tuh salahin aja
si Mentari."

"Ngga kelar-kelar ya urusan sama Mentari." Dennisa


menggeleng-gelengkn kepalanya heran sendiri.

236
"Kapan sih Nate mau damai sama Mentari?" Giliran
Jeana yang bertanya. Soalnya, Natella memang posesif,
tapi dia masih bisa bersikap sebiasa mungkin terhadap
teman Arka yang lain, kecuali Mentari.

"Tunggu cowok gue move on dari dia." Natella langsung


menjawab tanpa mikir. "Dan dia berhenti ngarepin
cowok gue." lanjutnya judes.

Teman-temannya hanya mengeluarkan tawa yang lebih


mirip seperti mentertawakan, Dennisa sontak
merangkulnya dan berkomentar, "duh Natella-ku
sayang sudah kembali seperti semula." Cewek itu
bahkan mencubit pipi Natella dengan tidak
berperasaan.

Jeana mengangguk setuju, "Iya, kita merasa kehilangan


Nate beberapa hari terakhir."

"Lo galaunya kelamaan, Cun." Tambah Meira, "gue


sampe mikir lo bakal bunuh diri. Eh, malah Arka yang
kenapa-kenapa."

Natella berdecak, "Kualat sih dia engga belain gue."


Responnya jutek, "Dewa cinta sampai murka kan tuh
karena dia menghianati cinta suci gue."

Meira geleng-geleng kepala, "otak lo kapan sehatnya


sih, Nat?" tanya Meira capek sendiri, disetujui oleh
Jeana yang sudah hapal betul kelakuan-kelakuan
sampah Natella.

"Pas otak gue sehat, kalian malah ngira gue sakit,


anjing. Dasar teman gak guna." keluhnya main-main.
Ya, saat-saat dia merajuk dan mendiami semua orang
adalah saat dimana otaknya bekerja dengan logika

237
diatas segalanya, paling waras. "Udah deh, mending
doakan cowok gue cepet sembuh. Dia yang sakit, gue
yang menderita tahu."

"Modus lo sampah bener, Nat."

Mereka berempat baru saja tiba di kantin. Namun


belum sempat Natella duduk setelah memesan
makanan, dia mendengar seseorang memanggil
namanya.

Itu Bagas, cowok brengsek si budak cinta Mentari yang


sempat ribut dengannya di Kedokteran. Masalah
mereka belum selesai, ya?

"Ngapa? Masih salty sama gue?" Tanya Natella jutek


ketika Bagas menghampirinya.

Ini kantin Fisip, Natella tidak perlu takut apa-apa


karena ini 'kandang'nya, teman-temannya banyak
disekitar sini sedangkan Bagas hanya sendirian.

"Oh jadi ini Nat yang udah ngomongin lo anjing?" Rio


mendekati Bagas, Naufal dan Satria juga ikut
mendekati cowok yang mukanya mulai memerah itu.
"Dan udah dorong-dorong, lo?" Lanjut Rio sembari
mendorong bahu Bagas.

Natella tersenyum licik dan membenarkan. Siapa suruh


berani-beraninya ke Fisip ketika punya masalah
dengan salah satu anak Fisip? Maksudnya, Natella saja
tidak berani lagi ke Kedokteran karena masalah
beberapa hari yang lalu.

"Bangsat ya lo beraninya cuma sama cewek." Naufal


ikut berkomentar, dia sok-sok baik merangkul bahu

238
Bagas yang sama tinggi dengannya, tapi mulutnya
daritadi terus mengeluarkan serapahan memancing.

"Gue kesini buat minta maaf sama Natella!" Tegas


Bagas cepat, sebelum dia diapa-apakan, membuat
orang-orang termasuk Ibu-Ibu penjaga kantin hijau
semakin memokuskan pandangan ke arah mereka yang
daritadi memang menarik perhatian. "Maaf atas
perbuatan gue di kantin FK." Ucap Bagas lagi.

Natella bingung, Naufal pun melepaskan rangkulan


belagak akrabnya dari bahu Bagas.

"Kok malah minta maaf?" Tanya Natella kaget, tidak


percaya dengan apa yang baru di dengar. Masalahnya,
si Bagas-Bagas ini minta maaf begitu saja padahal
permasalahan mereka masih panas-panasnya, Natella
bahkan tidak melakukan apapun beberapa hari
terkahir. Jadi, apa alasan Bagas meminta maaf
padanya ketika cowok ini kelihatan sangat
membencinya?

"Jangan mau, Nat." Dennisa menyambung, memanas-


manasi, bagaimanapun dia saksi mata atas apa yang
dilakukan Bagas terhadap Natella.

Yang dilakukan Bagas selanjutnya malah semakin


membuat Natella kaget, begitupun orang-orang
disekitarnya, "tolong, maafin gue. Gue bener-bener
minta maaf." Ucap pria itu mulai berlutut di hadapan
Natella.

Natella bingung, otaknya belum mampu mencerna


kejadian yang menurutnya tidak masuk akal ini. Jujur
saja, di tengah masa galaunya gara-gara kejadian di
kantin FK itu, Natella sampai bersumpah tidak akan

239
pernah memaafkan Bagas yang sudah jahat dan
mempermalukannya di depan banyak orang.

"Lo gak ada maksud lain, kan?" Tanya Natella curiga,


otaknya memang lebih suka berprisangka buruk
daripada baik.

"Tolong, maafin gue." Pintanya sekali lagi, segitu


memohonnya pada Natella.

"Yaudah, iya." Cewek itu menjawab pada akhirnya,


menerima permintaan maaf dari Bagas tanpa
memperpanjang ataupun mendramatisir keadaan,
cowok yang mengenakan kemeja rapi itu saja tidak
menyangka jika meminta maaf pada Natella segampang
ini. "Gue juga salah dan minta maaf sama lo." Natella
berbicara lagi, membuat Bagas semakin terkejut
dengan tingkah cewek yang awalnya dia pikir sejahat
penyihir tua di dongeng-dongeng bacaan anak kecil ini.
Bagas bahkan sempat memprediksi Natella akan
mempermalukannya hingga semalu-malunya di depan
banyak orang. Well, dia pikir Natella pendendam dan
tidak mau memaafkan orang lain dengan begitu
mudah, mengingat bagaimana cewek ini suka sekali
membuat masalah.

"Thanks." Ucap pria itu lagi, seperti kehabisan kata-


kata. "Masalah diantara kita selesai, kan?"

Natella mengangguk membenarkan, "iya." meskipun dia


tahu baik dirinya maupun Bagas tidak setulus itu
untuk saling memaafkan. Paling tidak, tidak perlu ada
masalah yang di perpanjang lagi dan Natella
menghargai Bagas yang mau minta maaf kepadanya.
Ya, minta maaf itu tidak pernah mudah karena harus

240
mengalahkan keegoisan dan kadang, mempertaruhkan
harga diri.

Bagas memutuskan untuk pamit beberapa saat


kemudian, membuat Natella langsung menatap ke arah
teman-teman cowoknya. "Kalian apain tuh anak sampai
mau minta maaf sama gue?"

Rio menjadi orang pertama yang memberikan gelengan


pada Natella, "Ini kali pertama gue bertemu langsung."

"Lah, jadi kenapa dia minta maaf?"

Baik Rio, Naufal dan Satria sama-sama mengangkat


bahunya tidak tahu menahu, yang artinya bukan
mereka yang membuat orang sekeras Bagas mau
mengunjungi Fisip hanya untuk meminta maaf kepada
Natella sampai berlutut segala.

Kalau bukan mereka, lantas siapa? Masa iya Arka?

"By the way, makasih udah belain gue tadi."

Satria mengangguk, dia menepuk pelan bahu Natella.


Sementara Rio hanya tersenyum dan mengatakan,
"sama-sama kanjeng ratu yang selalu menyelamatkan
prajurit-prajurit seperti kita disaat ujian."

"Haha bangsat." Balas Natella disertai tawanya.

***

"Tan, memangnya ke Bandara mau jemput siapa sih?"


tanya Natella bingung, dia sudah mempertanyakan
pertanyaan mirip-mirip seperti itu sebanyak tiga kali,

241
namun Tante Sarah tidak menjawabnya dan malah
memberikan pergerakkan gelisah.

Perempuan yang lebih tua darinya itu sedang menyetir


mobil, mengajak Natella untuk ikut dengannya ke
Bandara. Katanya, dia takut tidak sanggup menyetir di
perjalanan pulang, maka dari itu memaksa Natella
yang awalnya ogah-ogahan untuk ikut.

"Kenapa gak ngajak supir aja sih Tan?"

Tante Sarah menggeleng, "Tante gak mau nangis di


depan orang lain." Balas Tante Sarah langsung,
memberikan Natella alasan kenapa harus Natella yang
ikut.

Well, tante Sarah bukan tipe pemaksa, dia bahkan


tidak pernah minta tolong pada Natella padahal Natella
sering sekali minta tolong ke Tante Sarah. Makanya,
ketika Tante Sarah tiba-tiba menelpon dan minta
tolong kepadanya, Natella nyaris tidak mampu menolak
meskipun dia sudah punya janji lebih dulu pada Arka
yang baru saja pulang dari rumah sakit.

"Lah, ngapain Tante nangis?" tanya Natella tidak


nyambung. "Emang mau ketemu siapa sih? Musuh
bebuyutannya Tante?"

Tante Sarah menggeleng. Sehingga Natella menebak-


nebak lagi, "mantan pacar Tante?"

Sekali lagi, Tante Sarah memberikan gelengannya


menyalahkan.

"Jangan-jangan mantan suami tante yang brengsek


itu?"

242
Tante Sarah berdecak sembari menggeleng lagi. "Bukan
lah. Ngapain sampe harus nangis kalau ketemu dia?"

"Kan gitu-gitu cinta pertamanya Tante." Jawab Natella


kurang ajar. "Terus siapa dong?" Natella bertanya lagi,
nada suaranya penasaran dan sedikit memaksa.

"Jovan."

"Hah? Jovan?" tanya Natella memastikan, "Kayak nama


anjing temen aku pas SMA." lanjutnya polos.

"Jovan Adi Syailendra, Nat." Tante Sarah menyebut


nama panjangnya, suaranya cukup tercekat ketika
mendikte nama itu, seperti menyimpan luka buah dari
kebahagiaan.

"Siapa?" tanya Natella lagi, merasa tidak pernah ingat


apalagi kenal dengan nama itu.

"My son."

FUCK???? Natella menyerapah dalam hati ketika Tante


Sarah mengatakan 'My Son' dengan suaranya yang
lembut dan terdengar lirih. Seumur-umur Natella dapat
mengingat, ini kali pertama Natella mendapati tante
Sarah terlihat lemah, seperti menahan tangis daritadi.

"Oh, Jovan ya." Bisik Natella pelan. Dia sama sekali


tidak ingat siapa itu Jovan dan apakah mereka pernah
punya kenangan atau tidak sewaktu kecil. Yang jelas,
itu sudah lama sekali, bahkan Natella yakin kalau
seluruh anggota keluarga mereka mulai lupa dengan
eksistensi anak laki-laki Tante Sarah yang tidak jelas
lagi kabarnya.

243
Menurutnya, orang-orang sudah melupakan Jovan,
mungkin anak itu sudah hidup tenang dan bahagia
dengan keluarganya yang baru, dan menurut Natella,
Tante Sarah juga sudah melupakan Jovan, perempuan
itu tidak pernah lagi membahasnya pun menyebut
namanya, seperti Jovan Adi Syailendra memang tidak
pernah hidup dan hadir dalam keluarga mereka.
Natella saja selalu berpikir dan dianggap jika dia cucu
pertama di keluarga Ibunya.

"Dulu kamu manggil dia Abang."

Natella melirik Tante Sarah yang masih menyetir


sebentar, lalu cewek itu menundukkan kepalanya. Jika
orang-orang berpikir perempuan paling kuat di dunia
adalah Wonder Woman, Natella berpikir kalau tante
Sarah bahkan lebih kuat dari Wonder Women.

Dia tidak pernah melupakan anak laki-lakinya yang


terlupakan sama sekali, bahkan Natella yakin jika
lukanya masih menganga lebar-lebar.

Mobil baru saja terparkir di basement lantai 3 di


bandara dengan rute penerbangan Internasional,
perempuan itu buru-buru mengajak Natella turun
sampai ke lantai 1, di kedatangan.

Cukup lama mereka menunggu setelah informasi


mendaratnya pesawat dari Melbourne, hingga
penumpang yang telah mengklaim bagasi mulai keluar
satu persatu.

Tante Sarah memegang tangan Natella, tangan


perempuan itu dingin sekali, membuat Natella yang
biasanya banyak komentar tidak mau memberikan
komentar apapun kali ini.

244
Tante Sarah mendongak, bahkan berjinjit padahal dia
sudah mengenakan high heels 9 cm, sibuk
memperhatikan orang-orang yang baru keluar. "Tan,
aku bawa Ipad, gak mau dijadii papan pengenal?" tanya
Natella menawarkan, tapi Tante Sarah sepertinya
terlalu blank hingga tidak memberikan respon apapun.

Natella mulai mengeluh, kalau kayak begini, gimana


mau ketemu coba? Mereka kan sudah tidak pernah
ketemu hampir 20 tahun. Lagian, diantara banyaknya
waktu 20 tahun terakhir, kenapa malah baru ketemu
sekarang ketika mereka adalah Ibu dan Anak
kandung?

Tidak lama hingga akhirnya Natella mendengar suara


tante Sarah menyebut "Jovan." lagi, memanggil seorang
laki-laki tinggi yang baru saja keluar dan berjalan ke
kanan.

'Duh jangan sampai salah orang! Tante Sarah kan


memang kadang suka asal. Mentang-mentang ganteng
main panggil aja.' Keluh Natella dalam hati, apalagi
melihat laki-laki itu tidak kunjung menghadap ke arah
mereka.

"Jovan." Panggil Tante Sarah lagi, kali ini lebih


kencang, membuat beberapa orang melihat ke arahnya
pun laki-laki itu.

Dia melihat bingung ke arah Tante Sarah, kemudian


menghampirinya. Natella bahkan sampai yakin kalau
tante Sarah salah orang melihat bagaimana cowok yang
kurang lebih seumuran dengannya ini memandang
tante Sarah. Sumpah, pandangannya kurang ajar,
Natella yakin bahwa isi otaknya adalah hal yang

245
negatif. Bagaimanapun, tante Sarah itu cantik
ditambah bentuk badannya yang sexy.

"Tan, salah ora..." Belum sempat Natella menyelesaikan


kalimatnya, Tante Sarah lebih dulu memeluk pria
berkulit tan ini yang pandangannya masih kosong dan
tidak mengerti.

Natella dapat menangkap wajahnya dibalik pelukan


dari tante Sarah, meyakini jika cowok ini bukan
anaknya Tante Sarah. Berbeda dengan Tante Sarah, dia
tidak terlihat excited sama sekali bertemu dengan Ibu
kandungnya yang sudah belasan tahun tidak pernah
ketemu, dia malah memandang Tante Sarah dengan
pandangan kurang ajar.

Natella ingin mengemukakan pendapatnya lagi,


sayangnya, cowok ini lebih dulu membalas balik
pelukkan erat Tante Sarah. Lalu berbisik, "bun...da..."
ke telinga Tante Sarah, seperti anak bayi yang baru
belajar berbicara pertama kali dan kata pertama yang
berhasil diucapkan adalah panggilan untuk ibunya.

Tidak lama dari itu, Natella dapat mendengar tangis


Tante Sarah pecah. Seumur-umur Natella mampu
mengingat, ini kali pertama dia melihat Tante Sarah
menangis, perempuan itu bahkan tidak mengeluarkan
airmata ketika Opa, ayahnya meninggal dunia. Atau
mungkin dia tidak sudi menunjukan air matanya ke
orang lain.

Namun saat ini, Tante Sarah seperti kalah telak dan


pertahanannya runtuh sehancur-hancurnya. Natella
terdiam, dia mulai yakin kalau tante Sarah tidak salah
orang meskipun cowok yang dipeluknya masih
memberikan tampang biasa saja. Insting seorang Ibu

246
terhadap anaknya memang nyaris tidak mungkin
salah, itu hukum alam.

Terlalu banyak 'pertama kali' yang Natella temukan


pada diri Tante Sarah hari ini. Dan itu semua
dikarenakan oleh Jovan Adi Syailendra yang
seharusnya eksistensinya sudah dilupakan sejak
belasan tahun lalu. Dan mereka semua keliru apabila
menganggap Tante Sarah sudah melupakan anaknya
itu karena dia terlihat tidak pernah membahas pun
mempertanyakan.

Pelukan itu berakhir setelah bermenit-manit Tante


Sarah menangis di bahu Jovan. Dia tetap seorang Ibu
yang kasih nya sepanjang masa, bagaimanapun.
Kemudian Jovan memberikan senyumnya kepada
perempuan itu, tidak mengeluarkan airmata sedikitpun
sejak tadi seperti tidak ada rindu-rindunya sama
sekali.

"Bunda, dulu aku lahirnya sesar atau normal?" tanya


Jovan kemudian, diantara banyaknya pertanyaan
penting, malah itu yang keluar dari bibirnya untuk
pertama kali. Tante Sarah tentu menjawab polos
pertanyaan itu, tapi Natella mengerti maksud dibalik
pertanyaan kurang ajar Jovan, membuatnya geleng-
geleng kepala dan memberikan gumaman 'brengsek'
untuknya.

Duh, kalau menurut teman-temannya Natella itu


sinting, cewek ini berani bertaruh kalau Jovan Adi
Syailendra jauh lebih sinting, sampai-sampai Natella
ingin memblender otaknya yang pasti kotor.[]

***

247
Chapter 15. Blow Your Mind
Jovan merasa bahwa dia telah memiliki keluarga yang
sempurna. Dia punya ayah dan ibu yang pengertian
serta adik perempuan berjarak 10 tahun lebih mudah
yang begitu dia sayangi. Begitu juga keluarga besarnya,
kakek dan neneknya baik hati. Om, tante, dan semua
sepupu-sepupunya menyenangkan.

Jovan tidak pernah menginginkan kelurga baru atau


keluarga yang lain karena dia merasa sudah cukup
dengan keluarganya. Dia berpikir perempuan yang dia
pangil Mom dan membesarkannya itu telah memenuhi
definisi sosok Ibu yang sempurna, dia tidak butuh yang
lain ataupun lebih baik. Mom menyayangi ayahnya dan
menyayangi dirinya juga, bahkan mungkin cintanya
bisa disamaratakan atau lebih tulus dari Ibu kandung.

Jika tidak ada yang mengingatkan, Jovan pasti lupa


kalau Mom bukanlah orang yang telah melahirkannya.
Bahkan setelah sadar pun, dia tidak tertarik untuk
mencari atau menemui Ibu kandungnya meskipun
Ayahnya tidak tertutup apabila ditanyakan.

Dari banyaknya kenangan masa kecil yang terlupakan,


satu-satunya yang masih melekat jelas diingatan Jovan
adalah panggilannya untuk Ibu kandungnya. Dia
memanggil dengan sebutan Bunda.

248
Kenapa Jovan harus memikirkan Bunda ketika Bunda
sendiri belum tentu memikirkannya? Kadang dia rindu,
kadang dia pertanyakan. Apabila dia dirawat Bunda,
apakah Bunda lebih baik dari Ibu tirinya yang sangat
dia sayangi? Dia tidak mau membandingkan karena dia
tidak berpikir bahwa Mom akan tergantikan.

Jovan tahu bahwa Bunda tinggal di Jakarta, Indonesia.


Tapi dia tidak tahu mengenai hal lain, juga tidak ingin
mencari tahu. Padahal, dia sampai berkali-kali
mengunjungi Bali dalam setahun. Dia lancar berbahasa
Indonesia, bahkan lebih sering berbicara Bahasa
Indonesia dengan keluarga besarnya di Australia.

Hingga suatu ketika setelah dia tamat kuliah dan


disuruh Ayah untuk memulai karir fresh-graduated di
Indonesia, itu adalah kali pertama dia terpikir untuk
menghubungi Bunda-nya, meskipun tidak seniat Hachi
si lebah sebatang kara yang mencari Ibunya.

Berbeda dengan Jovan yang cenderung masa bodoh,


dia dapat mendengar suara tercekat seorang
perempuan yang dia hubungi lewat aplikasi whatsapp.
Jovan bahkan heran sendiri kenapa perempuan itu
mau percaya begitu cepat, padahal bisa saja Jovan
hanya penipu yang mengaku-ngaku. Lalu, Jovan juga
tidak mampu menolak ketika perempuan itu
mengatakan bahwa dia bersedia menjemputnya dan
memberikan Jovan tempat tinggal. Dia akan menikmati
sesuatu yang tidak merugikannya dengan senang hati.

Karena pertemuan terakhir dengan Bunda yaitu ketika


dia belum genab berumur 7 tahun, dia tentu tidak tahu
menahu bagaimana bentuk Bundanya selain foto
profile whatsapp perempuan itu yang kurang jelas

249
ataupun foto Jovan dengan Bunda ketika Jovan masih
berumur 2 tahun.

Bundanya cantik, itu satu-satunya yang terbesit dalam


benak Jovan. Tidak ada perasaan lain selain pertemuan
dengan orang yang ia anggap asing. Ketika keluar dari
pintu kedatangan Bandara dan mendengar seseorang
menyebut namanya. Perempuan cantik dengan tinggi
semapai dan bodi yang mirip-mirip dengan Adriana
Lima namun berkulit putih pucat.

Jovan bingung sebentar, dia sempat mengagumi


keindahan perempuan yang memanggil namanya itu,
yang kemudian langsung memeluknya erat ketika
Jovan menghampiri.

Dia tidak terpikirkan hal lain selain, "why the fuck this
perfect lady has to be my biological mother?"

Bukan perasaan rindu, atau hal yang lain. Paling tidak


dia menikmati pelukan perempuan itu. Jovan tidak
balas memeluk, mungkin di syok, atau mungkin dia
takut otak kotornya malah khilaf sendiri. Tapi pelan-
pelan, mulutnya mulai bergumam tanpa sadar
menyebut kata, "bun...da"

Mungkin tanpa dapat dia tantang, sesuatu dalam


jiwanya yang telah tumbuh dewasa tetap merespon
kerinduan kepada perempuan yang dengan susah
payahnya telah melahirkannya ini.

Jovan dapat mendengar Bunda mengeluarkan tangis.


Saat itu, dia melingkarkan tangannya kembali ke
punggung Bunda, berharap dia dapat merasakan
sesuatu seperti senang, sedih ataupun rindu, apalagi

250
mendengar tangis yang begitu tulus itu keluar dari
bibir ibu kandungnya.

Sayangnya, dia tidak merasakan apapun selain rasa iri


terhadap dirinya ketika masih bayi.

Meskipun perempuan seluar biasa ini merupakan Ibu


kandungnya dan Jovan harus tahu diri bahwa dia tidak
boleh terlalu khilaf, paling tidak dia keluar dari
selangkangan itu ketika baru lahir dan mendapatkan
ASI langsung yang cukup. Dia tetap lucky bastard,
bagaimanapun.

***

Jovan tetap merasa seperti berada di tengah orang


asing, meskipun satu persatu dari mereka yang
menamakan keluarga menangis ketika memeluknya.

He wants to feel something. But he only feels nothing.

Mereka asing, Jovan tidak kenal mereka. Makanya dia


selalu berusaha menyendiri dan bersembunyi agar
tidak perlu mendengar kalimat-kalimat yang
menyatakan rindu atau kenangan kecil yang tidak
perlu diingat lagi.

Saat ini dia berada di rumah Oma, Ibu dari Bundanya,


yang letaknya di Bogor. keluarga besar Bunda seperti
berkumpul semua demi bertemu lagi dengannya yang
lama menghilang. Terlalu banyak pertanyaan dan
pernyataan yang membuat kupingnya panas sendiri.
Paling tidak, tidak seorangpun diantara mereka yang
menjelek-jeleknya ayahnya di hadapannya. Karena jika
iya, mungkin Jovan akan dengan senang hati

251
menggunakan tinjunya untuk menyadarkan mereka
kalau Jovan berpihak pada Ayahnya.

Bosan ditanya-tanya dan berhadapan dengan orang


yang menurutnya asing, Jovan malah berjalan ke pintu
belakang setelah keluar dari kamar mandi.
Pandangannya langsung terfokus pda ayunan kayu
yang bercat putih dan tengah diduduki oleh seseorang.
Dia mendapati cewek yang mengenakan kaos putih dan
hot pants tengah serius memainkan handphonenya.
Cewek yang sama yang menjemputnya di Bandara
bersama Bunda.

Jovan menghampiri, duduk disebelahnya, tapi cewek


itu kelihatan begitu sibuk dengan dunianya sehingga
mengabaikan Jovan, mungkin juga sengaja. Cowok
berkulit tan itu baru saja mau memberikan komentar,
'paha lo seksi,' anggap sebagai pujian. Namun,
matanya lebih dulu menangkap layar handphone cewek
itu yang tengah melihat siapa saja yang menyaksikan
InstaStoriesnya. Darah Jovan tiba-tiba berdesir.

"Itu siapa?" Jovan menanyakan hal urgensi itu hati-


hati. Dia berharap kalau dia salah orang karena
kemungkinan besarnya begitu. Gambar yang terlihat
merupakan seorang lelaki yang tertidur dari samping,
tidak terlalu jelas. Dari banyaknya perasaan kosong
yang dia rasakan semenjak datang ke Indonesia, cewek
ini hal pertama yang membuatnya begitu tertarik.

"Cowok gue." jawabnya dengan nada tidak bersahabat,


pun tidak melirik ke arah Jovan yang sudah duduk di
sebelahnya.

"Oh." Jovan menjawab seadanya, cukup speechless


karena hampir semua orang yang ia temui semenjak

252
kedatangannya ke Jakarta memperlakuknnya dengan
sangat baik, terutama Bunda, Oma dan Mama.

Jovan diam, cewek yang di sebelahnya juga tidak


tertarik untuk bicara. Lalu mulutnya dengan tiba-tiba
berucap, "apa kabar, La?" tanyanya pelan.

Cewek disebelahnya sontak melihat ke arahnya, "baik."


balasnya, dia tampak bingung, mungkin karena
panggilan yang disebutkan Jovan untuknya.

Jovan tidak terlalu mengingat cewek ini. Dia butuh


waktu bermenit-menit untuk me-recall memori lamanya
hanya untuk tahu nama sepupunya ini. Lala, atau
siapa lah nama aslinya. Yang jelas Jovan hanya ingat
Lala.

"Panggil gue Nate aja," Natella menawarkan. Jeda


sebentar sebelum dia mengeluarkan pertanyaan basa-
basi agar suasana dengan sepupu-ketemu-besarnya ini
tidak begitu canggung. "Lo, apa kabar?"

"Baik." Tidak lama kemudian, dia mengeluarkan


handphone yang terletak di saku celananya,
melancarkan niatnya dari awal dengan cara halus,
"boleh tahu username IG lo?"

"Narundanatella." Jawab cewek itu mendikte. Jovan


mencari di pencarian, menklik username cewek itu dan
mendapati bahwa dia tidak dapat melihat post apapun.

"You've blocked me." Ia memberitahu.

Natella sontak menghadap kearahnya, mendekatkan


matanya ke handphone Jovan untuk membuktikan
langsung kata-kata Jovan dan memang menemukan

253
tanda-tanda bahwa akunnya memblokir akun cowok
itu. "IG lo error kali." duga Natella. Cewek itu cepat-
cepat mensearching username Jovan di handphonenya,
mendapati bahwa dia memang memblokir akun Jovan,
membuat rautnya menunjukkan kebingungan yang
kentara. "Tapi gue ga pernah tahu akun lo
sebelumnya." jawabnya berkilah, antara tidak enakkan
karena memblokir dan penasaran siapa yang
memblokir Jovan. Natella merasa bahwa dia tidak
pernah kenal atau berhubungan dengan Jovan
sebelumnya. Masa iya keblokir sendiri?

Tanpa diminta, Natella mencabut blokiran untuk akun


Jovan, bersedia mengikuti lebih dulu. Jovan
melakukan hal yang sama, mengikuti akun Natella,
langsung membuka instastories Natella ketika friend
request-nya diterima.

Jovan berdecak, dia ingin tertawa sekeras-kerasnya


tapi rahangnya tiba-tiba terasa kaku. Dunia itu sempit,
dia tahu. Tapi, kenapa harus sesempit ini? Dia tidak
bisa menghentikan perasaan campur aduknya setelah
menyadari bahwa dugaannya daritadi merupakan
kebenaran.

Well, dia punya banyak sepupu di Australia, entah itu


anak kakak-adik ayahnya atau Ibu tirinya. Dan bagi
Jovan yang memiliki prinsip keluarga adalah segalanya,
dia selalu berusaha melindungi dan menjaga mereka.
Dia tidak tinggal diam dengan siapapun yang berani
menyakiti keluarganya.

Lalu dia melihat cewek di sebelahnya ini, orang asing.


Kemudian dia hanya mengeluarkan seringai miringnya,
"lo ceweknya Sean?" tanyanya dengan nada suara

254
sebiasa mungkin, menghilangkan seluruh kesinisan
yang seharusnya ia tampakkan.

Natella yang daritadi sibuk sendiri, melihat ke arahnya


lagi. Dia mengangguk meskipun agak ragu, lalu
bertanya balik "kenal Sean?" tanyanya excited.

Jovan tersenyum, tapi itu bukanlah senyum yang


berarti baik. "my bestfriend." bohongnya. "Udah lama
pacaran sama Sean?"

Natella mengangguk, dia mulai tertarik dengan


pembicaraan bersama Jovan sehingga bersedia
mengunci handphonenya. "Hampir 2 tahun."
ungkapnya. "Tapi cowok aku gapernah cerita punya
temen yang namanya Jovan."

Jovan tersenyum miring lagi. The way she said 'cowok


aku' sounded so amusing in his ears. Kayak setelah
sekian lama, akhirnya dia diberikan cara semudah ini
untuk balas dendam kepada Arkasa Sean Hadinata.
Jovan bahkan yakin musuhnya itu bakal langsung
kelabakan hanya dengan Jovan memberitahunya
bahwa dia kenal Natella. Pemblokiran pada akun Jovan
jelas dilakukan oleh Sean, dalam bentuk kesengajaan,
mungkin si brengsek itu tidak mau Jovan menemukan
siapa ceweknya dan berbuat macam-macam terhadap
cewek ini.

"He is kinda misterious, isnt he?" tanya Jovan meminta


persetujuan. Natella mengangguk. Dia sadar kalau
Arka memang punya banyak sekali menyimpan rahasia
darinya. "Hampir dua tahun, lama juga ya."
Komentarnya pelan. Dalam hati bertanya, 'wow, udah
diapain aja nih anak sama Sean?'

255
"Iya lama. Tapi dia gak cinta aku." balas Natella blak-
blakan, membuat Jovan yang awalnya hanyut dalam
pikiran busuknya harus merasakan terhantam batu
besar.

"Gak cinta?" ulangnya.

"Iya, dia cintanya sama cewek lain." jawab Natella


enteng, seperti hal menyakitkan itu bukanlah beban
lagi untuknya. "tapi gak papa, udah tahan banting
kok," lanjutnya asal.

Jovan pusing sendiri. Ucapan Natella barusan betul-


betul membuatnya merasakan apa itu minblowing.
Padahal dia sudah senang bisa memanfaatkan Natella
untuk upaya balas dendam. Tapi, kenapa malah terasa
sebaliknya?

"If he didnt love you, why you both had relationship?"

"Because I asked him too."

Jovan mendengus. Dia mulai terpikirkan hal-hal aneh.


Dia tahu Sean, mereka memang sempat berteman
sebelum akhirnya saling benci setengah mati. Si
brengsek itu tidak mungkin rela begitu saja memiliki
hubungan spesial dengan orang lain hanya karena
diminta. Dia tidak segampang itu.

Lantas kenapa dia berpacaran dengan Natella apabila


dia tidak cinta? Atau jangan-jangan dia tahu Natella
merupakan sepupu Jovan makanya dia merencanakan
ini dengan sedemikian rupa untuk balas dendam?

256
Tapi, Jovan saja baru tahu sekarang jika Natella
merupakan sepupunya sedangkan kedua orang ini
telah memiliki hubungan hampir dua tahun.

"Ah, shit!" rutuknya, tangannya terkepal kuat Jovan


baru ingat jika Arkasa Sean Hadinata memang bisa
berlangkah-langkah lebih maju dari siapun. Dia melirik
Natella yang sepertinya kaget dengan kata kotor yang
keluar dari bibirnya barusan. Well, setidaknya, dia
punya alasan kenapa harus tinggal di Jakarta dan
mendekatkan diri pada keluarga yang terasa asing ini.

"You better break up with him and I promise I am going


to protect you."

***

Natella tentu masih mengingat apa saja yang telah


diucapkan Jovan mengenai Arka. Sumpah, Jovan-
Jovan ini betulan keterlaluan, cowok itu seharusnya
bersyukur karena Natella masih dapat menahan diri
untuk tidak mencakar wajah menyebalkannya setelah
dia memfitnah Arkasa dengan begitu niat.

"Cowok lo itu brengsek."

"Jangan percaya dia."

"He is going to hurt you."

"Tahu kenapa kalian pacaran meskipun dia gak cinta


sama lo? Karena dia mau menggunakan lo buat balas
dendam ke gue."

Mendengar bagaimana Jovan menyuruhnya


memutuskan Arka dengan seenaknya saja sudah

257
membuat Natella naik darah, apalagi ketika cowok itu
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
menurutnya sangat tidak masuk akal.

Ayolah, kelakuan Arkasa Sean Hadinata itu sangat


jauh dari kata brengsek, dia malah terlalu baik untuk
hidup di dunia yang kejam ini. Lagipula, mana pernah
Arka melakukan hal-hal kurang ajar terhadapnya
seperti yang dituduh Jovan. Ciuman saja Natella
duluan yang nyosor, Gimana Arka mau colok menyolok
seperti yang dimaksud Jovan dengan kurang ajar?

Komentarnya mengenai Jovan waktu pertama kali


bertemu di Bandara memang tidak salah. Cowok ini
brengsek, dan jauh lebih brengsek setelah Natella
berbicara dengannya.

Natella langsung mencoba menghubungi Arka, sudah


berkali-kali namun tidak diangkat. Tidak putus asa, dia
akhirnya menuliskan pesan di Line cowoknya itu.

'Ka, masa si anaknya Tante Sarah yang aku ceritain


waktu itu nyuruh aku putusin kamu'

'Terus dia juga seenaknya ngomongin kamu padahal


awalnya dia bilang kalian temenan, terus musuhan. Dih
labil banget ga sih?'

'Udah tua masih labil, nyebelin banget sumpah.'

'Aku aja gak yakin kamu kenal dia.'

'Namanya Jovan by the way. Ih kan, aku jadi curiga


kalau dia orang gila yang ngaku-ngaku jadi anak Tante
Sarah.'

258
Natella mencurahkan segala kekesalannya sembari
mengetik chat-chat untuk Arka. Dia dapat melihat
tanda bahwa pesan-pesan keluhannya sudah dibaca
oleh akun yang dituju. Sayangnya, tidak kunjung ada
balasan juga.

'Ka, kok gak dibales?' Tulis Natella lagi, sayangnya


tetap saja pesannya itu tidak dibalas. Pasti Arka
menganggap kalau hal ini bukanlah hal penting yang
harus dibahas. Natella mengeluarkan cibirannya,
semakin yakin pasti betulan ada yang salah dengan
otak cowok bernama Jovan itu.

Arka saja tidak peduli dengan hal ini ataupun


bertingkah selayaknya dia mengenal Jovan sedangkan
reaksi Jovan tadi sangat berlebihan sampai-sampai
ketahap memaksa Natella putus segala. Memangnya
dia siapa?

Natella baru tiba di rumahnya ketika dia melihat ada


panggilan masuk dari Arkasa, dia langsung
mengangkatnya dan menyapa cowok itu, "halo
sayangnya aku." ucapnya menggombal, Natella dapat
mendengar suara dengusan Arka dari sebrang sana
sembari memasuki kamarnya.

"Tadi ketiduran, makanya gak bales chat." cowok itu


memberikan alasannya sebelum Natella marah-marah
karena pesannya diabaikan. Singkat dan padat seperti
Arka yang baisanya.

"Emang gak penting juga." balas Natella santai, tidak


mempermasalahkan hal itu sama sekali. "Tapi aku
kesel masa kamu difitnah dia?." lanjutnya dengan nada
yang bertolak belakang dengan sebelumnya.

259
"Gak usah dipikirin." Saran Arka, suaranya terdengar
tenang seperti biasa, menambah keyakinan Natella jika
Jovan benar-benar mengatakan hal-hal omong kosong.
Arka saja semasa bodoh ini dengan Jovan berikut
ucapan-ucapannya. Apabila cowok berkulit tan itu
memang benar, setidaknya Arka seharusnya
menunjukkan respon takutnya karena ketahuan
meskipun sedikit, kan?

"Iya." balas Natella menyetujui. "kamu udah baikkan?"


Natella bertanya lagi. Gara-gara Papa dan Mama
memaksanya untuk berkumpul di rumah Oma, dia jadi
tidak bisa bertemu cowoknya itu sejak kemarin.

"Udah."

"Bagus deh. Istirahat yang cukup ya, sayangnya aku!!!


Terus bilangin ke Reno, siap-siap aja muntah paku
kalau masih berani bawa cewek-cewek berisik ke
Apart."

Natella dapat mendengar tawa singkat Arka,


membuatnya langsung berkata lagi, "aku kangen
banget sama kamu, sumpah." ucapnya, teringat bahwa
minggu ini dan minggu kemarin mereka menghabiskan
sedikit sekali waktu bersama. Padahal memang
biasanya sedikit. Belum lagi dengan Natella yang
merajuk empat hari karena peristiwa Arka yang lebih
membela Mentari daripada dia, masalah lama yang
selalu sama.

"Besok ketemu kok." jawab Arka seadanya. "Nat." Arka


memanggil namanya tidak lama dari itu, suaranya
pelan, terdengar serius.

"Apa?"

260
Arka tidak kunjung menjawab, dia seperti berpikir
untuk mengucapkan apapun yang ingin ia ucapkan
setelah ini.

"Apa sayang?" Natella bersuara lagi, mengingatkan


Arka bahwa cowok itu belum merespon perkataannya.

"Tidur gih, udah malem." balas cowok itu kemudian.

Natella berdecak, "aku pikir mau ngomong apa."

"Good night."

Apabila Arka sudah mengatakan good night di telpon,


dia pasti langsung mematikan sambungan telepon itu
di saat itu juga. Jadi, Natella sontak mengatakan
tunggu, meminta Arka untuk tidak mematikan
sambungan telpon mereka dulu, tidak mau terlalu
banyak basa-basi karna hari sudah kelewat malam dan
kondisi Arka harus banyak istirahat,

"Ada yang ingin aku tanyain." ucap Natella.

"Apa?"

"Kenapa kamu ngeblokir instagram Jovan dari


instagram aku?" tanya cewek itu to-the-point. Dia
bahkan tidak memastikan dulu apakah benar Arka
yang melakukannya atau bukan. Tapi memang hanya
Arka yang tahu password instagram Natella.

Seperti tadi, Arka tidak memberikan jawaban dalam


waktu singkat. Natella harus menegurnya dulu hingga
akhirnya pria itu menjawab, "kayaknya gak sengaja."

261
"Iya kan, pasti gak sengaja!" Balas Natella bak
memberikan dukungan atas jawaban Arka. "Yaudah
istirahat ya sayang. Good night."

"Oke."

Sambungan telepon mereka terputus. Natella yang


sejak tadi tiduran di kasur mendudukan badannya. Dia
mencari kontak whatsapp Jovan kemudian
menghubungi nomor pria itu.

"I've talked about you to my boyfriend. Reaksinya biasa


aja." Ucap Natella setelah Jovan memberikan sapaan
atas panggilannya.

"Biasa aja gimana?"

"Sama sekali gak sealay reaksi lo di rumah Oma tadi."


balas Natella blak-blakan. "Dan ga seperti yang lo
prediksi juga."

Well, sebenarnya Jovan yang menantang Natella untuk


memberitahu Arka tentang cowok itu dan
hubungannya dengan Natella, berikut hal-hal yang
diucapkan Jovan tadi tentang Arka. Jovan bertaruh
bahwa Natella akan tahu bagaimana cowoknya itu yang
sebenarnya, namun Arka tetap bertingkah biasa saja,
seolah-olah ini bukanlah hal penting.

"Are you serious?"

"Ngapain bohong?" tanya Natella balik. "Jadi, berhenti


ngomongi yang jelek-jelek tentang cowok gue."
pintanya. "Lo udah janji bakal minta maaf ke dia kalau
gue mau ngelakuin yang lo suruh." Lanjut Natella
mengingatkan.

262
"Then, apa jawaban dia tentang ngeblokir akun IG gue
dari akun lo?"

"Gak sengaja ke blokir." balas Natella enteng.

Natella dapat mendengar tawa sinis Jovan yang


terkesan dipaksakan. "It aint make sense."

"It makes sense." Natella menekankan. "Gue bahkan


pernah gak sengaja ngeblokir akun temen-temen gue."

Natella dapat mendengar hembusan napas kesal dari


sebrang sana. "Ada jawaban yang lebih masuk akal."
Jovan tidak lagi berkata dengan nada bersahabat,
gregetan dengan Natella yang sejak tadi hanya membela
Arka. "He used your account to block me so that I could
not find you." Ucapan Jovan belum selesai disitu, "his
girlfriend." lanjutnya berdesis. "Kenapa? Karena bisa
jadi dia mau melindungi lo dari gue."

"Emang apa masalahnya kalau lo nemuin akun gue? Lo


bahkan udah ketemu gue langsung dan kita
sepupuan."

Suara Jovan makin terdengar kesal sendiri karena


balasan-balasan Natella yang terkesan selalu
menyudutkannya dan tidak mengerti juga dengan apa
maksudnya. "Darling, lo bisa gue gunain buat balas
dendam ke dia."

"Lo ternyata jauh lebih bangsat dari yang gue duga."


potong Natella dengan suara sinisnya, tidak menyangka
jika Jovan memikirkan hal yang begitu jahat untuknya.
Memangnya apa masalah antara Jovan dan Arka?
Cowok berkulit tan itu belum mau menceritakannya
secara rinci.

263
"Gue belum selesai ngomong!" Balas Jovan lagi. "Lo tau
apa artinya kalau nggak bereaksi serius tentang ini? I
mean, gak takut atau cemburu seperti yang gue
prediksi?

"..." Natella tidak repot menjawab, sengaja


mengabaikan pertanyaan memancing Jovan yang pasti
sama tidak pentingnya dengan yang sebelum-
sebelumnya. Lagipula, tadi Jovan sudah dia beritahu
kalau selama ini tidak sekalipun Arka cemburu
padanya, apapun yang ia lakukan dengan cowok lain.

"Dugaan kalau dia sengaja macarin lo buat balas


dendam ke gue kemungkinan besar benar. You yourself
who said that he didnot love you."

"Gak usah ngarang. Gue bahkan kenal Sean lebih dulu


daripada lo mengaku-aku sebagai sepupu gue. Lo pikir
Sean itu sodaranya Edward Cullen sampe bisa tahu
dari awal kalau kita sepupuan?"

"Dia memang bisa sejauh itu. Orang kayak di punya


semua, La."

Natella melihat layar handphonenya dan mendapati


bahwa mereka telponan melewati angka 30 menit
hanya untuk membicarakan hal-hal yang menurutnya
non-sense.

"Lo daritadi bertingkah seolah-olah cowok gue itu


creepy dan brengsek."

"Memang creepy dan brengsek."

Natella merespon lagi dengan nada mencaci, "lo yang


creepy dan brengsek!!!" hardiknya emosi kemudian

264
mematikan sambungan telponnya dengan Jovan.
Sembari mengatur napas yang tidak stabil, Natella
mengetik di pesan, 'jangan lupain janji lo mau minta
maaf sama cowok gue.'

Tidak lama kemudian, muncul balasan dari Jovan.

'Gak sudi.' tulisnya. Tapi itu bukan pesan satu-


satunya.
'Mending lo hati-hati aja. Gue udah kasih tahu lo
kemugkinan-kemungkinannya.'
'You are in danger, sweetie.'
'Tapi lo masih punya harapan. At least, he never does
bad things to you before.'

Natella tentu mengoeceh membaca pesan-pesan yang


dikirimkan Jovan untuknya. "Ini orang kayaknya
kebanyakkan nonton sinetron Indo di Astrali,"
komentarnya kesal.

Natella mengetik lagi, 'bodo amat.' sebagai balasan


untuk Jovan. Setelah itu, dia memutuskan untuk
mandi kemudian tidur.

Well, Natella yakin jika dia mengenal Arka cukup baik.


He is so kind. Cowoknya itu tidak mungkin sejahat
yang dideskripsikan oleh Jovan. Lagipula, dari awal,
apapun yang dikatakan Jovan mengenai Arka memang
sama sekali terdengar tidak masuk akal.

Sayangnya, seingin apapun Natella tidak mempercayai


Jovan. Tetap saja dia terganggu dengan beberapa hal.

Arka tidak mencintainya.

265
Dan itu artinya, cowok itu bisa saja menjadi sangat
tega untuk menghancurkan dan menyakitinya, bahkan
lebih parah dari apa yang dikatakan Jovan.

Sementara Natella yang mencintainya, hanya akan


membiarkan.
.
.
.
.
.
.
.
"Membiarkan? Enak aja!" Natella menggerutu sendiri.
"Awas ya kalau Arka berani sejahat itu sama gue. Gue
bakal apa-apain tuh si Mentari. Kali ini gak cuma pake
mulut doang." Lanjutnya lagi. Terus Natella tertawa
setelah mengatakan kalimatnya barusan. "duh, kok gue
antagonis banget ya jadi orang?" Dia bertanya sendiri.
Dan Natella tetaplah Natella yang tidak mau ambil
pusing mengenai apapun.[]

***

266
Chapter 16. A Sky Full of Stars
Hubungan antara Arkasa dan Natella memang tidak
bisa baik-baik saja dalam waktu yang lama.

Natella hanya mengeluarkan dengusan ketika


mendengar ucapan Arka yang membatalkan janji
bertemu dengannya. Katanya, dia mau belajar untuk
persiapan ujian SOCA yang disebut-sebut sebagai ujian
paling horror bagi mahasiswa jurusan kedokteran.
Natella masih bisa menemani kalau alasannya hanya
itu. Masalahnya, Arka belajar dengan beberapa teman-
temannya yang pasti akan berakhir membuat Natella
bak kambing congek apabila tetap memaksakan diri ke
apartemen cowoknya itu.

"Yaudah, gak papa." balasnya setelah mendengar


penjelasan singkat Arka lewat telepon, kali ini memilih
menyimpan kekesalannya dalam hati dibanding
melampiaskan.

Cewek itu diam setelahnya, begitu juga dengan Arka


yang sepertinya tidak repot ingin meminta maaf atau
memberinya ganti rugi karena telah ingkar janji. Ia
mendapati klekson yang keras dari mobil belakang,
membuatnya harus menghentikan lamunannya. "Udah
dulu, aku lagi nyetir." ucapnya sebelum mematikan
sambungan.

Natella menghembuskan napas beratnya lagi. Dia


sendiri heran kenapa tidak mengeluarkan perkataan
protes apapun dan malah membiarkan begitu saja.
Akhir-akhir ini, Natella merasa jika Arka menghindari
sekaligus menjauhinya. Dia cukup peka dalam hal

267
kayak begini. Jarak antara dirinya dan Arka terasa
begitu jauh.

"Pasti gara-gara Jovan." Natella menggerutu, mencari


temeng atas perasaannya yang tiba-tiba kosong. Iya,
Arka dan Jovan tidak memiliki hubungan baik, itu jelas
bagaimana Jovan yang notabennya merupakan sepupu
Natella berusaha menjelek-jelekan Arka.

Cowok itu menghindarinya semenjak tahu Natella


merupakan sepupu Jovan. Di satu sisi, dia juga tahu
kalau seseorang ingin menghindari orang lain, itu
karena kesalahan atau kekurangan orang lain itu
sendiri. Tapi, Natella lagi malas bersedih, maka dari itu
dia tetap menyalahkan Jovan atas tingkah aneh Arka
yang menghindarinya.

Cewek itu membelokkan stir ke arah kanan ketika


lampu lalu lintas berpindah warna hijau, tiba-tiba
memutuskan untuk menuju kediaman Tante Sarah.
Lampu sen yang tidak sempat ia hidupkan
membuatnya lagi-lagi mendapati klekson dan kutukan
dari pengendara motor di belakang yang merasa
terganggu.

Natella menyadari bahwa dia baru saja melakukan


tindakan yang membahayakan orang lain atau dirinya
sendiri. Makanya dia tidak menyerapah balik ketika
beberapa orang menyerapahnya karena melakukan
pelanggaran lalu lintas. Setidaknya, tidak ada polisi
yang berjaga sehingga ia tidak perlu berurusan
panjang.

Atau, perasaannya terlampau kosong hingga dia tidak


mengerti apa yang harus dia perbuat saat ini.

268
Setibanya di depan rumah dua tingkat milik Tante
Sarah, Natella mendapati salah satu mobil milik Tante
Sarah terparkir, lalu keluarlah Jovan dengan pakaian
formalnya yang sudah tidak rapi lagi. Natella langsung
mencegat cowok itu yang tampak heran melihat
kedatangan cewek yang berstatus sebagai sepupunya
itu.

"Bolos ngantor ya lo?" tuduhnya untuk Jovan. Jelas


saja, sekarang masih jam setengah 4, bukan jam
pulang orang kantoran dan ditambah kemacetan ibu
kota.

"Iya, masa gue masuk divisi keuangan? Yakali, ini HRD


nya sakit atau gimana." Jovan berkata dengan nada
kesal. Natella tahu kalau tujuan Jovan ke Indonesia
untuk bekerja disini dan dia menebak kalau cowok ini
bekerja di salah satu perusahaan keluarga besarnya.

"Gue jauh-jauh kesini bukan buat dengerin curhatan


lo." balas Natella ketus.

"Then, why sweetie?" Tanya Jovan sarkastik. Dia


berjalan mendahului Natella untuk masuk ke rumah
Tante Sarah yang sekarang juga menjadi tempat tinggal
cowok itu.

Natella mengepalkan kedua tangannya, ingin berteriak


"INI SEMUA GARA-GARA ELO BANGS..." Namun, ia
terpaksa menghentikan ucapannya ketika melihat Oma
berdiri di balik pintu. "Kok, Oma ada disini?" tanyanya
bingung.

Jovan mencium tangan Oma, sementara Natella


menunggu jawaban Ibu dari Ibunya itu yang tersenyum
cerah melihat Jovan. "Oma nginep disini dari kemarin."

269
Jelas Oma, untuk tidak memarahinya karena telah
tertangkap basah berbicara menggunakan nada tinggi
yang tidak sopan. "Kangen sama Jovan."

Natella hanya memutar bola matanya malas. Untuk


apa coba kangen sama orang kayak Jovan? Padahal
sebelum-sebelumnya, Oma tidak pernah membahas
eksistenti Jovan, seperti orang ini telah terlupakan
selamanya. Dianggap mati.

"Oma seneng liat kalian dekat." Oma berkomentar lagi,


berjalan mendahului Natella dan Jovan dengan langkah
kakinya yang terseok-seok akibat penyakit diabetes
yang dideritanya. Melihat itu, Jovan buru-buru
menggandeng tangan Oma, agar perempuan yang
rambutnya mulai memutih itu dapat berjalan dengan
lebih mudah. "Tapi emang cuma Natella yang deket
sama Jovan pas masih kecil." lanjut Oma yang diam-
diam di cibir Natella. Dekat darimana? Kalau bukan
karena dia yang tiba-tiba dijauhi Arka, mana sudi
Natella dekat-dekat Jovan.

"Oma istirahat aja dulu, aku mau ngomong sama


Jovan." Natella menyarankan dengan nada suara
semanis mungkin dan tidak terdengar memerintah. Dia
malas harus ribut ataupun dimarahin Oma yang darah
tinggi, apalagi di hadapan Jovan yang dia anggap
sebagai musuhnya. Well, musuhnya Arka adalah
musuhnya juga.

"Kalian makan ya, Oma sama Bi Sumi udah masakin


sup iga buat kalian."

"Iya, kita makan, tapi Oma istirahat, ok?" pinta Natella,


bermaksud terselubung untuk mengusir Oma.

270
"Oma mau liat kalian makan." ucap Oma lagi sembari
melihat ke arah Jovan yang masih membantunya
berjalan.

Natella tidak mau berdebat lebih panjang dan harus


menunggu lebih sabar untuk melampiaskan
kekesalannya terhadap Jovan. Dengan terpaksa, dia
menuruti keinginan Oma dan duduk di meja makan
meskipun ini terlalu sore untuk makan siang dan
terlalu pagi untuk makan malam, yang penting, dia
memang lapar. Sementara Jovan daritadi terus
mengikuti instruksi dan hanya diam saja. Kalau
dilihat-lihat, Jovan sepertinya pintar berpura-pura dan
tahu cara memposisikan diri.

Oma mengambil piring dan meletakkan nasi diatasnya.


Setelah itu memberikan di hadapan Jovan, perempuan
tua itu juga melakukan hal yang sama untuk Natella.

"Oma gak makan?" tanya Jovan sopan.

Perempuan tua itu menggeleng, lagipula makanan yang


tersedia di atas meja makan bukan makanan Oma.
"Sudah, tadi. Makanya Oma cuma mau liatin kalian
makan."

Natella yang duduk di sebelah Jovan kemudian


membisikan sesuatu di telinga cowok itu, "makan aja
deh, biar cepet."

Jovan memberinya ekspresi datar sebelum


menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya. Sepanjang
makan, sesekali Natella memperhatikan Oma yang
duduk di seberang mereka. Oma terlihat begitu senang,
aura nenek-neneknya yang suka marah dan
memerintah sesuka hati seperti menghilang untuk

271
beberapa waktu. Kemudian Natella melirik ke
sebelahnya, Jovan makan dengan gerak-gerik sesuai
tata krama yang baik dan tidak mengeluarkan
perkataan apapun.

Natella tersenyum miris. Dia mengakui bahwa


keluarganya terlihat jauh lebih baik dan akrab
semenjak kedatangan Jovan meskipun sebelumnya
tidak seorangpun pernah membahas eksistensi Jovan
atau menginginkannya kembali. Atau mungkin itu
hanya berada di pikiran Natella. Natella tidak pernah
tahu apa yang ada di pikiran Tante Sarah, Oma, Mama-
nya atau paman dan bibinya yang lain mengenai Jovan.

Cewek yang mengenakan kemeja merah muda itu tiba-


tiba sadar sesuatu, ada ataupun tidaknya Jovan disini,
Jovan selalu tetap menjadi bagian keluarga ini. Dia
mulai mengerti kenapa Oma begitu menyayangi Arka
bak cucunya sendiri padahal dia tidak memperlakukan
cucu-cucunya yang lain semanis dia memperlakukan
Arka atau sengaja meminta Arka untuk membantunya
mengganti perban pada kakinya tiap kali bertemu Arka.
Mungkin itu karena Oma merindukan Jovan, makanya
dia mengekspresikannya terhadap Arka yang kurang
lebih seumuran.

Oma meninggalkan meja makan dan pamit ke kamar


setelah Jovan dan Natella menghabiskan makanan
mereka. Mereka juga sempat berbasa-basi sebentar
bersama Oma. Sampai akhirnya hanya ada mereka
berdua di meja makan itu.

"Lo kenapa mau balik kesini?" tanya Natella langsung,


mengabaikan pertanyaan ataupun ucapan lainnya yang
daritadi sudah dia siapkan.

272
"Kerja." Jawab Jovan singkat menggunakan kata yang
Natella sendiri juga sudah tahu dari awal.

"Semua orang seneng lo balik kesini kecuali gue..."


Natella mengucapkan ketus. "dan lo sendiri." lanjutnya
lebih kalem. "Lo gak suka ada disini."

Jovan diam sebentar, lalu dia mengeluarkan senyum


mirisnya. "Ternyata lo peka juga." Komentar Jovan
kagum, tidak mau menyangkal karena Natella memang
benar. Dia tidak suka ada disini. Sebaik apapun
perlakuan mereka, dia tetap merasa asing. "Gue mau
cabut, tapi kayaknya udah terjebak."

"Oma bisa langsug drop kalau lo pergi." Natella


memberitahunya.

"Actually, I dont care about that." Jawab Jovan santai,


membuat Natella yang tadinya mellow menjadi kesal.

"Lo kayaknya gapunya hati." Natella berkata ketus.


"Awas aja kalau lo berani nyakitin Tante Sarah."
Lanjutnya mengeluarkan ancaman sementara Jovan
membuang napasnya yang terasa berat.

"I dont even care about her too." Dia berkata santai. "You
know what I care the most right now?" tanyanya
sembari menatap sinis dalam ke arah mata Natella.
"Your relationship with Sean."

Natella ikut menengok ke arah Jovan yang masih


menatapnya. "Lo tuh sebenarnya ada masalah apa
sama cowok gue? Gara-gara elo, gue dijauhin!" Natella
mengeluarkan keluhan sekaligus kekesalannya untuk
Jovan yang juga menjadi alasannya datang ke rumah
Tante Sarah. "dia menghindari gue terus-terusan.

273
Kalau sampai gue diputusin, lo orang pertama yang gue
salahin!"

"Dasar budak cinta." Ejeknya. Jovan memainkan


rambut Natella yang sayangnya, tangannya langsung
dihempaskan kasar oleh cewek itu. "I am kinda sad that
my cousin looks so pathetic just because of her one side's
love."

"Gausah berisik!" Natella mencaci dengan suaranya


yang tercekat. "gue cinta sama dia itu urusan gue. Gak
peduli dia balas atau ngga!"

"You care, sweetie." tekan Jovan. "If you didn't care, you
would not have special relationship with him."

"..."

"He cares too, necessarily." Jovan menjeda kalimatnya


sebentar. "I know him enough, there are only two
possibilities why he wants to be with you."

Natella membiarkan Jovan menyelesaikan


perkataannya yang sepertinya belum selesai,
menunggu dengan penasaran. Apapun mengenai Arka,
dia selalu penasaran.

"First, because he loves you. Second, he is playing you."


Jovan menjeda lagi, dia menatap lurus-lurus ke mata
Natella yang tengah terhanyut. "What's possibility you
like more?"

"Yang pertama lah." Jawab Natella tanpa mikir,


siapapun diposisi Natella pasti lebih suka
kemungkinan pertama dan benci kemungkinan kedua.
"Tapi gak mungkin." lanjutnya sendiri, Natella tentu

274
masih ingat awal cerita mereka bisa jadian, Arka
terpaksa. Dan dia belum sanggup menceritakan pada
Jovan sekarang. "Bisa jadi dia mau pacaran sama gue
karena dia baik...terus kasian." lanjut Natella pelan
sekali untuk kata terakhir. Dia mending dikasihani
daripada dipermainkan.

Jovan memberikan tawa mengejeknya, "gue gak


nyangka lo se-pathetic ini."

Komentar kayak begitu juga pernah keluar dari mulut


Meira ataupun Dennisa sebelum mereka pindah haluan
menjadi pihak Arka kayak sekarang. Makanya
meskipun perkataan Jovan melukai Natella, dia merasa
sudah lumayan kebal.

"Gue juga gak mau kayak gini."

"Udah gue bilang, putusin." Jovan memberinya saran.


"Karena kalaupun dia mempermainkan elo, gue juga
males berada di pihak lo."

"Jahat." ucap Natella pelan. Lalu tiba-tiba air matanya


jatuh sendiri. Dia menangis.

Jovan yang melihat itu tentu memutar bola matanya


apalagi ketika Natella sudah menunduk dan terisak.

"Cengeng." komentarnya. Dia kemudian menarik kepala


Natella ke dalam pelukannya. Dalam hati, dia
mengutuk keadaan yang sekali lagi sangat tidak
berpihak kepadanya. Jika begini, kapan dia bisa
menang dari Sean?

"Ngapain lo meluk gue?"

275
"Biar gak bisa liat lo nangis." Jawab Jovan seadanya.
"Gue gak suka liat cewek nangis soalnya."

"Cih." Ejek Natella.

"Padahal gue berharap banyak dengan kemungkinan


pertama."

"Biar apa?"

"Biar dia ngerasain orang yang dia sayang gue rebut."

Natella melepaskan dirinya dari pelukan Jovan dan


menghapus sisa-sisa air matanya. "Lo gak mau kasih
tahu apa masalah kalian. Jadi, apapun masalah kalian.
Kenapa gak damai aja? Lo bilang kalian dulu
sahabatan. Yaudah, balik sahabatan lagi aja. Gue
belum mau ya kehilangan cowok gue cuma karna
masalah childish kalian." ucap Natella enteng, enteng
banget sampai Jovan mengeluarkan decakannya.

"For Hades' sake. You better stop your pathetic love right
now." Jovan membalas kesal sendiri. Tentu dia tidak
mau mengikuti keinginan Natella. Cewek itu tidak tahu
apa-apa mengenai masalah mereka, dan Jovan belum
mau memberitahunya karena menganggap Natella
terlalu naif dan bodoh.

Natella diam sebentar, air matanya sudah mengering.


Cewek itu mengeluarkan handphonenya,
memainkannya lalu menyodorkannya di hadapan
Jovan. "Cewek yang disukai Sean." dia memberitahu.

Jovan buru-buru mengambil handphone Natella untuk


melihat foto-foto yang tersedia di Instagram itu lebih
dekat. "Cakep juga."

276
"Masih cakepan gue." Balas Natella sewot.

"Iya sih, gue akuin." Jovan membalas sembari


membuka-buka foto dari akun instagram Mentari
Adrianni. "Anak kedokteran?"

"Iya, juniornya Sean. Dia bahkan gak jadi nemenin gue


nonton Coldplay di Singapore karna ada konferensi
yang juga ada Mentari. Tapi, yaudah sih, gue juga udah
iklasin dia gak jadi ikut karena baru keceakaan." Cerita
Natella panjang.

Jovan tidak memberikan respon apapun. Dia serius


melihat-lihat foto Mentari, sesekali ia perbesar agar
dapat melihat lebih jelas. "Rebut aja gih, kalau perlu
pacarin sampai nikah biar cowok gue gak bisa ngapa-
ngapain lagi." Natella memberikan saran jahatnya tiba-
tiba membuat dahi Jovan berkerut mendengarnnya.

"Kenapa Sean gak pacaran sama dia?"

"Kata orang-orang sih pernah nembak, tapi ditolak."

Jovan memandang ke arah Natella, tertarik. "Terus dia


biarin gitu aja?"

Natella mengangguk sebagai jawaban.

"Beneran gak ngelakuin apapun?"

Natella menggeleng, setahunya begitu. Cewek itu dapat


melihat senyum miring dari bibir Jovan. "It's weird."

"Kenapa?"

277
"He always chases what he wants till he gets it." ucap
Jovan, "Mungkin dia berubah."

"Lo makin sok tau aja tentang cowok gue."

Jovan hanya mencibir, dia masih memperhatikan


instagram Mentari sembari menganalisa, "sekarang gue
ngerti." ucapnya tiba-tiba.

"Hah?"

Jovan memberanikan diri menyentuh bahu Natella,


"sekali lagi gue bilang, pu-tu-sin. Ini demi kebaikkan
lo." tekannya, nyaris memerintah.

"..."

"He really likes this girl."

Natella membasahi bibirnya yang kering. Dia tahu jika


dia tidak seharusnya berbuat jahat pada orang yang
dia sayang. Tapi, apabila tidak begini, dia akan terluka
sendirian. Dan tidak pernah suka ide itu. Dia takut,
takut sekali. Hingga rasa takutnya menenggelamkan
logika, membuatnya menjadi orang paling egois.
"Makanya, kalau lo mau balas dendam sama cowok gue
entah karena apapun itu. Pacarin aja Mentari. At least
you get what he wants." ucapnya kalem, memilih
menjadi egois untuk yang kesekian kali.

***

Natella masih ingat kalau dia sudah merencanakan


liburan ke Singapura dengan Arka dari lama sekali. Dia
juga belum lupa ketika Arka membatalkannya begitu
saja, demi urusan yang katanya lebih penting, well,

278
bagi cowok itu memang selalu ada urusan yang lebih
penting daripada Natella. Padahal cewek itu sempat
berharap banyak sewaktu Arka menyetujui. Ini
seharusnya menjadi salah satu liburan terbaiknya.

Natella melemparkan badannya ke kasur hotel,


kelelahan karena banyaknya penerbangan menuju
Singapura yang ditunda akibat hujan deras termasuk
penerbangannya. Dia tetap memutuskan untuk ke
Singapura meskipun kondisi sama sekali tidak
menguntungkannya.

Cewek itu awalnya ingin memberikan tiket Arka untuk


Yudha, karena dia memang pernah mengatakan itu
pada Arka. Tapi, balasan Yudha adalah..., "yudha cinta
mati sama Natella tapi Yudha belum mau mati karena
naik pesawat."

Apa hubungannya pesawat sama mati? Udahlah, otak


Yudha memang tidak bisa dicerna siapapun. Jadilah
Natella berakhir menjual tiket itu. Lagipula lumayan
digunakan untuk beli sepatu, toh Arka bilang sesuka
Natella tiket konsernya mau dia apakan.

Natella mendengar suara telpon di kamar hotelnya


berdering, membuat cewek yang tengah nyaman tidur-
tiduran itu terpaksa mengangkat. Dia dapat mendengar
suara Dennisa setelah mengatakan sapaan. Well, hanya
Dennisa yang menjadi satu-satunya temannya disini.
Tapi cewek itu kemari bersama pacar barunya, yang
artinya, Dennisa tidak akan punya waktu untuk
Natella.

"Nat, di koper lo ada pembalut gak?"

"Ada. Lo lagi dapet?"

279
"Iya, sialan banget anjing, gabisa liburan ena kan gue."
Keluh Dennisa dengan suara seraknya yang terdengar
kesal.

"Helah kan masih bisa karaokean." Balas Natella tidak


kalah kotornya.

"Hehe, ngerti aja lo." ucap Dennisa. "Bagi pembalut ya,


bentar lagi cowok gue ke kamar lo."

"Baru jadian kemarin udah bisa lo jadiin babu aja ya."


respon Natella salut.

"Lo sendiri banget, nyet?" Tanya Dennisa prihatin.


"kenapa gak ngajakin kakak sepupu lo yang ganteng itu
sih?"

"Mending tiketnya gue bakar daripada ngajakin dia."


balas Natella sewot. "Lagian ada temen deket gue pas
SMA kok, lo pacaran aja sana gak usah peduliin gue."

"Siapa juga yang mau peduliin elo?"

"Bangsat." Gerutu Natella. Tidak lama dari itu, Natella


mendengar suara ketukkan pintu. "Nih cowok lo udah
dateng," ucapnya lalu menutup sambungan telpon
hotel itu.

Natella berdiri, dia menuju kopernya yang terbuka dan


mengambil beberapa pembalut untuk Dennisa. Ini
bukan tanggal-tanggal Natella sih, dia bawa itu karena
Mama-nya memang suka nyelipin pembalut di koper-
koper Natella karena cewek pasti butuh ini.

280
Natella membuka pintu kamarnya ketika diketuk lagi.
Sayangnya, dia tidak menemukan Farrel, pacar
Dennisa dibalik pintu.

Melainkan... "Arka?" Ucapnya kaget bak baru melihat


hantu. Natella bahkan memastikan kalau orang
dihadapannya ini masih menginjak tanah saking tidak
percaya dengan penglihatannya.

Sewaktu Arka mengatakan kalau dia tidak jadi ikut


Natella karena dosennya banyak ulah, Natella tetap
berharap ada keajaiban dimana Arka tetap ikut pada
akhirnya. Namun, kondisi beberapa hari terakhir Arka
sama sekali tidak memugkinkan untuk bepergian yang
lumayan jauh. Dia masih sakit. Dan seharusnya,
harapannya menghilang sepenuhnya setelah dia tiba
disini tanpa Arka.

"Kok kamu bisa disini?" tanyanya dengan mata masih


memperhatikan cowok yang berdiri dihadapannya. Jika
Arka ingin memberinya kejutan, dia berhasil karena
Natella sangat terkejut.

"Kamu bareng Jovan?" tanya Arka dingin, dia bahkan


sempat menatap tajam Natella seperti ketika mereka
sedang ribut besar. Tapi, Natella tidak ingat dia
mencari gara-gara dengan Arka beberapa hari terakhir,
bertemu saja belum sempat.

Natella menggeleng, tapi gelengannya terlihat ragu, bak


orang yang menyembunyikan sesuatu. Arka sontak
mendorong pintu hotel Natella agar terbuka lebar dan
dia bisa melihat ke dalam.

"Sama Dennisa." Ucap Natella dan menunjuk ke atas.


"Tuh di atas lagi sama pacar barunya." Tambah Natella

281
memperjelas. "aku lagi mimpi ya?" tanyanya lagi, tiba-
tiba masih memperhatikan Arka yang sudah berada di
dalam kamar, mengekorinya dari belakang.

Cowok itu hanya mengenakan kaos, celana kain dan


juga sandal jepit, tanpa ransel ataupun koper, seperti
orang yang sedang main ke tetangga sebelah, bukan
luar negeri. Tapi untung ini Arka, apapun yang ia
gunakan, dia akan tetap terlihat tetap tampan dan
keren, setidaknya di mata Natella.

Natella mendekati Arka lalu berdiri di hadapannya, dia


memperhatikan lekat-lekat lalu menusuk-nusuk pipi
cowok itu. Tidak berhenti disitu, dia juga mencubit
keras lengan Arka hingga cowok itu memekik tertahan
dan melepas paksa tangan Natella, "ngapain sih?"

"Mau cari tahu aku mimpi atau nggak."

Kalau mau tahu dia mimpi atau nggak, kenapa malah


Arka yang dia siksa?

Arka menghembuskan napas frustasi, Natella kalau


nyubit orang memang tidak main-main, cowok itu
bahkan masih mengusap-usap lengan kanannya
meskipun berdetik-detik telah berlalu. Masih sakit.

Natella masih bengong sampai akhirnya otaknya


kembali bekerja, "Sakit ya, sayang?" tanyanya merasa
berdosa, mendapati perubahan warna pada lengan
Arka lalu meniup-niup dan mengusapnya lembut.
"Maafin aku udah jahat." Ucapnya lagi, setengah panik
sekaligus bersalah lalu memeluk pinggang Arka erat.
"Aku gak percaya aja kamu disini." Lanjut Natella lagi,
bawaan sifatnya yang mulai mendrama. Tapi
kedatangan Arka yang tiba-tiba memang seperti drama

282
baginya, setidaknya bergenre bahagia. "Aku terlalu
seneng, makanya sampe gak percaya. Maafin aku udah
nyakitin kamu ya? Kamu balas aja deh, gak papa."

Kayaknya Arka memang harus menyetujui Reno yang


menuduh ceweknya ini bipolar. Atau ada yang salah
dengan otaknya.

Bukannya merespon segala ucapan drama Natella,


Arka malah memeluk balik Natella, melakukan hal
yang sama dengan cewek itu.

Sekali lagi, dia melakukan sesuatu yang tidak dapat di


cerna begitu saja oleh otak Natella.

"Aku kangen banget sama kamu." Ucap Natella


berbisik, mengeratkan pelukannya untuk Arka. "Kamu
kenapa ngejauhin aku sih?" tanya Natella pelan,
mengutarakan kebingungannya beberapa hari terakhir.

"Gak pernah." jawab Arka singkat, "You are the one who
avoids me." Lanjut Arka yang membuat Natella
tersentak.

Apakah tanpa sadar, rasa sakitnya membuatnya


menjauh?

Natella kemudian menyadari sesuatu, bahwa selama ini


Arka tidak pernah memeluknya seerat ini. Atau
setidaknya, tidak selama ini. Karena cowok itu masih
saja memeluknya ketika Natella berniat melepaskan
lebih dulu.

"Aku cuma gak angkat telpon kamu." Balas Natella


tidak mau dipersalahkan. "Lagian kamu nelponnya
cuma sekali. Coba kalau tiga kali, bakal aku angkat.

283
Kamu sih gak niat." Ucap Natella memperjelas
sekaligus memaksa Arka melepas pelukan mereka. Dia
mau bernapas.

"Sengaja?"

"Kayak kamu ngga pernah sengaja gak angkat telpon


aku aja."

"Gapernah," balas Arka langsung.

Natella menghembuskan napasnya. Dia terlalu senang


untuk ribut ataupun berdebat panjang dengan Arka.
Satu-satunya yang ia pedulikan sekarang Arka disini,
bersamanya, menyusulnya meskipun punya prioritas
lain yang lebih penting. Dan itu cukup dijadikan alasan
moodnya menjadi begitu bersinar seperti matahari pagi.

"Ka." panggilnya tiba-tiba. "Kamu kesini beneran cuma


bawa badan doang?"

Arka menatap ke bawah, memperhatikan tubuhnya,


bak terkejut dengan apa yang dilakannya. "Iya."
jawabnya lemah.[]

***

284
Chapter 17. Alone
Suara dering telpon hotel membuat Natella yang
berdiri dekat sisi tempat tidur itu malas mengangkat.
Cewek itu dapat mendengar suara teriakkan tidak
sopan Dennisa setelah memberinya sapaan.
Sahabatnya itu mengatakan protes mengenai
handphone Natella yang tidak bisa dihubungi karena
dalam keadaan tidak aktif.

"Eh pecun, sama siapa lo di kamar?" Tembak Dennisa


setelahnya. "Tadi Farrel udah di depan kamar lo, tapi
balik lagi buat ngaduin kalo lo lagi making out sama
cowok!!!"

Natella memutar bola matanya malas mendengar


tuduhan lebay Dennisa. Making out apaan coba?
Ciuman saja belum. "Sama cowok gue dong." Balasnya
santai kemudian

Dennisa tentu mengeluarkan makian kotornya lagi.


"Cowok yang mana?"

"Arka lah, geblek." ucap Natella kesal. "Emang elo yang


cowoknya ada dimana-mana kayak toko klontong?"

"Loh?" terdengar suara kaget Dennisa yang dicampur


bingung. "Arka bukannya gak jadi berangkat? Tiket
pesawatnya barengan kita kan?" pertanyan bingung
beruntun Dennisa tentu tidak jauh-jauh dari
pertanyaan Natella tadi. "Terus, bukannya dia belum
sembuh-sembuh amat ya?"

285
"Makanya, gue juga awalnya sempat ragu itu dia yang
asli atau jadi-jadian." Natella berkata enteng. "tapi dia
nginjek tanah kok." lanjut Natella lagi memberitahu.

"Gila, ya." Komentar Dennisa sebagai balasan. "Gue


baru tau kalau cowok dingin macam Arka bisa
seromantis ini. Niat banget ngasih kejutan buat lo pake
beli tiket pesawat lagi di saat sold out semua begini."
lanjut Dennisa heboh sekaligus mendramatisir. "Gue
jadi envy deh."

Natella mendengus mendengar kata demi kata Dennisa


yang makin lebay. Bukannya selalu Dennisa dan
kelakuannya bersama cowok-cowoknya itu yang selalu
berhasil membuat Natella dan kebanyakkan cewek
baperan di kampus iri?

Well, sekilas, yang dilakukan Arka semenjak pria itu


tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarnya memang bak
kejutan yang berhasil membuat Natella terkejut
sekaligus gembira.

Masalahnya, Arka tidak datang seperti orang yang


tengah memberikan kejutan, melainkan raut tidak
bersahabat yang samar terlihat. Paling aneh, ucapan
pertama yang keluar dari bibirnya bukanlah hal-hal
tentang Natella, melainkan Jovan. Kenapa cowoknya ini
menanyakan keberadaan Jovan yang bahkan menurut
Natella saja tidak penting?

Jujur saja, awalnya Natella sempat panik. Dia berpikir


kalau Arka sudah mengetahui rencana busuknya yang
menghasut Jovan untuk mengganggu Mentari,
makanya Arka rela datang jauh-jauh untuk memberi
pelajaran pada Jovan dan...dirinya. Untungnya,
kepanikan beralasannya itu berakhir ketika Arka

286
malah memeluknya erat, memberitahu Natella secara
tersirat bahwa cowoknya ini belum tahu menahu
mengenai hal tersebut.

'Makanya Nat, jangan jahat. Kalau jahat, gak bakal


tenang hidup lo.' Malaikat dalam dirinya bahkan
membisikakn itu.

Natella tertawa kecil untuk merespon ucapan terakhir


Dennisa. Kapan lagi dia bisa membuat Dennisa iri
dengan hubungannya meskipun yang terjadi
sebenarnya tidak seperti dugaan Dennisa?

"Si Farrel gajadi ngambil pembalut?" tanya Natella


kemudian.

"Nggak, dia udah beli di Sevel bawah karna gak mau


ganggu acara ena-ena lo."

Natella sekali lagi memutar matanya kesal. Ayolah, dia


dan Arka hanya pelukkan, tidak lebih. Kalaupun
Natella ingin lebih, Arka juga gak bakal kasih. "Serah lo
sama cowok lo aja deh." ucapnya lagi dengan nada
ketus. "Udah dulu ya. Ini Arka baru keluar dari kamar
mandi, gue mau gantian... By..."

"Gausah dimatiin, suruh Arka temenin gue ngobrol kek


mumpung cowok gue lagi ngerokok di toilet." potong
Dennisa cepat, nada suaranya menunjukkan kalau dia
tengah bercanda.

"Dasar pecun gak berguna ya lo." Hardik Natella sebal.


"Langkahi dulu mayat gue kalau mau ngobrol sama
cowok gue!" ketusnya.

287
Natella mendengar suara tawa Dennisa dari sebrang
dan tanpa basa-basi lagi langsung mematikan
sambungan telepon hotel itu.

Cewek itu kemudian melihat ke arah Arka yang masih


menggunakan pakaian yang sama dengan sebelumnya,
cowok itu paling hanya cuci muka atau buang air di
kamar mandi. Cowok yang baru saja mendudukan
badannya di sofa kamar itu balik menatap ke arahnya
juga. "Kenapa natap aku kayak gitu?" tanya Natella
sembari menghidupkan handphonenya yang tadinya ia
cas dan sudah dalam keadaan mati saat dia take off
dari Jakarta.

"Kamu kok mulutnya makin kasar?"

Natella mengeluarkan senyum tidak berdosanya.


Semua orang juga sudah tahu kalau Arka kurang suka
dengan omongan-omongan kasar, apalagi itu keluar
dari mulut perempuan. Natella tahu betul mengenai ini
dan tiap kali dia ngomong kasar terang-terangan di
depan Arka, mereka biasanya akan berakhir ribut.
Kenapa susah sekali sih untuk cowok itu menerima dia
apa adanya?

"Dennisa tuh yang minta dikasarin." Balas cewek itu


enteng. Matanya masih fokus ke arah handphonenya
dan saat membuka line, dia mendapati jumlah chat
dari akun Arka dengan jumlah yang tidak wajar. Iya,
tidak wajar apabila dikirim sendiri oleh cowok dingin
itu.

'Nat, dimana?'

'Bukannya kamu gak jadi ke SG?'

288
'Ke SG bareng siapa?'

'Nat."

'Nat.'

'Nat.'

'Natella.'

'Oit.'

Berbagai chat satu kata yang memanggil namanya.


Terus tercatat juga berbagai panggilan tak terjawab
disana. Natella menatap chat itu bingung, gantian ke
arah Arka. Apalagi saat dia membaca pesan paling
bawah.

'Nat, can you stop messing with me?'

Duh gue salah apalagi sih?

Dahi cewek itu menunjukkan kerutan yang kentara.


Kenapa cowoknya ini bertingkah tidak seperti dirinya
yang biasanya?

Ayolah, Natella hapal betul bagaimana Arka. Cowoknya


ini rasional, sangat rasional sampai tidak mungkin
melakukan hal-hal impulsif seperti ke Singapura tanpa
persiapan ataupun niat. Terus dia juga tidak pernah
mengirim pesan kepada Natella sebanyak ini untuk hal
yang random. Arka bahkan hanya mengirimnya dua
pesan ketika Natella merajuk dan kabur dari rumah.
Sumpah, dia bukan orang yang pedulian apalagi
penasaran dengan apa yang Natella lakukan.

289
Natella berjalan mendekati Arka, berdiri tepat
dihadapannya. Dia meletakkan punggung tangannya ke
dahi cowok yang lebih tinggi darinya itu. "Kamu lagi
demam ya?" Tanyanya bodoh. Tidak panas, tapi tentu
saja Natella merasa Arka aneh.

Arka melepaskan tangan Natella dari dahinya, "sana


mandi." Suruhnya sekaligus mengingatkan.

"Aku baru sadar." Natella mengeluarkan senyum


miringnya, sementara satu alis Arka terangkat,
menunggu Natella melanjutkan perkataannya. Namun
cewek itu hanya menggeleng singkat sembari melongos
ke kamar mandi, belagak misterius.

That jovan is so fucking useful. Pikirnya dalam hati.


Natella saja tidak bisa membuat Arka bersedia ikut
dengannya kemari, tapi Jovan bisa, bahkan kakak
sepupunya itu tidak perlu melakukan apa-apa.

Sebentar, apakah itu artinya masalah Arka dan Jovan


seserius itu?

Natella mandi dengan berbagai pikiran yang


menghasilkan teori-teori mengenai hubungan Arka dan
Jovan. Kakak sepupunya tidak mau memberitahu lebih
lanjut karena menurutnya, Natella terlalu memihak
pada Arka. Sementara Arka... duh, tahu kan pacarnya
itu seperti apa?

Cewek itu kemudian senyam-senyum sendiri, tidak


mau terlalu memusingkan Jovan atau apapun masalah
kakak sepupunya itu dengan pacarnya.

Arka is here, apa yang bisa membuatnya lebih bahagia


dari ini?

290
"Nat." Suara Arka memanggilnya, membuat cewek itu
sontak merespon dari kamar mandi. "Ada chat nih dari
Deri. Banyak."

Natella terdiam, otaknya tengah mecerna. Dia masih


ingat dengan kejadian di pesawat tadi. Dia ketemu
Deri, mantan pacarnya, dan mereka mengobrol singkat.
Mantan pacarnya sewaktu SMA itu sempat mengajak
Natella jalan-jalan, mumpung sama-sama di SG dan
mereka sudah lama tidak ketemu. Karena mengingat
Natella memang sendirian disini, yang kayak Dennisa
mana mungkin diharapkan mau menemaninya, cewek
itu bersedia memberikan kontaknya pada Deri untuk
mengabari jadi atau tidaknya dia pergi bersama
mantannya itu.

"Katanya kalau jadi mau main, dia langsung ke kamar


hotel kamu sekarang." Lanjut Arka lagi.

Natella misuh-misuh. Pesan Deri kok bangsat dan


penuh keambiguan sih?.

Cewek itu buru-buru mengambil kimono handuknya


dan keluar dari kamar mandi, tanpa berniat mengelap
lebih lanjut tubuh dan rambutnya yang basah. Dia
mendapati Arka tiduran santai di atas tempat tidur dan
tangannya memainkan handphone Natella. Tentu
cewek itu langsung merampasnya dengan raut panik,
membaca apa yang telah Arka baca, ia memucat.

'Kangen banget nih gue sama lo."

'Lo beneran makin cantik dan ok. Gak nyanfka gue."

'Jadi main kan kita?'

291
'Gue ke hotel lo ya sekarang.'

'Kamar nomer berapa?'

'Udah gak sabar nih gue.'

Natella melirik ke arah Arka, gantian dengan layar


handphonenya yang berisi chat dari Deri, terdapat
beberapa panggilan tak terjawab juga dari mantannya
itu.

Natella membalas singkat kalau dia tidak jadi bertemu


Deri dan tidak mau lagi, kemudian ngeblokir akunnya,
yang begini tidak perlu dikasih hati. Bisa-bisanya ya itu
orang mengirimnya chat dengan isi penuh keambiguan
dan seolah-olah Natella yang ngajakin duluan?

"Ka, sumpah, aku gak ngapa-ngapain sama Deri!"


Natella berbicara dengan nada suaranya yang penuh
kepanikan. "Aku juga sebenarnya udah gak ada
hubungan apa-apa lagi sama dia." lanjut Natella
dengan nada tidak beraturan. Seperti maling yang
ketangkap basah tapi berupaya melakukan pembelaan.
Kata-katanya terdengar non-sense karena bukti yang
kelihatan menunjukkan sebaliknya.

Dia tidak berhenti mengutuk Deri dalam hati. Memang


seharusnya dia tidak perlu meladeni mantannya yang
paling brengsek itu lagi sejak awal.

"Tadi aku ketemu dia di pesawat. Dia nyapa terus


nawarin aku mau jalan bareng dia gak, sama temen-
temennya juga. Aku jawab kalau aku mau pikir-pikir
dulu. Terus dia minta line aku, yaudah aku kasih. Ini
tuh gak yang kayak kamu pikirin, sumpah. Aku gak

292
pernah macem-macem apalagi selingkuh. Please,
percaya sama aku ya? Aku cuma sayang kamu." Ucap
Natella panjang lebar dengan nada frustasi sekaligus
memohon, hampir menangis. Siapa coba yang tidak
frustasi ketika dalam posisinya sekarang?

"Siapa yang mikir kamu macem-macem?" tanya Arka


balik dengan nada santai, kontras dengan eskpresi
Natella sejak dia menyadari Arka membaca pesan
ambigu dari mantan pacarnya.

"Kamu...gak marah?" tanya Natella hati-hati.

Arka menggeleng singkat. Dia merebut handphone


Natella lagi, "pinjem ya, aku mau ngegame. Gih lanjut
mandi, basah semua tuh lantI" lanjutnya, masih
kelihatan santai seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Bahkan raut wajahnya menunjukkan ketenangan
seperti biasa meskipun tidak mau berlama-lama
melihat ke arah Natella.

Barulah Natella bisa bernapas lega.

Coba saja kalau keadaan dibalik. Misal Natella


menemukan pesan dari cewek, apalagi mantannya
mengenai hal-hal sensitif seperti 'main' dan 'hotel' di
handphone cowoknya itu. Duh, udah pasti dia potong-
potong tuh pisangnya si Arka.

Natella menghembuskan napasnya lagi, menetralkan


perasaannya yang masih campur aduk. Dia tidak
berbohong, memang tidak memiliki hubungan apapun
dengan Deri apalagi berniat macam-macam. Well,
awalnya Natella hanya butuh teman jalan-jalan karena
di sendirian disini, tidak lebih. Memang dasar isi pesan

293
Deri yang brengsek dan memicu hancurnya hubungan
orang.

"Aku percaya sama kamu." Arka berkata lagi. Membuat


Natella mengeluarkan senyum simpulnya yang sulit
sekali ia bentuk. Kalau dia tidak dalam keadaan masih
setengah basah, dia pasti telah memeluk Arka erat-
erat. Cowok ini berhasil membuat kondisi otaknya
jungkir balik berkali-kali dalam beberapa jam terakhir.

Well, kenapa Natella bisa langsung percaya Arka


meskipun menurut Jovan perkataan cowok itu tidak
masuk akal? Karena ini, cowok itu juga
mempercayainya meskipun seluruh keadaan
menunjukkan kalau di berbohong.

Cewek itu kembali berjalan ke kamar mandi.


Perasaannya sudah lumayan tenang, tidak perlu takut
kalau Arka akan memutusinya atau melakukan hal
yang lebih parah. Tapi di satu sisi, dia merasakan
kekosongaan, agak sesak. Menyadari kalau apapun
yang ia lakukan dengan cowok lain, Arka sebenarnya
tidak peduli. Dia tidak cemburu dan tidak akan
cemburu karena tidak mencintai Natella.

***

"Kita mau kemana, Ka?" tanya Natella pada cowok yang


berjalan mendahuluinya itu. Awalnya Natella pikir Arka
mau ngajakin dia jalan-jalan di Marina Bay karena
arah perjalanan mereka memang kesana.

"Ngambil baju." jawab cowok itu singkat.

Natella mengangukkan kepalanya mengerti, mengikuti


langkah panjang cowok dihadapannya itu masuk ke

294
dalam salah satu gedung mewah di area paling terkenal
di Singapura itu.

"Oh iya." Natella bergumam. "Aku baru inget kalau


kamu memang sering ke SG. Dulu kamu juga
seharusnya di NUS kan ya."

"Hmm."

"Pantesan kamu sesantai ini meskipun gak bawa apa-


apa." Ucap Natella lagi ketika mereka sudah berada
dalam lift, menuju lantai 31 seperti yang dipencet Arka.
Cowok itu sempat diberikan kartu akses lift oleh
resepsionis sebelumnya.

Arka berjalan lebih dulu ketika lift kembali terbuka,


menuju salah satu pintu dan berhenti dihadapannya,
membukanya menggunakan sidik jari sekaligus kartu.

"Ini Apart kamu, Ka?"tanya Natella penasaran. Arka


menjawab dengan anggukan sembari membuka
sepatunya. Natella menelusuri lebih dulu setelah lampu
dihidupkan semua, tidak ada siapa-siapa disini selain
mereka. Cewek itu membuka salah satu pintu kaca dan
menyadari bahwa condominium ini bahkan punya
private pool.

"Wow, tajir juga ya kamu." Komentar Natella bercanda


sembari melihat-lihat lebih lanjut isi condominium
yang sebelas dua belas dengan executive suite hotel
bintang lima itu. Padahal beberapa saat sebelum
mereka kemari, Arka sempat mengajaknya makan
dulu, makanan india di jalanan little indian yang
memang banyak tempat makannya dan terbuka. Harga
makanannya tidak mahal, tapi enak. Terus Natella

295
yang bayar karena Arka mengaku tidak punya dollar
sama sekali di dompetnya, lagi miskin.

Duh, Natella tidak butuh restoran mahal dan berkelas


di rooftop-rooftop. Diajakin makan nasi kucing pinggir
jalan pun Natella bersedia meskipun dia juga yang
harus bayarin. Asal sama Arka.

"Kenapa kita harus ngehotel sih Ka kalau kamu punya


apart disini?" tanya Natella lagi, bingung. Karena sejak
kali pertama dia memberitahu Arka mengenai
ajakannya untuk liburan ke SG sambil nonton
Coldplay, cowok itu selalu memberinya jawaban
terserah. Waktu Natella nawarin hotel dengan budget
yang pas sama kantong mereka, Arka malah angguk-
angguk saja dan mentransfer Natella bagiannya.

"Males." Jawab cowok itu cuek. "Lagian kamu gak


nanya." Lanjutnya dengan kata-kata yang biasanya
berhasil membuat Natella naik darah.

Tapi, untung Natella lagi jinak malam ini.

Arka berjalan ke arah lemari, mengambil koper yang


terletak di atasnya. Cowok itu membuka lemari yang
berisikan baju-bajunya kemudian menyusunnya ke
dalam koper, dibantu Natella. Cewek itu menyuruh
Arka segera mandi dan bersedia menyusun pakaian-
pakaian Arka.

Natella heran, jelas condo-nya Arka jauh lebih baik


daripada hotel bintang 3 yang mereka inapi. Lebih
bagus, mewah dan besar dari segala sisi.

Sehabis Arka selesai mandi dan mengganti bajunya,


Natella yang duduk di sofa dalam kamar sontak

296
memberikan komentar, "makin ganteng aja sih
cowoknya aku."

Dan tentu tidak diladeni Arka yang tengah mengunci


kopernya.

"Ka, aku mau nginep disini."

"Yaudah, aku di hotel." balasnya enteng tanpa melihat


ke arah Natella.

"Kenapa gak mau disini?"

"Bosen."

Natella memutar bola matanya malas. Arka mendorong


koper kecilnya, mengajak Natella ke luar darisana,
mereka turun melalui lift yang memang terhubung
dengan condominium itu menuju lantai parkir.

"Kok gak bilang sih ada mobil disini?" Natella bertanya


lagi setelah melihat Arka menekan sensor kunci mobil
agar terbuka.

"Gak ditanya." Dia menjawab menggunakan jawaban


yang serupa.

Natella memutar bola matanya, namun langsung


membuka pintu penumpang tanpa diminta dan
langsung duduk di sana. Ketika Arka sudah duduk di
sebelahnya, cewek itu membuka mulutnya lagi. "Kamu
versi Singapore kayaknya lebih high class dari versi
Jakarta."

Iya, di SG Arka mainannya condominium dan mobil


Audi A6. Kurangnya dia cuma tidak megang Dollar

297
sama sekali saja. "Aku jadi kamu, mending hidup di
Singapore lah."

Arka diam saja. Dia menstarter dan menjalankan


mobilnya sementara Natella tidak berhenti mengoceh
hal-hal tidak berguna yang intinya menyayangkan Arka
yang lebih milih hidup dan kuliah di Jakarta.

Karena daritadi yang terdengar dari music player mobil


lagu itu-itu saja, album Lana Del Rey, Natella bosan
sendiri, lagi kepingin menyanyikan playlistnya. Dia
mengeluarkan handphonenya dan menekan layar
sentuh untuk bluetooth di mobil Arka. Tapi, tangannya
lansung dicegah untuk melakukan langkah lebih
lanjut.

"Jangan diganti." Arka mengucapkan, matanya fokus


ke jalan sementara tangannya menghadang tangan
Natella.

"Tapi..."

"Don't ever try." Potongnya.

Natella tersentak, merasa ditusuk dengan sesuatu yang


tajam. Dia menarik tangannya pelan-pelan dan
menggumamkan kata oke.

Baiklah, Arka hanya tidak menyuruhnya mengganti


kaset yang berada dalam music player mobilnya. Hanya
itu. Sesepele itu. Natella seharusnya ribut dan
mengatakan protes, menanyakan kenapa dia tidak
boleh menggantinya dengan lagu kesukaan Natella
kemudian melanjutkan dengan kalimat-kalimat drama
yang berlebihan. Lalu, setelah itu, dia akan melupakan
semuanya, selesai disini.

298
Tapi, dia hanya diam saja. Terus diam dan berpikir,
kontras dengan perbuatannya bermenit sebelumnya
yang selalu berisik. Satu-satunya yang bersuara adalah
music player yang masih melantunkan lagu dengan
penyanyi yang sama.

Cewek itu memandang jalanan Singapura yang selalu


lancar dan tenang. Mulutnya belum juga mengeluarkan
kata-kata lagi, Arka juga sepertinya tidak berminat
mengajaknya berbicara. Yang kayak Arka mana mau
mengajaknya berbicara duluan.

Sampai cowok itu bingung sendiri kemudian membuka


mulut, "Nat, kok diem aja?" tanyanya.

"Gak tau mau ngomong apa." Jawab Natella seadanya.

"Marah sama aku?"

Natella menggeleng, tanpa melihat ataupun melirik ke


arah lelaki di sebelahnya yang tengah menyetir.
Memangnya Natella punya alasan untuk marah pada
Arka? Dia tahu dia childish. Tapi menurutnya, dia
tidak sechildish itu marah cuma karena tidak diizinkan
mengganti lagu di music player mobil. Mobil orang lain
pula.

Iya, orang lain.

Orang lain, ya?

Dua kata itu terus terngiang di benaknya. Apakah


Natella hanyalah 'orang lain' dalam hidup Arka?

"Perasaan aku lagi gak enak." Lanjut cewek itu


bersuara.

299
"Yaudah, kita pulang aja." Ajak Arka lagi, membatalkan
niat mereka untuk jalan-jalan di Chinatown.

Natella menggelengkan kepalanya, tidak setuju untuk


pulang sekarang. "Aku mau ke Orchard. Mau ikut ga?"
tawarnya pada Arka. Dia menawarkan, bukan
mengajak. Arka mengerti perbedaannya dalam kalimat
ini. Kalau mengajak, dia harus pergi bareng Arka.
Kalau menawarkan, setuju atau tidaknya Arka untuk
ikut, Natella tetap akan pergi.

Cowok itu mengeluarkan dengusan, tentu dia tidak


mau. Sayangnya, kondisi sekarang sepertinya
menyuruhnya untuk bersedia ikut, mau atau tidaknya
dia. "gak usah minum ya?" Piintanya.

Natella tentu menganggukan kepalanya, biar cepat.


Tapi dalam hati tentu dia akan melakukan sebaliknya.
Apalagi yang dicari dari club malam selain alkohol dan
joget?

***

Arka hanya bisa mendengus kesal untuk yang ke


sekian kalinya melihat kelakuan Natella. Cewek itu
tengah menari sesuka hatinya diiringi musik DJ
dengan gelas berisi Vodka yang hanya tersisa beberapa
teguk.

"Kamu gak minum? Enak loh, sayang. Ini aku kasih."


Ucapnya teler sambil memberi gelasnya untuk Arka,
tapi dia habiskan isinya lebih dulu. Cewek itu telah
menghabiskan 5 gelas Vodka. Padahal awalnya dia
berjanji untuk tidak meminum satu minuman
beralkohol pun. Tapi, janji hanyalah janji ketika Natella
mulai memohon pada Arka untuk membiarkannya

300
minum segelas. Lalu rayuannya makin jadi hingga Arka
tidak lagi mencoba mencegahnya untuk minum.

"Hehehe, kok kamu bete gitu sih? Ayo sini joget sama
aku." teriaknya di tengah musik DJ yang tengah
melantunkan Alone-milik Alan Walker, masih
menggoyangkan tubuhnya dan menggerak-gerakkan
tangan Arka yang daritadi terlihat tidak minat.

"If this night is not forever...at least we are together...I


know I am not alone. I know I am not alone." gumamnya
sambil bernyanyi. "Hehehe, aku seharusnya sendiri
disini...tapi ada kamu." lanjutnya makin melantur.
Arka sudah mengajaknya pulang daritadi, tapi Natella
tentu menolak, dia bahkan menyuruh Arka pulang
duluan kalau cowok itu memang mau pulang. "I know I
am not alone... I know I am alone..." ucapnya sedih. Lalu
dia tertawa seperti baru melihat sesuatu yang sangat
lucu.

Lelah dengan semua tingkah Natella, Arka menarik


paksa cewek itu untuk keluar dari lantai dansa,
menuju tempat yang tidak terlalu berisik dekat pintu
keluar.

"Ih, aku kan masih mau joget!!!" protes Natella kesal.


Matanya sudah setengah terpejam, mukanya memerah.
Dia kemudian balik arah untuk kembali ke lantai
dansa, tapi Arka dengan cekatan menahan tangannya.

Natella tentu tidak menyerah begitu saja, dengan


tenaga seadanya, dia menarik kembali tangannya,
mencoba melepaskan, sampai akhirnya dia terpental ke
badan Arka karena cowok itu menariknya begitu kuat.

301
Cewek itu mengeluarkan tawanya lagi kwtika
kepalanya bersender di dada Arkax Tidak lama dari itu,
dia melingkarkan tangannya di pinggang Arka, "kamu
wangi banget deh." gumamnya sembari memeluk tubuh
cowoknya itu lebih erat dan mengendus-endus
dadanya. "Kamu marah kan aku peluk?" tanyanya
cemberut. Matanya menatap murung ke mata Arka
yang sepertinya serba salah untuk berbuat sesuatu.
"Iya sih kamu kan gak sayang aku." lanjutnya
bergumam. Kemudian dia menempelkan bibirnya ke
bibir Arka dengan kurang ajar, mengecupnya serakah
hingga Arka mendorongnya agar terlepas.

Tawa singkat cewek itu kembali ia tunjukkan. Ngga


mabuk aja dia kadang kelihatan kayak titisan
Maleficent, apalagi pas mabuk?

"Tuh kan kamu gak suka aku cium... Bibirnya Mentari


lebih enak ya, Ka?" ucap cewek itu menantang.

Arka menghembuskan napas berat, Natella sedang


mabuk. Wajar kalau ceweknya ini berkelakuan dan
berbicara seenaknya. Arka memang tidak seharusnya
membiarkan Natella mabuk dari awal. Ini salahnya, dia
tahu itu.

"Mau marah kan? Hehehe marah aja kali. Ayo dong


marah, aku mau liat kamu marah."

"Nat, yuk pulang."

Natella memberikan anggukan kali ini. Berjalan


sempoyongan mendahului Arka dengan mata yang
antara melek dan terpejam. "Gak usah bantuin, aku
bisa sendiri." Natella menghempaskan tangan Arka
yang mencoba memapahnya. Karna kondisinya yang

302
setengah sadar, dia tidak menyadari kalau ada batasan
pendek menuju jalan yang membuat kakinya terselip
kemudian terjatuh hingga terduduk.

Arka sontak memberinya bantuan, tapi Natella sekali


lagi meminta Arka untuk tidak perlu melakukan
apapun. "Aku bisa sen...dir..." lalu kepalanya terjatuh,
untung Arka bisa tangkas menahannya sebelum
tergores dengan semen.

Cowok itu menepuk-nepuk pelan muka Natella yang


tidak sadarkan diri. Tidak mendapati respon yang
pasti, dia akhirnya mengangkat tubuh Natella dan
menggendongnya menuju mobil. Meskipun Natella
tidak berat, tapi kondisi Arka belum sembuh
sepenuhnya akibat kecelakaan. Makanya dia tampak
cukup kesusahan.

Arka benar-benar berpikir kalau Natella sudah


sepenuhnya tertidur sampai di tengah perjalanan, dia
mendengar Natella bergumam. Arka melirik ke
sampingnya, mata cewek itu masih terpejam sempurna.
Hanya bibirnya yang sedikit terbuka.

"Kamu tuh jahat banget tau gak sama aku."

"..."

"Kamu ngebodo amatin aku ke Singapore sendirian.


Padahal aku izinnya pergi sama kamu. Kalau Papa
tahu aku pergi sendirian, gak mungkin diizinin. Iya sih
ada Dennisa, tapi Dennisa gak peduli sama aku." dia
berbicara panjang menggunakan gumaman yang
kurang jelas.

303
"Lo bilangnya batal pergi." Jawab Arka kesal, masih
ingat kalau Natella sempat mengatakan itu padanya.
Arka kemudian mencoba menetralkan pikirannya agar
tidak makin emosi. Natella lagi hangover. Dia tidak
seharusnya meladeni orang yang sedang hangover.

"Gak...kamu tau aku bakalan tetep pergi." balas Natella


pelan, membuat Arka meragukan kesadaran cewek itu.

"..."

"Aku awalnya mikir kalau sendirian juga gak masalah.


Tapi, tau gak Ka awalnya aku gak berfirasat jelek sama
sekali soal Deri. Lalu waktu liat chat dia, aku baru
sadar kalau dia pasti mau nyelakain aku. Dia kan
dendam banget sama aku. Aku pasti udah habis di
tangan di kalau tadi sore kamu gak dateng dan aku
malah pergi sama dia."

"..."

"Kamu gak bakal peduli juga kan."

"Aku bakal peduli!" Tekannya. Kemudian langsung


mengutuk dirinya sendiri yang masih saja meladeni
orang mabuk, memperlihatkan emosi pula. Mungkin
dia lelah dengan segala rengekan Natella yang baginya
begitu menusuk.

"Ka, dari kemaren...aku bayangin kalau kita temenan


doang...mungkin bakal lebih baik kayak gitu."

"..."

"Karena...aku...capek."

304
"..."

"Kamu...juga...capek."

"..." Arka kembali melirik ke arah samping, masih


mendapati pemandangan yang sama. Mata cewek itu
terpejam dan kepalanya menyender disenderan mobil
yang telah disetel cukup memanjang. Arka bahkan
sempat heran Natella masih bisa berbicara panjang
meskipun suaranya serak, terbata-bata dan tidak jelas.

"Kita cukup aja yuk? Balik temenan kayak dulu."

"..."

"Aku ngalah, Ka." Gumam Natella lagi.

"Aku gak mau, Nat." Arka membalasnya, suaranya


tidak terlalu kuat pun terlalu pelan.

Setelah itu, dia tidak mendengar gumaman ataupun


ucapan lagi dari Natella. Cewek itu sepertinya sudah
terhanyut di alam mimpi.

Arka melirik sebentar ke arah Natella, lalu dia berbisik,


"aku gak akan pernah mau pisah sama kamu."[]

***

305
Chapter 18. Fix You
Denting hujan yang semakin deras membuat Natella
yang masih berada dalam selimut itu membuka
matanya. Mulutnya mengeluarkan rengekan, petanda
belum iklas untuk terbangun. Ketika matanya sudah
terbuka samar, dia mendapati dirinya sudah berada di
kamar hotel.

Sendirian.

Terakhir yang dapat ia ingat, dia minum bergelas-gelas


sambil menari tidak jelas di lantai dansa dan Arka yang
terus-terusan memintanya untuk berhenti minum dan
pulang. Tapi dia tidak menurut, tumben sekali menjadi
begitu keras kepala dan tidak mempertimbangkan
keinginan Arka. Dan Natella masih dapat mengingat
meskipun samar dia pulang bersama Arka.

Jadi, kemana cowoknya itu sekarang? Arka tidak


mungkin mencampakannya sehabis menidurinya yang
sedang mabuk begitu saja, kan?

Oke, itu berlebihan.

Natella dapat melihat pakaian yang ia kenakan dibalik


selimut persis yang ia kenakan tadi malam. Tidak ada
drama terbangun-dalam-keadaan-telanjang-sehabis-
mabuk lalu lupa apa yang terjadi sebelumnya.

Cewek itu masih sempat berdumel, "yaialah, ini gue


yang mabok dan Arkanya sadar. Coba deh kalau
dibalik, baru kejadian tuh hal-hal yang diinginkan."
dan Natella sempat mengeluarkan tawanya atas pikiran
bodohnya itu.

306
Jam pada layar smartphone yang baru saja ia ambil
menunjukkan pukul 9 waktu Singapura, terlalu pagi
untuk berpikir kotor dan kepalanya masih sakit bukan
main. Cewek itu kemudian menelpon Line Arka,
mencoba menghubunginya. Tapi tidak ada sahutan
meskipun dia sudah mengulang hingga tiga kali.

"Arka kemana sih?" Dengusnya kesal. Cewek itu tidak


yakin kalau dia bisa berjalan dengan kondisi kepala
senyeri ini. Natella mulai berpikir kemungkinan-
kemungkinan kemana cowoknya itu menghilang.

Well, dia mabuk berat tadi malam dan Natella bahkan


tidak ingat apa yang diperbuatnya ataupun
dikatakannya. Bisa saja mereka bertengkar hebat
kemudian cowoknya itu kesal dan memilih
meninggalkannya.

Atau bisa juga Arka sudah pulang ke Indonesia


sebelum Natella bangun. Dia datang kemari tiba-tiba.
Jadi, bisa saja dia pulang tiba-tiba juga, kan? Kayak
jailangkungz

"Tapi, jahat banget kalau pulang dan gak bilang-


bilang!" Natella bersuara lagi untuk mengomentari isi
pikirannya. Ia memaksakan diri untuk mendudukan
badannya, kedua tangannya ia gunakan untuk
meremas kepalanya yang rasa sakitnya belum juga
menghilang.

She is really clueless right now.

Natella kemudian menggulingkan badannya agar bisa


mendekat ke telpon hotel, ingin menghubungi Dennisa
meskipun dia menduga bahwa teman dekatnya itu lagi
'pacaran' dengan pacar barunya. Namun apa daya,

307
sikunya malah menabrak meja telpon lebih dulu yang
membuatnya memekik nyeri dan meringis.

"Anjink, dosa gue sebanyak apa sih?" Dumelnya kesal.

Dia memijit-mijit sikunya sendiri, tidak berhenti


mengeluarkan omelan atas segala ke-clueless-an dan
kesialannya. Memang ya, sakit di negara orang tanpa
Mbak Ratna, Mama, Papa dan Arka yang tidak jelas
keberadaannya bisa jadi semenyebalkan ini.

Tidak lama dari dia termenung, Natella mendongak


karena mendengar pintu kamar hotel di buka, lalu
muncul sosok Arka yang tangannya membawa kantong
plastik sevel.

Dia sontak menyebutkan nama cowok itu dengan


mendramatisir, "Arkaaa..." panggilnya, setelah sempat
mengira Arka tidak akan kembali kemari.

Arka berjalan mendekati tempat tidur, ke arah Natella


yang menatapnya dengan penuh binar. Cowok itu tidak
mengeluarkan protes apapun ketika pinggangnya
langsung di peluk erat oleh cewek yang kelihatan begitu
pucat, "Aku pikir kamu ninggalin aku." ucap Natella,
kali ini pelan sekali, nyaris bergumam.

"Minum air putih dulu, Nat. Pelukannya entar aja."


Arka mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam
plastik dan menyodorkannya ke arah Natella. Cewek itu
mengambilnya dengan senang hati setelah melepas
pelukan dari pinggang Arka, tenggorokannya memang
sakit sekali, tidak kalah hebat dengan kepalanya yang
nyeri. "Habisin deh, semalam kamu hangover." Saran
cowok itu, masih berdiri di sebelah tempat tidur. Di
detik berikutnya, Arka memegang dahi Natella,

308
mengetes suhu tubuh cewek yang setengah badannya
tidak mau lari dari selimut itu.

"Perut kamu udah enakkan?"

Natella menggeleng, "kayak mau muntah." balasnya.


"tapi aku males muntah."

Natella mengakui kalau dia memang suka memperlebay


keadaan, hanya untuk main-main atau bercanda
sebenarnya. Satu-satunya hal yang tidak dia sukai dari
minum alkohol adalah efek buruknya seperti yang ia
rasakan secara nyata saat ini. Kepala sakit, perut mual,
dan badannya masih lemas. Dia saja bahkan
kesusahan bergerak dari tempat tidur sebelum Arka
datang...atau memang dianya saja yang malas.

"Ka, kali ini badan aku ngga enak beneran." Dia


berbicara untuk memberitahu, mengingat dirinya
selama ini yang kebanyakkan pura-pura sakit. "Kamu
punya Aspirin ngga?" lanjut Natella to-the-point.
Mencari painkiller untuk mengobati sakit kepalanya.

"Makan dulu, ada sup kaldu tuh."

"Nggak enak, Ka. Perut aku nggak enak. Langsung


minum obat aja, ya?" pintanya.

Arka membasahi bibirnya yang terasa kering, "makan


dulu, Nat." tawarnya sekali lagi. Natella tentu masih
memberikan gelengan penolakan. Siapa yang mau
makan ketika memiliki risiko muntah-muntah yang
besar? "Aku suapin." lanjut Arka.

309
Mendengar penawaran Arka, cewek yang duduk di atas
tempat tidur itu langsung mengangguk setuju disertai
senyum lebarnya, segampang itu membujuknya.

"Oke, aku mau." ucapnya tanpa mikir.

Arka langsung bergerak menyiapkan makanan dalam


mangkuk plastik yang tadi di beli kemudian kembali
mendekati Natella. Kakinya menarik kursi kayu yang
tidak terlalu jauh dari tempat tidur untuk menjadi
tempat duduknya.

Ia mulai menyuapi Natella dengan hati-hati dan cewek


itu membuka mulutnya tanpa drama apapun lagi.

"Enak juga." komentarnya. "Aku tuh kalau demam dikit


aja, rasanya kayak parah banget karna aku jarang
sakit. Pasti susah makan, karna aku ngga suka
muntah" ceritanya kemudian, matanya tidak lepas
memperhatikan Arka yang beberapa kali menghindari
kontak mata terhadapnya.

Natella menggigit bibir bawahnya sebentar, berpikir.


Arka memang tidak meninggalkannya begitu saja
seperti pemikiran dramanya, memang mana mungkin
sih cowok itu melarikan diri begitu saja. Arka keluar
untuk membelikannya minum dan sarapan pagi. Oke,
Natella memang kebanyakkan dosa karena berpikir
yang tidak-tidak mengenai Arka padahal cowoknya ini
selalu sebaik itu. Arka juga tetap bertingkah biasa saja
dan menampakkan raut datarnya. Tapi, di sisi lainnya,
Natella yakin sekali kalau ada sesuatu yang tidak beres
dengan cowoknya itu.

"Tahu, Nat. Kamu udah cerita 5 kali." Balas Arka


seadanya.

310
"Iya, aku ingat kalau aku sering cerita. Ini tuh prolog
biar kamu cerita juga kalau lagi sakit ngapain aja."
Omelnya sebelum membuka mulutnya untuk memakan
sesendok lagi yang disuap Arka.

"Yang jelas aku bisa makan sendiri."

Natella memutar bola matanya kesal, tapi masih


membuka mulutnya ketika Arka mendekatkan sendok
ke mulut Natella

"Inget ngga pas kamu sakit waktu itu? Yang cuma gara-
gara kena hujan itu loh." lanjut Natella, nada suaranya
agak menyindir untuk kalimat yang berikutnya, "aku
tuh aneh sebenernya, kamu naik gunung kuat, kena
hujan dikit aja gak bisa survive. Lemah banget sih."
lanjutnya tidak fokus ke inti yang ingin dia bicarakan.

Ekspresi Arka masih terlihat datar dan dia tetap


melakukan kegiatannya, menyuapi Natella dan sesekali
mengambilkan minum ketika cewek itu memintanya.
"Itu gara-gara ketularan Aji kali." balas cowok itu tidak
terima.

Natella mengabaikan, tidak memedulikan pembelaan


Arka atas sebab cowok itu nyaris di opname jika suhu
tubuhnya tidak turun juga . Dia lebih suka dengan ide
kalau Arka sakit gara-gara terkena hujan sementara
daya tahan tubuh Natella tentu tidak sepayah itu.

"Nah, malamnya kan demam kamu tinggi banget, kamu


sampe ngigo."

"Udah pernah cerita." Arka mengingatkan Natella akan


hal yang pernah cewek itu ceritakan tidak cuma sekali
tersebut.

311
"Tapi aku bilangnya aku ngga tahu apa yang kamu
bilang padahal aku sebenernya tahu."

"..."

Cewek itu tidak langsung membuka suaranya ketika


Arka memilih diam dan menunggu.

"Kamu bilang kamu sayang sama aku." Natella


mengatakan bak menyebutkan sesuatu hal yang paling
mustahil di dunia. "And you did not want to lose me."

"Then?"

Natella melihat bahwa mangkok plastik di pangkuan


Arka sudah tidak berisi lagi. "Orang yang dalam
keadaan ngga sadar pasti bakal ngomong hal-hal aneh,
atau bahkan ngga masuk akal." Natella
menyebutkannya dengan retorika bicara semeyakinkan
mungkin di tambah kebingungan. "Jadi, apapun yang
aku bilang semalam waktu mabuk, it's actually non-
sense."

"Orang mabuk biasanya jujur, Nat." Balas Arka


kemudian, suaranya pelan, tapi lebih serius dari
biasanya.

Melihat bagaimana ekspresi Arka sekarang, meskipun


tidak jauh-jauh dari rautnya yang itu-itu saja, Natella
dapat membenarkan dugaannya kalau cowok ini
sedang kesal kepadanya.

Bukannya langsung membujuk karena merasa


bersalah, Natella malah menampakkan semyum
simpulnya, "ciyeee ngambek." Godanya nakal. Dia
bahkan mentoel-toel dagu runcing Arka yang

312
sayangnya langsung di tepis pelan cowok itu.
"Emangnya aku ngapain deh semalem?" tanya Natella
kemudian, polos, pandangannya mengikuti punggung
Arka yang berjalan menjauh, membuang plastik-plastik
bekas ke kotak sampah.

"..."

Tidak dijawab, Natella mengeluarkan seramgannya.


"Kamu tuh jahat banget tau nggak ngambek karena
kelakuan aku pas mabuk. Aku kan ngga sadar, inget
aja ngga." Ucap Natella membela diri, seperti dirinya
yang selalu play victim sehabis marah-marah tidak
jelas dengan menggunakan alasan PMS.

"Makanya, gausah mabuk." Balas Arka dingin.

Natella tidak tahan untuk tidak mengeluarkan


tawanya. Dia tertawa ngakak, melihat Arka yang sewot
adalah sesuatu yang menghibur menurutnya.

Karena perutnya sudah terisi dan banyak minum air


mineral, kepalanya tidak sepusing tadi dan perutnya
terasa lebih baik. Cewek itu turun dari tempat tidur.
Mendekati Arka yang mencabut charge-an pada
handphonenya yang dalam keadaan silent, tidak
dibawa ketika keluar.

"Pantes ngga diangkat." gumam Natella pelan.

Cewek itu mengeluarkan senyumnya melihat punggug


Arka yang hanya berjarak beberapa meter darinya.
Tanpa pikir panjang, dia langsung memeluknya erat
dari belakang, pura-pura tidak mendengar segala
protesan Arka.

313
"Aku sayang kamu." Bisiknya, Natella dapat merasakan
debaran jantungnya yang berdetak tidak karuan. Entah
karena dia bertindak terlalu berani disaat dia tidak
seberani itu, atau karena dia sedang memeluk Arkasa.
"Dan aku nggak mau kehilangan kamu." lanjutnya lagi,
entah sudah berapa kali dia mengatakan hal ini secara
terang-terangan.

"Nat..." Arka memanggil namanya, membuat Natella


yang belum sudi melepaskan pelukan dari belakangnya
itu memberikan deheman singkat sebagai respon.
"Beneran lupa sama yang diomongin tadi malem?"

"Iya." jawab Natella jujur.

"Yaudah, ngga usah diingat."

"Kamu gak mau kasih tau gitu apa yang aku omongin?"

"Ngga." Jawab cowok itu singkat. "Aku juga males


mengingat."

Natella tidak mau memusingkan lebih lanjut, apapun


yang diperbuatnya tadi malam pasti tidak penting
namun cukup sensitif hingga membuat seorang Arkasa
merajuk.
Yang jelas, dia sangat menikmati pelukannya saat ini.
"Kayaknya obat hangover paling ampuhnya aku itu
wangi badan kamu deh. Aku ngga pusing lagi." Ucap
Natella asal. Tidak berhenti disitu, dia melanjutkan
ucapan-ucapan gombalnya terhadap Arka hingga
membuat muka cowok beraura dingin itu memerah.

Entah karena kesal, atau salah tingkah.

***

314
Hujan dan kesiangan membuat Natella dan Arka
membatalkan rencana untuk ke Universal Studio
ataupun S.E.A aquarium, belum lagi ditambah dengan
drama hangover Natella yang belum seelsai. Waktu
sudah menunjukkan pukul setengah 4 petang,
sedangkan konser Coldplay dimulai pukul 7 malam
yang artinya mereka tidak punya banyak waktu untuk
jalan-jalan.

Setelah perdebatan dan tawar-menawar panjang,


akhirnya Arka bersedia mengikut Natella ke mall,
memasuki gedung besar yang kurang disukainya dan
menemani cewek itu belanja.

"Se-pa-tu." Arka mengingatkan cewek yang mampir ke


beberapa store itu dengan tampang datarnya. Natella
memang tidak bisa dipercaya apabila masuk mall. Atau
memang semua perkataan cewek ini tidak seharusnya
dipercaya Arka.

"Aku beli sepatunya cepet kok, kan udah tau apa yang
aku mau."

Natella kemudian mengambil tangan kiri Arka untuk


melihat waktu yang ditunjukkan di jam tangannya.
Matanya terbelalak, "Kok ngga ngasih tau udah jam 5?"
protes cewek itu kemudian pada Arka.

Arka hanya bisa memberikan dengusannya dan


bergumam, "Serah lo deh."

Mengingat waktu yang makin tipis, Natella melupakan


jika Arka tidak suka di pegang-pegang apabila sedang
jalan di mall. Cewek itu menggenggam tangan Arka dan
menariknya menuju toko yang dia inginkan secara

315
buru-buru. Untung Arka bisa diajak kerja sama dan
tidak mengeluarkan protes apapun.

Sesampainya di salah satu toko yang mengeluarkan


merek kesukaannya, Natella mengambil model-model
heels yang seusai dan meminta pendapat Arka.

"Bagus ngga?" tanya Natella tiap kali dia memakai


setengah-setengah.

Arka tidak menjawab, matanya menatap datar ke arah


Natella, tangannya daritadi terlipat di depan dada
sementara tubuhnya menyender di dinding, headset
yang terpasang ditelinganya semakin menunjukkan
kalau dia tidak mau diganggu ataupun terganggu
dengan apapun.

Sampai Natella ketemu dengan model yang menurutnya


sangat sesuai seleranya, ditambah shop assistant yang
meladeninya terus menerus memberinya pujian kalau
dia cocok dengan sepatu itu.

Natella memasang sepatu heels itu di kakinya, tapi dia


kesusahan mengancingnya karena apabila dia
menunduk dengan kedua tangan dibawah, kera
bajunya yang lebar akan menampakkan isi
dalamannya. Maka dari itu, dia menggunakan satu
tangan untuk mengancing sepatu dan satunya untuk
menahan bajunya, yang membuat usahanya sangat
sia-sia.

Dia membuang napas capeknya dan memegakkan


badannya yang sejak tadi menunduk. Namun didetik
itu pula, dia mendapati Arkasa sudah berlutut
dihadapannya, memasangkan sepatu berwarna cokelat

316
itu di kaki kanannya dan mengancingnya dengan hati-
hati.

Natella tidak pernah bercita-cita ataupun berkeinginan


menjadi Cinderella sebetulnya. Namun, dia betulan
merasa bak menjadi Cinderella dan hidup di negeri
dongeng saat ini dimana pangeran sedang memakaikan
sepatu kaca untuknya.

Melihat satu sepatu sudah terpasang, Natella ingin


berdiri agar lebih mendekati kaca untuk melihat
penampilan kakinya. Namun Arka lebih dulu
mencegahnya, "cobain sepatu tuh jangan satu-satu."
ucap cowok yang masih berlutut dihadapannya itu. Dia
memasangkan satu sepatu lagi di kaki kiri Natella,
membuat cewek itu menahan napasnya sembari
memperhatikan Arka yang begitu serius.

Hingga kedua sepatu cantik itu terpasang di kaki


Natella, Arka mengangkat badannya untuk berdiri.
Pandangannya masih tertuju pada kaki Natella yang
dilapisi sepatu yang disukai ceweknya itu, "gimana?
Kamu suka ngga?" tanya Natella meminta pendapat,
dia bahkan memasang senyum lebar terbaiknya sambil
menunggu komentar Arka.

"Ngga." Jawab cowok itu cuek dan santai, benar-benar


tidak berperasaan.

Natella yang awalnya tersenyum lebar tentu


menghilangkan senyumnya. "Tapi kalau kamu suka,
beli aja." saran cowok itu enteng.

Natella menghembuskan napas kesalnya, "emang aku


suka dan aku bakalan beli!" jawabnya ketus. Menyesal
menanyakan pendapat Arka yang malah membuat

317
mood nya menjadi buruk. Tapi, tenang, Natella
memang suka begini dan ini bukan masalah serius,
tidak akan berlangsung lama.

Natella menuju kasir dan membayarnya menggunakan


kartu debit yang menyisakan sisa-sisa uangnya yang
tidak banyak karena terlalu boros akhir-akhir ini.
Ayolah, dia sempat menjual tiket konser Arka
mengingat cowok itu mengatakan kalau dia tidak jadi
ikut, lalu membelinya kembali dengan harga yang jauh
lebih mahal setelah Arka tiba-tiba berada di Singapore,
mengorbankan uang tabungannya untuk beli sepatu
impiannya.

Setelah bayar dan ke luar dari toko itu, Arka malah


tiba-tiba masuk ke toko Valentino yang berada di
sebelah toko sebelumnya, membuat Natella terpaksa
mengikutinya juga.

"Nih, aku suka yang ini." ucapnya sembari menunjuk


salah satu model sepatu yang memang best seller
untuk ukuran Valentino.

"Kalau suka, beli aja." Natella membalas masih


menggunakan nada suara ketus andalannya

"Memang bakal beli." Ucap Arka mengikuti kata-kata


Natella tadi, tapi muka dan nada suaranya masih
datar.

Arka meminta shop assistant langsung membungkus


sepatu itu, tidak seribet Natella seperti membeli sepatu
sebelumnya, padahal harga sepatu perempuan yang
akan dibeli Arka ini seharga macbook keluaran terbaru
dengan memory terbanyak.

318
"Buat apaan sih?" tanya Natella tidak menyangka.

"Buat mangkal." Balas Arka asal. Natella mengeluarkan


tawa sarkastiknya. Namun berhenti ketika Arka
mengeluarkan dompetnya yang tidak berisi dan
menyerahkan salah satu kartu debitnya ke cassa.

Wah, bangsat, ini orang kayaknya ngga bisa bercanda.

"Jangan gila deh." Natella berucap lagi, masih tidak


habis pikir dengan yang baru saja dilakukan Arka. Dia
bukannya kegeeran kalau Arka tengah membelikannya
sepatu itu. Masalahnya, itu adalah sepatu yang
menjadi incaran Natella sejak berbulan-bulan lalu.
Sayangnya, seberusaha apapun dia untuk nabung,
uangnya tidak pernah cukup. "Aku ngga bakal teraktir
kamu makan ya kalau kehabisan duit." Natella berucap
lagi, mencoba menghentikan niat Arka. Sayangnya,
barang itu sudah terbayar di detik yang sama.

Arka mengambil sepatu branded yang sudah disusun


dalam kotak dan dimasukkan ke dalam paperbag salah
satu brand ternama itu kemudian mengajak Natella
keluar dari toko itu dan menuju stadium karena hari
makin sore.

"Ka, aku serius." Natella berbicara lagi setelah beberapa


saat dia diam saja, masih syok dengan apa yang
disaksikannya tadi. Kayaknya bukan dia deh yang
bipolar ataupun impulsif, ini cowoknya kelihatan lebih
impulsif. "Ngapain sih beli itu segala?"

"You can buy whatever you like, so do I."

"Iya, tapi kamu kan..." Natella tidak melanjutkan kata-


katanya, dia terbatasi dengan kelakuan-kelakuannya

319
selama ini yang suka membeli hal-hal tidak penting
tapi disukainya dan menggunakan alasan dia bisa
membeli apapun yang dia suka selama tidak minta ke
orang lain.

Tidak mau berpikir atau memperibet keadaan, Natella


pada akhirnya memilih memeluk Arka ketika mereka
sudah sama-sama berada dalam mobil. "Sumpah,
kamu lebih bermanfaat dari sugar daddy-nya Meira."
Ucap Natella tiba-tiba, tidak tahu harus mengucapkan
terimakasih bagaimana lagi.

"Emangnya aku kenapa?" pancing Arka kemudian, di


saat yang sama dengan Natella melepaskan
pelukannya.

"Udah beliin aku sepatu yang aku mau." jawab Natella


enteng, meskipun Arka belum melakukan perbuatan
apapun yang berdefinisi menyerahkan sepatu yang ia
beli tadi untuk Natella. Padahal belum tentu untuknya,
kan? Bisa saja itu untuk...Mentari? atau Ibunya Arka?

"Kalau kamu mau beliin itu kan seharusnya ngomong


dari awal dong, aku gak perlu beli yang sebelumnya,
jadi kan bisa nambah-nambah dikit." lanjut Natella
kemudian, tidak mengerti harus mendeskripsikan
perasaannya bagaimana, cewek itu bahkan belum juga
melepaskan pelukannya dari badan Arka.
"Terus aku kan juga bingung mau gantinya kayak
gimana."

"Jangan geer, siapa bilang buat kamu?" Arka


menunjukkan raut bingungnya.

Bukannya malu ataupun terdiam karena pertanyaan


Arka, Natella malah menunjukkan senyum miringnya.

320
Paper bag berwarna merah itu dia peluk erat-erat,
"Yaudah kalau bukan buat aku. Yang penting aku mau
pinjem dulu, nanti kalau aku bosen, aku balikin."
balasnya santai, belum juga merenggangkan
pelukannya pada paper bag itu. "Ukuran sepatunya
juga pas sama aku."

Arka tidak dapat menahan bibirnya untuk tidak


melengkung, apalagi ketika dia melirik bagaimana
Natella memeluk paper bag itu seperti seperti anak
kecil yang memeluk boneka teddy bearnya disaat tidur
sendirian, tidak mau kehilangan. "You're welcome."
ucap Arka bergumam meskipun Natella tidak
mengucapkan terimakasih secara terang-terangan.

Dia membeli itu memang untuk Natella, is not it


obvious?

Mendengar gumaman Arka, senyum pada bibir Natella


semakin lebar, dia tidak tahu sudah berapa kali dia
tersenyum hari ini. Baiklah, dia tidak suka dibelikan
barang-barang mahal oleh orang lain, ayahnya juga
melarang keras hal itu.

Tapi Arka bukan orang lain, kan? Iya, Arka seharusnya


bukan orang lain dalam hidupnya. He is someone
special. Seperti Dennisa yang biasa saja ketika
diberikan tas ataupun sepatu branded limited edition
oleh pacarnya, Natella juga seharusnya tidak perlu
merasa terbebani atau berpikir bagaimana caranya
mengganti.

Tidak semua mengharapkan imbalan, kan? Ayahnya


tidak pernah meminta imbalan apapun meskipun
sudah membiayain kebutuhan hidupnya dan
memberinya uang jajan tiap hari, Ibunya juga tidak

321
mengeluh meskipun telah melahirkannya dengan
susah payah.

Dan tiap kali Natella memberikan Arka sesuatu, dia


tidak pernah berharap imbalan. Dia hanya suka
memberi dan itu sudah cukup membuatnya merasa
bahagia. It sounds cheesy but seeing people happy
because of herself makes her happy too, apalagi orang
yang dia sayang.

Apakah Arka merasakan seperti itu juga?

Natella tahu kondisi keuangan Arka. Jika mas Richard


memang setajir itu sampai bisa menginap di kamar
President Suite hotel sekelas Ritz Carlton, Arka bahkan
harus pikir-pikir dulu untuk membeli barang-barang
yang bukan merupakan kebutuhan pokoknya, dia
kebanyakkan menghabiskan uang untuk membeli
buku-buku kedokteran yang sangat tebal dan berharga
jutaan. Dan setelahnya, dia biasanya akan memilih
makanan pinggir jalan.

His family may be rich, but he himself is not that rich.

Makanya Natella tidak habis pikir ketika Arka


membelikannya sepatu dengan harga yang lumayan
mahal. Meira ataupun Dennisa pasti sering dibelikan
yang jauh lebih mahal, tapi Natella bertaruh mereka
tidak pernah sebahagia dirinya saat ini.

Bukan karena harga sepatunya yang membuat Natella


senang, tapi kenyataan kalau Arka tengah mencoba
menyenangkannya membuatnya lebih senang dari
apapun, melupakan kenyataan bahwa dia pernah
begitu sedih sebelumnya.

322
***

Siapa sih yang nggak mau nonton coldplay? Reno yang


lagi persiapan wisuda saja bahkan bela-belain. Begitu
pun Natella yang sudah niat sejak acara itu
diumumkan, masih tidak mau mundur meskipun dia
terancam pergi sendiri.

Tapi Natella tidak jadi sendiri karena Arka tidak


membiarkannya sendirian. Ok, dia terlalu senang
dengan apapun yang terjadi hari ini makanya otaknya
terus memproduksi hal-hal yang menggelikan.

"Kayaknya aku lagi mabuk deh. Mabuk cinta." ucapnya


ngaur sehabis meminum habis sebotol air mineral yang
dikasih Arka. Mereka masih berada di luar National
Stadium yang ramai dengan orang-orang yang habis
menikmati konser coldplay, terlalu terbawa suasana di
Venue sehingga belum rela pulang begitu saja.

Natella menyenderkan kepalanya di bahu Arka yang


duduk di sebelahnya. Well, mereka sedang duduk di
semen yang mengitari sebuah pohon, muat untuk dua
orang. "Aku ngantuk." Gumamnya sebelum Arka protes
dan menyuruhnya menyingkir.

"Balik mobil, yuk." Ajak cowok itu

"Sini aja deh, anginnya enak." Natella menolak, memilih


menikmati pemandangan orang-orang yang masih
menyebar eforia konser yang menurutnya memang luar
biasa itu, apalagi ketika perform lagu Fix You, Natella
sampai nangis saking kerennya. "Lagian mobil kamu
belum bisa keluar." lanjutnya, masih menyenderkan
kepala di bahu Arka.

323
Mendengar Arka diam saja dan mungkin ikut
memperhatikan orang-orang, Natella mengambil
handphone Arka yang tadinya terletak di tangan
cowoknya itu untuk mendengar lagu, "pinjem."
Rengeknya tidak jelas, kebiasaannya kalau sudah
terlalu capek dan ngantuk, otaknya tidak lagi bekerja
sepenuhnya.

"Kok gak bisa kebuka?" tanyanya heran, karena setelah


dia menekan tombol home, yang muncul adalah kata
'try again' berkali-kali. "Kamu hapus fingertrip aku, ya?"
tanya Natella curiga. Dia bahkan mengangkat
kepalanya dari bahu Arka untuk memberi cowok itu
pandangan menuduhnya.

Arka mengambil kembali handphonenya, membukanya


kemudian menyerahkan ke Natella, "tinggal pasang
lagi." ucap cowok itu enteng, dia juga kelihatan terlalu
lelah untuk berdebat panjang..

Natella memperhatikan sebentar handphone Arka.


Warnanya sama dan isi dalam ya nyaris sama. Tapi
Natella langsung mengeluarkan decakkan setelah
menyimpulkan sesuatu.

"Kamu ganti handphone, ya?!" tembak Natella


kemudian.

"Yang kemarin rusak."

"Kebanting lagi?" tanya Natella. "Atau kamu banting?"


lanjutnya sarkastik. "Kamu itu calon dokter,
seharusnya menyembuhkan, bukan merusak."

Arka tidak repot membalas ucapan Natella, cewek itu


sudah kembali menyenderkan kepala dibahunya.

324
Mengotak-atik handphone cowoknya itu dan
menyambungkannya dengan headset. Satu ditelinganya
dan satu lagi di telinga Arka.

"Ka..." Natella menyebut namanya. Tapi, didetik


berikutnya dia malah menggeleng singkat dan
mengatakan, "ngga jadi deh."

Cewek itu memutuskan untuk memejamkan matanya,


tidak mau memikirkan hal-hal ribet seperti hubungan
Arka dan Jovan atau semacamnya. Badannya sudah
kepalang lelah, "aku tidur ya, bangunin kalau udah
sepi." pintanya pada Arka.

Cowok itu mengangguk, dia mengambil air mineral


yang masih bersisa kemudin menegaknya lagi sampai
habis, sembari berusaha untuk tidak terlalu
menggerakan bahunya agar Natella tidak terganggu.

Matanya yang terjaga memilih mempehatikan sekitar.


Too many people, it looked crowded, membuatnya
pening. Sampai ketika kepala yang menyender di
bahunya bergerak-gerak nyaris terjatuh, Arka langsung
melirik ke arah kiri, tangan kanannya ia gunakan
untuk menahan kepala Natella agar tetap berada di
bahunya.

Entah berapa lama dia tidak memandang kemana-


mana melainkan perempuan yang sedang tertidur di
dekatnya itu. Melakukan apapun yang ia bisa agar
Natella dapat tertidur dengan nyaman meskipun dia
sendiri merasa tak nyaman.

Arka masih melihat senyumnya, masih mendengar


panggilan sayang darinya, masih dipeluk olehnya.

325
Namun dia tahu, dari dalam hati cewek itu. Natella
sudah tidak mencintainya lagi.

Dia berubah.

"It's not because I am never jealous. But..."

"..."

"You wont like it if I am jealous." Bisiknya pelan sebelum


diam-diam mencium bibir perempuan yang sedang
tertidur itu.[]

***

326
Chapter 19. Burn it Up
Seminggu setelah Natella pulang dari Singapore. Dia
mendapati bahwa Arkasa banyak sekali mengalah
padanya. Dia membalas pesan Natella dengan cepat,
sesekali memastikan apakah cewek itu berhubungan
dengan Jovan atau tidak.

Makanya Natella memutuskan kemari, ke rumah tante


Sarah untuk menemui Jovan. Bagaimanapun, pria itu
yang secara tidak langsung membuat cowoknya sedikit
berubah. Dan itu memunculkan kecurigaan baru bagi
Natella.

Sungguh, dia bahagia Arka jadi perhatian kepadanya.


Namun tetap saja rasanya aneh.

"Nih oleh-oleh." Natella melempar tidak sopan paper


bag berisikan cokelat-cokelat dan makanan yang dia
beli di Changi Airport ke arah Jovan.

"Kapan lo ke Singapore?" Jovan mengintip isi paperbag


itu dan mengambil sekotak pocky.

"Seminggu yang lalu."

"Udah basi dong."

"Udah basi tapi masih lo makan." Balas Natella sewot.

"Sama kakak sendiri ngga boleh galak-galak." balas


Jovan enteng. Jovan tidak tahu saja bagaimana
kelakuan Natella terhadap adeknya, Ferre. "

"Amit-amit."

327
"Lo ngapain kesini? Bunda lagi di Bandung."

"Mau ketemu elo, bego."

"Kalau mau ketemu gue manis-manis dong."

"Yang kayak elo ngga pantes dimanisin."

Mendengar itu, Jovan menyumpal mulut Natella


dengan sebatang pocky yang nyaris membuat cewek itu
tersedak, sedangkan cowok berkulit tan itu
menampakkan tawanya. Sehingga Jovan harus
merasakan pukulan dan cubitan dari Natella pada
lengannya.

"Minta diusir?"

"Rumah tante sarah, bukan milik lo."

"Milik bunda gue, milik gue juga."

"Gue makin curiga kalau elo beneran tukang bengkel


yang ngaku-ngaku sebagai anak tante sarah buat
ngambil harta dia!"

"Lo pikir gue pemeran antagonis di drama turki?"

"Tampang melarat lo mendukung."

Kedua orang itu terus melempar tuduhan dan makian


tidak penting satu sama lain. Mereka tidak dekat, jadi
bukankah wajar Natella memberikan segala ucpan
menghinanya untuk Jovan? Sialnya, Jovan seperti
tidak kehabisan kata untuk membalas Natella.

328
Karena malam sudah semakin larut dan mereka tidak
berhenti berdebat, Natella akhirnya mengalah karena
teringat untuk apa dia menemui Jovan sehabis lelaki
ini pulang kantor.

"Gue mau nanya sesuatu."

"Apa?" tanya Jovan sembari membuka kotak pocky


strawberry. "About your boyfriend, right?" tebaknya
kemudian.

"Kok tau?"

Jovan memutar bola matanya malas sebagai respon.

"Kita bahkan ngga mungkin pernah ngobrol kalau


bukan karena dia."

Bener sih.

Karena Jovan sudah mengerti maksudnya, Natella


langsung mengeluarkan isi unek-uneknya.

"Jovan, gue capek dengan semua basa-basi dan segala


rahasia yang elo ataupun cowok gue sembunyikan,
tentang masa lalu kalian." ucap cewek itu to-the-point.
"Gue akuin kalau cowok gue memang bertingkah aneh
semenjak lo datang, dia lebih baik dan lebih perhatian
sama gue, bahkan sedikit posesif yang sangat bukan
dia." lanjutnya.

Jovan menunjukkan cengirannya, dia ingin tertawa


mendengar ucapan blak-blakan Natella yang sebaiknya
tidak pernah cewek itu beritahukan kepadanya.

329
"Bagus dong? Bukankah itu yang budak cinta seperti lo
inginkan?"

Bodohnya, Natella menganggukan kepalanya tanpa


ragu. "Iya sih, tapi tetep aja gue merasa pantas tahu
tentang apa yang terjadi pada kalian berdua."

Jovan menampakkan tawa mengejeknya, "kalau lo


merasa pantas tahu, seharusnya lo tahu dari dia,
bukan gue." tantang Jovan meremehkan, "but you
always beg me to tell you about this which means that in
his thought, you are not too important to know about his
past life."

"..." Natella tentu terdiam. Kata-kata Jovan persis


dengan yang ia pikirkan.

"Let me clear this, my lovely cousin." Jovan berucap lagi,


dia menjedanya sebentar untuk melanjutkan, "lo bener
kalau lo merasa dia tidak mencintai lo. Gue bahkan
sampai muak mengatakan ini, tapi dia ingin
menghancurkan gue sekali lagi menggunakan elo.
Kenapa? Karena lo sepupu gue, dia cukup kenal gue
untuk tahu kalau prioritas gue adalah keluarga."

"..."

"Dan lo tahu sendiri. Gue nggak pernah menganggap lo


keluarga gue."

"..."

"Jadi, kalau lo tetep keras kepala dan menjadi budak


cinta dia, it's your choice. Tapi, lo harus tahu kalau lo
nggak punya siapa-siapa ketika lo terjatuh."

330
"..."

"Kecuali kalau lo mau mengikuti saran-saran gue."

Natella mencibir mendengarnya, ia memandang Jovan


lekat-lekat pada akhirnya, "Jovan, I actually dont need
your advices." ucapnya. "Gue cuma pengen tahu
kenapa dia terlihat begitu kesal waktu kakaknya
menyebut nama belakang lo. Cuma nama."

Well, Natella baru menyadari bahwa dia pernah


mendengar nama Jovan sebelumnya dari bibir mas
Richard. Syailendra. Her cousin is 'that Syailendra'
which even made Arkasa looked so mad by hearing his
name. Nama yang begitu membuat Natella penasaran
hingga akhirnya dia mendapati kesimpulkan bahwa
nama itu milik Jovan.

"..."

"Dan sampai menyusul gue ke Singapore karena


berpikir gue pergi bareng lo ke sana."

"Interesting."

"Sampahnya, gue denger kalau kalian ribut cuma


karena cewek." Natella mengeluarkan kalimat itu
dengan menekankan kata 'cuma', membuat Jovan
menunjukkan senyum miringnya.

"Buat gue, Aluna bukan cuma sekedar cuma cewek.


Dan gue rasa, cowok lo punya pandangan yang sama"

Natella memilih diam sebentar. Ya, siapapun cewek


yang dimaksud pasti sangat penting hingga membuat

331
dua orang ini saling benci hingga Jovan meminta
Natella jauh-jauh dari Arkasa.

Handphonenya berbunyi kemudian, ia mengeluarkan


benda kecil persegi panjang itu dari dalam tas, telpon
dari Arka. Jovan yang juga melihat ke arah layarnya
lantas merebut benda itu dari tangan Natella.

"Hello bastard." Sapanya dengan suara yang menahan


emosi, masih kesal karena ucapan meremehkan Natella
sepertinya. "Your girlfriend is with me..." ucapnya pada
telpon, mata tajamnya menatap ke arah Natella. Salah
satu cara balas dendam terbaik yang bisa
dilakukannya untuk Arkasa Sean Hadinata..

"Calm, I am not going to do anything because for what?


You are the one who is going to do something, right?"
sembari mengatakan itu, Natella dapat melihat seringai
Jovan.

"Balikin handphone gue!" Pinta Natella kesal,


mengambil ancangan untuk mengambil paksa dari
tangan Jovan. Tapi cowok itu malah menepis
tangannya.

"You know, your girlfriend said that we hate each other


'just because' of Aluna with mocking voice tone. aint she
snotty?" ucapnya lagi untuk orang yang tengah berada
dalam sambungan telpon.

"Jovan, balikin! Mau lo apa sih?" Natella meminta


sekali lagi menggunakan nada yang makin kesal. Dia
tidak tahu apa yang tengah di balas Arka ataupun yang
tengah mereka bahas.

332
Aluna? Siapa Aluna? Nama cewek itu Aluna? Cewek
yang membuat Arka dan Jovan bertengkar? itu yang
berkeliaran di benaknya setelah Jovan mengucapkan
nama Aluna, bercampur dengan kekesalan sekaligus
kecemasannya.

Jovan kembali mengucapkan kata-kata yang tidak bisa


dicerna oleh Natella, biasanya, cewek itu pintar
menyimpulkan keadaan dengan cepat. Hingga akhir
cowok tampan itu mengembalikan handphone itu ke
tangan Natella.

"You should learn how to watch your mouth."

"Lebay." balas Natella dingin, sekesal itu kepada Jovan,


kata-katanya dan juga perbuatannya.

"Lo mungkin berpikir gue jahat. But trust me. Cowok lo


satu-satunya yang paling jahat disini."

Natella memalingkan muka, tidak mau peduli. Terlalu


banyak pikiran terkecamuk dalam benaknya mengenai
Aluna. Dan mengingat bagaimana Jovan memanas-
manasi Arkasa di telepon tadi, Natella menduga bahwa
Arkasa akan menemuinya disini.

"Biarin. Gue mau pulang!" Balas Natella jutek.

Jovan menyeringai, "mau pulang atau kabur?" dia


mengamati Natella yang sudah berdiri namun
menghentikan langkahnya. "You dont wanna know
about Aluna?" tanya Jovan memancing, badan Natella
tiba-tiba kaku. Dia penasaran bukan main, sudah
penasaran sejak nama itu disebutkan Jovan di telepon.
Jovan menarik tangan cewek itu yang awalnya berdiri
itu agar kembali duduk. Mereka berdiaman agak lama

333
hingga akhirnya Jovan kembali bersuara "She was the
girl around me and your boyfriend."

"..."

"Someone who really liked Lana Del Rey's songs, who


loved Vanilla a lot. And had a precious dream to become
a doctor."

Mendengar informasi dari Jovan mengenai itu, jantung


Natella terasa tertusuk sesuatu. Sakit dan sesak sekali.

"Cewek yang sangat berharga bagi gue dan cowok lo.


Ya, sampai-sampai dia menghidupi bayang-bayang
Aluna dalam dirinya. Dan menyukai apapun yang mirip
Aluna."

Natella membasahi bibirnya yang terasa kering,


napasnya makin tercekat, pandangannya kosong
seketika. Lalu dia menatap tajam ke arah Jovan di
sebelahnya, "oh ya?" tanyanya meremehkan. Seakan
lupa jika sebelumnya dia juga melakukan ini dan
mengakibatnya Jovan nyaris hilang kontrol. "tapi gue
gak nanya." lanjutnya menyebalkan.

Natella menegakkan badannya lagi, namun Jovan


langsung menarik paksa tangan cewek itu agar kembali
duduk manis di sebelahnya. Jovan mengelurkan
seringainya lalu berbisik ke Natella. "Dont you wanna
see how much your boyfreind loves Aluna? He is going to
be here in few minutes."

"Ga perlu!" Natella menegaskan, menarik tangannya


yang masih di genggam Jovan agar segera di lepaskan.

334
"Kenapa? Takut?" Gantian Jovan yang
meremehkannya.

Natella menggeleng, dia diam untuk beberapa waktu di


tempat duduk. Lalu setelah bermenit berlalu, akhirnya
dia tetap berdiri dan berjalan ke luar ke arah pintu.

"Lo beneran gak mau tahu ada masalah apa gue sama
cowok lo?" tanya Jovan lagi, mencoba menahan Natella.
Meskipun dia tidak yakin Natella dapat mengontrol
seorang Arkasa Sean Hadinata, namun Aluna bisa. Dan
dia telah bawa-bawa nama Aluna tadi, dengan
mengumpankan Natella.

"Gue gak mau lo jadikan tumbal." Natella berkata


pelan, masih berjalan ke arah pintu ke luar.
Perkataannya membuat Jovan agak terkejut.

Cewek ini pintar, dia harus mengakui itu. Meskipun


belum tentu tahu apa yang terjadi, Jovan yakin bahwa
Natella telah mengerti jika dia sedang dalam posisi
yang tidak menguntungkannya.

Jovan yang mengikuti langkah Natella ke pintu ke luar


pada akhirnya mengeluarkan seringainya sekali lagi
ketika melihat mobil putih masuk ke perkarangan
depan rumah, "Lo gak mau liat sisi lain cowok lo yang
lo sangka baik itu?"[]

***

335
Chapter 20. Toxic
Apa yang sebenernya gue cari dari si Jovan brengsek
ini?

Natella memikirkan jawaban dari pertanyaan yang


terngiang di benaknya. Dia pernah mengatakan bahwa
semua ucapan Jovan tentang Arka merupakan omong
kosong. Namun, untuk apa dia berulang-ulang
menemui orang yang tidak bisa dia percaya untuk
mendengar pendapatnya mengenai masa lalu Arka?

Tidak, Natella yakin sekali jika dia belum mempercayai


Jovan. Masalahnya, meskipun mulutnya dengan yakin
mengatakan dia selalu percaya Arka, alam bawah
sadarnya malah menentang itu dan menyatakan
sebaliknya.

"I am sorry, cousin." Natella berdesis mendengar


permintaan maaf palsu Jovan ketika mereka sama-
sama melihat mobil Arka memasuki perkarangan
rumah Tante Sarah. "Lo emang pinter, tapi orang pinter
kalah sama yang licik. Itu hukum alam."

Well, Jovan benar, Arka kemari. Lalu, apakah hal-hal


lain yang ditebak Jovan akan terjadi juga? Seperti Arka
memarahi atau bahkan mencelakainya karena dia
sempat mengejek Aluna, layaknya Jovan yang tadi
sempat terlihat marah sekali?

Wow, Natella bahkan ingin mengejek, kalau perlu


mencaci maki Aluna sampai hatinya puas. Kenapa dia
tidak pernah tahu menahu mengenai cewek yang
diceritakan Jovan sangat penting dalam kehidupan
Arka? Kenapa dia tidak pernah diberitahu sedikitpun

336
lewat mulut Arka? Apakah dia setidakpantas itu untuk
mengetahui kehidupan Arka?

"Gue nggak takut." Natella membalas perkataan Jovan


dengan nada suaranya yang tidak kalah sinis. Arka
yang dia tahu tidak pernah bertindak macam-macam
kepadanya. Semarah apapun cowok itu kepadanya, dia
hanya akan mendiami Natella. Tidak pernah mencaci
apalagi sampai main tangan. Tapi, bagaimana jika Arka
ternyata punya sisi mengerikan yang bisa saja
mencelekai Natella hanya karena Aluna? Natella
membasahi bibirnya, cewek yang mengenakan kemeja
merah maroon itu belum melupakan cerita Meira
tentang apa yang terjadi pada Brian. Terlalu banyak hal
misterius mengenai Arka yang bahkan dia tidak pernah
tahu sebelumnya.

Salah satunya mengenai Aluna.

"Tangan lo geter tuh." Ejek Jovan lagi, tidak di balas


Natella karena Arka baru saja ke luar dari mobil putih
yang terparkir sembarang itu, berjalan menghampiri
mereka berdua yang sepertinya menjadi pemandangan
menyenangkan bagi Jovan. "Long time no see, amigo.
Ternyata manggil lo kesini gak sesusah itu." itu suara
sinis Jovan menyapa Arka, tidak direspon oleh cowok
yang baru datang itu.

'Lo gak takut, Nat.' Sementara Natella malah terjebak


dalam lamunannya. Pikirannya mulai memberinya
doktrin-doktrin yang menentang ejekan Jovan. Iya,
Natella tidak takut pada Arka. Dia tidak seharusnya
takut pada cowok itu. Satu-satunya yang dia takuti
adalah diputusi oleh Arka. Dia sering melakukan
tindakan kelewatan dan semuanya baik-baik saja pada
akhirnya. Dia bahkan pernah mengusik Mentari secara

337
langsung, sesuatu yang sejak awal diperingati Arka.
Cowok itu tidak membalasnya sampai di luar batas.
Tidak mungkin hanya karena Aluna, Arka
memarahinya selebay yang diprediksi Jovan, kan?

'Sial, kenapa isi otak gue dari tadi gak jauh-jauh dari
situ?' kesalnya dalam hati.

Cewek itu menghembuskan napas pendek beberapa


kali, menepalkan tangannya yang daritadi bergerak
gelisah.

'Lo gak takut, Nat. Satu-satunya yang lo takuti itu


diputusi Arka.' bisiknya lagi, masih dalam hati. 'Tapi
sekarang, lo bahkan gak takut lagi dengan hal itu.' dia
melanjutkan, menyadari bahwa rasa sesak yang
daritadi menusuk-nusuk hatinya sudah melewati
batas. Membuatnya seketika merasa kosong.

Natella memberanikan diri melirik ke arah Arka pada


akhirnya, membuat pandangan mereka bertemu. Dia
sadar sejak awal kedatangannya hingga berdiri
mematung tidak jauh darinya, cowok itu terus
memfokuskan pandangan ke arahnya. Natella benar-
benar berharap dia dapat merasakan sesuatu. Rasa
takut bahkan lebih baik daripada kosong seperti
sekarang. Biasanya, jantungnya akan berdetak tidak
karuan dan membuatnya senyam-senyum kegirangan
apabila dia mendapati Arka tengah menatapnya.
Sekarang, jantungnya tetap berdetak, namun diikuti
perasaan tidak enak yang bahkan lebih buruk dari rasa
sedih.

Pokoknya, Natella bersumpah dia tidak akan sudi


bertemu Arka lagi jika cowok itu melakukan sesuatu
sesuai prediksi Jovan.

338
Tapi,

"Nat, yuk, pulang." Itu ucapan pertama yang ke luar


dari mulut Arka, jauh dari perkiraan Natella apalagi
Jovan. Sayangnya, Natella tetap tidak merasa terkejut.
Dia masih diam di tempatnya, tidak berbicara apapun
atau memberi respon apapun. "Udah malem." lanjut
cowok itu, lembut sekali seperti tengah membujuk,
matanya tidak lepas sama sekali dari Natella,
mengamati cewek yang belum keuarkan suara apapun
juga.

Jovan mengeluarkan cibirannya. Dia berekspektasi


dapat menyaksikan sesuatu yang menghibur. Ayolah,
dia sudah lama tidak menemui sahabat lama yang
sekarang menjadi musuh bebuyutannya ini. Membuat
cowok ini berada dalam lokasi yang sama dengannya
bukanlah hal yang mudah. Dia sudah sebulan lebih
berada di Indonesia, dan ini adalah kali pertama dia
dapat menjumpai Arkasa Sean Hadinata.

Natella memang bisa dimanfaatkan. Sayangnya, apa


yang terjadi sekarang malah jauh dari perkiraannya.

"Are you fucking afraid of her?" tanya Cowok berkulit


tan itu mencemooh.

Sialannya, Arka tidak repot memberikan respon dalam


bentuk apapun untuk Jovan, membuat cowok berkulit
tan itu mulai naik darah. Ayolah, bukankah yang
seharusnya terjadi itu sebaliknya, Sean yang naik
darah karena ulahnya?

Jovan memasukkan tangannya ke dalam saku celana.


Dia tidak mau memukul lebih dulu. Untuk dua orang
yang sudah sering ribut dan saling adu tinju, yang

339
memukul duluan diartikan lebih pengecut dan childish
karena tidak dapat menahan emosi. Itu salah satu
alasan Jovan memancing emosi Arkasa sejak awal,
menggunakan Natella. Meskipun manusia kayak Arka
tidak akan memukul Natella langsung, paling tidak
emosinya tersulut. Tapi, kenapa seseorang yang dia
kenal egois dan childish malah bertingkah bak anak
anjing jinak menghadapi Natella?

"Nat." Arka malah memanggil Natella lagi, berjalan


semakin mendekatinya. Hingga cowok itu hampir
menyentuh tangan Natella, Jovan lebih dulu bersuara,

"She doesnt trust you, not anymore." Ucapnya, kali ini


berhasil menarik perhatian Arkasa. Cowok itu
mengalihkan pandangan ke arah Jovan juga, yang
berdiri tidak jauh di sebelah Natella. "I've told her
everything."

Arka mendengus, tidak mau berlama-lama menatap


Jovan, dia kembali memandang Natella kemudian
memegang tangannya, yang sayangnya malah langsung
dihempaskan tidak sopan oleh cewek itu. Tontonan
pertama yang membuat Jovan tampak begitu puas,
senang dan menang.

"Dont believe whatever he said." ucap Arka untuk cewek


yang sejak tadi belum juga mengeluarkan suaranya.

Melihat reaksi Natella, Jovan merasa bahwa dia harus


memanfaatkan kesempatan ini. Dia memang belum
memberitahu Natella inti permasalahan mereka
ataupun cewek itu mengatakan bahwa dia lebih
percaya Arka daripada Jovan, keadaan saat ini
memperlihatkan sebaliknya.

340
"But she believes me." Potong Jovan, tidak lelah
mencari gara-gara. "She believes that you are an egoist
bastard who once took my girlfriend from me just
because you wanted to win everything." Jovan
mengatakan itu sembari menatap gantian ke arah
Arka, kemudian Natella yang kini menatap lantai,
mendengar seksama perkataan Jovan. Cowok itu
mengeluarkan senyum miringnya sebelum
melanjutkan, "and you made my girlfriend pregnant
your baby."

"Fuck off!." Arka memaki kesal. Natella pernah bilang


bahwa pacarnya ini lelaki baik-baik yang bahkan tidak
suka mendengar kata-kata kasar, apalagi
mengatakannya. Sayangnya, mendengar cerita Natella
mengenai cowok ini yang menyusulnya ke Singapore
hanya karena berpikir Natella pergi dengan Jovan
memberi penjelasan secara tidak langsung bahwa
Arkasa tidak akan bisa sesabar biasanya apabila
berurusan dengan Jovan. "It's obvious he is lying." Arka
membela dirinya sendiri, mengatakan pada Natella dan
beharap cewek itu mempercayainya, seperti biasa.
Meskipun hanya mulutnya yang seolah-olah
mengatakan jika dia percaya.

Arka sebetulnya bukan tipikal orang yang terganggu


dengan omong kosong orang lain tentangnya. Namun
ini ulah Jovan, dia selalu merasa terganggu dengan
apapun yang cowok ini perbuat.

Natella kembali memberikan pandangan untuk Arka,


"Lo gak bakal panik kalau Jovan bohong." Ucapnya
kalem, membuat Jovan tidak dapat menahan tawa
menangnya melihat respon yang akhirnya Natella
berikan.

341
This is insane, padahal setahunya, sepupunya ini
adalah budak cinta Arka yang akan melakukan apapun
demi cowok itu dan membelanya apapun yang terjadi.
Namun, kenapa dia bereaksi bak tidak dapat percaya
Arkasa lagi? Apakah pengaruhnya terdengar
meyakinkan?

Sementara cowok berkulit pucat itu mengeluarkan


dengusan. Dia tidak suka menunjukkan emosinya,
tidak di hadapan siapapun termasuk Natella. Cewek ini
berubah, entah sejak kapan Arka mulai sadar Natella
sengaja menjauhinya. Dan detik ini, walaupun mereka
berdiri berhadapan, Arka merasa berada di jarak paling
jauh dengan ceweknya ini.

"Lo beneran lebih percaya dia?" Tanya Arka


memastikan. Nada suaranya tersirat ancaman.
Mungkin apabila Natella mengangguk, hubungan
mereka berdua betul-betul akan berakhir disini.

Dan Natella tetap mengangguk, setelah memikirkan


berbagai risiko paling buruk. Bukankah dia telah
begitu yakin jika dia sanggup kehilangan Arka?

"Seenggaknya Jovan nggak mencoba menyembunyikan


segala sesuatu dari gue." Balas cewek itu datar,
memberitahu Arka bahwa dia betulan berpihak pada
Jovan daripada dirinya. Tidak mau lagi berada di
situasi ini, cewek ini membalikkan badannya untuk
kembali masuk ke dalam, meninggalkan kedua orang
lelaki yang saling membenci itu hanya berdua.

Jovan menunjukkan cengiran amusing-nya mendapati


cowok dihadapannya ini tampak kesal, "You may not
feel hurt but at least you are mad." Dia menatap tajam

342
Arka. "Oh wait, you must absolutely feel hurt. You love
her, dont you? You can't hide it from me."

Arka mendengus. Dia mati-matian menahan emosinya


agar tidak meledak semenjak suara Jovan yang malah
mengangkat teleponnya tadi. Kenapa dia harus
bertemu lagi dengan si brengsek yang paling di
bencinya ini?

"This time I win." ucap Jovan lagi, sengaja


mendeklarasikan sekaligus memanas-manasi lelaki di
hadapannya ini. "I got your girlfriend."

"Oh really?" Balas Arka datar, menunjukkan ekspresi


andalannya yang bak tidak tertarik. "Just like last time,
I can take her from you." Arkasa mendekatkan
badannya pada lelaki yang sejak awal tadi sudah
merasa menang. "I can take everything you have from
you." Ucap Arka santai, sebelum dia mendapati
pukulan kuat dari Jovan di pipi kanannya.

Cowok yang terjatuh di lantai itu malah menunjukkan


senyum sinisnya, "loser." desisnya untuk Jovan
sebelum membalas apa yang dilakukan cowok itu
kepadanya.

***

"Goblok." Maki Natella untuk Jovan yang mukanya


terlihat lebam. "Ngapain sih lo main pukul-pukul
segala? Salah apa dia sama lo?" Tanya Natella dengan
nada tinggi. Dia sama sekali tidak berminat membantu
Jovan yang sedang mengompres lebamnya, malah
memarah-marahinya sejak mendengar penjelasan
sepupunya itu itu kenapa menemuinya dengan wajah
lebam.

343
"Soalnya dia nyakitin lo, makanya gue pukulin." jawab
cowok itu asal.

Natella memutar bola matanya malas, "yanh ada lo tuh


yang mau nyakitin gue." tuduhnya.

Jovan memaksakan senyum untuk Natella, membuat


luka di bibirnya semakin nyeri, "Lo kenapa tadi
berpihak ke gue?"

"Karena lo bener."

"Soal?"

"Apa yang lo omongin."

"I am lying about he made my girlfriend pregnant." balas


Jovan mengklarifikasi, "Biar lo gak nuduh gue
pembohong kalo lo tahu nanti"

Sekali lagi, Natella memutar bola matanya tanda


mencemooh. "Nyamuk yang gak punya otak juga tahu
kalau lo bohong."

"But he really took my girlfriend from me."

"Aluna?"

Jovan mengangguk. "He was my bestfriend, that's why


it hurt me more"

Natella berdecak, "Masalah cowok tuh selalu seklise itu


ya." ucapnya meremehkan.

344
Melihat Natella yang mengomentari hal ini dan
sebelumnya tanpa beban, dahi Jovan menjadi berkerut,
"Lo gak terluka karena ini?"

Natella tentu menggeleng, "Itu udah jadi masa lalu."


balasnya seadanya, belagak masa bodoh. "Lagian,
Aluna juga salah kenapa mau-mau aja direbut cowok
gue. Dia bukan barang, dia manusia. Dan manusia
punya otak buat memilih." lanjut Natella lagi, secara
tidak langsung menunjukkan kekesalannya terhadap
Aluna.

"..."

"Lo tahu apa yang gak bisa gue terima?"

"..."

"Dia gak pernah mau berbagi apapun sama gue,


bahkan masa lalunya."

"..."

"And it hurt me, it always hurts me." ucapnya. "Makanya


tadi gue merasa ingin melukai dia juga. Gue pengen dia
ngerasain apa yang gue rasain. Gue pengen dia terluka
karena gue. Gue pengen dia tahu gimana sakitnya gue
waktu dia lebih membela orang lain dibanding gue.
Meskipun dia pernah bilang, gue gak akan pernah bisa
melukai dia karena dia gak mencintai gue."

"..."

"Dan kayaknya dia benar, gue emang gak bisa melukai


dia."

345
"..."

"Udah saatnya gue menghentikan dia menyakiti gue."

Jovan menbibir, "najis, kata-kata lo daritadi sinetron


bener."

Kali ini, Natella seperti tidak memedulikan perkataan


ejekan Jovan, cewek itu berkata pelan,
"I did what you want. I leave him."

Dan setelah Natella mengatakannya, Jovan merasa jika


menggunakan Natella adalah cara terbaik untuk
menghancurkan si brengsek itu.[]

***

346
Chapter 21. Karma

I feel like need to run away.

But I can not decide

If I want to run to you

or from you.

***

"Bau-baunya ada yang menyesal." Sindir Dennisa


terang-terangan ketika menyadari kemana perginya
pandangan Natella sedari tadi.

Cewek yang sadar atas sindiran itu hanya berdecak


sebentar, matanya tetap tertuju ke arah meja panjang
yang terletak di ujung di ruangan restoran mewah yang
kalau mau dapat tempat duduk harus reservasi dari
jauh-jauh hari. "Arka kok jadi makin ganteng semenjak
gue tinggalin?" tanya Natella membuka mulut, tidak
mau terlalu lama menunjukkan sifat munafiknya ke
teman-temannya sendiri.

"Jelaslah, udah terbebas dari aura-aura negatif iblis


betina." balas Dennisa.

"Lo ngajakin kita-kita makan kesini karena udah tahu


Arka bakal kesini, kan?" Tuduh Meira kemudian, tidak
heran jika Natella rela menawarkan mereka ke restoran
yang lebih mahal untuk membayar pajak putusnya

347
dengan Arkasa karena diam-diam menyimpan tujuan
lain.

Well, mantan pacar Natella itu punya acara juga di


tempat ini dengan teman-teman kelasnya dan semenjak
kedatangan Natella kemari, matanya terus tertuju ke
arah pria yang tampak sangat baik-baik saja itu,
berbeda sekali dengan Natella yang malah galau.

"Gue kangen banget, udah seminggu lost contact."


akunya setengah jujur, padahal dia mulai terbiasa
tanpa Arka.

"Ajak balikan lah, kayak biasa." Dennisa menyarankan,


sementara Natella sontak menggelengkan kepalanya.

"Gue udah bisa nahan seminggu. Yang artinya gue juga


bakal bisa nahan sebulan, setahun dan seumur hidup."

"Yakin?" tanya Dennisa ragu. Mengingat yang sudah-


sudah dan bagaimana sintingnya cewek ini, ucapan
Natella tentu tidak sepenuhnya bisa dipercaya.

Natella tidak menggeleng pun mengangguk, tidak ada


yang bisa memastikan masa depan, kan? "gue udah
capek banget tahu, Den. Udah berapa kali coba gue
bilang gue udah capek banget?" tanya Natella
kemudian. Dia kemudian mencibir, "tuh kan, kita
kesini tuh buat seneng-seneng, tahu. Jangan buat gue
baper dong." ungkapnya kesal pada teman-temannya
sendiri.

"Yaelah yang mancing daritadi juga elu." Balas Meira


galak. "Lagin ngapain putus kalau masih sayang?"

348
"Udah dibilang gue capek." balas cewek itu tak kalah
galak. "Gue tuh kayak pacaran sama cinta masa
lalunya dia, bukan dia. Gue bahkan gak kenal dia yang
sebenarnya." Natella memperjelas lagi, malah membuat
dirinya semakin terbawa perasaan karena ucapan-
ucapannya sendiri. "Dia pernah gak sih galau karena
gue? Sedih karena gue? Baper karena gue?"

"Tanya sana kalau penasaran sama jawabannya."


Timbrung Dennisa, bosan dengan curhatan Natella
yang beberapa hari terakhir tidak jauh-jauh dari situ.
Mengenai Arka yang rupanya masih stuck dengan
cewek bernama Aluna, seseorang yang mungkin tidak
akan pernah ia sadari eksistensinya kalau bukan
karena Jovan.

"Atau perlu gue tanyain?" tantang Meira. Dia bahkan


siap mengambil ancang-ancang untuk menghampiri
Arka yang lagi asik sendiri sama beberapa teman se-
jurusannya itu.

Natella saja tidak habis pikir melihat Arka malah


terlihat lebih baik-baik saja setelah dia tinggalkan.
Cowok itu bahkan sesekali tertawa tanpa beban,
sedangkan dia hanya bisa memperhatikan dari jauh
dengan perasaan sedih.

Sedih mendapati Arka tidak terluka sama sekali karena


ulahnya.

"Gue tidurin tuh si mas Arman kalau lo berani." ancam


Natella main-main. Lagian semuanya juga sama-sama
tahu jika tidak satupun dari mereka yang akan
melakukan itu.

"Gih sana, gue tidurin balik tuh si Arka."

349
"Jangan macem-macem ya lo." hardik Natella galak,
kelakuannya yang masih posesif itu diketawai oleh
Jeana. Natella akhirnya memutar bola matanya malas,
"wajar dong kalau gue belom sepenuhnya move on.
Wonder Woman yang sakti aja butuh waktu puluhan
tahun buat move on dari cowoknya. Lah, apalagi gue
yang lemah kalau udah liat Arka gini?"

Ketiga temannya hanya mendecakkan lidah sembari


menggeleng-gelengkan kepala mereka mendengar
ucapan Natella yang makin absurd. Cewek itu kembali
melihat ke arah meja dekat jendela restaurant bintang
lima ini hanya untuk mendapati orang yang daritadi
dia perhatikan baru saja melihat ke arahnya juga.

Natella sontak buang muka, jantungnya mulai berdetak


begitu cepat, ketangkap basah. "Anjing, si Arka malah
nyadar gue liatin." ucapnya pelan pada teman-
temannya.

Dia melihat lagi ke arah Arka, namun cowok itu


kembali sibuk pada teman-temannya yang
kelihatannya sudah selesai dan merapikan tas atau
segala macamnya untuk meninggalkan meja mereka.

Natella pikir, nggak ada yang menyadari kehadirannya


dengan teman-temannya, tapi dua orang yang tadinya
makan semeja dengan Arka dan teman-teman mereka
lain malah menghampiri meja mereka sebelum ke luar
restaurant yang terletak di lantai atas ini "Kak Nat."
tegur Aji menyapanya, Natella memang udah kenal
sama cowok berbedan besar satu ini..

"Eh Aji, ada acara apa Ji?"tanya Natella basa-basi,


pura-pura tidak tahu dan bertingkah layaknya

350
pertemuan mereka ini kebetulan, sama sekali tidak di
rencanakan.

"Ulang tahun kak Putri, Kak" balas Aji seadanya. "Kita


duluan ya kakak-kakak cantik.". Pamit cowok berbadan
besar itu. Aji juga berpamitan sama Meira, Dennisa
ataupun Jeana, sementara cewek yang berdiri di
sebelahnya memberikan gerakkan sopan sebagai tanda
pamit.

Pikiran Natella campur aduk, dia sebetulnya lebih


mengharapkan tidak satupun dari mereka menyadari
keberadaannya. Kalau kayak begini kan jadi ketahuan
dia memang agak gila karena masih aja stalking Arka.
Tapi, bukannya orang-orang yang kenal Natella
sekaligus Arka sudah tahu ya kalau cewek ini memang
psycho?

Rupanya, nggak cuma Aji dan cewek bersamanya tadi


yang menegur Natella. Beberapa cowok yang juga
temen-temen kuliah Arka juga sempat menegurnya.
Meskipun tetap saja beberapa langsung memilih ke
luar tanpa menghiraukan Natella dan teman-temannya.

Hanya tersisa empat orang di meja mereka tadi,


membantu yang punya acara membereskan barang-
barangnya. Arka juga masih di sana. Kepalang basah,
Natella bertaruh dengan dirinya sendiri apakah Arka
akan menegurnya atau tidak, mengingat mereka betul-
betul tidak berkomunikasi secara personal dalam
bentuk apapun beberapa hari terakhir.

Arka balik badan, tangannya membawa beberapa


paperbag milik Putri, begitu juga dengan Nadine dan
Farrel. Seperti yang sudah di duga siapapun, cowok
tinggi yang mengenakan sweater abu-abu itu

351
menyempatkan mampir ke meja yang ditempati Natella,
Jeana, Meira dan Dennisa itu untuk pamit.

"Gue duluan ya. Ada salam juga dari Putri, Nadine dan
Farrel tuh." katanya menyampaikan pamit dari teman-
temannya yang tersisa di ruangan yang cukup luas ini.

"Iya, hati-hati di jalan ya Arka, Nate juga titip salam nih


buat kamu dan mereka." ucap Jeana asal. Meira dan
Dennisa juga mengatakan hati-hati untuk cowok itu,
hanya Natella yang tidak mengatakan apapun dan
pura-pura tidak memandangnya, malah memarahi
Jeana yang membawa-bawa namanya.

Arka hanya tersenyum seadanya, tangan kanannya


yang tidak memegang paperbag malah menyentuh
kepala Natella, mengusapnya pelan sebentar, "jangan
sombong-sombonglah." ucapnya untuk cewek itu
sambil tersenyum, masih bisa-bisanya terlihat santai
padahal jantung Natella berdetak tidak karuan sampai
rasanya nyaris lepas.

Cowok itu kemudian memberikan gestur sopan


sebelum berjalan ke arah pintu kaca. Menyadari Arka
yang sudah pergi dari hadapannya, Natella kembali
memperhatikan punggung cowok itu yang
membukakan pintu untuk teman-temannya, dia
bahkan menahan pintu kaca tersebut dan baru
membiarkannya kembali tertutup setelah teman-
temannya ke luar semua. Lalu Natella memegang
rambutnya dan bersura, "gila ya itu orang perasaannya
udah mati apa? Bisa-bisa mengecak-acak perasaan
orang dengan santainya." Protes Natella tidak terima.

"Fix, Arka beneran makin ganteng semenjak putus


sama lo." Dennisa mengeluarkan isi pikirannya yang

352
sempat dia pendam. "Dan bisa-bisanya dia ngelus
kepala lo kayak gitu padahal kalian udah putus?"
lanjut Dennisa takjub.

Natella menjatuhkan kepalanya ke atas meja, "mau


nangis aja gue." ucapnya frustasi, megingat bagaimana
Arka memperlakukannya tadi yang membuat kupu-
kupu terasa berterbangan di perutnya. "Kok gue ngga
suka ya sama Putri?" Natella mulai mengeluarkan sifat-
sifat negatifnya. "Pas dia jadi milik gue, gue sensinya
cuma sama Mentari. Sekarang dia bukan milik gue lagi,
gue jadi sensi sama semua cewek yang ada di sekitar
dia. Kalau Arka naksir putri, gimana?"

"Mau Arka jadian sama Putri juga lo gak punya hak


buat ngamuk-ngamuk lagi." Sindir Meira sebagai
responnya atas ucapan Natella.

"Lo udah bukan siapa-siapa, cun. Mau gue deket sama


Arka juga lo gak berhak buat ngamuk, iya gak Ra?"
Tambah Dennisa meminta persetujuan.

"Lagian Arka juga kayaknya baik-baik aja putus sama


Nate." ucap Jeana jujur.

"Gue juga baik-baik aja kok." Natella membalas tidak


mau kalah. "Kebahagiaan gue juga bukan cinta-cintaan
doang. Selama gue masih bisa makan enak, masih bisa
nonton bioskop, masih bisa nyalon, gue bakal tetep
bahagia kok." lanjut cewek itu membela dirinya agar
tidak dilihat menyedihkan amat.

"Balikan aja kali Nat kalau masih sayang, biar gue


menang taruhan kan." rayu Meira. Iya, Natella sudah
mendengar taruhan teman-temannya yang laknat ini
soal nasib hubungannya dengan Arka. Meira dan

353
Dennisa bertaruh kalau Natella akan mengulang cerita
lama, memohon pada Arka dan melakukan berbagai
cara licik untuk mendapatkan Arka kembali.
Sementara Jeana tidak punya pilihan selain memilih
Arka yang meminta Natella agar tidak memutusinya.

"Nggak, kali ini pilihannya cuma Jeana yang bakal


menang atau gue gak akan pernah balikan sama Arka."

"Jeana udah pasti kalah, Nat." tekan Dennisa yakin.

Meira tampak ragu, "bisa jadi sih Jeana menang."


ucapnya. "Gue jadi teringat permintaan Arka sehabis
dia nolong gue pas ribut sama Brian waktu itu. Gue
sempat bilang kalau mau lakuin apa aja asal dia mau
jaga rahasia gue dari kalian sekaligus sebagai ucapan
terimakasih. Tahu nggak Arka minta apa? Cuma gue
berhenti ngeracunin Natella buat mutusin."

"Itu karena dia nggak tahu mau minta apalagi. Coba


kalau Arka genit, udah pasti minta servis ." ucap
Dennisa asal.

Natella menganggukkan kepalanya setuju sambil


menyuapi makanan yang sudah terhidang di atas meja
itu ke mulutnya. Karena lagi serius makan, dia tidak
memedulikan handphonenya yang beberapa kali
berdering tanda notifikasi masuk. Pada akhirnya, Meira
mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja itu dan
menyentuh layarnya.

"Nyet, Yudha banget nih?" Meira bertanya dengan nada


terkejut saat melihat beberapa chat yang tampak di
layar. Cewek itu kemudin menekan passcode
handphone temannya itu, mendapati chat tidak sedikit
yang berasal dari Yudha,

354
'Natella jadikan bertemu dengan Yudha keesokan hari
di waktu siang."
'Yudha sangat merindukan Natella jangan lupa
kesokkan hari kita berjumpa'
'Natella jangan bersedih karena selalu ada Yudha yang
mencintai Natella selamanya'
'Bagaimana Natella apakah kamu yang terkasih masih
ingat jika besok di waktu siang kita akan berjumpa?'

Ekspresi wajah Meira yang tampak jijik sudah


memperjelas bagaimana isi chat dari Yudha itu untuk
dua teman mereka yang lain. Meira masih men-
scrolling keatas, mendapati jika Natella sesekali
membalas.

"Wah gila loh malah di ladenin." Komentar Meira tidak


habis pikir. "Ini orang creepy banget deh, ngga kelar-
kelar gangguin lo."

"Makanya gue sampe bingung." balas Natella seadanya.


"Terus gue iyain aja pas dia ngajak jalan besok."

"Anjing???" satu kata makian itu keluar bersamaan


dari mulut Meira dan Dennisa.

"Nate masih waras, kan?" Sambung Jeana, sama tidak


habis pikirnya dengan temannya yang lain.

"Yakali woy, si Yudha juga manusia kali, memang salah


banget kalo gue cabut sama dia? Arka aja bisa cabut
sama siapa aja, gue juga bisa dong." balas Natella masa
bodoh.

"Yudha kan...gitu, Nat." Ucap Dennisa, kali ini dia


terdengar serius.

355
Natella memutar matanya malas. Dari kecil, dia selalu
diajarkan ayahnya kalau membeda-bedakan manusia
itu bukan dari fisiknya ataupun hartanya, melainkan
kelakuan mereka. Meskipun Natella tidak menerapkan
doktrin itu dengan sempurna dalam hidupnya. Paling
tidak, Natella merasa Yudha tidak jahat, jadi apa
salahnya berteman dengan cowok yang tidak bosan
mengganggunya itu?

"Ahelah, entar lama-lama dia juga capek sendiri. Gue


aja bisa capek sama Arka." ucapnya santai.

Meira masih menscrolling handphone Natella sebelum


akhirnya cewek itu rampas, "Yudha banget nih Nat
pengganti Arka?"

"Kalau dia emang jodoh gue, kenapa ngga?" balas


Natella sarkas sembari mengetik balasan singkat
Yudha.

***

Natella memasang tampang kesalnya saat melihat


kemunculan Yudha yang lebih lambat 20 menit,
"'maafkan Yudha yang terlambat, tuan putri Natella
karena Yudha butuh persiapan sebelum bertemu
dengan kamu cantikku."

Cewek yang awalnya berniat marah-marah itu


menahan suaranya, ia memperhatikan penampilan
Yudha sebentar, gayanya tidak jauh beda seperti ketika
ke kampus, hanya rambutnya yang banyak dilumuri
gel. Merespon permintaan maaf karena terlambat dari
Yudha tadi, Natella hanya memberikan deheman
singkat, sehingga giliran Yudha yang kembali ucapkan
pemikirannya mengenai Natella. "Natella cantik sekali

356
hari ini. Namun Natella memang tidak pernah tidak
cantik."

"Thanks." jawab cewek itu seadanya. "Lo mending


pesen makanan deh, gue udah tuh."

"Yudha tidak lapar dan tidak perlu makan karena


kecantikan Natella sudah membuat perut Yudha terasa
kenyang."

Natella menghembuskan helaan napas frustasinya,


nyaris terbiasa dengan gombalan luar biasa yang
diberikan Yudha dan kebanyakkan dari chat. Dia
melihat ke sekeliling tempat makan yang ditawarkan
Yudha karena berdekatan dengan kosan cowok itu,
tempatnya lumayan, namun masih sepi. Jadi,
setidaknya Natella tidak perlu menutup muka akibat
kata-kata aneh Yudha yang diucapkan cowok itu cukup
kuat.

Cewek itu masih melihat ke sekeliling sampai akhirnya


pandangan Natella kembali ke arah Yudha, mendapati
cowok itu terus menatap ke arahnya, membuat mata
mereka tidak sengaja bertemu, lalu Yudha
menggumamkan, "Natella begitu cantik dan semakin
membuat Yudha jatuh cinta tiap kali melihat Natella."

Haduh.

Natella mengeluarkan senyum simpulnya, Arka tidak


pernah memujinya terang-terangan seperti yang
dilakukan Yudha sejak cowok ini mengenalnya. Arka
malah tidak suka bertatapan lama-lama dengannya,
malah protes tiap kali Natella sengaja memfokuskan
pandangan ke cowok itu dalam waktu yang lama.
Baiklah, tidak sebaiknya dia membanding-bandingkan

357
mereka ketika dia sendiri tidak suka dibandingkan
dengan siapapun.

"Tuan putri Natella semakin cantik apabila tersenyum


seperti itu, jadi tidak usah bersedih muram lagi.
Jangan ingat atau hiraukan lelaki yang sudah
menyakiti hati Natella yang berharga. Yudha akan
selalu melindungi hati Natella yang berharga." ucap
cowok itu lagi. "Jadilah kekasih Yudha, maka Yudha
akan melindungi tuan putri Natella dari apapun
termasuk lelaki yang menyakiti hati Natella itu dan
menjadikan kamu sebagai orang paling bahagia di
dunia." lanjut cowok dihadapannya itu lagi, bukan
untuk yang pertama, namun sudah ke sekian kali.

Natella sekali lagi menunjukkan senyumnya untuk


Yudha. Dia ingat bahwa dia menyayangi Arka, tapi
Arka menyayangi orang lain. Jadi, dia bisa mengerti
bagaimana Yudha, berikut perasaannya. Untuk sesaat,
Natella berpikir untuk melakukan hal yang sama
seperti yang pernah Arka lakukan padanya. Mungkin
dia bisa menerima perasaan Yudha, meskipun dia tidak
bisa membalas perasaan itu karena hatinya telah
menjadi milik orang lain.

Disaat yang sama, Natella juga mulai mengerti serba


salahnya menjadi Arka. Natella yakin cowok itu tidak
mau menyakitinya, makanya dia menerima perasaan
Natella waktu itu meskipun terpaksa.

Namun pada akhirnya, dia tetap tidak bisa menjadi


Arka. Dia tidak bisa menerima perasaan orang lain
yang tidak dia cintai.

Natella terlalu lama melamun, kesadarannya kembali


ketika dia merasa tangan kanannya yang terletak di

358
atas meja disentuh oleh Yudha, yang membuatnya
pelan-pelan menarik dan melepaskan. "Gue masih ngga
bisa, Yud." balas Natella, kali ini lebih lembut dari yang
sudah-sudah.

"Kenapa begitu Natella?" tanya Yudha dengan raut


sedihnya.

"Karena gue ngga cinta." Natella menggunakan balasan


yang sama seperti kali pertama Yudha menyatakan
cinta kepadanya. Iya, memang itu jawabannya. Mau
siapapun yang menembaknya sekarang, dia mungkin
akan memberikan jawaban dan alasan yang sama.

"Namun bukankh cinta bisa datang karena telah


terbiasa?" balas Yudha lagi.

"Gue dulu juga pernah mikir begitu." ucapnya. "Tapi


yud, cinta ngga pernah bisa dipaksakan. Orang-orang
punya potongan puzzlenya sendiri yang ngga hanya
cocok untuk orang-orang tertentu. Suatu hari nanti, lo
bakal ketemu sama potongan yang pas dengan puzzle
lo, dan lo ngga perlu melakukan usaha apapun supaya
cocok."

Natella mengatakan hal yang cukup panjang untuk


pertama kalinya kepada Yudha, terkesan menasehati,
namun pada dasarnya, dia mengatakan sekaligus
mendoktrin hal tersebut untuk dirinya sendiri.

Yudha tidak menjawab, membuat mereka berdua


berada dalam keheningan hingga makanan sekaligus
minuman yang di pesan Natella akhirnya sampai juga
di meja mereka. Natella berdiri, sempat mengatakan
jika dia mau cuci tangan di westafel yang terletak agak
jauh dari tempat duduk mereka. Sudah menjadi

359
kebiasaan cewek itu cuci tangan sebelum makan
meskipun dia menggunakan sendok ataupun sumpit.

"Beneran ngga mau makan, Yud? Minum aja deh kalau


ngga, nanti gue yang traktir." Tawar Natella setelah
kembali ke tempat duduknya, mulai menyeruput jus
mangga yang tadi ia pesan.

Yudha menggeleng, dia masih tidak mengeluarkan


suara. Membuat Natella mendongak dan mendapati
cowok itu masih menatap ke arahnya, belum berhenti.
Namun cukup berbeda dari sebelumnya.

"Yaudah ya, gue makan." ucapnya lagi. Natella mulai


menyuapi pasta yang dia pesan ke dalam mulutnya,
namun perasaannya menjadi tidak enak. Well, Yudha
terus memberikan pandangan ke arahnya, namun lebih
insten dari sebelumnya, membuat Natella menjadi tidak
nyaman.

Garpu Natella terjatuh di piring, dia tiba-tiba merasa


horror dan ngeri sendiri, apalagi saat merasakan
kepalanya menjadi pusing dan matanya mulai
mengantuk, dia yakin kalau ada sesuatu yang
dimasukkan ke dalam minuman ataupun makanannya.

Natella merasa bahwa selama ini dia termasuk orang


yang sangat berhati-hati, tapi dia tidak melihat hal ini
akan terjadi. Fine, untuk ukuran otak yang suka
memikirkan hal-hal licik ataupun rencana jahat,
seharusnya dia tidak menjadi sebodoh ini.

Dalam kengeriannya, ia ingin meminta tolong. Tapi


matanya malah lebih dulu tertutup.

***

360
Cewek itu merasa lebih ngeri dari apapun yang pernah
ia rasakan seumur hidupnya ketika membuka mata
dan mendapati dirinya tertidur di atas kasur dalam
ruangan yang tidak ia kenali. Butuh berdetik-detik
setelah matanya melihat ke sana-kemari hingga ia
menyadari tangan kanannya terborgol di sisi tempat
tidur.

"Tenang, Nat, tenang, ini pasti mimpi." bisiknya pada


diri sendiri. Mimpi buruk yang terasa nyata itu wajar,
Natella pernah mengalaminya berkali-kali, sleep
palarysis katanya. Namun sayangnya, rasa takut yang
terlalu menjadi membuatnya sadar bahwa dia berada di
dunia nyata.

"Fck, kok gue bego banget sih?" marahnya untuk diri


sendiri. Dia memeriksa badan serta pakaian yang ia
kenakan, takut sesuatu telah terjadi padanya ketika
dia tertidur.

Pakaiannya memang masih lengkap, kemeja biru muda


yang sudah acak-acakan dan celana denim pendek,
tapi Natella tidak yakin jika badannya belum di apa-
apakan.

Dengan panik dan jantung yang berdetak tidak karuan,


dia melihat ke sekeliling ruangan, mencari apapun
yang bisa membantunya meloloskan diri. Sayangnya,
dia tidak menemukan apapun termasuk tasnya.

Lantas cewek itu melihat ke tangan kirinya yang masih


mengenakan apple watch, itu bisa digunakan untuk
menelpon. Untung Yudha masih memberikan ia jalan
untuk menyelamatkan diri.

361
Cewek yang tengah panik itu menahan napasnya,
berharap banyak dengan jam tangan pintar itu agar
mendapatkan sinyal untuk menelpon. Tangan
kanannya yang terborgol di sela ranjang membuatnya
kesulitan, pikirannya tidak berhenti berdoa agar dia
bisa selamat dari kurungan gila ini.

Natella akhirnya menghubungi nomor Arka dengan


susah payah. Cowok itu menjadi orang pertama yang ia
pikirkan saat menyadari dirinya berada dalam bahaya,
lagipula, hanya nomor Arka yang tersimpan di sana.

Ayahnya berada di wilayah timur Indonesia, urusan


pekerjaan, bukan pilihan yang tepat apabila menelpon
ayahnya sekarang. Natella yakin jika dalam keadaan
dirinya yang seburuk ini, ayahnya merupakan orang
yang akan paling peduli dan melakukan apapun untuk
menyelamatnya.

"Ka, angkat dong, please." bisiknya memohon, matanya


sudah berair karena sudah deringan ke sekian kali,
namun Arka tidak kunjung menyaut.

"Ka, gue tahu kalau gue sering jahat sama lo, tapi
please tolong gue, gue bisa mati." bisiknya lagi frustasi
ke arah sambungan telpon yang tidak kunjung
diangkat. Entah apa yang tengah dilakukan cowok itu
hingga mengabaikan telponnya. Seharusnya, Natella
mempertimbangkan dari awal kalau Arka tidak
memprioritaskan telponnya, cowok itu bahkan nyaris
tidak pernah menelpon balik setelah Natella menelpon
dan tidak menyahut.

Natella baru sadar, kalaupun dia mati konyol, apakah


itu masalah besar buat Arka? Cewek itu semakin
frustasi, sampai akhirnya dia mendengar suara

362
langkah kaki mendekat ke kamarnya dan gagang pintu
dibuka perlahan yang membuatnya merasa nyaris gila
dan putus asa.

"Tenang, Nat, semuanya bakal baik-baik saja." dia


berbisik dalam hati, dia selalu bisa menyelesaikan
masalah apapun pada akhirnya meskipun dia merasa
tidak ada harapan sedikitpun. Seharusnya, ini juga
bisa, kan? Iya, bisa. Natela hanya perlu tenang dan
melakukan tawar-menawar, menghrapkan plan B kalau
Yudha bisa diajak bekerjasama. Hingga akhirnya dia
mendengar suara langkah kaki yang mendekat tadi
disertai suara getaran handphone yang juga mendekat,
membuat Natella mendongak untuk mendapati lelaki
tinggi berkulit putih dengan hanpdhone yang bergetar
mengikuti irama telpon Natella tergenggam ditangan
kanannya,

"Kenapa nelpon, sayang?"

Anjing, Natella seharusnya mengeluarkan serapahan


kotor atau apapun itu yang dapat menetralkan otaknya
yang pusing bukan main. Namun suaranya tidak bisa
keluar, kepalanya makin berputar-putar, merasa
semakin yakin jika apa yang dia saksikan hanya
mimpi.

Dari semua orang, kenapa malah Arkasa yang


mengurungnya di dalam kamar dan memborgol
tangannya di sisi ranjang tempat tidur?

It's perfectly impossible. Ini pasti efek obat yang tadi


membuatnya tertidur cukup lama. Atau mungkin dia
masih tertidur karena belum mau menerima
kenyataan.

363
"If you think you are dreaming right now, you are
actually not, baby."[]

***

364
Chapter 22. Artificial Love
Akal sehat Natella sama sekali tidak dapat mencerna
kejadian yang baru saja dia alami sampai-sampai
mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara apapun,
terlalu terkejut.

Cewek yang terlentang di atas tempat tidur itu


mengingat-ingat kejadian terakhir di kafe saat dia lagi
bersama Yudha, cowok aneh yang tergila-gila padanya
itu adalah orang terakhir yang ia lihat sebelum
menutup mata dan perasaan buruk berkecamuk.

Lalu, kenapa saat dia tebangun dan meyakini bahwa


dia disekap di tempat yang tidak diketahuinya, yang ia
dapati malah Arka yang menghampirinya? Kenapa
malah Arkasa Sean Hadinata?

Rasanya, Natella seketika kehilangan kewarasannya


yang tersisa.

Natella selalu menginginkan Arka memanggilnya


dengan panggilan manis seperti sayang ataupun baby,
yang menandakan bahwa cowok itu menyayanginya.
Sayangnya, suara Arka malah terdengar begitu sinis,
dingin dan sarkastik. Bukannya senang, itu malah
membuat Natella bergidik mendengarnya.

Cewek itu mencoba menstabilkan napas sekaligus


pikirannya. Dia harus berusaha tenang. Tidak akan
ada masalah apapun yang dapat diselesaikan dalam
keadaan panik.

Natella melihat ke arah cowok yang masih berdiri dekat


tempat tidurnya, memberanikan diri untuk

365
memperhatikan, kemudian matanya memicing, "lo
beneran Arka cowok gue?" tanyanya meragukan,
berusaha untuk menyembunyikan rasa takutnya.

Ah lupa, sudah mantan.

Karena Arka hanya menatapnya dingin tanpa


membalas pertanyaan non-sensenya, cewek itu
membuka mulutnya lagi, "Ka, mending bantu lepasin!!!"
pintanya sembari menggerakkan tangan kanannya
yang terborgol, mencoba merayu. Sesuatu dalam
dirinya yang masih waras sempat berpikir jika Arka
memang mau menyelamatkannya, situasi dan kondisi
yang tidak tepat saja yang membuatnya tampak bak
penjahat ataupun psikopat.

Namun cowok itu menggelengkan kepalanya, menolak,


membuat napas Natella melengos pasrah. Rasanya dia
mau mengamuk. "Jadi beneran kamu yang nyulik
aku?" tanyanya memastikan. Sementara Arka masih
memandangnya dalam diam. Sorot matanya begitu
dingin, tampak marah dan butuh melampiaskan itu,
membuat siapapun yang menatapnya terlalu lama
seharusnya merasa ngeri.

"Ngapain sih, Ka? Kalau kamu mau ngajak aku jalan-


jalan tuh ya tinggal bilang aja. Nggak usah pake acara
nyulik apalagi ngeborgol tangan aku segala. Kinky
banget tahu, gak? Makanya kalau Reno ngajakin
nonton bokep yang aneh-aneh tuh nggak usah diikutin,
jadi ikutan aneh kan kamu!" Natella mengomel, masih
sempat-sempatnya mengatakan isi pikirannya secara
terus terang padahal itu bisa saja mengancam
nyawanya.

366
Well, ini Arka kan? Kalau betulan ini Arka, Natella
tidak seharusnya merasa takut. He is the safest place
that she ever goes. Tapi kenapa kayak gini? Kenapa dia
tetap merasa takut?

Arka bertingkah seperti orang yang tidak pernah


dikenalnya. Dan itu mengerikan membayangkan
beberapa kemungkinan yang bisa saja disiapkan orang
ini untuknya.

Daripada menjawab pertanyaan yang tidak habis-habis


melayang di pikirannya itu, Natella lebih siaga saat
cowok itu mengambil ancang-ancang mendekat dan
mulai menindihnya. Masih menampakkan tampang
datar penuh amrahnya. Tidak sampai menindih, cuma
badannya sekarang merangkak di atas badan Natella.

Apa alasan masuk akal yang membuat seorang Arkasa


Sean Hadinata melakukan ini pada Natella?
Menculiknya? Memborgol tangannya?

"Ka, jangan macem-macem! Nanti aku macem-macemin


balik!" Natella mengancam. Seharusnya perkataan
seperti itu mempan untuk membuat Arkasa menjadi
ciut.

Yaialah, sepanjang Natella kenal Arka, mana pernah


dia berpikir Arka akan mengapa-apakannya bahkan
saat mereka hanya berdua, suasana mendukung dan
Natella pakai baju yang menurut Reno kayak cewek-
cewek JAV minta di-gangbang. Tapi Arka tetap tidak
kelihatan napsu sama sekali.

Yang ada malah sebaliknya! Sumpah, disaat hidupnya


terancam seperti sekarang Natella masih bisa ingat
kalau Arka pernah berhenti berenang di kolam renang

367
gedung Apartemen karena dilihatin Natella, dia
langsung pakai baju kayak anak perawan yang takut
diapa-apain om-om mesum. Di apartemen juga begitu,
kalau ada Natella dan dia lagi tidak memakai baju,
pasti buru-buru ke kamar buat pakai baju. Kadang
Arka sampe terang-terangan memperlihatkan tidak
suka kalau Natella pegang-pegang dia seenaknya.

Well, jelas sekali kalau Arka yang takut diapa-apain


sama Natella! Sayangnya, ancaman Natella barusan
sepertinya tidak berguna karena bukannya pergi, Arka
malah menahan tangan kiri Natella yang bebas,
membuatnya makin tidak berdaya dan mendekatkan
mukanya ke muka Natella. Nyaris mendekati jarak
intim.

"Kamu cinta sama aku?" tanyanya.

Natella makin panik. Jantungnya betulan tidak bisa


diajak kerja sama agar tetap tenang.

"Yaialah!" Natella menjawab tanpa ragu. "Siapa sih


yang nggak tau kalau gue cinta mati ke elo?!" lanjut
Natella emosi.

"If you really love me, will you open your shirt and
spread you legs for me?" tanya Arka, nada suaranya
berhasil membuat Natella merinding. Seumur Natella
kenal Arka, tidak sekalipun cowok itu pernah meminta
hal sesinting ini, terbayang oleh Natella saja tidak
pernah.

"Apaan sih lo gila!" Natella masih berani mengumpat.

Cewek itu menangkap senyum miring yang ditunjukan


Arka untuknya, dari jarak yang sudah batas intim.

368
Wajah cowok itu hanya 5 cm di atas wajahnya,
hidungnya bahkan nyaris menyentuh kulit Natella. It's
creepy as fuck! Gila bisa-bisanya cowok kesayangannya
jadi kayak monster begini.

"Aku tahu kamu selalu bohong," ucapnya lagi, suaranya


penuh tuduhan. Dan kalau tidak salah, Natella
menyaksikan rasa sakit dari matanya yang tajam.
"Kamu nggak pernah sayang aku."

Kepala Natella yang sudah pusing dari awal semakin


pusing. Cewek itu baru saja mau memberikan
pembelaan, sayangnya Arka malah lebih dulu
membekap mulut Natella dengan bibirnya.

Seharusnya Natella menikmati, seharusnya Natella


senang. Sayangnya, ketidakberesan semua ini
membuatnya malah ingin menangis dan muak.
"Arka...stop!!!" pintanya saat bibir cowok itu mulai liar
menyentuh lehernya. "Lo gila," dia mengatakan itu
dengan harapan Arka bisa menghentikan aksinya.

Cowok itu menatapnya dingin. Well, dia memang selalu


dingin, tapi kali ini jauh lebih menusuk dari biasanya.
"Why you avoid to make love with me? Dont you always
say you love me?" Sindir Arka sekali lagi. Tangan cowok
itu bahkan sudah melepas kancing kemeja Natella
sekaligus siap menurunkan celana pendek denim yang
dikenakan Natella. "It's obvious you lie."

Natella tahu bahwa Arka marah kepadanya, terlihat


jelas dari sorot mata cowok itu. Entah karena
kesalahan apalagi yang Natella perbuat. Paling tidak
masuk akal, cowok itu malah menuduh Natella tidak
pernah mencintainya. What the actual fuck? Dan paling
parah, Arka malah berniat melakukan sesuatu yang

369
seharusnya tidak pernah dilakukan oleh orang seperti
Arka.

Benar kata Jovan, Arka memang bisa bertingkah


mengerikan dan sangat brengsek.

Natella yang mulai emosi menjawab, "I love you so much


that I am willing to jump into the abyss if you asked me
to." balasnya, berusaha menghentikan perbuatan gila
Arka. "But i know you will never ask me to do something
stupid."

Arka diam.

"Dan lo malah sangat bodoh sekarang. Gimana gue


tahu kalau lo cowok gue beneran atau genderuwo yang
lagi nyamar jadi cowok gue." Lanjut Natella kesal.

Jujur saja, Natella bahkan berpikir kalau ini Arka jadi-


jadian, tapi wanginya tetap wangi badan Arka yang
selalu bikin Natella ingin memeluknya.

Wajah Arka yang tadinya hanya beberapa senti di atas


wajah Natella mulai menjauh. Cowok itu menghela
napas panjang, membuat Natella mengambil
kesempatan untuk bertanya.

"Kenapa sih, Ka? Aku salah apa?" tanyanya meminta


penjelasan. Tapi siapa yang bisa bertingkah sewajarnya
di keadaan yang terlalu rumit? Daritadi, satu-satunya
alasan yang terpikir oleh Natella kenapa Arka
melakukan hal gila ini pasti ada hubungannya dengan
Natella yang terus membicarakan Aluna. Jovan juga
sempat memperingatinya kemarin kalau ada hal buruk
dikit aja yang terjadi sama dia, Natella harus langsung
memberitahu Jovan.

370
Well, yang seharusnya ia telepon pertama kali tadi
adalah Jovan. Tapi siapa yang bisa mengira kalau yang
menculik Natella adalah Arka? Laki-laki yang selama
ini Natella dan orang-orang kenal sebagai cowok baik-
baik, sopan, tidak banyak ulah, dan hampir tidak
pernah melakukan hal negatif?

"Kamu ninggalin aku," cowok itu memberikan jawaban


atas pertanyaan krusial Natella.

Membuat Natella bengong untuk yang kesekian kali


setelah dia membuka mata, saking terkejutnya.

"You always promised you would never leave me and I


am too dumb to believe you. I always believe you, but
you betray me."

"..."

"Kamu bahkan mau selingkuh sama Yudha."

ha?

Ha?

HA?

Serius Arka melakukan ini gara-gara itu? Gara-gara


marah Natella meninggalkannya? Gara-gara Natella
makan bersama Yudha?

'SESEORANG TOLONG KASIH TAHU GUE SEBENARNYA


YANG SINTING ITU GUE ATAU DIA?'

371
Demi apapun, Natella beneran ingin menampar wajah
Arkasa Sean Hadinata yang terlihat tampan dan polos
ini biar segera sadar.

"Ka, aku nggak pernah mau ninggalin kamu!" balas


Natella kemudian. Suaranya lunak seperti tiap kali dia
mau minta maaf sehabis berbuat impulsif, dia
mengalah, berusaha membujuk cowok yang otaknya
entah habis terbentur apa ini. "Aku sayang sama
kamu."

"Bullshit," hardiknya lebih dulu, bukannya tenang, dia


malah terlihat makin marah. Cowok itu mulai
melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti,
menyerang leher Natella untuk meninggalkan bekasnya
disana. Kewarasannya belum kembali.

Natella memberontak, tidak mengerti juga kenapa dia


yang biasanya murahan mendadak jual mahal pada
Arka, cowok yang selalu dia klaim sebagai lelaki yang
paling dia cintai. But this is just so wrong.

"Kamu berubah," ucap Arka lagi, belum berhenti


menyerang cewek yang kalah tenaga itu. Napasnya
yang memburu terasa jelas di leher Natella,
membuatnya lagi-lagi merinding sekaligus bergidik.
"You avoid me." Arka mengulang-ulang kalimat itu lagi,
seperti benar-benar tidak terima karena Natella
mengabaikaannya.

"Ya menurut lo aja!!!" balas Natella, kekesalan dan


kefrustasian tergambang jelas pada suaranya. Arka
mencengkram tangan kiri Natella makin kuat karena
dia memberontak, sementara satu tangannya lagi yang
terborgol benar-benar tidak berguna. Membuat mulut
Arka bebas melakukan hal-hal yang inginkan pada

372
badan Natella. "Kita belum nikah!" lanjut Natella
kemudian. Memberikan penjelasan yang menurutnya
masuk akal kenapa dia tidak mau melakukan ini
dengan Arka.

Natella dulu pernah mengajak Arka untuk melakukan


hal-hal yang lumayan sering dilakukan orang pacaran.
Namun Arka menolak menggunakan alasan, "kita
belum nikah." Natella tahu bahwa Arka termasuk lelaki
aneh yang memiliki prinsip sex after married, dia
sangat menyayangi dan menjaga badannya dari
sentuhan sembarangan. Itu yang menjadi alasan lain
kenapa Natella masih tidak bisa terima kenyataan yang
tidak masuk akal ini.

"Kita nikah besok," Arka membalas santai. Mulutnya


turun ke dada Natella.

"What the hell? Kenapa sih cowok itu kalau marah tiba-
tiba kayak kehilangan otak, sisa napsu semua?" keluh
Natella. "Ka sadar dong," rengeknya putus asa. Natella
sudah melakukan banyak cara agar Arka berhenti.
Sayangnya, tangan cowok itu sekarang bergerak liar di
balik pakaian dalamnya. Menyentuhnya seenaknya.

Natella menangis, tangan Arka yang tadinya begerak


kurang ajar di bagian sensitif Natella mengambil iming-
iming untuk membuka celananya. Natella langsung
menggerakkan lehernya ke arah lain, menolak melihat.
Dia semakin ketakutan, dalam satu tarikkan napas, dia
berkata lemah, "Mending kamu berhenti atau aku
nggak akan pernah maafin kamu!" ancamnya. Tahu
betul ancaman itu seharusnya tidak berhasil untuk
cowok yang lagi dikuasai napsu dan marah kayak Arka
yang tentu saja seharusnya menulikan telinga.

373
Ajaibnya, Arka malah berhenti, menjauhi kepalanya
dari Natella. Tiba-tiba. Dia memang tidak ketebak sama
sekali, makanya Natella sering kesal sendiri. Cowok itu
bahkan bergerak menjauh dari badan Natella,
membiarkan cewek itu bernapas normal pada akhirnya.

Natella dapat melihat Arkasa memegang kepalanya dan


mencoba menstabilkan napas yang tidak beraturan.
Cewek itu melakukan hal yang sama, menghapus
airmata yang sempat keluar karena ketakutan, dia
kemudian mengambil selimut untuk menutupi
tubuhnya yang hampir telanjang, sekaligus perlahan-
lahan mengancing kembali kemejanya menggunakan
tangan kiri dengan susah payah.

Ini Arka sudah beneran jinak atau pura-pura jinak?


Natella memandangi Arka cukup lama. Hening di
antara mereka sejak isakan Natella berhenti dengan
sendirinya.

Cowok itu hanya menunduk dalam-dalam, membuat


Natella berniat membuka suara lebih dulu.

"Nah, kalau kamu nurut gini kan, kamu beneran kayak


cowok aku, bukan genderuwo." Natella sekali lagi
mengeluarkan komentar randomnya setelah hening
bermenit-menit.

Natella masih takut, jujur saja. Bisa jadi kan Arka


sebenarnya menyiapkan rencana gila lainnya?
Beberapa bulan belakangan, Natella sering melihat
pembunuhan sadis terjadi di berita-berita yang
dilakukan orang terdekat, entah itu oleh pacar,
tunangan, suami, anak, saudara dan sebagainya. Dan
sekarang, Natella memikirkan perasaan para korban itu
sebelum mati. Did they feel afraid? Atau malah mereka

374
tetap percaya orang yang membuuhnya itu tidak akan
menyakiti mereka?

Cewek cantic itu mulai terjatuh dalam pikirannya yang


jauh. Sementata Arka malah buang muka, membuat
Natella mendudukkan badannya meskipun kesulitan
karena tangannya yang terborgol. "Ka, lepasin!"
pintanya lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya
yang terborgol.

Cowok itu menggeleng, "you're going to scratch me if I


realese you."

Haduh, tahu saja dia kalau Natella pengen menyakar-


nyakar dia dari tadi. Lalu Natella mulai paham, Arka
memborgol satu tangan dia bukan karena kinky
ataupun mau belagak kayak film fifty shades of grey,
tapi karena takut dicakar ataupun di jambak oleh
Natella, makanya dia cuma memborgol satu tangan
kanannya karena tangan kirinya gampang
dikendalikan.

Natella menatap cowok yang tidak mau menatapnya


itu, perasaannya lebih tenang dan tidak setakut tadi.
Tidak saat dia sadar kalau cowok ini tetaplah Arkasa
Sean Hadinata yang otaknya masih di kepala, belum
pindah ke selangkangan sekacau apapun isi
pikirannya.

"Aku sayang sama kamu. Kamu yang nggak pernah


sayang aku." ucap Natella akhirnya, kesusahan
menyembunyikan emosinya atau lukanya. "Makanya
aku bebasin kamu."

"I never tell you that I love you doesn't mean I dont love
you. It's much better than saying love every day but you

375
dont really mean it." Arka mengatakan itu masih
dengan gaya menghindari kontak mata Natella. Cewek
itus udah hapal kebiasaan Arka kalau lagi kesal atau
marah padanya pasti menghindari kontak mata.

Natella yang diculik, Natella yang hampir diperkosa,


kenapa malah Arka yang marah?

Sebenarnya, kalau Natella pengen nabok atau nyakar


cowok ini sekarang, dia bisa. Tangan kirinya bebas dan
jarak cowok ini tepat di sebelahnya. Tapi Natella tidak
mau mengambil risiko Arka bertindak lebih gila
daritadi. Dia membutuhkan kepercayaan Arka kembali.

"Jadi, kamu sayang sama aku nggak?" tanyanya


memancing.

Natella tidak berharap Arka menjawab iya karena


cowok itu pasti berbohong kalau sampai dia bilang 'iya'.
Yang artinya, Arka tidak konsisten dengan ucapan dan
tuduhannya sendiri tehadap Natella yang mengatakan
cewek itu berbohong mengenai perasaannya, yang
entah kenapa malah membuat cowok itu sangat marah
kepadanya hingga bertindak senekat ini.

Arka belum menjawab pertanyaan Natella, dia seperti


ragu sendiri untuk mengeluarkan suaranya. Cewek itu
memaksakan senyum kemudian. "Waktu kamu masuk
rumah sakit waktu itu, aku nggak sengaka dengerin
pembicaraan kamu sama mami kamu. Yang kamu
bilang kalau kamu nggak cinta aku dan aku nggak
bakal bisa ngelukain kamu."

Arka sontak melirik ke arah Natella. Kelihatan jelas


kalau cewek itu sedang berusaha untuk tidak
menangis.

376
"Kenapa kamu gak pernah bilang kalau denger? Mouth
can lie, Nat," ucap cowok itu kemudian, masih tidak
percaya dengan pengakuan Natella yang cukup
menyakitinya. "I should not make you feel unloved."
katanya lagi, suaranya makin pelan.

"Tapi kamu emang bener nggak cinta sama aku"

"Cinta itu kompleks. Nggak segampang kayak kamu


bilang cinta ke aku tapi belum tentu bisa terima saat
tahu jelek-jeleknya aku. Aku nggak sempurna, Nat.
Aku nggak seperti yang kamu pikirin. Aku nggak
sesabar dan sebaik itu."

"..."

"Aku takut kalau kamu tau gimana aku, kamu malah


ninggalin aku, makanya aku ngga suka cerita tentang
aku ke kamu. Dan bener, kan? Kamu beneran
ninggalin aku saat tahu gimana aku dari Jovan," Arka
mengatakan itu dengan suara yang begitu serius,
rautnya masih menggambarkan kesedihan.

"Aku nggak ninggalin kamu, aku cuma ngebebasin


kamu," bela Natella untuk dirinya sendiri, sekali lagi
lebih suka menggunakan kata membebaskan daripada
meninggalkan. Dia juga tidak tahu apakah sudah
saatnya dia merespon atau menunggu Arka
mengeluarkan isi pikirannya sampai selesai.

Hello, kapan lagi Arkasa Sean Hadinata mau terbuka


kepadanya dan menunjukkan isi pikirannya selama
ini? Bahkan ketika Natella memohon pun dia tidak
pernah bersedia kasih tahu. Tapi sekarang, Arka
betulan menunjukkan sisi manusia biasanya

377
yang...tidak sempurna dan mungkin, sedikit
rusak?.Atau malah sangat rusak?

"Sama aja. You are tired of me."

"Gimana nggak capek, hati kamu aja selalu jadi milik


orang lain. Entah itu milik Mentari atau Aluna."

Namanya juga mulut Natella, kalau sudah debat sama


orang, pasti susah untuk dikontrol. Benar saja, Arka
kayak hampir ngamuk lagi kepadanya.

"I just can't forgive myself, Nat."

"Kamu beneran ngehamilin Aluna?" Tanya Natella


bodoh, meskipun hal itu telah dikonfirmasi salah oleh
Jovan sebelumnya.

Arka tentu menggelengkan kepalanya. "Aluna cinta


sama Jovan tapi aku mau dia."

"..."

"So I made her mine."

"..."

"I made her pretend to love me too, but she actually only
loved Jovan."

"Kamu beneran ngerebut Aluna dari Jovan?" tanya


Natella kaget, padahal dia masih Tidak mau percaya
Arka punya sisi perusak hubungan orang seperti yang
diceritakan Jovan. Natella belum bisa percaya apapun
yang dikatakan Jovan. Tapi sekarang, Natella mulai
percaya beberapa hal.

378
Arka dulu memang brengsek, bahkan sangat brengsek,
dia sama sekali tidak sesuci yang dia tampakkan
selama ini.

Arka menganggukkan kepalanya, mencoba sejujur-


jujur mungkin pada Natella. Dengan suaranya yang
masih kaget, cewek itu kembali bertanya, "dia juga
suka sama kamu kali, tapi..."

"No, she never." balas Arka menekankan. "She always


avoided me everytime I kissed her."

Natella merasa ada sesuatu yang sesak dalam dadanya,


apakah Arka menginginkan Aluna sebanyak itu? Dia
bahkan mencium Aluna berkali-kali, namun tidak pada
Natella. Sekalinya mencium duluan, itu merupakan
kejadian yang mengerikan.

Namun, Natella tetaplah Natella, daripada dia


menunjukkan perasaan patah hatinya, dia malah
mengeluarkan kata-kata asal, "Gila deh, itu cewek
secakep apa sih sampai berani nolak kamu?" tanya
Natella kesal. Ya, berani nolak Arka ketika Natella
segila itu padanya.

Dia jadi tidak menyukai Aluna dan kalau saja mereka


ketemu, Natella akan dengan senang hati melabraknya
kayak yang pernah dia lakukan ke Mentari. Bahkan
hirarki kebenciannya mulai berganti. Ada Aluna di atas
Mentari.

Mendengar komentar Natella, cowok berkaos hitam itu


memberinya tatapan datar tak suka.

Emosi Arka lagi berada di titik labil-labilnya, Natella


seharusnya tidak melakukan tindakan memancing

379
dalam bentuk apapun karena bisa saja kan cowok ini
tiba-tiba mengeluarkan pisau daging yang diam-diam
sudah dia siapkan untuk mencincang Natella.

"Iya, aku salah. Maaf." ucap Natella kemudian. "Lanjut


dong, Ka."

"I dont have any mood to continue."

Natella mengusap kepalanya frustasi dengan tangan


kirinya. Gila deh, sensitif banget sih ini orang?
Keinginan Natella untuk mencakarnya kembali lagi
meskipun tadi sempat menghilang melihat Arka
tampak begitu rapuh.

"Yaampun, Ka, aku kan cuma..."

Ucapan Natella itu terpaksa berhenti karena handphone


cowok itu yang sempat ia letakkan di meja dekat pintu
berbunyi. Membuatnya mau tidak mau mengambil
handphone itu untuk melihat siapa yang
menghubunginya dini hari begini. Bukankah telpon
tengah malam selalu penting?

Rahang Arka mengeras saat melihat layar


handphonenya, sontak melirik ke arah Natella yang
masih duduk di tempat tidur. "Siapa, Ka?"

Arka nggak langsung jawab, dia tampak ragu sampai


akhirnya bergumam, "papa kamu."

Dan Natella ingin tertawa sekeras-kerasnya.

Arka berjalan kembali ke arah tempat tidur dengan


tangannya yang masih memegang handphone. Cowok

380
ini memang selalu bisa menyembunyikan emosinya
menggunakan raut wajahnya yang tenang dan datar.

Namun, Natella dapat menebak kalau Arka pasti panik


saat ini.

"Angkat aja, Ka." Natella menyarankan, sekalian


menyindir. Memang ya, feeling orang tua mengenai
anaknya yang sedang dalam bahaya itu tidak pernah
salah. "Sini deh aku yang ngomong."

Arka masih diam. Dia tidak mau bertindak gegabah.

"Ka, aku nggak akan ngadu yang macem-macem. Kamu


susah banget sih percaya sama aku?"

Lagian kalaupun Natella berkata yang macam-macam,


siapa coba yang mau percaya begitu saja jika yang
kayak Arka meculiknya dan nyaris memperkosanya?

"..."

"Itu papa pasti nelpon karena aku nggak di rumah dan


handphone aku gabisa dihubungin."

Arka akhirnya pasrah dan memberikan Natella


handphonenya, tanpa berbicara apapun. Dan Natella
sempat menduga kalau Arka akan mengancamnya
lebih dulu ataupun menyiapkan pisau di lehernya
supaya dia tidak mengatakan hal yang tidak diinginkan
si penculik kayak penculik di TV-TV. Untungnya, cowok
itu hanya memberinya tatapan tajam.

Natella menggenggam handphone cowok itu, menjawab


panggilan yang berdering lagi itu meskipun sempat
berhenti. "Halo pa." sapanya.

381
"..."

"Kakak lagi nemenin Arka, HP kakak mati."

"..."

"Arkanya lagi sakit, Pa."

Kemudian Natella mendumel pelan dan menjauhkan


handphonenya, 'sakit jiwa.' bisiknya, yang tentu untuk
menyindir Arka dengan sengaja.

"Aku baik-baik aja kok."

"..."

"Oke Pa."

Terus Natella menyudahi sambungan telepon itu.


"Untung ya aku itu selalu bisa diajak kerja sama." Puji
Natella untuk dirinya sendiri. Yaialah, kalau dia
ngomong macam-macam, kemungkinan dia buat
dibunuh Arka lebih dulu jauh lebih besar dibanding
kecepatan ayahnya memyelamatkannya . "Bisa
dipercaya kan aku?"

Arka tentu tidak repot memberikannya respon, namun


tangannya mengeluarkan kunci borgol dari saku
celananya, membuka borgol pada tangan Natella yang
terasa ngilu karena sudah cukup lama terikat.

Natella bebas sekarang, fisiknya sepenuhnya baik-baik


saja, kecuali tangan kanannya yang lumayan pegal dan
memar, dan perasaan trauma yang belum selesai.
Untung yang nyulik dia Arka, cowok yang bahkan tidak

382
pernah membalas kalau Natella mukul ataupun nyakar
cowok itu.

"lanjut cerita soal Aluna dong, Ka. Atau apapun tentang


masa lalu kamu. Aku janji gak bakal recokin lagi."

Arka menggeleng tidak mau, kembali menjadi Arka


yang tertutup dan tidak mau berbagi apapun dengan
Natella.

"Kamu tidur aja," Arka menyarankan kemudian, melirik


ke arah jam yang sudah hampir pagi.

Natella tentu menggeleng, dia masih menatap


penasaran pada Arka lalu menanyakan,

"Ka, aku kok bangun-bangun malah liat kamu?


Bukannya terakhir aku sama Yudha? Kamu kerjasama
ama Yudha?" tanya Natella curiga. Itu yang ada
dipikiran Natella sejak sadar Arka berniat buruk
padanya.

Arka tentu menggeleng, "He put something like 'date


rape drug' into your drink that made you faint. But I was
actually there because Meira told me that yudha might
be do bad thing to you." Ucapnya memberitahu. "You
must be more careful next time."

Natella terbelalak, segala keterkejutannya malam ini


rupanya belum berakhir begitu saja. Arka sebenarnya
memang menyelamatkan dia dari Yudha? Tapi tetap
saja kan malah Arka yang hampir mengapa-apakan
Natella?

383
"Aku sebenarnya benci sama kamu karena kamu
ninggalin aku." Arka menekankan, memberi Natella
penjelasan sekali lagi tentang perbuatannya tadi.

"Kan udah aku bilang kalau..." sekali lagi, Natella


merasa jika dia harus menjelaskan, masih tidak terima
dan belum mau mengerti kalau perbuatannya salah.
Sayangnya, tatapan dingin Arka mau tidak mau
memaksanya berhenti.

Natella akhirnya memilih memeluk cowoknya itu, "I


miss you." bisiknya, masih memeluk Arka. Ingatannya
kembali ke kejadian tadi disaat Natella betul-betul
berpikir jika dia akan tidak mau mengenal Arka lagi.
"Kalau kamu marah, kalau kamu kesel sama aku,
bilang ya sama aku. Jangan ngelakuin tindakkan yang
aneh-aneh. Atau kalau perlu kamu ngancem dulu aja.
Kalau kamu nggak tau caranya ngancem, nanti aku
ajarin." Natella kembali mengakarkan hal-hal sesat
pada Arka. Kayaknya dia harus membenarkan
perkataan orang-orang yang menuduhnya membawa
pengaruh buruk untuk Arka. "Iya, aku tahu kamu
anaknya nggak suka bacot tapi langsung gerak. Tapi
yang kamu lakuin tadi tuh berbahaya, Ka. Bukan cuma
berbahaya buat aku, kamu juga."

Arka menganggukkan kepalanya, menurut polos. Kalau


kayak begini kan jadi Natella yang kepingin mengapa-
apakan Arka.

"Sorry for making you scared." balas pria itu, membalas


pelukannya. Mereka saling memeluk di atas tempat
tidur, dalam keadaan duduk tentunya. "And touch you
without your concent."

384
Wow, jarang-jarang dia mau minta maaf duluan pada
Natella, kecuali jika dia benar-benar merasa bersalah.
Natella mengangukkan kepalanya, tanda memaafkan.
Meskipun trauma yang disebabkan kejadian malam ini
berkemungkinan menghantui dalam waktu yang lama.

Ya, trauma mengenai Arkasa Sean Hadinata yang


ternyata bisa bertindak begitu gila, jauh lebih gila dari
yang bisa diduga siapapun.

"Yudha kamu apain, Ka?" tanya Natella penasaran.

"Cuma aku kasih tahu." Balasnya singkat. "Don't leave


me again." Pinta Arka kemudian. "you've tried to leave
me so many times but you ended up regret it and
apogized. But this time, you really act like you're gonna
leave me forever."

Natella membasahi bibirnya. Perkataan Arka barusan


membuatnya sadar kalau ucapan bodohnya yang
menyatakan, 'aku sayang banget sama kamu dan aku
janji nggak akan ninggalin kamu' itu adalah jimat yang
berhasil menyelamatkannya berkali-kali. Pantasan
Arka kembali jinak dan langsung memaafkannya tiap
kali dia mengatakan itu.

Namun sepertinya, cowok ini mulai kesulitan untuk


mempercayainya setelah ini

"I am going to do anything to make you stay with me,"


ucap Arka lagi.

And anything means good or evil.

Arka memang tidak terlalu hobi nonton film, dia lebih


hobi main game. Tapi dulu, dia pernah menonton film

385
'Warcraft', itu diadaptasi dari game yang pernah dia
mainkan. Ada satu kalimat yang sempat lama terngiang
dalam kepalanya. Bahkan sampai sekarang.

'It's the loneliness that makes us weak.' yang diucapkan


oleh Medivh, Pelindung Karazhan, atau bisa dikatakan
orang paling suci dalam negara yang menjadi latar
Warcraft. Iya, orang paling suci dan seharusnya paling
baik yang berakhir malah menjadi penghancur,
penghianat dan antagonis paling jahat.

Karena dia kesepian.

Karena kesepian membuat orang menjadi lemah.

Dan orang berhati lemah yang memilih untuk berbuat


jahat.[]

***

386
Chapter 23. Been Trough
Cinta Natella ke Arka memang rumit. Serumit egonya
yang iri kepada siapapun yang dekat dengan cowok itu.
Serumit perasaannya yang gampang cemburu tiap kali
berpikir cintanya bertepuk sebelah tangan. Serumit
keinginannya untuk memiliki cowok itu seorang diri.
Namun, Arka memberikan definisi rumit yang jauh
lebih luas dari itu.

Demi apapun, Natella tidak pernah sekalipun


menyalahgunakan Narkoba. Tapi, dia meyakini segala
yang berkecamuk dalam dirinya sekarang bak tengah
mengalami efek samping dari Narkoba.

Dia belum lupa ingatan mengenai apa yang terjadi


berhari-hari terakhir, termasuk malam tadi. Dia pergi
dari Arka, Natella merasa itu merupakan keputusan
final terbaik dimana dia akan berusaha semampunya
untuk tidak mengganggu kehidupan Arka lagi. Dia
telah mengalah dan berbuat baik, jarang-jarang cewek
licik sepertinya sudi melakukan itu.

Yang Natella tahu, teman-temannya tahu atau semua


orang tahu, Arka tampak baik-baik saja, seperti biasa,
Natella malah yang tidak terlihat baik-baik saja. Bisa
disimpulkan, Arka tetaplah menjadi Arkasa Sean
Hadinata, cowok yang lebih mementingkan realita di
atas segalanya. Mana ada cerita dalam gambaran
tentangnya patah hati ataupun menggalaukan
perempuan seperti Natella.

His life went on and truly fine. Natella bahkan merasa


iri melihat dia satu-satunya yang terluka sekali lagi.

387
Dari dulu, setiap dia mutusin Arka. Natella selalu
berharap cowok itu akan menghampirinya lebih dulu,
memberitahu Natella bahwa dia tidak mau kehilangan
Natella juga. Tapi, Arka mana pernah mau berbuat
begitu. Selalu Natella yang mengalah lebih dulu apabila
ingin hubungan mereka kembali baik-baik saja.

Mungkin yang dia duga, teman-temannya duga, orang-


orang duga, putus dari Natella merupakan 388ea r bagi
Arka. Dia bisa terbebas dari nenek sihir yang
mengekangnya.

Kemudian dengan tidak masuk akalnya, Arka muncul


tadi malam sebagai penjahat yang hampir
mencelakainya. Arka menculiknya, nyaris
memperkosanya. Iya, dia tahu bahwa siapapun bisa
berubah menjadi jahat karena alasan tertentu. Namun,
tiap kali Natella mengingat alasan Arka, dia rasanya
ingin membanting sesuatu.

“Kayaknya gue beneran habis ngobat deh!!!” Gumam


Natella asal sembari mencengkram rambutnya sendiri.

Cewek itu sudah berada di rumah, tiduran di kamarnya


yang rapi karena baru dibereskan oleh Mbak Ratna
sewaktu dia menghilang dari kemarin.

Jam di handphonenya menunjukkan pukul 10.20 pagi,


Natella tidak berniat kemana-mana di hari senin yang
sempat turun hujan tadi pagi, pun tidak ke kampus
meskipun dia ada kuliah jam 10.

Jantungnya masih berdetak, paru-parunya masih


menghirup oksigen, dia masih hidup. Dipulangkan
dalam keadaan selamat dan sehat walaafiat oleh

388
„penculiknya‟ yang nyaris membisu sepanjang jalan
kalau saja Natella tidak memaksanya berbicara.

“Ini yang diculik aku apa kamu sih? Kenapa diem aja
kayak lagi mengalami trauma psikologis?” tanyanya
kesal waktu di mobil.

Natella pikir, Arka setidaknya berbuat ramah kepada


dirinya yang masih kacau akibat ulah sinting cowok
itu. Bukannya malah makin diam dan dingin begini
kepadanya yang jelas-jelas korban.

Cowok itu masih diam. Daritadi, kelakuannya tidak


jauh-jauh dari minum air mineral dari botol, mengemut
permen mint, lalu mengucek-ucek mata. Pasti ngantuk.
Yaialah, Arka belum tidur dari semalam.

Karena Arka masih diam, Natella berbicara lagi,


“Ngantuk ya? Sini 389ea rah nyetirnya. Lagian jauh
banget sih sampe ke Puncak, terus minggu malem lagi.
Jadinya sekarang senin, rame, ada kuliah juga nanti.
Nggak ngira-ngira banget.” Natella mengomel. Dia bak
mendapati kesempatan untuk menyemprot Arka lagi
setelah semalam dia harus mati-matian menahan
untuk tidak ia keluarkan.

“Gausah, Nat.” jawabnya seadanya. Arka


mengejarkabkan matanya cukup lama, terlihat
menggemaskan. Berbeda sekali dengan rautnya tadi
malam yang mirip naganya Maleficent.

“Aku bakal nyetir pakai perasaan, kamu nggak akan


muntah kayak waktu itu.” Tawar Natella lagi. Dia tahu
Arka memang anti banget disetirin olehnya, mengingat
gaya menyetirnya yang seenaknya itu pernah membuat
Arka muntah ketika cowok itu tidak enak badan. Kalau

389
Natella ingat-ingat, ini cowok sebenarnya lemah banget.
Sayangnya, sekalinya dia mengintimidasi seseorang,
bisa kelar hidup tuh orang. Kayak Natella semalam,
nyaris kelar tuh hidupnya kalau dia tidak pintar
menjilat.

Arka tetap memberikan gelengan, menolak tawaran


dari Natella.

“Emang kamu nggak ngantuk? Bohong banget kalau


sampai bilang nggak. Itu mata kamu udah agak
bengkak.”

“Ngantuk.” Jawabnya polos. Matanya tetap


memaksakan untuk melihat ke jalanan.

“Yaudah, 390ea rah!”

Arka masih geleng. “Mending kamu cerita, biar kita ga


ngantuk.”

“Kamu dong yang cerita. Tentang Aluna, lanjutin yang


semalem.” Balas Natella, suaranya agak meninggi,
sedikit memaksa. Jujur saja, dia masih penasaran
setengah mati dengan hubungan antara Arka dan
Aluna.

Natella tidak seharusnya segampang itu bawa-bawa


nama Aluna. Jovan nyaris kalaf waktu itu menyebut
nama cewek itu dan kata Jovan, Arka bisa bertindak
lebih buruk dari dia. Kejadian semalam sudah cukup
menjadi bukti kalau banyak sekali sisi Arka yang
belum Natella tahu.

“jangan sekarang, Nat.”

390
Natella hanya tersenyum datar sebelum menjawab
seadanya, “ok.”

“Bukannya aku nggak mau cerita, tapi belum sekarang


ya?” pintanya.

“Iya.” Jawab Natella pelan. “Udah biasa juga.”


Lanjutnya rada menggerutu. Lalu cewek itu buang
muka dan memilih untuk melihat jalan di pagi hari
yang super macet. Dia tidak mau marah pun kesal.
Tidak ada alasannya untuk marah ketika seseorang
ingin menyimpan rahasia darinya.

Iya, dia mencoba mengerti dan seharusnya dia memang


mengerti.

Namun, dia tidak bisa mengontrol perasaannya agar


tidak merasa sesak.

“Kamu sekarang ngambekan.” Arka berkomentar.

“Emang dari dulu ngambekkan kali.” Balas Natella


jutek tanpa melirik 391ea rah Arka.

“Ngambeknya beda.”

“Ih sotoy.”

“Biasanya kamu ngomel, tapi sekarang diem.”

“Ini udah ngomel tauk.” Balas Natella lagi.

“Nat.” Panggilnya.

“Apa?” Natella sudah menebak, pasti berikutnya Arka


bakal ngomong sesuatu yang sangat tidak penting.

391
Yang kayak gini kan bukan sekali dua kali. Cowok ini
kerap kali memanggil namanya bak ingin mengatakan
sesuatu yang serius, sayangnya setelah Natella
memberikan respon, yang ia ucapkan pasti sesuatu
yang membuat Natella ingin menjambaknya.

“Aku kangen.”

DEG. DASAR ANJING.

Natella mengutuk dalam hati, tidak tahu harus


memberikannya untuk Arka yang telah mempora-
porandakan hatinya atau dirinya sendiri yang begitu
payah.

“Ngapain kangen? Aku di sebelah kamu juga.” Jawab


Natella sebiasa mungkin

“Ya kangen.” Katanya. “Udah 8 hari kamu nggak


ngabarin aku.”

Natella tidak bisa menahan dirinya untuk tidak


menatap kesal 392ea rah Arka. Cewek itu menyemprot,
“Loh kok malah aku? Kamu aja gak mau liat snapgram
aku. Tiap aku update, kamu selalu swap away kan?
Nggak mau tahu apa yang aku lakuin atau aku lagi
ngapain. Pas aku nggak enak badan aja kamu nggak
nanyain aku gimana. Nggak peduli banget. Jahat.”

Arka diam. Dia bak tidak punya jawaban apapun atas


ungkapan protes Natella. Karena suara mobil Arka
yang pelan semakin mendukung keheningan yang
mengganggu, Natella mencoba membesarkan volume
yang lagu yang tidak pernah absen diputar di tape
mobil Arka. Sayangnya, tangannya lebih dulu dipegang
oleh cowok itu.

392
“Aku Cuma mau gedein volumenya, bukan ganti.” Ucap
Natella jutek. Lagian terlalu drama kalau dia cari ribut
dengan Arka menggunakan cara klise disaat kayak
sekarang.

Cowok itu tidak merespon, namun tangan kirinya


masih memegang tangan kanan Natella. Menggenggam
lalu mengusap-usapnya lembut. Butuh waktu berpuluh
detik bagi Natella untuk menyadari bahwa ini nyata,
bukan khayalannya semata.

“I am just afraid you get happier without me.” Arka


bersuara. Pelan tapi menusuk.

Natella menahan napasnya sesaat sebelum bertanya,


“kamu nggak lagi kesurupan part 2 kan?” tanyanya
asal. What happened right now is too much. She cant
even handle or believe it.

Mata Natella terarah kesamping. Lagi. Dia memandang


Arka yang lagi menyetir dimana tangan kirinya ia
gunakan untuk mengenggam tangan Natella, meskipun
sesekali ia lepas sebentar untuk menggerakkan
persnelling, cowok itu kemudian buru-buru
menggenggam tangan Natella kembali.

“Kamu dulu sering bilang kalau pegangan tangan di


mobil itu norak dan bahaya.” Sindir Natella kemudian.
Setidaknya jual mahal begini bisa menyelamatkan
harga dirinya. Tangannya yang digenggam Arka pasti
terasa begitu dingin karena gugup.

“I miss you.” Jawabnya. Tidak nyambung. Setelah itu,


Natella kembali mengalah, dia mulai menceritakan
pada cowok itu apa saja yang dilakukannya beberapa

393
hari terakhir. Yang tentu saja tidak terlalu bahagia dan
membosankan.

Meskipun sejak awal, dia selalu berharap bisa menjadi


pendengar dari apapun yang diceritakan Arka.

***

"Mau kuliah? Aku tungguin." Arka bertanya ketika


mereka sudah sampai di rumah Natella. Cowok itu juga
turun dari mobil ketika Natella turun, ingin pamit
dengan Ayah cewek itu yang sayangnya sudah pergi
lagi sejak satu jam yang lalu.

Natella menggeleng, "Nggak, capek."

"Oh, yaudah. Aku pulang ya."

"Kamu tetep kuliah?" tanya Natella kaget.

Cowok itu memberikan anggukan singkat.

Natella memutar bola matanya kesal, dalam hati dia


mengeluarkan gerutuhan tidak sehatnya lagi. Ngapain
sih Ka berjuang segininya buat cita-cita orang?

"Bolos aja, Ka. Jangan gila, itu manusia, bisa mati


kalau nggak istirahat."

"Ada kuis." jawab cowok itu lagi.

Natella menghela napas panjangnya. Sejak kapan Arka


mau mendengarkan kata-kata Natella? Jangankan
dilakukan, dipertimbangkan saja sepertinya tidak
pernah. Dia hanyalah 'Natella', bagaimanapun.
Eksistensinya tidak berpengaruh banyak.

394
"Yaudah sana, pulang, kuliah!!! Kalau sampai sakit,
aku ketawain!" Natella berucap jutek sebelum dia
masuk ke dalam. Karena tidak mendengar suara
langkah apapun di belakangnya, cewek itu berbalik
untuk mendapati Arka masih berdiri di tempatnya,
belum bergerak.

"Kenapa masih disitu?"

"Kita udah damai kan?" tanyanya.

Natella mengangguk bingung, "iya?"

"Peluk?" tanya Arka lagi. Sudah menjadi kebiasaan


mereka berpelukkan petanda damai apabila ribut.

Bak terhipnotis, Natella melangkah mendekati Arka lagi


dan memeluk cowok itu. Memeluk cowok yang tidak
pernah ingin ia lepaskan.

"Jangan jahatin aku lagi ya, Nat." bisik Arka


ditelinganya.

Natella tentu tidak terima dengan yang dikatakan Arka


ketika menurutnya satu-satunya yang jahat itu Arka,
bukan dia. Namun pelukkan hangat cowok itu
membuatnya lebih memilih diam dan berpikir.

***

Natella sedang memainkan Instagram Arka dan


mengubek-ubek isinya ketika dia mendapati telpon dari
nomor tidak dikenal. Dia menolak panggilan itu yang
menurutnya mengganggu kegiatannya, tentu saja.
Sampai satu pesan masuk bertulisan,

395
'angkat dong, ini Jovan. Kayaknya nomor gue diblokir
cowok lo lagi.'

Natella mendengus membaca itu, lalu dengan terpaksa


mengangkat telepon yang berdering dari nomor
sebelumnya.

"Masih hidup lo?" itu pertanyaan pertama yang dia


dengar setelah mengangkat telepon. Suara laki-laki
yang dia kenal langsung menyahut.

"Nggak, udah mati. Ini arwah gue yang ngomong."

Jovan tertawa renyah, "ternyata lo lucu juga."

"Lo yang receh."

"Udah ya, telponnya gue matiin. Gue cuma mastiin kalo


lo masih hidup atau udah mati."

"Bentar, tahu darimana kalau gue bisa aja celaka?"

"Tahu lah." jawabnya enteng. "Orang gue yang


ngumpan."

Meskipun ini hanya sebetas telpon, mata Natella tetap


saja terbelalak mendengar pengakuan dari Jovan, dia
sontak mendudukan badannya yang tadinya tidur-
tiduran, "DASAR BANGSAT ANJING SETAN. GUE
HAMPIR MATI GOBLOK."

"I am just curious."

"Nggak lucu tau gak!!!" Natella masih menyerapahi


Jovan yang bisa-bisanya mengatakan ini semua dengan
santainya.

396
"Biar mata lo kebuka kalau cowok lo tidak semanis dan
sesuci yang lo pikirin. Gimana? Udah nyadar kan kalau
dia monster?"

"Lo tuh yang monster!!!" Balas Natella mengutuk Jovan.


Kalau saja Jovan di hadapannya sekarang, Natella
sudah menjamin kalau cowok itu minimal sudah dia
jambak-jambak.

"Hati-hati, La. Banyak yang jahat."

"Termasuk elo?"

"Terutama gue." Ucap Jovan memperingati. "Dan cowok


lo." Setelah Jovan mengatakan itu, Natella dapat
mendengar tawa renyah Jovan yang terkesan amusing.

"..."

"Gue bilang cowok lo karena kalian pasti udah balikan."

"..."

"Malam waktu lo bilang lo bakal ninggalin dia, dia bilang


kalau bakal dapetin lo lagi. Menurut lo siapa yang
omongannya lebih bisa dipegang?"

"..."

"I know Sean more than I know you. And of course I


know how far he can go too."

"..."

"Awalnya, gue mencoba buat nggak bawa-bawa lo ke


dalam permainan ini. Tapi lo udah masuk terlalu jauh.

397
Jadi pada akhirnya, lo tinggal milih mau habis di tangan
gue atau dia."

"Dan tawaran gue masih berlaku, lo bisa di pihak gue


kalau mau. We are cousins after all."

Natella mematikan sambungan telepon Jovan. Dia


tidak mau mendengar apa-apa lagi. Dia tidak mau tahu
apapun lagi.[]

***

398
Chapter 24. The Wolf That Wins
There is an old proverb from Cherokee.

It said there is a terrible battle of two wolves inside us.

One is evil. It is anger, jealousy, greed, resentment, lies,


inferiority and ego.

The other is good. It is joy, peace, love, hope humility,


kindness, empathy and truth.

Who wins?

The one you feed the most.

***

Arka memasuki apartemen yang semenjak dia pindah


ke Jakarta ia tempati bersama Reno. Cukup terkejut
ketika mendapati cowok jangkung itu sedang berada di
ruang tengah di hari dan waktu kerja seperti sekarang.

"Nggak ngantor?" tanyanya seraya berjalan ke arah


kulkas. Pandangan mata Reno yang mengikuti
langkahnya tidak dapat membuatnya pura-pura buta

"Nungguin elo." Reno menjawab seadanya. Cowok itu


tidak menggunakan pakaian rapi bak yang selalu dia
kenakan tiap ingin ke kantor. "Kemana semalem?"
tanyanya menyelidik

"Puncak."

"Sendiri?"

399
"Kepo." Balas Arka setelah dia menegak habis sebotol
air mineral dingin.

"Yaelah, jawab aja apa susahnya? Lo kalau ngilang tuh


kira-kira dong. Nyokap lo sampe setres mikirin lo yang
ngilang gak ada kabar."

Arka menatap acuh tak acuh kearah Reno yang berdiri


dekat meja makan, for everything's sake dia belum
menghilang selama 24 jam dan Reno bertingkah
seberlebihan ini. "makanya gak usah ngadu-ngadu ke
nyokap gue segala." sindirnya.

Tentu saja ada alasan luar kenapa dia tinggal bersama


Reno ketika orang sepertinya lebih suka menyendiri.
Ibunya tidak mungkin mengizinkan dia hidup di
Jakarta tanpa ada yang mengawasi, dan Moreno
merupakan anak sepupu Ibunya yang dari kecil
memang dekat dengan keluarga mereka. Tapi untung,
Reno cukup dekat dengan Arka sehingga dia bisa
membuat keponakkan kesayangan Mommynya itu
menyaring mulutnya.

"Heh gue cukup kenal lo untuk memprediksi apa yang


bisa lo lakuin."

"Apa?" tantangnya balik. Mereka sedang perang dingin,


saling melontarkan kalimat yang terdengar tidak
bersahabat.

"Kayak waktu itu, lo bisa mencelakai diri lo lagi."

Arka memberikan senyum terpaksanya, matanya


menatap dingin ke arah Reno yang menurutnya
bertindak menyebalkan di waktu sepagi ini. "I am not
that stupid."

400
"You are." tekan Reno, tidak mau mengalah.

Ada kalanya Reno merasa iri pada Arka. Orang-orang


yang tahu mereka pasti berpikir Arka lebih dewasa
dibanding Reno dalam segi karakter. Cowok itu sopan
dan baik-baik, menjalani hidupnya dengan lurus dan
tidak suka cari masalah. Dia bisa membuat orang-
orang mencintainya tanpa perlu berusaha. Sekilas, dia
bak manusia sempurna yang tidak punya cacat sama
sekali.

Namun, Reno mengenal cowok ini sejak baik dia


maupun Arka sama-sama masih kecil. Dia juga sempat
tinggal di Australia ketika masih SMP, yang berarti dia
juga tahu siapa Jovan ataupun Aluna, meskipun tidak
banyak karena dia balik ke Indonesia sejak masuk
SMA.

Reno tahu betapa dekat Arka dan Jovan dulunya,


bahkan pertemanan mereka jauh lebih erat dibanding
Reno dengan Arka. Dimana ada Jovan, disitu ada Arka.
Arka suka futsal, Jovan suka basket. Tapi kedua orang
itu dapat ditemukan di lapangan futsal ataupun
basket, baik hanya sekedar menemani satu sama
lainnya ataupun ikut bermain dengan skill yang payah.

Itu membuat Reno meringis ketika mengingat mereka


pernah sedekat itu. Gilanya, pertengkaran hebat
mereka didasari oleh sesuatu yang membuat Reno
ingin tertawa. Mentertawakan.

It was because of a girl. Aluna.

Tentang Aluna, dia hanya bertemu dengan cewek manis


itu dua kali. Menurutnya Aluna polos dan
mengagumkan, tipikal cewek yang bisa ditaksir dalam

401
sekali-dua kali pertemuan. Aluna merupakan sahabat
mereka juga, Arka mengenal cewek itu lebih dulu
karena keluarga Aluna bekerja untuk keluarga Arka.
Dan percaya atau tidak, Arka selalu berbagi pada
Jovan mengenai segala yang dia miliki. Mainan,
keluarga, teman.

Namun, Reno tidak yakin kalau Arka mau berbagi


Aluna.

Well, apapun yang ditunjukkan Arka menggunakan


rautnya yang poker face itu memang tidak pernah jelas,
kecuali keinginannya untuk menguasai Aluna.

Reno hanya paham sampai disitu. Sisanya, hanyalah


kisah samar-samar yang dia simpulkan sendiri, seperti
Aluna berakhir berpacaran dengan Jovan sedangkan
Arka tidak dapat menerima itu. It was started there.
Dan dari sinilah Reno berani mengatakan kalau Arkasa
Sean Hadinata yang baik-baik itu bisa bertindak jauh
lebih brengsek dari kebrengsekan apapun yang pernah
Reno lakukan.

"You can see, I am absolutely fine." Arka kemudian


memberikan balasannya. Jujur saja, impiannya adalah
segera masuk ke kamar dan tidur. Bukannya meladeni
Reno yang ikut campur dengan masalah hidupnya yang
bisa ia urus sendiri.

"Good to know." Balas Reno. "Lo kalau ada masalah,


gak ada salahnya kan cerita ke gue?"

"You wont help." Balas Arka singkat.

402
Reno tersenyum, dia tidak tersinggung mendengar itu.
"Karena Natella?" lanjut cowok itu mengungkapkan
rasa penasarannya.

Arka diam. Dia sengaja menunggu lanjutan ucapan


Reno menurutnya akan sangat sok tahu. Well,
bukannya itu memang sudah menjadi ciri khas Reno?
Dia sok tahu.

"Gue bukan dukun yang bisa baca pikiran orang,


apalagi orang kayak elo yang ekspresinya lempem
kayak kerupuk kebanyakkan angin. Tapi gue gak mati
rasa untuk nyadar lo bertingkah kayak orang gila tiap
kali ribut sama Natella."

"..."

"Man, lo bisa bohongin semua orang di luar sana. Lo


bisa bohongin gue. Lo bahkan bisa membohongi diri lo
sendiri." Reno menatap tidak kalah serius ke arah
Arkasa. Dia pernah terpilih menjadi Presiden
Mahasiswa dengan alasan, dan salah satu alasannya
dia selalu menyelasaikan masalah dengan kepala
dingin dan mengutamakan logika dibanding emosi.
"Tapi gak bakal lama." lanjutnya menekan.

"..."

"Gue bahkan nggak yakin dengan perasaan lo buat


Natella. Yang gue tahu, lo pasti ada rasa sama Mentari,
gue gak perlu dekat sama dia untuk nyadar kalau dia
mengingatkan lo pada Aluna. Sedangkan Natella cuma
salah satu cewek yang tergila-gila sama lo. Tapi
kayaknya gue salah."

"..."

403
Reno mengeluarkan cengiran sinisnya, masih berusaha
bertindak santai meskipun sudah gregetan setengah
mati karena respon dingin Arka.

"Sekali lagi, Yan. Lo gak bisa membohongi diri lo sendiri


terlalu lama. Kenapa? Lo sakit kan ngeliat Natella
ninggalin lo?" tanyanya menyindir, merasa yakin
dengan tebakannya kali ini, memaksa Arka buat
menjawab. Sayangnya cowok itu malah balik arah dan
berjalan ke kamarnya, membuat Reno menjadi kesal.

"Sianjing, gue udah ngomong panjang-panjang malah


dikacangin." keluhnya tidak terima dengan perlakuan
teman baiknya itu. "WOY GUE BELUM SELESAI
NGOMONG." suara berat itu menggema di ruang
tengah apartemen, ia kemudian menyusul langkah
Arka.

"Can you shut your mouth up? Gue lagi males ribut."
Arka akhirnya memberikan kalimat balasan ketika dia
sudah tiba di depan pintu kamarnya.

"Kalau lo gak mau kehilangan Natella, lo mending kasih


tahu dia apapun yang terjadi antara lo-Aluna dan
Jovan. Dia berhak buat tahu."

Arka membuka pintu, yang kemudian di tahan oleh


Reno sebelum cowok itu menutupnya.

"Then?" tanyanya. Sayangnya, Reno masih belum bisa


membaca apa yang cowok itu pikirkan. Dia memang
merasa tahu sekaligus clueless dengan yang dialami
cowok itu.

404
"Then, jangan salahin gue kalau gue melakukan apa
yang lo lakukan ke Jovan dulu." ancamnya dengan raut
yang dibuat seserius mungkin. "She is pretty after all."

Arka memberikan helaan napasnya sebagai respon.


Lalu menutup dan mengunci pintu kamarnya,
mendapati caci maki kesal Reno dibalik pintu.

"Gue nggak sebodoh Jovan." gumamnya pelan.

If there is battle between two wolves inside him. He


always wants to feed the good one, but sometimes, it's
out of his control if the bad one that wins.

***

Natella membuka matanya karena mendengar getaran


handphone yang mengganggu. Dia tertidur tanpa sadar
setelah tadinya telponan dengan Arka. Seminggu
semenjak kejadian dimana Natella tahu bagaimana
aslinya Arka, cowoknya itu kembali bertingkah bak
cowok polos yang tidak mungkin berbuat hal-hal
sinting.

Ia mendapati bahwa status telponnya masih terhubung


dengan cowok itu sejak tadi sehingga layanan
selulernya baru saja memberitahu bahwa pulsanya
habis total.

"Kok nggak dimatiin sih?" kesalnya sambil memandang


nanar ke arah Handphonenya. "Mana gue lagi yang
nelpon! Arka kejam banget ngabisin pulsa gue!!!"
lanjutnya mengeluh.

Setelah itu, dia hanya bisa meratapi jumlah pulsa yang


baru ia isi kemarin pagi hanya tersisa nol rupiah.

405
Cewek yang matanya masih mengantuk itu
menghembuskan napas beratnya, seberat hari yang ia
jalani sejak kemarin. membuka line dan menemukan
banyak sekali chat masuk. Setidaknya, hari ini dia
tidak perlu melihat isi pesan Yudha yang selalu
berhasil membuat dahinya menyerngit.

Tapi matanya melihat nama yang jarang sekali


menghubunginya. Moreno. Natella membuka chat itu,
untuk mendapati pesan dengan bunyi,

'Sore cantik.'
'Lagi kosong gak?'

'Jalan yuk'

'Dinner bareng kita'

'Gue yang bayarin'

Diikuti okeh sticker sok manis dari pikachu.

Tanpa mikir, Natella langsung mengetik satu kata.

'Males.' sebagai balasan yang langsung dibaca Reno

'Gue traktir sushi di Mulia. Jarang-jarang kan ada yang


ngajakin elo dinner, yang ngajak ganteng lagi.'

'Gak.' Natella masih mengetik singkat. Semanis apapun


kalimat-kalimat Reno berikutnya, tetap saja cewek itu
memberikan balasan penolakan. Sampai akhirnya,
Natella membaca pesan terbaru Reno.

'Gue sebenernya mau ngajakin lo diskusi.'

406
'Soal Arka, Aluna, Jovan'

Tanpa mikir, cewek itu langsung mengetik, 'kapan?'


tulisnya, memberikan isyarat jika dia telah berubah
pikiran. Mungkin dari sebrang sana, Reno sedang
mentertawakan kelakuan impulsifnya.

'Right now?'

'Gakbisa sekarang, gue baru bangun tidur. Harus siap-


siap dulu. Paling cepet 2 jam lagi.'

'Itu lo mau siap-siap atau sidang skripsi? Lama bener


jing.'

'Siap-siap lah, kan harus mandi dulu, terus pake baju,


dandan.'

'Satu jam lagi gue jemput, udah harus kelar pokoknya.


Gak usah cantik-cantik banget. Entar kalau gue naksir
beneran kan berabe.'

Natella hanya memandang geli ke arah handphonenya,


mengetik satu pesan lagi berisikan, 'najong.' untuk
Reno sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi.

Dia sebenarnya masih lelah dan malas kemana-mana.


Tapi apa yang tidak dia lakukan demi mendapati
informasi mengenai Aluna? Jangankan Reno, yang
berbahaya seperti Jovan saja dia dekati demi
mengetahui soal Aluna.

***

"Lo cakep juga ya, pantes Yudha demen." Reno tidak


henti memberikan gumaman memujinya untuk Natella

407
ketika kedua orang itu menunggu pesanan mereka
dihidangkan. "Kan tadi udah gue bilangin, jangan
cakep-cakep banget, gue bisa naksir." lanjutnya lagi,
mengamati Natella yang memakai kemeja tanpa lengan
dan rok selutut. "sekarang naksir beneran kan gue."

"Ren, sekali lo mandang gue kayak gitu, mata lo gue


colok lipstick!" balas Natella judes setelah bosan
mendengar gombalan tidak bermanfaat dari Moreno.
Cewek itu memberikan pandangan sinisnya, "Kalau
diliat-liat lo sebelas-dua belas ya sama Yudha.
Pantesan satu jebolan"

Reno yang daritadi terus memberikan senyum lebarnya


kepada Natella langsung cemberut, "lo emang paling
pinter bikin orang kesel. Batal deh gue naksir."
balasnya pura-pura ngambek.

Natella tertawa, menganggap bahwa kekesalan Reno itu


adalah kemenangan baginya.

Ini adalah kali pertama Natella pergi berdua dengan


Reno, yang benar-benar hanya berdua sejak awal. Dan
karena mendadak, dia tidak memberitahu siapapun
mengenai ini, termasuk Dennisa yang bisa jadi
menuduhnya penghianat karena makan berdua dengan
lelaki pujaannya ini.

Setelah Natella perhatikan, dia harus mengakui jika


Reno memang ganteng, Dennisa saja pernah ngotot
mengatakan kalau Reno lebih ganteng dibanding Arka,
apalagi saat cowok itu bermain drum atau nge-DJ.
Reno punya karisma sendiri yang membuatnya jadi
sangat keren, ditambah kepribadiannya yang asik dan
juga ramah. Tidak akan sulit untuk jatuh cinta kepada
seorang seperti Moreno.

408
Tapi, Natella tentu tahu bagaimana Moreno Gavin
Anindito. Dia dikenal brengsek dikalangan cewek-cewek
dengan alasan, cowok ini tukang pemberi harapan
palsu paling handal. Pintar membuat cewek yang dia
dekati merasa bak orang paling beruntung di dunia,
lalu dia tinggalkan begitu saja. Dia lebih suka one night
stand, Reno pernah mengakuinya sendiri, paling lama
berkencan seminggu lalu bertingkah seolah-olah tidak
pernah ada hubugan apa-apa dibanding komitmen. Itu
jelas bahwa dia anti komitmen.

"Ren." Natella memanggil namanya. Membuat cewok


yang baru saja ingin menyantap sashimi pertama-nya
yang baru sampai itu mendongak sebentar, "Lo kenapa
gak mau pacaran?" tanya Natella kalem, dia
memandang serius ke arah Reno.

Reno menelan makanannya sebelum menjawab, "Gue


pacaran kali."

"Paling lama seminggu itu bukan pacaran, tapi main-


main. Mana gak lo akuin lagi itu cewek-cewek lo."

Reno menyengir, menampakkan gigi-gigi putihnya yang


tersusun rapi. "Yang namanya pacaran mah pasti
main-main, Nat."

"Tapi gue serius." Balas Natella cepat.

Reno memainkan sumpitnya, menatap Natella dalam-


dalam, "Kenapa lo serius?"

"Karena... gue sayang?" jawabnya agak ragu.

409
Reno tersenyum manis, "jawaban kita sama. Kenapa
gue nggak serius? Karena belum ada yang bener-bener
gue sayang."

"Lo kan bisa pura-pura cinta, Ren."

"Ngapain? Nggak ada untungnya di gue." balasnya


enteng. "Mendingan bebas kemana kali. Bisa ngelakuin
apa aja tanpa kekangan siapapun dan gak banyak
drama."

Natella bereaksi seperti ingin segera membalas, tapi


tidak jadi. Benar juga kata Reno, ucapan cowok
jangkung itu membuat Natella berpikir agak lama.

"Kenapa?" tanya Reno ketika mendapati ekspresi serius


Natella.

"Gue lagi mikir, apa keuntungan di Arka makanya mau


pacaran sama gue ya?"

"Itu juga pertanyaan gue dari dulu." balas Reno


seadanya. "Lo ngasih gaji nggak, bisa ditidurin juga
kagak. Gak ada untungnya sama sekali."

Ucapannya itu tentu mendapat balasan serapahan


reflek dari mulut Natella. Diantara semua orang yang
Natella kenal, memang Reno yang paling bisa dianjing-
anjingi.

"Dia takut kali gue apa-apain si Mentari kalau nolak


gue."

Reno tertawa lagi, kali ini mentertawakan ucapan


Natella. "Arka? Takut sama elo? Hahaha."

410
Natella memutar bola matanya, kesal dengan respon
Reno yang jelas-jelas meremehkannya, "gue bisa jahat
banget sama orang, tahu."

"Lo pikir Arka nggak bisa?" tanya Reno balik, agak


menantang. "Lo belum tahu aja gimana dia kalau udah
gak suka sama orang."

"Ya ngg..." Natella nyaris membalas, ingin membela


Arka. Tapi bibirnya tertahan karena mengingat yang
cowok itu lakukan padanya semalam sekaligus cerita
Jovan mengenai cowok itu meskipun belum tentu
benar. "Mungkin dia mau mainin gue?"

Reno tertawa lagi, tapi lebih santai dari tawanya


sebelumnya. "Itu paling masuk akal." ucapnya santai.
Tumben Reno memberinya kejujuran pahit ketika
mulut cowok ini lebih suka mengatakan kebohongan
manis. "Awalnya gue juga berpikir begitu." ungkapnya
jujur. "Tapi ini Arka, Nat. Sepicik-piciknya dia, mainin
cewek itu bukan levelnya."

"..."

"Lo beneran mikir Arka gak ada perasaan apa-apa


sama lo?" tanya Reno hati-hati.

Natella tidak menjawab, cewek itu menggigit bibirnya


sendiri, bak menerawang.

"Gue sempat ngerasa kalau dia betulan sayang sama


gue. Tapi dia sendiri bilang gak cinta gue sama sekali,
Ren."

Mata belo Reno semakin membesar, "Arka? Bilang


langsung ke elo?" tanyanya.

411
"Nggak langsung, tapi gue pernah denger. Gak sengaja
denger dia ngomong ke Maminya di rumah sakit waktu
kecelakaan."

Reno menghela napas beratnya. Mendengar itu


membuat kepalanya yang tadi masih bisa tenang jadi
kacau sendiri.

"Ya, gue sedih sih denger itu, banget. Tapi gue kan
udah sadar konsekuensinya dari awal. Gue juga udah
tau. Yang selama ini obsesi sama dia kan gue, dia
terpaksa. Lagian bego sih ngapain juga mau." Natella
menambahkan nada sewot pada kalimat terakhirnya.

"..."

"Pas gue tahu soal Aluna, gue jadi marah. Dia gak
pernah kasih tahu gue sama sekali mengenai Aluna,
malah Jovan yang mau kasih tahu gue. Emangnya gue
nggak sepenting itu ya buat tahu? Terus gue mikir lagi,
emang gue punya hak buat marah?"

"..."

"Kalaupun gue gak punya hak buat marah, gue kan


punya alesan buat pergi dan membebaskan dia."

"..."

"Tapi dia gak mau gue pergi. Malah bertingkah kayak


orang gila, mana gilanya lebih gila dari gue lagi. Kan
aneh banget? Gimana gue nggak curiga coba."

"Dia ngelakuin apa ke elo?" tanya Reno menyelidik.

412
"Tanya sendiri sana, gue ceritain ntar lo nuduh gue
ngefitnah dia."

Setelah daritadi diam saja dan mendengarkan Natella


berbicara panjang-lebar, Reno menatap cewek cantik
dihadapannya ini lekat-lekat. "Nat, lo tahu kalau Aluna
udah meninggal?"

Natella terdiam. Dia menggeleng hati-hati. Jovan tidak


pernah bercerita sejauh ini.

"Arka sempat depresi karena itu. Menurut lo, mudah


bagi dia buat cerita?"

"Gue kenal dia tiga tahun, Ren. Emang gak boleh gue
tahu sedikit aja tentang hidup dia?"

Reno meletakkan sumpitnya, "Gue nggak maksud


ngebelain Arka. Tapi, dia nggak hanya tertutup sama
lo, Nat. Dia tertutup ke semua orang." ucapnya. "Gue
kenal dia dari dia bayi dan gue juga gak dikasih tahu
tentang dia."

"Kan lucu aja Ren kalau gue denger semuanya dari


Jovan." ucap Natella kemudian.

"Jovan udah ngasih tahu lo?"

Natella mengangguk.

"Lo sama Jovan ternyata lebih dekat dari yang gue


kira."

"He is my cousin."

413
Reno mendecakkan lidahnya, dia lagi-lagi memberikan
pandangan lamat-lamat ke arah Natella, "this is karma."
bisik cowok itu dengan suara beratnya.

Di menit yang sama, Natella merasa tangannya ditarik


paksa sehingga dia mau tidak mau berdiri, mendapati
Arkasa yang sedang memegang tangannya dan
menatap tajam ke arah Reno. Melihat ekspresi Reno
yang belagak kaget, Natella dapat menebak bahwa
cowok ini sudah tahu sejak awal bahwa Arka pasti
akan kemari.

"Hi bro." sapa Reno sok ramah untuk Arka. Membuat


Natella paham jika Reno lah yang sengaja mengundang
Arka kemari. "Merasa terancam ya dengan ucapan gue
tadi pagi?"

"Urusan kita belum selesai, Ren." cowok itu membalas


dingin dan tajam untuk Reno yang masih sempat-
sempatnya mengeluarkan senyum simpul.

Ya, Reno menyebutnya karma karena sejak saat Arka


mengetahui bahwa Natella merupakan sepupu Jovan,
tanpa Jovan melakukan apa-apa sekalipun, hidup Arka
telah dipenuhi rasa takut. Ditambah lagi, Natella secara
tidak langsung telah terpengaruh oleh Jovan.

Arka dulunya merupakan antagonis, bagaimanapun.

***

"Lo ngapain sih hobi banget datang tiba-tiba terus


narik-narik tangan gue? Sakit tahu gak!" protes Natella
pada cowok yang berjalan buru-buru di depannya ini.

414
Melihat apa yang dilakukan Arka kepadanya dan
hatinya yang telah panas sejak awal, cewek itu sama
sekali tidak bisa bertingkah manis, bahkan berpura-
pura sekalipun.

Arka diam, Natella sudah memprediksi bahwa cowok


ini tidak menjawab kalimat protesnya.

"Gue juga belum kelar makan. Apa salahnya ngajakin


pulang baik-baik? Kesurupan lagi ya lo?" lanjut cewek
itu kesal.

Bagaimana tidak? Dia lagi emosi-emosinya mendengar


cerita dari Reno mengenai Arka, lalu cowok ini malah
datang tiba-tiba untuk menariknya pergi secara tidak
baik-baik.

Sialnya, Natella malah merasa genggaman tangan Arka


di tangannya semakin erat, mulutnya sampai
mengeluarkan ringisan. Untung tidak lama dari itu,
mereka sudah tiba di parkiran mobil. Arka membuka
mobilnya, menyuruh Natella masuk ke dalam sana. Ini
mengingatkan Natella pada kejadian dia ribut sama
Bagas di kantin FK waktu itu. Jadi menurutnya, dia
hanya akan menghadapi sesuatu yang sama.

"Lo kenapa gak bilang-bilang pergi sama Reno?" tanya


cowok itu setelah dia duduk di bangku kemudi dan
menurup pintu.

Dahi Natella berkerut, "suka-suka gue dong mau pergi


sama siapa. Ngapain harus bilang-bilang dulu? Lagian
itu Reno udah bilang. Lo tahu darimana lagi gue di
mulia kalau bukan Reno?" balas Natella setenang
mungkin, tapi tetap saja nada suaranya terdengar
ngegas.

415
"Gue gak suka."

Natella menahan napasnya sebentar. Nada suara Arka


membuatnya agak bergidik. Tapi cewek itu sempat-
sempatnya mengeluarkan senyum meremehkannya,
"Gue gak peduli lo mau suka atau nggak. Kenapa? Lo
cemburu gue jalan sama Reno?" tanya Natella, agak
asal. Tujuannya hanya menyemburkan segala
emosinya yang sedang panas-panasnya.

"Iya, gue cemburu." balasnya. Untuk pertama kalinya


kata-kata itu keluar dari bibir Arka dan tertangkap
telinga Natella.

Natella terdiam, lebih tepatnya dia speechless. Pada


awalnya. Tapi dia ingat bahwa Arka memang berubah
akhir-akhir ini. Atau mungkin sejak kedatangan Jovan?
Cewek itu kemudian mengeluarkan senyum
mengejeknya. Mulutnya selalu bisa mengutarakan
apapun kepada Arka, bahkan sesuatu yang memang
lebih baik dia simpan sendiri sekalipun.

"Ngapain coba cemburu sama Reno? Cemburu tuh


sama Yudha, Deri, temannya Meira yang sempat jadi
selingkuhan gue, Naufal, atau siapa kek. Reno tuh
temen lo sendiri!! Waktu lo ada apa-apa sama Meira,
gue gak kepikiran macem-macem karena Meira temen
gue. Lagian, bukannya selama ini lo biasa aja ninggalin
gue berduaan sama Reno? Lucu ya ngeliat lo tiba-tiba
jadi posesif kayak gini. Ada alesan lainnya ya?"
sindirnya.

"..."

"Yaudah kalau gak mau jawab, gue mau balik ngobrol


sama Reno, seenggaknya dia mau kasih tahu gue apa

416
yang gue penasarin soal masa lalu lo, Aluna ataupun
Jovan."

"..."

Karena Arka tidak meresponnya, mulut Natella jadi


makin nekat dan tidak terkontrol. "Gue tahu Aluna
udah mati dan lo dendam sama Jovan, Ka."

"..."

"Tapi itu bukan alesan buat lo mainin gue."

Setelah mengatakan itu dengan nada setenang


mungkin namun dada yang sesak, Natella membuka
pintu mobil yang sayangnya terkunci. Arka menekan
kunci otomatis dari pintunya.

"Buka dong, gue gak mau pulang sama lo."

Arka menggelengkan kepalanya, "gue pikir, setelah gue


memperingatin lo minggu lalu, lo bakal ngerti, Nat. Tapi
ternyata lo tetep sama."

Nggak, ini sama sekali nggak mirip dengan kejadian di


FK waktu itu, karena sengamuk-ngamuknya Arka, dia
masih membiarkan Natella pergi begitu saja. Tapi kali
ini nggak, Arka menahannya. Dan melihat bagaimana
reaksi cowok ini daritadi, Natella tidak bisa memungkiri
bahwa dia mulai merasa panik.

"You test me, so..." katanya dingin sebelum melajukan


mobilnya keluar dari parkiran.[]

***

417
418
Chapter 25. Power
The more you deny you have a dark side, the more
power it has over you.

***

Penilaian orang tentang Arkasa Sean Hadinata pasti


tidak jauh-jauh dari mendefinisikan cowok baik-baik.
Dia jauh dari kata nakal ataupun suka cari masalah
tak penting. Kalapun ada yang mengajaknya ribut, dia
lebih suka menyelesaikan urusannya pakai otak,
bukan otot. Tidak suka buang-buang tenaga untuk
persoalan yang menurutnya bisa di selesaikan dengan
kepala dingin.

Arka juga bukan tipikal cowok kasar. Jangankan


tindakkan, dia ngomong kotor saja bisa dihitung pakai
jari. Yang ada malah dia yang risih sama orang-orang
yang kasar. Mulutnya sopan, kelakuannya apalagi.
Arka lebih memilih bercandaannya dianggap tidak lucu
daripada menyinggung perasaan orang.

Dan dalam berteman, Arka sama sekali tidak pilih-


pilih. Dia bisa hang out dengan siapapun yang mau
berteman dengannya, tidak peduli latar belakang
ataupun karakter mereka. Jangan tanyain gimana
niatnya dia kalau udah nolongin orang, apalagi
temannya. He is really good at helping people. Makanya,
dia yang kelihatannya gampang banget buat
dimanfaatin orang lain.

Pokoknya kata-kata seperti 'baik-baik, polos, penyabar,


nggak suka cari ribut, suka menolong." itu merupakan

419
kata-kata paling pas untuk mendeskripsikan Arka di
mata orang-orang.

Sementara Natella kebalikannya, cewek itu nakal, licik,


fake, tukang cari ribut dan gemar bergossip.

"Tau gak, liciknya gue tuh nggak ada apa-apanya


dibanding Arka!" Natella menggerutu tiba-tiba, ditengah
makan siang menjelang sorenya di kantin bersama
teman dekatnya.

"Lo semalem minum ya?" tuding Meira curiga.


Habisnya, Natella daritadi terus makan dengan lahap
lalu tiba-tiba mengeluarkan topik yang tidak
nyambung.

"Iya, masih ngefly lo?" tambah Dennisa di sela-sela


melahap siomay kuah kacang langganannya.

Natella meletakkan sendok dan garpu yang daritadi dia


pegang ke atas piring, mie goreng yang dia pesan masih
tersisa beberapa suap lagi. Pikirannya terlalu campur
aduk sampai-sampai makanan favoritnya itu menjadi
sedikit tidak menarik.

Sudah menjelang sore, kantin FISIP yang ditempati


mereka itu mulai sepi. Natella sejak tadi
mengumpulkan mood untuk menceritakan apapun
yang dialaminya dengan Arka secara garis besar
kepada teman-teman dekatnya ini. Dia sama sekali
tidak terima kalau hanya dia satu-satunya yang tahu
fakta bahwa dia sebenarnya lebih waras dibanding
Arka.

Iya, mereka semua telah tertipu dengan image cowok


itu.

420
"Kalian nggak tau aja apa yang udah dia lakuin ke gue
kemaren malem." Ucapnya sok heboh, "ditambah
minggu lalu... sumpah, kalian pasti nggak percaya
kalau Arka bisa gitu!"

"Yaelah, drama lo gak kelar-kelar nyet." balas Meira


berdecak.

Jeana menatap Natella prihatin, "Katanya Nate udah


merelakan Arka dan nggak mau ganggu dia lagi."
tambahnya polos, "Jea udah duga sih pasti Nate bakal
balik lagi ke Arka. Nate kan selalu gitu, bakal lakuin
apa aja supaya bisa terus sama Arka."

"Jea sayang mulutnya memang suka bener ya."


Dennisa memuji perkataan Jeana yang kelewat jujur
sembari mengajaknya tos-tosan.

Natella memutar bola matanya, kesal dengan respon


teman-temannya yang malah sangat menyudutkannya,
tidak memberikan kesempatan untuk dia terlihat benar
sama sekali. Padahal kan yang teman mereka itu
Natella, bukan Arka. "Kali ini dia duluan yang gangguin
gue." Natella memberitahu, nada suaranya terdengar
tidak mau kalah. "Masa minggu lalu gue sampe diculik
ke puncak terus semalem gue di..."

"Fitnah lo makin jahat anying." potong Dennisa


menganggap yang diucapkan Natella hanya lelucon
yang dibuat-buat cewek itu. Cewek berambut pirang
hasil salon itu sampai geleng-geleng kepala. Natella kan
memang suka memfitnah Arka seenaknya.

"Kalian dengerin dulu cerita gue!" pintanya maksa.


"Jadi minggu sebelumnya kan gue jalan sama Yudha,
yang gue ceritain waktu itu. Yudha kayaknya punya

421
niat jahat sama gue nyet." lanjutnya, baru sempat
menceritakan ini pada mereka karena akhir-akhir ini
teman-temannya itu sibuk masing-masing mengurusi
tugas akhir.

"Kalau itu mah keliatan kali, lo aja yang bego mau aja
cabut berdua sama cowok freak bin creepy kayak
Yudha. Gue emang sempet kasih tahu Arka sih waktu
itu, dia datengin lo beneran ya? Baik banget tuh dia
sama mantan aja masih peduli." ucap Meira
mencerocos pedas. "Eh bentar, kalian balikan lagi gak
sih ini?"

"Hubungan Natella sama Arka kan gak pernah jelas,


Ra." sambung Dennisa. Disaat-saat tertentu, mulut
Dennisa memang bisa lebih nyinyir dari siapapun.

"GUE BELOM SELESAI..." Natella berucap kesal, habis


Meira tiba-tiba memotong ceritanya.

"Kayak lo gak suka aja motong-motong pas orang lagi


cerita." sindir Meira.

Jeana memperhatikan Natella, cewek berbaju pink itu


menangkap raut clueless ditengah-tengah tampang
judes andalan sahabatnya itu. "Kalau Yudha yang
nyulik Nate sampe ke puncak sih Jea percaya. Yudha
tuh serem banget ihh. Liat senyumnya aja, Jea takut."

"Nyet percaya deh si Arka lebih serem dari Yudha!"


Natella mencoba melanjutkan ceritanya yang daritadi
terus disangkal teman-temannya. Dia bukan penyabar,
tapi kepada siapa lagi dia bisa melampiaskan kegilaan
yang dirasakannya kalau bukan sama mereka? "Dan
bukan gue yang gila, tapi dia." lanjutnya belagak
misterius.

422
"Yaudah coba lo cerita jelas-jelas, kita dengerin."
Dennisa akhirnya sok pasrah ingin mendengarkan
Natella.

Natella meletakkan kedua tangannya di atas meja,


memasang tampang serius dan menghela napas
panjangnya. Kalau dia harus mengingat kejadian
kemarin malam dengan jelas, rasanya Natella ingin
menghuni rumah sakit jiwa saja.

"Kalau gue bilang, Arka nyulik gue karena marah gue


ninggalin dia, kalian percaya gak?" tanya Natella
dengan raut serius. Alasan Arka marah kepadanya itu
harus ditekankan. Iya, mereka harus tahu kalau kali
ini betulan bukan Natella yang berulah duluan.

Meira, Dennisa dan Jeana saling berpandangan satu


sama lain sebelum akhirnya menatap pasrah ke arah
Natella. "Hm, ya." jawab Jeana ragu, satu-satunya yang
memberikan respon sementara Dennisa dan Meira
hanya memberikan tampang datar mereka. "Beneran
gitu ya Nate?"

"Lo neguk oplosan ya bitch sampe jam segini masih


halu aja." Dennisa berbicara kesal, membuat Natella
akhirnya membasahi bibirnya. Memilih diam dan
membatalkan untuk melanjutkan kata-katanya.

They dont believe her. Bahkan teman terdekatnya


sendiri tidak percaya omongan Natella kalau Arka tidak
sesuci kelihatannya, gimana orang lain yang mengenal
dia sebagai cewek manipulatif? Apalagi mereka yang
sejak awal udah nggak suka Natella.

Arka benar, posisi dia selalu lebih menguntungkan dari


Natella karena image yang orang-orang tahu tentang

423
dia. Kalaupun Natella mau macam-macam sama Arka,
dia nggak akan menang, nggak kali ini.

Seperti yang cowok dingin itu katakan tadi malam, "you


know, I used to think we are in one team but you always
act like you need to defeat me. If you really want to
competite, then I am in."

Dulu, Arka pernah mengatakan pada Natella mengenai


dongeng 'The boy that cried wolf,' karena dia kesal
sama Natella yang kebanyakkan drama dan suka
melebih-lebihkan keadaan. Waktu itu, Natella sempat
masa bodoh dengan ucapan Arka, namun sekarang, dia
betulan merasa relate dengan dongeng itu.

Ceritanya sederhana, mengenai anak gembala laki-laki


yang bosan dan berteriak meminta tolong karena ada
serigala. Tapi, waktu warga desa menghampirinya,
dengan santai dia mengatakan, "aku bosan, makanya
berbohong." dia melakukannya beberapa kali, hingga
akhirnya dia betul-betul melihat Serigala. Namun, saat
berteriak meminta tolong, tidak seorangpun
mempercayainya.

well, nobody believes a liar, even when she/he is telling


the truth.

Natella lagi melamun saat merasa bahunya di tepuk


pelan, dia bahkan memekik kaget saat melihat ke
belakang, "anj..." ucapnya reflek, dilanjutkan dengan
sapaan sok manis dari teman-temannya untuk cowok
tinggi berkulit pucat yang baru datang dan duduk di
sebelah Natella, "hobi banget sih muncul tiba-tiba
kayak setan." gerutu Natella sinis tapi pelan.

424
"Natella kaget karena habis ngomongin lo tuh ka."
Meira memberitahu menggunakan nada bercanda.
Melihat kedatangan Arka kemari, barulah mereka sadar
kalau lagi-lagi dua orang ini memang gagal berpisah.
Yang ada di otak mereka, Natella pasti lagi-lagi
menggunakan cara liciknya agar mendapatkan Arka.

"Makin jahat aja tuh mulut dia ngomongin elonya."


tambah Dennisa.

Arka hanya memberikan senyum tipis dan raut belagak


bingungnya, "makin jahat?"

Dalam hati, Natella memaki Arka. 'Gakusah sok polos lo


anjing.'

"Lo dikatain habis ngapa-ngapain dia." ungkap Meira,


"yang ada nih anak kali yang ngapa-ngapain lo." lanjut
cewek itu sembari menoyor kepala Natella.

Arka hanya mengeluarkan senyum tipis belagak


cueknya.

"Omong-omong Arka bukannya sama Putri ya? Nggak


jadi?" Jeana mengeluarkan pertanyaannya dengan raut
bingung yang kentara.

"Putri?" tanya Arka balik, memberikan raut yang tidak


kalah bingung. "Kenapa sama Putri?"

"Itu malem minggu kemaren Nate bilang kalau Arka


deketin Putri terus udah mau jadian. Makanya Nate
mau move on sama Yudha aja."

Natella menatap kesal ke arah Jeana yang kadang


mulutnya tanpa sengaja tidak kefilter.

425
"Putri bulan depan udah mau tunangan. Bisa dihabisin
cowoknya gue macarin dia." Jawab Arka seadanya, dia
bahkan sempat tertawa kecil. Dia juga tidak kelihatan
terganggu dengan ungkapan Jeana yang sebenarnya
baru saja memperjelas kalau lagi-lagi Natella telah
membuat cerita yang mengada-ada tentangnya. Antara
sudah terbiasa dan memang pasrah.

"Kalau Putri gak ada cowoknya paling beneran jadi."


sindir Natella jutek sekaligus nyinyir.

"Dari Mentari, terus Putri. Banyak juga ya cewek gue.


Entar siapa lagi, Nat?" tanya Arka kemudian, cukup
sarkastik meskipun suaranya masih santai.

Natella lumayan kaget, tumben-tumbenan Arka mau


merespon hal kayak begini.

"Udah, yuk, pulang." Ajaknya pada Arka. Merasa


bahwa teman-temannya sendiri semakin tidak seru
karena semenjak kejadian Meira waktu itu, mereka jadi
lebih pro Arka dibanding Natella.

***

Katanya, marahnya orang penyabar itu lebih


menyeramkan dibanding orang yang aslinya memang
pemarah. Natella tahu kalau itu memang benar, dia
nggak suka ngeliat Papanya yang selalu santai itu
marah, apalagi pakai nada tinggi. Makanya dia tidak
suka cari gara-gara sama Papanya.

Kemarin malam, Arka marah sama dia. Lebih marah


dari sebelum-sebelumnya. Seharusnya Natella
memahami kalau peringatan Arka sebelumnya itu
bukanlah sesuatu yang harus dia permainkan. Cowok

426
itu tidak perlu menggunakan nada tinggi untuk
membuatnya keringat dingin dan merasa ciut. Dia
cuma butuh kata-kata sinisnya yang penuh intimidasi.

Arka betulan membuat perasaannya campur aduk


dengan apa yang dia katakan dan dia perbuat kemaren
malam.

"Aku masih marah ya sama kamu." Natella


mengungkapkan isi pikirannya saat mereka berdua
sudah sama-sama berada di dalam mobil Arka. Tiba-
tiba karena otaknya lagi-lagi malah mengingat kata-
kata Arka malam itu.

"Bukannya udah damai?"

"Nggak jadi." ucapnya, lagi-lagi berubah pikiran begitu


cepat. "Soalnya aku merasa ini nggak adil."

"..." Dahi Arka berkerut, tangannya memegang stir


sementara matanya lurus menatap jalan, menunggu
Natella melanjutkan kalimatnya.

"Kamu udah memperkosa aku."

"You agreed to do that conciously."

"Tetep aja kamu awalnya maksa dan aku merasa di


jebak!" bantah Natella, tidak mau terlihat salah. "Mana
kamu ngancem-ngancem aku lagi."

"You were the one who asked me to continue."

"Ih nggak ada! Kamu licik banget tau gak kayak raja
ular. Nyebelin, jahat, tapi semua orang gak ada yang
mau percaya aku." Lanjut Natella, kalau dia udah

427
ngomong dengan kalimat berlebihan begini, Arka betul-
betul merasa ingin menyerah dan iya-iya aja. Biar
cepat. "Nggak adil."

Arka menghembuskan napasnya, matanya masih fokus


ke arah jalanan yang lagi macet-macetnya. Siapa suruh
nganterin Natella pulang ketika cewek itu bisa pulang
sendiri?

"Bete banget sama Meira, Dennisa, Jeana, temen


macem apa yang gak mau percaya cerita temennya
sendiri."

"Yaudah, ceritanya ke aku aja."

"Cerita apa?"

"Cerita kalau Arkasa ternyata brengsek?" dia


mengatakan itu pakai nada tanya. Membuat Natella
yang tadinya beraut kusut reflek tertawa.

"I am going to believe you."

"Kok jadi bisa ngelucu sih?" tanya cewek itu kemudian.


Dia tertawa cukup lama kemudian berkata lagi sebelum
berdehem beberapa kali, "jadi masa ya hari minggu
kemaren aku diculik, dibawa ke puncak. Hampir diapa-
apain tapi malah nggak jadi. Katanya dia nyulik aku
karena kesel aku mau ninggalin dia. Padahal dia bilang
dia nggak cinta sama aku. Mana belum move on lagi
sama masa lalunya. Brengsek banget, kan?"

Mendengar itu, Arka kayaknya mau nyangkal, kata-


katanya udah ada diujung lidah, tapi dia memilih diam
dan melanjutkan mendengarkan cerita random Natella
tentang apa yang diperbuatnya kepada perempuan itu.

428
Gaya berbicara Natella menceritakan pengalaman-
pengalaman biasanya, meskipun sesekali disertai nada
menyindir.

He is feeling guilty, really.

"Besoknya, kita damai. Terus aku jalan sama Reno, gak


ngerti kenapa dia tiba-tiba dateng terus narik aku buat
keluar. Dia bilang dia cemburu, tapi nggak masuk akal
aja cemburu sama Reno. Habis itu kita ribut lagi,
biasalah ribut kan emang sering. Tapi kayaknya
kemaren aku terlalu kasar atau menyinggung dia
sampai dia marah banget..."

Natella menghentikan ceritanya sebentar, mgambil


napas. Dia melirik ke arah Arka, "Semarah-marahnya
Arka selama ini, dia paling diem dan gak mau natap
aku. Tapi kemaren, dia bawa aku ke hotel. Dia natap
aku pake matanya yang kayak berapi-api. Serem
banget, sumpah, aku sampe takut."

Natella mendapati Arka menguap kemudian menutup


mulutnya, "ih, Ka, dengerin dong cerita aku!"
protesnya. Karena Arka menunjukkan reaksi bak tidak
tertarik.

"Iya ini didengerin. Lanjut." katanya cuek.

"Terus dia bilang dia udah berusaha sabar selama ini


menghadapi aku yang suka jahat sama dia. Dia
percaya banget sama aku. Tapi gak bisa lagi, dia udah
capek banget. Makanya kata dia, jangan salahin dia
kalau jahatin aku balik."

"Hm, terus?"

429
"Terus aku di grepe-grepe, habis itu..."

Mendengar bagian ini, muka Arka seketika memerah,


"bagian itu skip aja." Pintanya.

Natella memandang Arka lagi, sekali lagi mengucapkan


protes "Kan bagian itu yang paling seru!"

"Nggak." balasnya singkat.

Natella yang tadinya tampak sedikit bersemangat


langsung memasang tampang masamnya. "Cupu lo."

"..."

"Nah intinya dia nidurin aku. Awalnya dia main kasar,


kan lagi ngamuk, tapi ternyata enak juga..."

"Nat." tegurnya, mukanya makin merah. nggak ngerti


kenapa Natella bisa-bisa mengucapkan pengakuan
kayak gitu secara frontal.

Dengan masa bodoh, Natella melanjutkan, "aku kayak


nggak kenal dia, waktu itu aku beneran kehilangan
cowok aku yang polos dan menggemaskan, pokoknya
dia kayak antagonis di film-film. Bukan cuma itu, dia
juga bilang kalau dia bisa jahatin aku sejahat-jahatnya,
kalau aku masih nyakitin dia. Aku pasti nyesel. Psycho
banget gak?" tanya Natella meminta persetujuan.

Arka menganggukkan kepalanya, "parah banget tuh si


Arka." komentarnya.

"Itu belum seberapa. Habis dia nidurin aku, aku, aku


penasaran dia udah berapa kali nidurin cewek soalnya
lumayan jago, tapi dia nggak jawab, aku paksa jawab,

430
dia ngambek langsung ke kamar mandi buat bersih-
bersih. Dan teranjingnya tuh dia malah nongkrong di
balkon dan ninggalin aku tidur sendirian. Pura-pura
lupa kalau dia masih punya janji cerita yang belum dia
bayar sampe sekarang."

"Brengsek tuh cowok." Arka sekali lagi memberikan


komentarnya.

"Iya, marahin dong." balas Natella asal. Seru juga cerita


kayak begini pada Arka.

"Oke."

"Emang kamu berani?" tanyanya.

Arka mengangukkan kepalanya, malah nurut-nurut


saja sama imajinasi abstrak Natella, "dia keterlaluan."

Setalah itu, Natella kembali memperlihatkan tawanya.


Dia kenal Arka udah 3 tahun, pacaran hampir 2 tahun.
Tapi, dia belum pernah merasa sedekat ini dengan
Arka. Mungkin karena Arka sudah mengurangi
kepalsuannya di hadapan Natella. Mungkin karena
Arka akhirnya mau sedikit terbuka pada Natella. Ya,
meskipun hanya sedikit sekali.

"Omong-omong, Mentari seharusnya berterimakasih


sama aku. Coba tuh kalau yang manis-manis kayak dia
yang jadi sama kamu terus kamu tiba-tiba sifat gila
kamu keluar. Bisa toxic banget..."

"..."

"Ya aku kan emang udah toxic dari awal, kalau dikasih
racun lagi dan dosisnya pas bisa jadi obat."

431
Arka tertawa mendengar ucapan Natella yang makin
random dan nggak jelas. "Apasih, Nat."

"Terus nih ya, misal kamu mau ngancurin nama baik


aku, ya ancurin aja kan nama aku emang gak ada
baik-baiknya. Aku masih bisa selow. Coba kalau
Mentari? Kan kacau."

"Selow beneran?" tanya Arka.

Natella menggelengkan kepalanya, "udah ya kita damai-


damai aja." balasnya. Cewek itu kemudian
menyandarkan kepalanya di kursi mobil Arka, sudah
mau sampai rumahnya, sudah masuk ke bagian
perumahan, "Pokoknya aku masih marah sama kamu
sampai kamu mau cerita soal Aluna."

"..."

Melihat raut Arka yang mengeras, Natella berkomentar


lagi, "Ih, jangan sensi dong. Kan kamu yang janji dari
kapan mau cerita tapi nggak jadi-jadi."

"Nanti."

"Sakit banget ya?"

Arka tentu menganggukkan kepalanya. Membuat


Natella berkomentar kesal dalam hati, dasar bucin gak
bisa move on.

"Tapi masih sakitan lihat kamu marah." gumamnya.

"Hah?"

432
Arka menghembuskan napas berat, mobilnya sudah
berhenti di halaman depan rumah Natella "You are
going to hate me more." bisiknya. Mobil yang ia kendarai
sudah berhenti. "Makanya, aku bakal cerita kalau
kamu udah nggak marah."

"Ini udah nggak marah, tau." bohongnya.

Arka melihat jam tangannya sebentar lalu


menggelengkan kepalanya, "nggak ada waktu."

"Alesan."

"..."

"Yaudah, aku ngalah." Kata Natella pasrah kemudian.

"Nat." Panggil Arka sebelum cewek itu keluar dari


mobilnya.

"Hmm?"

"Sorry."

"Iya." balas Natella, sudah membuka pintu mobil untuk


turun.

"Aku sayang kamu." ungkapnya pelan. Pada akhirnya


ucapan itu tidak hanya tertahan diujung lidah

Bagi Arka, ngungkapin perasaan sayang itu lebih susah


dibanding menunjukkan.

Bagi Arka, ngungkapin perasaan sayang itu udah sama


sakralnya dengan janji nikah

433
Bagi Arka, ngungkapin perasaan sayang itu ada beban
yang harus dipertanggungjawabkan.

Selama ini dia takut, mungkin rasa takutnya lebih


besar dari keinginannya untuk mengugkapkan.

Hari ini dia masih takut. Tapi seenggaknya, Natella


pantas untuk tahu.

Tahu kalau dia membutuhkan cewek itu dari yang


dirasakan cewek itu kepadanya.

***

434
Chapter 26. Brotherhood Confession
Reno keluar dari kamarnya, baru selesai mandi. Dia
tidak pulang ke apartemen kemarin malam, baru hari
ini. Saat dia keluar kamar, dia mendapati Arka baru
saja melewati living room dengan raut dan aura yang
tidak bersahabat.

"Masih ngamuk lo sama gue?" tanya Reno sok asik.


Yang jelas, Arkasa melewatinya bak tidak melihat
keberadaan Reno disana. "Hadeh bangsat," rutuknya
kesal.

Arka masuk ke kamarnya, meninggalkan Reno yang


akhirnya berjalan ke arah sofa depan TV. Cowok itu
mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, masuk ke
kamar mandi untuk mandi. Lagi-lagi pikirannya
membuatnya gila sendiri.

Dia selalu benci saat pikirannya mengganggu dan dia


tidak berniat untuk melakukan apapun selain
membiarkan pikirannya menyiksa dirinya.

Air dingin yang turun dari shower dan membasahi


badannya. Dingin, terlalu dingin sampai-sampai dia
merasa menggigil. Namun, cowok itu tetap tidak berniat
memutar ke arah air panas.

Berharap bahwa otaknya akan fokus pada air dingin itu


dibanding cara untuk menghukum dirinya sendiri yang
bodoh.

"I hate myself." Ucapnya pelan dan berkali-kali.

435
Di satu sisi, dia merasa pulang ke apartemen
merupakan pilihan yang salah. Dia bisa saja mampir ke
sekre, melakukan pekerjaan apapun yang bisa dia
lakukan disana, atau berkumpul dengan teman-
temannya. Yang penting dia sibuk.

Dia tidak seharusnya sendirian. Tidak disaat kayak


begini.

Tiga puluh menitan berlalu, cowok itu keluar dari


kamar mandi. Mengelap badannya dengan handuk
kemudian memakai boxer. Menghidupkan musik
sekencang mungkin pada Ipodnya.

Cowok tinggi berkulit pucat itu kemudian berjalan ke


arah meja yang berada di dekat kaca, membuka lacinya
dan kesal sendiri saat tidak menemukan benda tajam
apapun disana.

"Shit." rutuknya. Tidak tahan untuk tidak berkata


kasar. Apalagi ketika dia mendengar volume suara
menjijikan dari arah living room.

Dengan terpaksa, dia memakai kaos yang diambilnya


asal dalam lemari dan berjalan keluar. Mematikan TV
yang sedang di tonton Reno.

"Jadi gini ya cara mancing lo keluar." ucap Reno.


Cowok yang sedang mengemil chitato dengan
berkaleng-kaleng Heineken di atas meja di depannya
itu memandangi Arka yang berdiri di depan TV.
"Tenang bro, lo bukan satu-satunya orang bodoh di
dunia ini. Mending sini, duduk di sebelah gue dan
menikmati hidup." lanjutnya merayu.

"..."

436
"Life sucks, but we can make it lick and bite." Reno
masih mengucapkan kata-kata ngaurnya, "sekarang
mending lo hidupin lagi TVnya dan duduk disebelah
gue," lanjut Reno sembari menepuk-nepuk tempat
kosong disebelahnya.

Setelah berpikir dan menimbang, Arka akhirnya


memilih duduk di sebelah Reno, tapi tidak
menghidupkan TV. Reno mengambil beer yang di atas
meja, memberinya pada Arka, "gue tau lo gak suka
ginian. Tapi kalau sekali-sekali gak bakal ngerusak
liver lo kok."

Anggap Reno adalah setan yang terkutuk dan Arka


imannya sedang dalam keadaan lemah. Cowok berkulit
pucat itu membuka kalengnya lalu menegak langsung
beberapa teguk. Reno tertawa, ia memberikan
sebungkus ciki yang tadi dia beli di CK untuk Arka,
"makan tuh mecin."

Lagi-lagi Arka menurut, membukanya lalu


memakannya. Reno berdiri, dia berjalan ke arah TV
dan menghidupkan lagi yang tadinya di matikan Arka.

Cowok itu memegang remot sambil mengatur suaranya,


"Dalam buku biologi anak SD, salah satu kebutuhan
pokok manusia itu berkembang biak. Atau bahasa
lainnya, menyenangkan selangkangan. Cuma orang
dewasa yang aseksual yang nggak suka nonton bokep."

"Lo emang setan," balas Arka sembari berdecak.

"Pasti selalu ada fase dalam hidup dimana manusia itu


melupakan prinsip."

437
Reno kemudian nyengir, dia kembali duduk di sebelah
Arka dan membuka kaleng beer berikutnya.

"Yua Mikami cantik ya," gumam Reno melihat cewek


yanh ada di layar TV. "Tapi berisik."

"Hmmm."

"Seminggu yang lalu gue tidur sama cewek, temennya


temen gue. Cakep sih, jago juga. Tapi ternyata bini
orang. Tadi pagi dia nelpon gue, nangis-nangis,
ketahuan lakinya kalau ada main sama gue. Lakinya
minta cere, terus dia minta bantuan gue." Reno
meneguk lagi cairan dari kaleng beernya itu.

"Kalau dia minta bantuin proses cere sih gue bisa. Lah
ini? Minta bantu agar gue nggak ninggalin dia. Kan
sinting."

"You are mature enough to take responsibilites of your


actions," balas Arka santai.

"Man, gue suka ONS karena gak seharusnya dapet


konsekuensi kayak gini."

"Gak seharusnya bukan berarti gak mungkin."

"Tumben lo banyak jawab, biasanya diem aja,"


komentar Reno. Cowok tinggi itu meneguk lagi beernya,
matanya fokus ke layer TV, "Gimana Natella? Udah lo
certain semuanya?"

"Tadi gue bilang gue sayang dia." ucapnya. Cowok itu


kemudian mengambil satu kaleng beer milik Reno lagi
dan membukanya.

438
"Dan dia nggak percaya?" tebak Reno.

Raut Arka memang biasanya datar, tapi Reno


menangkap cowok disebelahnya itu terlihat kaget,
"gimana lo bisa tau?"

"Gue kalau jadi dia juga gak mungkin percaya, goblok,"


balas Reno jujur. "Telat lo ngomongnya." cowok
jangkung itu berdiri, dia berjalan kearah buffet dekat
kulkas dan mengeluarkan 2 botol wine yang dia simpan
disana, ia juga mengambil 2 gelas kaca sekaligus es
batu dalam freezer.

"You know, I never really understand my feeling,"


gumamnya. "Emangnya tindakan gue selama ini gak
menjelaskan kalau gue sesayang itu sama dia?

Iya, tindakkannya yang selalu sabar dan percaya


apapun yang cewek itu lakukan, meskipun Arka sadar
bahwa dia tidak bisa lagi mempercayai Natella
semenjak kejadian di Singapura waktu itu.

"Lo emang baik, tapi baiknya ke semua orang." ia


menuangkan es batu dalam cetakkan ke dalam gelas,
berikut wine dengan jumlah alkohol lebih banyak
dibanding beer yang mereka coba sebelumnya. "Mbak-
mbak resepsionis bawah aja ngerasa lo demen dia,"
lanjutnya.

Arka menganggap yang diucapkan Reno barusan hanya


lelucon.

"Asal lo tahu, Natella selama ini mikirnya lo suka


Mentari." Reno berkata lagi. Menyadari teman
disebelahnya ini bermental tuan muda, dia
menuangkan satu gelas wine lagi untuk Arka. "Nih

439
minum, harganya mahal, ganti pake voucher hotel!"
lanjut Reno bercanda.

"Serius?"

"Apa?"

"Natella beneran mikir gitu? Lo juga? Gak bercanda?"

"Gak semua yang keluar dari mulut gue candaan,


bangsat." Reno geli sekaligus ngeri sendiri. "Gila ya
bisa-bisanya gue punya temen dengan jalan pikir kayak
elo, IQ boleh tinggi, tapi EQ jongkok ya percuma."

Arka diam sebentar, menegak habis sampanye yang


diisikan Reno pada gelasnya, "Didnt she just make
unfunny jokes?" lanjutnya lagi, masih tidak mau pecaya
apapun yang dikatakan Reno. Dia kemudian
menuangkan minuman beralkohol itu lagi ke dalam
gelasnya. "Gue memang suka Tari."

Tapi memang panggilan akrab Arka untuk Mentari.

Reno melirik ke sebelahnya sebentar. "Wah emang


bangsat."

"Dia baik, pinter, lucu. I really want to have a sister like


her," curahnya. Dan mungkin ini adalah kali pertama
dia bisa bercerita banyak pada orang lain setelah
bertahun-tahun berakhir. Berkat alkohol. "Waktu gue
kecil, nyokap selalu janji buat kasih gue adek cewek
yang mau nemenin gue. Tahu sendiri Richard terlalu
tua buat nemenin gue main. Tapi sampe sekarang,
adeknya gak lahir-lahir," lanjutnya ngelantur, ada nada
sedih dan kesepian terselip disana.

440
"Lo pikir bikin adek segampang bikin Wonder Women
yang emaknya tinggal ngeludah di tanah terus ditiup
sama Zeus lalu lahirlah perempuan secantik Gal
Gadot?" Reno membalas asal. "Iyasih lo pengen punya
adek, tapi bukan berarti semua cewek lo ajakin kakak-
adek-zone, kampret."

"Mentari juga biasa aja sama gue."

"Kata lo biasa, kata dia belum tentu."

Arka terlihat bingung sekaligus berpikir keras, "emang


mungkin Tari suka gue?," lanjutnya mengungkapkan
pada Reno.

Tapi Reno tidak menjawab, capek mencaci maki cowok


ini daritadi. Kalau dilihat-lihat, kadar kepekaan
seorang Arkasa Sean Hadinata mengenai perasaan
orang lain kepadanya benar-benar buruk.

"Tau gak Ren, sempet mikir kalau Natella ada apa-apa


sama Tari. Dia tahu semua tentang Tari, like she was
obsessed about her. Cowoknya dia kan gue, bukan Tari.
Ngapain dia harus sepeduli itu sama Mentari?"

"..." Arka menjeda sebentar, melanjutkan kegiatan


seperti sebelumnya, membuka botol baru lalu
menuangkannya dalam gelasnya.

"Natella sekarang berubah, Ren. Dia makin aneh,


sengaja ngejauhin gue. She used to promise me that she
won't leave me."

"Nyet, pelan-pelan gila lo bisa mabok kalo minum


kayak gitu." Reno berdecak melihat Arka yang terus
buru-buru menuangkan wine ke dalam gelas kemudian

441
meminumnya. "Lo beneran harus cari cara
meningkatkan EQ." komentar Reno.

"Makanya gue mulai ngerasa dibohongin."

"..."

"If she really loved me, she would not try to leave me."

"..."

"If she really loved me, she should believe me."

"..."

"If she really loved me, she was not supposed to hurt me
purposefully."

"..."

"But she don't, I know that." bisiknya. "She doesnt love


me anymore, Ren."

"Arkasa, you are drunk." Ucap Reno berkomentar. "Lo


bacot juga ya kalau lagi kobam."

Reno tertawa mengejek, dia dapat melihat mata Arka


yang tampaknya udah berat. Merem-melek. Siapa
suruh menghabisakan wine kayak orang kesetanan.
Apalagi saat otaknya tidak terbiasa. Tidak untuk
beberapa tahun terakhir.

"Gue sayang Natella, Ren."

"Bodo."

442
"Gue gak mau Jovan nyakitin dia."

"..."

"Gue gak mau siapapun nyakitin dia. Gue bahkan gak


mau diri gue sendiri nyakitin dia."

"Emang gak seru ya minum-minum sambil nonton


bokep bareng lo, gak bikin klimaks." ucap Reno asal,
dia akhirnya mengganti siaran TV yang sangat berisik
itu.

Lalu keduanya masih melanjutkan percakapan mabuk


mereka yang sederhana, jujur, tapi penuh
kefrustasian.[]

***

443
Chapter 27. Honesty

They said, love is daydream.

For him, it's actually a nightmare.‟

Until he met her.

He learns about love once again.

It's still a nightmare.

but with her, he feels it more beautiful than daydream.

Hari sudah semakin larut, menginjak waktu tengah


malam. Suara musik EDM dari Marshmello terdengar
memenuhi living room apartemen itu. Kata Reno, biar
berasa kayak lagi di Pub-Pub. Bukan saja Arka yang
sekarang terlihat teler, Reno pun merasa kepalanya
sudah melayang-layang.

Reno menampakkan tawanya ketika dia melihat ke


arah Arka yang tangannya masih memegang gelas, "ini
kali pertama lo mau gue ajak mabok."

"..."

"Tadinya pengen gue ajak ke Pub, tapi lo pasti ogah."

444
"..."

Reno memegang kepalanya yang agak pusing, "Don't


hurt yourself, nyet."

"Apaan."

"Gue tau lo terlalu baik dengan menanamkan pikiran


semacem 'I'd rather hurt myself than other people', tapi
itu sama salahnya dengan nyakitin orang lain."

"Lo ngomong apasih." protes Arka, belagak tidak


mengerti. Banyak hal yang mereka omongin daritadi.
Dan untungnya kali ini, Reno bukan satu-satunya yang
berbicara sementara Arka hanya mendengarkan.

"Lo tahu apa yang gue omongin." tekan Reno


kemudian. "Lo mau ngulang lagi, kan? Mau cutting kan
lo?" tembaknya langsung. Well, dia telah mengamankan
cutter dalam laci meja cowok itu.

"..."

"Gue tahu lo udah lama berhenti. Kenapa ngulang


lagi?"

Arka buang muka, dia kembali menjadi dirinya yang


serba misterius dan tidak mau buka mulut.

"Nyet, ngomong dong anjing."

Arka meminum seteguk lagi dari gelasnya, tidak bisa


berkilah karena kelihatannya, Reno tahu banyak.
"Santai, besok gue temuin Psikiater."

445
Reno mengikuti langkah Arka sebelumnya, dia
menambah minuman yang tinggal sedikit itu ke dalam
gelasnya. Dia menatap langit-langit ruangan ini,
meresapi musik Marsmello yang berjudul Silence.

Reno bukan tipikal orang yang peduli terhadap orang


lain. Dia hanya ikut campur sekedarnya saja. Tapi dia
tampak seperti orang yang terlalu ikut campur
terhadap Arkasa. Padahal Arka kelihatan sangat tidak
suka apabila hidupnya diusik orang lain.

Masalahnya, Reno sadar kalau bukan dia yang


mengingatkan dan memberitahu, tidak akan ada lagi
orang lain yang akan melakukannya, apalagi orang
tuanya jauh. Arka memang punya banyak teman.
Banyak sekali yang menyukainya, ingin dekat
dengannya atau merasa nyaman bergaul dengan cowok
itu. Tapi, Reno berani bertaruh bahwa tidak satupun
dari mereka yang menyadari betapa kesepiannya cowok
itu.

"Lo aneh-aneh lagi, gue aduin beneran ke Natella."

"Don't you ever dare."

Reno berdecak, "Lagian gue gak bisa ngerti, bisa-


bisanya lo gak pernah ceritain Aluna sama sekali ke
dia. Wajarlah dia langsung mikir kerjauhan, apalagi
Jovan sepupunya."

"Awalnya itu cuma masa lalu, Reno." Dia berbicara


pelan. "Dan Natella bakal benci sama gue kalau gue
kasih tahu."

"Cuma masa lalu apanya kalau lo gak bisa move on."


Reno membalas ceplas-ceplos.

446
"Masa lalu yang seharusnya gak usah gue bagi-bagi ke
siapapun."

"..."

"Gue jahat, Ren."

Ya, dia jahat pada Aluna, dia jahat pada Jovan.

"..."

Mulutnya yang sejaktadi mengatakan hal-hal dengan


nada ngelanjut semakin ngelantur. "Gue anjing. Gue
bangsat. Gue brengsek. Gue goblok. Gue tolol..."

"Berhenti, anjing." ucap Reno. "Lo jarang ngomong


kasar, sekalinya ngomong kasar malah caci maki diri
sendiri."

"I fucking hate myself." lanjutnya frustasi.

"Kalau gue rekam lo lagi gini dan masukin instagram,


kabur semua tuh dedek gemes lo" lanjut Reno usil.

"I always hate myself." ungkapnya. "I hate myself even


more right now."

"Lo kurang apasih anjing." keluh Reno lagi, kepalanya


sudah menyandar di ujung kursi. Ini kali pertama Arka
menunjukkan kepada Reno bahwa dia bisa berada di
titik selemah ini dan begitu rapuh, terlepas dari segala
yang dia miliki ataupun dia capai. After all, nobody is
perfect because perfection is only illusion.

"Tiap Natella bilang dia sayang gue, gue seneng.


Makanya, apapun yang dia lakuin ke gue, gue selalu

447
bisa maafin dia. Padahal dia jahat, Ren. Dia pernah
nuduh gue selingkuh, caci-maki gue, malah dia yang
coba-coba selingkuh..."

"..."

"Dipikir hati gue nggak sakit?" lanjutnya, nada


suaranya meninggi, menunjukkan emosi yang selama
ini dia simpan rapat-rapat. "Sakit banget anjing."

Kemudian cowok itu tertawa, tawa yang agak sinis, dia


mentertawakan diri sendiri. Sementara Reno
memasang telinganya untuk mendengarkan.

"I believe her, Ren. I fucking believe her that much."


ungkapnya sedih. "Dan gue berusaha sekuat mungkin
untuk nggak nyakitin dia, makanya gue ngalah."

"..."

"But when we were in Singapore, she said she was tired


of me. She wanted to leave me. I dont want to believe her
since that time."

"..."

"Terus setelah itu, dia malah terus-terusan menyakiti


gue. And I can't stay sane anymore."

"..."

"Minggu lalu, dia jalan bareng Yudha. Si Yudha anjing


bisa-bisanya mau nyelakain cewek gue. Dasar
bangsat."

448
"Hah?" tanya Reno mulai tidak nyambung. Agak kaget
juga melihat Arka mencaci orsng lain. Padahal tadi
yang kelihatan teler lebih dulu itu Arka, tapi dia masih
bisa bacot panjang sampai sekarang. Meskipun tadi di
pertengahan banyakkan Reno yang bacot. "Kan udah
gue bilang kalau Yudha itu... agak gila."

"She put rape-drugs into Natella's drink."

"..." Reno speechless.

"Tapi Natella mikirnya malah gue yang mau nyelakain


dia."

"Terus lo apain si Yudha?"

"Cuma gue kasih tahu." balas Arka seadanya.

"Kasih tahu pake tangan atau kaki?" Reno tentu dapat


membaca isi pikiran Arka.

Cowok itu kembali menunjukkan tawa khas orang


mabuknya, "dua-duanya." ungkapnya. "dikasih tahu
pake mulut gak mempan."

"..."

"Cewek lain banyak, ngapain harus cewek gue?"

"Mati gak dia?"

Arka menggeleng, Reno bisa bernapas lega mendengar


itu.

"Gue bukan pembunuh kali."

449
"Itu baru temen gue." lanjut Reno sembari
menunjukkan jempolnya.

"Tapi gue sayang Natella." lanjutnya lagi, semakin


melantur.

"Gak nyambung lo."

"I love her, she hurts me. Haha haha haha. Lucu ya."
lanjutnya. "But I hurt her too even if I dont want to."

"..."

"and sometimes, when we try too hard not to hurt


someone we love, we hurt them even more." lanjutnya,
masih melantur.

"Tolol emang. Cewek lain banyak."

"Gak mau yang lain, mau Natella."

"..."

"Mau Natella balik kayak dulu. Bisa gue percaya."

"..."

"Bikin ilfil lo najis."

Arka tertawa lagi, makin kayak orang gila. Reno


betulan kehilangan citra Arka yang selama ini dia lihat.
Kadang Arka kelihatan kayak orang dewasa yang bijak,
tapi kali ini dia betulan kelihatan kayak anak kecil.

Anak kecil pemberontak.

450
"I've slept with her." akunya.

"Elo?"

"Iya."

"Bagus dong, gue pikir lo aseksual." lanjut Reno


bangga.

"Tapi gue nyakitin dia, Ren."

"Kenapa?"

"Gue maksa."

"So you fucking raped her?"

"I really wanted to stop, but she asked me to continue."

Giliran Reno yang tertawa, lumayan ngakak. "Yaialah,


namanya juga enak." lanjut Reno, dia memang lagi
mabuk. Tapi masih ingat bagaimana kelakuan Natella
selama ini. Kalaupun Reno jadi cewek, dia juga nggak
yakin bisa nolak Arka.

Lalu Reno tiba-tiba teringat sesuatu.

"Rusak sih ini." ungkapnya. berharap banyak kalau dia


tidak terlalu mabuk sehingga bisa membuang semua isi
pikirannya untuk Arka. "Gue baru inget. Kemaren, pas
Natella makan sama gue, dia bilang dia pernah denger
lo ngomong sama nyokap lo soal perasaan lo."

"..."

"You said, you dont love her."

451
Arka terdiam, kepalanya semakin nyut-nyutan.

"I've told her that I was lying about that." ugkapnya. Lalu
cowok itu berdiri.

"Mau kemana?" tanya Reno.

Cowok yang lagi sempoyongan itu bersusah payah


berjalan ke arah kamarnya meskipun berkali-kali
nyaris terjatuh.

Arka mengambil handphonenya yang tergeletak di


tempat tidur, mencari nomor handphone Natella.
Badannya terduduk disana, sudah tidak kuat lagi
untuk berdiri.

Butuh berkali-kali deringan hingga akhirnya dia


mendengar suara sapaan,

"Nat, aku nggak sayang Mentari, aku nggak sayang


Aluna, aku sayangnya sama kamu." ucapnya sunguh-
sungguh. Tapi suaranya terdengar jelas kalau dia lagi
mabuk.

Arka tidak tahan. Badannya yang tadi terduduk


akhirnya tergeletak di atas kasur, beberapa detik
sebelum matanya terpejam, dia dapat melihat
panggilan telepon yang masih terhubung itu di layar

Itu 'mama Natella', bukan 'Natella'

***

452
Chapter 28. Dark Side
Dalam hidup, kadang kita melakukan sesuatu yang
sangat bukan kita. Sekuat apapun prinsip seseorang,
di keadaan tertentu, mereka bisa saja memilih pilihan
yang berbanding terbalik dengan segala yang tertanam
dalam otaknya.

Arkasa membuka mata pukul setengah lima pagi.


Kepalanya yang pening membuatnya tidak bisa tertidur
dengan nyenyak. Cowok berkulit putih pucat itu
mendapati badannya terbaring diujung tempat tidur,
bisa terjatuh jika dia bergerak sedikit saja. Lampu
kamar juga terlalu terang ketika dia tidak pernah lupa
mematikan lampu sebelum tertidur.

Satu-satunya yang ia pikirkan saat itu ialah mencari


air mineral yang bisa membantu menyembuhkan
kerongkongannya yang kering dan perih. Cowok itu
menurunkan kakinya dari atas tempat tidur untuk
menemukan handphonenya terjatuh di atas lantai. Ia
mengambilnya, mendapati beberapa panggilan tidak
terjawab dari kontak 'Mama Natella'.

Dahinya menyerngit, tumben Mama Natella


menelponnya, mencoba mengingat kembali kejadian
semalam yang hanya samar. Lalu, kesadarannya yang
tadinya hanya setengah, langsung manghantamnya
seketika.

"Mampus..." makinya untuk diri sendiri. Pantatnya


kembali terjatuh di empuknya tempat tidur. "How could
you be this stupid?" Dia meremas rambut
berantahkannya karena frustasi, menyadari apa yang
sudah dilakukannya tadi malam.

453
Well, semua manusia memang pernah membuat
kesalahan. Tapi, Arkasa merasa kesalahan yang dia
buat terlalu beruntun, bodoh dan memalukan.

Seperti, kenapa dia memilih untuk minum-minum tadi


malam? Kenapa dia membiarkan dirinya hangover
sampai tidak bisa mengontrol dirinya sendiri? Itu
bukan kali pertama dia minum, bahkan sampai
mabuk. Tapi kali pertama dia kehilangan kendali
terhadap dirinya yang entah telah melakukan apa saja.

Dia harus meminta maaf pada Tante Dian, Mama


Natella. Bagaimanapun, dia salah karena sudah
mengganggu tidur perempuan itu. Dalam versi
kesopanan manapun, menelpon orang yang lebih tua di
jam tidur untuk mengatakan hal tidak penting adalah
hal paling tidak sopan di dunia.

"You have made a fatal mistake."

Arka kemudian keluar kamar pukul lima kurang


duapuluh, berjalan ke arah kulkas untuk meminum air
mineral sebanyak yang tubuhnya butuhkan.
Sayangnya, dia masih merasa kekurangan cairan saat
telah meminum air satu setengah botol ukuran sedang.

He needs hangover pil. Mengingat ia harus berangkat


sepagi yang ia bisa. Arka berjalan ke arah kotak obat
yang tertempel di dinding. Cowok itu sengaja menyetok
obat itu karena memiliki roomates yang sering pulang
dalam keadaan berantahkan semacam Reno, yang saat
ini masih terlentang di atas sofa dengan dengkuran
yang cukup keras.

Badannya terasa lebih baik, tapi belum sepenuhnya


baik. Ia masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya,

454
mencuci muka di westafel sampai matanya bisa
terbuka sepenuhnya.

Cowok itu kemudian melihat ke arah cermin, disana


terlihat bentuknya yang kacau, sama sekali tidak
seperti dirinya yang biasanya.

"Who are you?" tanyanya, mengingat bahwa dia telah


melangkah terlalu jauh.

Selama ini, Arkasa bertingkah bak paham betul apa


yang dia mau. Dia menentang keinginan ayahnya yang
memaksa dirinya untuk berkuliah bisnis, malah
bertekat untuk menjadi Dokter. Menurut ayahnya,
keinginan Arka tersebut hanya kebodohannya sesaat
yang masih labil. Dan dia membuktikan bahwa
ayahnya salah besar, sejauh ini, dia masih konsisten
dengan apa yang ia mau.

Arka benar-benar ingin tertawa, dan dia melakuknnya,


mentertawakan diri sendiri, "puas?" tanyanya. "You can
make people proud of you." Ia melanjutkan, pikiran
kacaunya berlanjut. Bahkan alkohol hanya mampu
membantunya merasa lebih baik untuk beberapa jam.
And it's not enough.

Rasanya lucu menyaksikan rata-rata orang


disekitarnya mengatakan bahwa mereka bangga,
kagum, dan takjub kepada Arka dan segala hal yang
dia lakukan, sementara dia sendiri tidak mengerti apa
yang dilakukannya disini.

Tidak mau membuang-buang lebih banyak waktu,


cowok itu membuka bajunya untuk mandi. Ada banyak
hal yang harus dia lakukan untuk memperbaiki

455
kesalahannya, bukan hanya pada Tante Dian, tapi juga
Natella.

***

Sejak kecil, Arka selalu diajarkan untuk tahu caranya


meminta maaf sekaligus mengakui kesalahannya.
Namun ditengah-tengah itu, dia juga belajar cara
manipulative agar hal-hal tertentu bisa berjalan sesuai
kemauannya. Itu merupakan hal paling minus dari
sifatnya, yang dia sendiri sesali.

"Tante maafin, karena ini kali pertama kamu berbuat


salah sama Tante." itu yang dikatakan Mama Natella
setelah Arka menemui perempuan itu pagi-pagi sekali
untuk memperbaiki kesalahannya, tidak membuat
excuse apapun dan mengakui segala tuduhan Tante
Dian yang benar dia lakukan, seperti minum sampai
mabuk. "jadi orang memang harus gitu, berani dan
tahu caranya minta maaf. Tapi jangan gitu lagi ya, nak.
Alkohol itu nggak baik dan nggak sehat. Kamu pasti
lebih mengerti hal kayak begini dibanding Tante."

Arka menganggukkan kepalanya, mengatakan kalau


dia mengerti maksud Tante. Ada beberapa hal
mengenai Tante Dian yang begitu mirip sama Maminya.
Contohnya, Mami juga tidak pernah menggunakan
nada tinggi ketika menasehatinya, pun tidak pernah
panjang lebar dan berbelit-belit sampai dia bosan
mendengarkan. Arka menyukai sisi ini dari Tante Dian,
tapi Arka tidak suka sisi ini dari maminya.

"Omong-omong, gimana kabar Om, Tan?"

"Baik, tapi kemaren baru balik lagi ke Gorontalo. Kamu


makin jarang main kesini pas ada oom sih, katanya dia

456
kangen tanding PES bareng kamu." Tante Dian
bercerita, gaya berbicaranya lembut. Pertama kali
ketemu Tante Dian, kesan pertamanya Arka ialah dia
cantik. Kata Natella, Mamanya campuran Jogja-Padang
Makanya kulitnya bisa putih, matanya belo dan
hidungnya bangir, serta yang menjelaskan kenapa
kelakuannya bisa begitu santun dan anggun.

Natella sering bercerita tentang keluarganya pada Arka.


Jangankan keluarganya sendiri, keluarga kucingnya
saja dia ceritakan kepada cowok itu. Mama Natella
seorang Bankir, sedangkan Papanya kontraktor yang
dari dulu banyak proyek di luar kota, bahkan luar
negeri, makanya pulang ke rumah biasanya seminggu
sekali atau setidaknya sebulan dua kali.

"Aku nggak ngerti kenapa Papa Mama bisa tahan LDR


selama ini, padahal dulu waktu SMP aku pikir mereka
bakal pisah secepatnya kayak orang tua Tasya, temen
deket aku pas SMP. Waktu itu, hubungan mereka lagi
rusak-rusaknya, Papa nuduh Mama selingkuh, Mama
nuduh Papa selingkuh, kayaknya dulu mereka berdua
sama-sama selingkuh dan udah nggak cinta. Jadinya
ribut terus sampe bikin bosen nontoninnya."

"They did not want to be egoist."

"Maksa tetep sama-sama pas tahu udah nggak klop itu


lebih egois." cewek itu membalas. Dia selalu punya
pikiran liar yang kadang tidak terduga Arka. Dan cowok
itu terpaksa mengakui jika Natella ucapannya kadang
realistic dibalik kelakuannya yang serba drama,
makanya mulutnya terkesan jahat ketika orang-orang
sudah terbiasa dengan ilusi.

457
"Mereka punya anak, kamu nggak sedih kalau mereka
dulu pisah?"

"Mereka nggak pisah tapi berantem terus juga bikin


sedih. They could have chosen to break up, leave each
other and start a new life with their new couple that
could make their life happier. But they didn't."

Arka bisa meminta Natella menghentikan cerita non-


sense-nya dan mengatakan, 'cuma orang gila yang
ngarep orang tuanya pisah di umur yang masih sekecil
itu.' tapi dia memilih untuk diam dan mendengarkan
lebih lanjut. Her point of view was, well, almost all the
time, weird. Atau mungkin karena dia tidak bisa relate
makanya tidak mengerti. Tapi Arka selalu betah
mendengarkan hingga selesai.

"Dulu aku pikir mereka nggak memilih itu, tapi tadi pagi
aku sadar kalau mereka rupanya memilih itu. They
chose to break up, left each other and started a new life.
They actually did it"

"..."

"Mereka nemilih buat berpisah dengan kebencian,


meninggalkan dendam untuk satu sama lain dan
memulai hidup baru." lanjutnya, Arka bahkan dapat
mengingat kalau waktu itu Natella tersenyum
kearahnya. Senyumnya manis, selalu berhasil
membuatnya salah tingkah. "Aku selalu yakin kalau kita
memang bisa sangat mencintai orang hari ini dan lupa
pernah mencintai orang itu begitu banyak keesokan
harinya. Love can come and go because happily efer
after is another name of bullshit."
"Tapi kayak kata kamu, pada akhirnya hidup itu soal
memilih dan setiap pilihan punya konsekuensi masing-

458
masing. Papa Mama bisa aja milih cerai dan bahagia
dengan pasangan baru mereka masing-masing, mereka
juga bakal tetap bahagia. Tapi mereka malah memilih
buat memilih bahagia dengan satu sama lain sekali
lagi."
"Iya, cinta itu memang bisa datang dan pergi, atau
berpindah, tapi kita bisa memilih untuk jatuh cinta
kepada orang yang sama sekali lagi."

Waktu itu tengah malam, di MCD 24 jam ketika ruangan


itu cukup diisi oleh anak seumuran mereka yang
mengerjakan tugas. Arka masih ingat jika yang muncul
pertama kali dalam otaknya saat Natella selesai
mengatakan kalimat yang membuatnya merasa mabuk
itu, he reallly wants to fuck her mind, sleep with her. Or
asked her to marry him right now. Tapi, keputusan
jangka pendek seperti itu tidak akan membuat siapapun
bahagia dalam jangka waktu lama.

"Sadly sometimes, not everyone has that kind of choice.


Kadang satu-satunya pilihan yang kita punya adalah
berhenti mencintai." Arka mengatakannya dengan
kalem, bukan berarti dia tidak setuju dengan Natella. He
could be agree with whatever come from her mind.

"Itu pilihannya tetap ada dua, Arka. On that case,


someone can choose to stop or not to stop."

Arka mengangguk, membenarkan. "Ya, dan dalam


beberapa pilihan tertentu nggak dua-duanya baik atau
dua-duanya buruk. Ada satu yang baik dan ada satu
yang buruk."
"Idealnya orang-orang bakal memilih yang baik, namun
pada prakteknya, mereka cenderung memilih yang
buruk."

459
"Contohnya?"

"In abusive or toxic relationship." ungkapnya. "I know, I


have no right to say what is bad or what is right. But, if
someone hurts you emotially or even physicly, make sure
you stop loving them and leave."
"Because the happiness you feel is fake and someone
like that doesn't deserve you."

Arka bisa mengatakannya dengan begitu yakin saat itu


karena menurutnya, dia tidak mungkin menyakiti
Natella. Baik secara emosional, apalagi secara fisik
dengan sengaja. Jangankan Natella, dia selalu
berusaha untuk tidak menyakiti perempuan ataupun
orang lain yang tidak pernah mencari masalah
dengannya.

"But fake happiness is better than not at all." cewek itu


menjawab lagi.

Arka menggelengkan kepalanya, "everyone deserves to


be happy in real way. Everyone deserves the real
happiness."

"Hubungan kita abusive ya? Aku suka mukul dan gigit-


gigit kamu." balasnya pelan, terlihat khawatir.

Arka hanya bisa tertawa saat itu, "you dont mean to


hurt me."

Arka masih ingat waktu itu Natella memegang


tangannya, menatapnya lekat-lekat dan mengatakan,
"don't leave me. Nanti kalau kamu dikasih pilihan untuk
meninggalkan aku atau nggak meninggalkan aku, pilih
yang nggak ya." pintanya.

460
Sayangya, Arka tidak memberikan respon apa-apa saat
itu. Dia takut menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dia
tepati.

Arka mendongak ketika menyadari dia melamun cukup


lama, menatap Tante Dian yang masih duduk
disebelahnya.

"Tugas lagi banyak-banyaknya, Tan." aku Arka,


setengah jujur. Padahal jawaban sebenarnya karena
hubungannya dan Natella yang semakin kacau kali ini.

"Belajar yang rajin ya, Nak, biar nanti bisa jadi Dokter
yang sukses." Mama Natella berta lagi. "Kamu semester
berapa sekarang? enam ya? Itu si Ferre juga katanya
pengen masuk Kedokteran. Tapi Tante pengen masukin
dia Program IUP* kayak anak teman Tante, siapa tahu
bisa tembus di program Dual Degree."

Arka membasahi bibirnya yang kering, "kamu juga IUP


bukan?"

"Iya tante." cowok itu lagi-lagi menjawab seadanya.

"Pantes kata Natella kamu pinter banget."

"Pinteran aku kemana kali, Ma." sambung Natella.


Cewek itu sudah berdiri disekitar mereka. Dia
mengenakan kemeja biru muda dan jelana jeans,
tumben-tumbenan hari ini menggunakan totebag besar
padahal biasanya dia hanya membawa tas kecil yang
berisi buku catatan kecil dan juga pena, tidak seperti
orang yang niat ngampus.

"Pinter ngibul?"

461
Natella memutar bola matanya. Dalam segi karakter,
Natella tidak ada mirip-miripnya dengan Tante Dian,
cewek itu juga tidak mirip Papanya. Jika mukanya
tidak seperti jiplakan keduanya, Arka bisa saja
mempercayai kata Ferre yang menganggap Natella
adalah Alien kesasar di keluarga mereka.

"Garing Ma." ucap cewek itu. "Lagian Mama ngapain


pagi-pagi genit sama cowok aku?"

Mulut Tante Dian terbuka lebar, geleng-geleng kepala,


"ini anak masih aja ya!" Tante Dian kemudian melirik
ke arah Arka yang masih duduk disebelahnya, "Ka,
Tante beneran harus kursus sama kamu cara sabar
ngadepin Natella."

"Lebay, Ma." katanya. "Yuk, Ka, berangkat." ajaknya


untuk cowok yang hanya cengar-cengir itu. Natella
tidak bisa menahan lebih lama lagi semprotan yang
sudah ia siapakan untuk Arka.

"Buru-buru banget?" Mamanya bertanya heran. Arka


memang jarang menjemput Natella pagi-pagi. Kalaupun
cowok itu menjemput Natella, pasti Natella harus
diomelin dulu biar cepat keluar dari kamar

"Udah hampir jam 7. Mama juga pasti telat tuh." balas


Natella lagi. "Kalau telat bisa dipecat tuh Ma, memang
Mama mau jatuh miskin?"

"Astaga, kok bisa udah jam 7?" Mamanya berucap


lumayan panik. Sedangkan Natella hanya memberikan
senyum sinisnya.

Setelah Arka pamit kepada Mamanya, Natella menarik


tangan cowok berkemeja abu-abu itu keluar.

462
"Semalem mabuk ya kamu?" tembaknya.
Arka mengangguk. Berkilah juga percuma.

"Diajak siapa? Reno?"

"My choice." jawabnya.

"Kan udah dibilang gak usah jemput, itu mau kamu


tutupin pake kacamata juga mata kamu masih
kelihatan banget belernya!"

"I had to apologize to your mother."

"Maaf ke Mama aku doanh? Habis berapa banyak sih


semalem? Untung selamat sampe sini. Kalau kamu
sampe kenapa-kenapa kan aku yang sedih. Capek tahu
sedih terus." omel Natella dengan kesalnya.

"Iya Nat, Maaf."

"Jangan minta maaf sama aku, minta maaf sama diri


kamu sendiri sana!"

"I am sorry, Arka." ucapnya kemudian. Natella tertawa.


Habis Arka kelihatan lucu. Mukanya lagi kayak orang
teler tapi pasrah, mana mau-mau lagi disuruh-suruh
Natella minta maaf pada diri sendiri.

Tangan cewek itu menodong, "kunci mobil dong."


pintanya.

"Itu udah dibuka, masuk aja."

"Kamu pikir aku mau disetirin sama orang yang habis


mabuk?"

463
Pertanyaan judes Natella berhasil membuat mata Arka
terbelalak. Tapi dia masih belum memberikan apa yang
Natella mau.

"Ka, kasih nggak kuncinya?" pinta Natella lagi, agak


maksa. Sementara cowok itu masih menatapnya
dengan pandangan tidak suka.

Wow, Natella hapal betul jika Arka sudah menatapnya


begitu. Pasti Natella baru saja melakukan perbuatan
yang menurutnya tidak menyenangkan. Karena masih
pagi dan malas memperpanjang keributan, Natella
menujukkan senyum lebarnya,

"Sayang, boleh pinjem kunci mobilnya?" ucapnya


belagak manis.

Arka menggeleng, membuat Natella menghembuskan


napas beratnya. Pandangannya tertuju pada saku kiri
celana Arka. Secepat kilat, dia mengambil kunci dari
dalam sana dan berjalan cepat ke arah pintu kemudi.

Sebelum Arka sempat protes, Natella berucap lebih


dulu, "kalau mau bareng aku pokoknya aku yang
nyetir, kamu istirahat!" tegasnya.

Mengingat mereka tidak bisa membuang-buang banyak


waktu, Arka akhirnya bersedia mengalah. Dia masuk
ke pintu di sebelah Natella, membuat cewek itu
melebarkan senyumnya.

"Cowok aku kalau nurut jadi makin ganteng." puji


Natella, Arka lagi-lagi hanya menunjukkan tampangnya
yang cuek.

464
"Kamu inget gak apa yang kamu bilang semalem ke
Mama?" tanya Natella. Mama bilang, dia terlalu
mengantuk untuk mendengar jelas apa yang diucapkan
Arka. Yang jelas, ada kata-kata 'sayang'nya.

"Nggak." jawab cowok itu seadanya.

Natella mengangguk memaklumi, yang penting


urusannya tidak berlanjut panjang karena Mama
sudah memaafkan Arka.

"Yaudah, tidur ya kamu, pasti masih ngantuk." Natella


menyarankan setelah menstarter kemudian melajukan
mobil cowok itu dan memindahkan giginya agar melaju.

Biasanya, Natella menyetir dengan kecepatan


seenaknya dan suka-suka dia, membuat siapapun yang
menumpan pasti mengucapkan protes, Arka saja
pernah sampai muntah. Tapi kali ini dia melakukannya
dengan begitu pelan dan hati-hati.

"Kok pelan banget?" tanya Arka bingung.

"Iyalah pelan-pelan, kan lagi bawa pangeran."

Dan Arka sekali lagi memberikan tampang datarnya


sembari menyender di kursi. Dia mengambil air mineral
yang berada di sela-sela pintu mobil dan meminumnya
sampai setengah.

"Perut kamu masih kosong? Di tas aku ada roti


panggang, karena aku yang buat, jadinya gosong
parah. Tapi dicoba aja, seharusnya masih bisa ditelan."

Arka mengikuti instruksi Natella, dia mengambil


totebag cewek itu yang berada di kursi belakang dan

465
mengeluarkan tupperware yang berisi roti panggang
dari dalam sana.

"Thanks." ucapnya, mengambil tisu dan menyuapkan


roti panggang itu ke dalam mulutnya.

"Gimana?"

"Masih bisa ditelan." Natella tertawa. Melihat suasana


kayak begini membuatnya merasa bahwa hubungan
mereka baik-baik saja, tidak pernah ada yang salah.
Tidak hatinya, ataupun hati Arka.

"Suapin aku dong." pinta Natella yang tangannya lagi


memegang setir.

Arka menyuapi sisa roti gigitannya itu ke mulut


Natella. Cewek itu biasanya tidak suka memakan
masakannya sendiri, karena dia sudah memprediksi
seperti apa rasanya. Hanya Arka yang bersedia
memakan hasil eksperimen memasaknya. Namanya
juga Arka, dia bahkan suka minum jus brokoli campur
tomat. Sedangkan Natella membayangkannya saja
berasa mau muntah.

Tapi ini roti panggang. Roti panggang mana yang nggak


enak?

"Pahit banget, huek." komentar Natella untuk


bikinannya sendiri.

"Aku suka." lanjut Arka nggak jelas, menghabiskan


semua yang berada dalam tupperware itu. Entah lapar,
atau hidupnya memang lagi kekurangan gula.

466
Setelah itu, dia meneguk habis air mineralnya yang
tersisa.

Menyadari Arka menanggalkan kacamatanya untuk


megucek-ucek matanya yang agak bengkak, Natella
berbicara lagi, "Ka, tidur ya? Please..." mohon Natella,
biar cowok itu cepat menurut. Natella hapal betul kalau
Arka tipikal yang susah nolak apabila ada yang mohon-
mohon sama dia.

Cowok itu tidak menjawab, namun beberapa saat


kemudian, Natella dapat mendengar suara napas
beraturan. Dia melihat ke arah sebelahnya saat mobil
itu berhenti karena lampu merah, bibirnya tidak
sengaja membentuk senyum sembari memperhatikan
Arka.

"Kamu sebenarnya siapa sih, Ka?" tanyanya pelan.

Kepala Natella kembali menelusuri hari pertama


mereka bertemu, kali pertama mereka mengobrol
berdua, kali pertama mereka jalan berdua, berikut
momen-momen yang membuat perasaan Natella terasa
jungkir balik.

Dulu, ada satu hal tentang Arka yang membuat Natella


begitu takjub. Waktu dia menjelaskan kepada Natella
tentang dia harus memperjuangkan apapun yang dia
mau. Dia tahu apa yang dia benar-benar mau.

Tapi sekarang, Natella sadar bahwa Arka merupakan


orang paling tersesat mengenai kemauannya sendiri.
Mengetahui eksistensi Aluna membuat Natella juga
membuat Natella sadar, kalau Arka menyamarkan jati
dirinya.

467
Natella tentu belum melupakan kejadian sewaktu Arka
tiba-tiba menculiknya. Dia merasa ketakutan saat itu,
sangat. Dan dia yakin Arka bisa saja melakukan hal
yang lebih gila. Namun, segila apapun perbuatan Arka,
setakut apapun Natella kepadanya, cewek itu tetap
menangkap sosok Arka yang selama ini selalu ingin dia
peluk dan lindungi.

Arka yang berusaha untuk tidak menyakiti siapapun.

Dan kalaupun dia menyakiti orang lain, dia menyakiti


dirinya juga.

"Aku nggak pernah nyesel udah sayang sama kamu."


ucap Natella lagi, pelan, tidak untuk di dengar Arka.

Dia menyetir di keramaian pagi ditemani oleh lagu


kekinian dari radio mobil.

Sebentar. Kok radio?

Natella melihat ke arah tape mobil Arka, baru sadar


tidak ada flashdisk yang terpasang disana dan
memutar lagu-lagunya yang itu-itu saja, sampai Natella
hapal lirik-lirik dan urutannya. Kalau diganti, Arka
pasti ngambek.

Natella melirik lagi ke arah Arka, menemukan mata


cowok itu masih terpejam dan deru napas yang
terdengar.

"Hmmmm." igaunya. Dia memang sejak tadi sesekali


berdehem, atau bergurau pelan tidak jelas. Natella
tidak pernah tidur bareng Arka. Meskipun mereka
pernah making love, tapi setelah itu Arka tidak tidur
bersamanya.

468
Kalau ingat itu, Natella rasanya mau ngamuk lagi.

"Hmmmmmmmm. I am tired..." cowok itu kembali


mengeluarkan igauannya. Membuat Natella merasa
kasihan

"Nanti aku pijet ya?" tawarnya.

"Hmmm. It hurts..."

"..."

Natella memilih untuk diam, menikmati lagu kekinian


yang berasal dari radio mobil. Jujur, Natella pernah
berpikir jika Arka itu tidak tersentuh, terlalu indah
untuk menjadi nyata. Dia bak manusia yang berasal
dari negeri dongeng, tidak kurang apa-apa. Tapi, kalau
Natella melihatnya lebih lekat, dimana dia berjuang
keras untuk mendapati yang dia mau, dimana dia
berusaha untuk menutup lukanya.

Dia tidak lebih dari manusia biasa dengan rasa sakit.

"Aluna..." panggilnya tiba-tiba.

Natella sontak menatap ke kiri, mendapati mata Arka


masih terpejam, rautnya terlihat gelisah.

"Kangen ya sama Aluna?" tanya cewek itu pelan.

"Aku ngga cinta Aluna..." lanjutnya. "And it was my


biggest fault."[]

***

469
470
Chapter 29. His Dark Part
Arka membuka matanya hanya untuk mendapati
Natella yang lagi menyetir sesekali melirik ke arahnya.

"Kamu masih mabuk ya?" tanya cewek itu curiga.

"Aku nggak cinta Aluna, Nat." ulangnya. Tatapannya


layu, matanya masih kelihatan bengkak. "I just wanted
them to part."

Them? Jovan dan Aluna maksudnya?

"..."

"Because at first, I was afraid they were gonna leave me


alone."

"..." Natella sebenarnya mati-matian menahan agar dia


tetap diam padahal kata-kata makian sudah bertengger
di ujung lidahnya. Namun di saat yang bersamaan, dia
masih ingin mengerti Arka. Mencoba mengerti Arka dan
alasan kenapa dia berbuat begitu.

Dasar anjink. Brengsek. Jahat. Kok bisa sih?

"But I stepped too far, my bad side won."

Natella menghembuskan napasnya, dia ingin sekali


mengomel, sungguh. "Sebenarnya, apa yang udah
kamu lakuin sih, Ka?" tanya Natella. Dia tahu beberapa
hal dari Jovan dan pengakuan setengah-setengah dari
mulut Arka sendiri.

471
Cowoknya ini betulan merebut Aluna dari Jovan.
Siapapun yang jatuh cinta memang terkadang bisa saja
berbuat jahat untuk memperjuangkan cintanya.
Namun mendengar ucapan Arka barusan, itu benar-
benar di luar nalar Natella.

Arka melihat lurus-lurus ke jalan yang ramai. Dia tidak


yakin apakah mampu menceritakan ini pada Natella
atau tidak. Namun seperti kata Reno, dia harus
menceritakannya karena Natella berhak untuk tahu.

To be honest, he felt so fucking ashamed for what he


used to do.

"I dont know how to start."

"Dari awal?"

Arka membuka mulutnya, merangkai kalimat dalam


otak, meskipun dia tidak yakin kalau ini merupakan
awalnya, "Dulu aku selalu pengen punya adek. Mami
terlalu sibuk, lupa sama janjinya yang mau ngasih aku
adek. Sampai akhirnya ada Aluna, dia anak supir
Mami. Kata Mami, aku bisa nganggep Aluna sebagai
adek aku sendiri. And I considered her as my own
sister. I was even closer to her than Richard."

"..."

"And Jovan was my friend when I did believe that


nobody wanted to be friend with me. I loved Jovan as a
friend, he was my best one. I was going to do anything
for him."

"Terus?"

472
"When we grew up, Jovan and Aluna liked each other. I
did not care at first until they were too busy for each
other. They acted like they were gonna forget me."

"..."

"I did not know why, but I felt hurt and betrayed. I didn't
like to see them together. Jovan was mine, Aluna was
mine. They should not be egoist to leave me."

"..."
Sekali lagi, Natella menahan dirinya untuk tidak
mengeluarkan suara. Mengetahui kenyataan kalau
Arka pernah merebut Aluna dari Jovan saja sudah
membuatnya ingin memaki-maki Arka, apalagi begini.
Logikanya benar-benar gila dan tidak bisa diterima akal
sehat Natella.

Oh well, tentu saja tiba-tiba dia merasa memiliki akal


sehat.

"Makanya aku deketin Aluna. Aku pengen Aluna


kembali jadi milik aku. Aku minta dia untuk jauhin
Jovan. Aku minta dia untuk berhenti cinta sama
Jovan..."

"..."

"Aluna did what I asked. Jovan believed she really loved


me. They broke up then. I really though I was happy
because I got what I wanted."

"Did I scare you?" tanyanya pada Natella setelah


mengucapkan kalimat terakhirnya.

Of course.

473
"I feel scared of myself too."

"..."

"I know I was so bad and evil that time. Tapi tahu gak
rasanya ketika gak ada yang peduli sama kamu? Ketika
orang yang kamu sayang menghianati kamu? Ketika
kamu merasa sendiri dan sangat kesepian tapi orang-
orang terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing."

"Tapi tetep aja kamu nggak seharusnya begitu, Arkasa.


Mentang-mentang kamu terluka, bukan berarti kamu
berhak melukai orang lain." Lanjut Natella dengan nada
kesalnya.

Sejahat-jahatnya Natella sama orang, dia sama sekali


tidak pernah terpikirkan untuk melakukan hal seperti
Arka. Tidak pernah sejahat dan setega Arka.

"Then, Aluna was dead in car accident. I lost her forever.


That time, I realized that I lost more than I should, I
regretted what I have done. Sampai sekarang aku masih
nyesal."

"..."

"Seharusnya, aku biarin dia bahagia sama Jovan.


Seharusnya aku nggak egois dan bodoh. Seharusnya
aku nggak membiarkan sisi jahatku menang.
Seharusnya biar aja aku terluka sendiri. Aku nyesel,
Nat..."

"..."

474
"Jangankan Jovan ataupun Aluna, aku aja nggak bisa
maafin diri aku sendiri. It really disgusts me to
remember what I've done."

"..."

"It's okay if you feel disgusting toward me too."

Natella menghela napas beratnya. Dia mengenal Arka


bukan sehari dua hari. Dia menghabiskan waktu
berharga dengan Arka bukan sekali-dua kali.

Dia bahkan bisa menebak apa saja yang bisa Arka


lakukan ataupun tidak lakukan. Namun rupanya,
memang banyak sekali hal mengenai Arka yang tidak
dia ketahui. Selama ini, dia hanya tahu image tentang
Arka, bukan bagaimana Arka yang sebenarnya.

After that, he has flaws too, and can she say this is one
of his flaws? The dark one?

Sejujurnya, mendengar pengakuan brengsek cowok ini


benar-benar membuat Natella ingin menginjak gas
dalam-dalam lalu mengerem mobil itu secara
mendadak, agar kepala Arka bisa membentur
dashboard kemudian logikanya bisa kembali waras.

Namun, dia tahu bahwa rasa sakit merupakan alasan


kebanyakkan orang memilih melakukan hal yang salah.
Natella pernah merasakan di posisi itu, meskipun dia
tidak pernah segila Arka.

Well, sekali lagi, Natella tidak mengenal Arka sehari


dua hari, dan selama itu pula dia meyakini bahwa
cowok ini memiliki hati yang lembut dan baik hati.
Seseorang bisa berpura-pura dan melakukan hal-hal

475
palsu, tapi kadang, ketulusan tidak bisa dimanipulasi.
Sometimes, you can feel and tell if someone really doing
something sincerely.

"I did not mean to play victim but I always tried hard to
fix my mistakes. Aku suka apa yang Aluna suka. Aku
suka Vanila, aku suka lagu-lagu favorit dia. Aku
pengen jadi dokter."

"..."

"Tahu gak, Nat? Dulu aku pengen jadi game


programmer. My parents didn't let me become a doctor
because they knew it would not fit me. Aku belajar mati-
matian buat buktiin ke mereka kalau aku serius."

"..."

"Dan aku emang serius. Aku pengen jadi dokter, bukan


cuma karena Aluna. Tapi karena aku pengen
nyembuhin diri aku sendiri. Mungkin dengan nolongin
orang, aku bisa sembuh. Aku bisa maafin diri aku
sendiri."

"..." Natella tidak tahu apa yang mengisi pikirannya


hingga dia belok ke kanan, ke arah parkiran rumah
toko yang masih tutup. Satu-satunya yang mengisi
pikirannya sekarang ialah dia hanya ingin memeluk
Arka, meminta pria itu berhenti cerita kalau rupanya
kenangan itu membuatnya terlalu menderita. Natella
bahkan tidak terpikir kalau dia harus masuk kelas pagi
ini, dia hanya ingin bersama Arka, menghabiskan
waktu dengan cowok itu selambat mungkin.

Dan dia melalukannya, membuka safety belt untuk


membawa cowok itu ke dalam pelukannya.

476
"Aku pengen sayang sama diri aku sendiri, Nat."
ucapnya pelan. "Dan tiap kali kamu bilang kamu
sayang aku, aku merasa sayang sama diri aku sendiri."

"..."

"Meksipun sekarang aku tahu kalau kamu udah nggak


setulus dulu."

"..."

"Waktu aku bilang ke Mami kalau aku nggak pernah


cinta sama kamu, aku harus ngelakuin itu. Kalau
nggak, Mami bisa nyalahin kamu dan benci sama
kamu. Aku nggak mau Mami benci sama kamu."

"Kenapa Mami kamu benci sama aku?"

"Because my accident was deliberately." bisiknya. "Aku


sengaja ngelakuin itu biar kamu maafin aku."

"ARKA KOK KAMU GOBLOK?" Natella sudah tidak


tahan untuk teriak dan menahan keterkejutannya yang
daritadi merasa bak sedang olahraga jantung. Semakin
hari, hal-hal gila yang dilakukan dan diakui oleh Arka
benar-benar tidak dapat diterima otaknya.

Dari dulu, Natella selalu ingin Arka membuka isi


pikirannya, menceritakan apa yang dia pikirkan dan
tersimpan disana. Namun, sekalinya cowok itu
mengungkapkan, Natella benar-benar ingin tutup
telinga dan tidak mau tahu.

It's dark, too dark.

But it's okay, she likes being in the dark as well.[]

477
***

478
Chapter 30. Insanely Sane
Makin dilihat, Arka malah makin kayak psikopat.
Serius, apa yang Natella lakukan selama ini dan orang-
orang tuduhkan kepadanya kalau dia gila itu tidak ada
apa-apanya dibanding sejauh apa yang pernah Arka
lakukan kepada Jovan dan Aluna.

Dibanding Arka yang pernah sejahat itu dengan Jovan


dan Aluna, level gilanya Natella itu masih beginner.
Sedangkan Arka sudah level nyaris master kali, ya?
Pantas dari dulu Natella nggak pernah menang waktu
melawan atau perang ngambek-ngambekan dengan dia,
beda level.

Setelah Natella mendengar pengakuan Arka kalau


kecelakaan dia waktu itu adalah kesengajaaan yang
Arka lakukan sendiri cuma karena tidak mau Natella
meninggalkannya. Rasanya Natella ingin langsung lari
dari mobil Arka dan jauh-jauh sejauh mungkin dari
kehidupan cowok psikopat itu.

Iya, psikopat. Mana ada orang waras yang sampai


mencelakai dirinya sendiri cuma buat cari perhatian
yang tidak penting-penting amat. Atau menyakiti hati
dan mental sahabatnya hanya karena masalah sepele.

Iya sepele. Namun, bukankah terkadang hal sepele pun


berimpak besar? Everything matters after all.

Natella baru saja keluar dari kamar mandi setelah


menghabiskan waktu sejam lebih membersihkan diri
sekaligus memikirkan banyak hal. Tadi siang, setelah
Arka menceritakan sisi-sisi gelapnya yang membuat
Natella bergidik sendiri apabila mengingat, mereka

479
sempat makan siang berdua hingga akhirnya Arka
mengantar Natella pulang ke rumah.

Katanya, cowok itu lagi ingin sendiri. Dan tentu, Natella


juga lagi ingin sendiri. Jujur, dia tidak bisa memaafkan
perbuatan Arka begitu saja. Atau lebih tepatnya, dia
belum bisa menerima kalau Arka segila itu dalam
waktu secepat ini.

Dia masih syok, masih belum bisa menerima


kenyataan. Sebaik dan seterang apapun kepribadian
yang cowok itu tunjukkan kepada dunia selama ini,
rupanya dia punya sisi gelap yang terlalu pekat.

Natella menidurkan badannya yang sudah


menggunakan piyama di atas kasur hingga dia
menyadari handphonenya bergetar. Getaran ke sekian
kemudian mati. 18 panggilan tidak terjawab dari nomor
Arkasa.

Karena Arka tidak biasa menelponnya dengan jumlah


panggilan sebanyak ini. Natella tidak bisa memungkiri
kalau dia merasa cemas dan khawatir. Tahulah cowok
itu seperti apa, nelpon dua kali terus nggak dijawab
saja tidak mengulang lagi.

Natella sudah membayangkan hal-hal buruk yang


mugkin terjadi pada Arka, mulai merasa ketakutan hal
yang dia bayangkan betulan terjadi pada cowok itu.
Buru-buru dia mencoba menelpon balik, namun nomor
itu lebih dulu membuat panggilan balik untuknya.

"Halo?" angkat Natella dan memberikan nada


khawatirnya.

480
"Halo" Suara itu membalas pelan, kayak berbisik,
kontras dengan musik kencang yang mengiringi
suaranya. "sayang..."

Jangan bilang ini orang lagi di nightclub? Ayolah, salah


satu tempat yang paling dibenci Arka itu adalah kelab
malam.

"Mabuk lagi ya lo?" omel Natella. Cewek itu memegang


kepalanya yang sebenarnya tidak terasa sakit. Untung
ya nggak salah telpon lagi! "Kemaren minum, sekarang
minum lagi. Gak kapok juga ya? Kamu mau apa sih
sebenarnya?"

"Mau kamu..." jawab Arka asal, lalu terdengar suara


tawa bodohnya. "Aku gak mau sendirian. Please,
temenin aku ya sayang?"

"Sayang, sayang. Giliran lagi nggak waras aja manggil


gue sayang."

Natella memprotes dalam hati. Kalau diingat-ingat,


Arka selalu memanggilnya sayang disaat dia nggak
sadar atau lagi gila. Contohnya pas lagi sakit, pas lagi
nyulik dia dan sekarang, lagi mabuk.

"Aku sayang kamu. hahaha. Aku nggak mau


sendirian." ulangnya.

Sumpah, kalau Natella tidak mengenali suara itu


betulan milik Arka, dia pasti merasa yang menelpon ini
adalah cowok random salah sambung. Gaya
berbicaranya bukan Arka sekali. Namun nada orang
mabuk yang Natella dengar membuatnya paham.

481
"Di club ya? Club mana?" tanya Natella to-the-point,
tidak mau kebanyakkan basa-basi.

Lagi-lagi, suara tawa yang dia dengar. Ahelah, habis


berapa botol sih ini orang? Kenapa kayak teler banget?

Tiba-tiba Natella teringat kalau handphone Arka itu


masuk find my friendnya dia. Jadi, tanpa basa-basi, dia
langsung menghidupkan loadspeaker dan membuka
aplikasi itu, "tunggu disana, jangan macem-macem dan
banyak gerak. Minumnya berhenti, gak usah nambah-
nambah lagi. Lo udah mabok!" Cewek itu mengintruksi
sembari meletakkan handphonenya di atas kasur,
mengganti bajunya menjadi yang lebih layak dilihat
khalayak umum lalu mengambil handphonenya lagi.
"Tadi naik apa? Bawa mobil?"

"Hu'um."

Natella melirik ke arah jam dinding di kamarnya, jam


12 lewat. "Aku kesana." ucapnya.

***

Ini kali pertama Natella ke clubbing dengan dandanan


dan pakaian paling memalukan karena nggak cocok
dengan tempat yang dia kunjungin ini. Sumpah, dia
merasa kayak upik abu yang lagi make pakaian
dapurnya di pesta dansa kerajaan.

Setelah taksi online itu menurunkannya di salah satu


club yang terletak di Sudirman, Natella masuk ke
dalam dengan memasabodohkan segala pemikiran
dramanya. Dia daritadi berdoa semoga tidak ada orang
yang dia kenal di dalam sama selain Arka. Namun,
mengingat club yang dia kunjungin ini termasuk

482
jajaran hits, kayaknya dia pasti saja bertemu dengan
satu atau dua orang yang dia kenal. Oh wait,
bartendernya saja ada yang Natella kenal. Dia dulu
pernah rajin clubbing, bagaimanapun.

Seperti pas baru jalan beberapa langkah saja, Natella


sudah kontak mata dengan seseorang yang sepertinya
berancang-ancang untuk memanggil namanya. Itu
teman Dennisa. Cewek itu segera berjalan cepat
semakin masuk ke dalam, mengabaikan orang itu,
mulai mengamati segala sudut ruangan yang agak
temaram untuk mencari Arka.

Karena suara musik dari telpon Arka semakin keras,


Natella berjalan ke arah tempat orang-orang lagi joget,
mencari Arka. Sampai akhirnya dia menemukan
seseorang disana dengan kaos putih yang lagi berjoget
nggak jelas bersama seorang perempuan bergaun hitam
dengan belahan dada rendah yang sesekali mencoba
memegang cowok yang nyaris jatuh itu.

"Dont touch my boyfriend." ucap Natella ketika dia


berada di dekat mereka.

Cewek itu menatap Natella dari atas sampai bawah,


memandang meremehkan, "your boyfriend?" tanyanya
tidak menyangka sembari melirik balik ke arah Arka.
Apakah penampilan Natella terlihat senorak itu? Paling
tidak, dia sempat memoleskan lipstint di bibirnya agar
tidak pucat pucat amat.

"Hu'um." Arka menganggukkan kepalanya, melihat


kondisinya membuat Natella meringis membayangkan
berapa botol yang sudah dia minum. "I am her
boyfriend..." akunya.

483
Untung deh mau ngaku! Natella lega. Kan biasanya
malah diem aja yang buat orang mikir kalau dia
terpaksa.

Natella kemudian menarik Arka menjauh dari


perempuan itu sekaligus orang-orang yang lagi
menikmati suara musik yang diberikan DJ. Untung
cowok ini langsung mau menuruti Natella. Coba kalau
dia ngedrama? Mereka pasti akan stuck di tengah
orang-orang dan jdi bahan santapan orang-orang yang
lagi mabuk.

"Kamu kesini untuk aku kan, sayang?" tanya Arka


kemudian di telinga Natella. Ini kali pertama Natella
melihat Arka mabuk. Serius, 3 tahun mengenal cowok
ini dan baru sekarang dia dapat menyaksikan Arka
mabuk menggunakan mata dan kepalanya sendiri.

He looked soft, clingy but hot at the same times.

"Sama siapa kesini? Sendirian banget? Anjir ya untung


nggak diapa-apain sama cewek tadi!" Keluh Natella.
Iyalah, dia bisa jadi korban one night stand kalau saja
dibiarkan alkohol terus-terusan membakar
dopaminnya.

Siapa bilang kalau cuma cowok yang punya napsu


sinting? Cewek juga punya! Dan melihat pandangan
cewek tadi terhadap Arka membuat Natella
menyimpulkan kalau that girl wanted him so bad.

Bukannya menjawab, Arka malah memberikan pelukan


pada badan Natella. Menumpuhkan separuh beratnya
ke badan cewek itu sementara dagunya dia tempelkan
di bahu Natella. Ndusel-ndusel manja kayak anak

484
anjing sekaligus mencium rambut Natella yang belum
kering, "wangiiiiii."

"Makin ngaco deh." kesal Natella, dia mulai membawa


Arka ke tempat duduk kosong terdekat. Habisnya
berat. Mana badannya tinggi banget lagi. "Kenapa dari
kemaren minum terus sih?" tanyanya setelah
membiarkan Arka duduk.

"Hmmm."

"Dijawab dong!"

"Jangan marahin aku." pintanya pelan, matanya masih


kemana-mana.

Dia mabuk kenapa malah jadi gemes banget sih?

Yang Natella lakukan berikutnya memeluk cowok itu


karena badannya hampir terjatuh, "Kamu kenapa
kesini sendirian sih? Bahaya tau, Ka."

"Nggak ada yang mau nemenin."

"Kamunya aja yang gak mau ngajak siapa-siapa."

Ya, padahal kalau ngajakin Natella juga siapa tahu


Natella mau, kan? Ayolah, mereka tidak pernah
clubbing berdua dalam mood yang sama-sama pengen
kesana. Arka tidak pernah suka ke tempat seperti ini
lalu kemudian, Natella malah menemukannya dalam
kondisi mabuk parah sementara Natella belum
tersentuh seteguk alkoholpun malam ini.

"Pulang ya?" ajak Natella.

485
"Sama kamu kan?"

Natella mengangguk sembari memutar bola matanya


malas.

"Nggak, sama tante-tante yang disana tuh." tunjuknya


asal.

***

Arka tidak pernah merepotkan Natella. Seingat cewek


itu begitu. Bagaimanapun keadaan Arka, dia pasti
selalu tidak mau bawa-bawa Natella makanya cewek itu
terkadang merasa dirinya tidak penting di mata Arka.

Dan ini kali pertama dia merasa bahwa Arka sengaja


merepotkannya dalam banyak hal di saat yang sama.
Iya, sengaja. Karena sejak di club tadi hingga tiba di
gedung apartemennya, Arka selalu memeluknya tapi
menumpuhkan berat ke Natella, membuat cewek itu
berkali-kali ngerasa kehilangan keseimbangan dan
hampir terjatuh. Dia tahu bahwa orang mabuk
memang kelakuannya kayak begitu. Masalahnya, tiap
kali Natella hampir jatuh, malah Arka yang menahan
dia.

"Kalo gue mabok pasti lo musuhin. Awas ya besok gue


musuhin lo." Protes Natella kemudian.

Arka malah mengeluarkan tawa tidak berdosanya.


Beneran ya, seperti yang Natella bayangkan. Arka
kalau mabuk pasti gemas, makanya dia sering
mensesatkan Arka biar mau minum bareng dia. Tapi
selama ini Arka mana pernah mau. Dan sekarang,
Natella bisa menikmati pemandangan Arka yang lagi
mabuk.

486
Rupanya jauh lebih gemas bin merepotkan dari yang
dia bayangkan. Jadinya kan, dia malah semakin ingin
buat mengapa-apakan.

Demi apapun, melihat pipinya yang kemerahan dan


cengar-cengirnya saat mabuk begini membuat sisi
creepy, psikopat, menyeramkan yang pernah dia
perlihatkan atau ceritakan pada Natella bak hanya fiksi
belaka.

Arka mulai memejamkan matanya saat Natella


bertanya kunci apartemen. Lalu cewek itu mulai
meraba-raba kantong celananya.

"Jangan pegang-pegang." pintanya kalem.

Buset, tingkah anak perawannya malah balik lagi.


Kalau kayak gini kan, Natella jadi merasa Arka yang
menculiknya, menidurinya, dan menceritakan apa yang
dia lakukan pada Aluna cuma ada dalam halusinasinya
saja.

"Terus kuncinya dimana, sayang?" tekan Natella kesal,


dia melepaskan pelukannya pada Arka, membuat
cowok itu lagi-lagi nyaris jatuh kalau tangannya tidak
memegang dinding. Iyalah, Natella lagi jelek dan capek,
belum lagi rambutnya lepek. Siapa yang nggak senggol
bacok disaat begini?

Arka meraba kantong celananya lalu memberikan


kunci apartemennya pada Natella. Setelah itu, dia
mengalungkan tangannya di pinggang Natella lagi.

Padahal dia yang menyuruh Natella jangan pegang-


pegang. Kalimat 'yang waras ngalah' emang sangat
tepat untuk Natella implementasikan sekarang.

487
Cewek itu membawa Arka ke dalam kamarnya dan
membawa badannya

"Mandi dulu..." pintanya menolak untuk dibawa ke atas


tempat tidur.

"Gak usah mandi, kamu udah seteler ini."

Ya, masa iya Natella yang mandiin? Mengambil


kesempatan dalam kesempitan banget dong itu?

"Ganti baju..." ucapnya lagi, dia berjalan sendri ke arah


kursi dekat meja belajarnya. Membuat Natella
menghela napas berat kemudian mencarikan baju ganti
pria itu di dalam lemari.

Karena Natella masih di dalam, Arka meliriknya


sebentar dengan mata belernya, "kamu keluar bentar
dong, aku kan mau ganti baju."

Natella berjalan keluar dengan sebelumnya sembari


membatin kesal dalam hati. Sekali lagi, yang lagi waras
ngalah.

"Tapi kalau aku selesai ganti baju, kamu masuk lagi,


ya?" dia melanjutkan. Membuat Natella menganggukan
kepalanya tidak niat. Biar cepat.

Cewek itu menunggu di luar beberapa saat. Sebenarnya


kelakuan Arka itu memang kayak begini. Jadi, Natella
seharusnya tidak heran-heran banget. Tapi, dia mulai
sadar dan menyimpulkan kalau segala hal yang Arka
tunjukkan selama ini, sifat-sifat dan kelakuannya tidak
semuanya palsu, tidak semuanya mencontoh Aluna
dan tidak semuanya pura-pura. Mungkin dia memang

488
begitu. Mungkin dia memang polos dan baik, namun
tipikal yang kalau jahat, bisa melanggar batas.

"Nat..." panggilnya lagi.

Natella membuka pintu, mendapati cowok itu sudah


ganti baju dan duduk di ranjangnya. "Kamu tidur disini
kan? Bareng aku?" tanyanya.

Natella menggelengkan kepalanya, "aku mau pulang."

"Disini aja ya, sayang? Please." dia berkata sembari


menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
Memohon. He never begs to her like that before.

Giliran Natella pengen tidur disitu saja, pasti diusir terus

"I promise I wont touch you."

Tapi gue nggak janji ya. Setan dalam diri Natella malah
nyeletuk.

Natella akhirnya mengangguk dan mengalah, membuat


dia membuka lemari Arka dan mencari bajunya. Cowok
itu paling tidak suka kalau ada orang pakai baju luar
lalu tiduran di atas tempat tidurnya. Makanya, Natella
harus ganti baju juga. Dia membawa bajunya dan
mengganti di dalam kamar mandi.

Saat keluar, dia mendapati mata Arka sudah terpejam


di atas tempat tidur. Dia betulan menyisakan tempat
kosong di sebelahnya. Membuat Natella pelan-pelan
menidurkan badannya di sana. Lalu ketika dia baru
mau memejamkan mata, dia merasa tangan Arka
memeluk pinggangnya.

489
Ayolah, posisi mereka terlalu intim sehingga detak
jantung dan hormon-hormon dalam dirinya berteriak
tidak karuan.

"Aku sayang kamu." Bisiknya dengan mata yang masih


terpejam. Tapi dia malah menggerakkan agar badannya
semakin menempel dengan Natella.

"Coba aku berani ngungkapinnya dari dulu." lanjutnya


lagi, masih sepelan sebelumnya.

Natella kemudian membalikkan badannya yang tadinya


terlentang menjadi menghadap Arka, membiarkan
pinggangnya dipeluk cowok itu.

"Iya, coba ngucapinnya tuh pas kamu lagi waras, kan


enak dengernya." protes Natella bercanda. Tangannya
mulai memainkan dan mengelus-elus rambut hitam
pendek Arka.

For god'a sake. This man looked more adorable and


handsome from this distance. Natella jadi pengen
menggigit hidung mancungnya itu.

Mata Arka terbuka kemudian. Awalnya Natella pikir


cowok itu akan memprotes tindakannya. Namun
matanya hanya menatap mata Natella lekat-lekat dalam
beberapa saat.

"Seharusnya waktu itu kamu nggak perlu nyium aku di


depan Mentari dan pengen aku jadi pacar kamu." ucap
Arka sembari memeluknya semakin erat.

Mendengar keluhan Arka yang jarang mengeluh itu


membuat Natella menemukan kembali sisi dramanya

490
yang hampir menghilang karena Arka sedaritadi yang
kebanyakkan drama, "kenapa? masih gak iklas ya?"

Dan malah diangguki polos oleh cowok itu. "Atau aku


seharusnya nolak waktu itu."

Mulut Natella terbuka. Ini cowok kenapa malah jujur


banget sih disaat dia seharusnya membisikkan kata-
kata manis di telinga Natella biar cewek yang darahnya
tengah berdesir dan tengah mengamuk itu menjadi
tenangan sedikit?

"Jahat." ungkapnya.

"Itu nggak jahat, Nat." Arka melepaskan pelukannya di


pinggang Natella, suaranya terdengar lebih serius dari
ketidakjelasannya beberapa saat lalu. Tapi tetap saja,
matanya menunjukkan kalau dia lagi teler-telernya
"Aku malah bisa melakukan hal yang memang bener-
bener jahat." akunya kemudian, membuat Natella
terdiam.

"..."

"Tau gak? Waktu itu, aku jadi terobsesi sama kamu.


Aku jadi ngerasa memiliki kamu. Dampaknya? Aku
selalu pengen sama kamu terus, aku nggak suka
ngeliat kamu ngobrol sama orang lain. Aku gak suka
liat kamu ketawa karena orang lain. Aku gak suka."

Dahi Natella berkerut. Dia belum lupa apa saja yang


dilakukan Arka waktu awal-awal dia mengklaim Arka
jadi miliknya, "Heh, bukannya waktu itu lo malah
menghindar dan jaga jarak sama gue ya?" tanya Natella
nyolot sementara tangannya masih memainkan rambut
Arka.

491
Seperti Arka yang biasanya, dia bisa menjawab
pertanyaan nyolot Natella dengan nada bicara orang
penyabar.

"Memangnya kamu mau 24 jam bareng aku terus,


dilarang main sama orang lain dan ketawa sama
temen-temen kamu? Dikurung sama aku dan gak boleh
kemana-mana?"

Dengan bodohnya, Natella mengangguk asal, "mau lah,


asal sama kamu." Jawabnya bercanda. Arka juga bakal
lupa jawaban Natella karena dia lagi mabuk.

Tapi sumpah, dia tidak bisa membayangkan hidupnya


kalau Arka betulan berbuat begitu. Membayangkan
dirinya dikekang kayak yang Brian lakukan ke Meira
saja sudah membuatnya bergidik dan ngeri sendiri.

"Nat, kalau aku nggak coba mengontrol diri dan makin


terobsesi sama kamu, aku beneran bisa ngelakuin itu,
ngerusak kamu, kamu juga gak akan aku biarin lepas.
Coba kalau itu betulan aku lakuin, masa depan kamu
bisa hancur. Aku pernah mendefinisikan cinta
sesampah itu, Nat."

"Terus kenapa nggak kamu lakuin?"

Yaelah malah ditanya. Mungkin karena Arka lagi


kelihatan berantahkan, kacau, dan menggemaskan
disaat yang sama. Dia nggak tahu apakah ini faktor
posisi mereka atau Arka memang seseksi itu kalau lagi
mabuk yang membuatnya salah fokus.

Ya, untung banget malah Arka tidak melakukan itu.


Sumpah ya, Natella pasti sudah gila dan kehidupan
menuju dewasanya akan menjadi mimpi paling buruk

492
kalau punya pacar yang gila seperti di deskripsikan
Arka tadi.

"Karena aku tahu itu salah." Jawabnya pelan, matanya


mulai terpejam lagi, mungkin terlalu pusing. "Kamu
dulu bisa bikin aku percaya sama kamu. Ngerasa
dicintai sama kamu. Aku gak perlu berbuat hal jahat
untuk ngerasain itu. Aku malah sadar kalau aku harus
melakukan hal-hal sebaliknya, hal-hal baik untuk bisa
seneng."

"Malah aku yang jadi jahat, tahu. Jahat sama Mentari."

"Makanya aku gak suka tiap kali kamu jahat sama


Mentari." balas cowok itu, membuat Natella paham
walaupun Arka tampak sekacau tadi, dia rupanya
masih bisa mengontrol dirinya.

"Itu karena kamu belain dia terus."

"Aku gak belain dia, Nat. It's objective. Aku justru gak
mau kamu jadi brengsek cuma gara-gara cemburu."
balasnya. "Dan aku gakpernah suka sama Mentari."

"..."

"Aku gak mau kamu jadi kayak aku, Nat." ungkapnya


pelan.

"Ka..."

"Aku cuma pengen kita sama-sama belajar menjadi


baik. Meskipun aku tahu aku gak berhak merubah
kamu menjadi yang aku mau..."

"..."

493
"Tapi tetep aja aku tetep harus
mempertanggungjawabkan hal-hal buruk yang pernah
aku lakuin. Aku pernah jahat banget sama orang, Nat."

Arka menceritakannya lagi. Padahal tadi siang, Natella


sudah memastikan berkali-kali bahwa cowok itu tidak
memiliki hal yang mau dia ungkapin lagi kepada
Natella. Namun rupanya, dia masih punya. Mungkin
Arka terlalu malu untuk mengungkapkannya sewaktu
sadar.

Gantian Natella yang memeluk pinggangnya lebih dulu.


"Aku boleh peluk kan, Ka?" ucapnya kemudian. Arka
tidak repot menjawab, toh Natella sudah melakukannya
lebih dulu. "Maaf." lanjut perempuan itu berbisik,
namun tidak menjelaskan lebih lanjut alasan dia
meminta maaf.

"Aku juga minta maaf." Arka mengungkapkan balik.


"Karena selama ini aku bikin kamu ngerasa nggak
dicintai..."

"..."

"Itu karena aku belum bisa menerima kesalahan aku di


masa lalu dan benci diri aku sendiri. Maaf ya..."
pintanya serak.

"..."

"But I swear to God that you are loved. I love you."

Natella mengeratkan pelukannya. Kali ini seerat saat-


saat dia ketakutan untuk kehilangan Arka. Cowok ini
manipulatif, palsu dan mengerikan. Namun di saat
yang sama, Natella tidak pernah merasakan sesuatu

494
yang lebih tulus dibanding yang dilakukan Arka selama
ini kepadanya.

"Ka, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi nggak?"

"..."

"Aku sayang kamu, Ka." ungkap Natella. "Sayang


bangeeeet..."

'But you are gonna lose me after this, Nat.'' Arka


memotong ucapan Natella itu dalam hati. Memilih
menutup telinga mengenai lanjutan perkataan cewek
itu.

Dan aku nggak mau kehilangan kamu.

Yang selanjutnya diketahui Natella, dia melihat Arka


menangis. Airmata cowok itu terjatuh, membuat Natella
buru-buru menghapusnya dengan tangannya dan
bertanya-tanya.

Natella tidak pernah sekalipun melihat Arka menangis.


Sejak awal, Arka bukan orang yang pandai
menunjukkan ekspresinya.

Kecuali saat ini.

"Sayang, kenapa?"

Tidak ada jawaban selain lingkaran tangan cowok itu


pada pinggang Natella. Kali ini begitu erat. Lebih erat
dari yang Natella lakukan, bak dia tidak pernah mau
untuk melepasnya.[]

***

495
Chapter 31. Battle Scars
Dari kecil, Arkasa merupakan anak yang selalu
mendengarkan apa kata kedua orang tuanya, terutama
kata Anna. Dia pendiam, tidak banyak mau, tidak
banyak ulah, tidak banyak tingkah sampai-sampai tiap
ulang tahun atau berhasil membuat Papinya bangga,
dia tidak pernah mengatakan apa yang dia inginkan
sebagai hadiah.

Dia tidak mau apa-apa, katanya. Kalau Mami seneng,


aku juga seneng. Atau Mami beli aja yang Mami mau,
buat Mami.

Bahkan Arka hanya menganggukkan kepala mengerti


tiap kali Anna mengatakan bahwa dia harus bekerja
dan tidak pulang selama seminggu, berhari-hari atau
bahkan ketika anak itu sudah tertidur. Dia jarang
mengucapkan protes.

Bagaimana bisa Anna tidak menyayangi anak


bungsunya yang begitu lembut itu? Dia bisa saja
mengatakan jika dia menyayangi kedua anaknya sama
rata. Namun secara praktik dan tidak membohongi diri
sendiri, dia lebih sayang Arkasa dibanding apapun.
Bahkan semenjak anak itu lahir, dia bisa pelan-pelan
mengaburkan cintanya yang tidak terbalas pada
suaminya.

Maka dari itu, dia tidak pernah bisa terima apabila ada
orang yang menyakiti anak laki-lakinya itu. Tidak
siapapun dan dengan alasan apapaun.

"She hurt you again, didn't she?" Anna bertanya dengan


suaranya yang sekalem mungkin. Kali ini, dia

496
membatalkan acara pertemuan bisnisnya di Dubai
secara sepihak karena mendengar bahwa Arkasa
semakin tidak baik-baik saja, untuk menemui anak itu
dan menemukannya habis minum allohol hingga
mabuk di malam sebelumnya.

"Nggak..." balas anak itu pelan.

Anna menghembuskan napasnya, semarah apapun dia,


gelagatnya tetap tampak tenang dan anggun, "I didnt
even believe what you've said in hospital that time. Mau
sampai kapan kamu mau bohongin Mami?"

"Mam..." Anak laki-lakinya itu menatapnya dengan


matanya yang sayu. Seumur-umur, tidak pernah
sekalipun Anna berpikir bisa memarahinya seperti ini,
apalagi hanya karena cinta dan perempuan. Dia hanya
tidak habis pikir bagaimana anak bungsunya yang
cerdas itu bisa menjadi sangat amat bodoh. "She did
not mean to..."

"She means it." Tekannya. "Dia melakukannya berkali-


kali!"

"..."

"She cursed you, slandered you, talked shit about you,


she even made you do stupid and crazy things. Loving
her makes you worse, that's why you have to stop."

Seperti yang diduganya, Arka menggeleng. Anaknya ini


memang sudah berubah menjadi pemberontak, bukan
lagi anak kecil penurut yang tidak banyak tingkah.

"She makes me better, Mam, trust me."

497
"No, she didn't." tegasnya. "You deserve someone the
best, and it's not her."

"Mam, I am old enough to choose what I want and what I


need."

"You dont even know what you want and you need."

"I want her." Arka mulai mengeluarkan suaranya yang


agak tidak santai. "And I need her."

"She doesnt feel the same."

"You don't know anything, Mam."

"What makes you think I dont watch you both?" Anna


bertanya lagi, membuat perdebatan mereka semakin
parah. Dulu, waktu anak bungsunya ini memutuskan
untuk menjadi dokter, mereka masih bisa berbicara
baik-baik, Anna bahkan menjadi orang yang paling
berpengaruh yang bisa membuat suaminya berubah
pikiran dan menuruti pilihan anak mereka itu.

Tapi sekarang adalah kali pertama dia dan Arkasa


benar-benar berdebat dan saling mempertahankan
pendapat, dia bak kehilangan anak laki-lakinya yang
penurut.

"I love her, Mam. I really do." Arka mengatakan itu


dengan nada suaranya yang benar-benar pelan,
membuat Anna akhirnya meletakkan kedua tangannya
di pipi lelaki yang lebih tinggi darinya itu. "I dont think I
can survive without her."

"You can, sweetheart. You are just manipulated by your


own brain."

498
Kalau boleh jujur, ini yang membuat Anna takut anak
laki-lakinya itu jatuh cinta terlalu dalam kepada orang
yang salah. Dia tahu betul bahwa anaknya itu rapuh.
Makanya dari dulu, Anna selalu menyuruhnya untuk
tidak menggunakan perasaan berlebih, menyuruhnya
untuk menjauhi orang yang mungkin akan dia cintai
karena mereka hanya akan menyakitinya.

"Why you dont let me to be with someone I love? Mami


bahkan bisa sama Papi, kenapa aku nggak? I am happy
with her, Mam."

"Listen to me," ucapnya, meminta Arkasa menatap


matanya lekat-lekat, "You are the most precious person
to me, I love you so much so that's why I dont want you
to hurt. I dont want you to suffer like I do. You may think
you are happy with her but the pain you feel is not worth
it, Sweetheart."

"..."

Anna kemudian mengelus rambut hitam anaknya


dengan penuh sayang, "Bukannya Mami gak
mengizinkan kamu sama dia. You may think you love
her but you both have the different meaning about love.
You both wont stop hurting each other. It's unhealthy,
sweetheart. It is only going to break you... and her too, of
course."

Arka diam, dia menundukkan kepalanya dalam-dalam,


membuat Anna akhirnya bersuara lagi, "So leave her,
Okay? Kalian berdua bukan orang yang tepat untuk
satu sama lain."

"Nanti, kamu akan bertemu sama orang yang sayang


sama kamu sebagai sepenuhnya kamu, orang yang

499
punya definisi tentang cinta yang sama dengan kamu,
nanti dia nggak akan menyakiti kamu dan kamu juga
nggak akan menyakiti dia. Dan nanti, Mami nggak
akan melarang-larang kamu lagi."

Anna masih mengelus rambut halus anaknya itu,


berpikir bahwa dia akan kembali menjadi anaknya
yang penurut.

Namun sayangnya, Arkasa menggelengkan kepalanya,


"aku nggak mau, Mam." ucapnya.

Dan Anna hanya bisa mengeluarkan senyum


hambarnya. Her son grows up and he is really stubborn
right now.

Dan pada akhirnya, dia hanyalah seorang Ibu yang


menginginkan hal terbaik untuk anaknya.

"I know you are gonna change your mind." Lanjut


perempuan itu yakin.

***

Have you ever been in toxic relationship? How did it feel?


Did it hurt you? Did it break you? Did it make you hate
yourself? Did it make you lose yourself in process?

Arka merasa bahwa hubungannya dengan Natella


selama ini baik-baik saja. Mereka tidak sempurna, jadi
wajar apabila ada hal-hal tertentu pada Natella yang
tidak dia sukai ataupun hal-hal dalam dirinya yang
tidak Natella sukai.

500
Namun suatu hari, Reno pernah berkata padanya
dengan nada bercanda, "nyadar gak hubungan lo sama
Natella itu udah masuk toxic?"

Parahnya, singgungan seperti itu tidak sekali-dua kali


dia dengar. Anak-anak kampusnya juga pernah
mengatakan secara tidak langsung kalau hubungannya
dengan Natella itu mulai tidak sehat. Atau lebih
tepatnya, mereka menyindir kalau Natella itu bukan
cewek yang baik untuknya.

He is too good for someone like Natella, kata mereka.


Tapi bagi Arka, Natella lah yang terlalu baik untuk
lelaki sepertinya.

Iya, lelaki kaku yang bahkan tidak mengerti caranya


mengungkapkan perasaan, tidak ada manis-manisnya,
kadang clueless mengenai apa yang harus dilkukan.
Dan Natella bisa bertahan dengannya selama hampir 2
tahun.

Lalu sampai ke titik dimana dia bingung karena semua


orang bak bertingkah seperti ingin melihat mereka
berpisah, terutama Maminya. Arka bisa dengan mudah
tidak mendengar perkataan teman-temannya, atau
bahkan menjauhi mereka yang membuat Natella
terlihat buruk. Namun, Maminya tentu memiliki tempat
yang berbeda, dia tidak bisa begitu saja mengabaikan
ucapan-ucapan Maminya yang menghantui.

Meskipun di sisi lain, Arka tahu ini hidupnya dan


berhak memutuskan kehidupan seperti apa yang mau
dia jalani.

Love is not easy, no matter who you are and what you
do.

501
Rupanya benar, cinta itu tidak pernah segampang yang
dideskripsikan orang-orang yang lagi jatuh cinta.
Ingatan Arka kembali lagi ke saat dimana Natella
mengaku bahwa dia menyukainya dan ingin
memilikinya. Waktu itu, dia punya kesempatan untuk
menolak, atau mengatakan baik-baik kepada Natella
kalau saat itu bukan saat yang tepat.

Tapi yang dia lakukan malah diam. Sementara diam


berarti menerima. Kenapa dia menerima ketika dia
ingin sekali menolak?

Sesimpel karena dia juga menginginkan perempuan itu


dan menahannya ke dalam status yang disebut-sebut
saling mencintai. Dia suka fakta bahwa Natella
menyukainya. Dia suka fakta bahwa Natella
menginginkannya. Dia suka fakta bahwa mereka
bersama. Sehingga itu membuat dopamin pada otaknya
terasa terbakar, membuatnya memasabodohkan logika
demi kesenangan.

Iya, logika yang jelas-jelas memberitahu bahwa


hubungan cinta mereka tidak akan berjalan baik ketika
Arka sadar bahwa terlalu banyak hal-hal yang belum
bisa dia selesaikan.

"We fall in love at the wrong time, Nat." Arka berbisik.


Cowok itu sudah bangun sejak tadi sementara Natella
yang berbaring di sebelahnya belum juga membuka
mata.

Setelah itu, yang dia lakukan hanya memperhatikan


Natella, memainkan rambutnya. Meskipun di sisi lain,
Arka ingin segera bangun, minum air putih sebanyak-
banyaknya dan mandi. Dia ingin menikmati setiap

502
detik yang dia hadapi saat ini, menyimpan tiap
momennya ke dalam otak.

Hingga akhirnya dia melihat badan Natella bergerak


dan mulut cewek itu mengeluarkan rengekan, kelopak
matanya pelan-pelan terbuka dan menampakkan mata
cokelatnya yang indah.

Cantik. She always looks prettiest in the smallest and


very ordinary moment like right now.

"Udah bangun, Ka?" tanyanya.

Arka mengangguk.

"Udah minum air putih?"

Dia memberi jawaban dengan gelengan, membuat


Natella mengeluarkan decakkan, ekspresinya bak siap
memberikan kata-kata amukan penuh drama. Tapi
cewek itu tidak mengatakan apa-apa selain,

"Mau aku ambilin minum gak?" Natella menawarkan.

"Gak usah, sini aja dulu."

"Kamu semalem mabuknya parah loh, nanti lambung


kamu kenapa-kenapa."

"Hmmm."

Arka meresponnya dengan deheman tidak jelas, yang


malah membuat Natella menampakkan tawanya,
tampak geli.

503
"Inget gak apa aja yang kamu bilang semalem?"
tanyanya.

Arka sekali lagi hanya memandang mata cokelat


perempuan itu, melihat bekas jerawat masa pubernya
yang memudar, atau warna bibir Natella tanpa lipstik.

"Tuh kan pasti gak inget. Kamu lucu banget kalau lagi
mabuk, bikin makin sayang..." Goda Natella lagi, cewek
itu bahkan mencubit gemas pipi Arka yang untungnya
kali ini tidak ditepis cowok itu.

"..."

Mendapati ekspresi Arka yang terus diam saja, tawa


Natella memudar dan digantikan raut bingungnya.
"Ka, jangan diem aja dong!!! Gak masih mabuk kan lo?"
tanya Natella kemudian, khawatir melihat tingkah laku
Arka yang masih saja aneh seperti semalam.

"Nat, I really forgot what I've done last night."

"..."

"But, I have something that I really want to tell you since


I woke up."

"..."

"I love you, I really do. Maaf karena malah membuat


kamu merasa sebaliknya."

Have you ever been in toxic relationship? How did it feel?


Did it hurt you? Did it break you? Did it make you hate
yourself? Did it make you lose yourself in process?

504
Kata orang-orang hubungan dia dan Natella itu
termasuk toxic. Mungkin iya, tapi dia masih ingin
menyangkal. Dia merasa lebih baik. Rasa sakit yang dia
dapatkan setimpal. Hatinya yang rusak perlauan
sembuh. Dia mulai belajar menyayangi dirinya dan
pelan-pelan menemukan dirinya kembali yang selama
ini hilang.

Love makes someone always find a way to be together.


Paranoid makes someone always find a way to stay
away. He loves her and has paranoid at the same times.
That's why their relationship becomes toxic.

***

Natella baru saja selesai mandi, lagi-lagi menumpang


mandi di kamar mandi yang terletak dalam kamar
Arka. Malas gerak untuk pulang, katanya. Atau dia
hanya merindukan masa-masa dimana hubungannya
dengan Arka belum serumit sekarang, sebelum Natella
tehu eksistensi perempuan bernama Aluna.

Cewek itu mendudukkan badannya di sofa dengan


semangkuk bubur ayam yang tadi mereka pesan
delivery, meskipun letaknya persis di bawah aprtemen
Arka, berada di atas pangkuan Natella. Sedangkan
cowok itu sudah Natella paksa makan duluan sebelum
dia mandi. Takut masih mabuk.

"Aku gak pernah nemuin bubur ayam yang lebih enak


dari ini! Tau gak sih ka, aku tuh kalau makan kacang
bisa langsung gatel-gatel, tapi aku tetep makan
kacangnya karena rasanya beda, pokoknya enak
banget kayak makanan surga! bikin gatel-gatelnya
worth it." komentarnya panjang sembari menyantap
salah satu makanan favoritnya itu.

505
Natella memang terbiasa mengomentari banyak hal,
terutama yang tidak penting. Dan Arkasa terbiasa
fokus dengan apa yang dia kerjakan dibanding
membalas kata-kata Natella yang memang tidak perlu
di balas. Apalagi ketika stick PS berada di atas
tangannya, itu akan menjadi prioritas nomor satu.

"Ya, tau," jawab Arka cuek.

Kalaupun membalas pun, paling panjang juga tiga


kata, sesingkat-singkat mungkin.

"Iyalah kan barusan aku kasih tahu. kalau nggak,


mana mungkin kamu tahu." Natella mulai sewot. Tapi
memang mulut dan nada bicaranya suka mendadak
drama kalau lagi ngobrol sama Arka.

"Tiap makan bubur ayam bawah, juga itu terus yang


dikasih tahu. Jadinya bukan lagi tahu, tapi udah
hapal."

Mata Natella membulat, menatap lekat ke cowok yang


duduk di lantai depannya, tertarik dengan jawaban
Arka yang tumben-tumbennya agak panjang meskipun
fokus lelaki itu tentu saja sealu milik layar TV. Ya
memang sih, tapi Natella baru sadar saja kalau Arka
selama ini mendengar ocehannya

"Coba kamu kalau ngomong liat ke aku kek. Kita kayak


cinta segitiga masa," Natella mulai lagi mengganggu
Arka. "I looked at you but you looked at TV screen."

Mendengar itu, Arka tertawa, tawa yang tidak terlalu


keras tapi Natella bisa mendengarnya. Dan karena Arka
tertawa, senyum Natella spontan terukir.

506
"Aku suka banget loh kalau kamu ketawa. Jadi makin
ganteng, dari belakang aja ganteng," meskipun
kalimatnya terdengar murni gombalan, namun Natella
tidak juga berbohong mengenai itu.

"Habisin dulu tuh bubur, baru gombal."

"Dih bilang aja kamu seneng aku gombalin."

"Apaan," Arka menggunakan jawaban autonya apabila


dia tidak bisa lagi menjawab Natella.

"Udah habis nih bubur aku, boleh lanjut gombal?"


tanya Natella kemudian.

"Gakusah," jawab cowok itu datar. "Kalau bosen,


mending duduk sini." Arka menepiuk tempat kosong di
sebelahnya. "Main PS bareng," ucapnya mengajak.

Sekali lagi, mata Natella membesar, tidak dapat


menutup binar yang terpancar dari sana. "Aku beneran
diajak?"

"Iya."

"Tumben-tumbenan banget hari ini baik sama aku


sampe ngajakin aku main PS segala! Biar aku nggak
bosen terus ngambek terus ngungkit-ngungkit dosa
kamu semalem ya? Yang mabuk dua hari berturut-
turut kayak orang bego itu!"

Iyasih, Arka memang pernah baik dan berubah banget


ke Natella. Tapi itu cuma saat dia lagi mabuk atau
nggak waras. Tapi saat inu Arka lagi kelihatan waras,
makanya Natella bacot. Mungkin mabuknya semalam
masih tersisa.

507
"Mau ikut main nggak ini?" tanya Arka cuek.

Natella tentu excited, "Mau banget!" Ia langsung


menaro asal mangkok bekas bubur, lalu minum air
putih secukupnya. Kemudian, cewek itu duduk di
sebelah Arka, mengambil stick PS yang dipinjamkan
Arka.

"Jangan curang," cowok itu mengingatkan. Natella saja


bosan mendengar peringatan itu.

"Tapi kamu ngalah ya sama aku?"

"Males kalau itu."

"Jahat!"

Arka malah menampakkan cengiran tidak berdosanya.


"Kalau mau menang, ya usaha."

Jawaban itu tentu membuat bibir Natella makin


cemberut, "yaudah kalau gitu ganti gamenya dong! Ini
mah kamu mainin tiap hari, aku pasti kalah. Guitar
Hero kek, masih ada gak itu? aku pas SD jago banget
main Guitar Hero, kamu pasti kalah."

"Gak punya kasetnya," Arka menjawab jujur.

"Atau main sepeda-sepedaan yang di gunung itu. Ada


gak?"

"Downhill domination? Itu nggak ada buat PS4."

"Yaaaa... Aku males kalau bola, apalagi berantem-


berantem atau perang, aku bakal susah menangnya."

508
Arka berjalan ke arah rak di bawah TV, tempat kaset-
kasetnya terkumpul dan berjongkok disana, "ada yang
mirip-mirip sama Downhill Dimention, MXGP mau
nggak?" tawarnya.

"Kamu sering mainin itu?"

Arka menggeleng, "kasetnya juga masih baru, belum


pernah aku buka"

Senyum Natella terkembang, "Oke boleh," jawabnya


setuju.

Ada beberapa hal mengenai Arkasa yang sudah Natella


hapal. Contohnya, sebiasa, setenang dan sesabar
apapun tampang cowoknya itu, diam-diam dalam
hatinya penuh keambisiusan. Kayak anti banget buat
kalah, apalagi mengalah.

"Sumpah ya Arkasa Sean Hadinata, bisa nggak jadi


orang jangan ambis-ambis amat? Kalau begini kapan
gue menangnya anj...." Oceh Natella kesal, hampir saja
mengeluarkan nama binatang.

Sudah permainan ke 9. Tangan Natella pegal sendiri.


Daritadi dia tidak henti mengeluh, sampai benar-benar
kesal karena Arka terus mengalahkannya.

"Bukannya kamu yang ambis?" tanya Arka balik,


berbeda dengan Natella yang menahan amukan, cowok
itu malah santai sekali.

"Aku tuh nggak ambis kali, cuma mau menang."

"Hm." Arka merespon malas. "Mau ganti kaset gak?"

509
"Nggak usah! Ini aja dulu sampai aku menang. Kamu
nggak usah bangga ya menang terus dari aku. Kamu
kan mainannya emang ini, coba kalau lomba dandan
atau ngoceh sama aku, kamu juga pasti kalah terus.
Main sepeda aja masih jagoan aku." Natella berkata
panjang lebar untuk menyelamatkan harga dirinya.

"Yaelah."

"Udah main aja ini terus sampe aku menang."

Arka menurut. Cewek di sebelahnya itu mulai duduk


berjongkok, pegal karena pantatnya yang dalam
beberapa menit terakhir menyentuh lantai. "Kamu gak
ada tugas sebelum UAS, Ka?" tanya Natella kemudian.
"Perasaan akhir-akhir ini nganggur amat, sempat
mabuk-mabuk lagi."

Arka berdecak, bosan dengan sindiran Natella yang


tidak ada habisnya soal dia mabuk. Kayaknya, dia
beneran tidak pernah mau coba-coba minum sampai
mabuk lagi.

"Tugas kelompok, tapi udah kelar."

"Kapan ngerjainnya?" tanya Natella kaget, mengingat-


ingat dimana mereka berdua sering buang-buang
waktu akhir-akhir ini.

"Pas dikasih langsung dikerjain."

"Gila sih, dunia kita memang beda ya." balas Natella


dengan muka lemas, teringat dengan pesan Jeana tadi
pagi soal tugas Politik Internasional yang terakhir
dikumpul hari ini dan Natella tidak akan ingat apa-apa
jika Jeana tidak memberi tahu, "Aku aja baru inget

510
kalau ada tugas essay soal politik AS pasca Trump jadi
Presiden. Mana tulis tangan dan paling lambat
dikumpul hari ini jam 4," Natella mengeluh, sementara
Arka melirik ke arah jam sebentar.

"Kenapa gak dikerjain?"

"Males, capek, susah. Rasanya mau nikah aja biar


kelar semuanya."

"Memang nikah bisa ngelarin masalah?"

"Nggak." balas Natella langsung. Fokusnya lebih penuh


ke layar TV karena avatarnya sudah mendahului Arka
dalam jarak yang jauh. Mereka berdua juga sama-sama
tahu kalau Natella hanya bercanda. "Tapi kalau
nikahnya sama kamu sih bisa-bisa aja kayaknya."

Natella pikir, setelah menggoda Arka dengan kata-kata


itu, cowok di sebelahnya ini akan melemah lalu
berhasil ia kalahkan. Sayangnya, sebaliknya. Natella
yang tadinya hampir menang malah gagal total melihat
Avatar Arka yang lebih dulu mencapai finish.

"Kampret," cewek itu bahkan berniat membanting stick


PS. Dia kembali mendudukkan pantatnya di atas
karpet.

"Sana, mending kerjain tugas."

"Dikerjain jam setengah 4 juga bakal kelar kok," balas


Natella mengentengkan. "Belom ada moodnya kalau
sekarang. Mending kita lanjut main aja."

Cewek itu memencet pilihan untuk memulai game


baru. Namun disaat yang tidak berjauhan, dia

511
mendengar handphonenya bergetar, melihat siapa yang
menelponnya.

Itu nomor tidak terdaftar pada kontak tersimpan,


namun Natella tahu milik siapa.

Jovan.

Pandangan mata Natella spontan ke arah Arka yang


tidak repot menampakkan raut penasaran apalagi
curiganya. Tanpa menimbang apapun, Natella langsung
menolak panggilan itu dan mematikan handphonenya.

"Itu mbak-mbak nawarin credit card." jelas Natella


meskipun Arka tidak bertanya. Dia menang terbiasa
menjelaskan hal-hal yang apabila dilakukan oleh Arka,
berkemungkinan membuatnya curiga. Namun kali ini,
dia menjelaskan dengan kebohongan.

"Oh," dan cowok itu memberi respon tidak tertariknya.

Atau pura-pura tidak tertarik?

Natella memilih pilihan untuk melanjutkan permainan.


Setelah itu, mereka memulai obrolan baru. Banyak
sekali yang keduanya bahas sejak tadi, rata-rata hal
tidak penting. Herannya, ketika berbicara pada Arka,
Natella bak tidak kehabisan topik. Padahal cowok itu
tidak banyak bicara dari awal.

"Ka, aku pengen deh minta maaf sama Mentari,"


ungkap Natella, membeberkan rasa bersalah yang
dipikirkannya beberapa hari terakhir. "Kira-kira
dimaafin gak ya? Mulut aku kan pernah jahat banget
pas ngomongin dia. Ya habis, aku mikirnya dia udah
nyebarin gossip gak bener soal aku."

512
"Dicoba." respon Arka, lagi-lagi seadanya. "Yang lebih
penting itu minta maafnya, urusan dimaafin atau
nggak ya belakangan. Minta maaf itu berarti mau
damai sama masalah. It's for you, not anyone else."

"Gitu ya?" tanya Natella tertarik.Yang diucapkan Arka


memang ada benarnya juga. "Kalau aku minta maaf
sama Mentari, bangga nggak sama aku?"

"Sangat."

Senyum Natella berkembang, matanya sudah tak acuh


terhadap layar TV. "Yaudah besok aku ngajakin
Mentari ketemuan. Lagian dia kayaknya yang udah
bikin Bagas minta maaf sama aku." CelotehcNatella.
"Masa sih ya Ka, Bagas pernah ke FISIP cuma buat
minta maaf sama a..."

Natella menggantungkan kalimat berikutnya, berpikir


dengan ucapannya yang sebetulnya agak ganjal. "Ka,
yang bikin Bagas minta maaf sama aku waktu itu,
Mentari atau kamu sih?!" tembak Natella kemudian,
tidak yakin dengan hipotesa awalnya, apalagi setelah
mengingat kelakuan Arka beberapa hari terakhir.

"Mentari kali." jawab Arka cuek.

Natella memicingkan matanya, "kayaknya beneran


kamu!" Tuduh Natella. "Kok bisa-bisanya ya baru aku
ungkit sekarang." Natella agak tidak terima dia
melupakan kejadian itu. "Kamu apain tuh si Bagas
sampai egoistic bastard kayak dia mau minta maaf ke
orang yang kayak aku?" tanyanya penasaran.

"You deserved his apologized even when he did not


deserve your forgiveness."

513
Natella bengong. Otaknya benar-benar kembali ke
kejadian beberapa bulan lalu. Saat dia ngamuk-
ngamuknya pada Arka karena lebih membela Mentari
dibanding dia.

"Kamu ngebelain aku di depan Bagas?" tanyanya tidak


menyangka.

"Nggak." Jawab cowok itu sontak. "I just could not


accept that he was name calling, even pushed you."

Mulut Natella terbuka agak lebar, "bilang aja iya apa


susah sih?" rutuknya. Cewek itu tidak dapat menahan
bibirnya yang mulai senyam-senyum sendiri karena
fakta Arka pernah membelanya di belakang. Atau
mungkin, tanpa dia sadari dan ketahui, Arka diam-
diam sering membelanya di belakang?

"Aku seneng banget loh." ucap cewek itu lagi. Dia mulai
menyenderkan kepalanya di bahu kanan Arka, tidak
peduli lagi dengan kemenangan yang sejak tadi dia
idamkan. "Senengggg banget serius deh, sebahagia itu."

"Kenapa?" Tanya Arka agak tidak paham. Kalau soal


yang kayak gini, otaknya memang mendadak pentium
satu.

"Kamu ternyata belain aku di belakang aku."

"Yakali gue diem aja lo dikata-katain dan didorong-


dorong?" Arka membalas agak tidak terima. Baginya,
itu hal paling masuk akal yang pasti dilakukan
olehnya, sementara Natella bertindak seakan-akan
Arka tidak mungkin berbuat begitu.

514
Natella makin mendekatkan badannya di sebelah Arka.
Ndusel-ndusel. "Aku gak peduli sama apa yang kamu
lakuin ke Bagas. Yang jelas, aku sayang kamu!" aku
cewek itu spontan.

Arka membasahi bibirnya. "Sama." jawabnya


kemudian.

"Apaan?"

"Aku sayang kamu juga." balas cowok itu kaku. Natella


langsung tertawa ngakak, mentertawakan Arka yang
memang tidak terbisa mengungkapkan perasaannya.

Butuh beberapa detik kemudian sampai akhirnya


Natella melihat kemenangan berada di pihaknya. Layar
yang tertera memberitahu bahwa dia adalah pemenang.

"EH SERIUS ITU BENERAN AKU YANG MENANG?"


tanya Natella bangga.

"Itu karena aku ngalah aja." Jawab Arka rese.

"Halah ngalah apaan!" Natella menyemprot. "Bilang aja


kamu salting karena aku tiduran di bahu kamu terus
nggak konsen terus kalah deh. Iya kan? Ngaku aja."

"Nggak."

"Bohong hidung kamu main gede loh! Itu muka aja


udah merah." Natella mentertawakan. Dia mencubit
pipi Arka, "gemes banget sih cowok aku."

Arka menjauhkan tangan Natella dari pipinya. "Yaudah


sini main lagi. Baru menang sekali juga."

515
"Males, tangan aku pegel. Yang penting aku menang
terhormat ya kali ini, kamu gakusah denial make sok-
sok ngaku ngalah segala."

Arka hanya menunjukkan muka datarnya sementara


Natella tertawa persis bak nenek sihir yang
dideskripsikan Ferre, kelihatan jahat dan licik sekali,
untung tetap cantik.

Mungkin ini adalah satu dari sekian momen yang akan


selalu tersimpan dalam benak mereka, menjadi bagian
dari mereka. Dan bahkan jika nanti mereka melupakab
kejadiannya, setidaknya, hari ini menyisahkan
perasaan yang menyenangkan dan menenangkan.

"Ka, kalau menurut kamu minta maaf itu lebih penting


dibanding dimaafkan atau nggaknya dan itu untuk
kedamaian kita bukan orang lain, kenapa kamu gak
mau minta maaf sama Jovan?" tanya Natella kemudian,
cewek itu tengah mengerjakan tugas Politik
Internasionalnya yang masih stuck, mulai mengganggu
Arka lagi yang sibuk belajar untuk UAS.

Arka tidak menjawab, bak dia kembali menjadi si


Arkasa yang tertutup dan tidak mau berbagi apapun
kepada Natella.

"Maybe, we both dont want peace." Itu yang akhirnya


menjadi jawaban Arka. Dia tidak menatap Natella
ketika mengatakan itu. Tapi, Natella dapat merasakan
bahwa nada suaranya begitu dingin, sampai-sampai
cewek itu bersedia mengganti topik lain.

Natella tahu jika hari ini, dia harus benar-benar


menganggap seolah-olah Jovan tidak pernah ada.

516
***

Jovan

Di dalam buku dongeng ataupun film, mereka punya


pahlawan dan penjahat yang jelas. Sementara di
kehidupan nyata, tidak jelas siapa yang pahlawan dan
siapa yang penjahat. Dan mungkin tanpa kita sadari,
kita adalah penjahat paling kejam di kehidupan
seseorang.

Jovan menghirup dalam-dalam rokoknya yang tinggal


seperempat, sebelum bekas putungnya itu dia matikan
dan buang di atas asbak. Daritadi, matanya terus
memperhatikan gerak-gerik cewek di hadapannya yang
tidak memberikan ekspresi apapun selain diam.

"Kenapa? Berubah pikiran lagi?" tembaknya kemudian,


mengisi keheningan mereka sejak dia menjemput
Natella dan mereka berdua di tempat tongkrongan
Jovan. Sebenarnya, tanpa perlu jawaban, Jovan sudah
memastikan hal itu, mengingat Natella menjaga jarak
dan menolak untuk menemuinya beberapa hari
terakhir.

"Bukan gitu..." Natella mencelah, "kayaknya Arka


nggak seburuk yang lo bilang..." dia menggantungkan
kalimatnya sebentar, bak ragu untuk melanjutkan,
"Arka emang manipulatif, psiko, pernah nyakitin lo dan
Aluna, tapi dia nyesel melakukannya. Dia bahkan
dihantuin rasa bersalahnya..."

Sudut bibir Jovan terangkat, merasa lucu mendengar


penjelasan adik sepupunya ini. Well, sejak awal dia
bertemu dengan Natella, dia tahu bahwa Arkasa jatuh
cinta pada cewek yang salah.

517
Natella bukan tipikal cewek baik berhati mulia dan rela
berkorban yang menaruh kepercayaan penuh pada
Arkasa. Sebaliknya, cewek ini malah memiliki
kecurigaan yang besar terhadap pacarnya itu.
Sehingga, tidak sulit bagi Jovan untuk memperalat
Natella dan melakukan rencana yang dia susun secara
mendadak, namun berjalan sangat lancar.

Rasanya lucu mengingat bagaimana cewek ini


menyetujui penawarannya demi yang namanya
perlindungan. Waktu itu, keadaan memang lagi
berpihak pada Jovan. Arka melakukan hal sinting pada
Natella yang tentu membahayakan cewek itu,
membuatnya agak trauma dan percaya bahwa Arka
manipulatif, bisa saja membahayakannya lebih parah
lagi seperti yang dikhawatirkan Jovan.

"Dan lo percaya?"

Natella meneguk salivanya kesusahan, dia menunduk


kemudian, menghela napas panjang sebeum akhirnya
menjawab. "Dia adalah orang paling tulus yang pernah
gue kenal."

Jovan menampakkan tawa sinisnya. Natella


merupakan tipikal cewek 20an awal yang tidak punya
prinsip, yang gampang sekali terpengaruh dengan
sesuatu yang meragukan.

"Setelah apa yang dia lakuin ke gue, Aluna dan bahkan


elo?"

"Jovan, lo harus mendengar penjelasan dia dulu. Dan


mungkin lo bisa percaya juga."

518
"He is the most manipulative person I've ever known.
And it's very easy for him to be manipulative again."

"Jov, dia bahkan gak berniat menyakiti lo lagi. Satu-


satunya yang mau dia lakukan cuma memperbaiki hal-
hal yang sudah dia rusak," Natella berbicara lagi, nada
suaranya berusaha meyakinkan. Sorot matanya yang
gelap menyiratkan bahwa dia meyakini apa yang dia
katakan, tidak ada keraguan seperti yang pernah Jovan
lihat sebelumnya.

"Lo ingat kan alasan gue sangat membenci dia?"

"Karena dia merebut orang yang lo sayang dengan


sengaja padahal dia sahabat lo. He ruined your
relationship with Aluna."

"Mau tahu apa yang sebenarnya terjadi?" Jovan tidak


perlu menunggu responnya Natella untuk menjawab
pertanyaannya sendiri. "Aluna juga sayang Sean dan
hubungan gue rusak karena ulah gue sendiri. And to
be honest, I want him to feel what I've felt. Gimana
orang yang dia sayang menghianati dia..."

Natella mengeluarkan kata 'what?' tanpa suara, terlalu


terkejut dengan informasi tidak diduganya yang keluar
dari bibir Jovan, yang tentu kontradiktif dengan yang
diberitahu Arka kepadanya. Dari wajahnya, kelihatan
jelas bahwa otaknya mati-matian mencerna infromasi
yang tidak bisa dia percayai itu. Entah itu Arka
ataupun Jovan punya kebenaran versi masing-masing
dan itu sama-sama menyakiti mereka.

"Natella..." Jovan memanggil namanya, menatap cewek


di hadapannya itu lekat-lekat tepat di manik mata. "It's

519
obvious that you love him. You ever said it nth times. But
why you believe me more than him?"

"Karena lo sepupu gue."

Jovan menyandarkan badannya ke kursi, tertawa sinis.


"Kita memang sepupuan, tapi bukan berarti gue gak
bisa menyakiti lo, kan? Gue bahkan sudah
memperingati lo berkali-kali."

Natella terdiam, jantungnya seketika berdetak begitu


cepat, tidak punya kata-kata untuk menjawab kalimat
penuh intimidasi Jovan ataupun mata tajamnya yang
bak punya niat tersendiri pada Natella.

Jujur, dia merasa takut ketika Arka menculiknya atau


bertingkah bak tidak biasanya. Tapi, Jovan punya aura
berbeda yang membuat Natella lebih ingin mempercayai
sepupunya ini, ditambah pengakuan Arka mengenai
apa yang telah dia lakukan kepada Jovan dulunya.
Bukankah dalam film ataupun novel, kita harus
berpihak pada 'pahlawan'? Natella memutuskan
berpihak pada Jovan karena berpikir dia 'pahlawan'.

Dan Jovan baru saja memberitahunya bahwa Natella


telah memilih pihak yang salah.

Lelaki itu berdiri, mendekatkan wajahnya agar sejajar


dengan Natella yang pasih.

"Tahu gak kenapa gue ngajakin lo kesini? Ke tempat


tertutup yang cuma ada lo sama gue? karena gue tahu
lo bakal menjadi agen ganda. Jadi gue sudah
menyiapkan rencana lain yang gak bisa lo gagalin."

520
Natella diam, dia tidak memiliki jawaban. Bulu
kuduknya terasa terangkat semua seiring kata-kata
yang dikeluarkan Jovan. Otaknya menyuruhnya untuk
segera berlari, namun kakinya terlalu lemas untuk
melakukan perintah itu.

"Lo emang sepupu gue, sayangnya gue udah terlanjur


mati sama yang namanya rasa. Mungkin dengan gue
balas dendam ke Sean, gue bisa merasa lebih baik."

"Jov, gak lucu tau gak!" Natella mencoba mengeluarkan


isi pikirannya. Sejak tadi, terlalu banyak kata demi
kata yang bertabrakan di benaknya yang berteriak
meminta dikeluarkan.

"It's actually so simple, La. Semenjak gue sadar dia


menyayangi lo, gue tahu gue harus menyakiti siapa.
Dan lo membuat semuanya lebih mudah dari yang gue
pikirin."

"..."

Kali ini, Jovan tidak lagi menampakkan tawa sinisnyan,


hanya tatapan kosong tanpa rasa kasihan ataupun
belas kasih, "Thanks for your trust, eventho I can not
believe you. But we are cousins after all."

"So, it's going to feel awkward if I touch you. That's why


someone else is going to do that..."

Kalimat Jovan menggantung, dia melihat ke sisi lain


rumah itu, bertatapan dengan lelaki lain yang
kemudian berjalan ke dekat mereka.

"Someone who also wants to take revenge."

521
Itu menyenangkan bagi Jovan melihat ekspresi
ketakutan Natella ketika dia mendapati sosok Yudha
yang datang di antara mereka. Setelah ini, dia bisa
mendapati apa yang dia mau, dendam yang terbalas
kepada Sean. Sean akan merasakan rasa sakit seperti
yang dia rasakan dulu.

Sakitnya sebuah penghianatan.

Well, seberapa jauh langkahnya untuk balas dendam?


Jovan ingat bahwa pada awalnya kepulangannya ke
Indonesia bukan untuk balas dendam. Namun segala
keadaan yang mendukung membuatnya ingin berbuat
serakah. Menikmati rasa takut dan sakit dari orang
yang paling dia benci.

Dia masih membayangkan buah manis dari


perbuatannya ketika dia merasakan pipinya memanas.
Natella baru saja menampar pipinya dengan sangat
keras. Oh, tentu saja rasanya ngilu.

Mudah bagi Jovan untuk memukul balik cewek yang


matanya sudah berair di hadapannya ini. Namun Jovan
memilih menahannya dan mengeluarkan seringai,

"Bagaimanapun, La, apapun yang lo lakuin dan lo pilih,


pada akhirnya gue maupun Sean bakal menyakiti lo."

"..."

"Dan setelah apa yang lo lakuin ke Sean, menghianati


dia, apakah lo berpikir dia masih mau nolongin lo?"

Itu pertanyaan yang tidak langsung di jawab Natella


karena tangan cewek itu sudah ditarik Yudha. Cewek
itu memberontak, tentu saja dia tidak terima begitu

522
saja dengan perlakuan Yudha yang menyeretnya
sesuka hati.

Sayangnya, nggak bakal ada yang menyelamatkan elo.


Seharusnya.

Jovan awalnya tidak menduga bahwa Yudha bisa


dijadikan partner kerjasama yang menguntungkan.
Namun, rencana pertamanya berjalan lancar, meskipun
bagi Yudha, itu gagal total. Lelaki obsessive itu tidak
menyadari bahwa Jovan hanya memanfaatkannya
untuk memancing Arka.

Dan sekarang, Yudha menyusun rencana lain, dia


meminta Jovan membantunya agar bisa memiliki
Natella yang menjadi pusat obsesinya.

Jovan tahu bahwa rencana Yudha memang gila dan


terlalu jauh, namun dia menyetujuinya. Dia juga
melangkah sejauh Yudha. Oh, kalau saja Bundanya
tahu apa yang dia lakukan, tamparan pada wajahnya
akan bertambah.

Atau kalau saja Papa Natella tahu apa yang dia


lakukan pada anak gadisnya, mungkin pria itu bisa
saja menghajarnya sampai mati.

Kalau saja Oma mereka tahu apa yang dia lakukan,


mungkin perempuan tua itu akan serangan jantung.

Jovan tahu bahwa dia punya banyak sekali risiko yang


tidak seharusnya dia pedulikan. Dari awal, dia tidak
pernah menganggap mereka keluarganya, kan? Jadi,
itu bukanlah masalah baginya.

523
Namun, seperti pepatah lama, darah selalu lebih kental
dari air. Kadang, itu tidak hanya soal rasa melainkan
soal keharusan.

"Keluarga itu harus saling melindungi, kan?" Itu yang


dia pelajari sejak kecil dari Bundanya. Meskipun dia
sempat lupa bagaimana wajah Bundanya, dia masih
ingat hal-hal kecil yang diajarkan perempuan itu
kepadanya bahkan sebelum otaknya bisa mencerna
logika.

Jovan dapat mendengar suara pintu yang akhirnya


didobrak kasar, mendapati Arka yang berjalan buru-
buru ke arahnya, dia bahkan tidak sempat memproses
data yang masuk ke otaknya ketika lagi-lagi dia harus
merasakan ngilu pada wajahnya akibat pukulan keras
dari cowok yang menatapnya nanar.

He comes faster than he thought.

Tidak berhenti disitu, dia juga merasakan tendangan


pada badannya yang sudah tersungkur, seperti menjadi
pelampiasan kemarahan dan rasa sakit orang yang
memukulnya.

Jadi begini ya rasanya? Pertanyaan itu muncul dalam


benaknya, dia bahkan lebih memikirkan jawaban dari
pertanyaan itu dibanding mencoba membalas pukulan
yang diterimanya.

Tidak terlalu berlangsung lama karena lelaki itu


berurusan ke hal lain yang lebih penting.

Jovan mengusap sudut bibirnya, mendapati darah


mengalir dari sisi yang sobek. Dia tersenyum, merasa
puas. Sean akhirnya memukulnya lebih dulu, membuat

524
ia akhirnya dapat memulihkan ribuan rasa bersalah
yang tertutup keegoisan dan kebencian.

"That's funny how you still want to save her." Jovan


bergumam, badannya kesusahan untuk berdiri.

Dia tahu bahwa langkahnya mulai kejauhan demi yang


namanya dendam. Namun sejak awal, dia sudah
menyadari dimana dia harus berhenti.[]

***

525
Chapter 32. The End of Our Comfort
Zone

Apartemen ini terasa sepi. Reno makin jarang pulang


ke ruangan yang menjadi tempat tinggalnya dan Arkasa
karena terlalu sibuk dengan kerjaannya yang baru.
Lelaki yang duduk di sofa depan TV itu awalnya sempat
berpikir bahwa Arka sedang berada dalam kamar,
makanya agak terkejut mendapati pintu di buka dari
luar lalu muncul Arkasa dengan rautnya yang
memperlihatkan kekosongan.

Seperti raganya saja yang berjalan di hadapan Reno,


sementara jiwanya tersesat entah di mana.

"Kenapa lo?" tanya Reno menegur, lumayan khawatir.


Jelas sekali bahwa Arkasa tidak kelihatan baik-baik
saja.

Seperti yang ia prediksi, Arka tidak menjawab, dia


melewati Reno untuk menuju dapur, membuka kulkas
dan mengambil sebotol air mineral yang kemudian
diminumnya hingga habis. Mata Reno yang tadinya
sibuk menatap film action di TV, malah mengawasi
pergerakan Arka.

Reno setuju apabila Arka mendeskripsikan bahwa Reno


merupakan orang yang paling suka ikut campur di
dunia. Dia ingin sekali lagi ikut campur, memaksa Arka
memberitahunya masalah yang dia alami kali ini, Reno
yakin pasti tidak jauh-jauh dari masalah lama.

Masalah percintaan yang tidak ada habisnya.

526
Sayangnya, entah ini hanya perasaan Reno saja atau
aura Arka lagi gelap-gelapnya. Seperti pria itu bisa
membacok siapapun yang mencoba menyenggol, mulut
Reno yang tadinya terbuka ingin mengeluarkan
bacotan, terpaksa ia tutup kembali.

Pasrah.

Lalu, Arka malah berjalan ke arahnya, jantung Reno


sempat berdetak lumayan kencang, berpikir bahwa pria
ini berniat menonjoknya meskipun Reno tidak ingat
kalau dia punya salah.

Ya, bagaimana ya. Bukannya Reno takut ribut sama


Arka. Tapi dia lagi malas-malasnya untuk ribut.

Namun, yang dilakukan pria dingin itu malah duduk di


tempat kosong sebelah Reno. Tidak berbicara apapun
selain menatap kosong ke layar.

"Ren," Panggilnya kalem.

"It's obvious there is something wrong with you," Reno


tidak berbasa-basi. "Mau cerita sama gue?"

"Kayaknya bisa gila gue kalau tetep diam saja."


Balasnya. Membuat Reno menebak kalau ini bukan
persoalan biasa. Well, Arkasa mana pernah begini
duluan kepadanya, apalagi bersedia bercerita mengenai
hidupnya yang terlalu privasi.

"Mau gue kasih minum gak nih biar curhatnya enak?"


tanya Reno menawarkan, yang kali ini ditolak
menggunakan gelengan oleh Arka, tidak lagi termakan
oleh rayuan sesatnya. "Jadi?"

527
"What I've been afraid the most just
happened." Ungkapnya, berusaha tenang. "Jovan
gunain Natella buat balas dendam ke gue. Dan
meskipun gue tahu ini bakal terjadi, it still hurts more
than I expected." Arka melanjutkan prolog dari
ceritanya, sudah cukup membuat Reno menahan
napas karena awalnya saja sudah semenegangkan ini.
Dia tahu bahwa diam-diam Arka ketakutan selama ini,
itu yang menjadi alasan dia begitu tertutup juga
menahan dirinya agar tidak terlalu mencintai, selain
segala hal yang diucapkan oleh Maminya atau
ditanamkan pada otaknya.

"Mungkin karena Natella ikut andil dengan sengaja dan


lebih percaya Jovan dibanding gue. She helped Jovan to
hurt me too." Lanjut Arka lunak.

Reno tidak dapat sembunyikan keterkejutannya,


"Natella? Bukannya dia benci Jovan?" tidak menyangka
bahwa Natella bisa setega ini pada Arka. Reno tidak
habis pikir Arka bisa-bisanya mengucapkan itu tanpa
emosi yang jelas. Apabila Reno yang dikhianati begitu
oleh orang yang dia sayang, mungkin Reno akan balas
dendam dengan menghancurkan hatinya juga. Atau
kalau perlu hidupnya.

Arka membuka mulutnya lagi, masih tanpa ekspresi.


"Gue gak bisa ngerti jalan pikir dia. Meskipun
akhirnya, dia juga dijebak Jovan. Dia bahkan hampir
diperkosa Yudha."

Mata besar Reno membulat. "Si Yudha lagi? Bajingan


bener udah sakit jiwa. Si bangsat ketemu gue beneran
gue kebiri tuh orang!" lanjutnya, tidak bisa lagi
menahan kata-kata emosinya agar tidak keluar. "Level
terobsesinya ke Natella udah nggak waras."

528
Arka tersenyum hambar. Matanya menunjukkan rasa
sakit yang sebenarnya kentara, "level terobsesi gue ke
Natella juga pernah gak waras." Akunya. "Kalo bunuh
orang bukan kejahatan, gak mikir dua kali gue buat
bunuh si Yudha."

Reno berdecak, ia kemudian mengeluarkan


pendapatnya, "Lo justru jadi waras semenjak pacaran
sama Natella, sebenarnya. Kayak gue tau lo nekat, lo
bisa aja nyakitin orang yang jahatin lo lebih parah, tapi
Nat sering banget kan jahatin lo? Eh lo diemin aja.
Udah level bego sih lo." Reno memberikan komentarnya
dengan suara yang senetral mungkin. Dia diam
sebentar, berpikir dan mencerna cerita Arka
sebelumnya, "bentar, itu maksud lo Jovan yang nyuruh
Yudha buat ngapa-ngapain Natella?"

Jika Arka menjawab ya, mungkin Reno tidak segan


untuk melayangkan tinjunya ke muka Jovan, "ya, gue
tau lo semua brengsek. Tapi kalo Jovan sampe tega
ngelakuin itu, binatang namanya." lanjut Reno emosi,
makin kesal bukan main. Tidak tahu siapa yang harus
dia caci maki dengan kata paling brengsek, entah
Natella, Yudha atau Jovan.

Yang jelas, mereka bertiga punya andil atas luka yang


sedang diderita Arka.

Mendengar cerita Arka, malah dia yang bertingkah


seperti cacing kepanasan, sedangkan yang
mengalaminya langsung malah terlihat anteng-anteng
saja.

Reno pernah mendeskripsikan bahwa Arkasa Sean


Hadinata seperti udara sebelum badai. Tenang, sejuk,
namun sebetulnya siap mempora-porandakan.

529
"But at least he told me that Natella was in danger."
ucap Arka pelan. "Gue gak tau apakah gue bisa
memaafkan diri gue sendiri kalau Natella sampe
kenapa-kenapa karena masalah gue dan Jovan yang
belum kelar. She was the real victim here."

Reno mengangguk setuju. Sekesal apapun Reno


mendengar cerita Arka mengenai Natella yang rupanya
menghianati sahabatnya itu, jelas sekali bahwa Natella
merupakan korban yang menderita paling parah.
Bayangkan saja kalau Arka memenangkan ego balas
dendamnya pada Jovan dibanding perasaannya pada
Natella, mungkin dia bisa melakukan hal yang yang
lebih gila untuk menyakiti Natella. Natella merupakan
sepupu Jovan, bagaimanapun. Arka juga bisa balas
dendam ke Jovan lewat Natella. Tapi sejak awal, dia
tidak pernah peduli dengan dendam-dendaman lagi.

"Dan semakin mengingat kejadian malam ini, semakin


gue berpikir bahwa nyokap ada benernya juga, seingin
apapun gue berharap itu salah."

"Soal?"

"Soal gue dan Natella hanya akan terus menyakiti."

"Memang."

"Tapi bukannya cinta itu memang bakal selalu sakit?"

Reno menganggukkan kepalanya. "Gue mamang


kayaknya berpengalam soal cinta, mengingat cewek-
cewek yang gue kencani selama gue hidup yang
jumlahnya sampe nggak terhingga. Numun sebenarnya,
gue gak pernah benar-benar mencintai seseorang.
Kalaupun pernah, mungkin sekali dan gue mulai lupa

530
rasanya seperti apa." Reno menjeda kalimatnya
sebentar. Dia menyenderkan badannya di sofa,
menatap lurus ke TV yang sebetulnya tidak
ditontonnya lagi. "Jadi sebenarnya, gue gak berhak
menjawab. Tapi menurut yang gue tau..." Suara
beratnya di tahan lagi untuk menghembuskan napas.
Matanya bak menerawang jauh ke masa lalu.

"When you love someone too much, you may be selfless.


You think about someone you love first and going to do
anything for them. And suddenly, you forget how to love
yourself too. Dan menurut gue, itu yang terjadi pada lo
dan juga Natella. You both forget to love your own self
first."

"..."

"Natella insecure-an, lo hidup di masa lalu."

"I dont even want to live in the past."

"Forgive yourself, Sean." respon Reno. "Teori emang


gampang, ngomong gini juga gampang banget. Gue tau
kalau secara teori, lo juga maunya bisa maafin diri
sendiri, maafin Jovan dan bisa baik-baik aja. Gue juga
paham kadang kita ngerasain sesuatu yang gak pengen
kita rasain, tapi tainya, makin kita cegah malah makin
berasa." Jelas Reno panjang. "Sekali lagi, teori emang
gampang. Tapi teori termasuk alat untuk biar praktek
berjalan lancar. Belajar, Sean. Belajar buat maafin diri
lo sendiri. Jangan kabur, jangan menghindar, jangan
jadi pengecut. Karena kalau lo gak bisa, hidup lo gak
bakal pernah bisa tenang."

"..."

531
"Gue ngomong gini emang cuma pake logika. Tapi
sekali-sekali, untuk persoalan cinta, lo harus menangin
logika biar hati lo gak terus-terusan hancur."

Arka sekali lagi membasahi bibirnya.

"Lo emang gak minta saran, tapi gue bilang ini semua
buat bantu lo berpikir."

"Thanks." balas Arka kemudian. Dia tidak pernah sadar


bahwa bercerita pada Reno tidak seburuk yang ia duga
selama ini. Meskipun dia tidak menelan ataupun
membenarkan semua ucapan-ucapan Reno. Tapi,
setidaknya, kata-kata Reno cukup membuat isi
pikirannya yang negatif sedikit berkurang. "Kejadian
malam ini membuat gue belajar banyak."

"Sekarang lo mending istirahat. Ingat, jangan sampe


menyakiti diri lo sendiri" itu yang dikatakan Reno saat
Arka memutuskan berjalan ke kamarnya.

Dibalas oleh anggukan singkat oleh Arka. Mungkin dia


memang butuh waktu untuk memutuskan sesuatu dan
memaafkan dirinya sendiri.

***

Semenjak malam itu berlalu, Natella sadar kenapa


orang-orang menyebutnya sebagai penyihir, pipiyot,
ratu jahat dan karakter-karakter lain yang
menggambarkan peran antagonis.

Well, dia mungkin memang antagonis. Rasanya wajar


apabila dia jahat di kehidupan orang yang tidak dia
sukai. Namun rupanya, dia juga jahat di kehidupan
orang yang dia cintai.

532
Dia jahat di kehidupannya sendiri dan untuk hidupnya
sendiri.

Natella tidak bisa berbohong jika dia selalu terngiang


kejadian pada malam itu, bahkan setelah seminggu
lebih berlalu. Tidak tahu apa yang lebih membuatnya
trauma, entah itu Jovan yang menusuknya dari
belakang, Yudha yang hampir memperkosanya atau
malah Arka yang sudah dia khianati.

Ya, dia menyakiti Arka. Kali ini, dia sadar dan tidak
punya alasan untuk play victim lagi.

Tapi parahnya, sejahat apapun perbuatan yang


dilakukannya terhadap Arka, cowok itu tetap mau
memperlakukannya sebagai seorang manusia. Arka
bahkan mengantarnya pulang malam itu, selamat
sampai rumah. Dia tidak mencaci Natella apalagi
memukulnya, meskipun rautnya betulan melihat
kekecewaan dan sakit yang jelas.

Arka hanya diam. Dan saat itu, diam terasa lebih sakit
dari ribuan makian.

"Janji sama aku untuk nggak kenapa-napa, Ka." itu


yang Natella minta sebelum dia bersedia turun dari
mobil Arka.

Pria itu nyaris tidak menjawabnya. Butuh bermenit-


menit hingga akhirnya dia merespon, mungkin setelah
berpikir panjang lebar. Arka mengangguk, "ya. Janji
juga sama aku untuk gak kenapa-napa, Nat."

Itu merupakan percakapan terakhir mereka. Setelah


itu, Arka benar-benar menutup kontak dengan Natella,

533
tidak peduli sebanyak apapun cewek itu mengirimnya
pesan ataupun telpon.

Paling tidak, Reno bersedia memberikan kabar Arka


yang katanya tengah mencoba agar baik-baik saja,
menyampaikan pesan dari Arka bahwa cowok itu butuh
waktu untuk menenangkan diri. Dan Natella juga
seharusnya melakukan hal yang sama.

Ya, Natella memang mati-matian melakukan itu,


mencoba menenangkan diri meskipun yang dia dapati
hanya rasa bersalah yang makin menjadi.

8 hari telah berlalu, dan hari ini, pagi ini, Natella


mendapati pesan dari Arka di handphonenya, mengajak
bertemu.

Dia merindukan Arka, sangat

Makanya Natella duduk disini, di salah satu tempat


duduk sofa cafe yang lagi sepi, langsung meluncur
kemari setelah UAS nya berlangsung.

Dia sudah 30 menit menunggu, minuman yang ia


pesan sudah habis. Natella ditemani lagu-lagu coldplay
yang memang menjadi lagu favoritnya, sehingga
ditengah perasaan cemas dan juga senangnya yang
campur aduk, Natella tidak terlalu merasa bosan.

Cewek yang tengah melamun itu tiba-tiba merasa


sesuatu yang dingin di pipinya yang membuat dia reflek
mendongak, mendapati Arkasa dengan kemeja cokelat
terangnya berdiri di sebelahnya dengan sebotol Nu Milk
tea dingin yang ia belikan untuk Natella. She really
liked that drink nowadays.

534
"Sorry, lama Nat. Tadi dipanggil dulu ke ruang dekan,"
ucapnya sembari melepaskan tas ranselnya dan duduk
di sebrang Natella. "Tuh dibeliin biar gak ngambek,"
Arka menunjuk sebotol minuman yang sudah berada
tepat di depan Natella sementara cewek itu malah
menatap dalam ke arah Arka, membuat lelaki itu
akhirnya memberinya senyum tipis.

Rasanya Natella ingin menangis sekaligus tenang


mendapati Arka baik-baik saja, sesuai harapannya.

Tapi pipinya yang mulai basah dan pandangannya yang


mengabur cukup menjadi bukti bahwa dia sudah
menangis, karena berbagai alasan yang melayang di
otaknya.

Arka yang baru datang tentu kelihatan kaget melihat


Natella yang malah menangis. Cewek itu berusaha
menghapus airmatanya, seperti itu jatuh begitu saja
tanpa izinnya.

"Ini karena lagu coldplay, makanya aku nangis," ucap


Natella beralasan, masih menghapus airmatanya yang
berjatuhan tidak tahu diri.

Ya, lagu yang keputar sekarang the scientist dari


coldplay yang liriknya kurang lebih menceritakan soal
penyesalan. Benar-benar mendeskripsikan perasaan
Natella sekarang yang berharap semuanya bisa dimulai
lagi dari awal.

Karena Natella yang kesusahan untuk meredakan


tangisnya, Arka kemudian pindah duduk di sebelah
cewek itu. Mempuk-puk pelan bahunya. Tidak reda
juga, Arka membawa Natella kepelukannya. Dia selalu
melakukan ini tiap kali Natella menangis betulan yang

535
bukan cuma sekedar drama. Yang menyebabkan
isakan Natella malah semakin terdengar frustasi.

Untung cafe ini lagi sepi karena bukan jam makan


siang.

Sumpah, Natella begini bukan untuk cari perhatian.


Dia sama sekali tidak mau mangis, namun dadanya
terasa sesak dan sakit sekali.

Dalam hati dia berharap bahwa ini bukan kali terakhir


Arka memeluknya seperti ini.

"Aku gak pernah maksud nyakitin kamu, Ka." bisik


Natella kemudian.

"Iya, Nat. Aku tahu." Arka menjawab seadanya.


Mendapati tangis Natella yang mulai mereda, Arka
pelan-pelan melepaskan pelukannya.

"Kamu mau ngomong apa sama aku?" Natella


kemudian menanyakan maksud Arka mengajaknya
bertemu, telah menebak-nebak apa yang akan dibahas
Arka.

Arka pasti minta putus.

Dan mengingat perbuatannya, Natella tidak mungkin


mencegah keinginan pria itu. Dia bahkan tidak pantas
mendapat perlakukan baik dari pria itu lagi, apalagi
masih pantas untuk cintanya.

Mungkin itu alasan yang membuat tangisnya makin


parah.

536
"aku pindah ke sebrang ya biar enak ngobrolnya."
balasnya, kemudian cowok tinggi itu pindah ke sofa di
sebrang Natella. "Kemarin Mami aku nemuin kamu ya,
Nat?" tanya Arka.

Natella menganggukkan kepalanya sebagai respon. 3


hari lalu, Natella memang bertemu dengan tante Anna
setelah UASnya selesai.

"Mami bilang apa?"

Natella menggelengkan kepalanya, menolak


memberitahu Arka. "Rahasia," balas cewek itu
seadanya. "Biar kamu rasain gimana rasanya
penasaran," tambahnya kemudian. Membuat Arka
hampir tertawa.

"Mami gak nyakitin kamu kan, Nat?"

Natella menggeleng lagi, kalaupun memang ucapan


Tante Anna menyakitinya, mungkin karena itu
merupakan fakta yang ia coba tolak.

Tante Anna bercerita banyak soal Arka, rata-rata


mengenai hal yang tidak pernah Natella ketahui.
Tentang bagaimana Arka, tentang Arka yang terluka
karena ulahnya dan tentang Arka yang sebetulnya
mencintainya.

Ya, Tante Anna bahkan menjamin bahwa Arka begitu


mencintainya.

Natella bahkan tidak pernah berpikir bahwa seseorang


bisa mencintainya sebanyak itu. Sebuah fakta yang
membuat Natella semakin sayang Arka sekaligus
merasa tidak pantas untuk Arka.

537
"Aku seneng deh liat kamu tertawa." Natella berbicara
lagi. "Jangan pernah ngelukain diri kamu lagi ya, Ka.
Aku tau dari Mami kamu kalau kamu pernah self
harm."

"Tapi udah gak lagi, Nat. Itu juga gak pernah parah."

"Makanya kamu gak suka kalau aku liat perut kamu,


Ya?"

Arka lagi-lagi menunjukkan cengirannya. Dia selalu


berusaha menutupi soal itu pada Natella. Ya, Arka
memang punya sejarah depresi sampai melakukan
selfharm waktu dia masih SMA, setelah Aluna pergi.
Namun, sumpah, dia tidak pernah melakukannya lagi
sampai sekarang. Meskipun dia pernah berniat waktu
Natella berkata tidak dapat mempercayai ucapannya

"Bekasnya bahkan udah ilang."

Natella memaksa senyum tipisnya. "Makasih untuk


baik-baik aja ya, Ka."

Arka membalas senyum Natella dengan senyum


lebarnya yang mirip anak kucing. Melihatnya seperti ini
membuat Natella benar-benar merindukan banyak hal.
Bahkan ketika Arka berada di depan matanya, dia
masih merasa rindu terhadap pria itu.

"Kamu juga harus baik-baik aja ya, Nat." kata Arka


membalas. Dia membasahi bibirnya, tampak berpikir
sebentar hingga akhirnya membuka mulut, "Nat, waktu
di Singapura, kamu pernah mabuk."

Natella menganggukkan kepalanya, memberitahu


Arkasa bahwa dia ingat kejadian itu.

538
"Kamu bilang ke aku kalau kamu mau kita balik
temenan kayak dulu."

Napas Natella yang tadinya mau terhembus kembali dia


tahan. Mungkin setengah dari dirinya diam-diam
menginginkan perpisahan dengan Arka.

Tapi itu dulu. Sungguh. Itu dulu saat Natella selalu


berpikir jika Arka tidak pernah membalas perasaannya.
Saat Natella menduga bahwa Arka diam-diam
menyayangi Mentari. Saat Natella sudah lelah-lelahnya
memperjuangkan perasaan Arka.

"Waktu itu aku bales kalau aku gak pernah mau pisah
sama kamu."

"..."

"Tapi, Nat. Aku udah mikir 8 hari terakhir ini. Dan


kayaknya Mami ada benernya, kita hanya terus
menyakiti satu sama lain. Makanya mungkin kita
memang lebih baik temenan."

Natella menganggukkan kepalanya, sudah siap dengan


ini semua. Dia punya banyak sangkalan, namun
rasanya dia sama sekali tidak pantas untuk menjadi
tidak tahu diri dan memohon agar hubungan mereka
tetap baik-baik saja.

Dia tahu betul bahwa semuanya akan berakhir dengan


perpisahan. Beruntungnya, perpisahan yang baik-baik.

Meskipun ini sangat menyakitkan untuknya, Natella


tidak menangis. Airmatanya sudah dia bayar dimuka.

"Tapi kita tetep temenan kan, Ka?"

539
Arka menganggukkan kepalanya yakin. Dia kemudian
menggaruk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal
untuk berbicara lagi. Entah kenapa, dia terlihat ragu
untuk membuka ini, "ya, temenan." Ungkapnya, lalu
dia membasahi bibirnya untuk melanjutkan, "aku juga
mau kasih tau kalau aku bakal pindah..."

"Hah?" Tanya Natella kaget. "Pindah?"

Jujur, masuk akal ketika Arka memintanya putus,


Natella menebak sejak Jovan mengatakan kalau
sepupunya yang brengsek itu sudah memanfaatkan
Natella. Arka memang pasti memutuskannya.

Tapi, kenapa pindah dan terlalu mendadak? Kemana?

"Ada program double degree, Nat. Lumayan bisa lanjut


di Seattle."

Arka memang mengambil program internasional yang


di dalamnya terdapat program double degree, untuk
yang memenuhi syarat bisa menghabiskan beberapa
semester di universitas negara lain yang bekerjasama.

"Kamu ikutan? Kenapa gak pernah cerita? Kenapa aku


gak pernah liat persiapan kamu?"

Ah, ya. Bukankah Arka memang tidak pernah cerita


kepadanya, selalu diam-diam? Bahkan ketika Natella
tidak punya hak lagi untuk menanyakan hal itu, tetap
saja sesak yang awalnya ia coba buang jauh-jauh
terasa lagi.

Arka tidak pernah bercerita hal penting apapun


kepadanya.

540
"Awalnya aku pikir untuk gak ngambil. But I think I
should take this because this is part of my dream."

"..."

"Aku pernah berpikir untuk jadi dokter karena Aluna,


Nat. Tapi sekarang, aku pengen jadi Dokter karena
keinginan aku sendiri."

Natella tidak mampu menatap ke arah Arka lagi,


"berapa lama, Ka? Dua semester?"

Arka menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu


menahu. "Mungkin aku juga bakal koass disana."

"Jadi, gak bakal pernah pulang lagi?"

"Pasti pulang, Nat. Aku janji bakalan pulang."

Ini adalah kabar menyakitkan yang tidak pernah


Natella persiapkan sebelumnya. Bahkan memikirkan
Arka memutuskannya dengan cara tidak baik-baik pun
terasa lebih bisa dia terima daripada ini. Asal dia masih
bisa melihat Arka.

Washington-Indonesia, perbedaan waktu saja sampai


12 jam. Disini tengah malam, disitu tengah hari. Disini
gelap gulita, disana terang berderang. Disini mulai
tertidur, disana mulai beraktifitas.

"Kapan kamu berangkat?"

"Mungkin bulan depan, setelah semuanya siap."

"..."

541
"Boleh kan, Nat?" tanya Arka hati-hati.

"Aku gak punya hak buat melarang."

Dan Arka memberikan senyumnya sebagai respon.


Jujur, dalam hatinya yang paling dalam, Natella ingin
berteriak bahwa dia tidak mampu merelakan Arka
pergi. Meskipun akhirnya, dia sadar bahwa kali ini, dia
harus tahu diri.

Dia harus terima kenyataan kalau sang Pangeran


memang tidak tercipta untuknya.

***

Terlalu banyak hal yang ia rasakan terhadap Natella


yang tidak sempat Arkasa ungkapkan ataupun
tunjukkan.

Bahkan sampai sekarang, ketika dia akan pergi dalam


jarak yang sangat jauh.

Arka belum sempat mengatakan kalau Natella sangat


cantik, bahkan tanpa bulu mata palsu atau saat
mukanya memerah sehabis dermaroller.

Arka belum sempat mengatakan betapa dia menikmati


memandangi tingkah laku Natella, makanya dia
meminta Natella berhenti menatapnya.

Arka belum sempat mengatakan bahwa dia begitu suka


mendengar cerita-cerita random Natella, meskipun
kadang gemas juga dengan kelakuan cewek itu yang
aneh-aneh.

542
Arka belum sempat menunjukkan betapa dia mencintai
Natella, betapa Natella berarti dalam hidupnya.

Dan hal-hal lain yang terpikir dan terkenang dalam


otaknya.

90 menit lagi jadwal boarding. Banyak yang


mengantarnya ke terminal 2D Soekarno Hatta. Ada
Reno, teman-teman organisasinya, teman-teman
kampusnya, Putri, Mentari, Meira, Jeana, Dennisa,
bahkan ada Ferre. Namun, Natella tidak disini. Tidak
terlihat sama sekali dalam pandangannya hari ini.

"Gue masuk ya." Arka berucap pamit setelah dia


mengucap terimakasih kepada teman-temannya itu, dia
sempat memeluk mereka satu persatu, bibirnya masih
mampu menampakkan senyum dan tawa, bahkan
menggoda teman-temannya yang menangis.

"Anggap gue cuma liburan, entar pulang gue bawain


oleh-oleh deh." ucapnya santai. Lalu setelah itu, dia
betulan menggiring kopernya untuk melewati petugas
bandara.

Sejak tadi, hampir seluruh temannya menanyakan


dimana Natella. Cewek itu memang sengaja tidak
datang. Dia sudah mengatakan pada Arka tadi malam,
saat membantunya untuk packing barang-barang yang
belum dimasukkan.

"Aku kayaknya gakbisa nganter kamu besok." Natella


berkata sembari mengecek isi lemari Arka, mungkin
saja ada barang berharga yang belum sempat ia
masukkan, Arka bahkan tadi sempat izin untuk
memasukkan boneka lumba-lumba yang pernah

543
Natella menangkan di Timezone, yang dia berikan
untuk Arka.

"Kenapa?"

"Ada acara."

"Acara apa?"

"Kepo deh," balas Natella asal. Dia sengaja mengatakan


itu untuk mengolok Arka yang dikit-dikit mengatainya
kepo jika banyak tanya.

"Nanti pesawatnya transit atau langsung?"

"Transit di Hong Kong."

"Oh." Balasnya. Menyadari semua barang Arka tidak


ada lagi yang perlu dimasukkan, cewek itu kemudian
berjalan menghampiri cowok yang sejak tadi berdiri
dekat pintu. "Aku pasti bakal kangen kamu banget,"
ucap Natella di hadapan Arka. "Aku boleh peluk gak,
Ka?" pinta Natella.

Arka menganggukkan kepalanya. Membuat Natella


agresif melingkarkan tangannya di punggung cowok
itu. Dia memeluk Arka begitu erat seperti ia adalah
sesuatu yang sangat berharga dan harus dia jaga.

Natella tidak berbicara apa-apa, hanya memeluknya


dalam diam.

"Ka, kamu pergi karena benci sama aku ya? Karena gak
mau liat aku lagi?" tanyanya tiba-tiba.

"Nggak lah, Nat."

544
"Kamu jawab iya juga gak papa kali, Ka. Aku tau aku
udah jahat banget ke kamu selama ini. Aku sejahat itu,
Ka. Aku bahkan gak ngerti kenapa aku bisa sejahat itu
ke kamu. Bahkan buat minta maaf aja aku nggak
pantes." bisiknya di pelukan Arka. Mati-matian
menahan agar tidak menangis lagi. Akhir-akhir ini,
Natella berubah menjadi cewek cengeng.

Apalagi untuk sebulan terakhir.

"Aku udah maafin kamu, Nat. Kamu juga maafin aku


ya? Biar kita bisa sama-sama sembuh."

Natella mengangguk dalam pelukan Arka.

"Aku takut besok gak bisa biarin kamu pergi, makanya


sekarang aja ya pamitnya." ucap Natella kemudian.
"Aku boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Jangan belajar sampe capek-capek banget ya, Ka.


Jangan kebanyakkan ngegame juga. Kasian mata dan
badan kamu."

"..."

"Jangan mendem terus. Kalau sakit hati, bilang. Kalau


ada yang nyakitin kamu, bilang."

"..."

"Jangan benci sama diri kamu sendiri lagi. Pokoknya


kalau terjadi apa-apa cerita. Cerita ke aku kapanpun
juga boleh."

545
"..."

"Jangan menyerah sama mimpi kamu. Itu yang harus


jadi prioritas kamu sekarang."

"..."

"Dan jangan." Kalima Natella menjeda. "Ini agak berat.


Jangan lupain aku ya, Ka?"

Sebelum Arka menjawab, Natella berbicara lagi. "You


are going to find someone who deserves your love and
can treat you dearly." Ucap Natella lagi.

"Tapi kalau orang itu berani nyakitin kamu, bilang


sama aku. Biar aku labrak."

Arka tertawa, meskipun kenyataannya ia ingin


menangis sejak awal Natella memeluknya.

"Aku bakal kangen sama kamu banget." Ucapnya lagi.

Dan tentu saja, Arka juga akan sangat merindukan


perempuan ini.

Rasanya ini tidak adil mengingat dia sempat berpikir


bahwa dia bisa bersama Natella terus,
mengesampingkan omongan maminya dan
memenangkan hatinya yang makin hancur.

Lalu sekarang, mereka malah harus berpisah seperti


ini.

"Jaga diri kamu baik-baik, Nat." bisik Arka membalas.


Setelah itu, mereka tidak berbicara banyak lagi.

546
One of the saddest part in life is saying goodbye to
someone you want to spend your whole life with. And
that part happened today.

Dan sekarang, saat Arka sudah masuk ke ruang


tunggu, boarding pesawat tinggal 10 menit lagi, mereka
bahkan belum sempat mengucapkan salam perpisahan
untuk satu sama lain. Atau sekedar terimakasih karena
Natella pernah membuat hidupnya terasa lebih baik
dan belajar banyak.

Arka memasang headsetnya yang sekarang terputar


lagu The Scientist dari Coldplay.

Nobody said it was easy

It's such a shame for us to part

Nobody said it was easy

No one ever said it would be this hard

Oh take me back to the start

Dia masih bisa tersenyum dan tertawa di hadapan


orang-orang yang mengantarnya tadi. Namun disini, di
ruang tunggu bussiness class, dia menundukkan
kepalanya dalam-dalam dan menutup wajahnya pakai
topi dengan headset putih yang tersambung di telinga.

Menangis.

Kalau saja dia bisa kembali ke awal sehingga semuanya


bisa diperbaiki.

***

547
Dari dalam mobilnya yang terparkir di parkiran
terminal 2, gadis itu memutuskan untuk tidak turun
dan menemui Arka. Penerbangan Arka pesawat malam,
dia bahkan sudah disini sejak 3 jam yang lalu.

Natella pernah menonton Ada Apa Dengan Cinta dan


juga Effeil I'm in Love dimana tokoh-tokohnya
melakukan perpisahan romantis di Bandara.

Tapi, Natella disini, di dalam mobil ketika Arka akan


pergi dalam jarak yang sangat jauh. Tidak memeluk
Arka, tidak mengucapkan selamat jalan atau bahkan
tidak mengucapkan sampai jumpa.

Terlalu banyak hal yang dia takuti makanya dia


memutuskan untuk tidak turun dari mobil. Diam dan
menangis sejadi-jadinya menyadari betapa dia pernah
bodoh karena menyia-nyiakan orang seperti Arkasa
Sean Hadinata.

Ya, memang banyak hal yang dia sesali yang malah


merusak hidupnya sendiri. Namun paling tidak, dia
tidak pernah berpikir menyesal mencintai Arka. Berikut
momen manis serta pahit yang telah mereka lalui
selama 3 tahun.

Cinta itu cengeng. Cinta itu menye-menye. Cinta itu


bikin bodoh.

Tapi semua orang pernah bodoh.

Orang yang jenius pun pernah bodoh.

Dan Natella tidak menyesal menjadi bodoh karena


mencintai Arka.

548
Katanya, setiap orang dalam hidupnya akan mengalami
fase tiga kali jatuh cinta. Jatuh cinta pertama kali,
Jatuh cinta yang toxic dan menyakitkan. Jatuh cinta
yang mendewasakan.

Kamu cinta yang mana Arka?

Semalam, dia sempat mengatakan pada Arka bahwa


lelaki itu akan menemukan perempuan baik yang akan
memperlakukan dia jauh lebih baik dari Natella.

Dan Natella juga yakin bahwa dia akan menemukan


orang seperti itu nanti.

Air mata Natella dia biarkan berjatuhan, menghiraukan


dirinya yang menangis sesunggukan.

Hari ini, dia membiarkan kesedihan membakar hatinya,


sehingga dia bisa menjadi orang yang lebih baik
keesokan hari.

They said life begins at the end of your comfort zone.

Dan beginilah zona nyaman itu berakhir secara


sederhana.

Tapi menyakitkan, dengan harapan bisa


mendewasakan.[]

-THE END-

Closure

549
Suatu kutipan dari buku Life Of Pi mengatakan,
"hidup pada akhirnya adalah tentang melepaskan,
tetapi yang paling menyakitkan ialah tidak mengambil
kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal."

Empat tahun lima bulan enambelas hari setelah


Natella memilih untuk bersembunyi dan menangis
dalam mobil di parkiran Bandara saat Arkasa
berangkat ke Washington. Tidak sempat memeluk,
mengucapkan selamat tinggal, atau sekedar
mengucapkan sampai jumpa lagi.

Padahal, itu bisa jadi merupakan kesempatan terakhir


Natella utuk bisa melakukan itu.

Saat itu, Natella adalah cewek berumur 21 tahun yang


patah hati karena orang yang ia impikan untuk
bersama selamanya pergi meninggalkannya, sebuah
akhir dari zona nyaman yang tentu mampu mengubah
hidupnya.

Natella ingat bahwa dia sempat menyesal setengah


mati kenapa waktu itu dia tidak menjadi pemberani
dan menemui Arka, untuk sekedar memeluk lelaki
yang sangat dia sayangi itu sekali lagi.

Namun hari ini, dia 25 tahun, hampir 26 tahun,


memasuki umur dewasa dan telah menyadari bahwa
hidup tidak hanya soal cinta. Kadang itu beriringan
dengan mimpi, cita-cita, keluarga dan juga karir.

Natella menatap dirinya di cermin, dia mengenakan


blouse berwarna peach dan juga rok span di atas lutut
berwarna putih, memegang baju pengantin yang belum
dia ganti, sedang fitting mengingat 2 bulan lagi ia akan
segera menikah.

550
Bibirnya membentuk senyum, teringat kalau dulu dia
pernah mengatakan pada Yudha kalimat yang berupa,

"Cinta itu nggak pernah bisa dipaksakan. Orang-orang


punya potongan puzzlenya sendiri yang ngga hanya
cocok untuk orang-orang tertentu. Suatu hari nanti, lo
bakal ketemu sama potongan yang pas dengan puzzle
lo, dan lo ngga perlu melakukan usaha apapun supaya
cocok"

Dulu, sebanyak apapun dia berusaha, itu jelas bahwa


dia sama sekali tidak bisa cocok dengan Arka,
semaksa apapun dia untuk mencocok-cocokan. Natella
mendapati ujung yang selalu menyakiti setelah itu dan
diakhiri dengan kesimpulan jika mereka bukan untuk
satu sama lain.

Namun sekarang, Natella merasa bahwa dia telah


menemukan potongan puzzle yang selama ini dia cari
tanpa harus mencari, yang pas dengan miliknya tanpa
harus dia paksakan. Lelaki itu adalah calon suaminya.
Lelaki yang dia pilih dan juga memilihnya. Lelaki yang
mencintai Natella dengan cara paling pantas untuk dia
dicintai. And she doesnt need to fight for it.

Ditinggalkan oleh Arkasa Sean Hadinata karena cowok


itu ingin mengejar mimpi memang menyakitkan. Tapi
saat ini, ketika Natella berpikir bahwa luka lamanya
telah sembuh, dia menyakini bahwa pilihan Arka
untuk pergi merupakan hal terbaik untuk mereka.

Kalau Arka tidak pergi waktu itu, mungkin dia dan


Arka akan terus-terusan saling menyakiti, terjebak
dalam percintaan beracun yang tidak ada ujungnya.
Dan mungkin Natella tidak akan pernah bertemu
dengan calon suaminya ini, lelaki yang dia yakini

551
terbentuk dari masa lalu, demi masa sekarang dan
untuk masa depan yang pantas untuknya.

Well, calon suaminya memang tidak sempurna, Natella


juga tidak sempurna. Dia yakin banyak yang lebih baik
di luar sana untuknya, atau bahkan terbaik. Begitu
pun buat calon suaminya. Namun, Natella memilih dia
dan dia memilih Natella. Menurut mereka, itu sudah
lebih dari cukup dan mereka tidak menginginkan
lebih.

Pada akhirnya, waktu memang obat paling baik untuk


menyembuhkan segala luka.

Natella mendengar pintu fitting roomnya diketuk,


membuat dia membukanya dan menemukan seorang
lelaki yang datang terlembat di luar sana, kelihatan
dari rautnya jika dia sudah berusaha datang secepat
mungkin, "maa... loh kamu habis nangis?"

Memangnya kelihatan ya? Natella bermonolog dalam


hati.

"Keinget mantan," jawab Natella asal, bercanda.


Untungnya, lelaki yang memegang jas berwarna putih
itu tidak masalah tiap kali mulut Natella berbicara
seenaknya.

"Gimana gaunnya, pas nggak?"

"Belom aku cobain."

"Terus daritadi ngapain?"

Natella menatap laki-laki berkemeja biru dongker itu


agak lama, seperti ragu apakah dia harus

552
menceritakan ini pada calon suaminya atau tidak.
Namun Natella akhirnya bersuara, paham jika lelaki
ini bisa menerima masa lalunya sebagai pembentuk
seorang Natella Narundana di detik ini.

"I was just wondering, apa kabar cowok yang ninggalin


aku lima tahun lalu?"

"He must be fine," balas cowok itu agak lama.


“Bukannya kamu bilang dia sudah menemukan cewek
yang bisa mencintai dia sebagai dia? Cewek yang bisa
membuat dia mengungkapkan isi kepalanya tanpa
harus dipaksa?”

Natella mengangguk, ya, dia sering menceritakan itu


kepada calon suaminya. Menyadari bahwa Natella
tidak seharusnya bawa-bawa itu di momen fitting baju
pengantin, dia melanjutkan. "Maaf kalau aku masih
belum melupakan mantan aku yang itu.
Bagaimanapun, dia yang paling mengajarkanku
banyak soal cinta, patah hati, dan menjadi dewasa."

Lelaki yang masih berdiri di depan pintu fitting room


itu tersenyum, "it's okay," balasnya seadanya,
mengingatkan Natella bahwa lelaki ini bisa dia ajak
berbicara soal apapun, wadah terbaik untuk
mengungkap isi pikirannya. "Jangan lupa kalau
mantan kamu dulu pergi bukan untuk meninggalkan
kamu, tapi belajar untuk memaafkan dirinya sendiri
biar bisa kembali menjadi dia yang utuh."

Natella memutar bola matanya mendengar itu, "kenapa


kamu sok tahu banget soal mantan aku?"

"Because you talked about him a lot, berikut kata-


katanya yang dia ucapkan ke kamu."

553
"Bosen nggak kamu dengernya?"

"Nggak, I like to listen everything that pass on your


mind," balasnya lagi, lalu dia melihat ke sekeliling,
"harus banget ya kita ngobrolnya di sini?"

Natella mengangguk, "mumpung lagi nggak ada yang


antri ganti. Udah, Mas Arya gak bakal marahin kita
karena lama juga. Kita akhir-akhir ini sibuk banget,
memangnya kamu nggak kangen sama aku?"

"Kangen. Peluk boleh?" tanyanya.

Natella tentu mengangguk, dia melebarkan tangannya


untuk berakhir menjatuhkan badanya ke dada bidang
calon suaminya yang masuk ke ruangan kecil itu,
lelaki yang dalam hitungan bulan akan secara legal
menjadi suami Natella.

Pelukkan itu berhenti saat Natella melihat benda


terjatuh dari kantong celana lelaki yang memeluknya,
"eh nametag kamu jatoh," Natella mengambil kertas di
laminating itu, memperhatikan sebentar ke arah foto
yang tertempel dan nama yang tertera disana, "Dokter
Arkasa Sean Hadinata," tanpa sadar dia mendikte
dengan senyum yang merekah.

"..."

"Namanya mirip ya sama mantan aku."

Lelaki itu mengambil nametagnya, dia menatap lamat-


lamat ke cewek yang lebih pendek meskipun telah
memakai high heels 9 cm, "but I am better than you ex."

554
"Iyalah, mantan aku dulu milik masa lalunya. Tapi
kamu milik aku."

Di balas oleh tawa lelaki itu yang menampakkan gigi-


giginya yang rapi. Lalu tanpa izin, dia memeluk cewek
di hadapannya ini lagi, kali ini lebih erat daritadi
karena dicampur gemas. Menggesek-gesekkan pipinya
ke rambut perempuan ini, "kamu kenapa tadi nangis?"

"Udah dibilang keingat mantan..." Natella menjawab


sembari mencoba melepaskan pelukan sesak yang
dilakukan Arkasa Sean Hadinata terhadap badannya.

"In case you still wonder, mantan kamu sekarang telah


tumbuh jadi laki-laki yang berdiri di hadapan kamu
sekarang. Kepergiannya waktu memuat dia memahami
kalau hidup bukan hanya sekedar untuk hal-hal
berbau materi, ego dan harga diri. Namun juga soal
perasaannya dan untuk siapa jantungnya berdetak.”

“Memangnya untuk siapa?‟

“Untuk dirinya sendirilah, biar bisa hidup.”

Natella memukul lengan cowok yang memeluknya ini,


“dasar nggak pernah bisa romantis.”

“Juga untuk cewek yang selalu membuatnya pengen


menjadi lebih baik.”

“Siapa?”

“Kamu.”

Dan Natella tidak mengerti kenapa air matanya malah


terjatuh lagi, “thanks for letting me love you again.”

555
***

Empat tahun lima bulan empat belas hari, atau 32 jam


setelah Arkasa Sean Hadinata naik pesawat untuk
menuju Seattle, Natella menangisi kebodohannya yang
tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada titik
paling krusial. Dia tahu bahwa dia akan merindukan
seorang Arkasa Sean Hadinata mungkin dalam kurun
waktu selamanta.

Cewek itu malah mendapati handphonenya berbunyi,


panggilan masuk dari Arkasa, sebuah Video Call.
Terlalu random di saat Natella lagi berada dalam
puncak patah hati. Cowok itu awalnya berbasa-basi
mengenai cuaca di sana dan juga tempatnya. Hingga
berakhir pada percakapan yang mulai serius, “I can‟t
sleep because I don‟t tell you about it yet.”

“Apa?”

Terlihat dari layer, Arka meneguk salivanya


kesusahan, dia bahkan sempat membasahi bibirnya
yang terasa kering. “Nikah sama aku yuk, Nat…”
ucapnya kemudian. “Nikah sama aku lima tahun lagi,
Nat. Pas aku udah kerja.”
Natella terntu terdiam, berpikir bahwa cowok ini lagi
mabuk atau apa. Kenapa bisa-bisanya dia mengatakan
hal seperti itu di saat mereka berada dalam jarak yang
jauh.
“Aku tahu aku kurang ajar ngomong kayak gini ketika
aku malah pergi, tapi, aku nggak akan tenang kalau
nggak ngasih tahu kamu sekarang.”
“It‟s not funny, Arkasa.”

556
“Inget gak kalau kita di McD dan ngobrolin soal pilihan
dalam hubungan? Katanya, kita selalu punya pilihan
lebih dari satu, memilih untuk meninggalkan atau
nggak meninggalkan. Kamu minta aku untuk memilih
nggak ninggalin kamu, tapi aku diam aja waktu itu.”

Natella masih tetap diam, dia seharusnya bisa


mematikan sambungan itu dan memblokir selama-
lamanya cowok paling kurang ajar yang pernah dia
kenal.

“Nat, di antara kita, cuma kamu yang punya pilihan.


Kamu punya pilihan untuk ninggalin aku atau nggak
ninggalin aku. Tapi aku nggak punya pilihan. Satu-
satunya yang aku punya itu nggak ninggalin kamu.”
“Malah kamu ninggalin aku.” Balas Natella kalem, ada
nada kesal yang sengaja ia tampakkan disana.
“Aku harus menyelesaikan yang belum selesai. Aku
butuh waktu untuk memaafkan diri aku sendiri, Nat,
berdamai sama diri sendiri, untuk belajar mencintai
diri aku sendiri. Baru setelah itu, aku harap aku bisa
pantas mencintai kamu juga.”
“Kamu tuh jahat banget, tahu nggak?” ungkap Natella
sejujur-jujurnya. “Ngapain coba ngomong kayak gini
pas kamu malah jauh?”
“Biar kamu keinget aku terus dan nggak jadi sama
cowok lain.”

557
“Itu bener-bener jahat, Arka! Sumpah, kamu beneran
sejahat itu, tahu nggak?” saking kesal dan tidak tahu
harus bagaimana, Natella sampai menangis frustasi.
“Yaudah, kamu jadian sama cowok lain dulu juga
nggak papa. Tapi nikahnya tetep sama aku, ya?”
“Nggak.” Ucap Natella kesal sebelum akhirnya
memutuskan sambungan itu dan membenci Arkasa
Sean Hadinata lebih dari apapun karena membuatnya
terus-terusan kepikiran soal cowok itu.
Memang orang yang leaving you hanging itu manusia
paling jahat di dunia, bikin mikirnya ke dia terus. Tiap
kali hampir jadi sama cowok-cowok baru yang bikin
senang, akhirnya pasti gagal karena kepikiran dia lagi-
dia lagi.
Butuh waktu agak lama yang akhirnya membuat
Natella paham bahwa seperti Arkasa Sean Hadinata
yang tengah memperjuangkan mimpinya, Natella juga
punya mimpi yang harus dia buat menjadi nyata. Juga
belajar agar lebih tulus dan menjadi versi terbaik
dirinya yang bisa ia banggakan. Mereka butuh waktu
untuk diri sendiri. Atau menyelesaikan sesuatu yang
belum selesai sama diri masing-masing.
***
Terlalu banyak yang Natella ataupun Arka lewati
hingga mereka menjadi diri mereka yang sekarang.
Natella menyenderkan kepalanya di bahu Arka,
“Gara-gara mantan aku, aku jadi suka main PS.”
Natella berbisik pelan pada Arka, biar tidak
mengganggu penonton lain. “Aku juga seneng kamu

558
jadi suka ke Bioskop,” lanjut Natella, kemudian
mendapati cowok yang di sebelahnya itu malah
tertidur.
Dibanding marah, Natella malah tersenyum. Arka suka
ke Bioskop, tapi tetap tidak suka menonton film di
tempat dingin dan nyaman untuk tertidur itu.
Natella masih menjatuhkan kepalanya di bahu Arka,
teringat seminggu lalu saat Natella kesal undangan
mereka malah salah cetak, cewek berakhir bertanya,
“kenapa milih aku padahal banyak cewek lain yang
lebih baik di luar sana?”

"Yang lebih baik belum tentu cocok sama aku," itu


jawaban Arka. "It's actually as simple as I choose you
and you choose me too. And we fight for better
relationship together."

Arka membasahi bibirnya, "dulu, aku pernah mikir


kenapa hubungan kita nggak baik-baik aja. Tapi
kayaknya yang dibilang mami dan Reno ada benernya.
Kita gak boleh lupa untuk sayang sama diri kita juga.
Awalnya, aku pikir berjalan di jalan yang beda sama
kamu emang sesuatu yang harus aku terima."

Natella diam-diam membenarkan hal itu dalam hati.

"Tapi semakin aku pikir-pikir, kayaknya nggak ada


salahnya untuk bikin tujuan yang sama dengan jalan
yang kita bangun sendiri. Meskipun aku sempat takut
kalau kamu nggak mau.”."

"..."

559
"I was scared as hell so I actually wanted to escape and
give up. Tapi, aku sadar kadang apa yang paling kita
inginkan itu berada di balik takutan terbesar kita.
Yaudah aku paksa buat coba. Meskipun kamu
kayaknya gak mau waktu itu, seenggaknya aku
ngerasa lega dan kepikiran jalan keluar lain."

"..."

"Akhirnya kan kamu mau juga. Meskipun semuanya


gak gampang. Namanya juga dua manusia, dua otak,
dua ego. Nggak bakal berhasil kalau rencana kita
cuma berjalan seperti yang aku mau, atau kamu mau.
Harus yang sama-sama mau."

Natella tersenyum dan memeluk lengan cowok yang


tertidur di sebelahnya. Dia mulai bermonolog dalam
hati

Kepergian Arkasa Sean Hadinata ke Seattle waktu itu


merupakan patah hai terbesar gue, namun gue ngga
menyesalkan kejadian itu.

Mungkin beberapa hal nggak berubah menjadi lebih


baik. Mungkin kitanya yang menjadi lebih baik, lebih
kuat. Gue dan dia belajar untuk hidup dengan situasi
yang ada, nggak peduli sekacau ataupun sejelek
apapun itu. Memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dan
menerima yang nggak bisa diperbaiki. Mungkn gue atau
dia nggak sepenuhnya sembuh. Tapi gue dan dia disini,
mencoba, melakukan yang terbaik yang kita bisa.
Untuk membuat hubungan ini bekerja. Untuk
meminimalisir rasa sakit yang dibuat.

Dan begitulah akhirnya gue memilih dia. Dan dia


memilih gue. Kita memang punya wujud dan nama

560
yang sama dengan kita yang dulu, tapi beberapa hal
berubah. Gue gak bisa memastikan gue dan dia lebih
baik. Namun kita lagi sama-sama mencoba dan
berusaha.

Karena kadang, cinta sejati itu nggak ditemukan.


Namun dibangun, diperjuangkan lalu dipertahankan.

Almost everyhing has its own perfect timing. No matter


how good something is, when the time doesn't right then
it wont feel good as it's suppossed to be.

Mungkin dulu bukan waktu terbaik buat gue dan dia,


makanya banyakkan kacaunya daripada senengnya.
Tapi sekarang mungkin waktu yang tepat.

Atau kita yang membuatnya menjadi tepat.[]

Fin

561

Anda mungkin juga menyukai