Anda di halaman 1dari 13

EXTRA PART

SEORANG laki-laki menutup pintu mobil berwarna hitam yang


terparkir di sebuah garasi. Rumah itu berukuran cukup luas
dengan perpaduan nuansa putih serta hijau yang menambah
kesan estetik. Ini adalah rumah milik Zeen Teja Altarel yang
dibelinya beberapa tahun lalu ketika sudah resmi menikahi
seorang Athaya Agatha Aeris. Rumah ini menjadi saksi bisu
bahtera rumah tangga kedua insan yang saling jatuh cinta itu.
Laki-laki yang mengenakan kemeja dan celana berwarna
hitam itu menengadahkan kepalanya. Ia memijat leher bagian
belakangnya yang terasa sangat pegal. Bekas luka di bagian
leher laki-laki itu masih membekas sampai saat ini. Setiap
bercermin, bekas luka itu mengingatkannya pasa kejadian tujuh
tahun silam.
Masa-masa ketika dirinya masih sekeras batu dan hanya
memikirkan balas dendam, mengajarkannya banyak pelajaran.
Itu adalah sejarah yang bisa digunakannya sebagai pijakan di
masa kini. Semua hal pernah ia rasakan, segala jenis goresan
luka sudah pernah menghiasi kulitnya, sampai tergeletak di
tanah akibat pembalasan dendam geng bernama Salvathrucca
juga sudah pernah ia rasakan.
Altarel sempat berpikir, itu mungkin adalah hari terakhirnya
menghirup udara di dunia ini. Ia sangat takut, melebihi rasa
sakit yang dialaminya—takut tak bisa lagi melihat orang-orang
yang ia cintai tersenyum. Pandangannya sudah gelap ketika
mendengar suara perempuan berbicara dengannya di telepon.
Namun dugaannya salah, Tuhan mengizinkannya untuk

1
hidup dan memperbaiki langkah yang dipijaknya. Satu minggu
ia tak sadarkan diri akibat pengeroyokan tersebut. Badannya
dibedah, serta dijahit kembali demi memperbaiki struktur tulang
pada lengannya. Begitu ia membuka mata, seorang perempuan
setia menemaninya bersama dengan kedua orang tuanya.
Doa yang dilafalkan pada setiap hembusan napas oleh orang-
orang tersayang membuatnya semakin semangat untuk sembuh.
Sejak saat itu, ia menjauh dari hiruk-pikuk situasi jalanan.
Altarel memfokuskan dirinya pada pendidikan, walaupun ia
harus menjalani gap year karena sedang dalam masa pemulihan.
Hingga saat ini, ia bisa mewujudkan satu impian besar. Ia
telah bisa membawa seorang perempuan menjadi miliknya.
Restu orang tua Aeris kembali berpihak kepadanya. Ia berhasil
membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi seorang suami dan
ayah.
Di sinilah ia sekarang. Sebuah bangunan rumah minimalis.
Langkah kakinya menggema di lantai yang mengkilap. Ia pun
berjalan memasuki ruang keluarga dengan interior modern.
Altarel menghirup wangi khas ruangan ini yang tak ia temukan
di ruangan lain.
“Sayang?” panggilnya.
Laki-laki itu mulai melepaskan kancing kemejanya. Ia
menghentikan kegiatannya ketika melihat seorang perempuan
keluar dari kamar tidur di lantai satu dengan keadaan rambut
setengah basah. Laki-laki itu tersenyum kecil, rasa penatnya
hilang seketika. Altarel tersenyum manis, lalu merentangkan
kedua tangannya untuk menyambut perempuannya.
Satu kecupan mendarat di kening perempuan itu. Aeris
menghirup wangi parfum yang selalu menjadi candunya. Ia
mengendus area leher suaminya tersebut. Empat tahun lalu, ia

2
memantapkan pilihannya dan menerima pinangan laki-laki ini.
Aeris menggesekkan kepala di leher suaminya, membuat
Altarel tertawa singkat. Ia melepaskan pelukannya, lalu
membantu Altarel untuk membuka kemejanya.
“Anak-anak mana, Sayang? Kok, sepi banget,” tanya Altarel.
“Papa!”
“Pa!”
Belum sempat Aeris menjawab, suara menggemaskan yang
saling bersahutan itu menyapa telinganya. Altarel tersenyum
manis melihat kedua buah hatinya tengah berlari ke arahnya.
Altarel pun langsung berjongkok, lalu merentangkan tangan,
menyambut kedua buah hatinya.
Sepasang anak kembar yang kini berumur dua tahun
setengah itu tertawa sambil berjalan cepat menuju sang papa.
Altarel memeluk putra dan putrinya.
“Wangi banget. Dimandiin siapa? Hm?” Altarel mengangkat
kedua anaknya di masing-masing lengan kanan dan kirinya.
“Mama…,” gumam si jagoan kecil.
Anak laki-laki mereka diberi nama Zeen Alzean Keyzielle.
Zeen merupakan nama dari keluarga Altarel, sementara Alzean
merupakan serapan dari “Alzlan” dalam bahasa Arab yang
memiliki arti singa. Ia berharap putranya akan menjadi laki-laki
tangguh dan berani seperti singa.
“Papa! Eya puna mainan bayu!” seru seorang gadis keci.
Anak perempuan mereka diberi nama Zeen Altheia
Zheanna. Ide nama tersebut awalnya muncul dari mama Aeris
yang mencetuskan nama “Aleteia” dari bahasa Yunani, yang
bermakna kejujuran dan kebenaran.
Zean minta diturunkan dari gendongan Altarel, kemudian
menyusul Aeris yang berjalan menuju dapur.

3
“Sayang, diikutin sama tuyul,” ujar Altarel.
“Jean tuyul!” ulang anak kecil itu dengan bangga. Ia tertawa
ketika berusaha mengejar kaki mamanya. Aeris pun memancing
Zean untuk terus berjalan ke arahnya menggunakan tepukan
tangan.
“Cantiknya Papa udah minum susu, hm?”
Sementara Zean bermanja-manja dengan Aeris, Altarel
lebih memilih bermain dengan putrinya. Ia mencium hidung
kecil Teya, lalu membawanya ke sofa empuk yang ada di ruang
keluarga.
“Hei… udah ngantuk?” Altarel menurunkan tangan putrinya
ketika Teya hendak mengisap jempolnya.
Teya tidak menjawab, hanya semakin mendekatkan
tubuhnya dengan Altarel. Pada saat itulah suara langkah kecil
dari arah dapur terdengar. Zean muncul dengan sebotol susu
yang menyumpal mulutnya.
“Papa!” panggil Zean.
“Apa sayang?” ujarnya dengan lembut.
Zean berusaha untuk naik ke sofa. Ia menginjak kaki Altarel
dengan susah payah. Melihat anaknya yang kesulitan karena
memegang botol, Altarel pun mengangkat pantat Zean dengan
menggunakan satu tangan.
“Aban! Aban ndak boyeh di cini! Papa puna Eya!” omel Teya.
Alih-alih memanggil Zean ‘abang’, Teya malah mengucapkan
‘aban’ dengan pengucapan cadelnya.
Zean yang tak mau kalah langsung memukul badan Teya
dengan botol dot di tangannya. Namun, sebelum itu terjadi,
Altarel segera menghentikannya.
“Berantem lagi... berantem lagi... Papa gantung, ya?” ujar
Altarel dengan nada lelah.

4
Altarel bersandar pada punggung sofa yang empuk. Tangan
kiri laki-laki itu membelai lembut kepala bagian belakang
putrinya yang kini tertidur di pahanya. Tangan kanannya juga
menepuk-nepuk paha putranya yang sedang asik meminum
susu. Zean tampak tenang menonton tayangan kartun di TV.
“Pinternya sayang-sayang Mama. Udah ngantuk, hm?”
Aeris datang dengan membawa segelas es teh manis, lalu
meletakkannya di meja. Perempuan itu duduk di sebelah Altarel,
dan mengambil alih Teya. Namun, anak kecil itu langsung
merengek ketika Aeris berusaha memisahkannya dari papanya.
“Udah biarin aja,” ujar Altarel.
Perempuan itu menggendong Zean, dan bocah itu langsung
melingkarkan kakinya ke pinggang Aeris. Ia pun menyandarkan
kepala di dada Aeris, mencari tempat ternyaman untuk
merebahkan kepala.
“Capek banget, Rel?” tanya Aeris sembari menepuk-nepuk
pantat putranya.
Altarel mengangguk singkat. “Pusing banget tadi di kantor,
Sayang. Makanya agak sore pulangnya.”
Altarel melepas kancing yang tersisa dari kemejanya.
Laki-laki yang sekarang bertelanjang dada itu memusatkan
pandangannya pada wajah istrinya. Ia tersenyum kecil karena
tiba-tiba mengingat seluruh kenangannya bersama Aeris, hingga
sampai memiliki dua buah hati yang sangat menggemaskan. Ia
mengusap permukaan tangan Aeris dengan lembut.
“Kenapa?” tanya Aeris, merasa penasaran karena Altarel
terus menatapnya.
“Aku cinta kamu, Sayang,” ujar Altarel. Ia pun menaikkan
alisnya untuk menggoda istrinya.
Aeris terkekeh. Sudah ratusan malam dilaluinya bersama,

5
tapi Aeris masih saja tenggelam dalam senyuman mantan
preman sekolah ini.
“I love you too, My Husbu....”
Wajah mereka semakin dekat. Suasana romantis ini
membuat kedua insan lupa dengan balita-balita di gendongan
mereka. Hanya tersisa jarak satu sentimeter di antara mereka,
ketika tiba-tiba suara melenguh dari bocah perempuan di paha
Altarel terdengar.
“Papa….”
Teya bangun dengan mata setengah terbuka. Ia pun
mengucek matanya. Bibirnya dilengkungkan ke bawah, bersiap
untuk menangis. Altarel dan Aeris kembali menjauh, mereka
saling bertatapan dengan rasa bergejolak yang tertahan di ujung
kepala.
“Nanti malem, ya, Sayang,” bisik Altarel tak lupa dengan
kedipan mautnya itu.

Laki-laki itu berkali-kali menggoyangkan kepalanya ke


kanan dan kiri hingga terdengar bunyi “krek” yang sangat
melegakan. Altarel baru saja selesai membersihkan dirinya dan
bersiap untuk tidur. Ia membuka pintu kamar, dan melihat Aeris
yang tengah mengoleskan skincare ke wajahnya.
Altarel tertawa singkat sambil menghampiri Aeris. Ia
mengambil salah satu botol skincare di sana, lalu mengomel
dengan nada bercanda, “Gara-gara lo, gue gak boleh cium dia!”
Hal itu membuat Aeris yang tengah terduduk menghadap
cermin ikut tertawa. Ia mencubit perut keras suaminya.
“Sini cium dulu,” ujar Altarel dengan wajah bahagia. Satu hal
yang tak pernah berubah sejak mereka masih duduk di dunia
sekolah adalah Altarel yang selalu menjahili Aeris.

6
“Gak!” Aeris menutup wajahnya yang baru saja diberi
perawatan.
Aeris terus menghindar. Sampai akhirnya, ia tidak punya
ruang lain untuk menghindar dari ‘serangan’ Altarel, ia pun
jatuh dari kursi meja rias. Keheningan terjadi. Laki-laki itu
melotot ketika istrinya malah bermesraan dengan lantai.
Altarel menepuk jidatnya, bibirnya dilipat ke dalam. Ia
seolah sudah memprediksi apa yang akan terjadi. Laki-laki itu
mengangkat perempuannya, kemudian mengusap dahi Aeris
yang menempel dengan lantai.
“Sakit, Sayang? Makannya kalau suami minta cium itu kalem
aja, gak usah ngereog gitu,” ujar Altarel kemudian tertawa kecil.
Ia sangat puas meledek Aeris.
Aeris melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia mendorong
dada suaminya, kemudian berjalan lebih dulu menuju kasur. Hal
itu sukses membuat Altarel tersenyum gemas. Ia pun mendekati
Aeris, dan memeluk erat istrinya dari belakang.
“Mana coba, sini aku lihat,” ujar Altarel dengan lembut. Ia
membalikkan badan perempuannya, kemudian mengusap dahi
Aeris.
“Cantik banget, sih.... Jadi pengen bawa ke bulan.” Altarel
mengecup singkat pipi Aeris, hingga membuat rona merah di
wajah perempuan itu muncul. “Ailah… senyum-senyum aja,
Neng.”
Aeris menyandarkan kepala ke dada bidang suaminya.
Terdengar detak jantung yang teratur dari dada telanjang itu,
dan Aeris sangat menyukainya. Momen seperti ini hanya bisa
mereka rasakan ketika kedua buah hatinya tertidur pulas.
Aeris mengangkat kepala dan mengusap bekas luka di
leher Altarel. Ia tersenyum tipis ketika tangan kekar Altarel

7
menyentuh tangannya.
“Gak kerasa ya, Rel. Kita bisa lewatin masa-masa sulit itu,”
gumam Aeris.
Altarel mengusap tangan Aeris dengan ibu jarinya. “Aku
seneng banget masih dikasih kesempatan hidup. Buat banggain
orang tua aku, jagain kamu, dan ngerasain bahagia sama kamu
untuk kedua kalinya kayak sekarang,” ujarnya dengan suara
rendah.
“Kenapa kedua kalinya?”
“Karena dulu kita juga pernah bahagia sebagai kekasih, dan
sekarang sebagai suami istri. Jangan pikirin yang lalu, Sayang.
Biar jadi pelajaran buat kita, sekarang kita fokus sama anak-
anak. “
Aeris merasa sangat nyaman ketika Altarel mengusap
lengannya. Wangi maskulin yang menguat dari badan laki-laki
itu membawa Aeris ke dalam pelukan suaminya lagi. Semakin
lama, usapan tangan Altarel turun ke pinggangnya.
“Kamu udah ngantuk?” tanya Aeris.
“Belum. Let’s make our night amazing tonight….”

Tiga tahun berlalu….


Kriett…
Decitan pintu membuat kedua bocah itu memejamkan mata
mereka dengan cepat. Aroma susu vanilla menguar di kamar
itu. Mereka tahu kalau mama mereka pasti membawa dua gelas
susu hangat.
Aeris tertegun melihat kedua buah hatinya sedang pura-
pura tertidur dalam satu ranjang. Zean terlihat mengintip kecil,
sementara Teya menutup matanya erat, tapi kakinya bergoyang-
goyang.

8
“Ayo, bangun, Sayang,” Aeris menyalakan satu lampu
lagi agar suasana remang-remang itu menjadi terang. “Mama
bawain susu, ayo sarapan.”
Aeris berkedip heran ketika putra-putrinya malah tak
berkutik. “Sekarang kalian sekolah. Ketemu temen-temen, Bu
Guru. Seneng, gak?”
Aeris menarik tangan kedua anaknya agar duduk di kasur.
Dengan sikap pura-pura lemas, keduanya pun bangun. Bibir
mereka tertekuk.
Teya merangkak menuju pangkuan Aeris dan duduk di sana.
“Papa mana?” tanyanya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar,
membuat jagoan kecil langsung turun. Ia berlari menghampiri
papanya yang baru sampai di ambang pintu.
“Baru bangun, Boy?” tanya Altarel. Ia pun mengangkat Zean
ke dalam gendongannya.
“Papa!”
“Apa, Tuyul?”
Tuyul merupakan candaan yang dilontarkan Altarel untuk
anak-anaknya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak istrinya
hamil.
“Jean gak mau sekolah. Jean belum belajar,” gumam Zean
sambil mengusap mata menggunakan tangan kecilnya.
“Nanti diajarin, Sayang. Kan, sama Eya sekolahnya. Masa
jagoan gak berani?” Altarel mencubit pipi gembul putranya,
kemudian menurunkan Zean.
Pada penerimaan siswa didik baru tahun ini, Altarel
mendaftarkan putra-putrinya pada Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD). Segala jenis perlengkapan sekolah sudah siap. Ia sengaja
membelinya sesuai dengan tokoh kartun favorit masing-masing

9
untuk menambah semangat mereka ketika bersekolah.
Setelah drama pagi itu, akhirnya Altarel dan Aeris berhasil
membujuk anak-anak mereka. Jam sudah menunjukkan hampir
pukul delapan tepat. Altarel sengaja tak pergi ke kantor untuk
mengantarkan putra-putrinya di hari pertama sekolah.
Altarel tertawa gemas melihat kedua anaknya memakai
seragam sekolah. Zean dengan tampang tak yakin, memegang
tali tasnya dengan kedua tangan. Sementara mata bulat Teya
berbinar ketika sedang memakan biskuit yang diberikan Aeris
agar diam ketika rambutnya disisir.
“Aduuuuh… cantiknyaaa….” Aeris membantu Teya berdiri.
“Gemes banget pengen gigit!” Altarel memeluk Teya dengan
erat karena gemas dengan.
Selesai dengan Teya, giliran Zean yang ditangani Aeris. Ia
menarik Zean agar mendekat. Ia mengusap rambut putranya,
lalu menyisirnya ke samping.
“Gak. Gak gitu caranya nyisirin cowok, Aeris….” Altarel
merebut sisir itu dari tangan Aeris. Ia berjongkok di depan Zean,
lalu menyisir rambut Zean agar mirip dengan rambutnya. Ada
sedikit bagian rambut yang naik.
“Nah, gini, baru jagoan!” kata Altarel bangga.
Aeris hanya menggelengkan kepala. Ia tidak mau berdebat
pagi-pagi, jadi hanya memakaikan Zean sepatu, sementara
Altarel memakaikan sepatu untuk Teya. Sepatu itu terlihat
sempurna jika dikenakan oleh anak-anaknya.
“Gemes banget!!!” kata Altarel sambil pura-pura menangis.
Ia sedikit meremas kaki Teya.
“Papaa! Sakit tauuu!” kata Teya sambil menggoyangkan
kakinya.
Omelan itu membuat Aeris dan Altarel tertawa. “Udah

10
pinter ngomel yaa... hm?” tanya Aeris sembari membersihkan
mulut putrinya dari sisa-sisa biskuit.
“Kamu waktu kecil pasti begini ya, Yang?” tanya Altarel.
“Iya. Mirip sama Eya, ada kok fotonya dirumah.”

Sebuah bangunan dengan nuansa warna-warni berdiri


kokoh di sisi jalan kecil yang masih bisa dilalui mobil. Sebatang
rokok menemani seorang papa muda yang bersandar di pintu
mobilnya itu menarik perhatian wali murid yang lain. Padahal,
ia hanya tengah menunggu anak-anaknya.
Pukul 10.00, bel berbunyi nyaring. Altarel pun segera
memasukkan ponsel ke saku dan mematikan rokoknya. Sebentar
lagi, bocah-bocahnya pasti akan keluar dari gerbang sekolah itu.
“Woi, Rel?!”
Seseorang menepuk pundak Altarel dengan keras. Laki-laki
itu mengernyitkan dahinya, sebelum berbalik. Altarel sontak
tersenyum melihat sahabatnya ketika duduk di bangku SMA
sekarang berdiri di sampingnya.
“Kal?! Ngapain lo di sini?!” Altarel menegakkan tubuhnya.
Altarel dan teman-temannya sudah jarang bertemu dan
berkumpul karena kehidupan masing-masing. Mereka hanya
berkumpul sesekali jika ada waktu luang. Apalagi sebagian
besar sudah berkeluarga.
“Ahilah... mantan preman ujung-ujungnya nganter anak
sekolah,” ejek Haikal. Laki-laki yang berpakaian sama dengan
Altarel—celana bahan hitam serta kemeja.
“Mantan preman gini juga gue papa yang baik,” ujar Altarel
dengan bangga. “Lo sendiri ngapain? Bolos sekolah dulu gak
masalah, kalau bolos ngantor yang ada lo dipecat, ege!”
“Lah, gue bosnya. Lagian gue juga sama kayak lo. Jemput

11
Kalya,” ujar Haikal.
“Kalya bukannya masih kecil?” Seingat Altarel, Kalya
merupakan satu tahun lebih muda dari Zean dan Teya.
“Iya, gue pikir juga gitu. Tapi, Zea nyuruh sekolahin aja
biar bisa interaksi sama temen-temannya. Perkembangannya
terlambat di bagian bicara, kalau jalan lancar. Jadi disaranin
sama terapis buat disekolahin aja biar bisa sosialisasi,” ujar
Haikal.
Altarel mengangguk mengerti.
“Reuni lagilah, udah sebulan lalu terakhir reuni. Kali ini gue,
deh, yang nyewa restoran,” ujar Haikal.
Altarel mengacungkan jempolnya. “Kabar-kabar aja kapan
yang lain bisa.”
Lalu, mereka beralih ke topik lain. “Si kembar gimana?”
tanya Haikal.
Altarel menggeleng. “Duh…yang laki nakal banget. Ngamuk
mulu kerjaannya. Yang perempuan cengeng kayak emaknya,”
ujar Altarel sembari tertawa.
“Papaaaa!!! Huwaa, Mamaaa!!”
Baru saja dibicarakan, Haikal langsung mendapatkan bukti
nyata. Suara tangisan Teya terdengar hingga keluar. Altarel
langsung berjalan mendekati gerbang. Di tengah keramaian
para siswa yang menunggu jemputan, Teya sudah tersungkur di
tanah. Ukuran tubuh Teya terlihat paling kecil antara yang lain,
hingga membuatnya terdorong-dorong dan jatuh.
“Bangun, Ya!” Zean yang berdiri di samping Teya, menarik
tangan adiknya.
Altarel menepuk jidatnya. Setelah Teya berhasil bangun,
Zean malah menghampiri seorang anak laki-laki lain, dan
menarik tasnya. Untung saja seorang guru melihat kejadian itu,

12
hingga tidak terjadi keributan yang lainnya. Meskipun begitu,
Zean masih menatap sebal anak laki-laki yang sudah berjalan
pulang dengan mamanya itu.
“Zean. Sini pulang,” suara tegas papanya itu membuat
Zean mendengkus. Ia pun menggandeng tangan Teya untuk
menghampiri papanya.
“Eya didorong sama dia, Pa!” adu Zean.
“Gak sengaja itu.” Tangan kanan Altarel menggendong Teya,
sementara tangan kirinya memegangi Zean yang berjalan di
sebelahnya.
“Papa… tangan Eya….” Gadis itu itu menunjukkan tangannya
yang kotor dan terdapat luka ringan.
“Abang! Huwaaa!” sekarang, Teya menunjukkan tangannya
kepada Zean yang ada di bawah.
Zean mengusap bagian lutut adiknya untuk membersihkan
sisa-sisa tanah. “Nanti Jean ajarin Eya cara mukul orang, biar
gak di orong lagi,” ujar Zean dengan bangga.
Altarel tersenyum, kemudian menggeleng heran. Ia
mengangkut putra-putrinya untuk duduk di dalam mobil.
Kenangan masa lalu yang selalu menjadi bayangan hitam
di kepala mereka tak membuat Altarel dan Aeris takut untuk
menjalani hidup ke depannya. Kisah si preman sekolah dan
gadis cantik yang ditemuinya di sebuah pesta ulang tahun tak
berakhir sampai di sini.

13

Anda mungkin juga menyukai