Anda di halaman 1dari 2

Chapter 26:

Geya tengah bersiap-siap duduk di bangku panjang depan kantor travel, menanti Arka
sampai. Di tangannya, telah ada sebungkus plastik penuh berisi kacang pedas yang siap untuk
diluncurkan ke Arka. Dalam hati, Geya menertawai dirinya sendiri. Belum pernah ia
bertindak aneh seperti ini, apalagi hanya untuk seorang lelaki.
Sekitar pukul delapan malam, travel yang ditumpangi Arka datang. Arka tidak bilang
ke Geya sebelumnya bahwa ia bersama teman. Bukan karena apa-apa, ‘kan memanh hanya
teman. Lagipula, orang seperti Geya bukan tipe pencemburu, ‘kan?
Tepat saat mobil berhenti dan pintu dibuka, Geya langsung berdiri. Ketika Arka
keluar, ia hendak menghampirinya, namun, ketika seorang wanita seumurannya mengekori
sambil berbincang ria, langkah Geya langsung terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Ia
familiar dengan perasaan ini. Perasaan yang sudah lama tak ia rasakan. Perasaan yang sudah
lama ia berusaha kubur dan hindari. Perasaan yang sudah tidak sanggup lagi ia rasakan.
Arka menoleh, mendapati Geya tengah berdiri terdiam dengan bungkusan plastik
besar di tangannya. Tak terpikirkan olehnya apa yang tengah dirasakan kekasihnya itu.
“Ge!”
Arka melambai, dan langsung menghampiri Geya. Laras mengikutinya dengan
senyuman ramah, siap berkenalan dengan kekasih Arka.
“Kesambet apa lo jemput gue?” canda Arka. Geya masih terdiam, tersenyum masam,
berusaha menahan gejolak api yang sedang mencoba membakar hatinya. Kali ini, Arka si
manusia peka tak menyadarinya. Geya terlalu ahli menyembunyikan perasaan.
“Ohiya, ini Laras, teman SMA gue,” jelas Arka, sebelum ada salah paham. Laras
menyodorkan tangannya, yang langsung disambut Geya dengan senyuman palsu.
Geya masih terdiam. Ia tidak tahu harus berkata dan bertindak apa. Ia bingung dengan
perasaannya sendiri.
“Kemaren gue keabisan tiket, trus Laras ngasih tiketnya ke gue. Trus, ya udah,
baliknya bareng lagi.” Jelas Arka, tanpa diminta.
“Gapapa ‘kan, Ge?” tanya Laras, takut terjadi salah paham.
Geya menghela napas, mengatur ekspresinya.
“Gapapalah, santai.”
Hening sejenak.
“Itu lo bawa apa? Buat gue, ya?”
Arka hendak meraihnya, namun Geya refleks menepisnya.
“Ini buat stok camilan di rumah.” Jawabnya singkat.
Arka mulai menyadari suasana yang tidak enak. Apa mungkin Geya cemburu? Apa
mungkin, seorang Geya bisa cemburu?
Sebelum suasana semakin canggung, Arka pun mengajak Geya makan di sekitar sana,
sementara Laras pamit pulang lebih dahulu. Ia tidak ingin menganggu sepasang kekasih ini
lagi.
Setelah sekian menit, gejolak itu mulai hilang, namun pikiran Geya masih melayang.
Arka beberapa kali melemparkan topik, namun Geya menjawab seadanya.
“Ge,”
“Ya?”
“Lo enggak cemburu, ‘kan?”
Arka kira, Geya akan langsung menertawakannya. Namun, Geya seperti sedang
berpikir serius. Ia, seperti sedang menerawang perasaannya sendiri.
“Kayaknya enggak?” jawabnya, membingungkan. Tidak hanya untuk Arka, namun
geya pun bingung dengan perasaannya sendiri.
Jika dipikir-dipikir dan dirasa-rasa, ia tidak cemburu. Ya, perasaan itu bukan
cemburu, namun menyesakkan. Itu adalah memori. Memori-memori yang telah lama Geya
kubur. Arka dan Laras hanya mengingatkannya akan memori itu. Ia yakin, seperti itu.
Setelah makanan habis, Geya langsung mengajak pulang. Arka hanya menuruti.
Dalam kamar, Geya kembali terdiam. Ia melamun di kasur, masih mencoba
memahami dirinya sendiri. Memori itu kembali lagi. Dadanya sesak lagi. Ia mencoba
mematikan lampu dan merebahkan diri. Namun, bukannya terlelap, ia malah menangis. Ah,
sudah lama ia tidak menangis.
***
 
 

Anda mungkin juga menyukai