Anda di halaman 1dari 71

YES, BABY!

Extra Part 1 - 5
Extra 1: Dear Daddy
Oslo
"Daddy."
Mimi bersandar di meja kerjaku. Dia
memasang wajah merajuk yang selalu membuatku
gemas. Wajah itu tidak cocok dengan
pakaiannya yang sangat terbuka. Lingerie transparan
yang sama sekali tidak menutupi tubuhnya, malah
membuatnya semakin seksi.
Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai dengan acak-acakan. Wajahnya polos bebas
make up, tapi bibirnya yang merah alami
membuatnya semakin seksi. Mimi sengaja
menyilanglan kaki.
G-string yang dipakainya sama sekali tidak bisa
melindungi vaginanya.
Dia sangat menggoda.
"Daddy," bisiknya lagi.
Aku mengumpat dalam hati.
Sejak aku memanggilnya Baby, Mimi
membalas dengan panggilan Daddy. Panggilan
yang hanya keluar setiap kali dia bercinta denganku.
Atau ketika dia menggodaku.
"Miss you, Daddy," ulangnya dengan suara
manja yang merajuk.
She'll be the death of me. Dan aku tidak
keberatan.
"Come play with me, Daddy." Mimi kembali
merajuk.
"Baby, aku lagi kerja."
Mimi memberengut. Dia menatap meja
kerjaku yang berantakan. Aku sedang berada di
tengah proses tender berskala besar yang sangat
penting bagi keberlangsungan perusahaan ini. Kalau
saja nilai proyeknya tidak sebesar itu, aku tidak akan
sudi membawa pekerjaan pulang.
Namun Mimi malah menginginkan hal lain.
I want her. Melihatnya begitu seksi dan
menggoda membuat penisku langsung berulah. Aku
tidak pernah imun dengan Mimi. Sejak dia
menerimaku lagi dua bulan yang lalu, aku tidak
menyia-nyiakan setiap detik yang kumiliki. Pipiku
sampai kebas karena terus menerus tersenyum
teringat Mimi. Dia begitu manis. Begitu lucu. Dan
ketika hanya berdua denganku, Mimi sangat
menggairahkan.
"Di kantor kerja, masa di rumah juga kerja.
Enggak asyik ah." Mimi memberengut.
Ini hukuman untukku karena membawa pekerjaan
pilang.
Sudah beberapa hari aku tidak merasakan
kehangatan Mimi? Menstruasi sialan yang
menghalangiku bercinta dengannya. Pagi tadi Mimi
memberitahuku bahwa dia sudah selesai menstruasi
dan aku sudah tidak sabar untuk segera
menggaulinya.
Namun meeting besok pagi membuatku
terpaksa membawa pekerjaan pulang.
"Don't you miss me, Daddy?" Goda
Mimi lagi. Dia mengusapkan kakinya ke
pahaku.
Aku menggeram, membuat Mimi tertawa
penuh kemenangan.
"Sebentar lagi ya, Sayang."
Mimi mendecakkan lidah. "Kamu enggak
asyik."
Aku mengulurkan tangan dan mencubit
putingnya. Mimi terkesiap, kali ini aku yang tertawa.
"Pernah dengar kata sabar kan?"
Mimi mengangkat bahu. "Apa itu sabar? Aku
enggak tahu." My playful Mimi.
"Kalau kamu mau sabar sedikit aja, sebentar
lagi aku selesai." Aku kembali fokus ke laptop.
Kupikir siksaan ini akan berakhir, tapi ternyata
Mimi masih belum puas menyiksaku. Dia membawa
vibrator. Vibrator itu berwarna hitam. Kata Mimi,
mengingatkannya pada penisku.
Shit. Shit. Shit.
Mimi membuka kakinya lebar-lebar dan
menyalakan vibrator ke getar maksimal. Tubuhnya
mengejang saat vibrator itu memasuki vaginanya.
Aku tidak lagi bisa berkonsentrasi ke
pekerjaan karena pemandangan di depanku sangat
menggairahkan. Sebagai gantinya, aku bersandar ke
kursi dan menatap Mimi.
"Come on, Baby. Show me what you got."
Mimi menyunggingkan sebaris senyum.
Dia semakin menusukkan vibrator ke dalam
vaginanya. Cairannya membuat vaginanya
mengkilap. Aromanya menguasai ruang kerjaku.
Very hot.
"Hmmm... mau kontolmu, Mas," bisiknya.
"Dia enggak bisa bikin kamu puas?” Balasku.
"Sama aja, kan?
Hitam dan besar."
Mimi mendengkus. "Punyamu lebih enak."
Aku menahan diri untuk tidak menyingkirkan
vibrator itu dan menggantikannya dengan penisku.
"Masa? Kelihatannya kamu begitu menikmati."
Mimi kembali mengerang. "Biar kamu tahu apa
yang sudah kamu lewatkan. Begitu aku selesai
dengan si Hitam ini, aku mau tidur."
"Gimana dengan si hitam yang ini?" Aku
menunjuk penisku yang sudah bengkak dan memaksa
keluar dari celanaku. Mimi tersenyum mengekek.
"Bukan urusanku."
Aku kembali menyentuh putingnya dan
mencubitnya. Mimi selalu suka jika aku
melakukannya.
"Nakal."
Mimi kembali mengerang saat vibrator itu
mengoyaknya. "My
BOB treats me better than my BBC."
Kali pertama Mimi menyebut kata itu, aku tak
henti-hentinya tertawa. Sekaligus besar kepala. Dari
semua hal positif yang diwariskan ayahku, salah
satunya gen kulit hitam yang terkenal dengan penis
besar.
I'm proud of my cock.
Apalagi saat penisku berada di mulut Mimi dan
dia melumatku habis-habisan.
Atau saat aku menggauli payudaranya. Kulitku
yang gelap tampak kontras dengan kulit putihnya.
Dan favoritku, ketika aku menyatukan tubuhku
dengannya, bersama meraih kepuasan.
Shit, apa yang kulakukan? Aku hanya duduk
diam sementara Mimi memuaskan dirinya dengan
vibrator sialan itu?
Naluri menguasaiku, membuatku berhenti
bersikap bodoh. Aku merebut vibrator dari tangannya
dan membuangnya.
Mimi tampak terkejut. "What..."
Aku segera menciumnya, tidak memberinya
kesempatan untuk
protes.
"Your BBC is better than your BOB," bisikku.
Aku mengeluarkan penisku yang sudah meronta ingin
merasakan tubuh Mimi.
I am a boner for her.
"Do you my cock, huh?" Tanyaku.
Mimi mengangguk kencang. Wajahnya
menyiratkan betapa dia menginginkanku.
"Jawab, Sayang."
"Mau Mas," balasnya.
Aku mengusapkan kepala penisku ke liang
senggamanya, menyebabkan tubuh Mimi bergetar.
"Ini yang kamu mau?" Aku memasuki liang
senggamanya sehingga menguasai tubuhnya.
"Yes. Yes. Yes."
Aku mendekap Mimi erat. Seminggu tidak
merasakannya membuatku merindukannya. Mimi
mencengkeramku dengan erat. Ketika dia memutar
pinggulnya, aku yakin bisa selesai detik itu juga.
Bercinta bersama Mimi selalu menggairahkan.
Aku tidak akan pernah bisa puas merasakannya. Sejak
kembali bersama, Mimi selalu pulang bersamaku.
Bisa dihitung dengan jari kapan dia terakhir kali
pulang ke rumahnya.
She's mine.
She's belong here.
"Mas, lebih cepat," pintanya.
Aku mempercepat gerakanku. Tanganku
menarik lingerie yabg dipakainya. Lingerie itu begitu
tipis dan aku tidak bisa mengendalilan kekuatanku
sehingga kain itu robek aaat aku menariknya.
"You ruined my Victoria's Secret," protesnya.
Like I care.
Aku menunduk dan menyerbu payudaranya.
Putingnya yang kecokelatan selalu menantangku
untuk mengisapnya. Aku melarikan lidah di sana,
mencumbunya. Mengisapnya dalam-dalam. Bahkan
menggigitnya. Mimi menyukai apa yang kulakukan
di tubuhnya dan selalu memintaku agar
melqlakukannya lagi dan lagi.
Setiap detik yang kumiliki hanya untuk Mimi.
Mencium bibrinya yang selalu merekah dan
melontarkan kata-kata kotor untuk memancing
hasratku. Menyusu padanya, melumat putingnya
yang selalu mengundang untuk dijilat. Menggaulinya
dengan penisku yang tak pernah puas merasakannya.
She's my everything.
Sekarang aku mengerti perkataan orang tuaku.
Karena saat bersama orang yang tepat, semua terasa
pas. Semua yang terjadi bersama Mimi terasa apa
adanya. Tidak dipaksakan. Semua mengalir begitu
saja.
Mimi bergerak dengan irama yang sama
denganku. Napasnya yang terengah-engah
membuatku semakin berhasrat menggenjotnya
sampai dia tidak lagi bisa berdiri di atas kakinya.
Her crying orgasm makes me want to worship all
over her body.
"Mau pantatmu, Sayang."
Aku membalik tubuhnya hingga Mimi
membungkuk di atas meja. Aku menyingkirkan
semua berkas di atasnya sehingga ada tempat untuk
Mimi.
Bokongnya yang menggoda membuatku tak
ubahnya seperti binatang liar. Aku menampar
bokongnya sebelum memasukinya kembali. Erangan
Mimi seperti cambuk yang membuatku tidak bisa
berhenti. Gerakanku semakin liar menguasainya. Aku
menusuknya dengan keras dan cepat, menyentuh titik
paling sensitif di tubuhnya. Aku terus menggaulinya,
berpacu dengan lenguhan yang keluar dari mulutnya,
hingga nafsu mengendalikanku. Aku tidak lagi bisa
mengobtrol tubuhku.
"Mas... aku... fuck!" Mimi berteriak saat aku
memberikan hentakan yang keras dan dalam.
Tubuhnya bergetar saat orgasme menyapanya. Begitu
juga denganku, aku harus berpegangan ke meja ketika
orgasme menyapaku. Aku menumpahkan semua
cairanku di dalam tubuh Mimi hingga tak ada yang
tersisa.
Aku membawa serta Mimi saat rebah ke kursi
kerjaku.
"I am a happy man," bisikku. Kalau ini saat
terakhirku di dunia, aku ingin menghabiskannya
dengan bercinta bersama Mimi.
"And I am a happy girl."
Aku menciumnya. Melihat Mimi tidak berdaya
dan raut puas di wajahnya membuat penisku kembali
mengeras.
"Masih mau kontol?" Tanyaku.
Mimi menunduk untuk menatapku. "Hmmm...
mau."
Aku menjawil hidungnya gemas. "Tapi kamu
harus jadi anak
baik dulu."
Mimi menatapku dengan binar usil di matanya.
"Aku harus mengirim email malam ini.
Sementara itu, kamu bisa menungguku di tempat
tidur," jawabku.
"Boring." Bukan Mimi namanya kalau tidak
membuatku gemas.
"Katanya mau jadi anak baik."
Mimi mencibir. "Lebih enak jadi anak nakal.
Biar dihukum."
Aku benar-benar sudah dibuat takluk olehnya.
"Reward buat anak baik lebih menyenangkan
dibanding hukuman untuk anak nakal," balasku.
Mimi menatapku dengan sebelah alis terangkat.
"Kamu jadi anak baik, kamu dapat kontol. Jadi
anak nakal, cuma dapat lidah."
Mimi menelengkan kepala dan menatapku
dengan mata menyipit. "Aku jadi anak baik, aku dapat
lidah, bibir, jari, kontol, semuanya."
Shit, she's so fucking cute.
"Yes, Baby."
"Kamu cuma punya jatah lima menit." Mimi
berdiri sehingga aku harus mendongak untuk
menatapnya. "Kurang dari lima menit, kamu dapat
semuanya. Lebih dari lima menit..." dia tersenyum
menggoda. "Kamu cuma dapat susu."
Dia lalu meninggalkanku, sengaja melenggok
dan menggodaku dengan bokongnya yang bulat itu.
Mimi mengacungkan kelima jarinya sebelum
berbaring di tempat tidurku. "Tick tock tick tock..."
Sial. Aku sekarang menjadi budak cintanya
Mimi.
Not that I'm complaining.
Extra 2: This is Family
Mimi
"Hai, Mam." Aku melambai ke arah layar yang
menampakkan wajah ibunya Oslo. Tante
Astrid yang bersikeras agar aku
memanggilnya Mama sejak Oslo memperkenalkanku
padanya bulan lalu.
"Mimi, makin cantik saja kamu."
Aku menopang dagu dengan tangan dan
tersenyum lebar, membuat Mama tertawa dan Oslo
mendengkus.
"Mam, enggak usah dikipasin terus egonya
Mimi," timpal Oslo.
Aku mendecakkan lidah. "Kamu enggak asyik,
ah."
"Cuekin aja dia. Udah dibilangin jangan
kebanyakan mengomel, nanti cepat tua. Lihat tuh
udah ubanan," ujar Mama.
Ucapan Mama membuat Oslo langsung
mengambil cermin dan mengecek rambutnya. Aku
dan Mama hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.
Oslo makin sensitif saat disinggung soal
umur. Hal itu membuatku jadi makin sering
menggodanya. Padahal tak ada yang salah. He's aging
like a fine wine. Meski dia tiga belas tahun lebih tua
dariku, bagiku tak ada masalah.
Malah aku menyukai perbedaan usia ini, karena
aku bisa menikmati Oslo yang begitu gagah dan
perkasa.
"Jadi, gimana rencana kalian? Jadi, kan, ke
sini? Mama mau ketemu kamu langsung, Mimi."
Aku tidak menyangka akan dikenalkan secepat
ini kepada orang tua Oslo. Jarak yang jauh membuat
perkenalan itu hanya terjadi lewat FaceTime. Aku
ingat pagi itu, ketika menunggu panggilan telepon
tersambung, keringar dingin menguasaiku. Meski
Oslo menenangkanku dan yakin aku akan baik-baik
saja, nyatanya aku tidak bisa berhenti khawatir.
Kecemasanku tidak terbukti. Orang tua Oslo
menyambutku dengan tangan terbuka. Tante Astrid
begitu menyenangkan. Dia memiliki kecantikan khas
Indonesia yang awet meski sudah dimakan usia.
Begitu juga ayahnya. Oslo sangat mirip dengan
beliau. Aku tahu bagaimana Oslo ketika berumur
60an nanti. Masih ganteng dan perkasa.
Aku juga berkenalan dengan Paris. Dia sangat
ramah, aku yakin bisa berteman baik dengannya.
Sekarang hampir setiap hari aku berbalas chat dengan
Paris. Membicarakan apa saja, meski pembicaraan itu
didominasi tentang Oslo.
Delilah dan Max, si kembar yang juga menyita
perhatianku.
Keluarga Oslo sangat berbanding terbalik
dengan keluargaku. Mereka dipenuhi cinta dan tidak
ragu untuk mengungkapkannya. Ini jenis keluarga
yang selama ini kuidam-idamkan.
"Aku belum pernah ke Amerika," sahutku.
"Kamu pasti suka. Nanti Oslo bisa mengajakmu
jalan-jalan. Kita bisa belanja bareng, Paris juga. Oslo
enggak perlu ikut, kita cuma butuh kartu kreditnya,"
canda Mama.
"Deal," sahutku yang disambut gerutuan Oslo.
"Oh ya, nanti akan ada desainer yang
menghubungimu untuk tahu ukuran tubuhmu. Kamu
butuh gaun untuk acara nanti," ujar Mama.
Undangan ke Amerika enggak sekadar ajakan
jalan-jalan. Kedua orang tua Oslo berniat untuk
memperbarui janji pernikahan. Kebetulan bertepatan
dengan ulang tahun pernikahan mereka. Tak ada
alasan bagi Oslo untuk tidak datang.
Mama juga memastikan agar aku datang.
Bahkan membuatkan gaun yang sama dengan Paris.
Ini terlalu cepat. Namun anehnya, aku tidak
keberatan sedikit pun.
"Makasih, Ma." Mama kemudian berbincang
dengan Oslo perihal acara tersebut. Aku
mendengarkan mereka sambil membayangkan suaru
hati nanti aku memiliki keluarga sendiri yang penuh
kehangatan seperti ini.
Dan di bayanganku, Oslo memegang peranan
penting.
***
"Sekarang aku paham kenapa kamu jadi
romantis. Orang tuamu begitu romantis." Aku
berbisik saat berbaring di dada Oslo.
"Dulu aku sempat malas kalau melihat
mereka sudah mesra-mesraan. Tapi sekarang justru
aku senang melihatnya. Mereka jadi pengingat kalau
cinta sejati itu beneran ada," sahut Oslo.
Aku mendongak untuk menatapnya. Hatiku
menghangat setiap kali merasakan tatapan teduh Oslo
tertuju padaku.
"Aku menginginkan keluarga seperti itu."
"They are yours." Jawaban Oslo membuat
hatiku semakin menghangat.
"Aku sudah enggak sabar mau ke Amerika.
Aku baru sekali ke sana." Aku begitu bersemangat.
"Nanti aku ajak jalan-jalan."
"Dan belanja."
Sementara aku tertawa, Oslo malah
mengerang.
"Gimana ayahmu? Masih membenciku?"
Tanyanya, dan membuat suasana hatiku berubah
buruk.
Berbeda dengan tanggapan keluarga Oslo,
keluargaku malah sebaliknya. Bapak memang belum
menerima Oslo, tapi juga tidak menentang.
Menurutku itu sebuah kemajuan.
Mas Andre dan Aldo langsung akrab dengan
Oslo. Apalagi Aldo, karena koneksi Oslo
membantunya dalam karier musiknya.
Om Satrio tidak lagi mengganggu. Sepertinya
dia benar-benar takluk di tangan Tante Rahmi.
Yang menjadi kejutan adalah Darius. Kabar
terakhir, dia dikeluarkan dari angkatan udara karena
terlibat kasus pelecehan seksual. Om Prabu tidak
memanfaatkan kekuasaannya untuk menolong
Darius, dan itu membuatku makin mengaguminya.
“Someday he'll comes to his sense.”
Aku memeluk Oslo erat, seakan Bapak ingin
menariknya menjauh dariku.
“Aku enggak mau kamu ninggalin aku,”
ujarku.
“Never, Babe.”
“Keluargamu membuatku iri.” Aku semakin
meringkuk dalam pelukan Oslo.
Oslo mendekapku erat.
"Enggak perlu. Suatu hari nanti, kamu bisa
membangun keluargamu sendiri." Oslo melanjutkan.
Aku tersenyum dan memeluknya. Dia benar.
Aku bisa melakukannya.
Dan aku akan melakukannya bersama Oslo.
Extra 3: My Baby Boy
Mimi
Belum pernah aku melihat Oslo segugup ini.
Jika sedang gugup, Oslo enggak bisa diam. Ada-
ada saja yang dilakukannya untuk menyibukkan diri.
Seperti sekarang, aku sudah kehilangan hitungan
berapa kali dia membenarkan letak bantal.
"Everything's okay?" Tanyanya.
Aku terpaksa menahan diri. Bagaimana pun aku
mengerti mengapa dia segugup ini.
Ini kali pertama Oslo akan menghabiskan
waktu sepanjang hari dengan anaknya. Dia
berusaha tenang, tapi dia tidak bisa
menyembunyikan kepanikannya dariku.
Rosie melahirkan tiga bulan lalu. Seorang bayi
laki-laki yang sangat lucu. Aku ingat ketika
menemani Oslo menunggui proses bersalin. Kalau
ada yang bisa menandingi paniknya Oslo sekarang,
itu ketika Rosie memberitahu dia sudah di rumah
sakit. Saat itu tengah malam. Oslo dengan sigap ke
rumah sakit, dan aku menemaninya.
Oslo tidak perlu melakukan tes DNA. Begitu
melihat bayi itu, siapa pun akan langsung tahu dia
anak Oslo. Meski begitu, Rosie tetap menjalankan tes
DNA agar Oslo tenang.
Blessing in disguise, karena Rosie dan Oslo
akhirnya bersikap dewasa dan melupakan masalah
yang menahan mereka di mas lalu. Mereka saling
kompak demi Rhys.
Oslo benar-benar bertanggung jawab. Dia
memastikan semua kebutuhan Rosie dan Rhys
terpenuhi. Aku harus menahan diri untuk tidak
cemburu. Oslo melakukannya sebagai bentuk
tanggung jawabnya sebagai ayah. Berkali-kali Oslo
meyakinkanku bahwa dia hanya mencintaiku.
Aku tidak mungkin membenci Rhys. Meski
hanya sesekali bertemu dia, anak itu sudah
menyentuh hatiku.
Selama ini, Oslo yang menghampiri Rhys ke
rumah Rosie. Aku sering ikut dengannya. Belakangan
aku juga tidak bisa membenci Rosie karena ternyata
dia cukup menyenangkan.
Di usia tiga bulan, Oslo dan Rosie memutuskan
untuk mengajak Rhys menginap di tempat Oslo.
Rosie membuka kamar di hotel yang tidak begitu jauh
dari apartemen Oslo sehingga jika terjadi sesuatu
pada Rhys, dia bisa segera datang.
"Semua kebutuhannya sudah cukup kan?"
Tanya Oslo lagi.
Aku mengangguk. "Lihat kamu panik bikin aku
ikutan panik,"
ujarku.
Oalo berhenti mondar mqndir. "Thank you,
Mimi. Aku enggak yakin bisa kalau sendiri."
Tadinya aku ingin memberikan Oslo
kesempatan berdua dengan Rhys, tapi dia memohon
agar aku tetap tinggal.
Dering telepon membuat Oalo semakin panik.
Rosie memberi tahu dia sudah sampai.
"Semua akan baik-baik saja." Aku berusaha
menenangkan Oslo.
Oslo menghela napas panjang sebelum
membukakan pintu untuk Rosie. Aroma tubuh bayi
yang menenangkan langsung memenuhi
apartemennya.
"Hei, Kiddo." Oslo menyapa Rhys hangat.
Bayi itu begitu lucu dengan baju dan
topi biru yang menggemaskan. Aku yakin saat dewasa
nanti, dia akan menjadi seperti ayahnya.
Heartbreaker.
Oslo menggendong Rhys. Selalu ada perasaan
asing di hatiku saat melihat Oslo menggendong Rhys.
Dia begitu natural. Oslo boleh saja gugup dan
khawatir tidak bisa menjaga Rhys, tapi dia bisa
langsung masuk ke peran ayah denga sendirinya. Apa
adanya.
He was born to be a father.
Pagi ini, hatiku kembali menghangatsaat
melihat Oslo bercengkrama dengan Rhys.
"Hai, Mi," sapa Rosie.
Aku membantunya mengangkattas berisi
ASIdan menyimpannya ke dalam freezer. Aku
mendengarkan dengan saksama saat Rosie
menjelaskan cara menghangatkan ASI. Seharusnya
Oslo ikut mendengarkan tapi dia telanjur asyik
bersama Rhys sehingga aku tidak tega
mengganggunya.
"Ini diapers dan baju ganti." Rosie
menyerahkan tas lain.
Seharusnya dia tidak perlu membawa diapers
dan baju ganti. Oslo sudah menyiapkan diapers yang
sama dengan yang dupakai Rhys dan ada satu lemari
khusus untuk pakaian Rhys. Oslo sudah menyulap
satu kamar tamu menjadi kamar Rhys.
"Aku tinggal, ya. Ada apa-apa telepon aja."
Rosie berpamitan.
Aku mengikuti Rosie yang menghampiri Oslo.
Dia mengecup kening Rhys sebelum akhirnya pergi.
Untung Rhys sudah terhipnotis oleh Oslo sehingga
tidak menangis ketila ibunya pergi.
Jika ada yang melihat Oslo sekarang, tidak akan
ada yang menyangka dia akan sepanik tadi.
"Kok dia makin gemesin aja sih?" Aku
merebahkan kepala di pundak Oslo.
"Makin ganteng kayak papanya ya?"
Aki menyikut Oslo. "Aku memuji Rhys, kenapa
malah kamu yang jumawa begitu."
Oslo terkekeh. "Tapi benar, kan?"
"Apa?"
"Aku ganteng."
Aku mencibir, tidak sudi menjawab pertanyaan
itu.
Lebih baik aku bermain bersama Rhys dari
pada meladeni guyonan Oslo yang makin lama makin
garing.
***
Sepanjang pagi, tidak ada kejadian
berarti. Rhys hanya menangis sekali ketika harus
ganti diapers.
Dalam hati, aku mengagumi betapa sigapnya
Oslo. Dia memang tidak bersana Rhys sepanjang
waktu tapi Oslo terlihat begitu natural. Dia bisa
langsung mengerti apa yang dibutuhkan Rhys.
Sekarang bayi itu menangis karena lapar. Aku
menggendongnya sementara Oslo menghangatkan
ASI.
Aku bersenandung pelan sambil bergerak
mengayunkan Rhys.
Saat menatap Rhys, sebuah keinginan hadir di hatiku.
Aku ingin bayi yang ada di gendonganku adalah
anakku sendiri.
Aku menggeleng, mengusir pemikiran itu jauh-
jauh. Masih terlalu dini untuk memikirkannya.
"Daddy's coming," ujar Oslo.
Oslo membantu Rhys menyusu dari botol
sementara aku masih menggendongnya.
"You look like a Mother," ujarnya.
Aku tersipu saat mendengar pujiannya. Lagi,
keinginan yang berusaha untuk kuusir, kini
menyelinap kembali ke dalam benakku.
"Aku masih belum mutusin Rhys memanggilku
apa," ujarku.
"Please jangan Mama. Mama Mimi, agak
aneh." Oslo menanggapi.
Aku tertawa. Dia benar, Mama Mimi terdengar
aneh.
"Auntie Mimi?" Tanyaku.
"No. It's either Mommy or just Mom," bantah
Oslo.
Hatiku menghangatsaat mendengar
penuturannya. Oslo menerimaku di dalam
hidupnya, termasuk mengizinkanku menjadi bagian
dari hidup Rhys. Bagiku itu sangat berarti.
"Rhys punya Bunda Rosie dan Mommy Mimi,"
lanjut Osli.
Rhys masih berada di gendonganku ketika Oslo
memeluk tubuhku dari belakang. Dia mencium
puncak kepalaku lama.
Tanpa sengaja aku menatap bayanganku di
cermin. Oslo yang memelukku, dan aku yang
menggendong Rhys.
We look like a family.
Hatiku menghangat ketika menyadarinya. Aku
pun menyimpan bayangan ini dalam-dalam di
benakku. Tidak ingin melupakannya.
***
Rhys berbaring di antara aku dan Oslo. Pipinya
yang bulat benar-benar menggemaskan.
"Kapan kamu mau ngasih aku satu lagi yang
kayak Rhys?" Pertanyaan Oslo membuatku terpaku.
"Maksudnya?" Lidahku terasa kelu ketika
bertanya.
"Bayi, Sayang. Kapan kamu mau memberiku
bayi," ulangnya.
Tidak ada tempat untuk menyembunyikan
wajahku yang menerah.
"Kenapa minta ke aku?" Tanyaku.
Oslo tertawa kecil. "Terus minta ke siapa kalau
bukan kamu?"
Aku mengangkat wajah untuk menatap Oslo.
Semula kupikir Oslo hanya bercanda, tapi aku malah
menemukan ekspresi wajahnya yang sangat serius.
Aku kembali teringat keinginan yang sempat
hadir di benakku. Kini aku tak punya kuasa untuk
mengusirnya. Jadi kubiarkan keinginan itu
berkembang dengan sendirinya.
"Nikahin dulu, Mas. Baru minta anak." Aku
mencoba bersikap santai sementara jantungku
berdebar tak keruan.
Oslo tidak menjawab. Hanya tatapannya saja
yang menatapku
lekat-lekat.
"I will," bisiknya pelan, setelah terdiam cukup
lama.
Extra 4: Stay with Me
Mimi
"Asli, kangen juga gue sama lo."
Sementara aku menyengur lebar, Pat hanya
cemberut.
Sebenarnya aku juga kangen kesua temanku ini,
tapi malas mengakui terang-terangan.
Dan Pussy. Aku baru sadar kalau aku juga
kangen sama kucing manja satu itu. Meaki dia tidak
menunjukkan perasaan yang sama.
Statusku masih tinggal di rumah ini, aku masih
ikut membayar sewa tapi sejak pacaran dengqn Oslo,
aku jarang pulang ke rumah.
Aneh, dulu aku memohon-mohon untuk dibawa
ke rumah Oslo, tapi sekarang justru dia yang enggan
ketika kuajak ke rumah.
Oslo sedang ada acara sehingga aku punya
waktu kosong malam ini. Jadi kuputuskan untuk
pulang ke rumah.
"Kirain lo udah lupa jalan ke sini," sambar
Nava.
Aku mendongak dan mendapati Nava yang
baru selesai mandi. Dia cuek meski hanya
mamakai bathrobe. Memang sih hanya
cewek-cewek yang tinggal di sini, meski begitu tetap
saja aku risih kalau hanya memakai bathrobe seperti
itu. Ya kecuali kalau aku punya tubuh seperti Nava,
aku juga bakalan pede.
"Tinggal naik MRT ini, masa iya lupa." Aku
terkekeh.
Nava mendecakkan lidah. "Kirain lo dikurung
enggak boleh ke mana-mana sama pacar lo."
"Not that I'm complaining," balasku, yang
disambut dengan toyoran dari Pat.
"All is good?"
Aku mengangguk. "Gue ke sini sekalian mau
ambil dokumen
buat ngurus visa."
"Mau ke mana lo?" Tanya Nava
"Amrik. Ke tempatnya Oslo."
Pat mencondongkan wajahnya umtuk
menelitiku. "Secepat itu?" "Apanya?" Aku
balik bertanya.
"Dia bawa lo ke Amrik bukan cuma buat
liburan kan?" Pat memastikan.
"Orang tuanya mau adain acara pembaruan
janji nikah, jadi gue diundang."
Pat berseru girang. "Itu maksudnya, dia
langsung bawa lo ketemu orang tuanya."
"Serius juga dia sama lo," tukas Nava.
Aku pun masih merasa ini semua mimpi.
Rasanya mustahil Oslo membawaku bertemu
keluarganya di saat hubungan ini masih seumur
jagung.
"Lo sendiri? Serius sama dia?" Tanya Pat lagi.
Tidak perlu waktu untuk berpikir panjang. Aku
langsung mengangguk menjawab pertanyaan Pat.
Pat mengernyitkan hidungnya. "Awalnya gue
menolak lo sama dia karena sejarah dia pernah
aelingkuh, tapi lihat cara dia memperlakukan
lo, gue bisa ngerti dan setuju. Tapi awas aja kalau dia
selingkuh lagi."
"Jagain laki lo, ya, Mi. Orang kayak dia sih
gampang banget kegoda."
Ada perasaan tidak nyaman di hatiku ketika
Nava mengutarakan hal tersebut. Aku sudah berteman
lama dengannya, tapi mengapa makin ke sini aku
merasa ucapan Nava seringkali terasa menyakitkan?
Seakan-akan dia merendahkanku.
Seperti barusan, memang tersirat tapi aku
merasa Nava tidak yakin aku pantas untuk Oslo.
Aku menggeleng, mengusir pikiran tersebut.
Nava temanku, dia tidak mungkin menyakitiku.
"Anyway, lo tinggal bareng Oslo?" Tanya
Nava.
"Technically yes, tapi dia belum pernah minta
secara langsung. Kenapa?" jawabku.
"Kabarin jauh-jauh hari kalau mau pindah. Kita
enggak sanggup bayar sewa cuma berdua jadi butuh
cari pengganti," jawab Pat.
"Kalian ngusir gue?"
Pat mendengkus. "Kecuali lo mau jadi donatur
tetap dengan terus membayar bagian lo."
Benar juga. Sekarang saja aku sudah jadi
donatur tetap karena terus membayar sewa meski
sudah tidak tinggal di sini lagi.
"Nanti gue kabarin. Katanya si Aldo juga lagi
nyari tempat tinggal. Kalau kalian enggak keberatan,
mungkin dia mau." Aku ingat cerita Aldo minggu
lalu. Bapak menghentikan support finansial sehingga
Aldo tidak mungkin terus tinggal di apartemen
pemberian Bapak.
"Fine by me. Asal dia enggak keberatan aja
tinggal sana cewek," tukas Nava.
Aku melirik Pat. "Adik gue off limit
ya, Pat." Pat hanya mengerling
dengan wajah usilnya.
Aku menenggak minuman sambil menahan
senyum. Meski aku senang tinggal bersama Oslo, tapi
aku merindukan saat-saat seperti ini, bercanda
bersama temanku.
***
"Babe, kamu di mana?" Suara Oslo terdengar
mendesak di seberang sana.
"Di rumahku."
Oslo mengerang. "Kenapa kamu di sana?"
"Tadinya mau ambil dokumen buat visa tapi
sudah kemalaman jadi aku nginap di sini aja,"
tanyaku. "Gimana pun, aku masih tinggal di sini ya."
"Not anymore. You stay with me," tegas Oslo.
Aku sudah membuka mulut untuk
mengeluarkan bantahan, tapi urung ketika menyadari
pembahasan ini terlalu serius untuk dibahas lewat
telepon.
"Kamu tunggu di sana. Aku jemput." Oslo
langsung mematikan
telepon.
Aku mengangkat Pussy dan menyandang tas
lalu keluar dari kamar. Hanya ada Nava di ruang
tengah. Dia bahkan masih memakai bathrobe.
"Pat mana?" tanyaku.
Nava menunjuk ke kamar Pat. "Zoom meeting."
Pat bekerja di perusahaan yang berbasis di
Amerika sehingga jam kerjanya suka enggak
menentu.
Pussy mengeong heboh, dia bahkan
mencakarku sebelum lepas dari gendonganku.
"Kayaknya belum makan deh. Cranky gitu."
Nava berkomentar.
Di antara kami bertiga, Nava yang paling cuek
terhadap Pussy. Aku jadi khawatir sama Pussy.
Mungkin aku bisa membawa Pussy ikut tinggal
bersamaku.
Kalau Oslo memintaku tinggal bersamanya.
Aku menuju dapur dan mengambil makanan
Pussy. Kucing itu akhirnya berhenti mengamuk
ketika aku menuang makanannya.
Bunyi ketukan di pintu mengagetkanku. Aku
terjebak dengan Pussy, sehingga Nava yang
membukakan pintu.
"Mas Oslo."
Aku menoleh ke arah pintu. Nava tampak
semringah saat melihat Oslo. Keningku berkerut
ketika mendapati Nava dengan sengaja membuat
ikatan bathrobe jadi lebih longgar.
What the hell?
"Ada Mimi?" Aku hanya mendengar suara Oslo
karena dia terhalang pintu.
"I'm here." Aku berseru.
Nava bersandar ke pintu, memberikan
kesempatan kepada Oslo untuk masuk. Oslo langsung
menghampiriku di dapur.
"Hai, Babe. Let's go home," ujarnya. Dia
terlihat tidak nyaman.
"Sebentar, ya."
Aku mencuci tangan sementara Oslo bersandar
ke kitchen island. Saat itulah aku melihat jam. Sudah
hampir tengah malam.
"Enggak mau nginap di sini aja? Sudah larut,
Mas. Lagian besok kan Sabtu." Aku merangkul
pingganghya.
"Kita pulang aja, deh," sahut Oslo.
Aku meneliti wajah Oslo, mencari tahu apa
yang membuatnya tidak nyaman.
"Yuk." Oslo meraih lenganku dan membawaku
pergi.
"Gue balik ya, Va. Salam buat Pat," ujarku.
Nava sudah kembali menonton di ruang tengah. Dia
hanya melambai seadanya.
Oslo membawaku menuruni tangga, entah
kenapa dia begitu terburu-buru.
"Kalau memang buru-buru, kan bisa di
kamarku. Aku masih tinggal di sini, lho," candaku.
Oslo menyalakan mobil. "Males ah."
Aku mencibir. "Dulu enggak tuh. Malah suka
banget nginap di
sini."
"Aku enggak enak sama temanmu," jawabnya.
"Baru ngerasa sekarang? Dulu ke mana aja?
Lagian mereka sudah terbiasa kok." Aku tertawa.
Jalanan malam yang sepi membuat Oslo bisa
menyetir cepat.
"Keadaannya kan udah beda, Babe." Oslo
beralasan.
Seketika aku ingat sikap Nava tadi. Perutku
melilit saat berbagai skenario buruk hinggap di diriku.
Aku menolaknya mentah-mentah, tapi bayangan
Nava melonggarkan ikatan bathrobe di depan Oslo
tidak bisa hilang dengan mudah dari ingatanku.
"Kamu enggak nyaman sama Nava?" Tebakku.
Oslo tidak menjawab, dan keterdiamannya itu
membuatku senakin mencelus.
"She's hitting on you?" Tanyaku dengan
perasaan kacau.
Oslo melirikku sekilas. "Mungkin cuma
perasaanku aja karena aku enggak nyaman di sekat
teman-temanmu."
"Tadi dia sengaja longgarin bathrobe."
"I can see that."
Aku tersenyun pahit. "She's pretty, you know.
Prettier than me, with a body to die for."
"So?"
"Tipemu yang seperti Nava, kan?" Tanyaku.
Oslo melirikku. "Apa yang membuatmu
menyimpulkan tipeku
seperti itu?"
"Rosie, Diana. Nava seperti mereka." Aku
menunduk untuk memainkan jari.
Oslo memarkir mobilnya di spot yang biasa.
Dia tidak bersuara ketika keluar dari mobil. Seolah
ada yang membebani hatiku ketika aku mengikuti
Oslo turun dari mobil.
Oslo mendorongku hingga punggungku
terdesak ke mobil. "Baby, I only want you. You're
pretty, sexy, smart and you're everything I’m looking
for."
Aku menengadah untuk menatapnya.
Mengapa aku jadi insecure seperti ini?
"I love you, Miranti Cahyani." Oslo menciumku
lembut. "Can we go now? Aku sudah keras dari tadi,
Mi."
Aku melirik kejantanannya yang membengkak.
Detik itu juga aku mengusir kekhawatiran jauh-jauh.
Buktinya ada di depan mata. Aku mungkin tidak
seperti perempuan yang pernah hadir di hidup Oslo,
tapi sekarang aku bersamanya.
Dan dia mencintaiku.
Aku menyambut tangan Oslo yang
membawaku ke apartemennya.
***
"Mmm... Baby. I still want you, you know." Oslo
merebahkan tubuhnya di atasku, menindihku yang
lemah tak bisa bergerak setelah serbuan orgasme
menyapaku.
Aku hanya tergelak mendengarnya.
"Weekend ini aku enggak mau ke mana-mana.
Kamu juga. Kita di sini aja," lanjutnya.
"Ngapain?"
"Sex, Baby. Sex." Oslo terkekeh.
"Gimana kalau aku lapar?" Tanyaku lagi.
"Kita delivery dan makan di sini."
"Enggak mau, ah. Masa makan nasi Padang di
kasur." Aku sengaja mengusilinya. Menggoda Oslo
yang sedang dikuasai nafsu selalu menyenangkan.
"Oke, kita makan di luar. Setelah itu aku akan
menggaulimu di
luar."
Oslo selalu membuktikan ucapannya. Tidak
ada satu pun sudut di apartemen ini yang belum
dipakai untuk bercinta.
"Aku baru boleh pulang besok?" Tanyaku.
"Pulang ke mana?" Oslo balik bertanya.
"Ke rumahku. Ke mana lagi?"
Oslo menggulingkan tubuhnya hingga tidak
lagi menindihku. Dia memutar tubuhku hingga
telentang. Dengan bersandar di siku, Oslo berbaring
menyamping dan menatapku.
"Rumahmu di sini, Mimi," protesnya.
Tak ayal, harapanku berkembang saat
mendengarnya.
"Maksudku, rumah yang aku sewa."
"Ngapain balik ke sana?" Oslo terlihat sewot.
"Tempatmu di sini. Kamu tinggal di sini."
Aku menatapOslolekat-lekat."Kamuenggak
pernah
memintaku untuk tinggal di sini."
Oslomengusappelipisnya."God,Mimi.Harus ya
ada
permintaan verbal?"
Aku mengangguk, dalam hati menahan tawa
saat melihat Oslo jadi panik.
"Fine." Dia menatapku lekat-lekar. "Mimi,
Sayang, kamu tahu aku membutuhkanmu. Jadi kamu
tinggal di sini, bersamaku."
"Itu sih nyuruh," protesku.
Oslo memelintir putingku, membuatku
terpekik.
"Naughty, Mimi."
Sandiwaraku akhirnya terbongkar ketika aku
tidak bisa lagi menahan tawa.
Oslo kembali menindihku. "Baby, kamu mau
tinggal di sini bersamaku?"
Aku tersenyum. "Boleh, tapi ada syaratnya."
"Anything, Baby."
"Pussy boleh ikut tinggal di sini?" Tanyaku.
Cengiran menggoda menghiasi wajahnya. "Of
couse. I can't live without your pussy."
Aku memutar bola mata. "Maksudku Pussy the
Cat."
Oslo kembali terkekeh. "Anything, Baby."
Aku menarik wajah Oslo untuk menciumku.
"Now, kiss me. Aku sudah kangen lagi aja sama
kamu."
Malam itu, aku kembali bercinta dengan Oalo.
Extra 5: Going Home
Mimi
"America, here I come!" Aku
berusaha untuk terlihat bersemangat meski
dalam hati sangat gugup.
Akhirnya aku menginjakkan kaki di Amerika.
Ini kali pertama aku ke luar negeri yang jauh.
Biasanya masih di sekitar Asia Tenggara. Kalau
bukan karena Oslo, aku tidak mungkin menginjakkan
kaki di sini.
Keluarga Oslo tinggal di Central Philadelphia.
Ketika taksi yang ditumpangi membelah jalanan, aku
tak henti-hentinya menatap keluar jendela dan
mengagumi keindahan di luar. Sebagai salah satu kota
besar di Amerika, ada banyak gedung pencakar langit.
Namun juga banyak historic building yang membuat
daerah ini semakin menarik.
Selama ini aku hanya tahu New York atau Los
Angeles dari film. Baru kali ini aku merasakan
atmosfer langsung di negara yang begitu asing.
"Gimana orang tuamu bertemu?" Tanyaku.
Ayah Oslo, James--dia bersikeras agar aku
memanggilnya James meski darah Indonesiaku
merasa kaku harus memanggilnya dengan nama
depan tanpa embel-embel, berasal dari kota kecil di
utara Philadelphia. Sementara Mama berasal dari
Indonesia. Aku penasaran bagaimana dua manusia
berbeda latar belakang bisa jatuh cinta.
"Mereka sekantor. Papa bekerja di
Chevron, sewaktu ditempatkan di Indonesia
kenalan dengan Mama. Mereka sempat backstreet.
Akhirnya mereka nikah setelah pacaran cuma enam
bulan. Mama sempat pindah kerja tapi akhirnya
resign begitu aku lahir," jawab Oslo.
"Karena keluargamu pindah ke Oslo?" Tanyaku
yang dijawab Oslo dengan anggukan. "Lalu kalian
pindah ke Paris dan Paris lahir di sana."
Oslo terkekeh. "Mereka mengetahui kehamilan
Mama saat kami liburan ke Paris. Well, orang tuaku
enggak kreatif ngasih nama."
"Bayangin kamu lahir di Bantar Gebang.
Namamu Bantar Gebang, Mas," ledekku.
Oslo hanya tertawa sambil mengacak
rambutku.
"Sejak kapan mereka pindah ke sini?"
"Setelah Papa pensiun. Papa sempat
ditempatkan kembali di Jakarta sampai aku lulus SD,
lalu mereka pindah ke New York selama tiga tahun,
dan setelahnya di Dubai sampai Papa pensiun. Setelah
pensiun, mereka sempat pulang ke Jakarta tapi
kelamaan di luar negeri, Mama lupa gimana rasanya
tinggal di Jakarta. Makanya mereka pindah ke sini
karena enggak betah di Jakarta," sahut Oslo.
"Kamu sendiri kenapa betah di Jakarta?"
"Kalau aku enggak di Jakarta, kita enggak akan
ketemu. Kamu masih jomlo sampai sekarang,"
kekehnya.
Aku mencibir ke arahnya.
"Aku sempat benci sama Jakarta," lanjut Oslo.
"Kenapa?"
"Karena penampilanku." Oslo menunjuk
wajahnya. "Waktu kecil, banyak yang
menertawakanku karena aku berbeda. Enggak ada
yang percaya aku bule karena hitam. Di mata anak-
anak, bule kan putih.
Makanya aku sering berantem karena diolok-olok
hitam."
"Yang ngetawain kamu pasti kesel kalau lihat
kamu sekarang."
Oslo tertawa. "Waktu SMP aku sempat ditolak
cewek. Katanya enggak mau sama cowok hitam."
Aku langsung kasihan sama cewek itu karena
enggak tahu apa yang dia sia-siakan.
"Rugi banget nolak kamu. Enggak tahu aja
kalau yang hitam begini justru gede dan enak,"
godaku.
Oslo mencubit pinggangku, membuatku
tertawa karena geli. Masih banyak yang ingin
kutanyakan tapi taksi sudah berhenti di depan sebuah
rumah.
Rumah itu seperti rumah-rumah yang biasa
kulihat di film. Dengan pekarangan depan yang luas
dan rumah dua lantai yang terlihat klasik. Tidak ada
pagar yang memisahkan dengan rumah lain. Di
sepanjang jalan, aku melihat rumah dengan desain
yang sama.
Saat berhenti di depan rumah ini, jantungku
kembali berdetak kencang. Sejak tadi aku berusaha
mengusir gugup, tapi kini gugup itu kembali datang.
Langkahku terasa kaku saat mengikuti Oslo
turun dari takdi.
"Mimi, kamu sudah datang."
Aku berbalik dan mendapati Mama berlari
melintasi halaman untuk menghampiriku. Sebelum
aku sempat membalas, Mama sudah
menenggelamkanku ke pelukannya.
"Akhirnya kita ketemu juga. Gimana
penerbangannya?" Tanya Mama.
Ada yang menyentuh hatiku saat menerima
perhatian Mama. Sudah sangat lama sejak kali
terakhir aku merasakan perhatian sebesar ini dari
seorang Ibu. Tepatnya saat ibuku masih ada.
"Lancar, Ma. Capek sih karena jauh."
"You tell me." Mama menggandeng kenganku
dan membawaku melintasi halaman. Aku sudah
bergerak hendak membawa koper, tapi Mama
menepis tanganku dan menyuruh Sslo sendirian
membawa koper ke dalam rumah.
Mama langsung mencecarku dengan banyak
pertanyaan. Aku sama sekali tidak keberatan
menjawab pertanyaan itu. Malah aku senang karena
dengan begini, Mama ingin mengenalku lebih jauh.
Ini penting.
Aku tidak mau Mama menolakku, seperti Mama
menolak Rosie.
"Mimi, you're here."
Aku menoleh ke sumber suara. Di pintu, aku
melihat James yang ternyata jauh lebih besar
dibanding yang aku kira. Dia
menenggelamkanku ke dalam pelukannya, dan aku
benar-benar tenggelam. Belum pernah aku merasa
sekecil ini saat bertemu seseorang.
Berbanding terbalik dengan penampilannya
yang terlihat kasar dan menyeramkan, James justru
sangat ramah. Dia begitu mudah tertawa.
Berada di rumah ini membuatku merasa
diterima. Aku tidak merasa bahwa aku baru saja
bertemu mereka setengah jam yang lalu. Rasanya
seperti bertemu kembali dengan orang yang sudah
lama tidak kutemui.
Semuanya terasa natural dan apa adanya.
Akhirnya, aku bisa menarik napas lega.
***
Oslo mengajakku berkeliling rumahnya.
Rumah itu terbilang luas, apalagi halaman
belakangnya. Aku bisa menbayangkan orang tua Oslo
mengadakan barbeque party di sana.
Kamar Oslo terletak di lantai dua. Dengan
enteng dia membawa koper dan ransel menaiki tangga
yang sempit. Di lantai dua, hanya ada dua kamar dan
satu kamar mandi, serta ruangan terbuka yang disulap
menjadi perpustakaan.
Oslo membuka pintu kamar di ujung. Aku
mendahuluinya masuk ke dalam. Mataku menyisir
setiap penjuru ruangan. Kamar ini sangat berbeda
dengan kamar di apartemen Oslo. Rasanya seperti
memasuki mesin waktu dan terlempar ke era 2000an.
Dindingnya dipenuhi poster pemain basket
yang di beberapa sisi sudah robek. Aku tidak
begitu menyukai olahraga jadi enggak
mengenali satu pun yang ada di sana.
Di sudut dekat jendela ada sofa bed yang bisa
dilipat. Tidak ada tempat tidur di sana. Selain itu,
hanya ada drawer berukuran sedang dan meja belajar
sekaligus rak buku. Kalau kamar Oslo di Jakarta
didominasi warna monokrom, kamar ini terlihat
colorful. Sangat khas remaja laki-laki.
"Kamu suka basket? Aku baru tahu." Aku
menyusuri deretan poster di dinding.
"Philly's pride." Oslo meletakkan koper di
sudut ruangan.
Aku tersentak saat Oslo menarikku hingga
terjerembab ke sofa bed. Dia menudungiku,
membuatku berada di bawah kuasanya.
"Ada berapa orang yang pernah kamu ajak ke
sini?"
Oslo menyengir. "Cuma kamu."
Aku mencibir. "Bohong banget."
"Ngapain coba aku bohong?"
Aku menunjuk dadanya. "Jujur deh,
kamu pasti sering membawa cewek-cewek ke
sini, kan?"
Oslo terkekeh. "Enggak juga. Aku tinggal di
sini cuma selama middle school. Selebihnya di
Jakarta dan Dubai. Jadi aku enggak pernah punya
pacar selama tinggal di sini, makanya belum ada
perempuan yang kubawa ke sini."
"Rosie?"
Sejenak ada keheningan yang membentang.
Hubungan Oslo dan Rosie sudah
membaik. Begitu juga denganku. Namun ada saat-
saat tertentu ketika aku merasa sosok Rosie masih
menjadi penghalang.
"Never. Aku enggak pernah membawanya ke
sini."
"Kenapa?" Seharusnya aku menutup mulut tapi
aku malah bertanya.
"Karena dia enggak mau." Oslo menjawab
enteng.
Oslo mengangkat tubuhnya hingga bersandar
ke sandaran sofabed. Dia membawaku ikut terbangun
dan duduk di pangkuannya.
"Tell me how you lose your virginity."
Oslo mengerang saat mendengar pertanyaanku.
Dia berusaha menghindar tapi aku mendesaknya. Aku
hanya ingin tahu.
"Enggak penting," elaknya.
"Please. Aku mau tahu. Pasti malu-
maluin kan?" Oslo menjitak keningku
pelan.
"She was my first girlfriend. Waktu aku kelas
dua SMA. Dia teman sekolahku."
Aku ingin bertanya seperti apa dia, tapi
menyimpannya dalam hati. Tidak ada gunanya
mengetahui seseorang dari masa lalu Oslo yang tidak
ada gunanya lagi.
"Awkward dan benar-benar kacau. Aku enggak
tahu harus masukin di mana. Untungnya dia lebih
berpengalaman." Oslo terkekeh.
"Terus?"
"Setelah tiga kali percobaan akhirnya masuk
juga."
Aku mengusap dadanya yang tertutup kaus.
"Susah masuk
karena kegedan kali."
Oslo hanya menyengir, membuatnya
terlihat menyebalkan sekaligus menggemaskan.
"Kamu sendiri?"
Aku mengangkat bahu. "Kacau. Dia juga baru
pertama jadi sama-sama meraba. Aku enggak tahu
enaknya di mana, tahunya cuma sakit doang."
"Tapi sekarang sudah tahu kan enaknya di
mana?" Goda Oslo sambil meremas payudaraku.
Aku menunduk untuk menyembunyikan semu
merah di wajah.
Oslo memberikan arti lebih untuk sebuah seks.
"Kamu pernah kepergok oleh orang tuamu?"
Oslo tidak segera menjawab, tapi perubahan
ekspresi wajahnya membuatku yakin dia pernah
mengalami hal memalukan seperti itu.
"Tell me," desakku.
"Harusnya orang tuaku masih di Bandung, tiba-
tiba mereka pulang cepat. Aku lagi enak-enakan
menyusu, eh Mama malah buka pintu kamarku." Oslo
mendecakkan lidah.
Tawaku seketika tumpah. "Terus?"
"Mama cuma bilang, aku ditunggu di bawah.
Untung mereka masih baik, diam di kamar sampai
pacarku itu pulang jadi enggak perlu lewatin walk of
shame di depan orang tuaku. Setelah itu aku dikasih
ceramah panjang lebar soal sex education dan
wejangan buat selalu pakai kondom karena Mama
belum mau jadi nenek," lanjut Oslo.
Aku tak kuasa menahan tawa. Aku tidak bisa
membayangkan kalau diriku yang ada di posisi itu.
Rasanya mau ditelan bumi saja.
"Enough about me." Oslo menarikku
hingga dia bisa menenggelamkan wajahnya di
dadaku. Oslo mengusapkan wajahnya di payudaraku.
"Susumu enak banget, Sayang. Empuk," kekehnya.
Aku menepuk lengannya dan berusaha
melepaskan diri. Oslo yang keberatan memasang
ekspresi merajuk.
"Orang tuamu di bawah, Mas."
"Terus?"
Aku kembali menepuknya dengan gemas. "Mereka
bakal dengar
kalau kita lagi bercinta."
Oslo menatapku dengan sebelah alis terangkat.
"Mereka tahu kamu tidur di kamarku. Mereka pasti
tahu apa yang kita lakuin jadi enggak ada masalah."
Mataku mendelik. "Apanya yang enggak
masalah? Pokoknya aku enggak mau bercinta di
bawah atap yang sama dengan orang tuamu.
Titik."
Oalo mengerang. "Fine. Besok kita menginap di
hotel."
Seketika tawaku tumpah. "Kenapa?"
Mata Oslo begitu membara saat menatapku.
"Because I want to fuck you until you forget about
everything."
Mendengarkan janjinya saja sudah
menimbulkan antisipasi di dalam hatiku. Karena aku
sudah menyadari, Oslo tidak pernah asal ngomong.
Dia akan menepati janji itu.
Dan memberikan mindblowing orgasm yang
membuatky lupa akan segalanya selain menikmati
bercinta dengan Oslo.

Anda mungkin juga menyukai