Anda di halaman 1dari 487

Awal

"Elena!!"

Teriakan di susul gedoran dari luar berhasil membuat seorang perempuan


yang bergulung di balik selimut terusik.

DOR DOR

"Bangun kamu, udah jam berapa ini?" Teriak Laras kuat.

Suara teriakan Laras, mama Elena, dan gedoran pintu seketika membuat
Elena terperanjat bangun.

Oh, ya Allah, mama. Gak ada manis-manisnya deh. Bangunin anak


gadisnya Ck.

"Iya ma, ini Lena udah bangun." Teriak Elena di dalam kamar. Mendesah
kesal lantaran ulah mamanya pagi-pagi buta.

"Udah jam berapa ini, Lena. Kamu itu anak gadis. Masak jam segini baru
bangun dan bla ... bla ..."

Belum apa-apa udah dapat sarapan tanpa gizi. Gerutu Elena kesal. Kesal
lantaran mamanya lagi-lagi berhasil membuat dia bangun dengan cara gak
biasa.

Melirik jam di atas meja nakas, mata Elena langsung melotot begitu
mengetahui jam menunjukkan pukul 6.20.

Mampus gue kesiangan.


Secepat kilat, Elena langsung berlari ke kamar mandi. Mengabaikan
teriakan juga Omelan mamanya yang tidak akan berhenti sebelum
mamanya itu lelah.

Bisa digorok gue, sama mbak Hanum kalau tau telat. Gerutu Elena panik.

Hari ini adalah jadwal dia membuka cafe baru. Maklum Elena adalah
maneger Hanum sekaligus merekap sekertaris pribadinya. Hanum adalah
seorang pembisnis sekaligus atasannya di cafe. Dia memiliki beberapa
bisnis kuliner, berhubung hari ini dia sedang menghadiri acara pertunangan
adiknya.

Maka dia lah yang bertugas membuka cabang cafe di Bekasi. Tetapi na'as,
hari ini dia kesiangan. Semua ini pasti gara-gara Yuli yang dari semalam
memborbardirnya dengan chat, dan telepon tentang persiapan penyambutan
pembukaan cabang cafe. Berakhir dia tidur larut dan bangun kesiangan.
Semua itu karna kemauan Hanum.

Bosnya itu menginginkan pembukaan cabang kali ini lebih heboh dari
biasanya. Padahal sudah berulang kali dia katakan. Yang akan meresmikan
cabang bukan bosnya melainkan Elena. Lalu kenapa harus heboh, toh bos
tidak bisa hadir?

Tapi dengan semua tingkat keajaiban juga sikap seenak hati bosnya. Bosnya
tetap ingin Elena melakukan semua yang dia inginkan. Termaksud cara,
sekaligus perayaan pembukaan cafe.

Berakhir, Yuli lah yang menjadi kelimpungan dengan semua tuntutan


keinginannya. Kalau sudah begini, Elena bisa apa?

Maklum dia mah apa atuh, cuman remukan rangginang yang kebetulan
dipungut bosnya. Ck,

Dengan mandi secepat yang dia bisa. Elena langsung bergegas, bersiap-siap
sebelum Hanum menelpon dengan semua pertanyaan ajaibnya. Bisa berabe
kalau sampai Hanum tau, jika pagi ini dia kesiangan.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit Elena selesai melakukan persiapan.
Demi apa pun, ini adalah rekor mandi plus persiapan Elena paling cepat
yang pernah ada, selama hampir dua puluh lima tahun dihidup di dunia
pastinya.

Berjalan terburu-buru turun dari tangga, Elena langsung berteriak heboh


begitu melihat mamahnya, Laras sedang mengelap koleksi guci-guci
cantiknya diruang tengah.

"Apa sih Len, teriak-teriak? Ini itu rumah, bukan hutan." Tegur Laras galak.

Agak kesal melihat anak gadisnya yang teriak-teriak heboh sambil lari-lari
tidak jelas di pagi buta seperti ini. Kapan sih anak gadisnya itu bersikap
sedikit waras?

"Mama, Ihhh. Lena udah telat tau." Jawabnya sambil menarik tangan kanan
Laras untuk dia cium.

"Mangkanya pagi-pagi itu bangun, jangan kesiangan mulu. Gimana kamu


mau dapat jodoh coba, kalau kelakuannya kayak gini terus." Omel Laras.

"Iya- Iya Mama, udah ah ngomel mulu. Lena berangkat ya.


Assalamu'allaikum." Ucap Elena sedikit kesal.

Sebelum mendapat omelan Laras lebih lama lagi, dia langsung lari keluar
rumah. Mamanya itu, kalau sudah mengomel tidak pernah melihat waktu
dan tempat, bisa-bisa sampai seharian kalau dibiarkan terus.

"Dasar anak durhaka." Sungut Laras emosi.

Itulah jawaban Laras yang Elena dengar sebelum dia lari keluar dan masuk
ke dalam Mobil.

****

Pukul 8 lebih, Elena sampai di tempat peresmian cafe. Bahkan Hanum


sudah menelponnya berkali- kali. Begitu pun Yuli saat diperjalanan tadi.
Sengaja tidak diangkat oleh Elena agar dia lebih fokus mengemudi.
Dia bahkan sudah hatam bagaimana bosnya itu kalau sudah mengomel, bisa
naik darah Elena dibuatnya kalau sampai meladeni bos sarapnya itu.

"Woy, ke mana aja sih lo? Mbak Hanum ni dari tadi nelpon gue mulu.
Nanyain lo kenapa gak ngangkat telponnya." Jerit Yuli heboh begitu Elena
turun dari mobil.

Maklum Yuli yang ditugaskan Hanum membantu Elena untuk mengurus


persiapan cafe. Karna kerja Yuli yang bagus, gadis berusia kisaran 23 tahun
itu juga salah satu orang kepercayaan Hanum setelah Elena pastinya.

Elena menoleh ke arah Yuli dan meliriknya sebentar.

"Berisik lo ah." Ketusnya pada Yuli yang berdiri sambil berkacak pinggang
di samping mobil Elena.

"Et dah galak banget si. Mbak, Jomblo." Delik Yuli sambil mengekor Elena
masuk ke dalam cafe.

Terpaut dua tahun tidak membuat Yuli menghormati Elena yang lebih tua
darinya. Karna sifat Elena yang apa adanya dan ceplas-ceplos, membuat
Yuli bersikap netral dan ceplas-ceplos seperti seusianya dengan Elena.

Toh, Elena nya juga tidak mempermasalahkan itu semua, jadi Yuli juga
tidak mau ambil pusing.

Berbeda dengan Hanum, Yuli sedikit sungkan pada bosnya itu. Maklum,
umur Hanum jauh lebih tua darinya. Dan juga Hanum kalau sudah keluar
tanduknya, bisa sangat menyeramkan dia seperti badak kehilangan
tanduknya.

***

Acara pembukaan cafe hari ini pun berjalan lancar. Tidak ada kendala sama
sekali. Elena cukup puas dengan hasil kerja keras anak buahnya, begitu pun
Hanum pastinya.

Elena berjalan ke arah parkiran menuju mobilnya, dia sudah akan pulang
saat ini. Seharian ini membuka cabang cafe sendirian membuat tubuhnya
terasa lelah. Dia butuh cepat-cepat pulang agar bisa mengistirahatkan
tubuhnya karna lelah.

Mengangkat alis heran, Elena semakin memicingkan mata curiga melihat


Yuli yang berdiri di samping mobilnya. Lengkap dengan senyum lebar
layaknya model pepsodent, unjuk gigi.

"Ngapain lo di situ?" Ketus Elena begitu sampai di depan mobilnya.


Menatap malas pada bawahannya itu.

Sambil cengengesan dengan wajah sok polos. Yuli menjawab. "Lo mau
pulang kan mbak? Gue nebeng dong?" Jawab Yuli memelas.

"Ogah, jalan kaki sono lo!! lagian gue sibuk. Gak ada waktu buat nganter-
nganter orang kayak lo." Tolak Elena mentah-mentah, bukannya
tersinggung, Yuli malah dengan santai menepuk lengan atasannya pelan.

"Belagu lo mbak." Ucap Yuli kesal.

"Lagian, lo tadi ke sini sama siapa? Kenapa gue harus repot-repot nganter
lo?"

"Gue tadi dianter Bebeb Bayu. Dia gak bisa jemput, soalnya ada urusan
mendadak katanya."

"Alasan." Cibir Elena.

Yuli langsung mengerucutkan bibir mendengar cibiran atasannya.

"Gimana? Boleh ya? Please?" Mohon Yuli sambil memasang tatapan


sepolos mungkin.

"Najis gue mah. Gak cocok lo masang tampang begitu." Cibir Elena
semakin menjadi-jadi.

"Ya udah buru naik. Awas aja lo berisik. Gue turunin lo di tengah jalan."
Ancam Elena tak tanggung-tanggung.
Mendengar ucapan Elena, Yuli langsung memandang atasannya dengan
binar mata bahagia. "Jadi lo mau nganter gue?" Tanya Yuli memastikan.

"Hm." Jawab Elena malas.

Dengan semangat 45, Yuli langsung melesat masuk ke dalam mobil.


Sangking bahagianya, Yuli sampai loncat-loncat kecil saat berjalan menuju
mobil Elena. Membuat sang empunya hanya mendengus pelan karna kesal.
Awal baru

Elena berdiri di samping meja mini bar Cafe. Memperhatikan beberapa


pelayan yang berlalu lalang mengantar makanan.

Menjadi maneger di cafe membuatnya nampak sibuk di jam-jam makan


siang seperti ini. Karna dia akan selalu membantu para pelayan yang
nampak sibuk kewalahan melayani para pelanggan.

Walau hari ini cafe tampak sedikit lenggang, tapi tidak terlalu sepi juga.
Karna masih banyak meja-meja yang terisi, walau tidak rame seperti
biasanya.

"Len?"

Merasa dipanggil, Elena langsung menolehkan kepalanya cepat, mencari


sumber suara. Di sana, Hanum berdiri di depan pintu ruangannya.

"Sini." Panggil Hanum melambaikan tanganya ke arah Elena.

"Kenapa?" Tanya Elena heran sambil mengerutkan kening bingung.

"Ngobrol di ruangan gue yuk." Jawab Haum mengajak Elena masuk ke


ruangannya.

"Kenapa sih mbak?" Tanyanya heran. Tumben sekali bosnya itu terlihat
kusut.

Setelah duduk di sofa single yang ada di ruangan Hanum. Memperhatikan


raut muka Hanum yang duduk disisi sofa lain di sampingnya. Benar-benar
terlihat mendung, tidak ada senyum di wajah itu.
"Gapapa. Temenin gue ngobrol ah di sini. Otak gue lagi butek sekarang."
Jawab Hanum sekenanya.

"Butek kenapa?"Tanya Elena heran.

"Lo tau adek gue kan?" Tanya Hanum memandang lurus ke arah Elena.

Tentu saja Elena tahu. Sudah terhitung beberapa bulan Hanum selalu
menceritakan adik semata wayangnya itu. Yang memiliki banyak kelebihan
menurutnya.

Elena menganggukkan kepalanya sekali."Emang kenapa?"

"Dia gagal nikah!" Jawab Hanum pelan.

"Loh kok bisa?" tanya Elena kaget.


Pasalnya dua bulan yang lalu, Hanum mengatakan adiknya baru saja
melangsungkan bertunangan. Walau acaranya lebih privasi dan hanya
dihadiri oleh keluarga. Tapi tetap saja masih anget-angetnya kan? Baru dua
bulan tunangan loh.

Walau Elena hanya bertemu beberapa kali dengan adik Hanum saat
berkunjung ke caffe. Tapi tetap saja dia tau, kalau adik Hanum ini nyaris
sempurna tanpa cacat.

Jadi perempuan seperti apa yang mau-mau saja membatalkan pernikahan


dengan adik bosnya ini?

Dimulai dari tampang? Ok.

Badan? Biuuuuuhhh jangan tanya, badan sekeren itu Elena yakin pasti bisa
ngalahin oppa-oppa korea yang sering dia liat di Video Yt.

Kaya? Jangan tanya, dari pakaian yang digunakan saja, sudah bisa ditebak
kalau harganya ngalahin gaji Elena dalam sebulan.

Lalu apa yang membuat dia gagal nikah?


Memperbaiki letak duduknya, Elena langsung memasang pendengaran
dengan baik, takut-takut kalau salah dengar nanti.

Bahkan tingkat ke kepoan Elena langsung melejit ke level tertinggi saat ini.
Bersiap mendengarkan apa pun alasan yang akan diceritakan bos cantiknya
ini. Dia bahkan langsung duduk diam dengan perasaan penasaran setengah
hidup.

Walau Hanum sudah menikah, tapi tidak merubah kadar kecantikan wanita
30 tahunan ini.

"Kayanya calon istrinya kabur."

"Kayaknya?" Ulang Elena mengulang jawaban Hanum. "Kok kayaknya sih


mbak?" Tanyanya heran.

"Iya. Soalnya perempuan itu tiba-tiba hilang. Gak ada yang tau ke mana
perginya tu cewek. Keluarganya juga gak ada yang tau. Mana pernikahan
tinggal tujuh hari lagi. Berasa mau pecah kepala gue Len, mikirin masalah
ini." Jelas Hanum dengan nada frustasi. Begitu pun wajahnya yang nampak
sangat tertekan.

"Udah coba cari tau ke tempat-tempat yang sering dikunjungi?"

Hanum menganggukkan kepalanya pelan."Udah. Tapi tetep aja gak ada


hasil." Menghela nafas lelah. "Dipta bahkan udah berusaha nyari ke mana-
mana. Tapi hasilnya tetep nihil." Sambung Hanum lagi.

Melihat wajah mendung bosnya, membuat Elena mau tak mau ikut
merasakan prihatin.

Hanum itu, sudah dianggap dia seperti kakaknya sendiri. Elena yang
terlahir menjadi anak tunggal dari kedua orang tuanya. Tidak pernah
merasakan bagaimana rasanya punya saudara. Dan saat mengenal dan
bertemu Hanum, akhirnya dia bisa merasakannya.

Bangun dari sofa, Elena berjalan ke arah Hanum dan duduk di sampingnya.
"Sabar, mbak. Pasti semua ada jalan keluarnya." Ucap Elena memberi
semangat, sambil menggenggam sebelah tangan Hanum, Elena tersenyum
tipis. Berharap dengan cara ini dapat menyalurkan sedikit semangat untuk
bosnya.

BRAK..

"Kak Han, Mama masuk rumah sakit."

**

Rumah sakit kasih Bunda

Di sinilah Elena sekarang. Duduk menemani Hanum yang sedari tadi


menangis karna merasa khawatir.

Khawatir pada sosok malaikat tanpa sayap. Wanita luar biasa yang sering di
panggil ibu.

Setelah insiden di ruangan Hanum tadi. Dengan datangnya adik satu-satu


Hanum. Revan Pradipta.

Yang mengatakan ibunya masuk rumah sakit, karna mendengar calon


menantunya hilang entah ke mana. Padahal persiapan pernikahan sudah
90%. Langsung syok dan tak sadarkan diri.

Orang tua mana yang tidak akan syok, jika tau bahwa calon mempelai
anaknya kabur. Di saat semua persiapan pernikahan hampir selesai. Ini
waktu pernikahannya cuman tinggal satu minggu loh. Enak aja tu cewek
main kabur-kaburan.

Mau cari pengganti? Gak mungkin.

Mau dibatalin? Mau di taro di mana muka mereka membatalkan pernikahan


yang hanya tinggal menghitung hari.

Diam-diam, Elena memperhatikan Pria yang berdiri di tidak jauh darinya.

Revan Pradipta, atau yang sering Hanum panggil dengan Dipta. Pakaiannya
terlihat sudah awut-awutan tidak jelas. Kemeja demin putih panjang bahkan
sudah keluar dari celana hitam panjangnya dan terlihat sangat kusut.
Bahkan lengannya pun sudah digulung sampai setengah siku. Juga ada
guratan lelah di wajahnya yang begitu ketara, kantung mata hitam disekitar
matanya.

Meski terlihat begitu berantakan, tapi jujur Elena merasa kadar


ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Malah, adik bosnya itu terlihat
begitu seksi dengan rambut acak-acakan dan pakaian berantakan.

Dih, kok Elena jadi mikirnya ke mana-mana sih?

"Keluarga Nyonya Isa?" Panggil dokter saat baru keluar dari ruang ICU.

"Bagaimana keadaan mama saya dok?" Tanya Hanum dengan nada


khawatir.

"Semua baik-baik saja, nyonya hanya kelelahan dan syok ringan. Setelah
istirahat, nyonya bisa dipindahkan keruang rawat inap. Tapi saran saya,
tolong jangan biarkan nyonya Isa berfikir yang berat-berat dulu. Karna
tidak baik untuk kesehatannya kali ini." Jelas dokter panjang lebar. Yang
langsung diangguki oleh Hanum dan juga Dipta.

Sebelum pergi, dokter itu sempat melirik Dipta sebentar dan menepuk pelan
pundak Dipta. Seperti memberi semangat dan menenangkan.

"Terima kasih dok." Ucap Dipta bersamaan dengan Hanum.

"Mending kakak pulang, istirahat. Biar Dipta yang jaga mama di sini."
Ucap Dipta pelan memandang Hanum lurus.

"Istirahat?" Tanya Hanum pelan dengan air mata yang belum kering di
pipinya, atau bahkan sudah turun lagi tanpa komando.

"Kamu kira ... Kakak bakal bisa istirahat dalam keadaan kayak gini?" Ucap
Hanum marah.

"Kakak tidak perlu mikirin masalah ini, ini masalah Dipta. Biar Dipta yang
menyelesaikan semua masalah ini!"
"Bagaimana cara kamu menyelesaikan masalah ini? Huh? Bagaimana?"

"Jawab kakak Dipta!" Teriak Hanum marah. "Gimana?" Sambung Hanum


lirih.

"Mbak tenang mbak. Ini rumah sakit. Mbak harus tenang sekarang!" Ucap
Elena mengusap punggung Hanum. Mencoba menenangkan Hanum yang
terlihat sudah kehilangan kontrol.

Merosot ke lantai, Hanum menangis pilu. Memikirkan keluarganya yang


akan menanggung malu sebentar lagi. Hanum tidak yakin jika mamanya
akan baik-baik saja, jika sampai pernikahan ini gagal.

Bahkan mereka sudah menyebar undangan begitu banyak, belum lagi


keluarga besar mereka yang pasti menggunjingkan keluarganya. Semua itu
pasti yang membuat mamanya syok dan stres.

Hanum manangis tergugu di atas lantai yang dingin di rumah sakit. Bahkan
Elena sudah ikut duduk di lantai samping Hanum. Mencoba menenangkan
bosnya yang terus menangis. Bahkan air mata Elena pun ikut turun melihat
Hanum yang menangis dengan suara menyedihkan.

Duh Kasian.

"Dari awal, hiks ... Kakak ... Dan mama gak pernah setuju. hiks... Kamu
berhubungan atau bahkan menikah dengan gadis itu. hiks..." Ucap Hanum
disela-sela tangisnya.

"Tapi kamu--hiks Selalu keras kepala. Lihat sekarang. Wanita yang kamu
bangga -banggakan menghancurkan semuanya hiks. Semuanya Dipta.
Semuanya."

"Puas sekarang kamu melihat mama terbaring di rumah sakit ini? Puas
kamu menyoreng nama baik keluarga kita sekarang?" Sambung Hanum
terus meracau dalam pelukan Elena dan disela-sela tangisnya.

Berjongkok di depan Hanum. Dipta hanya bisa memandang kakaknya


dengan tatapan bersalah tanpa tau harus melakukan apa. Mengepalkan
kedua tangannya kuat, Dipta memandang lirih penuh rasa bersalah pada
Hanum yang tampak hancur karna ulahnya.

Tapi di sini bukan cuman Hanum yang hancur, dia juga merasakannya. Atau
bahkan dua kali lipat kehancuran yang Dipta rasakan saat ini.

Dipta yang melihat kakaknya menangis pilu, hanya bisa diam tidak bisa
berbuat apa-apa. Tangisan kedua Hanum setelah kepergian papa mereka.

Dulu Dipta berani memeluk kakaknya, berani menenangkannya atau


bahkan menghiburnya. Walau hatinya ikut hancur karna kehilangan sosok
pria hebat dihidupnya. Tapi Dipta harus tetap tegar demi dua wanita hebat
yang sangat dia sayangi.

Tapi sekarang lihat, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang
Hanum dengan pandangan menyesal dan rasa bersalah yang menggunung.

Jika dulu Dipta pernah berjanji tidak akan membuat mama atau kakaknya
menangis untuk kedua kalinya. Berbeda dengan kali ini, dia berjanji akan
melakukan apa pun asal bisa menebus rasa sesal dan rasa bersalahnya
terhadap kedua wanita hebat dalam hidupnya itu.

Dia berjanji akan melakukan apa pun. Apa pun yang bisa membuat senyum
kedua wanita itu kembali seperti sedia kala. Meski harus mengorbankan
kebahagiaannya atau masa depannya.

Tapi adakah cara untuk Dipta melakukan semua itu?

Merasa gagal menjadi satu-satunya pria dikeluarganya. Dipta semakin


merasa bersalah kali ini, karna tidak memiliki berani untuk menenangkan
Hanum. Sekedar memberi semangat atau pelukan pun dia tidak berani.
Membuat Dipta semakin terlihat menyedihkan saat ini.

Dan pada akhirnya, wanita asing lah yang memberikan pelukan kepada
kakaknya. Wanita asing ini, yang mencoba menenangkan kakaknya. Dan
memberi semangat kalau semua akan baik- baik saja. Semua pasti akan
kembali seperti semula dan sediakala.
Drama

"Mbak Hanum udah mendingan?" Tanya Elena mengulurkan tisu ke arah


Hanum.

Menerima uluran tisu dari Elena. Hanum mengangguk. "Hm, makasih ya


Len, lo jadi repot gara-gara gue."Jawab Hanum walau dengan mata sembab
tapi sudah ada senyum di bibirnya. Membuat Elena sedikit bernafas lega
melihatnya.

"Apa sih mbak, kayak sama siapa aja!" omel Elena sambil mengerling jahil,
berniat menggoda Hanum dan nyatanya Hanum semakin tersenyum lebar
karenanya.

"Gue gak tau Len harus ngomong apa. Tapi jujur, ini pasti berat buat
mamah gue. Dia itu udah pengen banget nimang cucu." Bisik Hanum lirih
dengan wajah menunduk sedih.

Mendengar Hanum membahas perihal soal cucu. Elena cuman bisa diam,
tidak bisa berkomentar apa-apa. Takut jika salah bicara dan malah semakin
menyakiti hati bosnya.

Walau dia ceplas-ceplos tapi masih ada batasannya, tidak mungkin


menambah rasa sakit orang yang sedang ada masalah seperti Hanum.

"Dan lo tau kan gimana gue sama laki gue." Sambung Hanum kian lirih.

Mengangguk hikmat. Elena tetap diam mendengar keluh kesah Hanum.


Mungkin ini yang dibutuhkan Hanum saat ini, yaitu berbagi cerita dan
keluh kesahnya. Mungkin dengan begini bisa sedikit mengurangi beban
dipundaknya.
"Oh iya, suami mbak ke mana? Kok gak keliatan?" Tanya Elena
mengalihkan pembicaraan. Agar Hanum tidak murung lagi.

"Mas Dewa lagi pergi perjalanan bisnis keluar negeri." Jawab Hanum
sekenanya.

Elena mengangguk mengerti. Memandang Hanum yang tampak diam di


depannya. Jarang-jarang bosnya ini bisa diam atau anteng seperti ini. Karna
biasanya, selalu ada saja tingkah Hanum yang kadang membuat sakit kepala
dan geleng kepala tidak percaya karna tingkah ajaibnya.

"Mbak, gue boleh nanya gak?" Tanya Elena hati-hati sambil melirik takut-
takut Hanum.

"Ck, Gak cocok banget Len. Gak gaya lo banget mau nanya segala pakek
ijin." Cibir Hanum.

"Is, mbak Hanum mah gitu. Ini mah serius tau mbak."

Hanum mengangkat sebelah alis heran. "Apa?" Tanya Hanum penasaran.

"Kenapa mbak gak setuju sama calon Dipta? Bukannya orangnya cantik ya
mbak?" Tanyanya sambil mengingat-ingat wajah ayu calon istri Dipta, yang
beberapa kali sempat dibawanya ke cafe.

"Cantik sih, cuman ya gitu. Feeling gue gak sreg aja sama dia."

"Sejak kapan mbak nilai orang pakek feeling?" Cibir Elena sambil melirik
Hanum geli.

Merasa konyol akan ucapan Hanum tentang menilai orang.

"Ye. Gue mah kalau nilai orang selalu pakek feeling kali. Emang lo? Pakek
toak." Seru Hanum kesal tak urung membuatnya tersenyum juga. Sedikit
lega karna bisa menghilangkan sedikit rasa stresnya.

"Santai mbak. Santai. Jangan pakek urat dong ngomongnya."

"Tau ah, makin sepet otak gue ngomong sama lo." Ketus Hanum.
"Ck, Terserah lah."

"Tapi beneran deh. Sekarang ini, gue sama sekali gak ada ide buat cari
solusi masalah Dipta. Lo ada ide gak Len? Buat masalah ini? Kasih saran
deh gue."

"Emang kalau batal nikah napa sih mbak? Dipta juga masih muda. Masih
banyak gitu yang mau sama dia." Kata Elena santai sambil menyeruput jus
jeruknya yang baru diantar pelayan ke meja mereka.

"Enak aja. Mau buat Emak gue kena serangan jantung lo? Acara persiapan
pernikahan Dipta itu hampir 90% tau. Lo kira gampang batalin gitu aja."
Omel Hanum berapi-api.

"Ya udah kalau gitu, temuin calonnya. Atau kalau enggak cari pengganti
lain kek. Susah amat hidup lo." Ceplos Elena tanpa pikir panjang.

Hanum mengerjab. Seakan baru saja mendapat Ilham dari kata-kata Elena.

"Ide bagus itu Len. Gak sia-sia deh Len, lo ada di sini. Ternyata otak lo
berguna juga." Jawab Hanum dengan senyuman sok lebar. Yang dibalas
Elena dengan mengangkat bahu acuh.

**

"Lena." Teriak Laras begitu melihat anak gadisnya masuk ke dalam rumah.

"Apa sih ma, teriak-teriak?" Jawab Elena kesal pada Laras. Mamanya ini
hobi sekali teriak-teriak padahal waktu sudah menunjukan malam.

Sekarang dia tau, dari mana sikap ajaibnya itu. Dari mana lagi kalau bukan
karna keturunan mamanya.

Papanya? Gak mungkin! Karna papanya atau Herman itu tidak pernah
bersikap heboh atau yang aneh-aneh. Papanya itu adalah orang yang paling
lurus dan lempeng di rumah ini.

Berjalan malas, Elena menghampiri mamanya yang sedang duduk di ruang


tengah bersaama papanya. Sepertinya sedang menikmati acara tv.
"Kenapa?" Tanya Elena setelah duduk di sofa samping papanya. Mau cari
aman. Karna kalau dia duduk di samping mamanya sudah pasti mereka
akan adu urat plus adu mulut.

"Dari mana kamu? Jangan bilang dari Cafe. Tadi mama ke sana, tapi kamu
gak ada. Kata Yuli, kamu pergi sama Hanum keluar." Cecar Laras dengan
banyak pertanyaan.

"Ngapain mama ke caffe?" Tanya Elena heran.

"Ditanya kok balik nanya. Gimana sih?" Ketus Laras sambil melotot galak
ke arah putrinya. Tapi setelah itu pura-pura melihat acara tv. Karna di
pandang begitu intens oleh Elena.

"Mama mencurigakan deh?" Celetuknya memperhatikan mamanya yang


terlihat menghindar.

"Aneh giman sih? Udah ah, ditanya kok malah balik nanya." Omel Laras
kian merasa aneh di mata Elena.

"Dari rumah sakit." Jawab Elena sambil mencomot pisang goreng di atas
meja. Lumayan ganjel perut pikirnya.

"Loh, siapa yang sakit?" Tanya Herman sedikit kaget.

"Mamanya mbak Hanum."

"Si Isa?" Tanya Laras.

"Loh, kok mama kenal?" Tanya Elena heran. Pasalnya, selama ini mamanya
tidak pernah membahas kalau mengenal keluarga Hanum. Apalagi
mamanya.

"Ya kenal lah. Isa itukan teman sekolah mama pas SMA." Jelas Laras
sambil melirik anak gadisnya yang seperti orang kelaparan, begitu lahap
memakan pisang goreng.

Elena hanya mengangguk mengerti tanpa mau repot berkomentar.


"Emang sakit apa Len?" Tanya Herman lagi.

"Cuma syok sama kecapean."

"Syok kenapa?" tanya Laras kepo.

"Kepo ah mama."

"Kamu ini ditanya orang tua juga. Gak sopan!"

"Is, Tau ah Lena mau ke atas. Mau mandi, udah gerah." Ucap Elena
menghindar.

Dia ini paling malas kalau sudah menghadapi mamanya yang kalau sudah
kepo bikin naik darang tinggi. Mana kalau diladeni terus tidak ada habisnya
lagi. Pasti ada saja pertanyaannya.

Bisa-bisa besok subuh baru selesai kalau dia ladeni. Sedangkan Elena
merasa badannya butuh mandi dan istirahat.

Herman hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak dan istrinya.


Anaknya terlihat enggan meladeni ke kepoan istrinya. Sedangkan istrinya,
kalau sudah kepo mau putrinya ke ujung dunia pun pasti dia kejar.

Terkadang Herman sampai heran. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga.
Tapi kalau istri dan anaknya sudah berdebat, atau merebutkan sesuatu. Pasti
rumah ini akan menjadi sangat ramai seperti ditinggali lebih dari sepuluh
orang. Benar-benar bikin Herman cuman bisa geleng-geleng kepala heran.

Saat melihat Laras, istrinya yang berdiri dan mengejar putrinya. Herman
hanya tertawa geli.

Dia yakin tidak lebih dari sepuluh menit pasti Elena akan berteriak kesal
dan mengadu padanya. Putrinya dan Laras kan seperti Tom and Jerry.
Bertengkar terus tidak ada habisnya. Kalau sehari saja mereka tidak
bertengkar, mungkin bakal turun hujan badai di rumahnya ini.

"MAMA IHHH. LENA MAU MANDI."


Nah kan belum juga lima menit, tapi putrinya sudah berteriak kesal karna
ulah istrinya.

Istrinya itu memang luar biasa ajaib dan langka. Tidak heran kalau putrinya
bersikap begitu, karna sudah pasti dia menuruni sifat Laras. Siapa lagi yang
punya sikap seperti itu di rumah ini selain istrinya, Laras? Dia? Ckk,
mimpi.

Mengabaikan teriakan putrinya dan tawa istrinya, Laras. Herman


melanjutkan acara nontonnya yang sempat tertunda tadi.

Sedikit tenang, karna sepertinya Herman akan terhindar dari sikap ajaib
istrinya kali ini. Itung-itung menikmati waktu tenangnya dari istri galaknya
sebentar, tidak salah kan. Toh Herman tidak yang aneh-aneh.
Syok

"Len." Panggil Laras pada anak gadisnya. Yang terlihat rapi saat melewati
ruang tengah. Dia terlihat akan pergi.

"Apa sih ma?" Tanya Elena sedikit kesal. Pasalnya mamanya ini, dari
semalam tidak berhenti mengganggunya. Ada saja yang di pertanyakannya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Laras. Mulai melancarkan aksi keponya.

Saat melihat anak gadisnya yang terlihat rapi, padahal ini hari libur.
Tumben-tumbenan anak gadisnya mau bangun pagi. Biasanya juga, dia
akan marah-marah kalau Laras bangunkan sepagi ini di hari liburnya.

Alasannya sih slalu ingin mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, karna


hampir satu minggu full bekerja. Memang dasar anak gadisnya saja itu yang
pemalas.

"Mau jenguk mamanya mbak Hanum." Jawab Elena sambil duduk di sofa
samping mamanya, menghadap ke arah tv.

"Kamu belum cerita sih Len sama mama?" Tanya Laras seraya
menyodorkan bolu coklat ke arah putrinya. Yang ada di meja depan sofa.

Tumben sih mama baik. Ada maunya ini pasti. Pikir Elena.

Mencomot satu potong bolu. Elena langsung menggigitnya kuat.

Emmh. Tekstur lembut dan manis langsung terasa dilidahnya. Mamanya ini,
kalau soal masak memasak memang tidak ada duanya. Apalagi tentang
membuat kue, slalu bisa dan terasa luar biasa. Bisa memanjakan lidah
pastinya.
"Cerita apa sih ma?" Tanya Elena kalem.

Setelah selesai menelan bolu di mulutnya habis, Elena langsung melirik ke


arah wajah mamanya yang menatapnya lurus. Dia ingin tau, apa yang
sedang mamanya pikirkan saat ini, perasaan dari tadi senyum-senyum gak
jelas menatapnya. Pasti ada banyak maunya ini.

"Itu loh, kamu semalam belum cerita ke mama. Kenapa Dipta. Si adiknya
Hanum itu gak jadi nikah?" Tanya Laras.

Semalam Elena marah- marah karna Laras memaksanya cerita. Sangking


penasarannya, Laras sampai tidak bisa tidur nyenyak karna penasaran
kelanjutan cerita putrinya itu. Tingkat ke kepoan Laras kan sudah masuk
ketahap kronis saat ini.

Tuh kan bener. Pikir Elena.

"Mama jangan cerita siapa-siapa tapi ya?" Ucapan Elena memperingati.

"Aman!" Jawab Laras sambil berlagak mengunci mulutnya.

"Tunangannya kabur." Celetuk Elena jujur.

Elena yakin kalau dia tidak jujur, mamanya tidak akan berhenti untuk
mengejarnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat kepala
Elena ingin pecah saat itu juga. Dan itu semua sangat menyebalkan bagi
Elena.

"Loh kok bisa?" Tanya Laras penasaran.

"Mana Lena tau." Jawab Elena cuek sambil mencomot satu potong bolu
lagi.

"Sayang banget ya? Padahal kan keluarga Isa itu kaya Len. Apa jangan-
jangan anak Isa yang cowok itu jelek?"

"Kaya, kalau gak cinta buat apa ma?"


Laras mendengus pelan mendengar jawaban anaknya.
"Cinta itu bakal hadir seiring berjalannya waktu. Tapi anak Isa ganteng gak
sih Len?"

"Menurut Lena sih ganteng. Pakek banget malah." Jawab Elena sambil
menyilang kan kaki di atas sofa.

"Tu. Apa yang kurang coba, keluarga konglomerat? Iya. Tampang? Ok.
Kira-kira apa yang buat dia kabur ya Len?"

"Mana mama tau mama." Jawab Elena gemas.

Laras mendengus kuat mendengar jawaban Elena yang di rasa kurang


akurat. "Kamu gak pengen deketin anaknya Isa, Len?"

"Kenapa harus deketin?" Jawab Elena dengan santainya.

"Ya kan kamu jomblo Len." Kata Laras dengan raut wajah meledek. "Kali
aja nyoba peruntungan, dari pada kamu jomblo. Coba aja pepet dia! Mama
sih gak masalah punya menantu konglomerat."

"Mama sih gak masalah. Tapi dia yang masalah. Mau gak sama Lena?"

"Ya kamu kejar dia lah. Usaha! Jangan cuman diam ngengkrem di kamar,
kayak ayam mau nelor aja." Omel Laras. Yang tak habis fikir dengan cara
berfikir anak gadisnya.

"Emang mama kira dia angkot Lena kejar? Lagian gengsi dong ma. Masak
cwek ngejar cowok. Gak keren banget tau."

"Heleh gak papa lah. Kesempatan itu kan gak datang dua kali."

"Gak ah. Gini-gini juga Lena


punya harga diri!"

"Terus kalau kayak gitu mau sampai kapan kamu bakal dapat jodoh? Kamu
gak liat sepupu-sepupu kamu, udah pada nikah. Bahkan ada yang udah
gendong anak."
"Ya sabar kali ma. Orang Lena juga kan lagi usaha. Umur juga belum tua-
tua amat."

"Umur dua puluh lima itu udah waktu yang pas buat nikah Lena. Kamu
mau nikah umur berapa? Tiga puluh?"

"Mama Ih. Do'anya jelek banget."

"Ya udah. Buruan, cariin mama calon mantu!"

"Ya kan gak segampang itu mama." Sahut Elena gemas. Mamanya ini,
dikira cari mantu semudah ubek-ubek baju di pasar apa? Cocok, sikat.

"Heleh. Ngeles mulu kamu kayak bajai."

"Udah ah, Lena mau ke rumah sakit. Di rumah mama ngomel mulu pusing
Elena." Ucapnya sambil berdiri dan menyalami mamanya.
"Asslamu'allaikum."

"Wa'allaikum salam."

*****

Setibanya Elena di rumah sakit. Dia langsung menuju ke ruang inap


mamanya Hanum. Sambil bertukar pesan dengan Hanum, mengabarkan
kalau dia sudah sampai.

Tadi, sebenarnya Hanum yang menyuruhnya ke sini. Katanya sih, ada hal
penting yang akan disampaikan Hanum padanya.

Saat ditanya tantang apa. Hanum dengan sok misteriusnya mengatakan


akan memberitahunya kalau dia sudah sampai di rumah sakit. Cih buat dia
penasaran saja.

Setelah sampai di depan ruang rawat mama Hanum. Elena mengetuk pintu
lebih dulu sebelum masuk.

Setelah dapat balasan dari dalam, Elena langsung membuka pintu pelan lalu
masuk.
Hal pertama yang Elena rasakan adalah malu. Bagaimana tidak, jika semua
pasang mata langsung menatap ke arahnya. Ada Isa, mama Hanum, Dipta
yang duduk di sofa samping suami Hanum, Dewa. Hanum yang duduk
menemani mamanya di samping ranjang, langsung berdiri begitu dia
melihat Elena nampak kikuk.

"Sini Len." Panggil Hanum.

"Siang tante, gimana keadaannya hari ini?" Tanya Elena basa-basi setelah
berdiri di samping Hanum.

"Alhamdulillah udah mendingan nak Lena. Makasih ya, karna semalam


udah repot-repot nemenin Hanum nungguin tante." Balas Isa dengan
tersenyum hangat.

Yg dibalas dengan anggukan oleh Elena. Bingung harus jawab apa.

"Lo sama siapa ke sini?" Tanya Hanum.

"Ya sendiri lah, mau sama siapa lagi?" Jawab Elena enteng.

"Gak kaget sih. Lo kan jomblo ilegal, mau sama siapa ke sini kalau gk
sendiri." Balas Hanum cuek.

Hanum kampreeeeetttt..

Harus banget ya nyebut-nyebut status? kalau tau begini mah, Elena gak
bakal mau ke sini. Bikin malu plus kesel aja.

"Oh nak Lena masih single?" Tanya Isa.

"Hehehh.. Iya tante." Jawab Elena salah tingkah. Malu sebenarnya.

"Gimana ma?" Tanya Hanum gak nyambung. itu sih pikir Elena, tidak tau
saja obrolan apa yang Hanum bahas sebelum dia masuk ke ruangan ini.

"Mama sih gak masalah, anaknya keliatan baik." Balas Isa sambil
memandang Elena lekat.
"Tapi masalahnya, apa anaknya mau gak sama adik kamu? Yang kakunya
ngalahin tembok?" Tanya Isa yang semakin membuat kerutan di dahi Elena
semakin banyak.

Ini lagi pada ngobrolin apa sih. Kok gue berasa di kacangin? Batin Elena.

"Tenang ma, Elena gak bakal nolak. Toh dia jomblo juga." Jawab Hanum
tanpa pikir panjang. "Iya gak Len?" Sambung Hanum minta persetujuan.

Elena yang ditanya begitu hanya manggut-manggut saja, karna belum tau
ke mana arah pembicaraannya.

"Jadi nak Lena mau?" Tanya Isa dengan binar mata bahagia.

"Mau apa tan?" Balik tanya Elena terlampau polos.

Sangking polosnya, sampai buat Hanum tertawa geli melihat muka Elena
yang terlihat lucu di matanya.

Elena ini walau anaknya pecicilan dan ajib, tapi Hanum tau kalau Elena itu
anaknya baik dan apa adanya.

"Nikah sama anak tante, Dipta?"

"HUH?" Blank itu lah yang Elena pikirkan sekarang.


Loh kok gue?

"Mbak Hanum. Ini maksudnya apa sih?" Tanya Elena Kesal.

Setelah kejadian di ruangan tadi. Yang membuat spot jantung Elena naik
turun gara-gara diajak nikah dadakan. Elena langsung menarik Hanum
keluar dari ruang rawat Isa. Setelah Isa dirasa sudah akan istirahat.

Lah dikira nikah itu masalah sepele kali ya? Kalau pacaran sih masih
mending, lah ini nikah? Walau dia jomblo, tapi gak gini-gini amat kali.
Mau-mau aja gitu diajak nikah dadakan.

Se'enggaknya dia juga punya kriteria calon suami. Yah, walau gak jauh-jauh
dari Dipta. Tapi tetep dong ini menyangkut masa depan Elena, plus harkat
dan martabatnya.

Lalu di sinilah Elena, duduk di kantin rumah sakit dengan Hanum yang
cengar-cengir merasa tidak bersalah. Bosnya ini, minta ditampol memang.

"Kan lo Len, yang ngasih ide gue buat cari pengganti." Jawab Hanum
beralasan. Tidak mau di salahkan begitu saja. Cari aman bos.

"Ya, tapi gak gue juga kali mbak yang jadi penggantinya." Ketus Elena
kelewat kesal. Di kepalanya sekarang, berasa ada yang menyembul. Entah
itu asap ataupun api emosi.

"Len, lo kan tau, cuman lo yang gue percaya saat ini. Dan gue yakin lo gak
bakal ngecewain gue. Ok deh anggep aja gue egois karna nyodorin lo
sebagai kandidat. Tapi waktu gue gak banyak Mbambang." Ucap Hanum
frustasi.

"Enam Hari, Len. Enam hari. Sedangkan Dipta, dia udah kayak mayat
hidup. Mikirin jalan keluar buat masalah ini. Bahkan nyokap gue gak mau
ngobrol sama dia kalau masalah ini belum selesai!" Sambungnya kian
frustasi.

" Gini aja deh, lo gak perlu jawab sekarang. Lo bisa pikirin matang-matang
buat tawaran gue. Nah, setelah lo rasa udah punya jawabannya. Lo bisa
hubungi gue. Gimana?" Ucap Hanum panjang lebar.

"Mbak, ini itu nikah mbak! Nikah! Bukan cuman masalah dua orang yang
bakal tinggal satu rumah. Tapi masalah masa depan. Mau jadi apa masa
depan gue, kalau nikah aja sama orang yang bahkan gak gue kenal? Apa
lagi gak tau gimana sifatnya. Bisa-bisa entar gue jadi janda muda lagi. Dih
amit-amit pokoknya." Jawab Elena tak mau kalah.

Dia masih normal ya, yah walaupun calonnya buihhh, sempurna. Sekali
lihat saja udah langsung buat sreg. Tapi tetap aja dia masih cukup waras.
Tunangannya yang cantiknya kayak putri solo aja bisa kabur. Melarikan diri
dari dia. Gimana dia yang tampang pas-pasan?

Dan semua itu pasti ada sesuatu yang terselubung di dalamnya. Kalau adik
bosnya tidak ada iya-iya nya, tunangannya gak akan kabur kan?

"Lo tenang aja deh Len. Dipta itu orangnya gak aneh-aneh kok. Dia tipe
cowok setia, pekerja keras. Gue jamin lo gak bakal nyesel kalau nikah sama
adek gue."

"Tau ah mbak, pusing pala gue!" Omel Elena.

"Tapi jujur deh Len. Kriteria cowok lo yang gimana sih?" Tanya Hanum
penasaran.

"Ya. Yang jelas cinta sama gue lah mbak." Sahutnya enteng.

"Salah satunya ganteng gak?" Pancing Hanum.

"Iya dong biar enak dipandang. Biar bisa merubah keturunan juga."

"Suka yang pendek atau tinggi?"

"Tinggi lah."
"Pekerja keras atau pengangguran?"

Elena mendelik mendengar pertanyaan abstrak Hanum."Ya pekerja keras


dong mbak, masa pengangguran. Mau dikasih makan apa gue entar?"

"NAHHH." Teriak Hanum heboh.

Sampai membuat Elena tersentak kaget.


"Apa sih mbak. Ngagetin aja lo?"

"Yang lo sebutin itu semua masuk kriteria adik gue. Apa lagi yang kurang
coba dari dia?"

Elena memutar bola mata malas.

"Cinta." Jawabnya kalem.

Hanum berdecak. "Alasan." Cibir Hanum. "Cinta itu bisa tumbuh kali Len,
seiring berjalannya waktu." Sambung Hanum.

Elena terkekeh, merasa lucu dengan obrolan mereka.

"Tapi ngomong-ngomong, Dipta tau ide gila mbak ini?" Tanya Elena
berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tau lah." Jawab Hanum enteng. Berhasil membuat Elena melongo


mendengar jawabannya.

Et buset. Ni orang santai banget sih jawabnya.

Tersenyum sinis. "Jangan bilang lo gak percaya sama gue?"

Elena menggeleng panik. "Percaya kok. Percaya." Jawabnya cepat. Kalau


sudah mode sinis begini, biasanya bosnya akan melakukan apa pun yang
ada di otaknya. Salah satunya pekerjaan Elena yang jadi taruhannya.

"Terus kenapa lo liatin gue begitu?"


"Aneh lah liat mbak ngomong santai gitu. Sedangkan mbak kan tau gue
sama Dipta aja gak saling kenal." Jelas Elena meringis kaku.

Hanum mendengus kesal mendengar jawaban Elena. Mengambil ponsel di


dalam tas. Hanum mengotak atik ponselnya sebentar, dan menghubungi
seseorang.

"Kekantin sekarang." Ucap Hanum datar pada orang disebrang telpon.

Elena hanya diam memperhatikan Hanum yang berbicara dengan orang


disebrang telponnya.

"Sekarang gue berani bertaruh. Kalau lo." Ucap Hanum menunjuk K


Elena dengan jari tengahnya. "Gak akan bisa nolak." Sambung Hanum
santai.

***

Elena berulang kali menipiskan bibirnya. Menahan diri agar tidak


menyupah serapahi Hanum. Mendengus Kesal karna melihat senyum tipis
dibibir bosnya.

Bosnya ini benar-benar menguji kesabarannya ternyata.

"Jadi kalian belum pernah Kenalan secara resmikan" Ucap Hanum.


Memandang Dipta dan Elena bergantian.

"Revan Pradipta." Ucap Dipta sambil meyodarkan tangan kananya ke arah


Elena.

Tanpa senyuman sedikit pun.

Oh Astaga. Ni orang pelit banget sama senyum. Senyum kek dikit buat
perkenalan. Model begini yang bakal nikah sama gue? Bahkan mukanya aja
lempeng udah kayak papan seluncur. Ogah.

"Elena Hayunda." Ucap Elena mebalas uluran tangan pria di depannya.


"Oh. ya Dipta, Elena udah mau pamit pulang nih. Gih kamu anter dia
pulang!" Ucapan Hanum sontak mambuat Elena langsung menoleh
padanya.

Bos kampret. Ini kapan gue ngomong mau balik coba? Wah lama-lama
mbak Hanum gue ruqiah juga ini.

"Kayaknya gue balik sendiri deh mbak. Gue bawa mobil soalnya." Ucap
Elena. Menunjukkan kunci mobilnya.

"No, no, no." Jawab Hanum menggoyangkan jari tengahnya di depan


wajah. "Lo mending dianter Dipta. Dipta gak masalah kok kalau pulang
naik taksi."

"Ribet kali mbak. Udah ah gue balik sendiri aja." Tolak Elena kekeh.

"Gue gak mau denger penolakan." Ketus Hanum.

Buset dah. Ni mbak Hanum ngebet banget sih. Mana yang disuruh nganter
model laki begini, bisa mati kutu gue di dalam mobil ma ni orang.

"Ayo. Saya antar pulang." Ajak Dipta. Tanpa menunggu jawaban dari
Elena, dia pun berjalan labih dulu keluar kantin.

Ck. Ni cowok gak ada manis-manisnya yak?

"Kampret lo mbak." Sembur Elena berapi-api.

Tawa Hanum pecah seketika. Melihat wajah kesal Elena Belum apa-apa
bahkan bawahannya itu sudah di buat tak berkutik di depan adiknya.
Sepertinya ide untuk menjadikan Elena calon adik iparnya, bukan ide yang
buruk.

***

Canggung. Itulah yang dirasakan Elena saat ini. Bagaimana tidak, Dipta
yang duduk di sampingnya bahkan terlihat lebih menyeramkan
dibandingkan kuburan dimalam jum'at.
Kenapa gue jadi bisa diam gini ya, kalau duduk samping ni orang?
Kayaknya, bisa deh ni orang gue jadiin pawang biar gue keliatan anggun.
Tapi mulut gue gatel ni pengen ngomong.

"Ehm." Dehem Elena.

Dipta melirik Elena dengan ujung matanya sekilas. Hanya melirik tanpa
mau mengajaknya mengobrol.

"Lo tau tentang ide gila mbak Hanum?" Tanya Elena hati-hati.

"Hm."

"Tentang lo disuruh nikah sama gue?" Tanyanya lagi, mencoba tetap sabar
lantaran tanggapan singkat Dipta.

Dipta meliriknya sekilas tak berkomentar sedikit pun.

Et, buset! ini gue dikacangin?

Perjalanan tiga puluh menit berasa tiga puluh tahun untuk Elena. Tidak ada
obrolan bahkan untuk bergerak pun Elena takut. Lirikan Elena itu loh,
serem banget. Lebih serem dari pada tanah kuburan yang masih basah.

Mengerutkan kening heran. Elena memandang heran ke arah halaman


rumahnya yang dipenuhi dengan mobil.

Di rumah gue ada hajatan ya, perasaan tadi pas gue keluar mama gak
ngomong apa-apa. Kenapa banyak banget mobil? Batin Elena heran

"Thank, Ya. Udah nganter gue balik." Ucap Elena bersiap turun.

"Kamu gak nawarin saya masuk?" Tanya Dipta. Menghentikan gerakan


tangan Elena yang bersiap turun.

"Kenapa gue harus nawarin lo masuk?" Balas Elena heran.

Dipta mengangkat bahu cuek. "Setidaknya saya sudah mengantar kamu


pulang."
Ni orang ikhlas gak sih ngantar gue balik? Kok jadi kesannya tadi gue yang
minta anter.

"Lo gak liat rumah gue lagi rame?" Tanya Elena. Menunjuk jejeran mobil
yang terparkir di depan rumah.

"Kamu ingin saya mampir ke rumah kamu, saat rumah kamu sepi?" Balik
tanya Dipta.

"Bu---bukan gitu." Gagap Elena salah tingkah. "Ah, ya udah deh. Ayuk
masuk." Ajak Elena ketus.

"Lena, Sama siapa?" Tanya Laras sok kaget yang baru keluar dari pintu
utama rumanya.

Mampus gue.
Loh, kok jadi gini sih?

"Lena, sama siapa?" Tanya Laras sok kaget yang baru keluar dari pintu
utama rumahnya.

Mampus gue.

"Hallo, Tante." Sapa Dipta ramah. Kelewat ramah malah.

Mendengar nada ramah pria di sampingnya, Elena langsung menoleh cepat


ke arahnya.

Ni orang bisa ramah juga?

"Hallo. Siapanya Lena? Ayo-ayo masuk. Kita ngobrol di dalam." Ajak


Laras semangat. Terlalu semangat sampai Laras berani menggandeng
sebelah tangan Dipta. Layaknya mereka sudah mengenal lama.

Merasa diabaikan Laras, Elena langsung mencak-mencak karna gemes liat


mamanya mulai kepo.

"Ras sama siapa?" Tanya Tuti. Kakak ipar Laras, yang kebetulan sedang
berkunjung ke rumahnya.

Melihat Laras menggandeng pria muda tampan membuat Tuti penasaran.

"Calonnya Elena." Celetuk Laras asal.

Bukan apa-apa, Tuti ini orangnya ngeselin. Selalu saja bisa buat Laras
mengelus dada kalau sudah ngomong. Belum lagi dengan semua
kesombongannya itu loh, bikin Laras gemes pengen ngetok kepalanya.
Selalu saja pengen menang sendiri.
Laras sampai heran, kok bisa sih suaminya yang kalem ini punya saudara
model begini. Berkunjung kalau ada maunya, atau mau pamer sesuatu.

Pokoknya gak boleh ada yang lebih baik dari apa yang dia punya. Kadang
buat Laras gemes, karna omongannya yang setinggi langit.

Contohnya hari ini, ngomongnya cuman berkunjung nanyain kabar Laras


dan keluarga. Padahal Laras tau, kalau Tuti mau pamer pacar anak
sulungnya. Yang baru direkrut menjadi maneger perusahaan besar
ditempatnya bekerja.

"Nak Dipta mau minum apa?" Tanya Laras.

"Gak usah repot-repot tan." Jawab Dipta sopan.

"Ah gak repot kok." Balas Laras hangat. "Lena sana buatkan nak Dipta
minum!" Sambung Laras menyuruh Elena saat melihat putrinya baru masuk
ke dalam rumah.

"Ma-" Belum sempat Elena ngomong. Sudah mendapat pelotottan garang


dari mamanya. Mau tidak mau membuat dia pun berjalan ke arah dapur.
Dari pada di giles habis oleh mamanya. Lebih baik dia nurut kan? Cari
aman.

Berjalan ke dapur. Dilihatnya Dimas, anak dari sepupunya Yuni sedang


makan bolu di ruang tv. Seakan lupa dengan tujuan awal, Elena pun
langsung berbelok ke arah tv.

"YUHU. Dimas ponakan onti Lena yang paling ganteng ngalahin aliando."
Teriak heboh Elena. Sampai membuat Yuni mengelus dada karna kaget.

Diciuminya bocah tiga tahun itu sampai terkikik geli dan berusaha menjauh
dari Elena.

"Lo bisa gak sih Len. Waras dikit jadi orang?" Omel Yuli.

"Apa sih mbak, ngomel mulu lo kayak emak gue."

"Gue laporin tante Laras lo!" Ancam Yuli.


"Bodo."

"Jangan cium-cium anak gue lo." Kesal Yuli.

"Itu di depan mobil siapa sih mbak, rame banget?" Tanya Elena
mengalihkan pembicaraan.

"Tante Tuti sama para kaumnya." Asal Yuli.

Yuli ini anak dari adik Laras, jadi dia lumayan dekat dengan Laras mau pun
Elena. Tidak heran jika dia berada di rumah Elena sudah seperti rumahnya
sendiri.

"Mau apa mereka ke sini?" Tanya Elena lagi.

"Katanya sih berkunjung. Siap-siap deh lo Len."

Sebelah alis Elena terangkat. "Siap-siap apa?"

"Dia kan ke sini bawa calon Siska. Katanya maneger perusahaan besar."

"Lah, hubungannya sama gue apa?"

"Kan lo jomblo. Siap-siap aja lo dapat nyinyiran tante Laras soal mantu."

Seolah tersadar, Elena menepuk jidat. "Mampus gue." Ucapnya, buru-buru


berdiri dari duduknya.

"Kenapa?" Tanya Yuni.

"Gue disuruh buat minum sama mama."

"Buat siapa?" Tanya Yuni.

"Buat temen gue, di depan."

"Cewek apa cowok?"

"Cowok." Jawab Elena sambil berjalan ke arah dapur.


"Pacar lo?"

"Kepo lo mbak."

***

Di ruang tamu.

"Cowok ini, beneran calon Lena, Ras?" Tanya Tuti yang sudah duduk di
samping sisi kiri Laras. Sedang Dipta di sisi kanannya.

Yang hanya dijawab dengan senyuman oleh Laras."Nak Dipta, kata Lena
mamanya lagi sakit? Gimana keadaannya sekarang?" Tanya Laras.
Mengabaikan wajah kepo kakak iparnya.

"Baik tante. Alhamdulillah sudah lebih baik." Jawab Dipta kalem.

Udah ganteng, ramah, tajir lagi. Cocok ini jadi mantu. Pikir Laras.

"Nak Dipta kerja di mana? Tadi ke sini naik mobilnya Lena ya?" Tanya Tuti
mulai kepo.

Dipta mengangguk khidmat. "Saya kerja di perusahaan VMC Group tante."

"Oh sebagai apa? Kenalkan, ini Bram. Pacar anak tante. Dia manager
marketing di VMC Group loh." Tunjuk Tuti pada pria yang duduk di sofa
ujung dekat wanita cantik yang memakai dress sedikit ketat dan dandanan
sedikit berlebihan.

Dipta tidak menjawab hanya mengangguk sopan sebagai tanggapan.

"Nak Dipta sudah makan? Sekalian saja makan malam di sini." Ucap
Herman.

"Terima kasih Om."

Lena masuk ruang tamu. Membawa beberapa minuman dan cemilan.


"Lama banget sih Len cuman buat minuman juga? Kasian nak Dipta udah
nunggu lama." Ucap Laras.

"Nak Dipta kenal di mana sama Lena?" Tanya Tuti.

Ni orang kepo banget sih. Batin Laras.

"Dipta ini adik bosnya Lena mbak." Bukan Dipta tapi Laras yang menjawab
lebih dulu.

"Oh adik bos to." Celetuk Tuti. "Soalnya tante itu, tau gimana Lena.
Anaknya susah bergaul, udah gitu pecicilan juga sih. Jadi aneh aja kok bisa
kenal sama cowok ganteng kayak nak Dipta." Sambung Tuti tak
berperasaan.

Sedang Elena, jangan tanya bagaimana raut wajahnya saat ini. Sudah merah
seperti kepiting rebus, karna menahan kesal dan malu. Enak aja menjelek-
jelekkan dirinya di depan Dipta dan pacar sepupunya. Elena kan jadi malu.

Kalau Tuti bukan kakak ayahnya. Elena yakin, dia pasti sudah mencerca
habis-habisan wanita paruh baya ini, dengan kata-kata pedasnya plus
kalimat-kalimat merconnya yang mematikan.

"Yah maklum mbak, Elena itu kan cari suami bukan sebatas pacar. Kalau
bisa langsung minggu depan nikah, gak perlu acara tunangan-tunangan
segala. Jadi wajar kalau dia mau cari yang pasti-pasti dan serius." Ucap
Laras kalem melirik putrinya. Seolah mengatakan lewat sorot matanya jika
dia tidak akan tinggal diam jika putrinya di jelek-jelekan.

"Lagian walau anaknya pecicilan tapi Elena itu gak pernah aneh-aneh dan
nurut." Sambung Laras santai.

Ada yang bilang, jika ibu adalah malaikat tanpa sayap. Dan seorang ibu,
akan selalu membela anaknya. Seburuk apa pun anaknya, seorang ibu tidak
akan peduli yang terpenting mereka akan selalu menyayangi dan mencintai
sepenuh hati. Dan Elena mempercayai itu sekarang.
Walau dia jarang akur dengan mamanya. Tapi Elena tau jika Laras sangat
menyayanginya. Begitupun sebaliknya.

Dipta tidak tau harus menanggapi seperti apa. Karna situasi seperti ini tidak
pernah dia hadapi. Dia juga belum begitu mengenal dekat Elena. Jadi,
bingung harus bersikap bagaimana.

Tapi Dipta tau, Elena sepertinya gadis yang baik. Terbukti kakaknya,
Hanum adalah orang yang jarang akrab dengan orang lain. Terutama orang-
orang baru bisa begitu akrab dengan Elena, kakaknya itu terlihat nyaman-
nyaman saja berteman dengan bawahannya itu.

"Mbak tadi katanya gak bisa lama?" Ucap Laras mengusir halus Tuti. Sudah
malas untuk menanggapi kakak iparnya lebih lama.

"Ah, kayaknya aku mau ikut acara makan malam di sini. Kan udah lama
kita jarang kumpul, terus makan malam rame-rame." Jawab Tuti.

"Alasan." Pikir gumam Elena kelewat pelan.

"Ya udah ayuk bantu aku masak-masak di dapur mbak." Tarik Laras.

"Gak Elena aja?" Ucap Tuti sedikit enggan.

"Lena ada temennya. Kasian temennya kalau ditinggal. Pa tolong potongin


ayamnya ya? Mama mau masak semur buat calon mantu." Celetuk Laras
sambil melirik Elena dengan senyum misterius.

Mama ih. Malu-malu in aja sih.


Entar apa coba yang dipikirin Dipta tentang gue? Entar dikira gue ngebet
minta kawin lagi sama dia.

"Nak Dipta tante tinggal ke dapur dulu ya?" Ucap Laras berdiri dari
duduknya.

Dipta mengangguk khidmat. "Iya tante." Serunya.

Setelah para tetua pergi meninggalkan ruang tamu. Hanya tinggal anak
muda yang duduk diam di kursi masing-masing. Sibuk dengan pikiran-
pikiran masing-masing.

"Emang bener Len ini calon lo?" Tanya Siska memulai obrolan.

Ni orang ya. Gak anak, gak emak kok sama aja sih. Sama-sama kepo.

"Benar, saya calonnya Elena." Jawab Dipta di luar dugaan. Berhasil


menarik perhatian semua pasang mata yang berada di ruangan itu.

Loh, yang ditanya siapa yang jawab siapa? gimana sih ini?
Itu sih maunya mama.

Setelah acara makan malam kemarin. Elena belum juga menghubungi


Hanum. Dan pagi ini, dia akan bersikap masa bodoh dengan tawaran gila
bosnya itu. Toh kemarin Dipta juga tidak membahas apa-apa dengan dia.
Jadi, anggap saja kemarin Elena sedang bermimpi buruk. Karna berkenalan
dengan cowok model papan seluncur seperti Dipta.

"Lena, anak mama yang paling cantik. Sini sayang." Seru Laras dari meja
makan.

Elena mengernyit. Menatap mamanya tak mengerti. "Apa sih ma?"


Tanyanya malas.

Mulai deh mamanya ini. Dari semalam mamanya bersikap aneh. Bahkan
Elena diperlakukan berbeda oleh mamanya. Layaknya dia seorang putri
solo.

"Kamu mau sarapan apa sayang?" Tanya Laras masih dengan panggilan
sayangnya pada Elena.

Membuat Elena kian menatap mamanya horor. Jika sudah baik begini pasti
ada sesuatu di balik bakwan. Dia dia harus hati-hati.

"Mama sakit ya?" Tanyanya. Tak lagi bisa membendung rasa herannya.

Sampai Herman yang duduk di tengah antara istri dan putrinya pun tertawa
geli melihat interaksi istri dan anaknya. Merasa lucu dan gemas sendiri
dibuatnya.

"Kamu itu dibaikin salah, di omelin ngeluh. Maunya apa sih kamu, Elena?"
Delik Laras kesal.
"Ya mama itu aneh banget tau gak?"

"Gak"

"Mama ihh. Serius tau." Rengek Elena. "Pa?" Sambung memanggil


Herman.

Yang hanya dibalas gumaman oleh papanya itu.

"Papa tau gak, kenapa mama aneh?"

Laras mendelik tidak suka. "Aneh-aneh gundul mu."Sahutnya kesal.

Elena langsung cemberut mendengar sahutan mamanya. Mamanya ini kalau


sudah kumat pasti omongannya se'enak jidat. Sama persis seperti dirinya.

Tapi hanya butuh waktu sepersekian detik, tiba-tiba wajah Laras berubah
penuh binar.

"Elena, nanti nak Dipta diajak mampir makan malam ke sini lagi ya?"
Serunya terdengar begitu senang.

Nah. Nah kan bener. Pasti ada maunya ini. Mangkanya gue dari semalam
dibaik-baiki terus. Batin Elena.

"Gak ah ma. Orang Lena kemarin gak sengaja ketemu dia." Jawabnya.
"Lagian mama jangan aneh-aneh deh. Ngaku-ngaku Dipta calon Lena.
Nanti kalau didenger malaikat gimana?" Sambungnya kesal

Laras mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Ya bagus." Celetuknya asal.

"Kok bagus sih?"

"Ya bagus! Biar kamu cepet nikah. Lagian Dipta itu, bibit unggul yang gak
boleh di sia-sia'in Len. Kapan lagi kamu bisa dapat bibit begitu?"

"Dikira Jagung kali bibit unggul."


Laras melotot. Dengan kesal dia pun memukul lengan putrinya yang masih
bisa dia jangkau. "Kamu itu, kalau dikasih tau orang tua ngejawab mulu."
Omelnya kesal.

"Iya-iya ma. Maaf."

"Lagian mama sama papa setuju kok kalau kamu nikah sama Dipta. Pakai
banget malah." Tutur Laras lagi. Seolah-olah Elena tengah meminta ijin
padanya untuk segera menikah.

Elena mendesah. "Kasian Lena dong ma, kalau harus nikah sama papan
seluncur."

"Papan seluncur gimana?" Tanya Herman yang sedari tadi hanya diam
mendengarkan obrolan ngarol-ngidul istri dan putrinya.

"Iya. Dipta kan kayak papan seluncur. Mukanya datar gitu. Gak ada
senyum-senyumnya." Jawab Elena
menjelaskan.

Herma tergelak. Menggeleng kan kepalanya geli. Ada-ada saja bahasa


putrinya ini.

"Yang ada itu, malah mama kasiannya sama Dipta kalau mau sama kamu.
Masa cowok sempurna begitu dapat istri model begini." Balas Laras tanpa
perasaan. Yang kembali disambut tawa renyah oleh Herman.

Meski istri dan anaknya jarang akur. Tapi Herman merasa mendapat
hiburan tersendiri dari mereka jika sudah begini.

Anak dan istrinya ini, akan sangat lucu kalau sedang berdebat atau
merebutkan sesuatu. Tidak pernah ada yang mau ngalah pokoknya.

Elena meradang mendengar ucapan sadis mamanya. "Sebenernya anak


mama itu siapa sih? Elena apa dia?" Decaknya kesal.

"Lagian kamu aneh, bukannya bersyukur dapat calon kayak Dipta. Malah
sok jual mahal. Dijual murah aja belum tentu laku."
"Bukannya sok jual mahal mama." Bela Elena tak mau kalah. Ya ampun,
dosa apa sih dia punya mama model begini?

Laras mencibir. "Terus apa namanya kalau bukan jual mahal, Elena?"

Elena mengerucutkan bibirnya sebal. "Ya, emang mama gak kasian sama
Lena kalau nikah cuman buat pengganti?"

Satu alis Laras terangkat tinggi. "Kata siapa?" Tanyanya.

"Kata Mbak Hanum lah. Orang dia nawarin Lena buat nikah sama adiknya.
Gantiin tunangannya yang kabur." Jelasnya begitu saja.

Laras menggelengkan kepala tak percaya dengan cara berfikir putrinya.


Anak gadisnya ini benar-benar polos apa bodoh sih?

"Lena denger mama. Mama dan papa itu sayang sama kamu. Kami ingin
yang terbaik buat kamu. Dan melihat bagaimana Dipta kemarin ke sini, dan
dia minta ijin ke mama dan papa. Buat nikah sama kamu, sejujurnya mama
kaget karna dia datang tiba-tiba langsung meminta ijin seperti itu. Tapi dari
kesungguhan dia. Dia janji gak bakal ngecewain kamu, atau bahkan sampai
sakitin kamu. Perasaan seorang ibu itu tidak bisa berbohong nak. Dia
terlihat tulus juga laki-laki yang bertanggung jawab. Mama percaya kamu
bisa bahagia sama dia." Ucap Laras dengan nada yang lebih halus dan
lembut. Berharap putrinya akan mengerti.

Kemarin memang Elena sempat membersihkan diri. Dan meninggalkan


Dipta untuk mengobrol dengan kedua orang tuanya. Tapi dia tidak tau, jika
obrolan mereka menjurus kehal-hal serius seperti itu.

"Papa juga awalnya marah waktu dengar dia nikahi kamu, karna
tunangannya kabur. Tapi saat dia berjanji tidak akan pernah meninggalkan
kamu dan menerima semua sifat baik mau pun buruk kamu. Papa tidak
begitu saja percaya dengan dia. Tapi dia terus meyakinkan papa dan mama
untuk bisa menikahi kamu. Dan berjanji untuk selalu menjaga kamu
sekarang, nanti atau bahkan selamanya. Di saat papa dan mama gak akan
bisa menjaga kamu lagi." Sambung Herman menambahkan.
Laras mengangguk membenarkan.

"Sekarang semua terserah kamu. Mama sama papa gak akan paksa kamu
untuk menerima, karna nanti yang akan menjalani hubungan ini kan kalian.
Bukan mama atau papa. Tapi ada baiknya kamu pikirkan baik-baik soal
ini." Nasehat Laras.

Elena menggigit ujung bibirnya kuat, memandang papa dan mamanya


bergantian. Ada rasa yang sulit dia artikan ketika mendengar ucapan kedua
orang tuanya.

Menghela nafas pasrah. Elena hanya bisa mengangguk mengerti. "Elena


akan pertimbangin lagi ma." Putusnya pada akhirnya. Yang langsung
membuat senyum Laras mengembang tanpa di minta.

"Akan lebih baik kalau kamu terima Len. Jarang-jarang loh, ada cowok
seganteng Dipta mau sama kamu, mana baik, bertanggung jawab. Sampai
mau berbicara seserius itu sama papa dan mama. Mana buat perempuan
model kamu begini lagi. Mimpi apa dia semalam kalau sampai nikah sama
kamu Len." Celetuk Laras asal. Membuat Herman menggelengkan
kepalanya.

Elena menarik nafas. Terserahlah mamanya mau ngomong apa. Sekarang


ini otaknya sedang pusing. Jadi, terlalu malas meladeni ocehan mamanya
yang bakal buat naik darah.

***

"Loh Len. Lo kerja?" Tanya Yuli yang berdiri di depan meja kasir.

Saat melihat Elena yang malah duduk di meja bar caffe. Bukanya dia
katanya diliburkan?

Elena mengangkat bahu cuek. "Menurut lo." Ketusnya.

"Lagi PMS lo, pagi-pagi udah marah-marah aja."

"Butek gue lama-lama liat muka lo." Sahut Elena sadis.


Yuli mendelik. "Najis mulut lo Len, lama-lama gue lakban juga itu mulut."
Cerca Yuli.

Merasa tak mendapat jawaban dari atasannya. Yuli pun semakin penasaran.
Kenapa sih sekretaris bosnya ini? Tumben-tumbenan dia anteng.

"Len lo gak papa?"Tanya Yuli.

Elena hanya bergumam sebagai balasan. "Hm."

"Gue yakin ni, pasti ada apa-apa?"

"Mbak Hanum udah datang belum sih Yul?" Tanya Elena.

"Katanya sih hari ini gak masuk. Gue kira lagi janjian sama lo. Soalnya lo
juga dikasih ijin seminggu." Jawab Yuli. Yang sontak membuat mata Elena
melotot lebar.

"Gue dikasih cuti seminggu?" Tanyanya tak percaya.

"Gue kira lo udah tau, mangkannya gue tanya. Kenpa lo kerja hari ini."
Ucap Yuli.

"Tapi ngomong-ngomong, dalam rangka apa sih lo ambil cuti Len?"


Sambung Yuli penasaran.

"Kepo lo ah. Ya udah deh gue balik." Balas Elena beranjak bangun dari
duduknya.

"Dasar aneh." Gumam Yuli.

Belum sempat keluar Caffe Elena sudah dikejutkan dengan kehadiran Dipta
yang tiba-tiba muncul di depannya. Pria itu nampak buru-buru melangkah
dari luar. Dengan pakaian rapi plus wajah gantengnya.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Dipta. Yang sudah berdiri di depan
Elena.
Elena mengerjab. Terkejut dengan jarak mereka yang begitu dekat. "Mau
ngomong apa?" Tanyanya balik.

"Saya akan kasih tau, kalau kamu setuju bicara dengan saya." Jawab Dipta.

"Tapi gue lagi gak ada waktu, lagi sibuk." Alasan Elena mencoba
menghindar. Belum siap jika harus berinteraksi dengan cowok cakep di
depannya.

Dipta menarik nafas dalam. Tahu jika wanita di depannya menghindarinya.


"Saya tau kamu hari ini lagi free."

Kedua mata Elena terbelalak lebar. Mbak Hanum kampret. Pasti dia ini
yang ngasih tau jadwal gue.

Menarik nafas kesal. Sepertinya Elena tidak punya pilihan lain selain
menurut. "Ok." Putusnya pada akhirnya.

Senyum samar terbit di bibir tampan Dipta. "Ikut saya!" Ajak tanpa
menunggu persetujuan dari Elena.

Tidak punya pilihan. Elena hanya bisa mengikuti Dipta dari belakang. Saat
melihat Dipta masuk dalam mobil, dia pun ikut masuk ke sini lain mobil
pria itu.

"Mau ke mana?" Tanya Elena saat Dipta mulai menghidupka mesin


mobilnya. Dia kira mereka akan bicara di dalam mobil.

"Cari tempat yang lebih privasi."

"Tapi gue bawa mobil." Jawab Elena kaget.

Dipta hanya meliriknya sekilas. "Nanti saya akan suruh orang antar mobil
kamu ke rumah kamu."

Ni cowok auranya dingin banget sih. Bikin merinding aja. Gak bisa
bayangin gue kalau sampai punya suami model begini. Beneran mati kutu
gue. Batin Elena.
Setuju

Memperhatikan bangunan megah di depan matanya. Elena berulang kali


berdecak kagum dibuatnya.

Sekarang dia sedang berada di depan perusahaan Dipta. Berjalan masuk


untuk menunggu Dipta di lobi. Tadi memang Dipta ingin mengajaknya ke
rentorant yang menyediakan tempat-tempat privasi. Tapi, karna tiba-tiba
Dipta mendapat telpon penting dari sekertarisnya yang akhirnya membuat
Dipta harus membatalkan niat mereka.

Akhirnya pria itu pun mengajaknya keperusahaan tempatnya bekerja. Untuk


membicarakan hal penting yang dia maksud.

Karna Dipta harus berbicara dengan beberapa orang berjas di caffe depan
kantornya. Akhirnya Dipta menyuruhnya untuk menunggu di lobi, nanti
akan ada orang yang menjemputnya, dan Elena bisa menunggu di dalam
ruangan Dipta. Agar dia tidak merasa bosan dan jenuh menunggu Dipta.

Melangkah masuk lebih dalam kelobi. Mata Elena melotot horor saat
menemukan Siska, sepupunya juga sedang duduk di sofa lobi. Sepertinya
juga sedang menunggu seseorang.

"Elena?" Panggil Siska. "Ngapain lo di sini?" Ucap Siska yang juga


menyadari kehadiran Elena. Dia nampak terkejut menemukan sepupunya
itu bisa berada di perusahaan besar seperti ini. Padahal setahunya,
sepupunya itu tidak pernah mengenal orang-orang besar. Lalu apa yang dia
lakukan di sini?

"Oh, gue lagi nunggu temen." Jawab Elena sekenanya.

Bingung sih mau jawab gimana. Lagian, ngapain sih ini sepupu Elena di
sini. Malas banget dia jika harus meladeni sepupunya ini.
Dia memang tidak pernah akur dengan sepupunya. Karna sepupunya ini
sangat menyebalkan menurut Elena.

"Lo sendiri? Lo kerja di sini?" Tanya Elena gantian.

"Gak. Gue lagi nunggu Bram, cowok gue. Bram manager marketing di
perusahaan ini." Jelas Siska tanpa ditanya.

Gue gak nanya apa kerjaan cowok lo. Batin Elena.

"Lo nunggu temen apa calon lo yang kemarin?" Tanya Siska mulai
melancarkan aksi keponya.

Kepo banget sih ni nenek lampir. Gak emak, gak anak kok sama aj. Batik
Elena.

"Sayang udah lama?"

Elena bernafas lega begitu orang yang di tunggu Siska muncul.

Syukur deh biar cepet cabut ni nenek lampir. Malas banget gue ngeladenin
pertanya'annya.

"Siang buk Elena," Merasa namanya dipanggil, Elena pun langsung


menoleh ke arah samping. Dilihatnya, wanita kisaran berumur tiga puluh
tahun tersenyum sopan padanya.

Ini siapa lagi?

"Siang." Jawab Elena canggung. Merasa aneh dipanggil ibu. Maklum dia
kan belum setua itu.

Memperhatikan wanita di depannya dengan seksama. Elena yakin jika dia


tidak mengenal wanita ini. "Mbak kenal saya?"

Kayaknya Elena yakin gak merasa punya kenalan yang kerja di sini deh.

" Saya Frida. Sekretaris pak Revan. Saya diperintahkan pak Revan untuk
mengantar bu Elena keruangan beliau. Sementara beliau, sedang ada
meeting dengan klien." Jelas Frida lembut dan sopan. Khas seorang
bawahan yang begitu sopan.

Elena melirik Siska, sepupunya ini terlihat syok saat melihat Elena dijemput
sekertaris Dipta. Boda amat lah paling sebentar lagi dia akan jadi gosip
hangat keluarga besarnya.

"Gue duluan Sis." Ucap Elena cuek.

"Lewat sini bu." Tunjuk Frida ke arah lift khusus direksi.

"Jangan panggil bu deh mbak, panggil Elena aja, biar lebih akrab. Lagian
kayaknya lebih tuaan mbak kok." Ucap Elena salah tingkah. Grogi kalau
harus berdekatan dengan wanita-wanita karir seperti sekertaris Dipta.

Apalagi dia merasa aneh mendengar orang memanggilnya bu, mana orang
lebih tua lagi yang manggilnya begitu.

Frida tersenyum sopan. "Gak enak sama pak Revan bu."

Ya terserah lah, Elena sedang malas berdebat saat ini. Masa bodo dengan
panggilan, toh gak merugikan dia. Tapi kok aneh ya kenapa di sini nama
Dipta menjadi Revan? Ingatkan Elena untuk bertanya soal ini pada Hanum
nanti.

Elena mengikuti Frida dari belakang begitu mereka keluar dari lift.

"Silahka masuk bu." Ucap Frida membuka pintu ruangan Dipta lebar-lebar.
Mempersilahkan Elena untuk masuk ke sana.

Ruangan itu sangat mewah tapi elegant. Dilengkapi dengan dinding kaca
transparan yang bisa membuat kita menikmati keindahan kota dari atas
gedung ini.

Elena bahkan dibuat melongo dengan interior ruangan yang mewah tapi
elegant. Sampai-sampai dia tidak berhenti berdecak kagum dibuatnya.
Maklum, ini kali pertama dia masuk keruangan mewah seperti ini.
Seberapa kaya sih sebenarnya Dipta ini? Kenapa ruangannya sebagus ini?
Lalu kenapa pas makan malam di rumahnya, dia hanya diam saja ketika
tante Tuti menyombongkan pacar Siska?

Kenapa dia tidak mengatakan kalau dia juga bekerja di sini? Malah punya
sekertaris lagi. Apa jangan-jangan dia merendah untuk meroket. Jika begitu,
haruskah Elena sekarang senang karna itu?

Dih, kenapa gue yang seneng coba?

"Bu Elena mau minum apa?" Tanya Frida membuyarkan lamunan konyol
Elena.

Dia langsung menoleh ke arah Frida yang kini ternyata tengah


memperhatikannya. "Gak usah repot-repot mbak, Dipta emang masih lama
ya?" Tanyanya.

"Mengkin sebentar lagi bu. Kalau begitu, saya permisi. Kalau bu Elena
butuh sesuatu, bisa panggil saya. Saya ada di depan ruangan ini." Jawab
Frida begitu sopan.

Elena hanya mengangguk mengerti. Sekertaris Dipta ini benar-benar sopan,


buat Elena kikuk saja.

Hampir tiga puluh menit Elena memperhatikan ruangan Dipta. Lama-lama,


rasa bosen dan jenuh mulai datang dalam diri Elena.

Berjalan ke arah sofa, Elena duduk di sofa panjang sambil memainkan


ponselnya. Membuka-buka sosmed yang bisa sedikt membuang rasa bosan
dan jenuhnya.

Lama- kelamaan rasa kantuk menyerang. Membuat dia berkali-kali


menguap.

Gak papa deh gue tiduran dulu. Dipta juga masih lama kali ya.

▪▪▪▪
Merenggangkan otot yang terasa kaku. Elena memperhatika ruang
sekitarnya. Ruangan yang mendominan warna abu-abu ini terasa asing
baginya. Ada ranjang berukuran king size yang ditidurin Elena, lemari
besar yang berjejer rapi di sisi ruangan. Membuat dia semakin bingung di
mana dia saat ini.

Mengerjap pelan, rasa panik langsung melanda ketika pikiran buruk mulai
datang dalam otaknya. Elena menghembuhkan nafas lega, saat pakaian
yang dia gunakan masih sama seperti pagi tadi. Berarti apa yang ada
dipikirannya tidak terjadi.

Gue di mana?

Bukannya tadi dia tiduran di sofa ruangan Dipta. Lalu, ini di mana?

Berjalan ke arah pintu di ujung ruang. Pelan-pelan Elena membuka pintu


yang berwarna hitam itu.

"Sudah bangun." Teguran Dipta yang duduk di sofa tempat Elena tadi
sempat tiduran. Membuat Elena mejengit kaget.

Ni cowok udah auranya dingin kayak kuburan. Eh. Suka banget nongol
tiba-tiba kayak jin. Mau bikin gue mata muda kali ya?

Mengelus dadanya pelan. Elena melangkah mendekat. "Jam berapa ini?" .

"Jam dua."

Elena meringis. Lama sekali dia tidur. "Sory. Gue lama banget ya
tidurnya?" Ucapnya sambil berjalan ke arah sofa tunggal yang tidak jauh
dari Dipta. Duduk di sana. Memperhatikan Dipta yang terlihat sibuk dengan
berkas-berkasnya.

"Gak masalah! Kamu laper? Saya sudah pesan makanan, mungkin sebentar
lagi datang."

Elena tak berkomentar apa pun. Toh perutnya juga belum diisi dari siang
tadi. Lumayan dapat makanan gratis.
"Lo bilang, ada yang mau lo omongin. Apa?" Tanyanya memulai obrolan.

Dipta merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja di depannya.


Menumpuknya menjadi satu dan menggesernya sedikit menjauh.

"Kata kak Hanum. Kamu keberatan dengan tawaran dia?" Tanya Dipta
langsung, memandang lurus ke arah Elena.

"Tawaran yang mana?" Tanya Elena pura-pura tidak tau. Padahal dalam hati
berdebar-debar layaknya mau copot jantungnya.

"Pernikahan."

Elena mengerjab terkejut. Buru-buru dia berdehem guna menetralkan


suaranya agar tidak gugup. "Oh yang itu." Serunya.

Dipta mengangguk. "Hm."

"Gak ada alasan buat gue terima tawaran itu juga." Jawab Elena sekenanya.
"Lagian kan cewek lo kabur. Bukan meninggal. So, masih ada
kemungkinan buat dia balik lagi. Jadi kenapa gue harus mau nikah sama
lo?"

Nafas kasar langsung keluar dari mulut Dipta. Terlihat jelas jika ada beban
berat di pundaknya. "Dia sudah menikah." Ucapnya santai, berbanding
terbalik dengan wajahnya yang terlihat lelah, juga frustasi.

Elena melotot. Menatap Dipta horor. Mata Elena sampai melotot besar
sangking syoknya.

Amazing benget ni cowok, tau tunangannya udah nikah masih bisa bersikap
santai begini? Wah gak beres ini.

"Lo tau dari mana kalau dia udah nikah?" Tanya Elena tidak bisa menutupi
rasa penasarannya.

Dipta hanya mengangkat bahu cuek. Sama sekali tidak menjawab


pertanyaan Elena. Lebih tepatnya tak tertarik.
Elena menggeleng cepat. "Lo tau dia udah nikah. Dan lo diam aja kayak
gini?" Tanyanya takjub.

Gila. Ni cowok sehat gak sih, santai banget tau tunangannya udah nikah?
Masih sanggup kerja lagi. Kalau itu Elena. Jamin deh dia kayak zombi.

"Lalu saya harus bagaimana?"

"Ya elah, Ya lo datengin lah. Labrak kek, atau gimana kek, lo kan cowok.
Masa diem aja sih." Sungut Elena berapi -api. Kok jadi dia yang kesal ya?

Dipta hanya diam. Namun dia tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk
tertarik ke atas. Mendengar ucapan Elena yang berapi-api. Membuat Dipta
merasa lucu. Kenpa jadi dia yang kesal di sini? Seharusnyakan Dipta yang
kesal kan?

"Buat saya, jika dia bisa bertahan dengan saya di sini. Maka akan saya
pertahanannya. Tapi jika tidak" Dipta mengangkat bahu acuh. "Saya tidak
akan memaksanya untuk tetap tinggal.'' Tuturnya terlampau cuek tapi terasa
dingin di telinga Elena.

Sumpah merinding gue denger dia ngomong.

"Lo cinta sama dia?" Cicit Elena setelah cukup lama diam. Memperhatikan
wajah Dipta yang begitu serius.

"Itu tidak penting. Yang penting di sini, kamu mau menikah dengan saya
atau tidak?" Jawab Dipta tegas.

"Ya penting lah buat gue. Ya kali gue nikah sama orang yang gak bisa move
on dari mantan." Decak Elena pelan. Meski begitu terdengar menyindir di
telinga Dipta.

Dipta menghela nafas berat. "Saat dia memilih pergi dengan pria lain. Saat
itu juga, cinta saya sudah hilang di bawa pergi."

Setelah Dipta mengucapkan kata-kata itu, suasana berubah canggung. Elena


hanya diam dengan perasaan bingung, bingung ingin memulai dari mana.
"Ok. Apa yang gue dapat kalau gue mau nikah sama lo?" Ucap Elena pada
akhirnya.

Dipta diam. Memperbaiki wanita di depannya lebih seksama. Dia pun


bingung harus mengatakan apa. Dia tidak biasa untuk berucap manis atau
berkata-kata penuh rayuan. Itu bukan gayanya.

"Kesetiaan." Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulut Dipta.

Ditatapnya bola mata Elena dengan sorot mata hitam pekatnya.

Di sana, di bola mata Dipta, Elena bisa melihat ada luka tak kasat mata
yang membuat sedikit hatinya tersentil. Dan tidak nyaman. Haruskah Elena
percaya dengan sorot mata itu? Atau mengabaikan semua masalah yang ada
di depan matanya?

"Kamu bisa mendapatkan apa pun dari saya. Apa pun yang kamu mau.
Termasuk kesetiaan dan kemewahan yang saya miliki sekarang. Karena
saya jamin, setelah kamu memilih saya. Mungkin saja kamu tidak bisa
lepas. Atau kamu akan terikat dengan saya seumur hidup. Begitu pun
sebaliknya. Saya ingin kamu setia di samping saya sampai tua."

Elena diam cukup lama, menimbang apa yang harus dia katakan. Bingung
dan merasa aneh. Kenapa Dipta hanya menawarkan kesetiaan, dan harta?
Kenapa bukan hati?

Haruskah Elena hidup dengan pria yang tidak mencintainya seumur hidup?

Karna di sini bukan hanya soal kesetiaan dan harta. Melainkan hati juga
ikut berperan.

Bagaimana jika Elena jatuh hati pada Dipta nanti? Haruskah dia hidup
dalam cinta sepihak atau lebih parahnya, bertepuk sebelah tangan?

Elena tidak bisa membayangkan, seperti apa jadinya. Hidupnya yang terang
benderang sekarang harus diisi denga drama murahan soal cinta.

Dih lebay benget sih gue. Tapi jarang-jarang loh, cowok tajir model begini
mau sama gue? Kikiknya dalam hati.
"Gimana soal hati? Kita gak mungkin hidup tanpa cinta kan?"

Dipta diam. "Saya tidak akan menjanjikan apa pun pada kamu, Elena. Tapi
selama kita menikah. Saya akan berusaha memperlakukan kamu sebagai
mana saya memperlakukan wanita yang saya cintai." Ucap Dipta yang
semakin membuat Elena meradang.

Duh, ni cowok kok gak ada minusnya sih di mata gue?

Menggigit ujung bibirnya sebagai respon pertama. Elena menatap Dipta


kian serius. "Tapi, gimana ... Kalau lo nemu perempuan yang bisa buat lo
cinta setelah kita udah menikah nanti?"

"Saya akan berusaha membuka hati saya. Dan kamu bisa pegang kata-kata
saya. Kalau saya tidak akan melirik wanita lain selain istri sah saya." Tegas,
lugas juga penuh penekanan. Itulah yang keluar dari mulut Dipta.

"Kalau cuman omongan mah gampang. Bisa aja lo lupa, atau yah, ingkar
gitu. Gak bakal ada jaminan buat ke depannya gimana."

Dipta mendengus dingin. "Saya bukan tipe orang yang suka ingkar. Kamu
bisa meminta apa pun kalau saya sampai ingkar." Serunya tegas.

"Bagaimana dengan kontrak? Apa ada kontrak di pernikahan di sini?"

"Ya." Jawab Dipta ambigu.

Elena terbelalak lebar. "Jadi pernikahan kita ini adalah pernikahan


kontrak?" Teriak Elena tanpa sadar.

Dipta menyeringai lebar. "Kotrak seumur hidup lebih tepatnya." Sambung


Dipta memperjelas.

Elena yang mendengar jawaban Dipta, tanpa sadar menghela nafas lega.
Hampir saja dia kena serangan jantung karna jawaban ambigu pria itu.

"Ok. Gue terima tawaran lo."Jawab Elena tanpa pikir panjang.


Dipta tersentak. Tanpa sadar dia mengerjab terkejut. "Kamu ... Tahu? Kamu
tidak akan bisa mundur setelah ini." Serunya memandang lurus ke arah satu
titik. Kedua mata Elena.

Setelah ini. Tidak tau harus menyesal atau tidak, tapi Elena bisa melihat ada
senyum tipis di bibir Dipta. Sampai membuat dia lupa bagaimana caranya
berkedip.

Emakkkkkk tolong, Elena. Hati Elena lemahhh liat senyum mas ganteng.
Kalau begini mah gue gak nyesel bakal nikah besok juga.

****
Nikah

HUAA..

Gue nerves, terus deg degan juga.. Sumpah ... Demi apa ... Gue bakal nikah
hari ini.

Ya Allah. Gue masih gak percaya kalau akhirnya, gue nikah juga. Ini bukan
mimpi kan ya, kok gue berasa aneh sih ya? Daa gue masih gak percaya
kalau bakal nikah hari ini.

Walau sama cowok yang gak gue cinta.


Tapi tetep aja bakal jadi laki gue.
Duh Duh, kok gue jadi nerves ya. Gara-gara cowok model Dipta ini pasti,
bibit unggul kata mama.

Ck, Elena terkikik geli dengan isi kepalanya.

"Woy Len, lo ke sambet ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri." Ucap


Hanum menatap Elena horor.

"Sadar woy. Sadar." Ucap Hanum sambil menyentil jidat Elena pelan.

Astagfirullah, nasib punya kakak ipar sange nih. Bikin gue selalu naik
darah.

Elena mendelik tidak suka. Menatap kesal pada Hanum yang berdiri di
depannya dengan wajah tanpa dosa. "Iss. Apa'an sih lo mbak. Ganggu aja."
Omelnya kesal.

"Ya lagian dari tadi lo ngelamun. Mana sambil senyum-senyum sendiri lagi.
Bikin gue ngeri bego." Ucap Hanum sinis.
"Ya namanya juga lagi bahagia mbak. Mbak tau enggak, gue itu lagi jadi
pengantin yang bahagia. Pe-ngan-tin ba-ru." Ucap Elena mengeja setiap
kata yang keluar dari bibirnya lengkap alis naik-turun menggoda Hanum.

Hanum mendengu, tanpa perasaan menonyor kepala Elena pelan. "Norak."


Serunya penuh cibiran.

Elena berteriak heboh mendapat perlakuan tak senonoh dari Hanum. Dan
langsung mengecek dandananya di depan cermin kecil ditanganya.
Membuat Hanum langsung mencibirnya habis-habisan.

"Bukan Norak. Tapi emang dasar mbak aja gak bisa liat gue seneng." Ketus
Elena. "Eh, tapi ini acaranya kapan dimulai sih mbak? Kok lama banget.
Gue udah gak sabar nih.."

"Loe serius?" Tanya Hanum dengan mata melotot horor ke arah Elena.

Mengerutkan kening bingung. Elena mengangguk khidmat.

"Parah lo Len. Hobi ngelamun lo udah kronis kayaknya." Ucap Hanum


sambil menatap Elena dramatis. Lengkap gelengan kepala berlebihan.

"Maksudnya gimana sih mbak?" Tanya Elena semakin bingung.

"Denger-"

"Saya terima nikah dan kawinnya Elena Hayunda Binti Herman Wijaksono
dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"BAGAIMANA PARA SAKSI. SAH."

SAH

Alhamdulillah.

"Nah itu. Udah SAH!." Sambung Hanum enteng.

Elena melongo.
SAH?

Apanya yang sah?


Kapan acaranya dimulai, kok gue gak denger apa-apa sih?

Kok udah sah aja? Ini gue beneran udah sah nikah samaa Dipta? Cuman
gini aja? Gak ada drama gitu? Kok pernikahan gue kesannya datar-datar aja
sih? Gak mengharukan banget?

"Len, lo kenapa?" Tanya Hanum khawatir yang melihat wajah syok Elena.

"Mbak ini beneran udah sah? Kok gue gak sadar ya?" Ucap Elena berkaca-
kaca.

"Ya iya lah, orang dari tadi lo ngelamun." Jawab Hanum enteng.

"Mbak gue kehilangan momen berharga dalam dihidup gue?" Ucap Elena
semakin menjadi-jadi.

Hanum mengangkat alis heran "Maksud lo?"

"Masa gue gak ada nangis-nangisnya mbak! Minimal mewek dikit gitu.
Terharu. Masak udah gini aja sih.."

"Gak usah drama." Cibir Hanum. Melipat kedua tangannya di depan dada.
Menatap malas pada Elena di depannya.

"Udah ayuk keluar. Lama-lama pusing gue denger ocehan lo." Sambung
Hanum lagi.

Elena menggeleng. Masih tidak percaya jika pernikahannya akan berakhir


seperti ini.

"Mbak ini serius gak sih?" Ucapnya. "Bisa diulang gak acaranya? Di replay
gitu." Sambungnya mengusap hidungnya.

"Lebay lo Len. Udah ayuk berdiri! Gak usah drama deh. Lo kira nikah itu
kayak nonton drama, bisa lo stop terus replay sesuka hati. " Ucap Hanum
sambil membantu Elena berdiri.
"Gue cantik gak sih mbak?" Tanya Elena setelah berdiri. Meski dalam hati
berdebar-debar layaknya rollercoaster, tapi sebisa mungkin dia terlihat
tenang.

"Cantik. Bahkan mimi peri aja kalah sama pesona lo." Ucap Hanum
terkikik mendengar ucapannya. Yang membuat Elena memukul lengan
Hanum pelan saat mendengar ucapan ngelantur kakak iparnya itu.

Dihapit Hanum dan Yuni, Elena berjalan pelan keluar kamar. Menuju
tempat ijab kobul.

"Akhirnya, lo nikah juga ya Len." Ucap Yuni. Sedikit berbisik.

"Selama ini, gak nyangka gue kalau lo diam-diam punya cowok. Gue kira
lo itu jomblo ilegal. Terus bakal nikah pas udah tuwir. Eh ternyata gue
salah." Sambung Yuni terkikik geli .

Elena mendelik. "Enak aja lo mbak." Ketusnya. "Gue kan orangnya selow
tapi pasti." Sambungnya bangga.

"Heleh kemarin aja nolak. Giliran sekarang, sok banget lo Len." Cibir
Hanum. Mengingat bagaimana kemarin Elena menolak menikah dengan
adiknya.

Yang dibalas cengiran lebar oleh Elena. Merasa malu saat menolak tawaran
Hanum untuk menikah dengan Dipta, adiknya.

Hari ini, Elena nampak anggun dibalut dengan kebaya putih gading, yang
nampak pas ditubuhnya. Karna jarang menggunakan make up, dia nampak
begitu cantik dan anggun saat ini. Tidak menor tapi terlihat elegant dan
mewah. Jika seperti ini, tidak akan ada yang tau bagaimana ajaibnya
tingkah Elena. Namanya saja anggun, begitu pun wajahnya. Tapi aslinya dia
pecicilan plus ajaib. Ada saja tingkahnya yang kadang membuat beberapa
orang yang mengenalnya geleng kepala.

Sedangkan Dipta, dia nampak gagah dengan jas putih yang membalut
tubuhnya.
Tidak heran jika banyak yang bedecak kagum karna merasa Elena dan
Dipta adalah pasangan yang nampak begitu serasi.

Karna acara digelar di rumah Elena, jadi akad hanya dihadiri keluarga besar
dan orang-orang terdekat saja.

Eh, vuset, laki gue ganteng banget sih.

"Len. Awas air iler lo tumpah." Bisik Hanum yang berdiri disisi kiri Elena.
Sedang sisi kanannya, ada Yuni yang sudah terkekeh geli melihat tampang
mumpeng sepupunya. Merasa lucu melihat wajah Elena yang melongo
memadang Dipta, suaminya.

"Tau nih malu-maluin aja. Kan gak lucu kalau pengantin wanitanya ngences
gara-gara liat mempelai pria." Ucap Yuni pelan.

Elena mendesis. "Berisik lo mbak." Celetuknya kesal.

Semakin Elena berjalan ke arahnya Dipta. Dia semakin merasa detak


jantungnya berdetak kuat. Membuat dia berulang kali menelan ludah gugup.
Setelah sampai di samping suaminya.

Elena dengan jelas melihat ada senyum hangat di bibir pria itu. Ini adalah
senyuman hangat pertama Dipta yang dilihat Elena untuk pertama kalinya.

Gak salah gue milih laki. Senyumnya bikin awet muda.

"Ayo nak Elena cium tangan suaminya dulu." Ucap Pak penghulu memberi
intruksi.

Dengan kikuk Elena meraih tangan Dipta dan menciumnya.

Uhh bau surga, ck,

Saat mendongak Dipta langsung mengusap kepala Elena pelan diikuti


kecupan mesra dikeningnya lama. Yang langsung mendapat sorakan dari
panara tamu undangan.
Ya Allah, baru di kecup, udah pengen pingsan aja. Gimana kalau dienak-
enakin?

"Terima kasih Elena." Ucap Dipta lembut masih dengan senyum dibibirnya.

Selesai acara akad, malamnya langsung disusul dengan acara resepsi.

Elena tidak menyangkan, tamu yang datang akan sebanyak ini. Bahkan
kakinya sudah terasa pegal karna berdiri berjam-jam memakai heels.
Bibirnya juga sudah sangat kaku karna dipaksa untuk terus tersenyum ke
arah tamu undangan.

Kapan habisnya sih ini tamu. Gak tau apa gue udah gempor? Batin Elena.

"Kamu capek?" Tanya Dipta. Yang melihat gelagat aneh istrinya.

Elena hanya mengangguk. Rasa-rasanya, dia sudah tidak punya tenaga


untuk sekedar berbicara atau menjawab. Tubuhnya benar-benar lelah
sekarang.

"Kamu duduk aja, sebentar lagi juga selesai." Ucap Dipta menuntun istrinya
untuk duduk.

"Elena kenapa?" Tanya Hanum yang baru naik kepelaminan, rencananya


Hanum ingin mengajak pengantin baru itu berfoto. Tapi saat melihat wajah
Elena yang pucat dan keringat dingin membanjiri keningnya membuat
Hanum tidak tega dan membatalkan niatnya.

Hanum tidak setega itu untuk memaksa adik iparnya untuk berfoto dalam
kondisi seperti ini.

"Capek." Jawab Dipta cuek. Sambil berjongkok di depan istrinya dan


meluruskan kaki Elena yang kelihatan mulai bengkak.

"Jangan ditekuk kakinya!" Perintah Dipta menatap wajah istrinya sekilas.


Elena menurut tidak protes sedikit pun.

"Mending kamu bawa masuk aja deh Dip, kasian Elena, kayak capek
banget. Sampai pucet tuh mukanya." Ucap Dewa suami Hanum. Merasa
kasian dengan adik iparnya yang terlihat seperti mayat hidup.

Dipta hanya mengangguk setuju. "Ayo!" Ajakny berdiri.

Elena mendongak.

Ini suami gue gak peka banget sih. Di tuntun kek gue biar romantis dikit.

"Elena." Panggil Dipta saat istrinya malah bengong, tidak bergerak sedikit
pun.

Memutar bola mata malas. "Ini bini lo Dip, manis dikit kek ngajaknya.
Minimal gendong gitu. Elenanya udah gak kuat berdiri itu." Omel Hanum
kesal melihat ketidak pekaan adiknya.

Dipta menarik tangan istrinya pelan."Di gandeng aja ya?" Ucapnya lembut.

Hanum dan Dewa hanya menggelengkan kepala tak habis pikir, saat melihat
Dipta yang pergi menjauh sambil menggandeng tangan istrinya.

Terkekeh geli. Dewa merasa lucu dengan pasangan baru itu. "Dasar gak
peka itu adik kamu." Celetuknya asal.

"Kayak yang ngomong peka aja." Jawab Hanum berlalu pergi.

Suami Hanum ini, butuh dibelikan cermin besar sepertinya. Gak sadar apa,
kalau dia dan Dipta itu sebelas, dua belas. Sama-sama gak peka.

"Sayang." Panggil Dewa menyusul Hanum.

Melihat Hanum, istrinya pergi tanpa mengajaknya. Membuat Dewa panik


bukan main. Dia tau istrinya sedang kesal padanya saat ini. Karna itu
secepat kilat Dewa langsung menyusul.

Dewa secepat kilat berlari menyusul Hanum istrinya. Jangan sampai


istrinya marah. Bisa berabe dia kalau istrinya sampai marah. Hanum itu
kalau sudah marah, akan mendiaminya sepanjang malam. Dan itu semua
sangat menyiksa untuknya.
Belum apa-apa udah buat darah
tinggi.

Elena berjalan malas ke arah kamar mandi. Rasanya badannya remuk karna
berdiri berjam-jam tadi.

Badanya benar-benar butuh istrahat saat ini.

Mandi secepat yang dia bisa agar bisa langsung istirahat. Elena tidak peduli
lagi dengan apa pun selain ingin cepat istirahat.

Melihat kasur empuk yang serasa memanggil- manggilnya membuat dia


tidak sabar untuk membaringkan tubuhnya.

Berbaring di atas kasur dengan tak sabaran. "Ahhhh. Akhirnya gue bisa
lurusin badan juga." Ucapnya terdengar senang.

Kasur ini benar-benar empuk. Pelan-pelan mata Elena bahkan terasa berat,
dia sudah siap berlayar ke alam mimpi indahnya. Sama sekali tak peduli
dengan pria yang kini menatapnya dari sofa, menggeleng-gelengkan
kepalanya geli.

**

Mengerjap-ngerjapkan mata pelan. Pipi Elena terasa di toel-toel sesuatu.

Emak gue gak bisa apa, gak ganggu hidup gue sebentar aja. Heran deh
punya emak gini amat sih. Batin Elena kesal.

"Mama ih. Lena itu masih ngantuk tau. Masih capek badanya." Gumamnya
kesal. Tanpa menoleh ke siapa pelakunya. Seolah lupa di mana dia saat ini.
"Lena, ini udah siang, ayo bangun. Keluarga kamu mau pamit pulang."
Ucap Dipta pelan. Terus berusaha membangunkan istrinya yang masih
memejamkan mata.

Dipta tau Elena masih capek pasti, mengingat acara semalam sangat
melelahkan. Tapi tadi Laras, mama mertuanya memberitahu. Jika keluarga
besar istrinya mau pamit pulang. Semua keluarga besar Dipta dan Elena
memang menginap dihotel ini. Sengaja dia siapkan, agar keluarga bisa
langsung istirhat saat selesai acara.

Kok suara mama beda.

Membuka mata pelan. Mata Elena langsung melotot begitu melihat Dipta di
sampingnya yang membungkuk ke arahnya, berusaha membangunkan nya.
Bukan Laras, mamanya seperti biasa.

Membuka mulut. Elena siap meluncurkan teriakannya.

"Jangan teriak, kita udah nikah" Potong Dipta cepat sambil menunjukkan
jari manisnya yang terdapat cincin pernikahan mereka. Begitu melihat
Elena akan berteriak.

Serius gue udah nikah?

"Aaaaa...." Teriak Elena kuat.

Dipta langsung membekap mulut Elena begitu mendengar teriakan kuat


istrinya.

"Saya bilang jangan teriak Elena! Kenapa teriak?" Decak Dipta kesal.

Melepaskan tangan Dipta dari mulutnya secara paksa. Elen menatap serius
ke arah pria itu. "Semalam bukan mimpi?" Tanyanya terdengar heran.

Dipta mendengus kuat mendengar pertanyaan aneh istrinya, tak habis fikir
dengan jalan fikiran istrinya.

"Sana mandi, siap-siap! Keluarga besar kamu mau pamit pulang."


"Pulang tinggal pulang aja, kenapa repot banget sih. Segala pakai pamit
lagi. Tumben amat." Gerutu Elena pelan. Yang masih bisa di dengar oleh
Dipta. Pria itu langsung menoleh ke arahnya penuh peringatan.

"Elena Cepet!" Perintahnya yang mendengar gerutuan istrinya.

Meski dengan wajah kesal, Elena langsung turun dari kasur. "Iya- iya gue
mandi ni." Ketusnya sedikit tidak ikhlas.

***

Eliana memandang telapak tangannya prihati.

Kalau pengantin barukan, biasanya kalau keluar kamar gandengan.

Setelah itu memandang punggung Dipta yang menjauh, berjalan lebih dulu
meninggalkannya.

Lah gue. Jangankan gandengan, jalan bareng aja enggak. Miris banget sih
hidup lo, Len.

Elena menyusul Dipta yang terlihat duduk dan mengobrol dengan keluarga
besarnya.

"Nah. Ini nih, pengantin baru. Baru keliatan batang hidungnya." Canda
Hanum. Yang langsung disambut gelak tawa dari para keluarga.

Hanum kampret. Seneng banget lo bikin malu gue.

Elema berjalan ke arah Laras, menarik kursi. Dan bersiap duduk. Tapi
belum juga pantat cantiknya menyentuh kursi, sudah langsung ditahan oleh
Laras.

"Mau ngapain?" Tanyanya menahan lengan Elena.

"Ya duduk lah ma." Sahut Elena gemes. Mamanya ini, apa tidak lihat kalau
Elena mau duduk?
"Duduknya deket suami kamu sana! Jangan duduk di sini." Omel Laras. Me
dorong lengan Elena untuk menjauh.

"Sama aja kali ma, di sini sama di sana. Sama-sama duduk di atas kursi."
Jawab Elena kesal. Dan langsung mendapat pelototan galak dari mamanya.

Yang langsung membuat nyali Elena menciut. Berjalan ke arah kursi


kosong di dekat Dipta. Dengan kesal dia pun mendaratkan pantatnya di
sana. Lengkap dengan bibir mencebik kesal.

"Nah gitu dong Len. Kalau pengantin baru itu gak boleh jauh-jauh. Entar
kesambet, masih bau wangi soalnya." Celetuk Hanum asal. Nampak paus
dengan wajah keki adik iparnya.

"Dasar netijen." Sindir Elena sarkas. "Mana yang lain katanya mau pamit
pulang?" Sambungnya melihat sekeliling yang hanya diisi keluarga intinya
saja.

"Nunggu kamu keluar kamar keburu telat om-om kamu berangkat kerja
Len. Jam segini baru nongol." Jawab Laras.

"Iya mama. Maaf."

"Udah gak papa Ras, maklum pengantin baru." Ucap Isa yang sedari tadi
hanya diam melihat interaksi ibu dan anak itu. Yang tidak jauh berbeda
dengan dirinya dan putrinya.

Elena tersenyum cangguk pada mama mertuanya, Isa. Malu, baru jadi
mantu sehari udah buat imege baiknya luntur, runtuh tak tersisa. Gimana
nanti ke depannya? Apa Isa juga bakal suka ngomel seperti Laras,
mamanya?

Kepala Elena mendadak pusing memikirkannya. Punya satu mama model


Laras saja sudah buat dia sering naik darah. Apa lagi dua. Bisa cepat mati
Elena.

"Elena mau pesan makan apa sayang?" Tanya Isa lembut. "Kamu pasti lapar
kan?" Sambungny lagi. Seolah tidak ingin menantunya kelaparan. Dan
semua cacing-cacing di perutnya melakukan demo besar-besaran.

"Tadi udah sarapan ma, di kamar." Jawabnya malu.

Tadi sebelum turun memang Elena sempat sarapan. Dipta yang memesan,
suaminya itu seolah tau jika istrinya pasti kelaparan karna dari semalam dia
belum sempat makan. Tapi langsung tidur.

Alhasil selesai mandi, dia langsung makan tanpa disuruh dua kali. Selesai
sarapan, baru lah dia bersiap-siap untuk turun.

"Wihhhh enak banget ya Len, bangun tidur udah disediain makan. Nasib
pengantin baru." Celetuk Hanum. Yang langsung mendapat teguran dari Isa.

Yang langsung disambut senyuman mengejek dari Elena.

Sukurin. Cari gara-gara sih sama gue. Belum tahu aja sekarang gue punya
sekutu.

"Dipta, kamu ada rencana mau ajak Elena bulan madu ke mana?" Tanya Isa
menoleh ke arah Dipta

"Dipta terserah Elena ma." Jawab Dipta melirik ke arah istrinya.

"Tapi gue lagi sibuk banget, lagi banyak kerjaan." Ucap Elena.

"Elena, biasaain aku-kamu, jangan lo-gue, gak sopan." Tegur Laras.

Elena mendesah pasrah. "Iya ma!" Cicitnya.

Mamanya ini hobi banget sih ngomel. Perasaan salah mulu gue dimatanya.

"Gak papa Ras, Elena belum terbiasa. Hanum juga suka gitu kok!" Bela Isa
pada menantu barunya.

Uhhh. Mama mertua gue emang top markotop. Kalau gini mah gak nyesel
gue nikah sama Dipta.
"Ya udah kalau gitu. Kalian bisa bahas nanti soal bulan madu." Ucap Isa
akhirnya. "Mama gak bisa lama-lama. Ada a janji soalnya. Mama pamit
ya." Sambung Isa sambil berdiri.

Disusul Laras berdiri. "Ya udah Sa. Aku juga mau pamit." Ucap Laras ikut
berdiri.

Elena pun ikut bangun dari duduknya. Menghampiri Isa, mencium pipi kiri
kanan. Sebagai salam perpisahan. Elena sudah mulai tidak canggung lagi.

"Hubungi mama ya, kalau butuh sesuatu." Pesan Isa pada menantunya.

Elena mengangguk mengerti. "Iya ma." Balasnya sopan.

"Jangan yang aneh-aneh Len." Pesan Laras, begitu Elena mendekat ke arah
mamanya itu.

"Is, Mama mah negatif mulu sama Lena." Cebik nya kesal. setelah
melakukan hal serupa yang dia lakukan tadi pada Isa.

"Pokoknya jangan buat malu. Awas aja kalau besok tiba-tiba Dipta ke
rumah balikin kamu." Ucap Laras mengancam.

"Ya gak lah ma!" Jawab Elena tegas.

Mengabaikan jawaban putrinya, Laras langsung menoleh pada Dipta."Nak


Dipta, mama pulang dulu ya. Nitip Elena, kalau dia aneh-aneh omelin aja."
Pesan Laras serius.

Dipta maju menyalami Laras dan Herman bergantian. "Iya ma. Hati-hati
dijalan." Pesannya kalem.

"Giliran sama mantunya aja, manis banget. Coba sama anaknya, ngomel
mulu." Gerutu Elena kesal.

"Ngomong apa kamu, Elena?" Tanya Laras galak.

"Gak. Gak ma. Lena gak ngomong apa-apa." Jawab Elena sedikit panik.
"Jagain mantu mama. Jangan sampai kabur. Awas aja kalau kabur." Bisik
Laras pada Elena penuh peringatan.

Dikira peliharaan kali yak kabur. Emak gue emang luar biasa kalau mikir.

"Iya ma." Jawab Elena cari aman.

Iyain aja dah biar cepet. Lama-lama otak gue pusing diomelin mulu.

Setelah seluruh keluarga pergi. Kini cuman tinggal Hanum, Dewa, Elena
dan Dipta.

Dewa dan Dipta tampak asik membahas masalah pekerjaan. Sedang Hanum
dengan ponselnya dan Elena sendiri dia mulai sibuk dengan cemilan di atas
meja.

Hanum melirik adik iparnya yang nampak asik dengan makanannya.


Hanum menggeser duduknya mendekat Elena yang terlihat asik, mencicipi
kue-kue di atas meja. Mendadak ide jail keluar dari kepalanya.

"Len." Panggil Hanum.

Melirik Hanum, Elena hanya menggumam menjawab pertanyaannya.

"Lo semalam kuat berapa lama?" Tanya Hanum berbisik.

Mengangkat alis heran.

Kuat apa?

"Kuat apa?" Tanya Elena balik.

Hanum mengangkat dua jarinya. Memberi kode tanda kutip pada adik
iparnya.

Sebelah alis Elena kian terangkat tinggi. Belum paham ke mana arah
pembicaraannya. "Apa'an sih kode-kodean?" Tanyanya yang belum
nyambung.
"Gak usah pura-pura bego deh lo." Cibir Hanum gemas.

"Terserah deh. Ditanya malah balik nanya." Balasnya cuek sambil terus
mencomot kue-kue di atas meja.

Emang ya, makanan orang kaya itu beda, enak banget. Bikin nagih.

"Sini gue bisikin." Ucap Hanum menyuruh Elena mendekatkan telinganya.

Elena menurut mendekatkan telinganya ke arah Hanum. Bersiap


mendengarkan apa yang akan Hanum katakan.

"MBAK HANUM STRESSS. OTAKNYA ISINYA KOK NGERES


SEMUA" Teriak Elena kuat setelah mendengar bisikan Hanum.

Yang langsung disambut gelak tawa oleh Hanum dan pandangan heran dua
pria yang kini memprhatikan Elena dan Hanum bergantian.
Kampungan

Elena mengikuti Dipta dari belakang, mereka menuju apartement Dipta saat
ini. Tadi, saat sepulangnya dari hotel, Dipta sempat bertanya padanya mau
tinggal di apartement atau rumah? Jika Elena menginginkan tinggal di
rumah, dia bisa memilih rumah yang menurutnya bagus atau rumah impian
mereka.

Karna selama ini Dipta tinggal di apartement jadi dia sama sekali belum
menyiapkan rumah untuk istrinya kelak. Dia ingin istrinya yang memilih
rumah yang akan mereka ditinggali kelak.

Duh, manisnya. Jadi pengen peluk.

Tapi ajaibnya, Elena tidak mempermasalahkan akan tinggal di mana. Mau


apartement atau rumah toh sama saja. Lagi pula mereka hanya tinggal
berdua, akan lebih baik untuk saat ini mereka tinggal di apartement Dipta
saja. Agar lebih mengirit waktu untuk membersihkanya. Bilang saja Elena
malas. Ck,

Sebelum pulang ke apartement, tadinya Elena ingin pulang ke rumahnya


lebih dulu. Untuk mengambil barang-barangnya dan semua keperluannya.
Tapi saat diperjalanan pulang, sekertaris Dipta menelpon dan menanyakan
berkas penting padanya. Alhasil, sekarang mereka akan mampir ke
apartement Dipta untuk mengambil berkas itu. Setelah itu baru pulang ke
rumah Elena.

Dari lobi gedung apartemant sampai masuk ke dalam apartement, Elena


tidak berhenti menggerutu kesal. Karna suaminya itu selalu
meninggalkannya di belakang. Bagaimana tidak, Dipta yang tinggi
jangkung membuat Elena sulit menyamai langkahnya. Alhasil, sia selalu
tertinggal di belakang.
Sekarang Elena menyesal kenapa dulu dia menjadi gadis yang pendek, atau
setidaknya kenapa dulu dia tidak meminum vitamin peninggi badan agar
tubuhnya tidak pendek-pendek banget seperti sekarang.

Sumpah ni orang jalannya cepet banget sih. Gue dari tadi ditinggalin mulu.
Gerutu Elena dalam hati.

"Elena. Ayo?" Panggil Dipta yang sudah berjarak dua meter dari Elena.
Tanpa menunggu jawaban Elena, Dipta langsung berbalik dan meneruskan
langkahnya.

Efek gak pernah olah raga kayaknya gue, masa jalan segini doang gue
udah ngos-ngosan sih.

Elena memangdang punggung Dipta tajam, seakan pandangan tajamnya


bisa mencabik-cabik punggung Dipta hingha hancur lebur. Saat melihat
Dipta dengan santainya memasuki sebuah pintu, semakin menambah
kekesalan Elena. Dengan berjalan pelan sambil menghentak-hentakkan
kakinya kesal, akhirnya dia bisa menyusul Dipta sampai di dalam
apartemant.

"WAH." Kata itu lah yang pertama kali keluar dari bibir Elena saat
memasuki apartemen suaminya.

Apartement mewah yang berkali-kali membuat mata Elena memandangnya


takjub. Maklum, ini adalah pertama kalinya dia memasuki apartemen
mewah. Melangkah lebih dalam, mata cantik Elena semakin melotot takjub
melihat indahnya interior apartement ini.

Pertama masuk dia sudah di manjakan dengan enterior menggunakan


furnitur besar dan mewah bergaya eropa. Cat dinding yang berwarna putih,
krem dan coklat memberi kesan elegantdan simple di sini.

Bahkan ornamen-ornamen yang digunakan juga terlihat pas dengan warna


cat dinding. Di sudut dinding terdapat tirai motif polos berwarna gray yang
menggantung dari plafon hingga lantai. Apartement ini juga sangat bersih
dan rapi, terlihat sekali jika suaminya itu mewaratnya dengan baik.
Kalau apartementnya model begini mah, gue mau-mau aja tinggal di sini,
mana keren banget lagi. Sumpah gue betah kayaknya tinggal di sini. Gak
sia-sia gue nikah dadakan begini, kalau ujung-ujungnya hidup gue makmur.
Ckk

Sampai di dapur, Elena hanya bisa geleng-geleng kepala karna tak habis
fikir. Dapur di apartement Dipta ini, bahkan dua kali lipat lebih besar dari
dapur di rumahnya. Belum lagi barang-barang yang memenuhi dapur,
semua nampak mahal dan berkelas.

Bener-bener tajir laki gue kayaknya.

Dapur yang berwarna hitam gabungan putih membuat suasana terlihat


misterius dan elegant. Belum lagi perabot yang berwarna putih, dan juga
peralatan dan alat dapur yang terbuat dari staenless steel jadi terlihat sangat
stunning. Benar-benar apartement mahal tentunya.

Membuka kulkas, lagi-lagi kata WAH yang keluar dari bibir Elena.

Isi kulkas aja selengkap ini, apa lagi isi dompet. Ck,

Mengambil air mineral, Elena langsung menandaskan setengah isi dari


botol mineral itu, untuk menghilangakan haus di dahaganya. Dia benar-
benar haus sepertinya.

Terlalu larut memperhatikan apartement Dipta, sepertinya membuat dia


lupa dengan tenggorokanya yang sudah sangat kering ini. Menutup kulkas,
Elena pun langsung berbalik, kedua matanya melotot, dia terlonjak kaget
karna pria yang duduk santai di kursi depan mini bar.

"ASTAGFIRULLAH." Teriak Elena kaget. Saat melihat Dipta, suaminya


dengan santai duduk di meja mini bar di belakangnya. Memperhatikannya
dalam diam.

Kapan nongolnya coba, kok suara langkahnya sama sekali gak ke


dengeran? Jangan-jangan pas gue bersikap kampungan, dia udah ada di
sini lagi.
"Ngagetin aja sih." Ketus Elena. Mengelus dadanya yang hampir kena spot
jantung.

Berjalan mendekat, Elena melihat Dipta yang sudah berganti baju dengan
pakaian santai. Tadi pas pulang dari hotel, Dipta memang memakai kemeja
navy panjang yang digulung setengah siku dan celana bahan berwarna
hitam.

Laki gue pakai baju kaos celana pendek aja masih ganteng, gimana kalau
dia gak pakek apa-apa.

Elena tertawa cekikikan membayangkan apa yang ada di pikiranya.

Tuhan, gue mulai gila kayaknya. Efek punya kaki ganteng ini. Ckk,

Dipta memandang heran Istrinya ya tertawa-tawa sendiri. " Kenapa?"


Tanyanya heran.

Elena mengangkat bahu cuek mengabaikan pertanyaan Dipta. "Lo udah


lama duduk di situ?" Balik tanya Elena.

"Dari kamu membuka kulkas." Ucap Dipta terlampau santai.

Mata Elena langsung melotot begitu mendengar jawaban santai suaminya.

Jadi tadi dia denger pas gue berkali- kali bilang Wah. Najis, malu-maluin
banget sih lo Len, gimana kalau dia mikir lo katrok dan kampungan banget.
Tapi kan, emang gue gak pernah liat apartement segede ini.

"Gak usah melotot." Tegur Dipta.. "Masih mau meliat-liat apartementnya


lagi?" Sambungnya beranjak bangkit dari duduknya.

Elena langsung menggeleng mendengar pertanyaan suaminya.

Udah cukup hari ini, gue mempermalukan diri gue sendiri di depan ini
orang. Jangan sampe, gue tambah bikin diri gue sendiri berlipat-lipat
tambah bikin malu. Mau ditaro di mana coba muka gue entar? Ember?
Dipta mengangguk sekilas. "Ya udah ayo!" Ajaknya sambil berjalan lebih
dulu.

Elena memandang telapak tangannya dan punggung Dipta secara


bergantian.

Apes banget, nasib pengantin baru dadakan ini, tanganya gak pernah
digandeng. Boro-boro digandeng, ditungguin aja kagak. Sabar ya Elena,
tangan lo puasa dulu sekarang.

Elena buru-buru menyusul Dipta ketika mendengar suaminya itu


berterteriak memanggil namanya. Menyuruhnya cepat.
Primadona

Elena melangkah dengan semangat ke dalam rumahnya. Sedang Dipta


hanya mengekor di belakang. Membuntuti ke mana pun istrinya.

"YUU ... HU. Mama ... Elena datang...." Teriak Elena masuk ke dalam
rumah.

"Astagfirulloh Lena. Kamu itu bisa gak sih, masuk ke rumah kayak orang
normal, pakek salam. Bukannya malah teriak-teriak kayak di hutan." Omel
Laras sambil berkacak pinggang di depan pintu masuk utama. Menatap
putranya dengan tatapan mata kesal.

Elena yang mendapat omelan dari mamanya, hanya cengengesan


menunjukan deretan giginya saat mendapat. Tadi karna terlalu semangat,
sampai membaut dia lupa mengucap salam.

"Iya ma. Iya maaf." Cicitnya pelan. "Mama hobi banget sih ngomel."
Sambungnya sambil melirik-lirik takut ke arah Laras. Yang kian membuat
Laras menatapnya garang.

"Mangkannya kalau gak mau diomelin itu, kelakuannya dirubah, Lena.


Lebih waras."

Elena mendelik. Menatap mamanya tak percaya. "Emang mama kira Lena
gila? Gak waras?" Tanyanya mengerucutkan bibir sebal.

"Ngejawab mulu kalau dibilangin. Lama-lama mama yang bisa gila liat
kelakuan kamu, Lena." Ucap Laras melotot.

Tadi ceritanya, Laras baru selesai membuang sampah, begitu mau masuk.
Laras langsung dikejutkan dengan teriakan heboh putrinya. Iya kalau
suaranya merdu, lah ini udah cempreng, ngalahin toak menjid lagi. Ckk,
Membuat kepala Laras terasa nyeri seketika. Lama-lama Laras bisa gila
kalau melihat kelakuan anak gadisnya. Laras kira, setelah menikah,
putrinya akan berubah menjadi lebih baik. Tapi nyatanya perubahannya
bukan membaik, tapi malah makin stress dan gak waras.

Mendengar ucapan mamanya Elena hanya diam menunduk dengan bibir


melengkung kebawah.

"Assalamu'allaikum ma." Sapa Dipta yang ada di belakang istrinya.


Mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Laras.

Elena bergeser tubuhnya, memberi jalan pada Dipta untuk mendekat ke


arah Laras.

Mendengar suara menantunya, wajah Laras yang tadinya kusut penuh


emosi, langsung berubah cerah. Bahkan saat Dipta mencium tanganya
sopan, Laras langsung manarik tangan Dipta untuk diajak masuk.
Mengabaikan tatapan kesal putrinya di belakangnya.

Iiiiis pilih kasih banget sih mama. Giliran sama mantunya aja senyum,
ramah. Giliran sama anaknya aja, udah kayak emak tiri yang gak dikasih
jatah bulanan. Apes banget hidup gue punya emak model begitu.

Dengan perasaan dongkol dia pun menghentak-hentakan kakinya menyusul


Laras dan Dipta yang sudah masuk ke dalam rumah.

***

Elena mengerang frustasi. Menatap jengkel dua orang yang sedang asik
mengobrol.

Kampret gue dikacangin.

Setelah masuk ke dalam rumah, mamanya dan Dipta malah asik mengobrol
sambil makan siang tanpa mengikut sertakan Elena di dalamnya. Dan,
dengan tidak tau malunya, dia malah bergabung ikut makan.

Bodo ah gue dikacangin yang penting pokoknya gue mau makan. Laper
gue, karna pura-pura bahagia itu butuh tenaga. Eak
"Nak Dipta mau nambah, mama ambilin ya?" Tanya Laras.

Laras terlihat senang karna menantunya yang satu ini tidak pemilih soal
makanan, malahan Dipta terlihat lahap dengan semua masakan Laras.
Padahalkan ini hanya masakan biasa, bukan makanan ala-ala restoran
mewah. Tapi, membuat menantunya itu terlihat biasa-biasa saja. Malah
terlihat luwes dan bernafsu.

Elena memutar bola matanya malas, mendengar nada manis mamanya.


Mamanya ini sangat berlebihan.

"Ma. Papa ke mana sih?" Tanya Elena yang sedari tadi hanya menjadi anti
nyamuk antara mamanya dan suaminya.

Laras yang sedang mengambilkan ayam untuk Dipta menoleh sebentar.


"Lagi pergi ke rumah tante Tuti."

Kening Elena mengeryit bingung.


"Ngapain papa ke sana?" Tanyanya penasaran.

"Mana mama tau."

"Tumben mama gak ikut?"

"Tadinya sih mau ikut. Tapi kata papa kamu, takutnya kamu pulang ambil
barang terus entar gak ada orang lagi. Dan ternyata bener kamu pulang."
Jawab Laras menjelaskan.

Elena hanya mengangguk mengerti.

Selesai makan Dipta pamit sholat ashar dan masuk ke dalam kamar Elena.
Sedang Elena, sedang membantu mamanya mencuci piring.

"Ma." Panggil Elena yang hanya dibalas gumaman oleh Laras.

"Keluarga kita ada yang nanya aneh-aneh gak sih ma, tentang pernikahan
Lena?" Tanya Elena melirik Laras yang terlihat sibuk menyusun piring
sedang dia bagian mengelap piringnya.
"Nanya aneh-aneh gimana?"

"Ya aneh-aneh gitu. Kan biasanya mereka suka komen tentang hidup Lena.
Belum lagi tante Tuti tu, perasaan Lena gak pernah buat salah deh sama dia.
Tapi keliatan banget ma, dia gak suka sama Lena. Apa lagi pas tau tiba-tiba
Lena nikah gini. Ya aneh aja kalau dia gak nanya-nanya atau kepo?"

"Gak usah seuzon deh Len jadi orang!"

"Ihhh Lena gak seuzon mama. Coba aja inget-inget pas dulu Lena pertama
kali kerja sama mbak Hanum. Gimana tante Tuti yang teriak-teriak gak
terima, karna si Siska belum dapat kerja. Sedang Lena udah. Bahkan tante
Tuti sampai jelek-jelekin Lena di depan mbak Hanum. Terus bagus-bagusin
anaknya. Lena suka kesel tau kalau masih inget itu.." seru Elena sedikit
menggebu-gebu. Teringat di mana dulu dia di permalukan.

"Tau ah mama gak mau pusing mikirin masa lalu. Mikirin kamu yang
model begini aja mama udah hampir gila. Apa lagi disuruh mikirin mereka.
Lagian ya Len, kayak kamu baru kenal tante kamu aja. Yang pentingkan
kita gak begitu."

Elena meringis. Tumben sekali mamanya ini lurus.

"Uhh mama gak salah makan kan ya?"

"Kenapa?"

"Tumben mama mikir gitu. Biasanya juga papa yang bakal kena amukan
mama kalau tante Tuti berulah." Jelas Elena.

"Ya orang kan bisa berubah Len. Lagian kasian papa kamu gak tau apa-apa
mama omelin mulu."

"Ya iya lah, mama baru sadar. Lagian papa kok bisa sih betah sama mama."
Ceplos Elena tanpa sadar.

Laras langsung menghadap putrinya sambil melotot. "Maksud kamu apa?"


Tersadar. Elena langsung panik begitu sadar jika dia salah bicara. "Hehehe
... Maaf ma, gak sengaja."

"Gak sengaja-gak sengaja. Gitu-gitu papa kamu itu cinta mati ya sama
mama. Mana bisa papa kamu itu berpaling dari mama. Papa kamu itu udah
kronis jatuh cintanya sama mama."

Elena hanya menggelengkan kepala tak habis pikir dengan cara berfikir
mamanya.

Et dah Buset, emak gue tingkat kePDannya udah meprihatinkan ini


kayanya.

"Belum tau kan kamu, kalau dulu papa kamu itu yang ngejar-ngejar mama?
Yang ngemis-ngemis cinta mama." Ucap Laras dengan raut wajah meledek.

Elena menautkan alisnya tak percaya. "Boong banget mama, gak mungkin
banget papa yang kalem begitu ngejar mama yang model begini."

"Model begini gimana? Sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lagian


kalau kamu gak percaya kamu bisa tanya papa kamu. Itu Papa kamu masih
hidup."

"Masa sih ma?" Tanya Elena yang masih tidak percaya.

"Apa sih yang gak mungkin di dunia ini Len?." Ucap Laras santai.

"Serius ma?"

"Serius, Yuli aja udah tau."

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah, kamu aja yang belum tau.." Ucap Laras sambil berjalan ke
arah meja makan, menarik kursi. Duduk sambil mengupas buah jeruk yang
dia ambil di dalam kulkas.

"Kok bisa papa yang ngejar mama?" Tanya Elena penasaran, sambil
berjalan menyusul mamanya yang duduk di meja makan.
"Ya bisalah, namanya juga cinta." Kata Laras yang membuat Elena
melongo.

Ini beneran gak sih bapak gue yang suka duluan sama emak gue. Kok gak
meyakinkan banget ya.

"Elena kira dulu mama yang ngejar papa."

"Enak aja. Gini-gini juga mama dulu primadona sekolah. Harus jual mahal
dong."

Elena merongis. Lalu dengan gaya santainya dia mengibaskan rambutnya


ke belakang. "Sama dong kayak Lena. Suka jual mahal." Serunya bangga.

"Jual mahal dari hongkong. Orang diajak Dipta nikah sekali aja langsung
mau." Cetus Laras sontak membuat Elena mendelik kaget.

"Mama tau dari mana?"

"Ya tau lah." Sahut Laras enteng.

"Mama punya indra keenam?"

"Gak perlu indra keenam kali Len, kalau sekali diajak jalan besoknya
langsung nikah." Jawab Laras begitu entengnya. Tidak tau saja, ucapannya
itu sontak membuat Elena mengelus dada sabar.

"Untung sayang."

Laras hanya mendengus pelan medengar ucapan putrinya. Terlalu malas


meladeni anaknya yang satu ini.
Malu

Canggung, itu lah yang Elena rasakan saat ini. Duduk di atas ranjang hanya
berdua dengan Dipta membuat dia nampak kikuk. Berbeda dengan Dipta
yang nampak biasa saja karna sibuk dengan gedgetnya.

Hari ini, Elena dan Dipta menginap di rumah orang tua Elena, karna Laras
mamanya memaksa mereka untuk menginap.

Elena sih awalnya ok-ok aja, tapi setelah sadar dia akan satu kamar dengan
Dipta, membuat dia merutuki kecerobohanya itu. Mana ranjang kamarnya
berukuran double bad lagi, membuat dia nyaris bersentuhan dengan badan
kekar suaminya. Dan itu semua, membuat jantungnya semakin jingkrak-
jingkarak tidak jelas.

Tanpa sadar, Elena sering menahan nafas karna aroma parfum Dipta yang
tercium oleh indra penciumannya. Belum lagi, pria itu yang malam ini
terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya. Membuat dia berulang
kali menahan nafas. Dengan baju tidur berwarna hitam yang didapat Elena
meminjam dari papanya, membuat kadar pesona Dipta menguap ke mana-
mana.

Anjrit otak gue jadi ngeres ini, gara-gara sering dicokolin mbak Hanum
video mesum.

Berusaha mengalihkan perhatian ke sembarang arah. Elena berusaha


mengabaikan pemandangan menggiurkan di depan matanya. Dipta yang
berganti posisi berbaring menyamping ke arahnya, berulang kali melirik
istrinya yang tidak mau diam, terus bergerak di sampingnya.

Ini kenapa gue yang kayak cacing kepanasan sih. Bukannya seharusnya
cowok ya yang begini. Lah ini kenapa jadi gue. Ahhhh mama tolongin
Elena, sumpah grogi gue seranjang ama ini orang.

Lama-lama Dipta pun terusik dengan pergerakan istrinya yang tidak mau
diam.

Mengangkat alis heran. "Kenapa?" Tanyanya heran.

"Hah?" Tanya Elena yang gagal fokus. Keningnya nampak berkerut samar.

"Ada masalah? Dari tadi kamu kayak gak nyaman gitu. Gerak terus gak
mau diam? Kenapa?"

"Oh itu, gue kepanasan. Iya. Hehe iya cuman kepanasan." Cengirnya salah
tingkah. Ditatap begitu intens oleh Dipta membuat dia salah tingkah sendiri.

Mengangkat sebelah alisnya, Dipta memperhatikan penampilan istrinya dari


atas sampai bawah. Baju tidur panjang berwarna pink dengan gambar
pororo besar di depannya. Benar-benar lucu di matanya.

Merasa diperhatikan sebegitu lekat oleh Dipta, membuat Elena menggaruk


pipinya yang tidak gatal.

"Kamu bisa nurunin suhu AC." Datar. Itulah ucap Dipta.

"Gue keluar aja deh cari angin." Jawab Elena mencari aman.

Membuka selimut yang menutup kakinya sebatas pinggang, dia pun


langsung turun dari ranjang dengan cepat dan melangkah keluar kamarnya.

Gue gak bakal kuat lama-lama duduk di sampingnya. Di liatin doang aja
bikin jantung gue jingkrak-jingkrak, gimana kalau dia peluk gue, bisa
rontok ini jantung dari tempatnya.

Melangkah keluar, pandangan Elena langsung tertuju pada pintu depan


yang terbuka lebar. Melirik jam dinding di samping kiri Elena. Jam sudah
menunjukan jam 9 malam.

Siapa yang buka pintu jam segini. Pikir Elena.


Menuruti rasa penasaran, dia pun melangkah ke arah pintu keluar. Di sana,
Herman papanya sedang duduk di kursi teras dengan gadget di tangannya.

"Papa belum tidur?" Tanya Elena berjalan mendekat ke arah papanya.

Herman mendongak, anak gadisnya, ah ralat anak perempuannya sedang


berjalan ke arahnya. "Belum bisa tidur. Kenapa?"

Menarik kursi, Elena ikut duduk di sebrang meja Herman. "Sama, Elena
juga gak bisa tidur."

"Kenapa? ditinggal suami tidur duluan?" Goda Herman dengan senyuman


jail. Yang dibalas Elena mengangkat bahu cuek.

Hening. Elena memperhatikan pria hebat di depannya yang terlihat tidak


muda lagi. Bahkan banyak keriput disekitar wajahnya. Bahkan papanya
harus menggunakan kaca mata untuk memperjelas penglihatannya.

Papanya ini, pria pertama yang mengajarkan banyak hal pada Elena,
tentang kehidupan, kasih sayang kemandirian, pilihan, dan masih banyak
lagi.

"Bagus ini, papa mau beli ikan lagi." Ucap Herman menskrol layar
gadgetnya.

Herman ini, papa Elena memang hobi memelihara ikan hias. mulai dari
Cupang, Discus, Candy Basslet, Koi dan masih banyak lagi.

Bahkan harga ikan hias papanya ini, bisa membuat Elena ngelus dada karna
takjub. Bahkan Laras, mamanya sering ngomel jika tau suaminya, Herman
ketauan membeli ikan lagi.

"Buat apa sih pa. Papa kan udah punya banyak. Gak takut kena omelan
mama emang?" Tanya Elena sambil mencomot kue di depan mejanya.

"Ya jangan bilang-bilang biar gak tau." Jawab Herman enteng.

"Gimana gak tau, kalau ujung-ujungnya papa bawa pulang?" Gelengnya tak
habis pikir dengan jalan pikiran papanya.
Herman terkekeh. " Iya, ya."

"Pa. Elena boleh nanya gak?"

"Nanya apa?" Jawab Herman sambil membenarkan letak kaca matanya.

"Papa kok bisa sih nikah sama mama?"

"Ya bisalah, namanya jodoh Len. Pertanyaan kamu kok aneh banget sih."

"Isss. Bukan gitu maksud Lena papa." Gemas Elena. "Maksud Lena itu,
Papa kok bisa dulu suka gitu sama mama." Sambungnya memperjelas.

"Ya bisa lah, kan dulu mama kamu itu langka, unik terus lucu." Ucap
Herman disela-sela senyumnya seperti mengenang masa lalu.

Lucu mana sama ikan hias papa. Seru Elena di dalam hati.

"Terus mama langsung mau sama papa?"

"Ya mau lah, Kan papa ganteng."

Elena yg mendengar ucapan papanya hanya meringis pelan.

Demi apa? Ternyata bapak gue diam-diam..

"Kata mama dulu papa yang ngejar-ngejar mama?"

"Mama kamu udah cerita?" Tanya Herman santai, tidak terganggu sedikit
pun dengan pertanyaan putrinya.

"Udah. Kok bisa sih pah?" Tanyanya penasaran.

"Ya bisa lah. Apa sih yang gak bisa di dunia ini Len." Jawaban Herman
membuat Elena takjub.

Emang ya kalau namanya jodoh, dari segi jawaban aja bisa sama.
"Iya, kenapa harus mama papa? Emang gak ada perempuan lain yang papa
suka selain mama?" Tanya Elena sambil melirik-lirik takut ke arah pintu.
Takut-takut mamanya nongol tiba-tiba aja, bisa digorok habis dia malam
ini.

"Ya namanya suka Len. Apa lagi, kita gak bisa ngontrol hati. Harus suka
sama siapa."Jelas Herman. "Mama kamu itu dulu beda dari yang lainnya.
Mandiri, apa adanya. Walau cerewet tapi sebenernya hatinya baik, gak suka
neko-neko. Papa suka aja liatnya." Cerita Herman mendadak mengenang
cerita masa lalunya dengan istrinya.

"Dulu papa cinta gak sama mama?" Tanya Elena seraya membentuk jarinya
seperti hati.

"Ya cinta lah, kalau gak cinta gak mungkin dinikah, sampai ada kamu lagi
Len." Ujar Herman enteng.

Uhhhh manisnya bapak gue.

"Ini gak bapak, gak anak sama aja. Udah tau. Udah malam, malah asik
ngobrol disini. Kamu lagi Lena. Suami malah ditinggal ngobrol di sini.
Sana balik ke kamar." Omel Laras yang tiba-tiba muncul dari pintu.

Elena yang medapat omelan hanya memutar bola matanya malas. Sedang
Herman, hanya terkekeh pelan mendengar omelan istrinya.

"Iya-iya Elena tidur ma." Gerutunya sambil melangkah pergi.

Sesampainya di dalam kamar, Elena melihat Dipta yang sudah tertidur.


Melangkah sepelan mungkin, dia pun langsung naik ke atas ranjang.
Dipandanginya wajah tampan suaminya yang tidur miring ke arahnya.

Sempurna banget laki gue.

Mengulurkan tangan, Elena mengabsen setiap wajah suaminya. Dari alis


tebal yang hampir menyatu milik suaminya hingga turun kehidung
mancungnya, dan bibir tipis suaminya semua nampak indah di mata Elena.
Tidak sadar karna perbuatanya mengusik tidur lelap suaminya.
Pelan-pelan mata Dipta terbuka, Elena yang melihat suaminya membuka
mata langsung mematung kaku. Bahkan tangannya belum turun dari bibir
tipis Dipta.

Mati gue.

Dipta menarik turun tangan Elena. Menggenggamnya dengan lembut.


"Kamu belum tidur." Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

Elena menelan ludah gugup, bingung, malu jadi satu. Suaranya seperti
tercekat ditenggorokan. Mencari aman, Elena hanya menggeleng pelan.

Masih mengenggam tangan Elena, Dipta menatap intens mata istrinya.


Pelan-pelan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Elena.

Elena yg melihat wajah Dipta terus mendekat pelan-pelan menutup matanya


dan.

CUP

Merasa keningnya dicium Elena langsung membuka mata melotot.

Gue kira dia bakal nyium bibir gue. Astaga otak gue. Harus di ruqiyah ini.

"Jangan melotot." Ucap Dipta tersenyum tipis.


Elena yang merasa dipermainkan suaminya langsung menarik tangannya
dan berbalik memunggungi Dipta.

Maluuuuuu...

"Len." Panggil Dipta.

"Jangan ngomong, aku ngantuk mau tidur." Ketus Elena.


Aneh-Aneh

Elena bangun lebih pagi dari biasanya. Melirik ke arah suaminya, Elena
bernafas lega karna suaminya masih tertidur pulas.

Jangan harap gue bakal ngobrol sama lo.

Masih kesal karna kejadian semalam, sebisa mungkin dia akan menghidar
dari suaminya hari ini. Turun dari ranjang, Elena langsung melangkah
keluar, masih pukul lima pagi ternyata.

Elena tersenyum lebar karna mengingat ini kali pertama dia bangun sepagi
ini.

Mama pasti syok ini liat gue bangun jam segini.

Berencana mengagetkan mamanya di dapur, Elena melangkah sepelan


mungkin menuju dapur. Tapi, nyatanya tidak ada satu orang pun di dapur,
membuat bulu kuduknya berdiri seketika. Berencana kembali ke kamar
secepatnya Elena langsung berbalik ke belakang tanpa kaca sepion. Alhasil
tubuhnya hampir menabrak sesuatu di belakangnya.

"ASTAGFIRULLAH." Teriak Elena.

Laras yang berdiri di belakang Elena karna kaget dengan teriakan putrinya,
langsung berkacak pinggang dan siap murka. Tidak sadar jika, masker
wajah berwarna puting Laras membuat mata Elena semakin melotot karna
takut.

Tidak sadar jika itu mamanya, Elena langsung ngacir dengan wajah panik
dan takut.
Mengabaikan panggilan orang yang dikira setan, Elena terus lari sekuat
tenaga yang dia bisa menuju kamar. Setelah sampai kamar, Elena langsung
menutup pintu dengan kuat, hingga membuat seseorang yang sedang tidur
nyenyak di kamarnya langsung tersentak kaget.

Dipta hampir ingin berteriak kesal saat tau siapa lagi yang mengusik tidur
nyenyaknya. Tapi, melihat istrinya memegang gagang pintu dengan nafas
memburu, membuat kerutan di dahi Dipta kian membanyak.

"Len, kenapa?" Tanyanya sambil menggeliat, beranjak bangun.

Elena menoleh, melupakan tujuan utama ingin menghindar dari suaminya.


Elena malah melangkah mendekat dan kembali ke tempat tidur. Duduk di
atas ranjang dengan kaki ditekuk di bawah, di duduki menghadap
suaminya.

"Gue ngeliat setan tadi." Ceritanya masih dengan sisa-sisa nafas ngos-
ngosan sambil menumpuk kedua tangannya di dadanya.

"Setan?" Ulang Dipta tak percaya.

Elena mengangguk. "Iya setan." Serunya gemas.

"Di mana?"

"Di dapur. Sumpah ya, gue gak bakal bangun jam segini lagi, kalau ujung-
ujungnya bakal bikin spot jantung."

"Kamu yakin itu setan?" Tanya Dipta lagi dengan nada malas.

Mengangguk patuh dengan wajah polos, Elena merubah letak duduknya


menjadi bersila.

"Yakin seratus persen. Sumpah serem banget."

Mengabaikan jawaban istrinya, Dipta beranjak turun dari atas kasur, buat
Elena yang duduk dari Dipta langsung berteriakan heboh.

"Mau ke mana?" Teriaknya reflek memegang ujung baju tidur suaminya.


"Ke toilet." Jawab Dipta malas.

"Gue ikut ya?" Serunya spontan.

Kedua mata Dipta terbelalak. "Kamu gila?" Serunya kaget.

"Please. Gue iseng di sini."

"Ya tuhan Elena, gak akan ada setan jam segini." Ucap Dipta kesal.

"Sumpah, tadi gue ngeliat setan. Gak percaya banget sih lo sama gue.
Mukanya serem banget tau." Terangmya sambil menggoyang-goyangkan
baju tidur Dipta.

Dipta mengendus kuat, melepaskan pegangan tangan Elena dibajunya. Dia


pun tetap beranjak turun membuat Elena mengikutinya turun dari ranjang.
Seperti anak unggas mengikuti induknya, Elena mengekor Dipta di
belakangnya.

Memegang gagang pintu toilet. Dipta menoleh "Kamu sengaja ngikuti saya,
biar bisa lihat saya mandi di kamar mandi kan?" Tuduh Dipta cuek.

Elena langsung melotot mendengar ucapan suaminya. "Lo gila." Teriaknya


tanpa sadar.

"Terus apa namanya sekarang, kalau kamu terus mengikuti saya sampai ke
kamar mandi?" Ucapnya santai sambil berbalik menghadap ke arah istrinya.

Mendengar nada santai suaminya yang buat emosi. Elen mendengus kesal.
"Najis. Otak lo isinya apasih?" Ucapnya sedikit berteriak karna kesal.

Mengabaikan wajah heran suaminya, Elena langsung berbalik ke arah


ranjang sambil menendang-nendangkan kakinya keudara karna kesal.

Dipta hanya menggeleng, berbalik masuk kekamar mandi meneruskan


tujuan awalnya alih-alih marah dengan ucapan istrinya.

Sumpah tu papan seluncur mulutnya pedes banget sih kayak sop janda.
rutuk Elena di dalam hati.
****

Elena makan dengan wajah ditekuk, masih kesal dengan ucapan suaminya.
Bahkan Elena mengabaikan wajah kepo Laras yang sedari tadi bertanya
'Kenapa?' Dengan menaik turunkan kedua alisnya. Jelas sekali niatnya
menggoda Elena.

Sedang sang pelaku yang membuat mood Elena hancur pagi ini, malah
makan dengan tenang, tanpa tersinggung sedikit pun dengan wajah masam
istrinya dan kekepoan mertuanya.

Merasa dongkol karna sang suami tidak peka. Dengan tega Elena
memotong tempe dengan sadis tanpa perasaan dipiringnya.

"Itu tempe ngenes banget sih jadi pelapiasan." Seru Laras menahan senyum
melihat Elena melampiaskan kekesalannya melalu tempe sedang matanya
tertuju kepada Dipta.

Apa Dipta gak kasih jatah pagi ini sampai buat Elena kesal. Asumsi Laras.

Elena hanya menanggapi Laras dengan lirikan malas, moodnya sedang


tidak baik pagi ini. Apa lagi untuk meladeni ledekan mamanya.

Sedang Dipta tetap cuek dan makan dengan tenang tanpa terganggu dengan
ucapan mertua atau tingkah aneh istrinya. Sepertinya, Dipta mulai terbiasa
dengan keajaiban tingkah istrinya. Buktinya baru dua hari menikah, Dipta
tetap tenang dan kalem dengan kelakuan Elena. Tidak ada tanda-tanda risih,
terusik, bahkan kaget karna sifat Elena itu sedikit menyebalkan dan aneh.

Sedikit banyak membuat Laras bernafas lega, karna tau menantunya tidak
masalah dengan tingkah ajaib anak perempuanya. Coba kalau Dipta jengah
atau bahkan kesal dengan tingkah ajaib Elena, bisa dijamin Laras juga rugi.
Rugi karna pasti gak akan ada lagi yg mau sama anak perempuanya. Yg
model cuek, kalem tapi dingin aja, gak kuat apa lagi yang biasa-biasa saja,
bisa berakhir menjanda Elena.

Mit amit Seru Laras.


"Nak Dipta libur sampai kapan?" Tanya Laras dengan senyuman lebar.

"Sampai besok ma." Jawab Dipta.

"Kalau Elena cuman tinggal hari ini, besok udah mulai kerja." Jelas Elena
tanpa ditanya.

"Gak ada yang nanya." Ucap Laras kalem tapi terasa sadis untuk Elena
sampai membuat bibir Herman berkedut menahan senyum melihat wajah
kesal putrinya dan jawaban kalem istrinya.

Pagi-pagi udah dapat hiburan. Batinya.

Elena yang mendapat jawaban tak enak dari mamanya hanya


mengerucurkan bibir.

Kesellllll.

"Jadi hari ini rencananya langsung pulang?" Tanya Laras.

Dipta mengalihkan pandanganya dari piring ke arah mertuanya bersamaan


dengan Elena yang menunduk malas.

"Dipta berencana mengajak Elena ke rumah mama Isa ma." Jelas Dipta
yang langsung mendapat tatapan mematikan dari Elena.

"Kenapa, kamu gak suka diajak suami ke rumah mertua?" Jutek. Bukan
Dipta yang bertanya melainkan Laras yang dengan juteknya bertanya pada
Elena saat melihat wajah kesal putrinya.

Merasa tidak mendapat respon dari anak perempuanya. " Elena." Tegur
Laras.

"Gak mama." Jawab Elena sekananya.

Kenapa sih hari ini perasaan semua orang ngeselin. Bikin gue bad mood
aja, mana papan seluncur mau ngajak ke mertua gak ngomong-ngomong
lagi. Kan gue belum ada persiapan. Kalau gue salah langkah terus bikin
malu gimana,? Bisa runtuh gelar image menantu baik gue nanti.
"Inget gak usah aneh-aneh Len." Tegur Laras memperingati.

"Iss. Elena mah dari dulu gak pernah aneh-aneh ma, kalau aneh-aneh udah
punya cucu mama dari dulu." Ucapnya enteng.

"Nah kalau gitu sekarang mama tarik deh kata-kata mama. Mumpung udah
punya suami, Elena gak papa mau aneh-aneh sama suami." Bisik Laras.

Yang langsung membuat Dipta tesedak dan batuk-batuk kecil, Elena reflek
langsung mengulurkan air minum dan langsung tandas sekali teguk oleh
suaminya.

Elena memandang suaminya aneh dengan wajah memerah. Sedang mama,


dan papanya malah menahan senyum geli.

Apa yang salah sih sama ucapan mamanya?

****
Perkara pisang

Duduk berdua di dalam mobil dengan Dipta membuat Elena nampak kikuk.
Apa lagi mengingat kejadian pagi tadi seperti membuat urat malunya benar-
benar putus. Bagaimana mungkin Elena bisa bersikap memalukan seperti
itu.

"Apa mama Isa tau kalau hari ini kita akan berkunjung?" Tanya Elena
memecahkan keheningan di mobil. Bibirnya benar-benar terasa gatal karna
tidak ada obrolan yg keluar sedari tadi. Suami nya ini benar-benar, gak bisa
apa dia sebagai laki-laki peka sedikit. Diajak ngobrol kek, becanda kek.
Bukan malah diam-diaman kayak orang marahan.

"Hm." Gumma Dipta cuek.

Apa bibirnya sariawan sampe bilang iya aja susah? Lama-lama gue
karungi juga ni orang. Batin Elena kesal.

"Apa ini masih jauh?"

Dipta melirik Elena sebentar. "Lumayan."

Elena mendengus pelan. Jawaban suaminya benar-benar menguji


kesabaranya.

"Kenapa?" Dipta bertanya saat mobil berhenti dilampu merah.

"Lo lagi sariawan?" Tanya Elena gemas.

"Apa itu pertanyaan yang perlu saya jawab?"

"TER-SE-RAH." Elena menjawab dengan menekan setiap kata.


Duduk menghadap ke arah Dipta. " Kenapa diam?" Tanya Elena.

"Bukannya tadi kamu bilang terserah, mau saya jawab apa?"

Akhirnya Elena hanya mendesah panjang.

*****

Rumah dengan pagar hitam tinggi di depan Elena benar-benar seperti


istana, bukan hanya itu pancuran besar di depan rumah saja sudah membuat
dia menggelengkan kepala tak hapis pikir. Berapa banyak uang yang habis
digunakan untuk membangun rumah sebesar ini?

Elena menggaruk pipinya yg tidak gatal saat melihat mertuanya nampak


heboh dengan ke datangan mereka.

Perasaan kemarin mertua gue kalem, kemana pergi sikap kalemnya. Heran
Elena.

Sepertinya sekarang dia tahu mirip siapa sifat bar-bar Hanum. Dari mama
Isa, mama mertua Elena.

Waktu pertama kali dia turun dari mobil Dipta, Elena sudah dikejutkan
dengan teriakan heboh mama mertuanya dari teras. Sangking hebohnya
sampai membuat Dipta berdecak kesal pada mamanya.

"Ya ampun ... Ya ampun. Menantu mama, sini-sini sayang kita masuk."
Ajak Isa masuk ke dalam rumah. Setelah memeluk Elena lebih dulu dan
menciumnya. Sebagai sambutan selamat datang. Bahkan mengabaikan
tangan Dipta yang menggantung ingin mencium tanganya.

Elena yang diajak Isa masuk langsung melongo melihat ruang tamu super
besar milik mertuanya. Dengan nuansa putih dan golf dengan ubin coklat
bermotif ruang tamu ini terlihat sangat luas dan mewah. Dilengkapi sofa
putih panjang menyerong yang mewah dengan bantal sofa berwarna merah.
Meja untuk sofa dipilih berbentuk lingkaran yang bening berbahan kaca,
sangat sesuai dengan model sofa dan ruangan. Jika baru masuk akan
langsung disuguhkan foto besar keluarga yang langsung menghadap pintu
masuk.

Dan sebagai kombinasi indahnya ruangan banyak jendela-jendela kaca yang


menyuguhkan pemandangan luar ruangan.

Bener-bener tajir mertua gue. Pikir Elena takjub.

Isa terus menuntun Elena masuk lebih dalam, mengabikan tatapan takjub
menantunya yang baru pertama kali masuk ke dalam rumah super
mewahnya.

Elena hanya berkedip-kedip memperhatiakan rumah mewah mertuanya,


akhirnya Isa berhenti disebuah ruangan bernuansa putih bercampur
ke'emasan. Ruang keluarga di rumah ini. Hampir semua dinding berwarna
putih dengan sofa di tengah ruangan berwarna coklat tua, ada juga beberapa
kursi singel yang warnanya senada dengan sofa.

Di depan sofa, terdapat tv super besar dengan dinding belakangnya


berwarna emas bermotif, tidak lupa juga ada lemari panjang di sisi kiri
kanan tv dengan warna senada dengan sofa dan karpet mahal yang berada
di bawah sofa. Foto-foto kecil bejejer rapi di atas dinding dan ada pohon
bonsai besar di sisi pojok kiri ruangan.

Lampu hias besar juga menghiasi ruangan ini, benar-benar mewah dan
berkelas. Khas rumah konglomerat masa kini.

"Elena udah sarapan, sayang?" Tanya Isa basa-basi. Dia nampak begitu
semangat menyambut kedatangan menantu barunya.

Elena mengangguk sopan. "Udah ma."

"Gimana keluarga di rumah, sehat?" Tanya Isa basa-basi.

"Alhamdulillah sehat." Jawab Elena tak bisa menghilangkan nada gugup


sedikit pun. Takut-takut jika dia akan dicap menjadi menantu buruk jika
salah bicara.
"Woy, Elena,." Teriak Hanum dari arah dalam. "Adek ipar gue, akhirnya lo
datang juga." Sambung Hanum sambil berlari memeluk Elena setelah itu
duduk di sisi kiri adik iparnya sedang Isa di sisi kanan.

"Lo di sini juga mbak?" Tanya Elena heran.

Mendapat pertanyaan bodoh dari adik iparnya langsung membuat Hanum


tertawa lucu. "Ya iyalah, udah dari kemaren gue nginep di sini." Jawab
Hanum yg dibalas dengan anggukan kepala mengerti.

"Gimana Len, Dipta memperlakukan kamu dengan baik kan?" Tanya Isa
mengalihkan perhatian dua perempuan di depannya.

"Iya. Baik, ma."

"Kalau dia macem-macem sama kamu bilang mama, ya?" Ucap Isa kembali
membuat Elena kembali mengangguk setuju.

"Lo nginep di sini?" Tanya Hanum.

"Gue sih terserah ama Dipta mbak."

"Cie yang udah nikah, romanya pasrah-pasrah aja nih. Tapi menurut gue ya,
Len, lo jangan pasrah-pasrah aja ma laki lo, kan entar gak ada tantanganya."
Ucap Hanum jail.

Elena langsung mengalihkan pandangannya ke arah Isa mama mertuanya.


Terlalu malas meladeni kakak iparnya yang sedikit kurang waras.

"Mama udah sarapan?" Tanya Elena tanpa menjawab Hanum.

"Kampret gue dikacangin." Gerutu Hanum kesal.

"Udah, mama tadi lagi bikin kue. Kamu juga hobi buat kue kata Hanum."

"Sedikit, ma. Mama buat kue apa?"

"Banana Bun."
"WAHHH." Teriak Elena tanpa sadar. Begitu sadar dia langsung
mengatupkan bibirnya. Membuat Isa maupun Hanum tertawa geli.

Elena memang menyukai pisang. Apa lagi semua makanan yang pisang
salah satu bahan dasarnya membuat dia sangat menggilainya.

"Mama buatkan spesial buat kamu, kata Hanum kamu suka pisang
soalnya." Jelas Isa.

"Iya ma suka banget." Jawab Elena semangat dengan mata berbinar


bahagia.

"Ayuk kita ke dapur." Ajak Isa. Setelah tertawa renyah melihat respon
menantunya.

Hanum hanya mengekor di belakang, mengikuti ke mana Isa membawa


Elena.

Kalau Dipta jangan tanya, suami Elena itu langsung pergi begitu Elena
bersama mamanya. Paling juga semedi di dalam kamar, apa lagi kalau
sudah masuk kamar, bisa-bisa besok pagi dia baru keluar.

"Enak gak, Len?" Tanya Hanum begitu Elena duduk dan menyantap
Banana bun buatan mama mertuanya.

Dengan mulut penuh Elena mengacungkan dua jempolnya sekaligus.

"Enakan mana sama punya Dipta?" Tanya Hanum dengan mengedipkan


sebelah matanya.

Yang langsung membuat Elena tersedak, dan batuk-batuk. Tawa Hanum


pecah melihat Elena berusaha meredakan batuknya sampai wajahnya
memerah.

Melihat Hanum yang berhasil menjaili menantunya, Isa langsung


mengomeli Hanum dengan mata melotot galak. Mendapat omelan dari Isa
mamanya Hanum langsung diam, dan melihat Isa yang terlihat memberi air
pada menantunya dan menepuk-nepuk pelan pundak Elena. Dan melihat
Elena tidak berhenti batuk membuat Hanum sedikit merasa bersalah.
Mbak Hanum kamprettt. Gara-gara dia gue keselek pisang. Batinnya kesal.
Pasrah

Elena makan dengan lahap kali ini. Di rumah mertuanya benar- benar
mewah, menunya saja ala-ala restoran berkelas. Tidak mempedulikan
tatapan mengejek Hanum kakak iparnya, Elena tetap makan dengan tenang
meski sedikit merasa aneh dengan perlakuan mertuanya yang benar-benar
memperlakukannya dengan baik. Dia bahkan dilayani seperti seorang putri.

Sedang Dipta sedari dia sampai di rumah ini pagi menjelang siang tadi,
tidak pernah mengeluar suaranya. Dia bahkan sampai heran kok betah sih ni
cowok diam aja, gak gatel gitu mulutnya diam aja gak ngomong? Apa
jangan-jangan lagi puasa ngomong. Bukan cuman diam bahkan Dipta juga
melewatkan jam makan siangnya.

Saat Elena masuk ke dalam kamarnya dan mengajak makan siang bersama.
Elena malah dicuekin dan dianggap radio rusak yang ngoceh tanpa
mendapat tanggapan. Akhirnya karna kesal, dia pun keluar kamar dan
kembali bergabung dengan Hanum dan Isa yang makan tanpa Dipta.

Baru di situ mama Isa cerita kalau Dipta memang agak susah makan. Apa
lagi kalau sudah bekerja dia bisa betah, kadang sampai dua hari tidak
makan.

Gila tu cowok betah amat dua hari gak makan, apa diperutnya ada stok
makanan? Lah kayak unta dong. Gue aja pagi gak sarapan siangnya udah
kayak cacing kepanasan karna kelaperan, lah ini dua hari bisa mati
kelaparan gue.

Bahkan dulu Hanum pernah menemukan Dipta di apartement tidak


sadarkan diri karna dehidrasi dan gastritis kronis, atau sering disebut juga
mag kronis. Untung dokter mengatakan Dipta cepat dilarikan ke rumah
sakit, jadi tidak berakibat fatal.
Selesai makan Elena berencana masuk ke kamar badanya berasa capek dan
pegal-pegal. Entah karna sudah lama tidak bekerja, jadi badanya tidak
dibuat gerak atau memang lelah karna seharian di dapur membantu mama
mertuanya.

Elena masuk ke kamar. Dipandanginya lekat-lekat kamar suaminya ini. Dia


baru sadar di kamar ini suasananya begitu dingin dan menyeramkan.

Cat dinding yang berwarna hitam dipadupadankan dengan warna abu-abu


dan coklat. Ada kamar tidur di tengah-tengah kamar dengan ukuran king
size dengan hiasan cahaya diatas kepala ranjang membuat kamar ini elegant
tapi modern. Bahkan di bawah ranjang ada karpet bulu berwarna senada
dengan sperai yaitu abu-abu. Belum lagi terai putih yang menjulang tinggi
di sisi kanan ruangan tempat tidur benar-benar membuat aura kaku ruangan
ini menguar. Cahaya tamaran redup membuat kamar Dipta ini terlihat horor
untuk Elena.

Gue sebenernya nikah sama cowok yang gimana sih, masa kamar aja udah
kayak kuburan baru. Udah serem lampunya remang-remang lagi mana bisa
tidur gue kalau begini. Isss kalau tau model begini kamarnya mending gue
tidur di kamar tamu. Atau sama mama Isa.

Elena memang sempat masuk tadi, tapi tidak sempat memperhatikan kamar
Dipta lebih detail.

Elena memutar tumit kaki dan hendak keluar kamar. Tapi sebelum keluar
kamar dia dikejutkan dengan Dipta yang baru keluar dari kamar mandi
hanya dengan menggunakan handuk sebatas pinggang. Dada bidang dan
roti sobek sudah terpampang jelas di depan mata. Bahkan rambut basahnya
membuat pria itu nampak berkali-kali lipat terlihat seksi. Membuat Elena
tanpa sadar menelan ludah gugup.

Menelan ludah gugup, kaki Elena terasa kaku hanya untuk sekedar
melangkah. Matanya terus melotot menikmati pemandangan menggiurkan
di depan mata. Dengan santainya Dipta terus berjalan masuk lebih dalam ke
dalam kamar. Semakin membuat Elena dengan jelas lihat bentuk tubuh
Dipta
Sumpah itu badan kenapa ngalahin oppa-oppa korea sih. Jadi pengenn
pegang gue, boleh gak? Peluk deh kalau gak boleh pegang..

"Menikmati pemandangan eh?" Ucap Dipta dingin.

Ucapan dingin Dipta membuat Elena tersadar dan segera mengalihkan


pandangannya ke sembarang arah. Asal bukan tubuh suaminya.

"Siapa juga yang liatin badan lo. PD banget sih." Jawab Elena kelewat
ketus.

Berdiri jarak dua meter dari istrinya, Dipta mengangkat sebelah alisnya.
"Saya tidak bilang kalau kamu liat badan saya." Jawabnya cuek.

"Yang barusan lo bilang itu apa kalau gak nuduh gue gitu, intinya sama aja,
kan?"

"Jadi kamu tersinggung dengan kata-kata saya? Dan merasa dituduh?"


Tanya Dipta dengan melangkah mendekat ke arah Elena.

Tau jika Dipta berjalan mendekat ke arahnya, Elena langsung kelabakan


dan berjalan mundur.

"Kenapa? Kamu takut?" Tanya Dipta dengan nada mengejek.

"Siapa yang takut?" Tantang Elena sambil mengangkat dagunya tinggi-


tinggi. Menantang laki-laki yang terus mendekat dengan senyuman tipis
tapi mematikan bagi kinerja jantung Elena.

Jantung sialan. Bisa gak sih lo diam? Jangan buat gue tambah nerves.

Elena jelas mencium aroma sabun Dipta yang memabukan setelah pria itu
ada pas di depan matanya.

Tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Elena tidak bisa melihat itu. "Jadi
kamu tidak takut?" Tanyanya berbisik sambil mengangkat sebelah tanganya
untuk mengelus sebelah kanan pipi Elena.
Elena yang merasakan sentuhan tangan Dipta untuk pertama kalinya hanya
bisa diam kaku sambil pelan-pelan memejamkan matanya. Tangannya
bahkan sudah terkepal kuat di sisi kiri kanan tubuhnya. Bukan cuman itu
jantungnya bahkan sudah hampir keluar karna berdetak dengan cepat dan
gila.

Gue gak boleh lemah. Cuman gara-gara begini.. inget dia cuman
mempermainkan lo, Len. Bisikan hati yang meyakinkan diri Elena.

"Buka mata kamu!" Ucap Dipta dengan suara serak.

Elena membuka matanya, berkedip-kedip pelan, hingga matanya bertemu


dengan mata pekat Dipta. Dia bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata
pria itu. Begitu pekat, begitu memabukkan. Ini pertama kalinya dia
berdekatan dengan pria sedekat ini. Tapi Elena juga tidak berbohong jika
dia juga suka dengan jarak mereka sedekat ini.

Mengabaikan suara hatinya Elena hanya diam kaku tanpa melawan.


Bukankah dia sudah melupakan kejadian semalam yang membuatnya malu
karna menutup mata dan mengulanginya tadi.

Pelan-pelan Dipta memiringkan wajahnya dan mendekat ke arah wajah


Elena.

Elena yang merasakan nafas Dipta yang menerpa wajahnya semakin dekat.
Tanpa sadar menahan nafas. Bibir lembut Dipta menempel di bibir tipis
Elena, hanya menempel dengan tangan Dipta yang masih di pipi kanan
Elena.

Tubuh Elena semakin kaku dengan bibir Dipta yang menempel semakin
dalam di bibirnya. Bahkan otaknya sampai blank karna tidak bisa berfikir
lagi. Jantungnya juga mungkin sudah keluar karna Elena tidak merasakan
detaknya lagi.

Dia hampir terjatuh ke lantai kalau Dipta tidak menariknya mendekat.


Memeluknya erat, tangan kanan Dipta bahkan sudah berpindah ke belakang
kepala Elena, menekannya semakin dekat dan dalampadanya.
Tubuh Elena yang berada dipelukan Dipta terasa tak bertulang lagi karna
sensasi yang baru pertama kali dia rasakan. Tangan Elena bahkan sudah
melingkar indah dipinggang Dipta.

Semua jam, waktu seakan berhenti berdetak. Begitu pun jantung mereka
yang seakan lupa untuk berdetak.
Obralan di malam hari

Elena menggeliat dalam tidurnya. Badanya terasa sakit seperti ditimpa


beban yang berat. Bahkan menggerakan badanya saja terasa sangat sulit.

Membuka mata yabg masih terasa lengket. Akhirnya dia bisa membuka
matanya dan menyesuaikan cahaya di kamarnya. Melirik ke arah perut,
Elena menahan nafas ketika tau tangan kokoh Dipta lah yang berada di
sana. Suaminya ini pagi-pagi sudah buat spot jantung saja.

Pelan-pelan Elena memindahkan tangan Dipta dari perutnya. Tapi setiap dia
berusaha memindahkan tangan Dipta, pria itu selalu menggeliat tidak
nyaman. Karna posisi tidurnya yang telungkup dan wajahnya menghadap
Elena sedikit sulit memindahkan tangan besar Dipta.

Tangan berotot itu sangat berat dan kaku seperti expresi wajahnya. Sambil
mengangkat tangan Dipta, Elena menggeser tubuh langsingnya ke samping.
Cuman itu satu-satunya cara agar Dipta tidak terusik sama sekali.

Elena baru bisa bernafas lega ketika dia bisa menyingkir dari pelukan ah-
ralat dekapan tangan besar Dipta. Melirik jam di atas meja nakas, mata
Elena melotot begitu tau jam menunjuk kan pukul 9 pagi.

Sial. Gue telat lagi.

Pelan-pelan Elena melangkah ke kamar mandi, sebisa mungkin tidak


menimbulkan suara. Takut-takut Dipta akan terbangun jika dia
menimbulkan kehebohan.

Selesai mandi, Elena bersiap-siap akan ke caffe. Untung semlam dia sempat
membawa ganti untuk berjaga-jaga kalau mereka harus menginap. Jadi
tidak perlu repot untuk masalah ganti, karna dia itu tipe perempuan yang
tidak mau ribet soal pakaian. Misalnya saja sekarang dengan kemeja satin
panjang berwarna biru dongker dengan kerah v dan sedikit hiasan ditengah
kemeja tidak lupa juga blejer hitam senada dengan celana bahan panjang
sudah membuat Elena nampak rapi dan cantik.

Melirik Dipta yang masih asik bergulung dibalik selimut tebalnya. Sedikit
mengusik perasaan Elena.

Gue bangunin jangan ya? Pikir Elena.

Semalam.

Dipta terus menekan belakang kepala Elena, memperdalam ciuman mereka.


Sedang Elena hanya diam pasrah karna badanya terasa seperti jelly tak
bertulang.

Mungkin jika Dipta tidak menahan berat tubuhnya, sudah dipastikan jika
dia akan jatuh luruh ke lantai. Ini adalah ciuman kali pertama untuk Elena,
tidak ada ciuman panas seperti di tv-tv hanya ciuman biasa tapi terasa
memabukan untuk Elena.

Menarik kepalanya menjauh, nafas memburu Dipta menerpa wajah Elena.


Istrinya itu bahkan hampir kehabisan nafas karna begitu lama mereka
berciuman.

Masih dengan memeluk Elena. "Kita perlu bicara." Bisik Dipta disela-sela
nafas memburunya.

"Y--A." .

Melepaskan Elena dari pelukanya. "Bisa lepaskan tangan kamu dari


pinggang ku? Aku ingin berganti baju."

"Oh--O Ma---af. Maaf.." Ucap Elena gugup sambil melepaskan tangannya


dari pinggang Dipta.

Dasar tangan gak punya akhlak...


Selesai berganti baju Dipta melirik Elena yang berbaring di atas ranjang.
Terlihat tidak nyaman karna sedari tadi terus bergerak.

Elena merasa diperhatikan menoleh ke arah Dipta yang berjalan ke arah


sisi ranjang. Dengan kaos abu-abu panjang dan celana trening hitam
panjang.

Naik ke atas ranjang." Bisa kita bicara sekarang?" Tanyanya sambil duduk
bersandar di kepala ranjang.

Epana ikut duduk dan bersandar di kepala ranjang seperti Dipta. "Mau
bicara apa?"

Jangan bilang soal ciuman tadi, kan yang nyium gue dia. Awas aja kalau
samapi dia nyalahin gue. Dan bilang gue yang godain dia duluan. Gue gak
bakalan terima. Awas aja gue babat habis itu pisang, eh kok pisang sih?
Hubunganya apa coba. Isss Elena fokus.. fokus..

Menyentil kening Elena. "Jangan mikir yang bukan-bukan. " Tegurny cuek.

"Isss enak aja. Siapa juga yang mikir yang bukan-bukan." Elak Elena
sambil mengusap keningnya.

"Muka kamu itu sudah menjelaskan."

"Sok tau." Ketus Elena yang dijawab decakan oleh Dipta.

"Terserahlah."

"Jadi mau ngomongin apa?" Tanya Elena.

"Kamu tau pernikahan kita bukan main-mainkan?" Tanya Dipta dengan


menyilangkan kaki panjangnya dan melipat tanganya di depan dada.

Mendengar pertanyaan Dipta kepala Elena langsung menoleh cepat ke


arahnya.

"Maksudnya?"
"Saya tidak akan buat perjanjian pernikahan seperti yang aku jelaskan saat
di kantor. Jadi--" Menoleh ke arah Elena. "Di sini kita menjalani
pernikahan sungguhan seperti pasangan pada umumnya. Saya akan
bertanggung jawab sebagaimana janji saya sebagai suami, tapi saya ingin
kamu juga melakukan sama halnya seperti saya. Melakukan kewajiban
kamu sebagai istri."

Apa maksudnya kami juga bakal memproduksi bayi kayak pasangan lai?
Ck, Elena fokus.

"Hmm ok." Jawab Elena sambil mengangguk setuju.

"Saya tidak perlu menjelaskan apa saja tugas kamu kan?" Tanya Dipta
mengangkat sebelah alisnya tinggi.

Elena mengangguk.

"Ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Apa gue boleh ikut campur urusan pribadi lo?" Tanya Elena melirik takut-
takut Dipta.

"Bukankah saya sudah katankan jika kamu istri saya? Apa yang menurut
kamu tidak nyaman kamu bisa membicarakannya dengan saya." Jawab
Dipta yang membuat senyum di bibir Elena terbit.

"Dan."

"Dan?" Elena membeo.

"Saya risih kamu pakai lo-gue. Harus dibiasakan aku-kamu!!" Jelas Dipta.

"Lo aja pakek saya." Elak Elena tak mau kalah.

"Tadi kan saya udah pakek aku-kamu." .

"Kapan?"

"Waktu tadi kita selesai ciuman." Jawab Dipta terlampau cuek.


Elena langsung memutar kepalanya memandang Dipta.

Ni cowok santai banget sih ngomongnya. Gak tau apa omonganya itu bikin
gue malu.

Merasa tidak mendapat respon, Dipta menoleh ke arah Elena. "Kenpa?"

"Enggak." Ketus Elena berbalik, berniat tidur.

Lama-lama ketidak peka'an Dipta bikin jengkel juga.

Tubuh Elena langsung kaku saat merasakan tangan kekar melingkar di


perutnya. Saat Elena ingin berbalik.

"Sstttt. Udah tidur."

"Tapi tangan lo-"

"Kamu." Potong Dipta dingin. Terdengar tak ingin di bantah.

Elena langsung diam mendengar nada dingin dari Dipta, Suaminya ini
sudah susah senyum, ngomongnya kalau gak dingin, datar, cueknya minta
ampun. Elena bahkan sanksi jika Dipta bisa tertawa. Bisa-bisa gigi Dipta
rontok kali ya kalau tertawa?

Sekarang.

Membayangkan semalam membuat Elena tanpa sadar menyentuh bibirnya.


Gak usah gue bangunin deh, biarin aja tidur. Lagian masih malu gue gara-
gara semalam.

Akhirnya Elena memutuskan keluar kamar tanpa membangunkan tidur


nyenyak Dipta.

"Suittt Suitttt, Adek iper gue. Udah rapi aja." Goda Hanum yang sedang
duduk di ruang tengah.

Memutar bola mata malas. Elena menatap malas Hanum. "Teraserah lo deh
mbak. Mama Isa ke mana?" Tanya Elena.
"Udah pergi dari jam 7 tadi. Ada arisan." Jawab Hanum santai. "Lo mau ke
mana?" Sambung Hanum sambil memperhatikan penampilan Elena yang
sudah nampak rapi.

"Ke caffe lah mbak." Jawab Elena gemes.

"Lo kan masih ada cuti?"

"Gue masuk aja deh kasian Yuli kayaknya repot banget gue tinggal."

"Lo udah ngomong sama Dipta kalau lo tetap kerja?"

"Belum sih, tapi kayaknya dia gak masalah. Lagian dia gak masalah kok
denger gue masuk kerja hari ini." Jelas Elena panjang lebar sambil
melangkah keluar.

"Lo naik apa ke caffe? Dipta mana kok gak dianter dia?"

"Dia masih tidur."

"Serius? Demi apa?" Tanya Hanum tidak percaya.

"Ya serius lah. Lo kalau gak percaya liat aja sendiri."

"Lo buat adek gue gempor? Emang berapa ronde kalian main?" Tanya
Hanum takjub.

"Otak lo, isinya apa sih mbak? Kok jadi ngeres mulu bawaannya. Sini gue
bersihin, biar sedikit warah lo" Ketus Elena kesal.

Hanum langsung cengengesan tidak jelas. " Habis gue kaget aja gitu Len,
Dipta itu anaknya disiplin banget. Secapek apa pun dia, dia pasti bisa
bangun pagi walaupun itu hari libur. Karna dia itu anaknya juga susah tidur
sih. Mangkannya gue sempet heran pas tau jam segini dia belum bangun."
Jelas Hanum panjang lebar.

"Terserah lo deh mbak. Naik darah gue lama-lama ngobrol sama lo." Jawab
Elena ketus yang langsung mendapat cibiran dari Hanum.
"Ya udah gue jalan dulu ya."

"Eh Len tunggu gue anterin.," Teriak Hanum sambil berlari menyusul
Elena.
Malu setengah hidup

Tersenyumlah sebagai mana semestinya. Dan menangislah sewajarnya.


Jangan terlalu memaksakan sesuatu yang bisa saja menyulitkan mu.

***

Elena duduk santai dengan berkas-berkas di depannya. Menjadi manager


tidak selalu membuat dia bisa berleha-leha dan bersantai. Contohnya hari
ini, karna sudah hampir satu minggu mengambil cuti. Akhirnya tugas dia
menumpuk dan butuh perhatian penuh. Bahkan waktu sudah menunjukan
jam pulang pun, dia tidak ada tanda-tanda akan beranjak pulang.

Karna Elena menikah tidak memberi tahu satupun anak-anak caffe. Banyak
yang penasaran dengan cuti yang diambil Elena. Termaksud salah satunya
Yuli.

Dari pertama Elena menginjakan kaki di caffe Yuli sudah seperti wartawan
yang banyak pertanyaan, tingkat keponya bahkan sudah meraja lela.
Beruntung dia diselamat kan dengan kehadiran Hanum.

Karna tidak lama Hanum masuk menyusulnya, dan membuat Yuli langsung
melarikan diri karna takut kena omelan Hanum, bosnya. Bosnya itu kalau
lagi marah kayak singa betina yang kehilangan anaknya, nyeremin ples
nakutin.

Di jam istirahat juga Yuli selalu mencuri-curi kesempatan untuk mengorek


informasi padanya. Benar-benar tingkat penasaran anak itu sudah kronis
sepertinya. Bahkan Yuli tidak gentar dengan tatapan kesal Elena, yang ada
bocah itu malah terus bertanya ini, itu yang tambah membuat kepala Elena
serasa mau pecah mendengarnya.
Dengan perasaan dongkol setengah hidup, dia langsung mengomeli Yuli
dengan kata-kata pedasnya. Dan Elena bersyukur karna semua itu berhasil,
Yuli langsung ngacir lari dari ruangan Elena dan tidak kembali lagi.

"Woy. Sok sibuk banget sih lo." Teriak Hanum yang mengintip lewat selah
pintu yang dibuka sedikit, hanya kepalanya yang masuk sedang badanya
ada di luar.

Mendongak sebentar, Elena kembali menunduk memeriksa berkas-berkas


begitu tau Hanum yang bertanya. Sama sekali tidak ada niatan untuk
meladeni.

Gak bawahan, gak bos sama aja. Seneng banget gangguin hidup orang.

"Najisss. Gue dicakangin." Ucap Hanum sambil masuk lebih dalam


keruangan Elena.

"Berisil lo, mbak."

"Ck. Kalau bukan karna ancaman adek gue, ogah gue masuk keruangan lo.
Mana suruh nganter lo pulang." Dumel Hanum yang masih didengar Elena.

"Lo ngomong apa mbak?" Tanya Elena.

"Gak usah pura-pura gak denger deh lo, Len!"

"Ck, ya udah terserah."

"Buruan deh Len, lo siap-siap. Gue anter balik!" Ucap Hanum sambil
berjalan ke arah sofa, duduk dengan santai.

"Gue bisa balik naik taksi, lo balik duluan deh mbak. Masih banyak solanya
kerjaan gue." Tolak Elena tanpa mengalihkan perhatianya dari berkas-
berkas. Kerjaannya benar-benar banyak sekarang. Walau dia tingkahnya
ajaib dan kadang nyeleneh tapi dia adalah sosok yang bertanggung jawab
kalau masalah kerjaan. Hanum selalu puas dengan hasil kerjanya. Bukan
karna mereka akrab ya. Tapi karna bawaan Elena yang selalu bisa
diandalkan oleh Hanum.
"Emang lo udah tau alamat apartemant Dipta?" Tanya Hanum sanksi. Karna
adiknya tadi berpesan untuk mengantar Elena pulang, karna wanita itu
belum tau jalan arah apartemant. Bisa saja Hanum memberi alamat
apartemant Dipta tapi saat mendengar Dipta tidak setuju dan menyuruh
Hanum yang mengantarnya membuat ide jail Hanum langsung keluar.

Eh iya ya gue sampe lupa. Mana gue gak punya nomor hpnya Dipta lagi,
mau pulang ke mana coba gue? Kalau ke rumah mama Laras udah jelas
bakal dapat sidang panjang lebar gue. Belum omelan yang bikin pengeng
kuping. Kalau ke mama Isa lebih gak mungkin bisa mikir yang aneh-aneh
dia. Batin Elena sambil menepuk kening dengan sebelah tangan.

"Oh iya ya gue lupa, mbak. Ya udah deh gue beres-beres dulu."

"GAK PAKEK LA-MA." Ucap Hanum menekan setiap kata.

"Bawel lo mbak."

Membereskan semua berkas-berkas di atas meja. Elena langsung bersiap-


siap untuk pulang.

***

Jam tujuh malam Elena baru sampai di depan apartemant Dipta, Hanum
tidak bisa mengantar sampai dalam karna ada janji makan malam dengan
suaminya.

Walau sudah diberi tau oleh Hanum apartement Dipta berada di lantai
berapa dan Unit berapa. Tidak membuat Elena langsung tenang, karna ini
kedua kalinya dia masuk ke gedung ini. Bagamana jika sekuriti atau
penjaga apartemant bertanya aneh-aneh padanya? Maklum ini adalah
apatemant kelas atas jadi bukan sembarang orang bisa keluar masuk.

Saat baru sampai di lobi, senyum Elena langsung mengembang saat


matanya menangkap sosok Dipta yang berdiri di lobi.

Apa Dipta nunggu gue?


Melangkah dengan langkah lebar, senyum Elena tidak luntur sedikit pun.
Saat mendapati suaminya juga sedang menatap ke arahnya.

"Hai." Sapa Elena ringan setelah sampai di depan Dipta.

Dipta langsung melengos begitu Elena berdiri di depannya. Bahkan tidak


membalas sapaan Elena sama sekali.

Elena melongo melihat Dipta yang pergi tanpa membalas sapaannya.

Kampret gue dicueki. Ini orang gak ada manis-manisnya sih. Senyum dikit
kek buat balas sapaan gue.

Menggelengkan kepala dramatis, Elena mengikuti Dipta dari belakang.


Tidak ada obrolan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Bahkan
sampai lift pun Dipta masih bungkam, tanpa mau repot-repot membuka
mulut untuk mengajak Elena mengobrol.

Elena yangg masih sedikit dongkol karna sapaannya dicuekin memilih


diam.

Malas banget gue ngajak ngobrol papan seluncur, bukan ditanggepi yang
ada gue dikira radio rusak lagi ngoceh gak jelas.

Keluar lift Elena langsung jalan lebih dulu dari Dipta. Bahkan langkahnya
dibuat selebar mungkin agar pria itu tidak bisa mengejarnya.

Bodo amat bakal gue bales lo. Dulu pernah ninggalin gue.

"Len." Panggil Dipta yang sama sekali tidak Elena gubris atau jawab, boro-
boro jawab ngeliat aja Elena udah malas.

"Elena?" Ulang Dipta lebih kuat.

Panggil aja deh terus sampe mulut lo berbusa jangan harap gue bakal
berbalik dan nunggu lo. Mimpi. Teriak Elena dalam hati sambil menahan
senyum.

"Elena?" Panggil Dipta lebih lembut.


Elena hampir jatuh tersandung kakinya saat mendengar Dipta
memanggilnya lebih lembut. Itu tadi yang manggil gue Dipta bukan sih?
Menetralkan raut wajah sebisa mungkin Elena menahan senyum di
bibirnya. Merasa menang karna berhasil balas dendam pada suaminya.
Berbalik menghadap Dipta.

"Apa?" Tanya Elena terdengar galak.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Dipta. Dengan sebelah alis terangkat tinggi.

Mengerutkan alis bingung. Jawaban Dipta lewat telunjuk langsung


membuat Elena malu setengah mati.

"Apartemant kita di sini." Ucap Dipta memperjelas.

Ember, mana ember? Please gue butuh ember sekarang. Muka gue butuh
ember sekarang. Mama Elena maluuuuuu. Gue butuh ember buat nutupin
muka gue.

Sangking malunya rasa-rasanya Elena ingin guling-guling. Nasib punya IQ


jongkok ini susah banget mengingat sesuatu.

Tidak menunggu reaksi Elena lebih lama. Dipta langsung masuk lebih dulu
ke dalam apartement. Mengabaikan wajah merah istrinya dan pandangan
Elena yang siap menguliti Dipta detik ini juga.

Elena yang melihat suaminya meninggalkannya untuk kesekian kalinya


ditambah dengan perasaan malu setengah hidup cuman bisa kembang-
kempis menahan emosi. Semua amarah yang bergejolak seakan hilang
digantikan rasa malu yang luar biasa menggunung. Ditambah suaminya
terlihat tidak perduli sama sekali membuat Elena cuman bisa menghentak-
hentakan kakinya kesel.

Ada gak sih tempat buat tuker tambah suami, gue mau tuker kalau ada?

👇
Gimana babnya? Ringan banget gak sih? Boleh kan tinggalkan
jejaknya di sini
Judulnya tentukan sendiri

Elena sedang sibuk memasak di dapur apartementnya. Untung isi kulkas di


apartement Dipta sangat lengkap hingga dia tidak perlu pusing untuk
masalah memasak menu makan malam mereka malam ini.

Sambil memutar lagu lewat ponselnya, Elena tampak asik sambil sesekali
bersenandung ketika tau lirik lagu yang didengar. Sedang Dipta jangan
tanya suami papan seluncur Elena itu.

Dipta masuk ke dalam sebuah ruangan saat mereka pertama kali masuk
apartement tadi, dan belum keluar sampai sekarang. Dipta juga tidak
masalah, selain dia masih malu juga Elena butuh waktu untuk
mempersiapkan diri jika nanti bertemu Dipta.

Daaasar kau keong racunnnn

Baru kenal eh ngajak tidur

Ngomong gak sopan santun

Kau anggap aku ayam kampung..

Kau rayu diri ku

Kau goda diriku

Kau colek diriku

Hei kau tak tau malu

Tanpa basa basi kau aajak hapy hapyyy


Yuuhuuuuuuuiuu tarik manggggg

Lagu itulah yang keluar dari mukut Elena. Dia terus bernyanyi sambil
teriak-teriak heboh. Kalau di rumah gue pasti diomelin sama mama ini.
Nyanyi kayak begini, untung gue diapartement elite jadi mau teriak kayak
gimana pun pasti gak ada yang denger. Kedap suara ini pasti ruanganya.
Kiren terkikik geli membayangkan asumsi yang ada di dalam pemikiranya
sendiri.

Gak nyesel deh gue nikah sama papan seluncur model begitu. Kalau bisa
buat gue bebas dari omelan mama.

"Apa kamu tidak ada kerjaan lain selain teriak-teriak tidak jelas, Elena?"
Suara dingin Dipta mengagetkannya, yang sedang menyusun ayam goreng
dipiring. Untung reflek Elena sangat cepat hingga bisa menahan piring yang
hampir jatuh.

Astaga. Apa orang satu ini gak bisa liat hidup gue tenang sebentar aja.
Kenapa sih selalu bikin gue kaget. Untung jantung gue udah mulai terbiasa
sekarang, coba kalau gak bisa copot mendadak kan.

"Apa sih. Ganggu aja." Ketus Elena masih dalam mode ngambek.

Berjalan ke maja bar, dan meletakan sepiring ayam goreng di sana.


Bergabung dengan masakan yang lain. Tersenyum cerah, Elena memandang
bahagia hasil masakanya. Ada ayam goreng, tumis brokoli dengan hati juga
ada sambal tempe favoritnya.

Dipta mendengus keras mendengar jawaban istrinya. Istrinya itu benar-


benar hebat dalam menguji kesabarannya, belum genap seminggu mereka
menikah tapi lihat sudah berapa kali Istrinya ini bertingkah nyeleneh dan
menyebalkan. Membuat dia harus sering-sering menarik nafas untuk
bersabar.

"Ayo kita makan." Ajak Elena dengan suara ringan ketara sekali dia sedang
bahagia. Seolah melupakan kekesalannya.
Dipta menurut menarik kursi di samping istrinya dan duduk dengan
nyaman. Dia terus memperhatikan Elena yang terlihat luwes menyiapkan
makanan dipiringnya. Tidak sadar karna perbuatan sederhana istrinya itu,
sudut bibir Dipta terangkat tipis, sangat tipis malah.

Elena makan dengan tenang sesekali matanya melirik suaminya, Dipta.


Menerka-nerka apakah kira-kira dia menyukai masakanya atau tidak. Tapi
nyatanya expresi wajah Dipta tidak berubah sedikit pun. Masih tetap sama
datar, hanya saja bedanya makanya terlihat lebih santai dibandingkan di
rumah mama Isa kemarin, terlihat kaku yang kesanya dipaksakan.

"Gimana? Enak gak?" Tanya Elena setelah menggeser piringnya yang


sudah tandas habis, alias kosong.

"Hm." Gumam Dipta.

"Isss. Ditanya juga. Orang itu kalau nanya dihargai gitu loh, jangan cuman
ham hem ham hem doang." Omel Elena kesal.

"Selagi masih bisa dimakan dan makanannya habis kenapa harus


dipermasalahkan lagi sih?" Jawab Dipta malas-malasan. Terlalu malas
meladeni omongan ajaib istrinya.

Turun dari Kursi. "Ckk. Emang susah ya ngobrol sama papan seluncur,
bawaanya tensi mulu." Gerutu Elena.

Dipta tak berkomentar sedikitpun mendengar gerutu istrinya, hanya diam


memperhatikan Elena yang mulai sibuk dengan piring-piring kotor sambil
sesekali bersenandung. Tidak berniat sedikit pun untuk membantu.

Hampir sepuluh menit Dipta hanya diam, lama-lama dia berjalan kerah
Elena.

Elena yang mendengar suara kursi yang bergeser langsung menoleh


mencari sumbar suara. Nafasnya tercekat begitu melihat Dipta berjalan ke
arahnya dengan langkah lebar.
Menggeser tubuhnya ke samping hingga sampai pojok kitchen set dapur
ketika melihat Dipta terus berjalan ke arahnya.

Menutup mata ketika tangan Dipta telulur ke samping wajahnya.

Apa Dipta mau meluk gue, atau bahkan nyium gue? Di sini?

"Telinga saya sakit dengar suara berisik musik kamu." Ucap Dipta yang
langsung membuat Elena membuka mata.

Dilihatnya Dipta mengambil gadget Elena dan mengotak-atiknya tepat di


depannya. Menoleh ke arah Elena yang tampak diam seperti patung
membuat Dipta heran. " Kenapa?"

"Lo-kamu gak bisa apa ngomong gak usah buat aku takut." Ucap Elena.

"Kamu takut? Kenapa?" Tanya Dipta mengalihkan pandanganya dari gadget


ke arah istrinya sepenuhnya.

"Ya--." Elena terlihat berfikir mencari jawaban yg tidak akan membuatnya


malu.

Gak mungkin kan gue ngomong kalau cara jalanya kayak dia mau meluk
gue?

"Apa?" Tanya Dipta mencoba menunggu jawaban Elena.

"Lo keliatan serem tau kalau jalan sama expresi kayak gitu." Cerocos Elena.

Dipta menyentil kening Elena pelan.

"Apa sih, sakit tau." Ucap Elena sambil mengelus keningnya yang disentil
Dipta.

"Kalau kamu masih terus bilang lo-gue, aku bakal terus sentil kening
kamu." Jawab Dipta datar.

"Itu KDRT namanya."


"Kalau kamu gak mau disentil biasain pakek aku-kamu."

"Hissss. Ngeselin."

"Elena!"

"Iya-iya." Ucap Elena kesal sambil meneruskan mencuci piring yang


tertunda.

Selesai cuci piring Elena berencana untuk mandi karna sepulang dari kerja
tadi, dia belum membersihkan diri. Disebelah mana lagi kamarnya.

Elena celingak-celinguk mencari di mana keberadaan Dipta. Di mana lagi


papan seluncur itu.

Gue harus manggil dia gimana coba, masa mas? dikira mas-mas tukang
bakso kali, kalau abg? geli banget gue dengernya apa lagi dia. Apa sayang
aja kali ya, biar romantis....tis....tis..tis.

Senyum Elena mengembang begitu melihat Dipta keluar dari pintu coklat di
sampingnya.

"Kenapa?" Tanya Dipta begitu melihat Elena tersenyum memandangnya.

"Kamar nya di mana? Gu- aku mau mandi udah gerah." Jawab Elena sedikit
belepotan karna tidak biasa menggunakan kata aku.

Dipta berbalik ke arah pintu di belakangnya.

"Masuk."

"Ini kamar kita?" Tanya Elena begitu masuk.

Kamarnya tidak semenyeramkan kamar di rumah mama Isa. Karna di sini


dindingnya berwarna putih susu dengan gabungan warna biru dongker.

Ranjang king size berwarna putih berada di sebelah kiri dekat dinding kaca
besar yang membuat kita bisa melihat pemandangan indah dari kamar ini.
Tidak lupa ada empat lemari besaar berjejer rapi disebelah kanan. Kamar
besar ini nampak begitu tersusun rapi dan bersih, bahkan ada rak buku
super besar ditengah-tengah ruangan dengan sofa panjang berwarna biru
dongker di depannya. Terlihat sekali jika suaminya ini hobi membaca, karna
begitu banyak buku yg memenuhi rak besar itu.

Di samping tempat tidur terdapat dua meja nakas disisi kiri dan kanannya.
Tidak ada hiasan yang mencolok bahkan foto dinding pun tak ada di kamar
ini. Seharusnyakan foto pernikahan kami di pajang di sini.

"Semua baju kamu sudah di masukan ke dalam lemari itu." Ucap Dipta
menunjuk pada dua lemari besar di dekat pintu, sepertinya pintu kamar
mandi.

"Apa kita juga bisa menikmati pemandangan matahari terbit selain bulan
dan bintang di malam hari?" Tanya Elena mengabaikan ucapan suaminya.

"Hm, pergilah bukanya kamu tadi ingin membersihkan diri?" Ucap Dipta
sambil duduk di sofa panjang tadi dan terlihat sibuk dengan buku di
tanganya.

Mengabaikan ucapan Dipta, Elena tetap berdiri di tempatnya semula tanpa


bergeser seinci pun, karna dia sedang menikmati pemandangan yang super
indah saat ini.
Tetangga

Siang ini Elena dan Yuli nampak sibuk di caffe, mempersiapkan acaran
nanti malam. Karna malam ini caffe sedang dibooking untuk acara lamaran
salah satu pengunjung. Elena akan menjadi sangat sibuk dari hari biasanya.

"Len." Panggil Yuli pada Elena yang sibuk menyuruh anak buahnya
menyusun beberapa bunga.

"Apaan?"

"Gue baru engeh kalau lo pakek cincin dijari manis sebelah kanan?" Tanya
Yuli sambil memicing kan mata curiga.

Cincin. Cincin apaa? Pikir Elena.

"Oh ini, buat gaya-gayaan aja. Iya buat gaya-gayaan aja." Jawab Elena
setelah sadar cincin pernikahan yang dimaksud Yuli.

"Bohong. Lo kemarin ambil cuti jangan-jangan, nikah lagi." Tuduh Yuli.

Elena meringis saat mendengar tuduhan Yuli. "Apa, sih lo. Ngomongnya
sembarangan! Udah buruan itu lo kelarin nyusun bunganya, awas aja entar
siang belum kelar juga, gue potong gaji lo!!" Acam Elena.

Yuli menatap jengkel Elena. Atasanya ini ancamanya pasti gak jauh-jauh
dari potong gaji. Gak tau apa gaji Yuli itu seiprit, kalau harus dipotong lagi
gimana dia bisa nyambung hidup coba.

"Iya sih ya. Lo kan jomblo! Gak mungkin banget lo mendadak nikah,
kecuali kalau lo nikah sama jin baru gue percaya."
"Sekali lagi lo buka mulut, gue bakalan potong gaji lo." Ancam Elena
langsung saja membuat Yuli panik.

"Iya, iya. Ibuk Elena yang terhormat."

Elena berdecih pelan. "Ck. Malah ngeledek lagi lo."

"Woy Elena." Teriak Hanum sambil berjalan ke arah Elena, membuat


perhatian wanita itu teralihkan.

Elena mendelik. "Lo gak bisa ya mbak normal dikit, gak usah teriak-teriak
gak jelas." Serunya kesal.

"Gue ada kabar gembira buat lo." Ucap Hanum mengabaikan teguran Elena.

"Apa'an?" Tanyanya bernada malas.

"Cus. Kita keruangan gue sekarang." Ajak Hanum semangat.

"Mau ngomong apa sih mbak?" Tanya Elena begitu sampai di ruangan
Hanum.

"Entar deh kita nunggu orangnya dulu." Ucap Hanum ambigu.

"Orang ? Siapa?"

"Entar juga lo tau." Ucap Hanum sok misterius.

Tidak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.

"Masuk." Teriak Hanum setelah mendengar suara pintu diketuk.

"Nah itu dia, Sini Dik masuk." Suruh Hanum begitu melihat pria jangkung
yang tadi sempat mangetuk pintu ruangan Hanum.

"Nah kenalin Len, ini Andika Chef baru kita di sini. Dan Dik kenalin, ini
Elena manager di sini." Ucap Hanum memperkenalkan.
Elena yang masih agak bingung, hanya menerima saja uluran tangan pria
jangkung di depannya.

"Andika." Andika mengulurkan tangannya ke Elena.

"Elena." Balas Elena menerima uluran tangan Andika singkat.

"Nah jadi Andika ini Len bakal jadi Chef menu makanan korea di sini, lo
ingetkan bulan lalu gue pernah bahas ini?"

Elena mengangguk dengan binar bahagia. "Wah berarti kita jadi keluarin
menu itu mbak?" Tanyanya semangat dengan senyum cerah di wajahnya.

Andika menoleh mendengar nada semangat Elena. Dia yang melihat


senyum cerah Elena sampai tidak berkedip.

"Yap. Dan gue udah pikir mateng-mateng buat ide ini." Jawab Hanum. "Ok
lo bisa anter Andika kenalan sama anak-anak yang lain kan Len?" Tanya
Hanum, Elena langsung mengacungkan kedua jempolnya.

"Yuk Dik." Ajak Elena.

*****

Elena hari ini pulang sedikit larut karna harus menunggu acara selesai.
Berhubung dia tadi naik taksi tidak membawa mobil alhasil sekarang dia
harus menunggu ada taksi lewat.

Gak mungkin kan Elena minta jemput Dipta, bisa hujan badai kalau pria itu
mau menjemput Elena. Jalan aja suka ditinggal apa lagi minta jemput bisa
langsung kena talak kali dia. Elena meringis membayangkan isi pikiranya
sendiri.

"Hai."

Elena menoleh mendapati Andika berdiri di sampingnya. Dengan senyuman


menghiasi wajahnya. Elena membalas senyum ramah Andika.
Cuman senyum loh gak yang aneh-aneh. Dia bakal setia kok sama suami
papan seluncurnya. Bisa digorok dia sama mamanya berani berpaling dari
mantu kesayangan Laras.

"Mau pulang?" Basa-basi Andika.

Elena mengangguk singkat.

"Mau bareng?" Tawar Andika lagi.

Mendengar tawaran Andika, Elena langsung sedikit panik. Bisa gawat kalau
Andika mengantar dia pulang, bisa terbongkar dong rahasianya. Mana dia
belum siap kalau harus memperkenalkan statusnya pada anak buahnya. iya
kalau mereka menganggapnya positif kalau negatif gimana?

Lagian siapa sih yang gak mikir aneh-aneh kalau tiba-tiba nikah, mana gak
pernah denger kabar pacaran terus tiba-tiba nikah siapa yang gak syok
coba? Belum lagi Dipta sering datang ke caffe bersama MANTAN
tunanganya, bisa dikira pelakor dia.

"Oh gak usah deh, gue mau mampir kesuatu tempat dulu soalnya."

"Gue gak masalah kok kalau nganter, lagi free juga."

Entah perasaan Elena saja atau bukan. Sedari tadi Andika selalu tersenyum
lebar jika bicara dengannya.

"Oh. Thanks deh buat tawaranya." Tolak halus Elena.

Andika tersenyum dan menganggukan kepalanya mengerti.

"Oh, itu taksi gue, gue duluan ya. Bye." Pamit Elena sambil tersenyum tipis
ke arah Andika. Terlihat sekali jika wanita itu mencoba menghindarinya.

"Oh. Ok hati-hati." Andika balas tersenyum manis pada Elena. Dia bahkan
sampai melambaikan tangannya ke arah wanita itu.

"Menarik." Gumam Andika pada dirinya sendiri.


Elena beberapa kali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir
jam sepuluh malam, sedang dia tidak mengatakan pada Dipta jika dia akan
pulang larut seperti ini. Lagiankan dia tidak punya kontak hp pria itu.

Lalu bagaimana dia mau memberi kabar suaminya? Bisa saja sih Elena
minta pada mbak Hanum tapi alasan apa yang akan dia berikan pada kakak
iparnya itu? Mana mbak Hanum itu orangnya nyebelin, bisa seharian dia di
bully.

Elena sedikit berlari ketika sudah memasuki lobi apartemen, selain buru-
bruu dia juga ngeri. Ini juga sudah larut bagi Elena, walau tidak gelap tapi
sudah agak sepi. Tau sendirikan dia itu penakutnya minta ampun.

Denting pintu lift disusul dengan pintu yang terbuka membuat Elena buru-
buru masuk. Menekan tombol angka 18, Elena menunggu tidak sabaran.

"Elena."

Elena menoleh dan matanya melotot begitu tau siapa yang berada satu lift
dengannya. Bahkan dia hampir terkena serangan jantung ketika dia melihat
orang yang baru dia tolak tawaranya beberapa jam yang lalu ada di satu lift
yang sama dengan dia saat ini.

"Andika?"

"Hai. Lo tinggal di sini?"

Untuk pertama kalinya Elena menyesal telah tinggal di apartement elite ini.
Kenapa kemarin dia gak minta rumah saja dengan Dipta, seenggaknya dia
bakal memilih rumah yang mahal agar anak caffe gak ada yang mampu
beli, dengan begitu Elena akan aman dengan rahasianya. Apa dia terlalu
jahat berfikir begitu sekarang?

"Iya." Jawab Elena gagap.

"Di lantai berapa?" Andika masih meluncurkan aksi keponya, lengkap


dengan senyuman di bibirnya. Entah sudah sejak berapa kali Andika
bertemu Elena hari ini, dengan pria itu yang selalu tersenyum lebar.
Elena meradang dalam hati. "Delapan belas." Cicitnya pelan.

"Oh ya? Wow. Kebetulan yang tak terduga macam apa ini?" Seru Andika
terdengar sangat senang.

"Maksudnya?"

"Kayaknya kita tetangga, gue juga lantai 18."

Ya tuhan. Bumi bisa tolong telan gue sekarang juga?

Setelah mendengar ucapan Andika, Elena hanya bisa diam. Semua kosa
kata yang dia miliki seakan hilang entah ke mana. Dia layaknya patung
yang hanya bisa diam.

Sampai lift membawa mereka ke lantai atas pun, Elena hanya bisa diam.
Baru ketika pintu lift terbuka, secepat kilat dia berlari dengan bibir serseru
cepat.

"Gue duluan ya, bye." Serunya terdengar tergesa. Tidak membiarkan lawan
bicaranya untuk sekedar membalas atau bahkan bertanya. Elena sudah
ngacir. Berlari ke arah apartemantnya.

Elena masuk dalam apartement dengan sedikit tergesa. Membuat Dipta


yang duduk di sofa menoleh padanya. Hanya menoleh tanpa menegur atau
sekedar berbasa-basi.

Saat melewati Dipta. Pria itu hanya melirik Elena sekilas, setelah itu sibuk
kembali dengan gedget di tangannya. Elena juga tidak menyapa atau pun
berbasa-basi taku-takut jika sapaannya akan diabaikan seperti di lobi waktu
itu. Alhasil dia hanya melengos dan masuk ke kamar.

Setelah menutup pintu Elena mendengus kesal, melihat suaminya yang


terlihat biasa-biasa saja padahal dia pulang hampir larut membuat sisi
perasaan Elena tersentil. Apa yang dia harapkan dengan suami dinginnya
itu?

Berharap Dipta akan menunggunya di lobi lagi, atau lebih tidak


mungkinnya lagi menjemputnya dengan sedikit rasa khawatir?
Cih sepertinya Elena terlalu berlebihan jika mengharapkan seperti itu.

Elena keluar dari kamar setelah mandi dan berganti pakaian menjadi baju
tidur daster bergambar lumba-lumba. Dia melirik suminya yang masih
duduk di tempat semula dengan posisi yang masih sama bemain gedget di
tanganya.

Dia udah makan malam belum ya, bingung gue mau panggil apa? Aneh gak
sih kalau gue panggil mas, marah gak ya kira-kira dia gue panggil begitu.

Elena terlihat mondar-mandir keluar masuk kamar, lama-lama membuat


Dipta risih dengan tingkah istrinya.

"Kenapa?" Tanya Dipta pada akhirnya. Meski sedikit datar.

Elena menoleh. "Em- itu. Kamu udah makan malam?"

"Ck. Dari tadi kamu mondar-mandir hanya untuk bertanya seperti itu?"
Decak Dipta sambil bersandar di sofa dan melipat tangan di dada menatap
Elena.

"Mau aku buatkan makan malam?" Tawar Elena mengabaikan pertanyaan


dan tatapan suaminya.

"Aku tidak lapar, lebih baik kamu istirahat."

"Tapi-" Ucapan Elena terputus, dia bingung mau bicara apa. Ada perasaan
yang mengganjal saat menatap mata Dipta. Apa Dipta marah padanya karna
pulang malam?

Jelas saja bodoh, suami mana yang tidak marah pada istrinya yang pulang
larut. Dan itu artinya--

Elena tersenyum senang memikirkan, jika Dipta marah padanya berarti


suaminya pedulikan padanya 'kan? Bolehkah dia berfikir begitu.

Mengabaikan Elena, Dipta beranjak bangun, masuk ke kamar. Tak ingin


ditinggalkan sendirian, Elena langsung menyusul masuk saat melihat Dipta
tidak menutup pintu kamar mereka.
Di sana Dipta tidur memunggunginya. Masih dengan senyum mengembang,
Elena berbaring di samping suaminya. Menatap punggung Dipta, selama
beberapa hari menikah dengan pria itu. Suaminya itu jika tidur selalu
menghadap ke arahnya, kadang malah memeluk erat dirinya.

Jadi terasa aneh ketika Dipta memunggunginya seperti ini. Walau pria itu
dingin tapi sikap dia kadang buat Elena senyum-senyum sendiri. Boleh gak
sih dia bilang kalau udah mulai suka Dipta?

"Mas." Panggil Elena.

Dih kok berasa adem ya gue panggil laki gue gitu. Harus sering-sering ini
biar Dipta ketularan adem, eh bukannya dia emang udah adem ya? Iya
sangkeng ademnya sampe omonganya juga adem. Adem kayak es batu.

"Mas marah?" Tanya Elena sambil mengulurkan tanganya ke punggung


Dipta. Dielusnya punggung Dipta yang nampak tegap di depannya.

Lagi-lagi keheningan yang menjawab, Elena beringsut mendekat ke arah


Dipta. Ingin tau seperti apa reaksi pria itu ketika Elena memenggilnya mas.

"Mas Dipta?"

"Ya udah deh kalau gitu." Ucap Elena menyerah karna merasa Dipta sama
sekali tidak merespon. Saat akan berbalik memunggungi pria itu,
pundaknya ditahan seseorang. Menoleh.

"Dosa tidur munggungin suami."

Elena mengerjap memandang Dipta, tersenyum. Suaminya nampak tampan


dibawah cahaya sinar bulan.

Merapikan rambut Elena yang sedikit berantakan ke arah telinga. Dipta kian
melebarkan senyumnya. "Kenapa sampai pulang malam?" Bisik Dipta,
tidak dingin tapi tidak juga terdengar ramah.

Duh gusti. Ini ngapain sih papan seluncur segala pegang-pegang rambut
gue? Bikin dag dig dug tau gak.
"Maaf."

"Aku tidak menerima kata maaf jika tidak ada alasan yang bisa diterima
dengan logis."

"Tadi di caffe rame banget, jadi gak mungkin pulang kayak jam biasa."

Menghela nafas Dipta memegang pundak Elena. "Kenapa gak bilang?"

"Aku kan gak punya nomor hp kamu." Cicit Elena.

Wajah Dipta kian berubah kaku. Lalu D


helanafas gusar terdengar dari mulutnya. "Kamu mau menjalani rumah
tangga yang seperti apa sih Len?" Tanyanya terkesan datar.

Elena mengerjapkan mata berupang kali. Expresi Dipta terlihat datar,


bahkan rahangnya mengeras dengan sorot mata yang tajam.

"Kamu gak punya mulut untuk nanya? Ada mbak Hanum di sana kan?
Kamu bisa nanya dia atau minta tolong dia buat ngabarin aku." Ucap Dipta
kian dingin. Tidak ada nada tinggi disuaranya, pria berbicara pelan tapi
terasa dingin.

"Aku minta maaf." Cicit Elena kian mengkerut.

Berdecak cukup kuat. Dipta menatap istrinya kian datar. "Bahkan saat kita
akan menikah saya udah save nomor kamu."

Elena diam dengan kepala menunduk, air matanya bahkan sudah akan turun
jika saja dia berkedip. Merasa bodoh dan menyesal secara bersamaan karna
terlalu mengikuti gengsi. Kan jadinya diomelin.

"Lain kali saya gak suka kamu pulang larut tanpa memberi kabar. Saya gak
permasalahkan kalau kamu mau kerja, karna saya tidak mau ngekang kamu.
Tapi tolong hargai saya sebagai suami kamu, karna saya juga sedang
berusaha menghargai kamu sebagai istri saya."

Bodoh kamu Elena lihat, bahkan sekarang Dipta menggunakan kata saya
seperti dulu pas belum nikah. Bisik hati kecil Elena.
"Aku minta maaf." Cicit Elena dengan mata masih berkaca-kaca.

Dipta tidak menjawab matanya memandang Elena lekat. Tidak ada satu
kata pun yang keluar dari bibirnya.

Elena beringsut mendekati Dipta meletakan kepalanya di dada bidang


suaminya dengan tangan memeluk pinggang pria itu, tidak ada balasan dari
Dipta. Tapi saat mendengar isak kecil Elena, tanganya terulur menarik
wanita itu lebih mendekat.

"Maaf." Cicit Elena lagi.

Elena menyesal, dia sendiri bingung bagaimana mengatakannya.


Pernikahanya sangat mendadak membuat dia sendiri bingung harus
bagaimana bersikap. Dipta suaminya kadang terlalu dingin, sangat sulit
untuk ditebak. Mereka juga belum cukup lama saling mengenal satu sama
lain. Jika tiba-tiba dia bersikap berlebihan seperti seorang istri bukan kah
akan terasa aneh?

Elena butuh waktu untuk mengenal. Apa lagi dia tidak tau bagaimana harus
bersikap menjadi istri yang baik versi pria itu. Suami Elena kan beda dari
yang lain.

"Ssttt. Kenapa menangis? Aku gak marah, aku hanya ingin kita bisa
bersikap lebih wajar seperti suami istri lainya."

Elena mendongak masih dengan air mata di pipinya bahkan hidungnya


sudah merah. Dipta sampai terkekeh pelan melihatnya. Istrinya nampak
lucu dengan hidung dan pipi merah karna habis menangis. Elena yang baru
pertama melihat suaminya terkekeh sampai tidak berkedip karna merasa
takjub.

Ganteng banget sih laki gue kalau ketawa gitu. Gak papa deh gue nangis
tiap malam asal bisa liat senyum ma ketawanya. Teriak hati kecil Elena
senang.

"Elena,. Apa aku bisa minta hak ku sebagai suami sekarang?" Tanya Dipta
lembut.
HAH

Hanya kata itu yg keluar dari bibir Elena dengan pikiran blank. Gimana
enggak orang habis nangis langsung dimintai jatah sama suami? Siapa yang
gak syok coba?
Gagal lagi?

Biarkan mentari pagi menghangatkan pagimu yang dingin.


Biarkan cahaya bulan menemani malammu yang gelap.
Dan biarkan aku ada di sampingmu ketika kamu kesepian.
Tak kan kubiarkan dirimu jauh dari pandangan ku.
Karna dirimu adalah tulang rusuk ku.

***

"Ssttt. Kenapa menangis? Aku gak marah, aku hanya ingin kita bisa
bersikap lebih wajar seperti suami istri lainya."

Elena mendongak masih dengan air mata di pipinya bahkan hidungnya


sudah merah sekarang. Dipta sampai terkekeh pelan melihatnya. Istrinya
benar-benar lucu jika seperti ini. Elena yang melihat suaminya terkekeh
untuk pertama kalinya sampai dibuat tidak berkedip karna takjub.

Ganteng banget sih laki gue kalau ketawa gitu. Gak papa deh gue nangis
tiap malam asal bisa liat senyum ma ketawanya. Teriak hati kecil Elena.

"Elena, Apa aku bisa minta hak ku sebagai suami sekarang?" Tanya Dipta
lembut.

HAH

Hanya kata itu yg keluar dari bibir Elena dengan pikiran blank. Gimana
enggak orang habis nangis langsung dimintai jatah sama suami? Siapa yang
gak syok coba?

Melihat Elena hanya diam membuat Dipta berfikir jika istrinya tidak
mungkin keberatan. Karna perasaanya sekarang benar-benar menginginkan
istrinya. Dipta mendekatkan wajahnya pada Elena, bersiap mencium
istrinya yang kini hanya diam menatapnya lurus. Bahkan matanya sudah
tertutup rapat. Tapi belum lama menutup mata tangan kecil terasa menutup
bibirnya rapat, membekapnya tanpa permisi. Matanya terbelalak begitu tau
tangan kecil istrinya yang menutup bibirnya.

Elena melihat Dipta yang menutup mata bersiap menciumnya terlihat panik,
dan bingung. Tangannya langsung menutup bibir Dipta yang berusaha terus
mendekat.

"Kenapa?" Tanya Dipta heran setelah menurunkan tangan Elena dari


bibirnya.

"Kamu keberatan?" Sambungya lagi. Wajahnya terlihat kecewa juga tak


terbaca.

"Ah itu ... Sebenarnya aku," Ucap Elena tersedat karna bingung bagaimana
menyusun kata-kata yang pas, biar tidak melukai harga diri suaminya. Elena
berusaha menghidari tatapan mata Dipta yang menuntut jawaban dengan
mencoba memperhatikan apa pun asal jangan mata suaminya.

Bingung sumpah.

Dipta gemas mendengar istrinya berbelit-belit. Apa istrinya menolaknya,


atau belum siap? Asumsi-asumsi buruk mulai berkeliaran difikiran pria itu.
"Apa Elena?" Tanya Dipta gemas. "Kamu belum siap?"

Elen menggeleng pelan.

"Terus?" Desak Dipta.

Elena kenapa sih, gak tau apa Dipta udah kebelet. Semua rasa udah jadi satu
karna hasrat yang menggebu-gebu pada diri Dipta, sedang istrinya malah
menolak tidak jelas alasanya. Kan buat kesel.

"Lagi ada tamu." Cicit Elena menahan malu.

Mengernyit bingung. "Tamu? Tamu apa?" Tanya Dipta yang belum


mengerti.
Tamu apa lagi ini, apa hubunganya coba tamu sama haknya. Istrinya ini
benar-benar pintar memainkan emosi Dipta.

Dengan pipi yang semakin terlihat seperti kepiting rebus, Elena menggigit
ujung bibir bingung bagaimana menyampaikannya pada Dipta.

Suaminya ini masa gitu aja gak ngerti sih? Batinya kesal.

"Tamu bulanan." Cicit Elena pelan.

Melongo, Dipta benar-benar melongo sekarang.

Ok. Fix Dipta yang sekarang syok. Dengan mata yang menatap Elena tak
percaya. Kenapa harus berbelit-belit coba, Dipta sampai gemas sendiri
dibuatnya.

"Sudah berapa lama?" Tanya Dipta pelan setelah menguasai keterkejutanya.

"Baru tadi." Cicit Elena tak kalah pelan.

Bukan cuman syok, bahkan sekarang Dipta mengumpat kesal. Elena yang
mendengar Dipta mengumpat bibirnya berkedut menahan senyum,
hidungnya pun sampai ikut berkerut gemas.

Suaminya ini, benar-benar penuh dengan kejutan.

"Kamu senang?" Tanya Dipta datar, Elena menggeleng cepat tak urung
bibirnya ikut tersenyum karna sudah tidak kuat menahan senyum.

Ihhhh suami akuh gemesin sih.

"Kamu ngetawain saya?"

"Aku." Koreksi Elena. Dipta mendengus kuat merasa menjadi bahan


ledekan istrinya.

"Siapa yang ketawa. Orang aku cuman senyum." Serunya dengan nada jail.

Dipta mendengus pelan mendengar ucapan Elena. Istrinya ini benar-benar.


"Sampai kapan?"

"Tujuh hari."

Bukan Cuman mengumpat, Dipta bahkan sekarang sudah memerah


telinganya. Entah malu atau menahan amarah, tapi yang jelas dia butuh
mandi sekarang.

"Kenapa lama sekali?" Kesal Dipta seakan tak terima.

Elena tertawa mendengar nada kesal suminya. Suaminya ini sudah seperti
laki-laki mesum yang butuh belaian. Dipta yang menyadari ucapan
bodohnya hanya mendengus dan mengalihkan pandanganya tak urung
bibirnya ikut berkedut menahan senyum, melihat istrinya tertawa lepas
karna dirinya terasa ada sesuatu yang menggelitik perutnya.

Elena menangkup kedua pipi Dipta dengan kedua tanganya, masih disela-
sela tawanya. Elena menggesek-gesekan hidung mancungnya dengan
hidung mancung pria. Mengabikan tatapn kesal suaminya.

Dipta tidak menolak dia bahkan sudah menarik bibirnya seperti bulan sabit
merasakan lembutnya hidung mancung istrinya. Apa mereka sudah
berbaikan, tapi bukankah tadi mereka tidak sedang bertengkarkan?

Lalu kenapa Dipta bisa sebahagia ini mendengar istrinya tertawa, anggap
dia sudah gila. Tapi dia tidak butuh mandi sekarang, yang dibutuhkanya
adalah memeluk istrinya dan tidur. Ya itu sudah cukup bagi Dipta.

"Mas udah gak kuat ya?" Goda Elena. Menarik turunkan alisnya.

Melepaskan tangan Elena di pipinya, Dipta mendorong kepala Elena


dengan telunjuk sebelah tanganya. "Hilangkan pikiran kotor diotak kamu."

"Siapa juga yang berpikiran kotor. Aku gak mikir apa-apa kok." Elak Elena
menggeleng kepalanya cepat.

Malu setengah hidup gaeeees.


Dipta hanya mendengus mendengar jawaban istrinya. Pintar sekali istrinya
berdalih. "Kita tidur sekarang." Ucap Dipta manarik Elena ke dalam
pelukanya.

Malam ini sepertinya menjadi malam yang tragis bagi Dipta, bahkan tadi
hasratnya sudah menggebu-gebu ingin disalurkan. Tidak bisakah tamu
bualanan Elena ditunda dulu, bahkan mereka belum melakukan malam
pengantin. Kenapa Dipta jadi kesal saat mengingatnya?

****

Elena mematut dirinya di depan cermin. Rambut ikal gelombangnya diikat


agak tinggi menjadi satu. Dengan pakaian rapi dia siap untuk berangkat ke
caffe. Melangkah keluar kamar.

"Udah mau berangkat?"

Elena tersentak dengan ucapan Dipta, suaminya duduk di sofa dengan kaki
di silang. Apa yang dilakukan suaminya di sini?

Melirik suaminya yang melangkah ke arahnya. Elena dibuat heran karna


seharusnya suaminya sudah berangkat dari tadi, lalu kenapa masih di sini
sekarang?

"Mas belum berangkat?" Tanya Elena mengabaikan pertanyaan suaminya


sebelumnya.

Dipta hanya menggeleng, tidak mau rept-repot menjawab.

"Ayo aku antar." Ucap Dipta berjalan lebih dulu dari istrinya.

"Gak usah deh mas, kita kan gak searah. Kalau mas anter aku dulu, mas jadi
muter-muter nantinya. Mending aku naik taksi aja." Tolak Elena.

"Aku gak menerima penolakan. Ayo!"

"Tapi-"

"Cepet Elena!" Perintah Dipta terdengar otoriter.


Elena mendengus kemudian mengikuti langkah Dipta yang lebih dulu
keluar.

Selalu deh gue ditinggalin. Kapan sih dia mau gandeng tangan gue. Kesel

****

"Mas tumben sih kamu mau nganter aku kerja?" Tanya Elena dengan siku
yang bertengger di atas dashbroad mobil lalu telapak tanganya menopang
dagunya.

Dipta nampak terganggu dengan Elena, bukan pertanyaannya tapi cara


wanita itu memandang dia terang-terangan membuat Dipta salah tingkah
sendiri. Dia yang kaku dan cuek sedang istrinya yang blak-blakan membuat
Dipta merasa aneh.

"Kamu bisa gak sih lihatnya biasa aja, jangan begitu." Kata Dipta sedikit
risih.

"Emang aku kenapa?" Tanya Elena tersenyum jail.

"Gak usah iseng bisa gak sih, Len?" Ketus Dipta, dia sedang nyetir dan
Elena memandangnya seperti itu. Bisa gagal fokus dia karna jantungnya
mulai berdetak tidak dengan semestinya.

Anjirrrr. Gue diketusin.

Elena menarik nafas dan bersandar di sandaran mobil, tapi dengan


pandangan masih ke arah Dipta.

"Mas tinggal jawab kenapa sih, kenapa ribet banget?"

"Kamu mau aku jawab gimana?" Tanya Dipta saat mobilnya berhenti di
lampu merah.

"Iya. Kemarin-kemarin kenapa gak nganter aku, kenapa baru sekarang?"


Tuntun Elena kesal.
"Aku baru tau kalau mobil kamu masuk bengkel kemarin, waktu mama
Laras nelpon katanya mobil kamu udah ada di rumah." Terang Dipta
menjelaskan.

"Mama punya nomor mas?" Tanya Elena tak habis pikir.

Sejauh mana sih dia tertinggal, sampai mamanya lebih percaya pada
menantunya dibandingkan dirinya. Yang notabenya anak kandungnya
sendiri.

Hello mama Laras yang terhormat, ini Elena anaknya lo.

"Kenapa?" Tanya Dipta kembali menjalankan mobilnya.

"Kok bisa mama punya nomor mas?" Tanya Elena agak panik.

"Kenapa memangnya? Emang apa salahnya mertua punya nomor ponsel


menantunya? Yang aneh itu kalau istri tidak punya nomor suaminya."
Sindir Dipta terang-terangan.

Elen yang merasa kena sindir, matanya langsung melotot galak.

"Mas nyindir aku?" Tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri dengan


telunjuk tanganya. Wajahnya ketara sekali sedang kesal.

"Kamu merasa tersindir?" Balik tanya Dipta melirik Elena menahan


senyum. Ternyata menjaili istrinya tidak buruk juga, mungkin sekarang dia
akan punya hobi baru yang bisa membuat moodnya sedikit baik yaitu
menjaili istrinya. Melihat istrinya kesal membuat dia merasa lucu dan
gemas secara bersamaan.

"Menurut mas." Ketus Elena kesal.

Dipta membuang muka ke arah samping kaca mobilnya, tersenyum. Wajah


jutek Elena benar-benar menghibur dia saat ini.

"Mas udah-udah turun di sini aja." Reflek Elena saat melihat caffe
tempatnya bekerja tidak jauh dari mobil suaminya, membuat Dipta
mengerut kening heran.
"Kenapa? Bukanya caffe kak Hanum masih lurus?" Tanyanya heran.

Elena yg sudah bersiap turun menoleh ke arah Dipta.

"Anak caffe kan gak ada yang tau kalau aku udah nikah sama mas."

Mengangkat sebelah alis "Terus?" Tanya Dipta yang belum paham.

"Aneh aja kalau tiba-tiba aku turun dari mobil mas, anak-anak pasti udah
kenal mobil mas kan?"

"Emang kenapa kalau mereka melihat kamu turun dari mobil aku?" Tanya
Dipta kelewat datar.

"Nanti dikira aku pelakor lagi." Jelas Elena sambil terkekeh pelan.

Elena memang bicaranya nampak biasa saja, cuman ada sedikit perasaan
tak nyaman ketika mengucapkanya. Sedikit nyeri dan ngilu tapi dia
berusaha menepisnya. Gak mungkinkan dia tiba-tiba langsung memiliki
perasaan lebih pada suaminya. Itu akan terasa aneh didengar.

Dipta langsung menoleh mendengar Elena berbicara. Sedikit tidak terima


jika ada yang berfikir jelek tentang istrinya. Apa pernikahan selucu ini,
hingga dia harus merasa tak nyaman dengan prasangka buruk tentang
istrinya.

Tapi dulu saat dia bertunangan dengan Citra, Dipta biasa-biasa saja ketika
Citra mengadu tentang pandangan buruk orang terhadapnya. Bahkan dia
terkesan cuek dan masa bodo. Lalu kenapa sekarang berbeda?

Dasar bodoh, tentu saja berbeda pertunangan dan menikah itu adalah dua
hal yang berbeda bodoh. Kata hati Dipta berkomentar.

Akhirnya Dipta diam tak berkomentar.

"Ok, aku turun ya? Terima kasih untuk tumpanganya mas Dipta." Ucap
Elena berusaha biasa saja dan sedikit menggoda Dipta. Tapi Dipta hanya
membalasnya dengan wajah datar alias super lempeng.
Merasa tidak mendapat respon tangannya sudah siap mendorong pintu tapi
tangan Dipta lebih dulu menahan lengan Elena yang bersiap turun.

"Kenapa?" Tanya Elena heran.

Dipta menyodorkan amplop putih kearah Elena yang di ambilnya dari laci
dasbor mobil.

"Apa ini?" Tanya Elena heran pasalnya Dipta tidak mengatakan apa pun,
dan tiba-tiba menyodorkan amplop.

Ini bukan surat ceraikan ya? Masa iya sih gue godain sebentar langsung
disodorin surat cerai. Mana gue nikah baru seminggu masa udah dicerai
aja. Mama ... anak gadis mu bentar lagi menjada.

Dipta menyentil kening Elena pelan. "Gak usah mikir yang aneh-aneh."

"Apa si Siapa juga yang mikir aneh-aneh?" Ucap Elena sambil membuka
amplop putih di tanganya. Matanya langsung melotot begitu tau isi di dalam
amplop itu.

Kartu hitam mengkilap, karna terlalu mengkilap hingga mata Elena terasa
silau. Anggap dia berlebihan. Tapi Elena bukan tidak tau kartu apa ini,
Elena sering melihat kartu seperti ini milik Hanum.

Anjiiiir. Ini gue dikasih kartu begini. Nyata gak sih?

"Mas ini?" Tanya Elena linglung.

"Kamu bisa gunakan kartu itu untuk membeli apa pun kebutuhan kamu dan
juga kebutuhan pokok. Jangan membeli apa pun menggunakan uang kamu
apalagi untuk kebutuhan kamu, karna sekarang kamu tanggung jawab mas."

Yes. Gue gak jadi menjanda. Mama, Elena gak jadi menjanda. Anak
gadismu gak jadi menjada. Teriak hati kecil Elena senang.

"Serius?" Tanya Elena terdengar senang.


Dipta mengangguk. "Kalau ada apa-apa kamu tau kan mulai sekarang harus
menghubungi siapa?" Balik tanya Dipta.

"Eh. Iya lupa. Aku kan belum punya nomor hp mas."

Dipta langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan


menghubungi seseorang setelah terdengar nada sambung bersamaan dengan
itu ponsel Elena ikut berdering.

"Kamu bisa save."

Duh duh laki gue baik bener sih ya. Bakal nyesel lo mbak yang udah
ninggalin. Mana cakep lagi. Tajir melipir.

"Ok makasih ya paksu. Siap-siap tagihan mas membengkak bulan depan."


Celetuk Elena asal sambil memasukan amplop putih ke dalam tas hitam
yang dia gunakan. Yang langsung membuat Dipta menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tingakah istrinya memang luar biasa ajaib.

Mengulurkan tangan ke arah Dipta, Elena terlihat seperti seorang anak ingin
meminta uang jajan.

Dipta memandang istrinya heran. "Apa lagi? kamu mau minta uang jajan?"
Tanyanya.

Elen tertawa lucu.

Suaminya benar-benar lucu. Sumpah. Elena gak boong.

Menarik tangan kanan Dipta, elena menciumnya pelan. "Lihat aku istri
yang baik, kan?" Ucapnya dengan suara yang kasat akan kepercayaan diri.

Dipta menggeleng kepala tak percaya, istrinya ini benar-benar unik.

"Bye. Paksu, Muaaaaaach." Teriak Elena yang sudah berada di luar mobil
dengan mencium telapak tangannya dan di arahkan ke arah Dipta. Melihat
Dipta hanya tersenyum mengejek ke arahnya, Elena langsung sedikit berlari
menjauh dari mobil Dipta.
Malu makkkk.

Dipta tersenyum melihat Elena yang berlari menjauh. Tidak salah dia
membatalkan meeting pagi ini demi mengantar istrinya. Karna sekarang
moodnya benar-benar baik. Dia bahkan hampir lupa sudah berapa kali pagi
ini dia tersenyum melihat tingkah pola istrinya. Sepertinya menghabiskan
sisa umurnya dengan gadis seperti Elena benar-benar tidak buruk.

Walau mereka belum lama mengenal tapi Dipta terlihat nyaman ada
didekatnya. Malah sekarang

Dia ingin ada didekat gadis itu terus. Hidup nya terasa sedikit berwarna
karna kehadir Elena. Istrinya.
Drama murahan

Elena duduk di meja bar dengan senyum yang terus terukir di bibirnya. Dia
benar-benar bahagia hari ini, pernikahanya pun terasa begitu manis akhir-
akhir ini. Gak salah dia nikah dengan anak konglomerat kalau ujung-
ujungnya dia dapat merasakan kemewahanya juga. Anggap saja dia mata
duitan atau matre tapi yang jelas perempuan mana sih yang gak bakal
bahagia kalau punya suami yang guantengg bingitzzz sampai buat mata
silau karna kegantenganya.

Dih kok gue jadi lebay sih.

Ah rasa-rasanya Elena sudah tidak sabar membayangkan akan setampan


apa anaknya nanti. Apa anaknya nanti akan mirip denganya atau mirip
suaminya. Tapi yang jelas anaknya pasti luar biasa sempurna nantinya.
Memipiki mama yang cantik seperti Elena, papa tampan seperti Dipta, plus
kaya raya. Bahkan sampai tujuh turunan pun tidak akan habis-habis.
Wow,perpaduan yang sempurna bukan?

"Sehat lo mbak. Dari tadi gue perhatiin senyum-senyum sendiri?" Sindir


Yuli yang baru selesai mangantar pesanan pelanggan.

Elena mendelik. "Lo ngatain gue?"

"Eh.. Bukan gitu mbak maksud gue." Panik Yuli. "Ngeri aja gitu liat lo
mbak dari tadi senyam-senyum gak jelas, takut lo ketempelan jin aja.
Sumpah." Sambung Yuli mengangkat jari telunjuk dan jari tengah seperti
huruf V.

"Jin pala lo botak." Ketus Elena.

Yuli yang mendengar nada ketus atasanya malah cekikikan tidak jelas.
"Mbak lo udah denger gosip terhangat belum?" Tanya Yuli mengalihkan
pembicaraan.

"Gue gak tertarik sama gosip-gosip gak berbobot yang keluar dari mulu
orang-orang kayak lo. Gak ada faedahnya juga gue dengernya." Ucap Elena
sambil memainkan ponsel di tangannya sambil sesekali melirik Yuli malas.

"Elah sombong amat. Serius ya mbak, ini itu beneran, lagi panas juga
soalnya. Anak-anak juga lagi pada ngomongin kalau adeknya mbak
Hanum-" Yuli sengaja menggantungkan kata-katanya ingin melihat
bagaimana reaksi atasanya begitu mendengar Yuli membahas adik bosnya
yang ganteng habis. Yuli tau atasanya ini kan penggila laki-laki tampan.

Mendengar Yuli menggantung kata-katanya membuat Elena menoleh cepat


ke arahnya. "Apa?" Tanyanya penasaran.

Tawa Yuli pecah mendengar nada kepo atasanya. Tadi aja sok jual mahal
menolak eh waktu denger cowok cakep langsung aja gercep.

"Upss. Mbak kan tadi gak tertarik ya, yaudah lah gue kebelakang aja gosip
sama anak-anak."

"Lo berani jalan selangkah aja dari sini, gaji lo gue potong setengah!"
Ancam Elena.

"Iss apa sih mbak dikit-dikit potong gaji."

"Mangkanya buruan cerita. Tanggung jawab lo, gue udah penasaran juga
mau main kabur aja." Omelnya kesal.

"Iya-iya."

Mendekat ke arah Elena, Yuli berbicara sedikit lebih menurunkan volume


suaranya.

"Adeknya mbak Hanum udah nikah mbak. Tapi nikahnya bukan sama
cewek yang sering dibawa ke sini."

Elena tersentak kaget.


"Lo tau dari siapa?"

"Dari sumber terpercaya lah."

Elena meringis. Sialan memang yang menyebarkan gosip murahan itu.

"Lo tau dia nikah sama siapa?" Tanya Elena sedikit was-was.

"Enggak." Jawaban Yuli sontak membuat Elena bernafas lega.

"Gue sih gak penasaran kenapa tu cowok gak jadi nikah sama tu cewek
mbak, cuman gue penasaran gimana muka istrinya sekarang lebih cantik
apa lebih burik. Kan sayang aja cowok secakep itu dapet istri yang burik."
Sambungnya.

"Burik-burik pala lo."

"Lah ngapa mbak yang sewot. Selow kali mbak. Emang mbak gak sakit hati
kalau adeknya bos kita dapet istri jelek, burik lagi. Apalagi biasanya kan
mbak, cowok kalau pacar atau tunangannya cantik dan gagal nikah pasti
istrinya jauh dari mantan-mantanya."

Suee. Yuli ngatain muka gue burik. Gue lakban juga entar muka ni orang.
Gak tau apa kalau gue ini bininya Dipta. Awas aja kalau status gue udah
terbongkar gue bejek-bejek ni orang.

Mata Elena langsung melotot begitu mendengar ucapan Yuli.

"Kalau menurut lo, gue pantes gak Yul, nikah ma cowok cakep begitu?"
Tanya Elena manarik turunkan alisnya.

Yuli nampak berfikir. "Gak ada pantes-pantesnya mbak."

"Iya lah gak pantes, orang gue cantik kayak bidadari gini, disandingin sama
papan seluncur model datar gitu. Ya gak pantes."

"Bidadari Comberan." Ledek Yuli.


"Terserah lo deh Yul, malas gue denger ocehan lo yang bikin sakit kepala."
Ucap Elena sambil mengusir Yuli menggunakan tanganya. "Udah sono lo
balik kerja butek otak gue liat muka lo lama-lama." Yuli langsung mencibir
mendengar kata-kata atasanya, tadi saja dia kepo giliran sudah tau ngusir.

*****

Elena memutarkan kepalanya ke kiri-kekanan mencari mobil Dipta. Setelah


pulang dari caffe dia berencana mengambil mobilnya. Tapi berhubung ingat
pesan suaminya yang menyuruhnya untuk meminta ijin jika akan pulang
terlambat. Maka dia meminta ijin dengan mengirim pesan. Tetapi emang
dasar suami tampan Elena yang selalu luar biasa dalam hal mengejutkan
jantung. Dengan santainya dia mengatakan akan mengantar Elena ke rumah
mamanya.

Elena sih senang-senang saja, toh dia jadi tidak pusing mencari-cari alasan
nanti kalau mamanya bertanya-tanya tentang Dipta. Suaminya.

Suara klakson mobil di belakang Elena membuat Elena tersentak kaget.


Melirik kesal sang pengemudi. Elena mendengus kesal karna tau suaminya
lah sang pelaku yang membuatnya terkejut.

Di sana Dipta duduk di belakang kemudi dengan santainya. Wajah kusut


dan lelah Dipta membuat Elena yang ingin marah karna kesal luntur sudah
tertelan di dalam tenggorokan. Mana berani dia marah-marah disaat mood
suaminya sedang tidak baik, bukanya suaminya yang takut yang ada, nanti
Elena yang berubah kisut.

Berjalan ke arah kursi penumpang di samping Dipta, Elena masuk tanpa


berkomentar. Perasaan kesal dan gondok Elena semakin bertambah ketika
suaminya terlihat cuek dan dingin tanpa bersalah karna sudah membuatnya
terkejut.

Dasar suami gak peka.

Dipta menjalankan mobilnya dengan cuek, tanpa mau repot-repot


memikirkan wajah kesal istrinya.
Hening sepanjang perjalanan tidak ada satupun yang membuka suara, Elena
yang sedari tadi mencoba mencuri-curi pandang suaminya pun. Lama-lama
kesal karna suaminya tidak mau mencoba berbasa-basi atau sekedar
meliriknya.

"Ekhm." Dehem Elena.

"Ekhhm Ekhmm."

"Itu mulut gak kesel apa dari tadi mingkem mulu." Gerutu Elena pelan,
bibirnya terasa gatal karna sedari tadi diam aja tau begini mending nebeng
Hanum.

Dipta yang tau jika istrinya sedari tadi mencoba melirik-liriknya pun tetap
cuek, dan masa bodo. Moodnya sedang kurang baik sekarang, apa lagi
badanya terasa lelah sekarang. Ditambah perutnya sudah demo minta di isi,
karna mulutnya sedang tak berselera alhasil Dipta hanya diam sambil
mendengarkan gerutu istrinya sedari tadi. Tapi Dipta tidak berbohong jika
perasaanya sedikit lebih baik ketika melihat Dipta ada di sampingnya.
Walau berisiki setidaknya dia sedikit terhibur.

****

Elena dan Dipta sampai di rumah Laras pukul tujuh malam. Elena langsung
berlari masuk begitu melihat pintu rumah mamanya terbuka lebar.

Apa ada tamu. Pikir Elena.

Elena berjalan ke arah dapur setelah mendengar suara mamanya dari sana.

"Ma."

Mamanya langsung menengok ketika mendengar suara Elena. Di sana


mamanya sedang terlihat sibuk memasak di depan kompor, sedang di meja
makan ada papanya duduk dengan tante Tuti dan anak gadisnya, Siska.
Mereka serempak menoleh ketika di belakang begitu Elena, dan Dipta
mengucap salam.
"Eh mantu mama." Teriak Laras sambil melangkah ke arah Elena, lebih
tepatnya Dipta. Karna Dipta sedang berdiri di belakang Elena.

"Sehat ma?" Ucap Dipta setelah mencium punggung tangan Laras.

"Alhamdulillah." Jawab Laras tersenyum cerah.

Elena yang berdiri di depan Dipta hanya melongo ketika mamanya lebih
memilih memberikan tangannya pada Dipta ketimbang dirinya yang berdiri
di depan Dipta.

Ini anaknya siapa sih.

"Kamu gak cium tangan mama?" Tanya Laras mengerutkan alis heran.

Elena langsung memutar bola matanya malas, tak urung menerima tangan
mamanya untuk dicium.

"Pah." Ucap Dipta ikut menyalami Herman yang duduk di meja makan
begitu pun Tuti, tante istrinya. Sedang Siska, Dipta hanya mengangguk
sopan. Yang dibalas senyum lebar Siska, tak urung tatapanya terlihat begitu
terpesona melihat Dipta yang begitu tampan malam ini.

"Lihat Len, suami kamu sopan banget beda banget sama kamu, datang
bukanya menyapa papa sama tante di sini malah angobrol sama Laras. Gak
cocok banget Len sama kamu." Cibir Tuti terang-terangan.

Elena yang mendengar tantenya mencibirnya hanya diam, sambil berjalan


ke arah papanya dan juga tantenya.

Wajahnya terlihat kesal bercampur malu, tapi tetap mencium punggung


tangan kedua orang tua itu yang duduk di meja makan. Sedang dengan
sepupu perempuanya Elena tidak mau capek-capek berbasa-basi. Melirik
pun Elena tidak, dia langsung berjalan ke arah mamanya.

"Mama masak apa?" Tanya Elena berusaha bersikap biasa saja. Cuek.

"Kamu lihat anak mu Man, gak ada sedikit pun basa-basinya." Tanya Tuti
meminta persetujuan Herman, papa Elena.
Sedang Herman diam tanpa mu repot-repot meladeni.

"Ya maklum lah mbak, Elena kan udah punya suami jadi jarang ke sini.
Maklum dia begitu, dia kangen sama masakan ibunya. Lagian kan Elena
baru pulang kerja, masih capek. Bukan pengangguran yang diam di rumah."
Balas Laras santai sambil berjalan ke arah kompor mengecek masakanya.

Elena mendengar Laras membelanya, hanya diam tak berkomentar tapi


tatapanya jelas menunjukan rasa lega. Karna mamanya tidak pernah tinggal
diam ketika keluarga papanya terus memojokannya.

"Jangan dibela terus Ras, nanti malah ngelunjak." Ucap Tuti.

"Nak Dipta gimana kerjaanya lancar?" Ucap Herman kepada Dipta yang
tidak memperdulikan ucapan Tuti, kakaknya.

"Alhamdulillah pa, sejauh ini lancar." Jawab Dipta yang duduk di samping
kanan Herman sedang Tuti duduk di depan Herman, dan Siska disamping
Tuti berhadapan langsung dengan Dipta.

"Nak Dipta di perusahaanya masih ada lowongan, ini lo Siska, anak tante
belum kerja. Anaknya pintar kok, rajin juga mana cantik kan. Dulu dia
pernah jadi sekertaris pokoknya gak akan malu-maluin apa lagi ngecewain."
Ucap Tuti manis.

"Kalau pinter kenapa gak nyuruh nyoba ngelamar sendiri mbak. Kenapa
harus pakek orang dalem, Elena aja dulu ngelamar sendiri ikuti semua
prosedurnya. Malah dia dari bawah memulai kariernya." Jawab Laras
sedikit ketus.

"Apa salahnya bantu saudara Ras, lagian gak mungkin perusahaan sebesar
nak Dipta gak ada lowongan. Siska ini bukan gak mau ngelamar sendiri
cuman anaknya sedikit pemalu." Tutur Tuti tak kalah ketus.

Pemalu dari hongkong yang ada mah malu-mluin kelessss. Cibir Elena
dalam hati.
"Nak Dipta baru pulang kerjakan gih istirahat dulu. Elena, antar nak Dipta
ke kamar biar istirahat." Ucap Herman melirik Elena.

Elena tersenyum terima kasih kepada ayahnya. Berjalan ke arah Dipta,


Elena menarik tangan Dipta yang berada di atas meja.

"Ayo mas." Ajakny semangat.

"Dipta istirahat dulu pah." Ucap Dipta mengikuti langkah istrinya.

Tuti yang merasa diacuhkan oleh semua orang mendumel kesal.

"Elena kamu gak pengen ngobrol dulu dengan Siska, nak Dipta juga kan
belum kenal dekat dengan sepupu kamu Siska." Ucap Tuti tak kehabisan
akal.

"Kenapa menantuku harus kenal dekat dengan Siska?" Tanya Laras tak
terima, matanya langsung melotot ke arah Elena sambil menggoyangkan
dagunya menyuruh Elena pergi membawa Dipta.

Lama-lama kesabaran Laras bisa habis jika meladeni kakak iparnya yang
sinting. Setelah Elena dan Dipta sudah melangkah pergi. Laras langsung
melirik kakak iparnya yang malah tidak tau malu menjawab dengan
santainya.

"Sebagai saudara kan harus saling mengenal." Sambung Tuti semakin


membuat Laras bertambah kesal.

"Elena, juga gak terlalu dekat dengan Siska kenapa suaminya harus dekat."

"Kamu gak suka ya Ras kalau anak ku Siska bisa masuk diperusahaan besar
seperti milik Dipta?"

"Kalau mau masuk seharusnya Siska itu mengikuti prosedur perusahaan


mbak, bukan malah menyuruh Dipta yang harus membawa Siska."

"Ya gak papa dong Dipta kan yang punya perusahaan, gampang aja bagi dia
buat masukin Siska kerja. Masa perusahaan sebesar itu gak ada lowongan."
Kekeh Tuti semakin menjadi-jadi.
"Walau ada lowongan Dipta gak akan asal memasukan orang bekerja di
perusahaanya mbak, karna perusahaan besar itu rata-rata pegawainya yang
berkopeten yang mengikuti prosedur perusahaan dari awal."

"Heleh. Toh dia gak akan rugi masukin Siska. Anak ku ini pintar, cantik,
modis, punya sopan santun dan berpendidikan tinggi. Bukan seperti anak
kamu itu bergajulan, urakan, masa jadi istri orang kaya pakaiannya gak ada
modis-modisnya. Aku kasih tau ke kamu ya Ras, jangan salahkan suaminya
jika nanti dia melirik wanita lain karna istrinya gak becus mengurus suami."

Wajah Laras sudah merah padam mendengar tutur kata kakak iparnya.
Sedang Herman sudah beranjak pergi karena telinganya panas mendengar
kakaknya selalu menjelek-jelekan anaknya. Bisa-bisa dia hilang kontrol dan
murka. Jika Laras tidak di sini Herman yakin dia pasti sudar berteriak
murka, istrinya itu walau galak dan sadis. Tapi selalu melarang Herman
berbicara kasar pada kakak kandungnya. Kata Laras, takut jika Tuti
tersinggung dan memutuskan persaudaraan mereka karna cuman Tuti
saudara tertua Herman. Jadi biarkan Laras yang mengurusnya juga
membalasnya, kalau Laras yang membalas kan setidaknya Tuti masih
berfikir jika suaminya masih menghargainya dan memihak padanya.
Dengan begitu persaudaraan mereka masih baik-baik saja.
Rindu

Dipta memandang punggung istrinya yang nampak sibuk dengan isi lemari.
Kamar sederhana milik istrinya ini nampak sepi, dan sunyi. Bukan dia
menutup mata dan telinga ketika terang-terangan saudara Elena mulai
mengolok-olok istrinya. Dia sebisa mungkin menahan amarah yang mulai
bergejolak di dalam dirinya. Tidak mungkin kan dia berteriak di depan
kedua mertuanya apalagi mengingat orang yang mengolok-olok istrinya
adalah kakak kandung ayah mertuanya.

"Nah, mas pakai baju ini mau gak?" Tanya Elena menunjuk kaos hitam
polos dengan celana pendek selutut berwarna khaki. Dipta mengangguk
sebagai jawaban. Toh baju dia tidak banyak di sini, karna waktu pertama
kali menginap di sini supir mamanya hanya mengantarkan beberapa potong
baju, tidak banyak.

"Gak papakan. Kita ikut papa sama mama makan malam dulu di sini, mas?"
Sambung Elena meminta persetujuan.

"Gak papa. Tapi kamu gak keberatan makan satu meja dengan mereka?"
Tanya Dipta mandang lekat wajah istrinya.

Elena bukan tidak tau kata mereka yang ditunjukan suaminya adalah tante
Tuti dan Siska anaknya. Mungkin, dia akan malu malam ini mengingat
bagaimana gencarnya tante Tuti tadi mencoba menyudutkannya di depan
keluarga dan suaminya. Apalagi nanti saat makan malam.

"Gak masalah sih, udah kebal juga aku sama omongan mereka." Ucap
Elena cuek sambil berjalan meletakan baju ganti Dipta di atas ranjang di
samping suaminya.
Sebenarnya tidak semuanya benar, sebagian hati kecilnya juga ngilu jika
tante Tuti selalu menyudutkannya. Berlagak jika selalu Elena yang bersikap
antagonis padahal sebaliknya. Tapi mau bagaimana lagi, akan semakin
runyam jika mereka langsung pulang tanpa ikut makan malam. Dan bisa-
bisa dipertemuan berikutnya dia benar-benar akan semakin dipermalukan.

"Ya udah gih mas bersih-bersih dulu, Elena mau keluar sebentar. Nanti
kalau mas butuh sesuatu mas bisa panggil Elena. Ok?" Kata Elena.

Elena sudah akan berbalik untuk keluar, tapi tiba-tiba Dipta menahan
lengannya. Elena menoleh. "Kenapa? Mas butuh sesuatu?" Tanyanya lagi.

"Kita keluar bareng. Kamu tunggu di sini sebentar, mas mandi gak akan
lama." Ucap Dipta mendudukkan istrinya di atas tempat tidur yang tadi di
dudukinya tadi.

Mas? Mas? Papan seluncur ini barusan panggil dirinya mas kan ya?

Duh bener gak sih ini apa gue cuman halusinasi.

Suara pintu kamar mandi yang tertutup menyadarkan Elena dari


lamunannya. Senyumnya langsung mengembang begitu sadar jika
suaminya selama ini tidak masalah jika Elena memanggilnya mas. Duh
suaminya terlihat manis kalau bersikap begitu.

Manis apa sih. Baru denger Dipta bahasain dirinya mas aja udah lebay lo
Len. Teriak setan dalam diri Elena.

Apa Elena boleh berpikir jika Dipta barusan terlihat benar-benar khawatir
padanya? Bolehkan dia berpikir begitu?

Boleh kok. Boleh banget. Siapa sih yang bakal ngelarang. Ck

Sembari menunggu suaminya yang sedang mandi, Elena berbaring miring


di atas ranjang sembari memainkan gadgetnya, menonton video di akun
Instagram miliknya. Matanya berbinar bahagia begitu video oppa-oppa
korea memenuhi layar ponselnya. Bahkan Elena sampai berubah telungkup
dengan sebelah telapak tangannya diletakan di bawah dagunya. Sebagai
penyangga.

"Ya ampun. Ya ampun. Gantengnya." Pekik Elena sendirian lalu terkikik


geli merasa gemas dan lucu sendiri.

"Siapa yang ganteng?" Tanya Dipta di samping telinga Elena dengan tangan
bertumpu di sisi kiri-kanan tubuh Elena sebagai penyangga. Bahkan Elena
sampai menahan nafas ketika melihat posisi suaminya yang terlihat seperti
memeluknya. Belum lagi aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya.

Wanginya....

"Ckk. Ternyata kamu lebih suka pria-pria cantik?" Sambung Dipta bangkit
dari atas tubuh Elena.

Setelah menguasai diri Elena ikut berdiri di samping suaminya. "Ini


ganteng ya, gak cantik." Protesnya.

"Mana ada cowok ganteng pakek bedak." Cibir Dipta tanpa perasaan.

Elena mendelik.

"Ck. Bilang aja mas cemburu. Iya kan?" Tanyanya menaik turunkan
alisnya.

Elena langsung mengaduh begitu keningnya disentil pelan oleh suaminya.


"Ngarang." Cetusnya.

"KDRT ini mananya." Sungut Elena kesal.

Mengabaikan istrinya Dipta beranjak keluar. Namun dengan itu bibirnya


ikut tersenyum tipis, merasa lucu saat melihat wajah kesal istrinya. Sedikit
banyak mengembalikan mood baik Dipta.

Di sana semua orang sudah berkumpul dimeja makan. Papa mertuanya


duduk di kursi tengah sebagai kepala rumah tangga, sedang sisi kiri ada
tante Tuti dengan anaknya di sisi sebelahnya. Sedang sebelah kanan papa
mertuanya ada ibu mertuanya Laras, Dipta berjalan ke arah sisi kosong
disebelah mama mertuanya disusul Elena istrinya duduk disisi kosong
sebelahnya. Jadi Dipta pas duduk berhadapan dengan Siska, yang sedari dia
datang sudah mulai mencuri-curi pandang padanya.

Cih dia kira Dipta akan tertarik padanya?

Elena mengisi piring Dipta dengan nasi dan beberapa lauk. Dipta tidak
berkomentar malah meletakan tangannya di atas kepalanya dan bergumam
terima kasih. Elena hanya tersenyum manis membalasnya.

"Ayo nak Dipta di makan." Ucap Herman ramah, Dipta hanya mengangguk
sopan menjawabnya.

Elena tersenyum puas begitu melihat Dipta makan dengan lahap. Tapi
senyumnya tidak bertahan lama begitu mendengar suara tantenya. "Nak
Dipta mau nambah ayam gorengnya?" Tawar Tuti.

"Siska tolong ambilkan ayam goreng buat nak Dipta." Sambung Tuti
menyuruh anaknya, Siska sudah akan berdiri ketika mendengar jawaban
Dipta.

"Terima kasih tante, tidak perlu repot-repot tapi saya lebih suka dengan
rendang mama Laras." Jawab Dipta kalem.

"Oh kalau begitu Siska-"

" Sayang bisa tolong ambilkan rendang!" Ucap Dipta memotong ucapan
Tuti membuat Siska langsung duduk dengan tatapan kesal.

Sayang..

Dipta barusan manggil gue sayang kan ya? Duh.. Duh.. jantung gue
langsung berasa mau salto denger dia manggil gue gitu. Aaaaaa mama,
Elena kan jadi seneng..

"Oh i-iya."

Elena tersenyum puas melihat wajah masam tantenya, dan lirikan sinis
sepupunya. Bodo amat dia lagi seneng sekarang.
Laras dan Herman saling lirik sambil menahan senyum.

"Nak Dipta kapan-kapan mampir ke rumah tante ya,? Nanti tante masakin
rendang spesial buat nak Dipta. Rendang tante itu gak kalah enak lo sama
masakan Laras." Ucap Tuti menyembunyikan wajah masamnya dengan
senyum manis yang terlihat dipaksakan.

"Menantuku itu mbak orangnya sibuk, jadi gak bisa keluyuran buang-buang
waktu." Kata Laras kesal.

Kakak iparnya ini memang benar-benar sinting. Mana ada orang tua yang
seperti ini, berlagak paling benar sampai-sampai menyodorkan anaknya
pada pria yang sudah ada yang punya. Kecuali kalau pria itu masih singel
itu sih tidak masalah, lah ini orang prianya sudah beristri apa bukan orang
sinting itu jika seperti itu.

"Gimana nak Dipta?" Kata Tuti mengabaikan tatapan kesal Laras.

"Dipta sih terserah Elena tante." Jawab Dipta sekenanya.

Mendengar jawaban Dipta wajah Tuti langsung merah padam. Antara kesal
dan marah.

"Nak Dipta tante kasih tau ya. Apa-apa jangan terlalu nurut sama istri, nanti
lama-lama ngelunjak istrinya."

"Ya gimana gak nurut tan orang Dipta cinta mati sama Elena." Celetuk asal
Elena.

Mengundang kekehan Dipta, dan senyum kemenangan Laras.

Melihat Dipta yang terkekeh, Elena langsung tertegun begitu pun Siska
yang duduk di depan Dipta. Tidak lama tapi cukup membuat jantung Elena
mau copot dari tempatnya.

Menoleh pada Elena. "Cinta mati ya." Goda Dipta geli.

Elena langsung menyengir bagitu digoda Dipta, tak urung pipinya tetap
bersemu merah. Maluuu.
Ternyata diam-diam suaminya bisa menggodanya juga.

Kalau biasanya perempuan digoda akan merona malu-malu. Berbeda istri


Dipta, digoda bukanya malu malah nyengir tak tau malu.

****

Gadis dengan surai panjang sepunggung berjalan santai memasuki gedung


caffe yang masih terlihat sepi. Maklum jam masih menunjukan pukul
delapan pagi, caffe masih bersiap-siap untuk buka. Karna caffe akan bukan
pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam untuk semua pegawai
bersiap-siap.

Satu bulan berlalu dan kini Elena menikmati waktunya seperti biasa. Pagi
ini wajah Elena terlihat murung, sudah dua minggu Dipta ada di luar kota
untuk perjalanan bisnis. Elena menjalani hari-harinya seperti biasa
menyibukan diri dengan pekerjaan agar sedikit melupakan suami tampanya.
Walau sebenarnya Elena mulai merindukan suara dingin Dipta.

Dua minggu ditinggal Dipta, Elena merasa kesepian. Walau mereka baru
dekat tapi Elena mulai sedikit terbiasa dengan suaminya. Meski tidak
berinteraksi seperti pasangan lain, karna suaminya yang minim expresi.
Setidaknya ada sedikit hal-hal manis yang sering pria itu lakukan untuknya.
Seperti mangantar Elena ke caffe, menunggu dia pulang, tidur berpelukan.
Dan sekarang Elena merindukan semua itu.

Walau, terkadang selesai bekerja dan istirahat di rumah, Elena


menyempatkan diri menghubungi Dipta. Dia bersyukur setidaknya
suaminya itu masing menyempatkan diri meladeni ocehan tak penting
Elena. Sesibuk apa pun suaminya tapi setiap kali dia menghubunginya,
Dipta selalu menyempatkan diri untuk mengangkat telponnya, atau
membalas chat yang Elena kirim padanya.

Jangan tanya selama Dipta keluar kota apakah pernah menghubungi Elena
atau tidak. Dan jawabanya adalah tidak. Suaminya itu tidak pernah sekali
pun menghubungi Elena. Jika mengharapkan Dipta akan menghubungimya
lebih dulu sama saja seperti mengharapkan hujan turun di gurun pasir.
Benar-benar langka.
Sekarang saja contohnya, dari kemarin Elena sibuk terus di caffe dan belum
sempat menghubungi Dipta. Maka Dipta tidak pernah ada inisiatif
menghubunginya lebih dulu. Elena sampai heran suaminya itu apa tidak
merindukannya.

Huuuuuftt.

"Pagi Len. Tumben loyo banget, kenapa?" Tegur Yuli yang sedang
merapikan meja saat Elena membuka pintu masuk caffe.

Elen tersenyum malas. "Pagi Yul, iya nih gue sibuk banget dari kemarin jadi
belum sempet minum vitamin."

Mata Yuli melebar sempurna. "Lo sekarang sering minum vitamin? Kok
gue baru tau ya kalau lo sering minum vitamin."

Elena hanya mengangkat bahu cuek menjawab Yuli. "Emang lo siapa,


sampai gue harus laporan kalau gue mau ngapa-ngapain. Teman bukan,
mama bukan, Apalagi pasangan." Ketus Elena seperti biasa.

"Najis." Kesal Yuli.

"Emang yang lo minum vitamin apa sih?" Tanya Yuli penasaran.

Vitamin suara ples-ples wajah laki gue lah.

Dengan wajah serius Elena menjawab." Lo penasaran ya?."

"Gue serius, pea."

Elena melirik ke sekelilingnya lalu mengisyaratkan Yuli mendekat. Yuli


sendiri langsung menurut mendekat ke arah Elena sangking penasaranya.

"KEPO." Bisik Elena yang langsung membuat wajah Yuli meregut kesal
karna berhasil dikerjain atasannya.

Tawa Elena pecah melihat wajah kesal Yuli. Setelah puas mengerjai Yuli,
dia berjalan ke arah ruanganya. Sepertinya menghubungi suaminya tidak
lah buruk.
Setelah menutup pintu rapat, Elena mencari ponselnya di dalam tas setelah
itu mencari-cari kontak Dipta. Begitu ketemu dia langsung menghubungi
Dipta bahkan deringan pertama langsung diangkat dan.

"Hallo." Suara dalam dan lembut itu terasa enak didengar telinga Elena.

Tukan jadi makin kangen.....

"Hallo mas."

"Iya, kenapa Len?"

His kok kenapa sih, dari kemarin gak hubungi sekalinya nelpon langsung
ditanya kenapa? Suaminya ini ngajak ribut kayaknya.

"Gak papa. Mas lagi apa?" Tanya Elena kalem dan manis sengaja
melembut-lembutkan suaranya agar Dipta tidak berfikir jika dia
merindukan suaranya setengah hidup.

Lama Dipta tidak menjawab, dia yang menunggu jawaban Dipta mengerjab
bingung. Suaminya tumben menjawab pertanyaan Elena lama, terlihat
sedang berpikir.

"Lagi dijalan ini, mau survei lokasi." Jawab Dipta pelan. Karna terlalu pelan
seperti sedang berbisik.

"Kak.."

Kening Elena mengkerut samar.

Itu suara cewek kan, ya?

"Len nanti lagi aku hubungi ya lagi sibuk soalnya." Ucap Dipta terdengar
panik.

Tanpa menunggu persetujuan Elena, Dipta langsung mematikan telpon.


Semua itu semakin membuat Elena merasa aneh. Suaminya beneran lagi
survei lokasi kan ya? Tapi kenapa perasaannya jadi gak enak.
Mungkin aja itu sekertarisnya?

Tapi sekertaris Dipta kan manggilnya bapak. Apa jangan-jangan?

Pertanyaan-pertanyaan negatif mulai berkeliaran di otak cantik Elena.

Bagaimana jika Dipta berbohong?

Bagaimana jika ternyata Dipta sedang bersama dengan wanita di sana?

Kenapa tadi Dipta terlihat sedikit panik dan buru-buru mematikan telpon?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sekarang hilir mudik di pikiran Elena,


dan sampai sekarang pertanyaan itu terasa mengganggu dirinya. Apa dia
harus percaya pada suaminya yang terlihat aneh hari ini?
Nyusul

Elena meletakan kepalanya di atas meja kerjanya, dengan posisi miring


bertumpu di atas telapak tanganya. Memandang nanar gadget yang ada di
depanya. Seharian ini ponsel Dipta tidak bisa dihubungi.

Elena terakhir menghubunginya kemarin pagi, itu pun hanya sebentar.


Padahal semalaman dia menunggu-nunggu, berharap Dipta akan
menghubunginya seperti janji pria itu sebelum menutup telepon kemarin.
Bahkan Elena sampai ketiduran menunggunya semalaman. Saat bangun
pagi pun, tidak ada satu pesan atau telepon yang berasal dari suami
tampannya itu .

Nyesek Rek..

Apa Dipta baik-baik saja?

Apa Dipta makan dengan benar?

Dipta gak lagi sakitkan ya?

Kok Dipta gak kangen gue sih?

Gimana kalau Dipta lagi sakit, terus gak ada yang ngurusin? Duh kan
kasian..

Semua pikiran-pikiran buruk berkeliaran di kepala cantik Elena. Bahkan dia


berulang kali menarik nafas dan mengeluarkanya untuk mereda perasaan
aneh di dadanya. Entah khawatir atau rindu Elena sendiri juga tidak tau.

Bener kata Dillan kangen itu berat. Bahkan lebih berat dari beban hidup
gue. Pantes Dipta kagak kangen gue, orang kangen itu berat.
"Len..." Panggil Hanum di depan pintu masuk ruangan Elena.

Seharian ini Hanum mencari-cari Elena, tapi batang hidungnya sama sekali
tidak kelihatan.

Tumben banget ni orang ngengkrem di ruangan. Pikir Hanum.

Elena hanya meliriknya sekilas tanpa mau repot-repot memandang kakak


iparnya itu lebih lama. Moodnya hari ini lagi anjlok plus tiarap, jadi Elena
lagi malas meladeni sifat sters Hanum.

Hanum melangkah mendekat ke arah Elena. "Kenapa lo?" Tanya Hanum


heran.

Pasalnya Elena yang dia kenal tidak pernah bad mood, loyo, letoy, galau
dan ngenes kayak sekarang. Melihat Elena yang seperti ini membuat
Hanum merasa aneh.

Langka loh ini, Elena bisa anteng, ayem tentrem begini. Jangan-janangan
lagi bokek ni orang?

Elena diam tidak menjawab.

"Woy, Elena." Panggil Hanum sambil menoel-noel pipi adik iparnya.

"Kenapa sih mbak?" Ucap Elena sambil menyingkirkan tangan Hanum dari
pipinya dengan kesal.

Kesel ihh ganggu aja, gak tau apa gue lagi bete, galauu, gegana karna
mala rindu yang melanda. Uhhh.

"Alhamdulillah. Gue kira lo ketempelan jin ruangan ini." Ucap Hanum.

"Berisik lo mbak. Sono ah keluar! Gue lagi malas liat muka lo." Usir Elena
pada Hanum menggunakan tanganya.

"Yeee. Ditanyain juga malah sewot." Ucap Henum. "Kenapa sih lo, Len.
Galau lo. Perasaan hari ini lo kayak gak ada gairah-gairah hidupnya. Tau
gak?"
"Enggak." Ketus Elena.

Udah tau lagi galau pakek nanya lagi.

"Kampret lo. Gue serius juga."

"Dah ah. Mood gue langsung tiarap denger suara lo mbak."

"Najis. Gini-gini suara gue kayak Luna Maya kali."

"Luna Maya. Luna Maya. Lucita Luna kali yang bener." Cibir Elena sinis.

"Lo kira gue laki jadi-jadian. Gue cewek tulen kali. Gak liat muka gue
kinclong begini." Ucap Hanum ketus.

"Muka kayak parutan kepala aja sombong." Celetuk Elena asal.

Hanum melotot.

"Mata lo katarak? Muka udah kelas artis dibilang kayak parutan kelapa."

Elena terbahak mendengar ucapan Hanum.

"Bahagia banget lo habis ngehina gue?" Sindir Hanum.

Elena lngsung mencibir Hanum kuat begitu tau jika Hanum mulai kesal.
Hanum yang mendapat cibiran Elena hanya diam, tidak membalas. Jika
Hanum balas bisa-bisa mereka akan berdebat sampai besok.

Akhirnya, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Sampai akhirnya


Elena kembali keposisi semula.

Galau...

"Len."

"Hm."
"Sakit lo? Gih pulang kalau lo sakit." Suruh Hanum menepuk punggung
Elena pelan.

Elena hanya diam tidak menjawab. Sambil terus memperhatikan ponselnya,


Hanum mendesah panjang melihat respon Elena yang hanya diam.

"Lo lagi ada masalah? Jangan-jangan lo lagi berantem lagi sama Dipta? Ayo
ngaku?" Tuduh Hanum memicingkan mata curiga.

Elena mendesis pelan melirik Hanum penuh protes. "Gimana mau berantem
kalau komunikasi aja jarang."

"Hohoho. Gue tahu sekarang. Jadi ceritanya lo lagi kangen ni ma adek


gue?" Ucap Hanum menggoda Elena dengan menaik turun kan alisnya.

Elena melirik Hanum malas. "Lama-lama gue lakban juga itu mulut lo
mbak." Ketusnya.

Mendengar nada ketus Elena Hanum langsung diam. Hanum melihat Elena
lama. Teman sekaligus adik iparnya ini sudah terlihat seperti zombi. Ada
lingkaran hitam disekitar wajahnya, bahkan make up tipis Elena tidak
terlihat, tertutup oleh wajah kusutnya.

Atau memang Elena hari ini tidak menggunakan make up? Wajah lelahnya
sangat ketara, raut wajahnya juga terlihat redup tidak secerah biasanya.
Sepertinya, adiknya Dipta berhasil membuat Elena melupakan kebiasaanya,
yaitu tetap terlihat modis dan fresh. Buktinya sekarang Elena terlihat awut-
awutan dan loyo.

"Lo gak ada niatan buat nyusulin Dipta?" Tanya Hanum.

"Lo kira dia di sana lagi liburan. Di susulin?"

"Ya Elah. Gak masalah kali. Gue aja sering susulin mas Dewa keluar negeri
kalau lagi perjalanan bisnis. Dia malah bahagia banget kalau gue susulin,
mana kita jadi bisa cinta-cintaan lagi." Cerita Hanum.

Elena diam nampak berfikir.


Apa yang bakal gue bilang ke Dipta kalau gue nyusulin dia? Dia bakal
mikir gue lebay gak sih,? Tapi kan gue kangen, lagian janjinya dua minggu
kenapa jadi lebih sih. Keselll ihh.

"Gimana? Lo mau nyusul?"

"Tapi kan gue gak tau dia di mana?" Bisik Elena pelan.

"Elah gampang itu mah." Ucap Hanum sambil mengibaskan sebelah


tanganya.

"Sekalian kita honeymoon di sana!!" Sambung Hanum semangat.

"Kita?" Tanya Elena bingung.

"Ya iyalah kita, siapa lagi?" Jawab Hanum. "Yuk siap-siap." Sambung
Hanum semangat.

"Sekarang mbak?" Tanya Elena terdengar ragu.

"Tahun depan. Ya iya lah sekarang, Elena!" Ucap Hanum gemas.

"Tapi kan-"

Hanum langsung memotong ucapan Elena, dengan menggoyang-goyangkan


jari telunjuknya di depan wajah. "Eit lo gak boleh protes. Dan, lo tenang
aja. Serahin semuanya ke gue. Dan lo cukup diam, liat dan nikmati
hasilnya." Ucap Hanum sombong.

"Terus kerjaan gue gimana dong? Gak enak kali mbak. Masa gue ijin terus."

"Lo pergi kan sama bos." Ucap Hanum menepuk dadanya bangga. "Jadi lo
gak perlu ijin, anggep aja kita kerja sambil liburan. Itung-itung kado
pernikahan lo dari gue."

"Emang bisa gitu?"

"Ya bisalah. Apa sih yang gak bisa Hanum Aindira lakukan." Ucap Hanum
bangga.
****

Elena terus melangkahkan kakinya mengikuti Hanum dari belakang.


Mengedarkan pandanganya ke sekeliling bandara.

Jujur ini kali pertama dia akan naik pesawat seumur hidupnya. Perasaan
takut, nerves, dan was-was bercampur aduk menjadi satu. Membuatnya
tidak bisa berpikir dengan jernih.

Dengan ragu Elena terus berjalan mengikuti Hanum yang berjalan santai di
depanya.

Wajah Elena langsung putih pucat begitu melihat pesawat sudah parkir
tidak jauh dari tempat berdirinya.

Sampai di ujung jalan, Elena menarik tangan Hanum yang berjalan di


depanya hingga membuat Hanum menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" Tanya Hanum bingung.

"Gue kayaknya takut naik pesawat deh mbak."

"Maksudnya?" Tanya Hanum kaget sekaligus tak percaya.

Ada ya, jaman modern begini orang masih takut naik pesawat?

"Perasaan gue gak enak mbak. Gue ta--takut sumpah." Cicit Elena pelan.
Hanum terbahak mendengar ucapan adik iparnya. Tidak menyangka Elena
yang notabennya pecicilan alias abstrak takut naik pesawat. Ini benar-benar
lucu menurutnya.

Elena cuman tersenyum kaku. "Ya udah santai aja. Gue ada obat tidur, entar
lo bisa minum pas di.dalam pesawat." Ucap Hanum menenangkan.

Semakin dekat pesawat yang akan ditumpanginya, semakin membuat Elena


merasakan tubuhnya panas dingin. Bahkan keringat dingin yang sedari tadi
membanjiri tubuhnya, semakin banyak hingga hampir sekujur tubuhnya
basah kuyup karna keringat.
"Len ayok.." Ajak Hanum yang sudah berdiri agak jauh dari Elena.

"Mbak gue takut. Serius deh. Sumpah demi apa pun, gue ngeri mbak." Ucap
Elena dengan raut wajah hampir menangis sangking takutnya.

"Santai aja kali Len. Pesawatnya gak bakal goyang, apa lagi sampai
nyungsep cuman gara-gara lo naikain. Orang ada supirnya ini. Udah ah.
Ayo buruan. Gak usah drama." Ucap Hanum santai sedikit menarik tangan
Elena untuk mengikuti langkahnya. Elena yang ditarik secara paksa oleh
Hanum hanya bisa pasrah sambil terus menggumamkan doa di dalam
hatinya.

Saat Elena dan Hanum sudah memasuki pesawat. Elena dibuat menganga
karna speechlessnya yang disuguhkan di dalam pesawat. Elena sampai
bertanya-tanya sekaya apa sebenarnya keluarga suaminya ini?

Bagaimana mungkin mereka menaiki pesawat semewah ini, bahkan hanya


ada beberapa orang saja di dalam. Itu pun kebanyakan

Hanum, bosnya ini mengenalnya dan menyapanya sopan.

Duh duh duh. Kayanya, kaya beneran laki gue.

"Len duduk sini." Ajak Hanum.

Pramugari menyuruh Elena duduk di samping Hanum. Dia hanya diam dan
menurut. Seolah Pramugari itu tahu jika ini kali pertama Elena naik
pesawat.

Apa dijidat gue tertulis BELUM PERNAH NAIK PESAWAT? Gitu banget
sih ya tatapan mbaknya.

Kemudian menerangkan prosedur saat penerbangan secara singkat, padat


dan jelas. Sedang Elena hanya manggut-manggut saja tanpa tau, otaknya
benar-benar mengerti atau tidak maksudnya. Setelah menawarkan minuman
dan beberapa makanan padanya, yang langsung Elena tolak dengan sopan,
paramugari langsung kembali ketempatnya semula.
Ya allah gini amat sih hidup gue, mau nyusulin suami aja harus pakai
taruhan nyawa. Awas aja lo papan seluncur kalau sampai ketemu, lo malah
bersikap cuek ke gue. Gue pites-pites lo kalau perlu sampai hancur lebur
kayak perkedel. Pokoknya lo harus bayar mahal pengorbanan gue. Ini gue
hampir jantungan naik pesawat. Kalau bisa mah, mending gue milih naik
mobil dari pada naik pesawat.

"Len lo gak papa? Muka lo pucet banget. Nih minum obat tidur." Ucap
Hanum menyodorkan capsul obat ke arah Elena.

Elena menerimanya dengan tangan gemetar, bahkan keringat di wajahnya


sudah sebesar biji jagung sangking takutnya. Setelah menerima capsul yang
disodorkan Hanum beserta air minum, dia langsung meminumnya tanpa
ragu. Berharap obat yang dia minum bisa membawanya ke alam mimpi.

Kan enak bangun-bangun udah bobok cantik aja di pelukan paksu. Dih
ngarep.

"Udah?" Tanya Hanum saat Elena menyodorkan gelas kosong yang tadi
disodorkan padanya.

"Udag rileks aja. Lo tidur aja entar kalau udah sampai gue bangunin." Ucap
Hanum.

Elena hanya mengangguk patuh, dan memejam kan matanya. Mungkin


obatnya sudah bereaksi karna sekarang Elena merasa matanya sangat berat
dan ngantuk luar biasa.

****

Elena menggeliat saat merasakan tepukan di pipinya.

"Len ayok bangun kita udah sampe." Ucap Hanum berusaha


membangunkan Elena.

"Kita udah sampe mbak?"

"Iya, ayo buru turun!" ketus Hanum.


Bukannya ikut turun Elena malah memeluk Hanum erat, kakinya sampai
loncat-loncat kecil saking senengnya.

"Len, apa'an sih lo? Jangan norak deh! Lepas!" Hanum dengan kesal
melepas pelukan Elena secara paksa.

Mengerucutkan bibirnya kesal, Elena menatap Hanum keki. "Gak seru lo


mba."

"Bodo." Ketus Hanum. "Ayo buru turun. Gue tinggal ni lo, gak mau turun."
Ancam Hanum melenggang pergi.

"Iya iya." Ucap Elena mengikuti langkah Hanum.

Pak su, i'm coming...


Bertemu

Elena memperhatikan pantulan dirinya dicermin. Gaun abu-abu dengan


aksen pita dipinggangnya membuat dia merasa aneh, baju kemeja dan
celana bahanya sudah berubah menjadi dress cantik berlengan pendek
berwarna abu-abu dengan aksen pita sebatas lulut. Tidak ada lagi celana
panjang yang ada hanya kaki jenjangnya tepampang jelas sekarang.
Ditambah dress itu sedikit memperlihatkn lekuk tubuhnya yang membuat
Elena sedikit malu.

Agak risih cuman saat beberapa pelayan toko mengatakan dia nampak
cantik dan anggun, membuat Elena sedikit PD.

"Nah liat, sekarang lo udah kayak upik abu yang berubah menjadi
Cinderella." Ucap Hanum menyadarkan Elena.

Setelah selesai membeli beberapa potong baju, Hanum langsung menarik


Elena ke salon. Merubah rambut lurus panjangnya menjadi sedikit
gelombang dengan warna kecoklatan. Elena sampai pangling melihat
perubahan wajahnya.

Emang duit gak pernah bohong ya, kalau cuman mau buat bikin cewek
cantik mah gampang. Batin Elena.

"Gimana udah siap ketemu Dipta?" Goda Hanum.

Elena dengan semangat langsung mengacungkan kedua jempolnya ke arah


Hanum. Membuat Hanum membalasnya dengan acungan jempol juga.

Gak sabar ni kira-kira gimana ya reaksinya paksu, liat gue yang udah
cuantekk gini. Elena cekikikan membayangkan pemikirannya sendiri.

"Yuk." Ajak Hanum menggandeng sebelah tangan Elena.


"Mbak lo yakin? Kalau dandanan gue gak aneh?" Tanya Elena sedikit was-
was.

Pasalnyakan, dia kan gak pernah dandan, mana dandanannya berlebihan


gini lagi. Ya gak berlebihan banget sih karna cuman pakai make up tipis
plus dress, tapi yang biasanya Elena pakai celana tiba-tiba harus pakai rok
kan jadi gimana gitu. Berasa aneh deh intinya.

"Tenang percaya sama gue. Kalau sampai Dipta gak terpesona sama lo,
berarti laki lo itu matanya udah mines atau yang lebih parah katarak. Gak
bisa bedain cewek cantik sama cewek burik."

"Najis, lo ngatain gue mbak?"

"Dih ngarang. Gue itu muji bukan ngatain bego."

"Lah itu burik?"

"Lah emang sekarang lo ngerasa burik?"

"Tau lah mbak, ngomong sama lo kayak ngomong sama tembok. Gak
dijawab bikin emosi kalau ngejawab malah bikin naik darah tinggi." Dumel
Elena.

"Dih gitu aja baper..."

****

Mereka tiba di hotel yang kata Hanum tempat menginap Dipta, hotel
mewah dengan gaya modern dan sedikit sentuhan klasik membuat Elena
semakin menganga takjub.

Belum lagi saat mereka baru pertama masuk, seorang pria paruh baya
langsung menghampiri Hanum.

Pak Johan, itu namanya. Seorang manager di hotel ini menyambut mereka
sopan dan ramah. Bahkan memberikan pelayanan yang menurut Elena
sangat berlebihan.
"Bagus mbak hotelnya."

"Iya dong hotel siapa dulu, laki lo." Ucap Hanum bangga.

Elena yang mendengar suaminya disebut langsung menganga tak percaya.


Ini yang salah siapa sih, suaminya yang terlalu kaya atau Hanum yang
emang udah gila? Yang punya hotel siapa, yang bangga siapa.

Duh duh gusti, sepertinya Elena mulai ikutan gila.

"Pak Jo kenal kan, ini Elena istri Dipta." Ucap Hanum memperkenalkan
setelah mereka duduk nyaman di meja bundar disalah satu restoran hotel.

Pak Johan sedikit tersentak mendengar wanita cantik yang berdiri di


depanya adalah istri atasannya. Sedikit membungkuk hormat, pak Johan
langsung memanggil beberapa pelayan untuk membawa barang-barang
yang dibawa Elena. Membuat Elena langsung merasa bingung.

"Biarkan kami yang membawa barang-barang ada nyonya." Tawar pak


Johan sopan.

Elena cuman menurut, membiarkan beberapa pelayan mengambil paper bag


yang ada di tanganya.

"Tolong antar ke kamar Dipta ya pak." Ucap Hanum yang langsung di


patuhi oleh pelayan yang membawa barang Elena.

"Lo mau keliling dulu atau istirahat di kamar?" Tanya Hanum.

"Gue keliling aja deh mbak, pengen liat-liat daerah sekitar sini juga."

"Nyonya mau saya temani keliling hotel? Hotel ini juga menghadap pada
pantai indah dengan pemandangan luar biasa nyonya. Di sini juga ada
tempat perawatan spa, kolam renang privat yang langsung terhubung
dengan lautan dan ada beberapa tempat kebugaran. Nyonya bisa
mengatakan pada saya ingin melihat-lihat yang mana?." Tawar pak Johan
ramah.

Wow. Seberapa kaya Dipta sebenarnya? Kenapa hotel ini begitu lengkap?
"Gak usah pak, saya sendiri aja." Tolak Elena halus.

"Baik lah kalau begitu saya permisi dulu nyonya. Kalau nyonya butuh
sesuatu, nyonya bisa memanggil saya langsung, atau beberapa pelayan di
sini, kami siap kapan saja melayani anda."

Duh enaknya jadi orang kaya apa-apa dilayani.

Elena mengangguk saja menjawab tawaran pak Johan di depanya.

"Mari saya permisi, nyonya Hanum, nyonya Elena."

Hanum dan Elena mangangguk kompak sebagai jawaban.

"Mbak kok bapak-bapak itu udah kenal lo sih?" Tanya Elena setelah pak
Johan pergi menjauh.

"Gue sering ke sini, kalau mas Dewa lagi dikalimantan. Dia juga kan
nginepnya di sini." Jelas Hanum.

"Suami lo juga sering ke sini mbak? Atau jangan-jangan sekarang lo mau


nagajak gue ke sini karna suami lo di sini lagi?" Tuduh Elena sambil
menyipitkan mata curiga.

Hanum hanya mengangkat bahu cuek.

Sialan, jadi maksud dia kemarin honeymoon bareng itu ini. Karna
suaminya juga di sini?

Elena langsung mendengus kesal melihat seringai Hanum, pantas saja


Hanum dari kemarin semangat sekali nyusulin Dipta. Orang suaminya juga
di sini.

"Udah gak usah kesel, lagian kalau laki gue gak di sini juga gue bakal anter
lo. Berhubung laki gue juga di sini, menyelam sambil minum air kan gak
masalah." Ucap Hanum sambil tersenyum bahagia.

"Terus mereka tau gak kalau kita ke sini?"


"Gak dong, kita buat surprise buat mereka." Ucap Hanum senang.

"Gimana kalau pelayan pak Johan tadi ngomong kalau kita ke sini?"

"Tenang masalah itu lo gak perlu khawatir. Sekarang yang terpenting lo


harus nurut sama gue biar berhasil."

"Gak yakin gue mbak sama rencana lo."

"Lo ngeremehin gue?" Tanya Hanum memicingkan mata.

Elena hanya mengangkat bahu cuek, wajah-wajah seperti Hanum ini pasti
gak meyakinkan kalau disuruh membuat surprise. Dulu saja saat mereka
ingin mengerjai anak caffe yang sedang ulang tahun, dan mereka semua
mengikuti ide Hanum, mereka malah gagal total. Bukanya berhasil dan
berjalan lancar yang ada malah mereka gagal dan terkena sial.

Elena berdiri dari duduknya. "Uda ah gue mau keliling, liat-liat sekitar
hotel." Ujarnya semangat.

"Nih." Hanum menyodorkan key card ke arah Elena. "Kalau lo capek


keliling lo bisa masuk ke kamar Dipta. Terus istirahat di sana."

Elena menerimanya dengan binar wajah bahagia. "Thanks ya mbak."


Ucapnya sambil melangkah keluar.

Waktunya memanjakan diri.

Elena terus melangkah mengelilingi hotel, angin sejuk langsung berhembus


ketika Elena sampai di jalan setapak arah ke pantai, di samping kiri kanan
dia terdapat beberapa pohon cemara, dan kelapa udara di sini benar-benar
sejuk. Pantas jika Dipta betah berlama-lama di sini tempatnya begitu
nyaman dan asri.

Elena tidak berhenti berdecak kagum bahkan pantainya begitu bersih dan
indah, suara ombak begitu merdu dan pasir putih bersih membuat dia
semakin betah berlama-lama di pinggir pantai ini.
Ketika terus berjalan menyusuri pantai, mata Elena langsung memicing tak
percaya ketika diujung pantai tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ada dua
anak manusia yang terlihat duduk di bawah pohon dengan beralaskan
karpet sedang bercengkrama layaknya sepasang kekasih yang sedang
menikmati indahnya sore di tepi pantai.

Tapi bukan masalah untuk Elena jika pria yang duduk di sana adalah pria
yang tidak dikenalnya. Dan, akan menjadi masalah besar jika pria yang
duduk di sana adalah pria yang dikenalnya. Pria yang sama, yang membuat
alasan dia jauh-jauh datang ke sini. Hingga mempertaruhkan nyawanya.

Nyawanya loh ini, yang cuman ada satu-satunya di dunia. Gak ada
serepnya. Gak ada yang memperjual belikan apa lagi sampai bergaransi.
Kan ambyar kalau sampai melayang ketika dia belum pernah merasakan
yang namanya malam pertama dan belaian mesra suami tampanya. Duh
Elena fokus.

Dengan perasaaan dongkol luar biasa dia melangkah lebar ke arah dua anak
manusia yang terlihat asik berbincang.

Berkacak pinggang."REVAN PRADIPTA." Teriak Elena menggelegar


seperti manusia yang sudah siap mencabut nyawa.

Dipta menjengit kaget saat mendengar ada yang berterik memanggil


namanya, matanya tambah melotot begitu tau siapa orang yang meneriaki
namanya.

Elena, istrinya, sedang berkacang pinggang dengan wajah merah menahan


amarah yang siap meledak kapan saja. Tapi bukan itu permasalahanya.

Bagaimana istrinya bisa sampai ke sini? Apa Dipta belum bangun pagi ini,
jadi berhalusinasi atau masih di alam mimpi?

Sentuhan lembut ditanganya menyadarkan Dipta dari keterkejutanya.


"Siapa Dip?"

Tatapan Elena benar-benar dongkol luar biasa sekarang, seakan dia siap
untuk memakan orang hidup-hidup termaksud dua sejoli yang malah asik
pegang-pegangan tangan itu.

Uhhh Elena mual rasanya melihat drama sore ini. Jadi dia jauh-jauh dari
jakarta langsung disuguhi dengan pemandangan yang meyakiti mata
seperti ini.

"Elena." Panggil Dipta, Elena mendengus kuat mendengar suara suaminya


yang memanggil namanya.

Melipat kedua tangan di depan dada, Elena memandang penuh marah pada
pria yang berusaha berdiri dan melangkah padanya.

"Sedang apa kamu di sini, Lena?" Tanya Dipta lembut. Sangking lembutnya
terasa mengalahkan angin yang berhembus di pantai ini.

"Kenapa emang aku gak boleh susulin suami aku yang lupa jalan pulang?"
Tanya Elena galak, ketara sekali jika dia sedang dalam mood yang tidak
baik.

Dipta tersenyum mendengar suara istri yang dia rindukan.

Nah kan suami Elena benar-benar ngeselin udah jelas-jelas ketauan


selingkuh, istrinya marah bukanya dibujuk malah dikasih senyuman begitu,
kan hati Elena jadi ambyar.

"Kenapa gak bilang kalau mau ke sini, hmm?"

Kalau gue ngomong, gue gak mungkin nangkep lo yang lagi mesraan kayak
gini bego.

Kalau biasanya Elena akan senang luar biasa mendengar nada lembut Dipta
berbeda sekarang. Rasa-rasanya ia ingin membabat habis siapa saja yang
memandang suaminya dengan tampang terpesona termaksud perempuan
yang sudah berdiri di belakang Dipta.

"Elena?" Panggil menyentuh menyentuh tangan Elena.

"Kenapa emangnya? Kamu gak suka kalau aku ada di sini?" Tanya Elena
ketus begitu melihat wanita yang bersama Dipta sudah berdiri disamping
suaminya.

Dipta tertawa lepas mendengar nada ketus istrinya. Bahkan perempuan


yang berdiri di sampingnya memandang takjub suaminya yang tertawa.

Woy mbak. Biasa aja dong lihatnya, situ gak pernah liat suami gue ketawa?
Najis iler lo hampir netes liat laki gue ketawa.

"Kamu marah?" Tanya Dipta disela-sela tawanya.

Elena yang melihat tawa Dipta untuk pertama kalinya, cuman melongo
bodoh.

Ihhh Dipta jangan ketawa mulu dong, gak liat itu muka temenya udah
megap-megap kayak ikan koi?

"Kamu udah makan?" Tanya Dipta setelah tawanya sudah reda.

"Dia siapa Dip?"

Elena menoleh. Menilai wanita yang berdiri di depanya, wajahnya sangat


cantik, ralat lumayan cantik untuk jajaran wanita-wanita yang sering Elena
temui, bahkan wanita seperti ini bisa bikin cowok noleh dua kali. Tapi harus
tetap ya, cantikan Elena anak mama Laras. Buktinya Dipta nikahnya sama
Elena gak mau sama yang lain. Elena tersenyum sinis melihat wanita itu
memandang penuh kagum pada suaminya.

Gue kasih pelajaran dulu ni cewek gak tau ya, kalau cowok yang lo taksir
ini udah punya bini.

"Dia istri saya." Jawab Dipta mantap.

Elena langsung menoleh cepat ke arah suaminya. Sedikit lega karna Dipta
masih memandang lurus ke arah Elena.

"Seriously?" Pekik wanita yang berdiri disamping Dipta. "Ops-Sory. Kapan


nikahnya kok beritanya gak nyampe ke aku?" Sambungnya lirih, ketara
sekali jika dia kecewa.
Woy mbak situ siapa sampai harus dikasih tau, presiden? Presiden aja gak
gue undang apa lagi lo.

"Beberapa bulan yang lalu." Ucap Dipta menoleh ke samping.

"Ehhm." Dehem Elena mencari perhatian Dipta.

Dipta menoleh. "Kenapa?"

"Aku haus." Ketus Elena.

Elena ini bukan cewek murahan ya. Walau Dipta sudah memperjelas
statusnya, tapi tetap aja gak bakal mempengaruhi rasa kesal dalam diri
Elena. Jadi perempuan itu gak boleh lemah.

Dipta mengulurkan tangan kananya ke arah Elena. "Mau balik ke hotel?"


Tawarnya lembut.

Walau masih kesal Elena tetap menerima uluran tangan suaminya.

Gak boleh nyia-nyiain rezeki kan?

Apa lagi ini yang pertama kalinya lo, suaminya mau gandeng dia. Jangan
bilang karna Dipta terpesona sama kecantika Elena yang terpendam? Jadi
dia mau gandeng Elena sekarang. Akhirnya Dipta sadar akan pesona Elena.

Duh senengnya. Besok dandan lagi deh biar bisa digandeng paksu lagi.
Ckk

Sebelum pergi, Dipta menoleh ke samping sebentar. "Jihan, maaf saya


duluan." Ucap Dipta formal.

Oh namanya Jihan to. Namanya gak secantik wajahnya- Eh sory wajahnya


gak secantik namanya

"Tapi meetting kita?" Protes Jihan terdengar tak terima.

"Kita lanjut besok, tapi kalau kamu keberatan nanti saya akan suruh
sekertaris saya untuk menggantikan saya di sini." Ucap Dipta tegas.
Em kalau Dipta begini makin cinta deh gue. Jadi pengen peluk..

"Ok deh, besok aja." Ucap Jihan lesu.

Dipta diam tidak berkomentar atau menjawab. "Yuk." Ajaknya pada Elena.

"Sampai jumpa meetting besok Dip." Seru Jihan sarat akan nada kecewa.

Elena mengangguk patuh. Mengikuti langkah lebar suaminya di depan.

Tidak ada yang membuka suara sepanjang perjalanan menuju hotel, Elena
juga masih sedikit kesal pada suaminya jadi terlalu malas jika harus
membuka obrolan. Kalau Dipta jangan tanya, sejak kapan suami tampan
Elena ini mau membuka suara kalau bukan karna mejawab atau bertanya
hal-hal yang menurutnya penting. Dipta kan gitu udah cuek, dingin lagi,
suka bikin Elena gemes-gemes cinta gimana gitu.

Elena memandang tautan tangan dirinya dan Dipta, suaminya itu terlihat
begitu erat menggenggam tangan Elena. Mau tidak mau sudut bibirnya
terangkat keatas.

"Jadi kita beneran pulang ke hotel? Atau kamu mau jalan-jalan dulu?"
Tawar Dipta.

Mauuuu gue mau jalan-jalan paksu. Tapi malu ah tadi kan gue udah bilang
haus, apa kata mbak Hanum kalau dia tau gue cuman bohong biar ngajak
kamu pergi dari klarap-klarap itu. Bisa habis diketawain gue.

"Kita bisa nyuruh pak Jo buat ngantar minuman kamu kalau kamu haus?"

Tawaran yang menggiurkan. Bisik Elena.

"Mau jalan-jalan ke mana?" Tanya Elena pelan. Tapi sarat akan rasa
bahagia yang tidak bisa ditutupi karna bibirnya mulai tertarik sedikit ke
atas.

Takut gue kalau ngomong kenceng-keceng. Takut jantung gue kaget terus
tiarap karna efek terlalu bahagia...
"Di ujung sana ada dermaga buatan, pemandanganya gak kalah bagus dari
ini. Kamu mau liat?" Tawar Dipta menunjuk ke arah utara.

Elena mengangguk patuh. "Boleh." Ucapnya semangat.

Mendengar nada semangat istrinya membuat Dipta terkekeh pelan. Elena


yang mendengar Dipta terkekeh, langsung mengtupkan bibirnya rapat.
Minder

Elena terus melangkah mengikuti langkah Dipta. Suaminya itu tidak


melepaskan tangan Elena sepanjang jalan menuju dermaga.

Sepanjang jalan pun Dipta sama sekali tidak mengajak Elena berbicara.
Seakan-akan suaminya itu terlihat sangat menikmati perjalananya.

Apa masih jauh?

"Apa tempatnya masih jauh?" Tanya Elena penasaran.

Suaminya itu kalau bukan Elena yang mengajak berbicara sudah pasti dia
tidak akan membuka mulut.

Boro-boro buka mulut narik bibirnya buat senyum aja pelitnya Nauzubillah.

"Kenapa? Kamu capek?" Tanya balik Dipta.

Kapan sih paksu kalau ditanya gak balik nanya?

"Iya." Jawab Elena kesel.

Sedari tadi mulutnya sudah gatal ingin berbicara, tapi memang suaminya ini
gak pernah peka membuat Elena harus rajin-rajin mengelus dada.

Sabar. Orang sabar pantatnya lebar Len.

"Sebentar lagi." Singkat padat itu lah jawaban Dipta.

Kalau sampai Elena bertanya, terus Dipta bisa menjawab lebih dari lima
kata. Itu adalah suatu keajaiban dari tuhan untuk Elena. Mukzijat lah
intinya.
Dan bisa dipastikan semua itu hanya akan menjadi angan-angan Elena.

"Sebentar laginya kapan?" Rengek Elena.

Biasanya kan cowok paling seneng kalau denger ceweknya ngerengek-


ngerengek manja. Kali aja suaminya Elena juga gitu.

Dipta yang mendengar rengekan Elena langsung menoleh. "Kamu salah


makan?"

"Makan?" Tanya Elena. "Maksudnya?" Sambungnya tak mengerti.

Dipta cuman mengangkat bahu cuek menjawab pertanyaan Elena. Terlalu


malas berbicara panjang lebar apa lagi harus menjelaskan.

Nah kan suami Elena beda.

Istrinya ngerengek capek dibilang salah makan, apa lagi ngerengek minta
gendong? Bisa ditinggal dia. Mau gandeng tangannya aja udah syukur, lah
ini masih ngerengek capek berharap biar digendong?

Tidur dulu yuk Len biar mimpi.

"Orang dari tadi belum juga makan." Keluh Elena.

Bohong. Elena berbohong, lah tadi yang makan di mall sambil belanja sama
Hanum siapa?

Jin jelmaan Elena?

Dipta berhenti berjalan sambil menoleh ke arah istrinya. "Kamu belum


makan?"

Denga wajah dibuat senelangsa mungkin Elena menggeleng dramatis. Biar


mendalamin peran gitu.

Dipta memandang wajah Elena lekat menimbang-nimbang apa yang akan


dia katakan setelah ini.
Elene yang dipandang lekat oleh suaminya langsung menggaruk tekuk
lehernya yang tidak gatal.

Grogi Coy....

Yes kayaknya gue bakal di gendong nih sama paksu. Gak mungkin tega kan
dia biarin istrinya jalan kaki sambil nahan perut-

"Ya udah kita balik ke hotel." Putus Dipta akhirnya.

Elena yang mendengar keputusan Dipta malah mendengus kesal.

Dasar gak peka-gak peka-gak peka.

Aaaaaa. Mama ... pengen nangis.

Dengan perasaan dongkol luar biasa Elena melepas tangan Dipta kasar.
Berjalan lebih dulu ke arah depan.

Dermaganya cuman lurus kan ya? Gue takut salah lagi. Kan malu kalau
sampai Dipta tau gue salah tujuan lagi.

"Len." Panggil Dipta mengejar Elena.

Bingung sama jalan pikiran Elena ya mas Dipta. Kamu sih gak peka. Ckk

"Kamu marah?"

"GAK."

"Kamu marah ya?"

Udah tau pake nanya lagi. Dasar suami gak ada akhlak.

Elena terus berjalan ke arah depan mengabaikan Dipta yang sudah seperti
anak unggas mengikuti induknya, ngekor terus di belakang Elena.

"Len."
Belajar dari pengalaman Len, kalau dipanggil nengok jangan jalan terus
giliran salah aja- malu. Teriak malaikat dalam diri Elena.

"APA?" Bentak Elena galak.

"Langitnya mendung. Mau balik ke hotel aja gak?" Tawar Dipta dengan
suara halus.

Tukan giliran gue marah ngomong nya halus, pakek senyum-senyum lagi
tau banget kalau gue lemah dalam hal yang satu itu. Batin Elena dongkol.

"Kamu. Kalau mau balik pergi sana, susulin selingkuhan kamu itu." Ketus
Elena bersedekap menghadap ke arah laut lepas yang kelihatan mulai
pasang.

"Selingkuhan? Emang aku punya selingkuhan?" Tanya Dipta mengangkat


sebelah alisnya.

"Jihan selingkuhan kamu kan?" Sinis Elena.

"Kamu cemburu?"

"GAK."

"Iya." Ucap Dipta kalem.

"Siapa bilang aku cemburu?" Sembur Elena kesal.

"Terus sekarang marah kenapa?"

Dosa gak sih nenggelemin orang di laut? Gue lagi pengen nenggelemin
Dipta nih.

"Tau ah." Dumel Elena berbalik melangkah ke arah hotel.

Lama-lama bersama Dipta, Elena takut Khilaf.

Dipta mengikuti Elena dalam diam, tidak berkomentar lagi. Takut-takut


membuat mood istrinya semakin buruk.
Sesampainya di hotel Elena melangkah ke arah meja tempat Hanum duduk.
Bersyukur Hanum masih duduk diam di sana, dengan gedget di tanganya
dan beberapa makanan di mejanya.

Mengerutkan kening bingung. Hanum menatap Elena penuh dengan tanda


tanya ketika melihat wajah masam adik iparnya. Ditambah ada Dipta yang
mengekorinya di belakang gadis itu.

Bukannya udah ketemu suaminya kenapa cembetut itu muka? Batin Hanum.

"Kenapa lo?" Tanya Hanum penasaran.

Elena hanya diam tidak mau repot-repot menjawab, dia malah menarik
kursi di depan kakak iparnya dan duduk dengan malas.

"Kenapa dia?" Tanya Hanum menunjuk Elena dengan dagunya, begitu


Dipta sudah berdiri di sampingnya.

"Cemburu."

"Aku gak cemburu ya!" Protes Elena kesal.

Dipta hanya terkekeh pelan mendengar protes istrinya. Merasa lucu dengan
istri cantiknya itu.

"Cemburu kenapa sih?" Tanya Hanum mengabaikan dengusan keras Elena.

Dipta mengangkat bahu cuek. "Kita ke kamar." Ajak Dipta menarik pelan
tangan istrinya.

Mendengar Dipta mengajak Elena ke kamar membuat Hanum bersiul kuat


untuk menggoda pasangan baru itu.

*****

Elena cuman bisa pasrah ketika Dipta menarik sebelah tangannya ke arah
kamar.
Kalau dilihat seperti ini, Dipta seperti suami yang cinta mati pada Elena.
Karna sepanjang jalan masuk ke kamar, Dipta sesekali menoleh ke
belakang, ke arah Elena.

Seolah memastikan Elena masih dalam jarak pandangnya, atau lebih


parahnya tidak akan lari atau kabur. Tidak lupa bibirnya ditarik ke atas
sedikit membuat Elena hampir pingsan karna jantungan melihat betapa
tampanya suaminya itu.

Belum lagi, jika beberapa pelayan melihat dirinya dan Dipta lewat di depan
mereka. Mereka selalu berhenti dan membungkuk hormat tidak lupa ada
senyum sopan yang mereka berikan ke pada Elena dan Dipta.

Mau tidak mau Elena membalas senyum itu juga, karna merasa tidak enak.
Lagian kan dia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Jadi berasa aneh dan
risih. Beda dengan Elena berbeda juga dengan Dipta, tampang suami Elena
itu selalu lurus kayak tembok bangunan baru alias lempeng, gak ada
lekukan atau belokanya. Apa lagi samapi simpang pertigaan. Bahkan muka
cuek Dipta ketara sekali meski diperlakukan seperti itu oleh bawahanya.

Sombong banget yak ni bocah.

Kecuali kalau dia sedang melihat ke arah Elena. Ada senyumannya, tapi
cuman dikiiitttt banget.

Tapi walau cuman sedikit begitu sudah mampu membuat hati Elena klepek-
klepek dan jingkrak-jingkrak. Gak senyum aja buat jantungan apa lagi
senyum, bisa keserang setroke dadakan Elena.

Dipta terus menuntun Elena masuk lebih dalam ke lorong-lorong hotel.


Hotel bergaya mewah ala eropa dengan cat dinding warna putih dan golf itu
benar-benar membuat silau mata memandang.

Elena sampai heran seberapa banyak Dipta menghabiskan uang untuk


membangun hotel ini. Belum lagi untuk lampu-lmpu hias yang menghiasi
plafon-plafon hotel. Terlihat sangat mahal dan cantik. Elena berani bertaruh
untuk membeli tetek bengek hotel ini pasti suaminya itu menghabiskan
banyak uang. Elena sampai tidak berani membayangkan seberapa panjang
dan lebar tumpukan uang Dipta jika dikumpulkan untuk membangun hotel
ini. Bisa buat Elena tidur guling-guling kali ya?

Dia pun jadi suka bertanya-tanya seberapa kaya suaminya itu? Memiliki
perusahaan besar, hotel ini juga sangat mewah. Kira-kira apa lagi yang dia
tidak tau tentang suaminya? Punya pulau kah? Atau punya bank sendiri?

"Kamu ingin makan apa?" Tanya Dipta membuyarkan lamunan konyol


Elena.

Elena mengerjap bingung kapan mereka masuk ke kamarnya, kok udah di


dalam aja?

Kamar ini bukan seperti kamar hotel, karna kamarnya sangat besar. Bahkan
kamar ini lebih mirip seperti apartement. Ada sofa set lengkap dengan tv
super besar, ada kitchen set lengkap dengan peralatan dapurnya. Dan ada
dua kamar tidur yang saling terhubung.

Kamar ini setipe king suite. Tidak heran jika Dipta bisa betah berlama-
lama di sini, kamar ini benar-benar luar biasa keren. Lagian kan hotel ini
milik Dipta terserah dia mau tidur di mana.

Boleh kah sekarang Elena merasa insecure dengan Dipta yang levelnya
berada jauh di atasnya.

"Kenapa bengong?" Tanya Dipta untuk kedua kalinya. Saat melihat istrinya
malah diam sambil memperhatikan sekeliling hotel membuat dia heran.

Dulu saat di apartement Elena malah terlihat heboh, berulang kali


mengatakan WAH kenapa sekarang seperti anak ayam yang habis masuk
got. Diam dan terkesan canggung, Dipta tidak terlalu suka melihat Elena
yang seperti ini.

"Em, Kita tidur di sini?" Tanya Elena terdengar ragu.

Sekarang Elena benar-benar merasa Dipta itu benar-benar terlalu sempurna


untuknya. Bagaimana mungkin mantan tunangannya meninggalkan calon
suami seperti Dipta ini? Sedang Dipta adalah pria yang luar biasa sempurna
kalau soal materi dan fisik. Apa perasaan mantan tunangan Dipta juga sama
seperti apa yang Elena rasakan saat ini? Minder.

Dih kok jadi mellow sih gue.

"Iya. Kenapa? Kamu ingin pindah cari kamar lain?" Tanya Dipta
melangkah ke arah kulkas.

Elena hanya diam, melangkah ke arah sofa dan duduk diam di sana.
Gambaran semua kekayaan Dipta berputar diingatannya dan semua itu
sedikit mengganggu perasaan Elena.

Apa Elena harus pergi ke paranormal untuk mengecek seberapa besar


hokinya karna bisa mendapatkan Dipta? Atau dia juga harus mengecek
seberapa hebat jimat Dipta hingga membuat kedua orang tua Elena begitu
percaya pada pria itu?

Rasa dingin di pipi Elena membuat dia mengerjab kaget, dan menoleh cepat
pada sang pelaku. Dipta berdiri di sampingnya dengan botol air meneral
dingin di tanganya yang tadi diletakan di pipi Elena.

"Minum." Perintahnya terdengar otoriter.

Elena menurut, menerima botol air meneral dan meneguknya hingga tinggal
setengah. Memikirkan kekayaan Dipta membuat tenggorokanya kering.

Rasa marah, kesal yang Elena rasakan tadi pun menguap entah ke mana.
Yang ada sekarang adalah rasa tidak nyaman, malu dan sedikit minder.

Malu, minder karna selama ini Elena bersikap memalukan di depan Dipta.
Kan kemarin-kemarin Elena belum sadar seberapa kaya suaminya ini.
Berhubung sekarang sudah sadar boleh kan dia mundur teratur?

Tapi bagaimana dengan hatinya yang mulai suka pada suaminya, lagi pula
bukanya hidup itu kejam. Elena tidak munafik sebagai wanita juga dia ingin
pasangan yang kaya dan tampan tapi kenapa harus sekaya Dipta.
Bagaimana jika sikap dingin Dipta selama ini karna dia tidak nyaman pada
Elena?
Dih kan gue jadi mikir parno, belum siap aja gitu sakit hati yang tak
berdarah gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan. Bisik hati kecil Elena
nelangsa.

Memperhatikan botol yang ada di genggaman tanganya. Elena terlalu malu


untuk memandang Dipta yang duduk di depanya sekarang.

"Kamu masih marah?" Tanya Dipta yang duduk didepan Elena.

"Huh?" Tanya Elena mendongak melihat Dipta yang memandangnya aneh.

"Kenapa dari tadi diam aja? Atau kamu gak nyaman sama kamar ini?"

"Apa?"

Dipta mendengus kuat mendengar respon istrinya.

"Lupakan! Jadi kamu mau makan apa?"

"Aku gak laper. Aku boleh numpang ke kamar mandi gak?" Tanya Elena
ragu.

Dipta memandang aneh istrinya, sejak kapan istrinya itu ingin ke kamar
mandi pakai acara ijin padanya?

"Apa kita perlu ke dokter?" Tanya Dipta serius.

"Siapa yang sakit?"

"Kamu."

"Aku? Emang aku kenapa?"

"Kamu aneh. Apa kamu sakit?"

Sekarang gantian Elena yang mendengus. Suaminya bukan cuman dingin


ternyata tapi juga aneh hari ini.

"Emang aku dari tadi ngeluh sakit?"


Mengangkat bahu cuek. "Kalau gak sakit kenapa dari tadi diam?"

Wow disepanjang pernikahan mereka, ini adalah kali pertama Dipta mau
bertanya panjang-panjang pada Elena.

Haruskah dia buat tumpeng untuk merayakan semua ini?

Elena berdiri. "Di mana kamar mandinya?" Tanyanya.

Dipta menunjuk pintu di ujung ruangan dengan dagunya, untuk menjawab


pertanyaan istrinya. Tanpa banyak tanya Elena langsung melenggang pergi.
Dia butuh mandi sekarang agar bisa menjernihkan otaknya yang mendadak
panas. Panas karna melihat kenyataan hidupnya saat ini plus kekayaan
suaminya.
Gadis Ganjen

Elena menggeliat dalam tidurnya. Cahaya mentari pagi sedikit mengusik


tidur nyenyaknya. Pelan-pelan mata dengan bulu lentiknya terbuka
sempurna.

Mengedarkan pandanganya, Elena mengernyit bingung ketika mendapati


dirinya diruangan yang tampak asing.

Gue di mana?

"Sudah bangun?"

Elena menoleh ke sumber suara. Di sana, di sofa depan lemari buku Dipta
sedang duduk santai dengan buku super tebal di atas pangkuanya.

Melihat suaminya yang sudah segar, plus tampan, Elena baru ingat jika dia
saat ini berada di Kalimantan mengikuti ide Hanum untuk menyusul Dipta
bekerja.

Yes honeymoon gue, gue jadi bisa produksi anak entar sama paksu. Kan
udah beberapa hari dia sibuk kerja. Boleh dong hari ini libur? Eh

Semalam selesai mandi Elena tidak mendapati suaminya di mana pun


alhasil dia pun membaringkan tubuhnya di tempat tidur sembari menunggu
suaminya pulang. Tapi setelah itu Elena tidak ingat apa yang terjadi, karna
dia tertidur saat menunggu Dipta.

"Ingin sarapan dulu atau mandi dulu?" Tanya Dipta yang berjalan ke
arahnya.

"Sarapan dulu boleh? Aku udah laper soalnya." Jawab Elena sedikit malu-
malu.
Heleh biasanya juga malu-maluin Len.

"Gimana gak laper kamu dari semalam belum makan. Mau sarapan apa?"
Tanya Dipta lagi sambil duduk di ujung ranjang di dekat istrinya.

"Nasi goreng." Jawab Elena.

Setelah mendengar jawaban Elena, Dipta langsung sibuk berbicara dengan


telpon di meja samping tempat tidur.

Elena hanya diam memperhatikan suaminya. Yang sedang sibuk berbicara


lewat telpon. Suaminya bahkan sudah tampan dengan kaos panjang ditarik
sampai siku dan celana trening panjag. Sedang dirinya, boro-boro mandi
nyuci muka aja belum.

Selesai memesan makanan Dipta memandang Elena intens. Elena yang


mendapat tatapan intens dari suaminya cuman menelan ludah gugup.

Kok paksu mandangnya gitu banget sih. Apa aura kecantikan gue keluar
lagi? Kan cewek kalau bangun tidur aura cantiknya keluar. Dih bener ini
terpesona kayanya dia. Du du du kan jadi pengen nyender elus-elus dada
gitu.

"Auuu." Teriak Elena meringis, setelah Dipta menyentil keningnya.

Elena mengusap keningnya pelan. "Apa sih main pukul-pukul?" ketusnya.

"Hilangkan pikiran konyol yang ada di otak kamu. Dan jangan lebay, aku
nyentil gak mukul."

"Seneng banget KDRT." Dumelnya lagi.

"Aku denger Elena."

Bodo.

Dipta sedikit merasa tega begitu melihat wajah kesal istrinya, istrinya
kembali seperti semula, bawel dan lucu. Semalaman Dipta hampir tidak
bisa tidur nyenyak ketika memikirkan sikap Elena yang sedikit aneh
beberapa hari ini. Di mana dia selalu diam dan juga nampak murung.
Beruntung sekarang istrinya telah kembali. Tidak sia-sia dia memundurkan
jadwal meetingnya pagi ini demi bisa menunggui istrinya bangun tidur.

Suara pintu diketuk membuat Dipta beranjak dari duduknya.

Elena memperhatikan Dipta yang beranjak dari duduknya setelah


mendengar pintu kamar mereka diketuk. Suaminya itu terlihat cuek dan
dingin ketika menyuruh para pelayan membawa masuk pesanan mereka.
Apa suaminya semenyeramkan itu, kenapa para pelayan terlihat takut dan
gemetaran?

"Terima kasih." Ucap Elena pada pelayan yang mendorong troli pesananya
ke samping tempat tidurnya. Para pelayang yang mendengar nada ramah
istri bosnya hanya menunduk hormat dengan senyum canggung.

Setelah para pelayan pergi. Mata Elena langsung berbinar bahagia begitu
melihat nasi goreng pesananya sudah ada di depan mata.

Turun dari kasur tak sabaran, Elena langsung akan menarik piring ketika
mendengar suara bas Dipta.

"Kamu gak mau cuci tangan dulu?" Tanya Dipta.

"Boleh nanti habis makan aja gak?" Tanya Elena memelas.

Bukan apa-apa perut Elena sudah meronta-ronta begitu indra penciumanya


mencium aroma nasi goreng yang menghiurkan di depan matanya.

"Jorok." Sindir Dipta sadis. "Sana cuci tangan dulu sekalian cuci muka."
Sambungnya enteng.

Dengan perasaan dongkol Elena melangkah secepat yang dia bisa ke arah
kamar mandi. Dengan kaki dihentak-hetakan plus mendumel kesal di
sepanjang langkahnya.

Suaminya tidak bisa apa, melihat wajah bahagia Elena sebentar saja?
Kenapa dia senang sekali cari gara-gara?
****

Elena berjalan dengan langkah lebih ringan keluar dari kamar hotel pagi ini.
Hari ini dia nampak cantik dengan balutan dres berwarna pastel pink
pendek tanpa lengan yang panjangnya selutut, dengan aksen kerah berdiri
dan hiasan lipatan-lipatan kecil dibagian dada. Dia nampak modis dan
cantik, tidak lupa dia juga mengenakan blejer rajut berwarna putih. Benar-
benar simple. Elena nampak feminim dan manis bukan.

Sedang Dipta, dia nampak rapi dengan stelan kerja, kemeja putih panjang
lengkap dengan celana bahan hitam, tidak lupa dengan jas yang warnanya
senada dengan celananya. Dipta hanya berjalan di belakang Elena
memperhatikan istrinya yang nampak bahagia hari ini.

Padahal dia hanya akan ikut Dipta meeting, dan mengecek beberapa lokasi
survei. Tapi istrinya itu nampak sangat bahagia seperti mereka akan liburan
keluar negeri saja. Dipta sedikit menyesal lantaran beberapa hari ini dia
hanya meninggalkan istrinya di dalam kamar saja. Tahu begitu kemarin dia
ajak saja istrinya itu bekerja.

Karna terlalu semangat, Elena sampai berjalan kurang hati-hati. Hampir


saja dia menabrak seorang pelayan yang berjalan dari arah yang berlawanan
dengan mereka, pelayan itu terlihat sedang berjalan terburu-buru.

Hingga saat berada di lorong hotel dia hampir menabrak istri bosnya kalau
saja Dipta tidak menarik pinggang Elena mundur. Hingga Elena menabrak
tubuh depan Dipta, Elena nampak kaget dan syok belum lagi heels yang dia
gunakan juga tidak bisa menahan berat tubuhnya. Berakhir Elena hampir
jatuh mencium lantai kalau Dipta tidak menariknya lebih dalam masuk
kepelukan pria itu.

Pelayang yang hampir menabrak Elena pun tak kalah terkejut dengan
tabrakan tak sengaja itu, bahkan wajahnya lngsung putih pucat begitu tau
jika yang hampir dia tabrak adalah istri bosnya. Membuat tatapan bosnya
terlihat dingin dan menakutkan.

Dengan badan gemetar dia berulang kali membungkuk hormat, sambil terus
mengucapkan kata maaf dari bibir pucatnya.
"Apa kamu tidak punya mata?" Ucap Dipta dingin. Dipta tidak membentak
atau berbicara dengan nada tinggi tapi ucapanya sarat akan sebuah
ancaman.

Elena yang masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutanya, hanya


mengedipkan matanya berkali-kali.

"Ma-maaf kan saya tuan. Saya tidak sengaja, saya berjanji tidak akan
mengulanginya lagi." Ucap pelayang itu sambil berulang kali membungkuk.

"Tidak sengaja kamu bilang?" Tanya Dipta berbahaya.

"Tuan, saya mohon jangan pecat saya tuan. Saya mohon maaf."

Dipta hanya mendengus kuat mendengar ucapan pelayan itu.

"Mas." Panggil Elena meminta perhatian suaminya setelah kesadaranya


kembali.

"Aku gak papa. Lagian ini salah aku juga yang gak fokus sama langkah
ku."

"Kamu belain dia?" Tunjuk Dipta pada pelayan yang sudah hampir
menangis di depanya.

"Nyonya saya mohon maaf. Tolong maaf kan saya." Ucap pelayang kepada
Elena.

"Iya. Iya. Udah mas gak papa, saya juga salah tadi. Udah gak papa mas
lanjutin aja jalannya." Ucap Elena menyuruh pelayan itu pergi, tidak ingin
membuat suaminya tambah marah jika berlama-lama berhadapan dengan
pelayan itu. Kan kalau sampai di pecat kasian.

"Elena." Panggil Dipta semakin dingin.

"Mas udah ah, tadi kan aku juga salah. Jalannya kurang hati-hati anggap aja
ini musibah, masa masalah sepele seperti ini kamu mau jadi bos gak
berperasan sih, asal pecat karyawan."
"Kamu gak sadar tadi kamu hampir nyium lantai kalau aku gak narik
kamu?"

"Yang pentingkan aku gak jadi nyium lantai, malahan aku jadi nyium dada
suami aku." Ucap Elena sambil nyengir, menunjukan deretan gigi putihnya.

Kan lumayan pagi-pagi udah dipeluk suami.

"Ckk." Decak Dipta kuat.

"Coba deh lihat aku gak papa kok." Ucap Elena sambil berputar-putar di
depan Dipta.

Dipta yang melihat istrinya berputar-putar di depanya langsung menarik


lenganya. "Gak usah banyak tingkah, kamu bisa jatuh dengan sepatu
setinggi itu."

Elena yang mendapat perhatian dadakan dari suami, langsung tersenyum


lebar.

Tukan gue jadi pengen meleleh.

"Ayo." Ajak Dipta sambil maraih telapak tangan Elena.

Gitu dong paksu, istrinya digandeng, jangan dianggurin mulu. Entar


karatan baru tau rasa..

****

Elena berulang kali mendesis melihat keakraban suaminya dengan wanita


yang tempo dia temui di pantai bersama suaminya.

Siapa ya namanya, Jina? Jenang? Jihan? Ah ya Jihan. Gak, nama itu


kebagusan kalau Jihan. Jihan? Yang cocok itu namanya Jenang, iya
Jenang, soalnya itu badan udah kayak Jenang yang suka nempel-nempel di
badan Dipta.

Emang dasar semua laki-laki ganjen, disodorin badan kurus krempeng gitu
aja mau-mau aja. Gak sadar apa dari tadi aku liatin dari sini.
Seperti itu lah teriak-teriak isi hati Elena. Dengan tatapan membunuh Elena
seakan siap menguliti siapa saja yang dipandangnya.

Elena saat ini sedang duduk di sebuah kursi di sudut ruang rapat Dipta.
Matanya terus memperhatikan suaminya yang duduk tenang dengan wanita
yang duduk di sampingnya yang terus beringsut maju, sepertinya terlihat
sengaja menempelkan gunung kembarnya yang menurut Elena datar gak
ada seksi-seksinya.

Cih seksian juga punya gue.

Kenapa juga itu Jenang nempelin suaminya, kenapa gak cowok yang lain.
Contohnya tu di samping kiri Dipta, ada cowok yang gak kalah ganteng
dengan suaminya. Tadi pas Elena baru pertama masuk keruangan ini,
bahkan cowok itu udah senyum manis ke arah Elena.

Bukan sok ke GRan ya tapi itu lah faktanya. Bahkan sedari tadi cowok itu
suka curi-curi pandang ke arahnya. Tapi tenang Elena tetap setia kok sama
paksu, buktinya Elena pura-pura gak liat dan sibuk dengan gadgetnya.

"Mbak Frida." Panggil Elena pada sekertaris Dipta yang berdiri tak jauh
darinya.

"Iya bu?" Ucap Frida berjalan ke arah Elena.

"Mas Dipta masih lama gak sih rapatnya?" Tanya Elena yang sudah berasa
bosan.

"Mungkin sebentar lagi bu, tiga puluh menitan lagi."

Nunggu sepuluh menit lagi aja gak kuat, apa lagi nunggu tiga puluh menit?
Tau gitu mending gue gak ikut dia, bobok cantik di hotel aja kan enak kayak
kemarin.

"Aku boleh keluar sebentar gak. Bosen ni nunggu di sini."

"Tapi tadi pak Dipta pesen kalau ibu gak boleh ke mana-mana."
"Aku gak bakal jauh-jauh kok, jalan-jalan sekitar sini aja, udah bosen
banget soalnya." Ucap Elena memelas, bahkan wajahnya dibuat senelangsa
mungkin.

"Nanti kalau mas Diptanya udah kelar rapatnya, mbak bisa nelpon aku.
Gimana?" Sambung Elena memberi usul.

"Tapi bu-"

"Dah gak papa. Tenang, entar aku yang tanggung jawab kalau mas Dipta
marah." Ucap Elena berdiri dari duduknya.

"Apa mau saya temeni aja buk?" Tawar Frida.

"Jangan, nanti kalau mas Dipta butuh sesuatu gimana? Malah berabe lagi
kalau mbak tinggal. Bisa malah ngamuk entar dia."

"Tapi saya lebih takut kalau ibu pergi sendiri. Di sini agak susah sinyal
soalnya bu. Apa lagi di sini sangat rawan buat orang-orang baru seperti kita,
takutnya ibu nyasar. Saya temani saja ya?" Tawarnya lagi.

"Aku kan bukan anak kecil mbak, udah deh jangan khawatir. Aku gak bakal
jauh-jauh kok. Ok?"

"Tap-"

"Mbak gak percaya sama aku?" Tanya Elena mulai sedikit kesal.

Frida langsung menggeleng panik begitu dengar Elena bertanya dengan


nada yang mulai kesal. Sangat bahaya kalau istri bosnya ini tersinggung dan
marah kan?

"Ya udah kalau gitu aku pergi ya. Bye mbak Frida." Ucap Elena santai
sambil melangkah keluar ruangan.

Frida hanya memandang punggung istri bosnya dengan tatapan nanar,


takut-takut jika terjadi sesuatu dengan istri bosnya itu.
Khawatir

Elena terus berjalan keluar gedung. Dilihat dari letak tempat gedung ini
memang terlihat lebih sepi dibandingkan di jakarta. Disekitar gedung lebih
banyak pepohonan dan banga-bunga yang membuat tempat ini nampak asri.

Bahkan di depan gedung terdapat taman yang terlihat begitu aneh karna
lebih banyak tumbuhan hias dibandingkan bunga.

Dttttt.....rrr...Drrtttttt...

Getar ponsel di dalam tas mengalihkan pandangan Elena. Merogoh tas..

IBU RATU LARAS YANG TERHORMAT

Nama itu lah yang memenuhi layar ponsel Elena.

"Hallo." Sapa Elena setelah mengangkat telpon.

"Hallo Len."

"Kenapa ma?" Tanya Elena sambil berjalan lurus.

"Nanti kamu pulang jam berapa? Mama mau mampir deh ke rumah kamu."

Elena menepuk jidatnya pelan.

Mati gue, gue lupa lagi kemarin gak ijin mama mau pergi ke sini. Bisa
habis ini gue kena omelin mama. Belum lagi dramanya. Hadeh.

"Oh-Itu ma. Elena lagi gak di jakarta."

"Gak di jakarta. Terus kamu lagi di mana? Sama siapa?"


"Elena lagi ikut mas Dipta perjalanan bisnis." Ucap Elena meringis.

Perjalanan bisnis dari hongkong, yang ada mah lo nyusul kali Len. Jerit
hati kecilnya mencemooh.

"Alhamdulillah. Akhirnya anak mama keluar juga dari kampung halaman.


Ok-ok gak papa, kapan kamu pulang Len?" Seru Laras heboh.

Elena sampai menjauhkan ponselnya dari telinga karna mendengar jeritan


mamanya yang Lebay menurut Elena.

Elena cuman melongo mendengar jawaban mamanya.

Udah gitu doang respon mamanya? Gak ngomel? Apa lagi ada drama gitu?
Ini bener mamanya bukan sih?

"Elena?"

"Eh, iya ma?"

"Kamu dengerin mama ngomong gak sih?"

"Eh iya maaf ma, tadi sinyalnya ilang-ilang jadi suara putus-putus." Ucap
Elena berbohong.

Hadeh dijamin masuk neraka ini gue bohong mulu kerjaanya.

"Gak tau, orang baru kemarin Elena sampai sini. " Sambungnya lagi.

Nyusul ke sini maksudnya ma.

"Jadi kalian mau sekalian honeymoon gak?"

"Kata mbak Hanum sih iya."

"Kok kata Hanum sih."

Elena berhenti berjalan, otaknya sedang berpikir keras untuk mencari cara
bagaimana menyampaikan kata-kata yang pas pada mamanya. Bisa habis
Elena diolok-olok mamanya kalau tau dia yang nyusul bukan diajak.

"Ah gak penting deh ma. Mama kok tumben nelpon Elena?"

"Kenapa, kamu gak suka mama telepon?" Tanya Laras galak.

Elena kembali meringis mendengar nada galak mamanya.

Duh salah lagi.

"Gak. Bukan gitu ma, aneh aja gitu maksud Lena."

"Aneh-aneh!.Kamu aja anak durhaka pergi-pergi gak pamit mama,


mentang-mentang udah nikah ya kamu, Elena."

Elena menggaruk pipinya yang tidak gatal, kenapa sih mamanya dari tadi
berbelit-belit. Batinya. Kembali meneruskan langkah kakinya.

"Ah tapi itu gak penting, yang terpenting sekarang. Nanti kalau kamu
pulang kamu harus ngabarin mama."

"Lah emang kenapa?" Tanya Elena melanjutkan langkahnya sambil duduk


dikursi kayu dipinggir jalan.

"Ya bawain mama oleh-oleh la." Seru Laras senang. "Sekalian mama mau
ngundang tante Tuti kamu ke rumah mau pamer."

"Oh iya deh entar Elena bawain makanan ciri khas sini. Elena bawain yang
banyak biar mama bisa pamerin ke tante Tutinya gak tanggung-tanggung."
Ucap Elena berdiri dan melangkahkan lagi kakinya.

"Kok makanan sih Len?"

"Lah terus apa?"

"Barang kek yang bermerek. Tas gitu misalnya apa baju gitu."

"Isss mama matre banget sih." Dumel Elena.


"Ya gak papa dong sekali-kali. Masak honeymood keluar negri mamanya
dibeliin makanan doang pelit banget kamu."

Keluar negri?? Jangan-jangan mama kira gue keluar negri lagi.

"Siapa yang keluar negri?"

"Lah emang kamu bukan keluar negri?"

Elena mendengus kuat mendengar pertanyaan mamanya. "Orang Lena


cuman ke kalimantan."

Sekarang gantian Laras yang mendengus kuat.

"Kalau cuman ke kalimantan ngapain mama pemerin ke orang, Lena?


Kamu kadang-kadang pinternya kebangetan ya?" Sembur Laras kesal.

"Kan mama gak nanya Elena dulu tadi."

"Jadi kamu nyalahin mama?" Teriak Laras tak terima.

Salah lagi. Salah lagi. Nasib jadi anak kanjeng Laras ini selalu salah.

"Iss mama mah ngomel mulu."

"Ngomel mulu-ngomel mulu. Dah ah mama mau belanja, lama-lama


ngomong sama kamu bisa buat mama naik darah."

Tut....tut....tut....

Elena melongo melihat telponya yang dimatika sepihak oleh Laras.

Ya allah untung gue sabar.

Memasukan ponselnya ke dalam tas, Elena menarik nafas dalam-dalam


bicara dengan mamanya benar-benar menguji kesabaranya ternyata.
Memperhatikan sekelilingnya kening Elena mengernyit bingung.

Gue di mana?
Disekeliling Elena sekarang hanya ada pepohonan rimbun dan jalan-jalan
setapak, bahkan jalanan setapak itu memiliki banyak simpang-simpang dan
terlihat sudah berlumut.

Jangan bilang gue nyasar? Duh efek ngobrol sama mama ini bikin gue
gagal fokus.

"Duh, ini gue nyasar?" Gumam Elena terus berjalan ke arah yang
menurutnya jalan yang tadi dia lalui.

Tapi baru lima menit berjalan Elena sudah bertemu dengan persimpangan,
jalanya masih sama hanya setapak.

Hampir lima belas menit dia berjalan tapi entah perasaanya saja atau
memang benar jalan yang dia lewati dari tadi selalu berkahir di tempat yang
sama. Dia seperti berputar-putar ditempat yang sama.

Dengan kesal dia mengeluarkan ponsel, berniat menghubungi Dipta. Tapi


entah karna dewi kebereruntungan sedang tidak berpihak padanya atau
memang nasibnya yang sedang sial, ponsel canggih Elena benar-benar tidak
memiliki signal.

Kenapa tadi gue gak dengerin mbak Frida sih kalau udah gini gue harus
gimana? Sekarang gue sadar ternyata yang selama ini mama bilang kalau
IQ gue itu udah masuk tahap level jongkok harus diralat sekarang, karna
IQ gue bukan cuman di level jongkok melainkan sudah tiarap, membumi,
dan mendasar dalam tanah. Atau bahkan udah tenggelem di dalam lautan.
Duh duh Elena malang sekali nasib kamu. Batinnya

Nafas Elena sudah ngos-ngosan, entah sudah berapa lama dia berjalan.
Yang pasti, sejauh mata memandang dan kaki melangkah. Dia tak kunjung
menemukan jalan keluar dari tempat ini. Dia jadi teringat cerita jaman dulu
mamanya, di mana ada setan yang sering membuat orang tersesat dan akan
berjalan berputar-putar dijalan yang sama.

Tanpa sadar membuat Elena bergidik ngeri dibuatnya.


Haaaaaaaa. Dipta gue nyasar... Tolonginnn gue. Gue harus gimana
sekarang? Kalau disasarin setan beneran gimana? Kita bakalan gak inget
kan ya? Tapi, kok gue gak inget-inget jalan keluar. Duh, setan mana sih
yang jailin gue, gak kasian apa gue udah capek muter-muter?

Elena sudah seperti orang gila sekarang. Hanya bisa memperhatikan


sekeliling dengan pikiran-pikiran abstraknya.

Paksu, istrimu yang unyu-unyu plus cuantek ini nyasar. Tolonginnnnnn.

****

Dipta sedang asik mengobrol dengan beberapa rekan bisnisnya. Tidak sadar
jika istrinya, Elena sudah tidak ada diruangan yang sama denganya. Seakan
lupa jika tadi dia berangkat dengan Elena. Dipta terlihat menikmati
obrolanya.

"Permisi pak." Panggil Frida sekertaris Dipta terdengar berbisik.

Dipta hanya menoleh sekilas, dengan jari telunjutnya memerintahkan


sekertarisnya untuk diam. Karna dia sedang fokus mendengarkan rekannya
yang berbicara.

Sedang sekertarisnya terlihat bingung dan gelisah. Karna istri bosnya belum
juga kembali dari satu jam yang lalu. Bahkan saat dia hubungi nomornya
tidak aktif, entah memang disengaja atau karna memang karna tidak ada
signal.

"Pak Dipta." Panggil Frida sekali lagi.

Dipta menoleh dan melirik jam dipergelangan tanganya. "Sebentar Frida."


Ucapnya.

Setelah itu Dipta kembali fokus pada pembicaraan rekanya. Walau Dipta
sedikit heran dengan sekertarisnya hari ini, karna tumben sekali dia selalu
mengganggu Dipta berbicara dengan rekanya. Biasanya juga dia diam saja
walau Dipta sedikit melenceng dijam meeting yang sudah di tentukan.
Karna ada beberapa pembahasan yang belum menemukan jalan keluarnya.
Lima menit Frida menunggu Dipta selesai berbicara tapi belum ada tanda-
tanda bosnya itu menyudahi sesi obrolanya. Apa bosnya lupa jika dia
meeting hari ini ditemani istrinya?

Frida menimbag-nimbang apa dia katakan sekarang atau tetap menunggu


bosnya berdiskusi hingga selesai. Dan akhirnya. "Pak Dipta. Bu Elena
menghilang." Ucap Frida sedikit keras.

Dan berhasil, Dipta langsung menoleh cepat padanya begitu pun beberapa
rekanya. "Apa maksud kamu Frida?" Tanyanya heran yang langsung berdiri
menghadap penuh pada sekertarisnya.

"Sudah satu jam yang lalu. Bu Elena ijin keluar sebentar pak, untuk jalan-
jalan karna bosan. Dan sampai sekarang beliau belum kembali, saya sudah
menghubunginya tapi nomornya tidak aktif. Bahkan saya sudah mencoba
mencari keluar dan mengeceknya, tapi tidak ada tanda-tanda adanya beliau
disekitar sini." Jelas Frida sedikit takut.

Mendengar penjelasan Frida, Dipta langsung menoleh ke kursi yang di


duduki istrinya tadi. Umpatan keras langsung keluar dari mulutnya. Bahkan
Dipta melupakan beberapa rekanya yang memandangnya heran.

Tidak mau repot-repot berpamitan atau sekedar basa-basi Dipta langsung


saja melenggang pergi meninggalkan rekanya yang memandangnya
semakin heran.

Melihat Dipta yang langsung keluar Frida langsung memohon maaf pada
rekan Dipta, dan mengatakan jika Dipta ada keperluan mendadak.

Dipta sudah seperti orang kesetanan yang mencari Elena. Bahkan ponsel di
tanganya terus ditempelkan di telinga berusaha menghubungi istrinya, tapi
hanya jawaban operator yang terus dia dengar.

Mengedarkan pandanganya ke penjuru arah Dipta sudah seperti singa yang


sedang mencari mangsanya.

Hampir lima belas menit Dipta berkeliling gedung, tapi benar Elena,
istrinya tidak ada di mana-mana.
"Pak Dipta." Panggil Frida.

Dipta langsung melangkah cepat ke arah sekertarisnya. "Hubungi manager


gedung ini. Sekarang!" Perintah datar.

Terlihat sekali Dipta sedang dilanda panik luar biasa, daerah gedung ini
disekelilingi pepohonan dan taman-taman. Tapi masalahnya jika kita masuk
kepepohonan itu hanya akan mengarah pada tiga tempat, sebelah utara
tempat pemukima penduduk, dan selatan perkotaan. Lalu sebelah timur ada
hutan yang sering digunakan hiking oleh beberapa pendatang atau
pengunjung di sini.

Tidak masalah jika Elena melangkah ke kota atau pemukiman penduduk. Di


sana dia bisa mencari pertolongan untuk mengantarkannya kemari atau
hotel mereka. Tapi bagaimana jika istri cantiknya itu mengarah ke hutan?
Akan meminta tolong pada siapa dia, monyet yang bergelantungan
dipohon? Atau pada hewan buas yang dia temui. Jika sudah begitu
bukannya dibantu yang ada istri cantiknya akan dilalap habis oleh mereka.

Ya tuhan bahka pikiran-pikiran buruk sudah mulai menghantui Dipta. Dia


kembali melangkah ke ruanganya tadi dengan perasaan cemas dan khawatir.

Frida datang dengan seorang pria paruh baya yang Dipta yakini bahwa dia
adalah seorang manager disini.

"Selamat siang tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" Sapanya ramah.

"Istri saya hilang, saya yakin dia masuk ke hutan-hutan sekeliling sini. Apa
di sekitar sini dilengkapi CCTV atau kemanan lain?" Tanya Dipta pelan tapi
tatapannya tidak dapat dibohongi jika dia sedang khawatir.

Mendengar istri Dipta menghilang, rekan kerja Dipta serempak menoleh


padanya. Kebetulan belum ada yang keluar dari ruangan meeting itu tadi
karna mereka berencana membahas beberapa masalah lagi tanpa Dipta.

Manager gedung itu ragu-ragu menggeleng pelan.


Melihat gelengan manager itu. Amarah Dipta pun langsung tersulut.
"Bagaimana mungkin di tempat seperti ini kalian tidak menyediakan tingkat
keamanan yang ketat? HUH?" Semburnya kehilangan kontrol.

Semua orang langsung terbelalak mendengar teriakan Dipta, tak terkecuali


sekertarisnya. Dipta yang biasanya terlihat tenang, santai dan terkendali,
sekarang terlihat begitu murka dan marah. Jika biasanya Dipta selalu
menghadapi masalahnya dengan kepala dingin, berbeda dengan kali ini dia
terlihat begitu frustasi dan kalut.

Frida yang baru pertama kali ini melihat bosnya marah ikut menunduk
takut, selama hampir lima tahun dia bekerja dengan bosnya. Baru kali ini
dia melihat bosnya marah besar dan murka. Dan semua itu karna istrinya,
apa bosnya ini begitu mencintai istrinya? Karna dulu dengan mantan
tunanganya Dipta terlihat cuek dan dingin. Frida bisa melihat itu, ketika
beberapa kali mantan tunangan bosnya itu ikut perjalanan bisnis dengan
mereka.

"Maaf tuan, tapi kami pastikan istri anda akan baik-baik saja." Ucap
manager takut-takut.

"Saya tidak mau tau. Saya ingin secepatnya kalian temukan istri saya!"
Ucapnya tegas. "Kalau tidak, saya pastikan tempat ini akan mendapat
masalah karna itu." Sambungnya berbahaya.

Mananger itu hanya mengangguk dan pamit undur diri.

"Tenang kak, jangan panik. Jihan yakin istri kakak tidak akan kenapa-
kenapa, dia kan bukan anak kecil." Ucap Jihan yang berdiri dari duduknya
dan melangkah mendekat ke arah Dipta.

Dipta hanya melirik nya sekilas tanpa mau repot-repot berkomentar, karna
tangannya sekarang sedang sibuk dengan ponsel yang terus berusaha
menghubungi istrinya.

Melihat Dipta tidak peduli padanya, Jihan langsung memerah wajahnya


menahan kesal. "Lagian kenapa istri kakak itu begitu ceroboh, bagaimana
mungkin diusia yang tidak muda masih suka membuat orang repot." Ucap
Jihan mengejek.

Begitu mendengar Jihan membicarakan istrinya. Dipta langsung menatap


tajam wanita itu.

"Beruntung lah anda seorang wanita nona. Karna jika anda seorang laki-
laki. Saya pastikan. Bahwa saya akan melempar anda keluar sekarang."
Pelan tapi mematikan. Itulah yang Dipta ucap kan sekarang.

Jihan diam mematung mendengar ucapan Dipta. Tidak menyangka jika pria
yang disukainya selama ini, bisa menatapnya begitu tajam dan berbicara
begitu mengerikan hari ini. Hanya karna dia kehilangan istrinya. Sial.

Dengan tatapan sinis, Jihan langsung melenggang pergi meninggalkan


Dipta dan beberapa rekan bisnis yang berbisik-bisik tentangnya.

"Frida." Panggil Dipta.

"Iya pak." Jawab Frida mendekat ke arah bosnya.

"Hubungi Johan sekarang! Suruh dia ke sini membawa orang-orang yang


terlatih untuk membantu kita mencari Elena."

"Baik pak."

"Saya akan mencari ke hutan lebuh dulu. Kamu menunggu Johan di sini,
setelah itu suruh mereka menyusul saya."

"Baik pak kami akan secepatnya menyusul bapak."

"Saya hanya menyuruh mereka. Kamu tetap di sini!" Perintah Dipta tak
ingin di bantah.

"Tapi Pak-"

"Saya tidak mendengar penolaka Frida. Kamu tetap di sini, berjaga-jaga


jika Elena kembali kamu bisa hubungi saya." Ucap Dipta tegas tanpa
bantahan.
"Baik pak."
Pelukan hangat

Elena berhenti di bawah salah satu pohon. Kakinya sudah tidak kuat lagi
melangkah, entah sudah berapa lama dia berjalan yang jelas kakinya sudah
sangat lelah sekarang. Sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar
melangkah, tenggorokannya pun sudah kering karna sedari tadi berjalan
terus. Bahkan heels yang dia gunakan pun sudah tergeletak mengenaskan
di samping tubuhnya. Dengan keadaan kotor karna genangan-gengan air
dan jalanan setapak yang basah.

Sumpah demi apapun, gue gak bakal mau pakai sepatu yang model begini.
Bukanya enak, yang ada malah nyiksa.

Mengecek ponsel digenggaman tangannya. Elena berulang kali


mencebikkan bibir kesal karna tidak menemukan sinyal di ponselnya.

Kenapa gak ada yang nyariin gue sih ya? Mana gak ada sinyal lagi. Apes
banget hidup gue.

Memandang pohon sekelilingnya, mata Elena langsung melotot ngeri saat


bayang-bayang film horor yang diteror oleh hantu di bioskop memenuhi
kepalanya.

"Jahat banget sih paksu gak nyariin gue, jangan-jangan dia asik berduaan
lagi sama si Jenang. Kayak di pinggir pantai itu Huuuuu." Ucap Elena
sambil memandang foto pernikahanya di ponselnya dengan kesal.

"Apa senelangsa ini ya, nikah gak pakek cinta? Tu ma, liat anakmu ini. Dia
ilang gak dicariin. Malah Diptanya enak berduaan sama perempuan lain,
coba aku bisa apa sekarang ma?" Gumam Elena berkaca-kaca memandang
ponselnya.
Dengan mata berkaca-kaca dia menundukkan wajahnya dalam, hatinya
seperti diremas paksa saat bayangan-bayangan Dipta duduk berduaan
dengan wanita lain sedang ia di sini merasa haus dan kelaparan.

Bukan hanya berkaca-kaca. Kini Elena terisak pelan, merutuki


kebodohannya karna terlalu ceroboh dan tidak bisa menahan diri untuk
bersabar. Seandainya tadi ia mendengarkan ucapan sekertaris suaminya,
kejadian seperti ini tidak akan terjadi.

"Huuuuuuuuuuu Aaaaaaaaaaaaaa Mama Elena nyasar beneran. Gak ada


yang nyariin. Sendirian di hutan .... Huaaaaaa." Tangis Elena pecah saat itu
juga, membayangkan ia akan bermalam di hutan yang msnyeramkan,
ditambah ia takut gelap. Membuat tangisnya tidak bisa dibendung.

"Gak pernah keluar dari jakarta. Sekalinya keluar cuman mentok di sini tapi
udah nyasar. Mama salah apa Elena ini? Anak mu nyasar gak ada yang
nyariin."

Elena mengusap ingusnya menggunakan ujung dresnya, bahkan karna


terlalu asik, ia tidak sadar jika ia duduk bersila di bawah pohon membuat
dresnya kotor.

"SEMANGAT ELENE." Mengepalkan kedua tangan, Elena mengangkat


tinggi kepalannya ke atas tinggi-tinggi, seolah sedang menyemangati
dirinya sendiri.

"Gue gak boleh cengeng. Gue harus kuat demi masa depan gue." Ucap
Elena menghapus kasar air matanya.

Melirik heelsnya tanpa minat, Elena meraihnya dengn malas-malasan. Dan


menentengnya, dan kembali berjalan menyusuri jalan-jalan yang dipenuhi
dedaunan ditanah. Matanya terus melirik-lirik kanan kiri. Memperhatikan
seolah-olah apa pun yang bergerak disekitarnya itu adalah bahaya. Dan
pada akhirnya bahaya itu benar-benar datang.

Ngikkkk
Mata Elena langsung terbelalak begitu seekor babi hutang sedang berlari
tidak jauh darinya. Begitu cepat dan tiba-tiba. Beruntung hewan berkaki
empat itu tidak berlari ke arahnya. Walau begitu semua itu membuat Elena
pucat pasih, ia terus berjalan mundur. Berusaha semampunya untuk tidak
menimbulkan suara yang akan membuat ia dalam bahaya.

NGIKKKKKKK.....NGIKKKKKK..

Elena langsung bergidik ngeri ketika hewan-hewan berkaki empat itu sudah
agak jauh darinya. Melihat sudah sedikit aman, Elena langsung berlari
cepat, dan melepar heelsnya sembaranganan.

Dengan tubuh gemetar karna takut, Elena terus berlari pontang panting,
mengabaikan kakinya yang tidak beralaskn apapun. Berulang kali meringis
ketika kakinya menginjak ranting pohon atau batu kerikil ditanah dengn air
mata mengalir dipipinya.

Demi apapun, Elena saat ini kapok karna tidak mendengrkan peringatan
orang yang sudah berpengalaman tingga di sini.

*****
K

arna capek Elena duduk bersandar di bawah pohon. Menekuk kedua


kakinya, dia pun memeluknya dengan kedua tanganya.

"Hiks.hikssss ini beneran gue gak dicariin? Hiksss Hiksss tega banget sih
paksu Hikssss ... Gue ilang gak dicariin. Untung itu tadi cuman babi, kalau
singa gimana? Bisa innalilahi gue Huuuuu... Mama."

Elena terus menenggelamkan wajahnya di dalam selah-selah lututnya.


Dress yang dia gunakan sudah benar-benar tak berbentuk. Diujung-ujung
dres sudah kotor dan sobek-sobek terkena ranting-ranting pohon. Bahkan
jaket rajutnya juga sudah kotor oleh tanah.

Entah tuhan sedang memberikan sebuah mukzijat atau dewi fortuna sedang
berpihak padanya. Tiba-tiba ponsel Elena bergetar di dalam genggamanya.
Membuat dia buru-buru mengangkat kepaalnya.
Seperti mendapatkan air ditengah gurun pasir yang tandus, secepat kilet
Elena melihat layar ponselnya.

Papan Seluncur

Nama itu yang langsung memenuhi layar ponselnya. Antara kesal, marah,
senang, bahagia bercampur aduk menjadi satu. Saat nama Dipta lah yang
pertama kali menghubunginya, membuat senyum haru Elena terbit seketika.

Dengan tangan gemetar, dia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Elena kamu baik-baik saja? Kamu ada di mana sekarang Elena? Apa
terjadi sesuatu?" Berondong pertanyaan Dipta kepada Elena.

Elena yang mendengar suara suaminya, langsung kembali menangis.


Bibirnya seperti terkunci hanya untuk menjawab pertanyaan Dipta, sedang
air matanya terasa tidak bisa dibendung lagi.

"Elena jawab? Ada apa? Kenapa? Kamu sakit? Atau terjadi sesuatu?
Kenapa kamu menangis?" Tanya Dipta panik karna mendengar isak istrinya
disebrang telpon.

Elena hanya menggeleng pelan menjawab pertanyaa Dipta, seakan


suaminya itu ada di depanya dan melihat gelengan kepalanya.

Mendengar Elena semakin terisak Dipta semakin dilanda panik luar biasa.

Oh hebat sekali efek tangis Elena untuk tubuh Dipta. Ini adalah pertama
kalinya REVEN PRADIPTA dilanda panik diusianya yang sudah
menginjak dua puluh tujuh tahun. Harus kah setelah ini istri cantiknya itu
mendapatkan penghargaan karna berhasil membuat mood dan emosinya
naik turun di waktu yang bersamaan.

"BERHENTI MENANGIS, ELENA! JANGAN MEMBUAT AKU


SEMAKIN PANIK. JAWAB PERTANYAAN KU SEKARANG." Teriak
Dipta kian marah.

WAW hebat sekali Dipta, entah sudah berapa kali hari ini dia berteriak
marah, dan semua itu hanya karna mengkhawatir kan satu orang wanita,
yang bahkan baru beberapa bulan dia kenal. Ke mana larinya Dipta yang
cuek dan tak begitu peduli dengan orang baru bahkan cenderung masa
bodo.

Jika kakaknya Hanum tau, sudah dipastikan Elena, istrinya langsung


mendapatkan piala world cup dunia saat ini juga. Harus kah dia bangga
akan hal itu?

Dan biasanya, se'emosi apa pun Dipta, ia tetap bisa menjaga intonasi
suaranya, ia akan tetap tenang walau amarahnya sudah sampai diubun-
ubun. Tapi, hanya karna tangisan istrinya. Ia bisa meledak-ledak dan
berteriak murka?

"HUEEEEEE Aku nyasar Dipta ... Nyasaaaarr. Gak tau ada di mana.
Adanya cuman pohon. Mana hutannya serem. Horor. Sumpah aku takut.
Gak mau nginep. Gak mau." Cerocor Elena disela-sela tangisnya.

Ok fix, Dipta cuman bengong mendengar ucapan ajaib istrinya. Secara


bersamaan, Elena berhasil membuat Dipta merasa kesal, lucu ingin tertawa,
tapi juga marah karna khawatir. Ajaib kan?

"Gimana aku bisa keluar Dipta? Gimana? Semua pohonya sama. Perut aku
laper, haus juga." Sambung Elena sambil terus menangis.

Dipta mendengus kuat mendengar ucapan istrinya. Disaat seperti ini, saat
semua orang sedang panik dan khawatir dibuatnya, dengan seenak jidat ia
malah memikirkan perutnya. Konyol sekali istrinya itu.

"Baiklah setelah aku menemukan mu, kita akan makan dihotel sepuasnya.
Jadi, sekarang hentikan tangisan mu, Elena."

"Hiks. Hiks. Gimana cara berhentiinya? Air mata aku gak mau hiksss
ber....henti..."

Dipta bedecak kuat mendengar alasan istrinya.

"Sekarang tarik nafas pelan-pelan dari hidung dan keluarkan dari mulut.
Pelan-pelan saja, agar kamu bisa tenang." Ucap Dipta memberi arahan.
Elena dengan patuh mengikuti arahan suaminya. Hidungnya ikut kembang
kempis memperaktekkan arahan Dipta. Karena terlalu banyak menangis,
membuatnya terasa mampet karna tersumbat.

"Bagaimana? Sudah?" Tanya Dipta setelah beberapa menit.

"Iya."

"Sudah merasa lebih baik?"

"Iyaaaa."

"Ok sekarang dengarkan aku. Kamu bisa serlok saat ini kan?."

"Y-a." Jawab Elena sedikit tak yakin.

Apa bisa Dipta mengikuti serlok yang dia kirim, nanti kalau tiba-tiba
sinyalnya hilang di tengah jalan, gimana? Beneran nginep Elena di sini.

"Gak usah khawatir, aku akan kirim lokasi kamu ke Frida. Agar dia juga
bisa mengecek dan mengirim beberapa orang untuk ke tempat kamu. Dan
juga dia bisa mengarahkan ku, berjaga-jaga jika sinyal di ponselku hilang.
Jadi gak usah khawatir kita akan keluar dari sini, secepatnya." Janji Dipta
dan mencoba menenangkan istrinya.

"Kamu janji?"

"Ya, Aku janji." Ucap Dipta dengan nada tegas.

"Baik lah, sekarang aku akan menunggu serlok dari kamu. Jangan nangis
lagi. kamu dengar?"

Elena mengangguk. "Iyaa.."

"Ok aku matiin telponya sekarang. Bye.."

Begitu telponya dimatikan, Elena langsung cepat-cepat mengirim lokasinya


saat ini. Perasaanya sedikit lega sekarang, apa lagi mendengar Dipta juga
mengkhawatirkanya. Dan asumsi buruk yang tadi sempat dia fikirkan,
ternyata tidak terjadi.

****

ntah sudah berapa lama Elena menunggu dibawah pohon itu. Tapi yang
jelas, dia hampir tertidur karna sejuknya angin dan asrinya suasana
membuat matanya terasa berat.

Pelan-pelan mata lentiknya hampir terpejam jika saja dia tidak mendengar
panggilan dan langkah kaki seseorang yang sedang berlari tergesa-gesa.

Apa itu paksu?

Sayup-sayup Elena mendengar namanya terus dipanggil.

Dih, bukan dedemit kan ya? Apa jangan-jangan, kaum babi tadi?.

Menelan ludah gugup, Elena semakin merapatkan tubuhnya ke arah pohon.


Berjaga-jaga jika bukan Dipta yang memanggilnya dia akan memanjat ke
atas pohon.

Mengerjapkan mata pelan, rasa gugup tadi berganti menjadi rasa takut
ketika tidak mendengar suara yang tadi memanggilnya, melainkan langkah
kaki yang semakin mendekat ke arahnya.

Memasukan wajahnya di sela-sela lututnya. Elena terus meramalkan doa


berharap itu bukan hantu yang sedang keliling menjaga hutan.

Ya tuhan lindungi Elena.

"ELENA."

Mendongak. Di depanya Dipta sedang berdiri dengan nafas memburu dan


keringat membanjiri tubuhnya. Bahkan jasnya sudah berpindah tempat ke
genggam ditanganya sebelah kanan.
Itu paksu bukan sih? Kok ganteng bangettt. Bisik dalam hati.

"Elena." Panggil Dipta lagi membuat kesadaran Elena kembali.

Dipta terus melangkah mendekat. Melihat Dipta yang melangkah mendekat,


Elena langsung bangun dan menubruk tubuh tegap suaminya. Tangisnya
pun pecah, sepecah-pecahnya.

Perasaan lega, nyaman, bahagia dan senang bercampur jadi satu. Seakan dia
ingin mengatakan pada Dipta jika dia membutuhkan pelukan ini, dan
mengadu jika rasa takut yang tadi dia rasakan hilang berganti rasa lega luar
biasa.

Mendengar istrinya menangis dipelukanya, Dipta semakin erat memeluk


istrinya seakan meyakinkan istrinya, jika semua akan baik-baik saja, Elena
sudah aman sekarang.

Sambil terus membisikan kata-kata penenang ditelinga Elena. Tidak lupa,


Dipta juga berulang kali mengecup kening Elena menyalurkan rasa lega
luar biasa di dalam hatinya. Sabagai simbol jika tadi dia juga tak kalah
khawatir padanya.

Dipta merasa lega saat mendengar tangisan Elena mulai reda, digantikan
dengan isak-isak kecil. "Sudah merasa lebih baik?" Tanya Dipta lembut.

Elena hanya mengangguk menjawab pertanyaan Dipta masih dalam


pelukan suaminya. Kemeja Dipta bahkan sudah basah oleh air mata Elena.

"Sekarang kita sudah bisa pergi?"

Elena melepas pelukanya dan mendongak, melihat wajah suami tampanya.


Menarik sudut bibirnya. "I----ya." Jawab Elena.

Begitu mendengar jawaban Elena, Dipta mengeluarkan ponsel dari saku


celanaya dan menghubungi seseorang. Setelah selesai, Dipta menatap
istrinya intens, cukup lama, karena membuat Elena merasa sedikit risih dan
malu.
Dipta sedikit menunduk, dan mengikat jasnya saat memperhatikan rok
istrinya tampak mengenaskan dan kotor. Setelahnya Dipta mengikat jasnya
diantara pinggang dan perut Dipta. Dipta langsung berbalik memunggungi
Elena.

Elena kira, Dipta akan meninggalkanya seperti biasa, namun matanya


hampir keluar karna terlalu besar melotot. Saat melihat suaminya itu
berbalik bukan untuk berjalan meninggalkanya. Tapi berbaik untuk
berjongkok di depannya.

Mulut Elena sampai menganga tidak percaya. Beneran Dipta mau


menggendongnya? Bener gak sih ini? Ini langka, beneran. Karna Dipta
bukan cuman menawarka telapak tangan untuk menuntun Elena, tapi ini
lebih extrim dari itu.

Dipta berjongkok di depanya? Iya berjongkok.

Kalian gak percaya kan? Iya sama, gue juga.

"Mas kamu?"

"Ayo naik!"

"Tapi-" "

"Cepet sebelum gelap." Potong Dipta cepat.

Dengan ragu-ragu Elena melingkarkan tanganya di leher suaminya. Melihat


keraguan istrinya, Dipta langsung menarik tangan Elena agar lebih rapat
pada tubuhnya. Dan berdiri sambil menahan berat tubuh istrinya dengan
tangan dikaitkan di belakang tubuh Elena.

Elena terpekik kuat karna kaget saat Dipta tiba-tiba berdiri. Reflek dia
langsung berpegangan erat.

"Ckkkkk. Len peganganya jangan terlalu erat." Protes Dipta.

Elena hanya menyengir menjawab protesan suaminya. "Eh iya-iya, maaf."


Elena langsung melonggakan pegangan tanganya dan meletakan dagunya di
pundak Dipta. Jika seperti ini, Elena seperti memeluk Dipta dari belakang.
Membuat senyum lebar terbit dibibirnya.

Duh nyamannya.

"Mas."

"Hmm."

"Kamu tau jalan balik ke tempat gedung tadi?"

"Aku udah ngasih tanda di setiap simpang. Jadi kita gak akan nyasar."

Elena hanya mengangguk hikmat mendengar jawaban suaminya. Gak salah


sih Dipta jadi tajir orang otaknya encer. Emang Elena, gumpel kayak
daging.
Perlakuan manis

Elena berulang kali menipiskan bibirnya, dan membenarkan letak duduknya


di dalam mobil. Sedang Dipta yang duduk di sampingnya terlihat serius
memandang ke arah luar, sama sekali tidak merasa terganggu dengan Elena
yang berulang kali bergerak mencari posisi duduk yang nyaman di
sampingnya.

Sedang Frida, sekertaris Dipta sudah seperti patung yang duduk diam di
samping supir tanpa berani bertanya atau melirik ke arah Elena.

Apa dia marah?

Di selimuti perasaan tak enak hati, Elena pun tak memiliki keberanian
hanya untuk sekedar bertanya, setelah kejadian beberapa waktu lalu.
Membuat urat malunya timbul seketika.

Saat dirinya di dalam gendongan Dipta yang tidak sadar tertidur sangking
kelelahanya. Sedang suaminya sudah seperti mayat hidup karna terus
berjalan sambil menggendong dirinya.

Membuat Elena merasa sedikit buruk, sebenarnya seberat apa tubuhnya?

Gajah bengkak? Oh jika sampai Dipta berani berpikir begitu atau


berasumsi melebihi itu, jangan salahkan Elena jika dia harus
mengeluarkan kekuatan supernya untuk membuat Dipta sadar dengan
keseksian Elena yang selama ini terpendam dalam diri.

Bukankah setiap gadis selalu sensitif dengan hal-hal yang berbau berat
badan atau bahkan lemak-lemak ditubuhnya?

Bahkan mereka bisa berubah menjadi THE POWER OF EMAK-EMAK


mengalahkan siapa saja yang membahas hal sensitif seperti itu pada
mereka.

Iya lah lampu merah aja bisa langsung berubah menjadi hijau, kalau sudah
berhadapan dengan the power of emak-emak. Apa lagi hanya orang-orang
seperti Dipta? Kecil itu mah. Pikir Elena ngelantur.

Lalu tiba-tiba saat mereka sampai di gedung dengan tak sabaran Dipta
langsung berteriak marah kepada semua orang yang ditemuinya membuat
Elena yang sedang enak-enaknya bermimpi langsung terlonjak kaget. Kan
jadi kesel.

Bahkan Frida yang tidak tau apa-apa juga kena hantam amarah Dipta yang
tidak beralasan, hanya cuman karna sedikit lelah menggendong Elena.

Dih cuman gendong gue tiga jam aja capek, gue aja yang digendong enak-
enak aja, gak komplen apa lagi marah. Masak dia marah, kayak badan gue
gendut aja? Bisik bawang merah dalam diri Elena.

Woy Elena lo kira badan lo sekecil marmut? Enak bener lo ngomong


begitu, gak liat itu kaki Dipta sampai gemeteran gara-gara gendong
bandan lo yang udah kayak buntelan lontong. Teriak bawang putih dari
dalam dirinya.

Tidak sadar, Elena mendesisi kesal memikirkan banyaknya asumsi-asumsi


aneh dalam dirinya.

Kapan sih otak gue waras?

Melirik Dipta dan Frida, dua sejoli itu malah terlihat menikmati kesunyian
di dalam mobil ini.

Gak tau apa, bibir gue udah gatel dari tadi gara-gara gak diajak ngobrol.
Mau ngajak ngobrol supir takut diomelin Dipta, ngajak Frida ngomong
malu kalau gak dijawab. Apa lagi ngajak papan seluncur ngomong, bisa
langsung dilakban bibir seksi gue sekarang.

"EHM" Dehem Elena keras.


Berharap dengan berdehem keras dapat membuat para manusia di dalam
mobil sadar jika masih ada dirinya di dalam mobil. Elena lagi-lagi dibuat
takjub dengan orang-orang di sekitarnya. Jangankan menoleh, satu pun
tidak ada yang melirik padanya.

Duh kalau seperti ini Elena merasa seperti IRON MAN.

Lelah mencari perhatian orang-orang di dalam mobil Elena pun


memutuskan bersandar dikaca pintu mobil di sampingnya. Wajahnya
memandang lurus ke arah Dipta yang hanya diam bersandar di kursi
sampingnya dengan tangan bersedekap di dada dan memandang ke arah
luar mobil. Lama-lama membuat Elena ngantuk juga karna tidak ada
kegiatan ataupun diajak berbicara.

****

Elena merasa tidur nyenyaknya terusik ketika sesuatu terasa menusuk-


nusuk pipinya.

Membuka mata yang masih terasa berat-beratnya, mata Elena langsung


melotot begitu tau, jari telunjuk Dipta menusuk-nusuk pipi mulusnya.
Memandang Dipta kesal, Elena sudah akan mengomel, jika saja dagu Dipta
tidak menunjuk ke arah kaca mobil.

"Bangun, kita udah sampai."

"Gimana sih. Bangunin istri gak ada manis-manisnya?" Dumel Elena kesal.

"Kamu ngomong sesuatu?." Tanya Dipta karna tidak terlalu mendengar


dumelan Elena.

"Enggak." Ketus Elena.

Dipta langsung berdecak kuat mendengar nada ketus istrinya. Tidak mau
repot-repot bertanya lebih, dia pun langsung melenggang turun dari dalam
mobil. Meninggalkan Elena yang menggerutu kesal dengan bibir maju
beberapa senti.

Dasar suami gak pekaaaaaa. Gaaak pekaaaaaaa.


Begitu membuka pintu, Elena mengernyit kening bingung, saat mendapati
Dipta sudah berdiri di samping mobilnya.

Dipta membuka pintu mobil samping Elena semakin lebar, setelah itu
tubuhnya membungkuk setengah dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa?" Tanya Elena bingung saat suaminya membungkuk di depnnya.

Bukan menjawab pertanyaan Elena, Dipta langsung menelusupkan kedua


tanganya diantara lipatan lutut dan leher Elena. Menggendong Elena ala
bridal style.

Elena yang tidak siap langsung menjerit kuat, begitu Dipta


menggendongnya.

"Diam Elena!." Protes Dipta saat istrinya menjerit tepat di telinganya.

"Aku kan kaget." Cicit Elena pelan.

Dipta melangkah masuk ke dalam hotel mengabaikan pertanyaan beberapa


pelayan dan tatapan heran orang-orang disekitar hotel.

Sedang Elena yang malu karna digendong oleh Dipta, semakin menyerukan
wajahnya ke dada bidang suaminya. Dengan senyum malu-malu seperti
anak ayam eh perawan.

Aroma keringat dan parfum Dipta langsung masuk ke dalam indra


penciuman Elena.

Duh wanginyaaaaaa, bikin hati gue megap-megap kayak ikan lele


kekurangan oksigen. Teriak hati kecilnya.

Elena semakin senyum-senyum sendiri ketika, Dipta tidak berkomentar saat


dirinya mengendus-endus dada bidang suaminya itu.

Mamaaaaaaaa oh maaaamaaaaa. Kan jadi pengen nyanyi.

****
Dipta mendudukan Elena di wastafel kamar mandi dengan hati-hati. "Kamu
bisa mandi sendiri kan?" Tanya Dipta.

"Dih, emang aku kenapa gak bisa mandi sendiri?" Jawab Elena sewot.

Mendengar nada sewot istrinya, membuat Dipta tersenyum sambil


mengacak pelan rambut istrinya.

"Ya udah gih mandi, aku tunggu di luar. Gak usah lama-lama main airnya,
kaki kamu luka, takut infeksi." Pesan Dipta melirik kaki Elena yang
terdapat banyak goresan-goresan kecil.

Elena ikut melirik kakinya, setelah itu mengangguk patuh. "Ya."

Setelah Dipta keluar, Elena memulai aksi mandinya. Bibirnya berulang kali
mendesis begitu merasakan perih di kakinya.

Baru sekali pergi jauh dari jakarta udah pada luka-luka, gimana kalau gue
ke luar negeri? Bisa bonyok kali muka gue. Batin Elena.

Selesai mandi dengan hati-hati Elena melangkah ke arah pintu kamar


mandi, ada perasaan ragu ketika Elena ingin membuka pintu. Karna
sekarang dia hanya menggunakan jubah kamar mandi, karna tadi dia lupa
tidak mengambil baju ganti.

Menyempulkan kepalanya diselah pintu kamar mandi yang dia buka sedikit,
Elena menghembuskan nafas lega begitu tak mendapati siapa pun di kamar
itu. Kamarnya nampak kosong, sepertinya Dipta sedang keluar. Walau
sudah menikah dengan Dipta tapi mereka belum pernah menunjukan hal-hal
intim satu sama lain.

Jadi, Yah Elena masih malu jika harus keluar kamar dalam keadaan seperti
ini. Walau tidak telanjang tapi tetap saja dia malu.

Merasa aman, pelan-pelan Elena melangkah keluar. Badanya sudah merasa


segar setelah mandi, untung tadi sebelum pulang ke hotel Dipta menyuruh
sekertarisnya memesankan makanan. Jadi dia hanya perlu istirahat
sekarang. Karna perutnya sudah kenyang.
Selesai berganti baju Elena mengambil P3K di laci samping tempat
tidurnya. Membawanya ke atas tempat tidur, dia ingin mengobati kakinya
yang terluka.

Belum juga Elena membuka kotak p3k pintu kamarnya sudah dibuka dari
luar. Dipta masuk dengan badan yang sudah segar selesai mandi.

Mandi di mana dia?

"Mas mandi di mana?" Tanya Elena penasaran.

"Di ruang kerja."

"Mas punya kantor di sini?" Tanya Elena takjub.

Dipta tidak menjawab, dia hanya berjalan terus ke arah Elena yang
berselonjor di atas kasur.

"Mas." Panggil Elena gemas karna suaminya malah mengabaikan


pertanyaanya.

Suaminya ini kapan sih ngomong gak setengah-setengah, buat dia gemas
aja. Kalau sudah gemas kan Elena suka khilaf.

"Ya." Jawab Dipta sekenaya.

Dipta duduk di dekat kaki Elena, memeriksa kaki istrinya yang terluka.
Menarik p3k yang dipegang Elena, Dipta pun membuka tutup dan bersiap
mengobati kaki Elena.

"A--aku bisa sendiri." Tolak Elena saat Dipta ingin mengobati kakinya yang
terluka.

"Diam!"

"Tap-"

Dipta langsung memandang Elena datar ketika istrinya akan protes. Melihat
tatapan suaminya yang tak bersahabat Elena pun hanya diam menurut.
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan, sampai kaki kamu penuh dengan luka
seperti ini?" Tanya Dipta pelan tapi datar.

"Aku kan lari-AWWWW sakit mas." Rengek Elena saat Dipta meneteskan
obat merah kelukanya.

"Ck. Manja." Ejek Dipta.

"Bukan manja. Kamu aja ngobatin gak pakai hati." Cibir Elena yang hanya
membuat Dipta mendengus kuat.

Elena terus memperhatikan Dipta yang dengan telaten mengobati lukanya.


Bahkan Elena bukan secara diam-diam memperhatikanya, melainkan secara
terang-terangan.

Dipta terlihat menyilaukan malam ini, dengan kaos rajut panjang yang
ditarik hingga lengan membuat dia terlihat tampan dan keren.

Biar dia gerah gue pelototin begini. Tapi kok dia sok ganteng banget sih,
Uhhh dia emang ganteng, tapi malam ini keliatan menyilaukan dimata gue,
kalau kayak gitukan gue jadi pengen nyender-nyender di dadanya plus elus-
elus dada bidangnya. Ckk, Len khayalan lo mulai gak wajar.

Elena memggeleng tak percaya dengan mata yang masih melotot ke arah
suaminya.

Ya ampun bahkan hanya dengan duduk kayak gitu aja, dia udah kayak
model profesional yang sedang memperagakan cara mengobati seseorang,
bikin air liur gue mau tumpah seketika. Dih Len jaga imez dong.

"Jangan melotot." Tegur Dipta ketus.

Elena berdecak sebal.

Orang ini benar-benar pinter menghancurkan khayalan indah gue.

Selesai mengobati luka istrinya, Dipta beranjak berdiri. "Mau ke mana?"


Tanya Elena sambil memegang ujung baju Dipta.
"Aku harus mengurus beberapa perkerjaan. Tidur lah." Seru Dipta.

"Ke mana?"

"Di kantor, di lantai bawah."

"Aku mau ditinggal sendiri?"

"Emang kamu mau ikut?"

"Emang boleh?"

"Enggak." Tolak Dipta tanpa pikir panjang.

"Iss..." Kesal Elena.

Dosa gak sih nyumpelin mulut suami pakek sepatu. Gue lagi pengen
nyumpel mulut Dipta soalnya. Sumpah. Pedes banget kata-katanya kayak
netizen.

"Nanti kalau ada setan di sini gimana?"

"Kamu setannya." Ucap Dipta mulai kesal, istrinya ini kenapa sih senang
sekali memanjing emosinya.

Muka cantik begini dikatain setan, giliran ketemu setan beneran aja dikata
cantik. Dasar laki gue rada-rada.

"Aku serius tau."

"Gak akan ada apa-apa Elena, memangnya kamu baru kali ini tidur sendiri?
Lagian kemarin-kemarin aku tinggal gak papa kan? Kalau ada apa-apa
kamu bisa telpon aku."

"Lagian kan itu kemarin, sekarang beda dong." Bela Elena tak mau kalah.
"Lagian kan aku lagi sakit. Masa ditinggal." Sambungnya memelas.

Gak papa kan akting dikit kali aja berhasil. Lumayan bisa tidur sambil
dipeluk manjahhhh..
"Yang luka itu pikiran kamu, apa kaki kamu sih?" Seru Dipta mulai
kehabisan kesabaran. Istrinya ini benar-benar. Apa tadi saat istrinya kesasar
otaknya terbentur sesuatu. Hingga membuat dia terlihat aneh dan
menyebalkan.

"Dih gitu banget sama istrinya." Protes Elena.

"Elena."

"Apa?" Tanya Elena sambil mengedip-ngedipkan matanya sok polos.

"Gak usah kekanak-kanak kan. Lepas!" Ucap Dipta penuh penekanan


sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Elena diujung bajunya.

Astagfirulloh. Kata-kata Dipta amazing, nusuk banget. Cekittttt ... Cekitttt.


Kayak habis ditusuk-tusuk jarum hati gue. Sakit cuy.

Sambil mengerucutkan bibirnya, Elena melepaskan genggaman tanganya


diujung baju Dipta. Membuat Dipta melangkah pergi. Tidak merasa
bersalah sedikit pun Dipta langsung melenggang pergi, tanpa mau repot-
repot menoleh ke arah Elena.

"Awas aja besok, gue bakal mogok ngomong sama dia." Dumel Elena kesal.

Dengan perasaan kesal Elena mengambil bantal dan memukul-mukulnya,


membayangkan jika saat ini dia sedang menghajar wajah tampan Dipta.

"DIPTA KAMPRETTTTTT KAMPRETTTT KAMPRETTTT


KESELLLLL GUE." Teriak Elena membahana diseluruh ruangan.

Mata Elena melotot begitu mendengar pintu terbuka dari luar.

Mampus gue, jangan-jangan Dipta denger lagi teriakan gue. Bisa digorok
gue entar.

Elena menghembuskan nafas lega ketika yang muncul bukan Dipta,


malainkan orang yang labih menyebalkan dari suaminya. Hanum.

"Sakit lo, Len?" Tanya Hanum melangkah mendekat.


"Gak." Ketus Elena.

"Gak suami, gak istri sama aja lo pada tukang ngibul. Pantes jodoh." Ucap
Hanum menggeleng kepala tak habis pikir. "Eh nyungsep di mana lo?"
Sambung Hanum menunjuk kaki adik iparnya.

"Nyungsep-nyungsep pala lo botak mbak, bahasa lo udah kayak bukan anak


sekolahan aja." Sewot Elena.

"Dih gitu aja ngambek."

"Ngapain lo ke sini?"

"Laki lo tu, ganggu me time gue aja. Gak tau apa gue itu capek, malah
disuruh-suruh ke sini."

"Capek ngapain lo? Ndekem di kamar aja capek."

"Lah gue kan ndekem di kamar ngumpulin pundi-pundi pahala. Emang lo,
bisanya ngumpulin dosa, nyumpah-nyumpahin laki lagi. Siap-siap deh lo
Ren, masuk neraka. Kalau gak, gih cari orang dalem, kali aja bisa masukin
lo ke surga." Sindir Hanum pedas.

"Asem lo mbak. Omongan lo udah kayak orang bener aja."

"Lah emang bener kali, lo gak tau kan. Seharian ini gue ngapain. Gue itu
habis mendesah-desah majah sama laki gue. Belum lagi bergoyang jumba
ala-ala black pink. Yang bakal buat laki gue gak bisa berpaling. Bukan
kayak lo, malah lomba lari sama para kaum babi hutan." Cibir Hanum.

Mendengar Cibiran Hanum kepala Elena pusing seketika.

Kenapa gak adek, gak kakak pinter banget sih. Buat gue stress.
Marah

Elena seharian ini benar-benar melaksanakan mode ngambeknya. Dari pagi


dia sudah kabur dari kamar hotel, walau dengan jalan yang terseok-seok
tapi tidak melunturkan sedikit pun semangat empat limanya untuk kabur.

Seakan belum cukup sampai di situ, dia juga tidak menggubris ponselnya
yang sedari pagi terus bergetar.

Bodo amat yang penting gue happy.

Hari ini biar suami Elena itu kapok, disusulin jauh-jauh dari jakarta
bukanya seneng, makasi tapi malah bikin kesel.

Kan jahat Elena kalau malah diam aja, kasian jiwa kesingelannya yang
terus meronta-ronta ingin mendapatkan haknya.

Sudah beberapa hari Elena di kalimantan, tapi tak sehari pun Dipta ambil
libur atau cuti. Jangan kan nemenin jalan-jalan nawarin aja enggak, kan
bikin kesel.

Kalian kalau punya suami yang model begitu, gimana pemirsa? Mau
dibejek-bejek jadiin perkedel, atau ditusuk-tusuk dibuat sate?

Ya sama intinya seperti itu lah pokoknya. Elena juga sama keselnya kayak
kalian jiwa para jomblo. Dengan kepercayaan diri di atas rata-rata hari ini
dia akan membuat suaminya itu kelimpungan lagi seperti kemarin.

Sama aja kali Len kemarin kelimpungan kalau ujung-ujungnya lo ditinggal


kerja lagi sama, Doi. Teriak iblis dalam diri Elena mulai beraksi.

Gak-gak Len jangan begitu, gimana kalau semalam itu emang kerjaan
Dipta penting dan gak bisa ditinggal? Buktinya dia nyuruh Hanum nemenin
kamu. Teriak malaikat lain dalam diri Elena ikut ngompori.

Elena manggut-manggut mendengarkan asumsi malaikat dalam dirinya.


Tapi kalau mengingat omongan Hanum.

Tapi kan tetep seharusnya dia peduli sama lo Len, masa iya lo sakit
ditinggal kerja. Kalau lo masih trouma terus psikis lo terganggu dan lo
mulai kehilangan akal gimana? Kompor iblis tak mau kalah.

Yah stres dong Elena kalau kehilangan akal? Kesetresan yang sekarang aja
hampir membuat mama Laras gila apa lagi nanti kalau nambah? Bisa gila
beneran mama Laras. hehehe sory ya.

Len kamu kan baik hati ayolah maafkan Dipta, jangan kekanak-kanakan.
Bujuk malaikat dalam hatinya.

Langsung membuat Elena dilama.

Ingat Len, kan kalau paksu khawatir sampai gak makan kan, kasian.
Owhhhh kaaaasiiiaaannnnnn.

Kasian ... kasian..

Nah denger Len lo dari kemarin dibilang kekanak-kanakan emang lo gak


sakit hati? Kalau gue udah lari ke laut menenggelamlan diri Len. Kompor
iblis semakin menjadi-jadi.

Elaena hanya diam sambil manggut-manggut membayang kan apa yang


terjadi pada dirinya.

Jangan terlalu mengingat keburukan Dipta Len, ingat juga gimana


manisnya dia kemarin. Kalau kemarin dia gak peduli, bisa saja dia
meninggalkan kamu, tapi buktinya enggak kan. Malahan kamu bisa
mencium aroma wangi tubuhnya. Udah maafin aja. Terus bujuk
malaikatnya.

Jangan Ren-

"DIAM." Teriak Elena tanpa sadar.


Otaknya cenat cenut memikirkan pedebatan iblis dan malaikat dalam
dirinya. Rasa-rasanya Elena ingin lari ke arah laut dan menenggelamkan
diri di sana. Tapi jika mengingat kalau nanti dia tenggelam, terus Dipta
malah bahagia, sampai buat acara syukuran tujuh hari-tujuh malam atau
bahkan 40 hari untuk acara kematianmya kan, gak Asik? Bisa-bisa rugi
bandar Elena, belum merasakan surga dunia sudah harus merasakan surga
akhirat, GAK MAU DONG ELENA.

Jadi hari ini Elena bertekat akan membuat suaminya itu sadar, sesadar-
sadarnya. Masa Elena kalah sama mbak Hanum, dia aja kemarin seharian
full bisa honeymoon alias produksi bayi.

Sedang dia, jangankan produksi bayi. Buat tanda-tanda akan memproduksi


saja masih hitam di atas abu-abu alias belum ada gambaran, alias belum
keliatan adanya tanda-tanda memulai pertempuran. Kan bisa Ambyar kalau
sampai ke duluan pelakor.

Kalau sampai itu terjadi bisa apa Elena, Netizen?? Nangis gulung-gulung di
tengah lautan dengan tarian jumba, atau dia harus terjun bebas dari gedung
kantor Dipta yang bikin silau mata kaca gedungnya? Kan gak lucu.

Bukan malah bikin mama Laras bangga dengan putrinya yang ada malah
bakal buat mama Laras ingin bakar Elena hidup-hidup.

Gak, gak mau, pokoknya gak maaaauuuu. Teriak hati kecil Elena.

*****

Pukul empat sore Elena baru kembali ke kamar hotelnya. Dengan senyum
cerah, secerah pepsodent, dia terus melangkah masuk ke dalam hotel.
Bahkan bibirnya bersenandung kecil membayang kan se'erat apa pelukan
Dipta padanya. Sampai dia bahkan akan bersujud-sujud minta maaf kepada
Elena. Membuat mood Elena naik di atas rata-rata seketika.

Duh senengnya...

Tapi keningnya mengernyit bingung ketika mendapati, Hanum mondar-


mandir di depan pintu masuk hotel.
Kenapa dia? Batin Elena mulai kepo.

"Yuuhuuu, kakak ipar ... Lagi apa lo?" Teriak Elena kelewat bahagia.

Hanum menoleh cepat ke arah Elena. "Bangsulllll. Dari mana aja lo, setan?"
Teriak Hanum menunjuk-nunjuk Elena seperti Elena adalah mahluk halus
yang tak kasat mata yang nongol di depannya.

Dih berlebihan sekali dia.

"Jalan-jalan dong, menikmati liburan." Jawab Elena enteng.

"Jalan-jalan? Jalan-jalan kenapa ponsel lo gak aktif, PEA?" Sembur Hanum


murka. Nafasnya bahkan sampai memburu lantaran kesal.

"Habis daya, kan buat foto-foto spot keren di sekitar sini." Jawab Elena
sambil melangkah mendekat ke arah Hanum bahkan senyumnya tidak
luntur sedikit pun, mendengar nada tak bersahabat dari kakak iparnya.

"Emang kenapa sih, mbak?" Sambungnya penasaran.

"Lo pergi gak pamit dodol. Udah tau lo kemarin habis nyasar, sekarang
malah ngilang gak pamit lagi. Mau jadi jailangkung lo? Datang gak
diundang pergi gak dianter." Sindir Hanum pedas.

Elena malah terkikik mendengar sindiran Hanum, membuat Hanum


mengernyit bingung dengan tingkah adik iparnya.

Aneh banget ni orang, disindir, diomelin malah cekikikan gak jelas. Habis
obat ni orang, janga-jangan dia mulai stres lagi kelamaan jauh dari
jakarta. Batin Hanum ngelantur.

"Gue kan gak goblok-goblok amat mbak, gak bakal lah gue ngulangi
kesalahan yang sama." Terang Elena dengan santainya.

"Terserah lo deh. Yang jelas lo harus mempertanggung jawabkan perbuatan


lo sekarang."

Tawa Elena reda, keningnya mengeryit samar.


"Maksudnya?"

"Noh laki lo, kayak orang kebakaran jenggot. Lo ngilang gak pamit sih.
Siap-siap aja deh lo, Len. Dibabat abis sama laki lo."Ucap Hanum terdengar
berlebihan.

"Banyak-banyak berdoa lo sama tuhan, biar selamat." Sambunya kian


berlebihan.

"Oh itu, tenang mbak. Gue udah memikirkan matang-matang soal itu. Jadi
lo gak perlu khawatir, gue bakal menghadapi itu dengan lapang dada."
Tutur Elena masih dalam mode enteng. Seakan ucapan Hanum itu sudah
Elena bayangkan sedari dia melangkah pulang ke arah hotel.

"Terserah lo deh Len. Yang penting gue udah ngingetin. Dan gue gak mu
ikut-ikutan karna udah buat Dipta murka."

"Lah, murka kenapa dia?" Tanya Elena heran. Kan bayangannya Dipta
sedih bukan murka.

"Murka ditinggal bininya ngilang gak ada kabar seharian. Jadi kurang
belaian." Jelas Hanum sok drama.

"Ah lebay lo mbak."

"Dih, dikasih tau gak percaya. Gih lo liat, ada di dalam kamar dia, seharian
ini gak ke mana-mana."

"Ngapain dia di dalam kamar? Emang dia gak kerja? Tumben dia
ngengkrem di dalam kamar?" Tanya Elena berturut-turut.

Mengangkat bahu cuek. "Ya iya lah orang dia habis mecat banyak orang
seharian ini, kalau dia masih berani keluar kamar. Gue jamin, bisa tutup
hotel ini sekarang." Ucap Hanum santai.

Kedua mata Elena melotot.

"Separah itu, mbak?" Tanyanya mulai khawatir.


Hanum hanya mengangguk polos yang dibuat sok berlebihan. "Ah gak
percaya gue." Ucap Elena ragu-ragu.

Bahkan senyuman Elena sudah hilang digantikan perasaan was-was.

Gimana kalau yang dibilang mbak Hanum beneran? Beneran dibabat habis
gak ya gue? Batin Elena mulai takut.

****

Dengan hati-hati Elena malangkah masuk ke dalam kamar, bahkan dia


membuka pintu pun sangat penuh kehati-hatian seakan pintu itu terbuat dari
kaca jika tidak berhati-hati akan pecah. Tapi dia seolah lupa, jika pertama
kali dia membuka pintu akan terdengar bunyi TING di dalam kamar. Dan
Elena melupakan itu.

Matanya langsung mengabsen setiap inci ruangan kamar ketika dia sudah
berhasil masuk, bahkan pandanganya sudah seperti seorang pemburu yang
sedang mencari mangsa.

Mendadak air ludah Elena terasa langsung berhenti ditenggorokan begitu


melihat Dipta suaminya, sedang duduk tenang di sofa dengan melipat
kakinya ke atas, bertumpu pada kaki yang lain, sambil memangku buku
yang tebalnya seperti kamus.

Udara kamar langsung terasa dingin dikulit Elena, bahkan kakinya yang
terluka tidak terasa sakit untuk melangkah sangking gugupnya.

Dipta, suaminya terlihat tenang tanpa terganggu sedikit pun dengan


kedatangannya. Tapi ibarat sebuah air yang tenang, kita tidak bisa menebak
akan sedalam apa dasarnya kan? Dan bisa saja air yang tanpak tenang itu
akan menghanyutkan kita. Itulah yang Elena pikirkan saat ini.

"Dari mana?" Tanya Dipta pelan tapi terasa dingin di telinga Elena, bahkan
Dipta tidak mau repot-repot memandang atau melirik ke arahnya sedikit
pun.
Menelan ludah gugup. "Em ... It--u aku ... tadi habis jalan-jalan sekitar
hotel. Oh, Iya sekitar hotel." Gagap Elena kikuk.

Merasa aneh kenapa yang takut Elena sekarang, bukankah seharusnya Dipta
yang merasakan kegugupan dan ketakutan ini? Lalu kenapa sekarang malah
terbalik?

Ayo Len ke mana larinya semangat empat lima lo tadi? Kenapa sekarang lo
keliatan kayak anak tikus habis kecebur got? Cemen banget tau gak. Bisik
hati kecil Elena.

Dipta mendongak memandang Elena, wajah tenang tapi menghanyutkan


miliknya memandang lurus ke arah Elena.

"Kamu yakin hanya jalan-jalan sekitar hotel?" Tanyanya pelan tapi terasa
berbahaya untuk Elena.

Bulu kuduk Elena nyaris berdiri mendengar nada suara Dipta, seakan dia
sedang menguji nyali saat ini. Konyol bukan?

"Lalu kenapa jam segini baru pulang?"

Elena menarik nafas dalam, matanya ikut terpejam mengikuti setiap tarikan
nafasnya.

Tenang Len. Tenang

Tarik nafas dalam.

Hembuskan.

Tarik nafas lagi.

Hembuskan.

Di sini yang salah Dipta bukan lo, jangan takut. Lo harus lebih nyeremin
dari Dipta. Ucap hati Elena memberi semangat.
Semua yang dilakukan Elena tak luput dari pandangan Dipta. Wajah pria itu
terlihat begitu serius memandang istrinya. Bahkan alisnya pun sampai ikut
terangkat satu mamandang heran pada Elena yang hanya diam.

"Kenapa emangnya?" Jawab Elena mulai sewot. Karna berhasil menguasai


diri.

"Kenapa?" Tanya Dipta sinis tak habis pikir dengan jawaban istrinya.

"Iya, kenapa? Aku pergi atau enggak kan gak akan berpengaruh untuk
kamu, toh aku di sini juga hanya akan menjadi pajangan cantik untuk
kamu."

Rahang Dipta mengetat mendengar suara tenang istrinya tapi sangat berefek
luar biasa bagi tubuhnya. Tubuh Dipta terasa kebakar dengan ucapan Elena,
dia seperti ingin mencekik seseorang sekarang untuk melampiaskan
emosinya. Tapi tidak mungkin istri cantiknya bukan?

Berdiri dari duduknya, Dipta langsung melangkah mendekat dengan


pandangan lurus ke arah Elena. Bahkan matanya seakan sudah siap untuk
menerkam istrinya hidup-hidup.

Elena tidak tau saja jika ucapannya berhasil memancing amarah dalam diri
Dipta yang sedari tadi hampir surut ketika dirinya melangkah masuk ke
kamar ini.

"Kamu bisa mengulangi kata-kata mu lagi, Elena?!"

"Kenapa? Kamu mau marah?" Tantang Elena tak gentar, padahal kakinya
sudah gemetar saat matanya bertatapan dengan sorot mata tajam pria itu.

Duh gusti, Dipta kesurupan kali ya? Matanya nyeremin.

Terkekeh sinis. "Marah?" Tanya Dipta seakan mencemooh ucapan Elena.

Elena diam. Kedua matanya tidak lepas menatap ke arah Dipta.

"Apa menurut kamu sedari tadi aku tidak marah? Apa lagi ketika
mendengar istri ku menghilang dari pagi tanpa kabar? Apa menurut kamu,
sedari pagi aku tidak boleh marah?" Ucap Dipta pelan tapi wajah dan
telinganya sudah memerah menahan amarah yang terasa bergejolak dalam
dirinya, sebisa mungkin dia menahannya agar tidak meledak.

Dan Dipta yakin jika Elena terus memancing amarahnya, dia bisa berteriak
murka pada wanita itu saat ini juga. Tapi sebisa mungkin dia berpikir
dengan logis, wanita ini, wanita yang sedang berdiri di depanya ini adalah
wanitanya. Istrinya. Orang yang sedari pagi dia khawatirkan.

Wanita yang akan menemani Dipta menghabiskan waktu seumur hidup.


Menemaninya di seluruh sisa hidupnya. Jika dia kehilangan kontrol dan
berteriak marah saat ini, bisa dipastikan Elena akan ketakutan padanya. Dan
Dipta tidak menginginkan hal itu.

Dia harus tetap menjaga intonasi suaranya tetap pelan meski kepalanya
sudah berdenyut nyeri akibat terus menahan amarahnya yang sudah
mencabai ubun-ubun. Apalagi, Dipta tidak ingin berbicara kasar pada
istrinya, tidak akan pernah.

"Kamu khawatir sama aku?" Tanya Elena mulai tersurut marah.

"Apa aku perlu menjawabnya saat ini?"

"Ya. Karna aku sanksi jika kamu benar-benar khawatir."

Dipta mendengus mendengar jawaban Elena. Sepertinya saat ini Dipta


benar-benar ingin berteriak murka di depan wajah istrinya, mengatakan
seberapa khawatirnya dia tadi.

Elena melangkah mendekat ke arah Dipta. "Kenapa? kamu keberatan?"


Tunjuk Elena pada dada bidang Dipta. Elena ikut kesal sekarang mengingat
suaminya yang selalu berlagak paling benar.

"Kamu yang meminta ku untuk belajar menerima pernikahan konyol ini?


Kamu juga yang menyuruh ku belajar menjadi istri yang baik. Lalu apa?
Ketika aku sudah berusaha, tapi malah mendapatkan perlakuan cuek, dan
tidak perdulian dari kamu. Begitu?" Teriaknya yang sudah mulai terpancing
amarah Dipta.
Elena menggeleng dengan tatapan putus asa. Dan semua itu tak luput dari
pandangan Dipta. Dia tersentak dengan ucapan istrinya. "Bahkan ketika
semalam kamu keluar dari ruangan ini dengan sikap acuh dan tak pedulimu,
aku sudah merasa aneh dan buruk."

"Dengar-"

"Enggak, kamu yang harus dengar aku sekarang!" Seru Elena memotong
ucapan Dipta tegas."Kamu." Tunjuk Elena pada Dipta sambil melangkah
mundur.

"Kamu yang harus dengar aku sekarang!" Ucapnya tegas.

"Aku jauh-jauh datang ke sini nyusul kamu, bahkan aku bertaruh nyawa.
Seumur hidup, aku bahkan tidak berani keluar dari jakarat. Kamu tau, aku
tidak pernah berani naik pesawat. Tidak pernah berani meninggalkan rumah
terlalu jauh. Tapi demi kamu, aku melakukan itu untuk pertama kalinya.
Karna apa?"

"Karna aku juga ingin mempertahankan rumah tangga yang konyol ini.
Rumah tangga yang sejak awal sulit aku percaya dan terima." Ucap Elena
masih dengan suara kuat, tapi tidak bisa menutupi jika suaranya mulai
bergetar sekarang. Elena ingin menangis sekarang.

Berangsur-angsur wajah kaku Dipta menyurut, bersamaan dengan langkah


kakinya yang mendekat.

"Elena?" Panggil Dipta melembut. Amarahnya sudah berganti perasaan tak


nyaman sekarang. Apa lagi mendengar suara bergetar Elena yang bergetar.

Elena mengangkat sebelah tanganya ke atas. Seakan menyuruh Dipta diam


mendengarkan semua keluh kesahnya saat ini . "Dari aku sampai di sini,
pernah kita berbicara, membahas sesuatu tentang hal-hal yang menyangkut
hubungan kita?"

Elena menggeleng dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Enggak. Kita gak


pernah membahas apa pun. Kamu hanya sibuk meeting, kerja, kerja dan
kerja. Menyelesaikan pekerjaan yang aku bahkan gak tahu sampai kapan.
Dan semua itu, selalu membuat aku yang berakhir tidur di kamar ini,
sendiri."

Dipta menggeleng ketika melihat mata Elena sudah berkaca-kaca. Tidak


menyangka jika perbuatanya malah membuat istrinya sedih separah ini.
Tapi Dipta juga punya alasan kenapa dia bersikap seperti itu.

"Elena dengar, ini bukan seperti yang kamu pikirkan ..." Serunya mencoba
ingin menjelaskan.

"Enggak. Aku gak mau denger apa pun sekarang, Dipta! Aku capek, mau
istirahat." Tolak Elena tegas. Layaknya alarm peringatan bagi Dipta.

Elena bahkan memanggil Dipta sekarang tampa mau menambah embel-


embel mas. Yang artinya dia benar-benar marah kali ini.
Awal

"Elena!!"

Teriakan di susul gedoran dari luar berhasil membuat seorang perempuan


yang bergulung di balik selimut terusik.

DOR DOR

"Bangun kamu, udah jam berapa ini?" Teriak Laras kuat.

Suara teriakan Laras, mama Elena, dan gedoran pintu seketika membuat
Elena terperanjat bangun.

Oh, ya Allah, mama. Gak ada manis-manisnya deh. Bangunin anak


gadisnya Ck.

"Iya ma, ini Lena udah bangun." Teriak Elena di dalam kamar. Mendesah
kesal lantaran ulah mamanya pagi-pagi buta.

"Udah jam berapa ini, Lena. Kamu itu anak gadis. Masak jam segini baru
bangun dan bla ... bla ..."

Belum apa-apa udah dapat sarapan tanpa gizi. Gerutu Elena kesal. Kesal
lantaran mamanya lagi-lagi berhasil membuat dia bangun dengan cara gak
biasa.

Melirik jam di atas meja nakas, mata Elena langsung melotot begitu
mengetahui jam menunjukkan pukul 6.20.

Mampus gue kesiangan.


Secepat kilat, Elena langsung berlari ke kamar mandi. Mengabaikan
teriakan juga Omelan mamanya yang tidak akan berhenti sebelum
mamanya itu lelah.

Bisa digorok gue, sama mbak Hanum kalau tau telat. Gerutu Elena panik.

Hari ini adalah jadwal dia membuka cafe baru. Maklum Elena adalah
maneger Hanum sekaligus merekap sekertaris pribadinya. Hanum adalah
seorang pembisnis sekaligus atasannya di cafe. Dia memiliki beberapa
bisnis kuliner, berhubung hari ini dia sedang menghadiri acara pertunangan
adiknya.

Maka dia lah yang bertugas membuka cabang cafe di Bekasi. Tetapi na'as,
hari ini dia kesiangan. Semua ini pasti gara-gara Yuli yang dari semalam
memborbardirnya dengan chat, dan telepon tentang persiapan penyambutan
pembukaan cabang cafe. Berakhir dia tidur larut dan bangun kesiangan.
Semua itu karna kemauan Hanum.

Bosnya itu menginginkan pembukaan cabang kali ini lebih heboh dari
biasanya. Padahal sudah berulang kali dia katakan. Yang akan meresmikan
cabang bukan bosnya melainkan Elena. Lalu kenapa harus heboh, toh bos
tidak bisa hadir?

Tapi dengan semua tingkat keajaiban juga sikap seenak hati bosnya. Bosnya
tetap ingin Elena melakukan semua yang dia inginkan. Termaksud cara,
sekaligus perayaan pembukaan cafe.

Berakhir, Yuli lah yang menjadi kelimpungan dengan semua tuntutan


keinginannya. Kalau sudah begini, Elena bisa apa?

Maklum dia mah apa atuh, cuman remukan rangginang yang kebetulan
dipungut bosnya. Ck,

Dengan mandi secepat yang dia bisa. Elena langsung bergegas, bersiap-siap
sebelum Hanum menelpon dengan semua pertanyaan ajaibnya. Bisa berabe
kalau sampai Hanum tau, jika pagi ini dia kesiangan.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit Elena selesai melakukan persiapan.
Demi apa pun, ini adalah rekor mandi plus persiapan Elena paling cepat
yang pernah ada, selama hampir dua puluh lima tahun dihidup di dunia
pastinya.

Berjalan terburu-buru turun dari tangga, Elena langsung berteriak heboh


begitu melihat mamahnya, Laras sedang mengelap koleksi guci-guci
cantiknya diruang tengah.

"Apa sih Len, teriak-teriak? Ini itu rumah, bukan hutan." Tegur Laras galak.

Agak kesal melihat anak gadisnya yang teriak-teriak heboh sambil lari-lari
tidak jelas di pagi buta seperti ini. Kapan sih anak gadisnya itu bersikap
sedikit waras?

"Mama, Ihhh. Lena udah telat tau." Jawabnya sambil menarik tangan kanan
Laras untuk dia cium.

"Mangkanya pagi-pagi itu bangun, jangan kesiangan mulu. Gimana kamu


mau dapat jodoh coba, kalau kelakuannya kayak gini terus." Omel Laras.

"Iya- Iya Mama, udah ah ngomel mulu. Lena berangkat ya.


Assalamu'allaikum." Ucap Elena sedikit kesal.

Sebelum mendapat omelan Laras lebih lama lagi, dia langsung lari keluar
rumah. Mamanya itu, kalau sudah mengomel tidak pernah melihat waktu
dan tempat, bisa-bisa sampai seharian kalau dibiarkan terus.

"Dasar anak durhaka." Sungut Laras emosi.

Itulah jawaban Laras yang Elena dengar sebelum dia lari keluar dan masuk
ke dalam Mobil.

****

Pukul 8 lebih, Elena sampai di tempat peresmian cafe. Bahkan Hanum


sudah menelponnya berkali- kali. Begitu pun Yuli saat diperjalanan tadi.
Sengaja tidak diangkat oleh Elena agar dia lebih fokus mengemudi.
Dia bahkan sudah hatam bagaimana bosnya itu kalau sudah mengomel, bisa
naik darah Elena dibuatnya kalau sampai meladeni bos sarapnya itu.

"Woy, ke mana aja sih lo? Mbak Hanum ni dari tadi nelpon gue mulu.
Nanyain lo kenapa gak ngangkat telponnya." Jerit Yuli heboh begitu Elena
turun dari mobil.

Maklum Yuli yang ditugaskan Hanum membantu Elena untuk mengurus


persiapan cafe. Karna kerja Yuli yang bagus, gadis berusia kisaran 23 tahun
itu juga salah satu orang kepercayaan Hanum setelah Elena pastinya.

Elena menoleh ke arah Yuli dan meliriknya sebentar.

"Berisik lo ah." Ketusnya pada Yuli yang berdiri sambil berkacak pinggang
di samping mobil Elena.

"Et dah galak banget si. Mbak, Jomblo." Delik Yuli sambil mengekor Elena
masuk ke dalam cafe.

Terpaut dua tahun tidak membuat Yuli menghormati Elena yang lebih tua
darinya. Karna sifat Elena yang apa adanya dan ceplas-ceplos, membuat
Yuli bersikap netral dan ceplas-ceplos seperti seusianya dengan Elena.

Toh, Elena nya juga tidak mempermasalahkan itu semua, jadi Yuli juga
tidak mau ambil pusing.

Berbeda dengan Hanum, Yuli sedikit sungkan pada bosnya itu. Maklum,
umur Hanum jauh lebih tua darinya. Dan juga Hanum kalau sudah keluar
tanduknya, bisa sangat menyeramkan dia seperti badak kehilangan
tanduknya.

***

Acara pembukaan cafe hari ini pun berjalan lancar. Tidak ada kendala sama
sekali. Elena cukup puas dengan hasil kerja keras anak buahnya, begitu pun
Hanum pastinya.

Elena berjalan ke arah parkiran menuju mobilnya, dia sudah akan pulang
saat ini. Seharian ini membuka cabang cafe sendirian membuat tubuhnya
terasa lelah. Dia butuh cepat-cepat pulang agar bisa mengistirahatkan
tubuhnya karna lelah.

Mengangkat alis heran, Elena semakin memicingkan mata curiga melihat


Yuli yang berdiri di samping mobilnya. Lengkap dengan senyum lebar
layaknya model pepsodent, unjuk gigi.

"Ngapain lo di situ?" Ketus Elena begitu sampai di depan mobilnya.


Menatap malas pada bawahannya itu.

Sambil cengengesan dengan wajah sok polos. Yuli menjawab. "Lo mau
pulang kan mbak? Gue nebeng dong?" Jawab Yuli memelas.

"Ogah, jalan kaki sono lo!! lagian gue sibuk. Gak ada waktu buat nganter-
nganter orang kayak lo." Tolak Elena mentah-mentah, bukannya
tersinggung, Yuli malah dengan santai menepuk lengan atasannya pelan.

"Belagu lo mbak." Ucap Yuli kesal.

"Lagian, lo tadi ke sini sama siapa? Kenapa gue harus repot-repot nganter
lo?"

"Gue tadi dianter Bebeb Bayu. Dia gak bisa jemput, soalnya ada urusan
mendadak katanya."

"Alasan." Cibir Elena.

Yuli langsung mengerucutkan bibir mendengar cibiran atasannya.

"Gimana? Boleh ya? Please?" Mohon Yuli sambil memasang tatapan


sepolos mungkin.

"Najis gue mah. Gak cocok lo masang tampang begitu." Cibir Elena
semakin menjadi-jadi.

"Ya udah buru naik. Awas aja lo berisik. Gue turunin lo di tengah jalan."
Ancam Elena tak tanggung-tanggung.
Mendengar ucapan Elena, Yuli langsung memandang atasannya dengan
binar mata bahagia. "Jadi lo mau nganter gue?" Tanya Yuli memastikan.

"Hm." Jawab Elena malas.

Dengan semangat 45, Yuli langsung melesat masuk ke dalam mobil.


Sangking bahagianya, Yuli sampai loncat-loncat kecil saat berjalan menuju
mobil Elena. Membuat sang empunya hanya mendengus pelan karna kesal.
Awal baru

Elena berdiri di samping meja mini bar Cafe. Memperhatikan beberapa


pelayan yang berlalu lalang mengantar makanan.

Menjadi maneger di cafe membuatnya nampak sibuk di jam-jam makan


siang seperti ini. Karna dia akan selalu membantu para pelayan yang
nampak sibuk kewalahan melayani para pelanggan.

Walau hari ini cafe tampak sedikit lenggang, tapi tidak terlalu sepi juga.
Karna masih banyak meja-meja yang terisi, walau tidak rame seperti
biasanya.

"Len?"

Merasa dipanggil, Elena langsung menolehkan kepalanya cepat, mencari


sumber suara. Di sana, Hanum berdiri di depan pintu ruangannya.

"Sini." Panggil Hanum melambaikan tanganya ke arah Elena.

"Kenapa?" Tanya Elena heran sambil mengerutkan kening bingung.

"Ngobrol di ruangan gue yuk." Jawab Haum mengajak Elena masuk ke


ruangannya.

"Kenapa sih mbak?" Tanyanya heran. Tumben sekali bosnya itu terlihat
kusut.

Setelah duduk di sofa single yang ada di ruangan Hanum. Memperhatikan


raut muka Hanum yang duduk disisi sofa lain di sampingnya. Benar-benar
terlihat mendung, tidak ada senyum di wajah itu.
"Gapapa. Temenin gue ngobrol ah di sini. Otak gue lagi butek sekarang."
Jawab Hanum sekenanya.

"Butek kenapa?"Tanya Elena heran.

"Lo tau adek gue kan?" Tanya Hanum memandang lurus ke arah Elena.

Tentu saja Elena tahu. Sudah terhitung beberapa bulan Hanum selalu
menceritakan adik semata wayangnya itu. Yang memiliki banyak kelebihan
menurutnya.

Elena menganggukkan kepalanya sekali."Emang kenapa?"

"Dia gagal nikah!" Jawab Hanum pelan.

"Loh kok bisa?" tanya Elena kaget.


Pasalnya dua bulan yang lalu, Hanum mengatakan adiknya baru saja
melangsungkan bertunangan. Walau acaranya lebih privasi dan hanya
dihadiri oleh keluarga. Tapi tetap saja masih anget-angetnya kan? Baru dua
bulan tunangan loh.

Walau Elena hanya bertemu beberapa kali dengan adik Hanum saat
berkunjung ke caffe. Tapi tetap saja dia tau, kalau adik Hanum ini nyaris
sempurna tanpa cacat.

Jadi perempuan seperti apa yang mau-mau saja membatalkan pernikahan


dengan adik bosnya ini?

Dimulai dari tampang? Ok.

Badan? Biuuuuuhhh jangan tanya, badan sekeren itu Elena yakin pasti bisa
ngalahin oppa-oppa korea yang sering dia liat di Video Yt.

Kaya? Jangan tanya, dari pakaian yang digunakan saja, sudah bisa ditebak
kalau harganya ngalahin gaji Elena dalam sebulan.

Lalu apa yang membuat dia gagal nikah?


Memperbaiki letak duduknya, Elena langsung memasang pendengaran
dengan baik, takut-takut kalau salah dengar nanti.

Bahkan tingkat ke kepoan Elena langsung melejit ke level tertinggi saat ini.
Bersiap mendengarkan apa pun alasan yang akan diceritakan bos cantiknya
ini. Dia bahkan langsung duduk diam dengan perasaan penasaran setengah
hidup.

Walau Hanum sudah menikah, tapi tidak merubah kadar kecantikan wanita
30 tahunan ini.

"Kayanya calon istrinya kabur."

"Kayaknya?" Ulang Elena mengulang jawaban Hanum. "Kok kayaknya sih


mbak?" Tanyanya heran.

"Iya. Soalnya perempuan itu tiba-tiba hilang. Gak ada yang tau ke mana
perginya tu cewek. Keluarganya juga gak ada yang tau. Mana pernikahan
tinggal tujuh hari lagi. Berasa mau pecah kepala gue Len, mikirin masalah
ini." Jelas Hanum dengan nada frustasi. Begitu pun wajahnya yang nampak
sangat tertekan.

"Udah coba cari tau ke tempat-tempat yang sering dikunjungi?"

Hanum menganggukkan kepalanya pelan."Udah. Tapi tetep aja gak ada


hasil." Menghela nafas lelah. "Dipta bahkan udah berusaha nyari ke mana-
mana. Tapi hasilnya tetep nihil." Sambung Hanum lagi.

Melihat wajah mendung bosnya, membuat Elena mau tak mau ikut
merasakan prihatin.

Hanum itu, sudah dianggap dia seperti kakaknya sendiri. Elena yang
terlahir menjadi anak tunggal dari kedua orang tuanya. Tidak pernah
merasakan bagaimana rasanya punya saudara. Dan saat mengenal dan
bertemu Hanum, akhirnya dia bisa merasakannya.

Bangun dari sofa, Elena berjalan ke arah Hanum dan duduk di sampingnya.
"Sabar, mbak. Pasti semua ada jalan keluarnya." Ucap Elena memberi
semangat, sambil menggenggam sebelah tangan Hanum, Elena tersenyum
tipis. Berharap dengan cara ini dapat menyalurkan sedikit semangat untuk
bosnya.

BRAK..

"Kak Han, Mama masuk rumah sakit."

**

Rumah sakit kasih Bunda

Di sinilah Elena sekarang. Duduk menemani Hanum yang sedari tadi


menangis karna merasa khawatir.

Khawatir pada sosok malaikat tanpa sayap. Wanita luar biasa yang sering di
panggil ibu.

Setelah insiden di ruangan Hanum tadi. Dengan datangnya adik satu-satu


Hanum. Revan Pradipta.

Yang mengatakan ibunya masuk rumah sakit, karna mendengar calon


menantunya hilang entah ke mana. Padahal persiapan pernikahan sudah
90%. Langsung syok dan tak sadarkan diri.

Orang tua mana yang tidak akan syok, jika tau bahwa calon mempelai
anaknya kabur. Di saat semua persiapan pernikahan hampir selesai. Ini
waktu pernikahannya cuman tinggal satu minggu loh. Enak aja tu cewek
main kabur-kaburan.

Mau cari pengganti? Gak mungkin.

Mau dibatalin? Mau di taro di mana muka mereka membatalkan pernikahan


yang hanya tinggal menghitung hari.

Diam-diam, Elena memperhatikan Pria yang berdiri di tidak jauh darinya.

Revan Pradipta, atau yang sering Hanum panggil dengan Dipta. Pakaiannya
terlihat sudah awut-awutan tidak jelas. Kemeja demin putih panjang bahkan
sudah keluar dari celana hitam panjangnya dan terlihat sangat kusut.
Bahkan lengannya pun sudah digulung sampai setengah siku. Juga ada
guratan lelah di wajahnya yang begitu ketara, kantung mata hitam disekitar
matanya.

Meski terlihat begitu berantakan, tapi jujur Elena merasa kadar


ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Malah, adik bosnya itu terlihat
begitu seksi dengan rambut acak-acakan dan pakaian berantakan.

Dih, kok Elena jadi mikirnya ke mana-mana sih?

"Keluarga Nyonya Isa?" Panggil dokter saat baru keluar dari ruang ICU.

"Bagaimana keadaan mama saya dok?" Tanya Hanum dengan nada


khawatir.

"Semua baik-baik saja, nyonya hanya kelelahan dan syok ringan. Setelah
istirahat, nyonya bisa dipindahkan keruang rawat inap. Tapi saran saya,
tolong jangan biarkan nyonya Isa berfikir yang berat-berat dulu. Karna
tidak baik untuk kesehatannya kali ini." Jelas dokter panjang lebar. Yang
langsung diangguki oleh Hanum dan juga Dipta.

Sebelum pergi, dokter itu sempat melirik Dipta sebentar dan menepuk pelan
pundak Dipta. Seperti memberi semangat dan menenangkan.

"Terima kasih dok." Ucap Dipta bersamaan dengan Hanum.

"Mending kakak pulang, istirahat. Biar Dipta yang jaga mama di sini."
Ucap Dipta pelan memandang Hanum lurus.

"Istirahat?" Tanya Hanum pelan dengan air mata yang belum kering di
pipinya, atau bahkan sudah turun lagi tanpa komando.

"Kamu kira ... Kakak bakal bisa istirahat dalam keadaan kayak gini?" Ucap
Hanum marah.

"Kakak tidak perlu mikirin masalah ini, ini masalah Dipta. Biar Dipta yang
menyelesaikan semua masalah ini!"
"Bagaimana cara kamu menyelesaikan masalah ini? Huh? Bagaimana?"

"Jawab kakak Dipta!" Teriak Hanum marah. "Gimana?" Sambung Hanum


lirih.

"Mbak tenang mbak. Ini rumah sakit. Mbak harus tenang sekarang!" Ucap
Elena mengusap punggung Hanum. Mencoba menenangkan Hanum yang
terlihat sudah kehilangan kontrol.

Merosot ke lantai, Hanum menangis pilu. Memikirkan keluarganya yang


akan menanggung malu sebentar lagi. Hanum tidak yakin jika mamanya
akan baik-baik saja, jika sampai pernikahan ini gagal.

Bahkan mereka sudah menyebar undangan begitu banyak, belum lagi


keluarga besar mereka yang pasti menggunjingkan keluarganya. Semua itu
pasti yang membuat mamanya syok dan stres.

Hanum manangis tergugu di atas lantai yang dingin di rumah sakit. Bahkan
Elena sudah ikut duduk di lantai samping Hanum. Mencoba menenangkan
bosnya yang terus menangis. Bahkan air mata Elena pun ikut turun melihat
Hanum yang menangis dengan suara menyedihkan.

Duh Kasian.

"Dari awal, hiks ... Kakak ... Dan mama gak pernah setuju. hiks... Kamu
berhubungan atau bahkan menikah dengan gadis itu. hiks..." Ucap Hanum
disela-sela tangisnya.

"Tapi kamu--hiks Selalu keras kepala. Lihat sekarang. Wanita yang kamu
bangga -banggakan menghancurkan semuanya hiks. Semuanya Dipta.
Semuanya."

"Puas sekarang kamu melihat mama terbaring di rumah sakit ini? Puas
kamu menyoreng nama baik keluarga kita sekarang?" Sambung Hanum
terus meracau dalam pelukan Elena dan disela-sela tangisnya.

Berjongkok di depan Hanum. Dipta hanya bisa memandang kakaknya


dengan tatapan bersalah tanpa tau harus melakukan apa. Mengepalkan
kedua tangannya kuat, Dipta memandang lirih penuh rasa bersalah pada
Hanum yang tampak hancur karna ulahnya.

Tapi di sini bukan cuman Hanum yang hancur, dia juga merasakannya. Atau
bahkan dua kali lipat kehancuran yang Dipta rasakan saat ini.

Dipta yang melihat kakaknya menangis pilu, hanya bisa diam tidak bisa
berbuat apa-apa. Tangisan kedua Hanum setelah kepergian papa mereka.

Dulu Dipta berani memeluk kakaknya, berani menenangkannya atau


bahkan menghiburnya. Walau hatinya ikut hancur karna kehilangan sosok
pria hebat dihidupnya. Tapi Dipta harus tetap tegar demi dua wanita hebat
yang sangat dia sayangi.

Tapi sekarang lihat, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang
Hanum dengan pandangan menyesal dan rasa bersalah yang menggunung.

Jika dulu Dipta pernah berjanji tidak akan membuat mama atau kakaknya
menangis untuk kedua kalinya. Berbeda dengan kali ini, dia berjanji akan
melakukan apa pun asal bisa menebus rasa sesal dan rasa bersalahnya
terhadap kedua wanita hebat dalam hidupnya itu.

Dia berjanji akan melakukan apa pun. Apa pun yang bisa membuat senyum
kedua wanita itu kembali seperti sedia kala. Meski harus mengorbankan
kebahagiaannya atau masa depannya.

Tapi adakah cara untuk Dipta melakukan semua itu?

Merasa gagal menjadi satu-satunya pria dikeluarganya. Dipta semakin


merasa bersalah kali ini, karna tidak memiliki berani untuk menenangkan
Hanum. Sekedar memberi semangat atau pelukan pun dia tidak berani.
Membuat Dipta semakin terlihat menyedihkan saat ini.

Dan pada akhirnya, wanita asing lah yang memberikan pelukan kepada
kakaknya. Wanita asing ini, yang mencoba menenangkan kakaknya. Dan
memberi semangat kalau semua akan baik- baik saja. Semua pasti akan
kembali seperti semula dan sediakala.
Drama

"Mbak Hanum udah mendingan?" Tanya Elena mengulurkan tisu ke arah


Hanum.

Menerima uluran tisu dari Elena. Hanum mengangguk. "Hm, makasih ya


Len, lo jadi repot gara-gara gue."Jawab Hanum walau dengan mata sembab
tapi sudah ada senyum di bibirnya. Membuat Elena sedikit bernafas lega
melihatnya.

"Apa sih mbak, kayak sama siapa aja!" omel Elena sambil mengerling jahil,
berniat menggoda Hanum dan nyatanya Hanum semakin tersenyum lebar
karenanya.

"Gue gak tau Len harus ngomong apa. Tapi jujur, ini pasti berat buat
mamah gue. Dia itu udah pengen banget nimang cucu." Bisik Hanum lirih
dengan wajah menunduk sedih.

Mendengar Hanum membahas perihal soal cucu. Elena cuman bisa diam,
tidak bisa berkomentar apa-apa. Takut jika salah bicara dan malah semakin
menyakiti hati bosnya.

Walau dia ceplas-ceplos tapi masih ada batasannya, tidak mungkin


menambah rasa sakit orang yang sedang ada masalah seperti Hanum.

"Dan lo tau kan gimana gue sama laki gue." Sambung Hanum kian lirih.

Mengangguk hikmat. Elena tetap diam mendengar keluh kesah Hanum.


Mungkin ini yang dibutuhkan Hanum saat ini, yaitu berbagi cerita dan
keluh kesahnya. Mungkin dengan begini bisa sedikit mengurangi beban
dipundaknya.
"Oh iya, suami mbak ke mana? Kok gak keliatan?" Tanya Elena
mengalihkan pembicaraan. Agar Hanum tidak murung lagi.

"Mas Dewa lagi pergi perjalanan bisnis keluar negeri." Jawab Hanum
sekenanya.

Elena mengangguk mengerti. Memandang Hanum yang tampak diam di


depannya. Jarang-jarang bosnya ini bisa diam atau anteng seperti ini. Karna
biasanya, selalu ada saja tingkah Hanum yang kadang membuat sakit kepala
dan geleng kepala tidak percaya karna tingkah ajaibnya.

"Mbak, gue boleh nanya gak?" Tanya Elena hati-hati sambil melirik takut-
takut Hanum.

"Ck, Gak cocok banget Len. Gak gaya lo banget mau nanya segala pakek
ijin." Cibir Hanum.

"Is, mbak Hanum mah gitu. Ini mah serius tau mbak."

Hanum mengangkat sebelah alis heran. "Apa?" Tanya Hanum penasaran.

"Kenapa mbak gak setuju sama calon Dipta? Bukannya orangnya cantik ya
mbak?" Tanyanya sambil mengingat-ingat wajah ayu calon istri Dipta, yang
beberapa kali sempat dibawanya ke cafe.

"Cantik sih, cuman ya gitu. Feeling gue gak sreg aja sama dia."

"Sejak kapan mbak nilai orang pakek feeling?" Cibir Elena sambil melirik
Hanum geli.

Merasa konyol akan ucapan Hanum tentang menilai orang.

"Ye. Gue mah kalau nilai orang selalu pakek feeling kali. Emang lo? Pakek
toak." Seru Hanum kesal tak urung membuatnya tersenyum juga. Sedikit
lega karna bisa menghilangkan sedikit rasa stresnya.

"Santai mbak. Santai. Jangan pakek urat dong ngomongnya."

"Tau ah, makin sepet otak gue ngomong sama lo." Ketus Hanum.
"Ck, Terserah lah."

"Tapi beneran deh. Sekarang ini, gue sama sekali gak ada ide buat cari
solusi masalah Dipta. Lo ada ide gak Len? Buat masalah ini? Kasih saran
deh gue."

"Emang kalau batal nikah napa sih mbak? Dipta juga masih muda. Masih
banyak gitu yang mau sama dia." Kata Elena santai sambil menyeruput jus
jeruknya yang baru diantar pelayan ke meja mereka.

"Enak aja. Mau buat Emak gue kena serangan jantung lo? Acara persiapan
pernikahan Dipta itu hampir 90% tau. Lo kira gampang batalin gitu aja."
Omel Hanum berapi-api.

"Ya udah kalau gitu, temuin calonnya. Atau kalau enggak cari pengganti
lain kek. Susah amat hidup lo." Ceplos Elena tanpa pikir panjang.

Hanum mengerjab. Seakan baru saja mendapat Ilham dari kata-kata Elena.

"Ide bagus itu Len. Gak sia-sia deh Len, lo ada di sini. Ternyata otak lo
berguna juga." Jawab Hanum dengan senyuman sok lebar. Yang dibalas
Elena dengan mengangkat bahu acuh.

**

"Lena." Teriak Laras begitu melihat anak gadisnya masuk ke dalam rumah.

"Apa sih ma, teriak-teriak?" Jawab Elena kesal pada Laras. Mamanya ini
hobi sekali teriak-teriak padahal waktu sudah menunjukan malam.

Sekarang dia tau, dari mana sikap ajaibnya itu. Dari mana lagi kalau bukan
karna keturunan mamanya.

Papanya? Gak mungkin! Karna papanya atau Herman itu tidak pernah
bersikap heboh atau yang aneh-aneh. Papanya itu adalah orang yang paling
lurus dan lempeng di rumah ini.

Berjalan malas, Elena menghampiri mamanya yang sedang duduk di ruang


tengah bersaama papanya. Sepertinya sedang menikmati acara tv.
"Kenapa?" Tanya Elena setelah duduk di sofa samping papanya. Mau cari
aman. Karna kalau dia duduk di samping mamanya sudah pasti mereka
akan adu urat plus adu mulut.

"Dari mana kamu? Jangan bilang dari Cafe. Tadi mama ke sana, tapi kamu
gak ada. Kata Yuli, kamu pergi sama Hanum keluar." Cecar Laras dengan
banyak pertanyaan.

"Ngapain mama ke caffe?" Tanya Elena heran.

"Ditanya kok balik nanya. Gimana sih?" Ketus Laras sambil melotot galak
ke arah putrinya. Tapi setelah itu pura-pura melihat acara tv. Karna di
pandang begitu intens oleh Elena.

"Mama mencurigakan deh?" Celetuknya memperhatikan mamanya yang


terlihat menghindar.

"Aneh giman sih? Udah ah, ditanya kok malah balik nanya." Omel Laras
kian merasa aneh di mata Elena.

"Dari rumah sakit." Jawab Elena sambil mencomot pisang goreng di atas
meja. Lumayan ganjel perut pikirnya.

"Loh, siapa yang sakit?" Tanya Herman sedikit kaget.

"Mamanya mbak Hanum."

"Si Isa?" Tanya Laras.

"Loh, kok mama kenal?" Tanya Elena heran. Pasalnya, selama ini mamanya
tidak pernah membahas kalau mengenal keluarga Hanum. Apalagi
mamanya.

"Ya kenal lah. Isa itukan teman sekolah mama pas SMA." Jelas Laras
sambil melirik anak gadisnya yang seperti orang kelaparan, begitu lahap
memakan pisang goreng.

Elena hanya mengangguk mengerti tanpa mau repot berkomentar.


"Emang sakit apa Len?" Tanya Herman lagi.

"Cuma syok sama kecapean."

"Syok kenapa?" tanya Laras kepo.

"Kepo ah mama."

"Kamu ini ditanya orang tua juga. Gak sopan!"

"Is, Tau ah Lena mau ke atas. Mau mandi, udah gerah." Ucap Elena
menghindar.

Dia ini paling malas kalau sudah menghadapi mamanya yang kalau sudah
kepo bikin naik darang tinggi. Mana kalau diladeni terus tidak ada habisnya
lagi. Pasti ada saja pertanyaannya.

Bisa-bisa besok subuh baru selesai kalau dia ladeni. Sedangkan Elena
merasa badannya butuh mandi dan istirahat.

Herman hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak dan istrinya.


Anaknya terlihat enggan meladeni ke kepoan istrinya. Sedangkan istrinya,
kalau sudah kepo mau putrinya ke ujung dunia pun pasti dia kejar.

Terkadang Herman sampai heran. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga.
Tapi kalau istri dan anaknya sudah berdebat, atau merebutkan sesuatu. Pasti
rumah ini akan menjadi sangat ramai seperti ditinggali lebih dari sepuluh
orang. Benar-benar bikin Herman cuman bisa geleng-geleng kepala heran.

Saat melihat Laras, istrinya yang berdiri dan mengejar putrinya. Herman
hanya tertawa geli.

Dia yakin tidak lebih dari sepuluh menit pasti Elena akan berteriak kesal
dan mengadu padanya. Putrinya dan Laras kan seperti Tom and Jerry.
Bertengkar terus tidak ada habisnya. Kalau sehari saja mereka tidak
bertengkar, mungkin bakal turun hujan badai di rumahnya ini.

"MAMA IHHH. LENA MAU MANDI."


Nah kan belum juga lima menit, tapi putrinya sudah berteriak kesal karna
ulah istrinya.

Istrinya itu memang luar biasa ajaib dan langka. Tidak heran kalau putrinya
bersikap begitu, karna sudah pasti dia menuruni sifat Laras. Siapa lagi yang
punya sikap seperti itu di rumah ini selain istrinya, Laras? Dia? Ckk,
mimpi.

Mengabaikan teriakan putrinya dan tawa istrinya, Laras. Herman


melanjutkan acara nontonnya yang sempat tertunda tadi.

Sedikit tenang, karna sepertinya Herman akan terhindar dari sikap ajaib
istrinya kali ini. Itung-itung menikmati waktu tenangnya dari istri galaknya
sebentar, tidak salah kan. Toh Herman tidak yang aneh-aneh.
Syok

"Len." Panggil Laras pada anak gadisnya. Yang terlihat rapi saat melewati
ruang tengah. Dia terlihat akan pergi.

"Apa sih ma?" Tanya Elena sedikit kesal. Pasalnya mamanya ini, dari
semalam tidak berhenti mengganggunya. Ada saja yang di pertanyakannya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Laras. Mulai melancarkan aksi keponya.

Saat melihat anak gadisnya yang terlihat rapi, padahal ini hari libur.
Tumben-tumbenan anak gadisnya mau bangun pagi. Biasanya juga, dia
akan marah-marah kalau Laras bangunkan sepagi ini di hari liburnya.

Alasannya sih slalu ingin mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, karna


hampir satu minggu full bekerja. Memang dasar anak gadisnya saja itu yang
pemalas.

"Mau jenguk mamanya mbak Hanum." Jawab Elena sambil duduk di sofa
samping mamanya, menghadap ke arah tv.

"Kamu belum cerita sih Len sama mama?" Tanya Laras seraya
menyodorkan bolu coklat ke arah putrinya. Yang ada di meja depan sofa.

Tumben sih mama baik. Ada maunya ini pasti. Pikir Elena.

Mencomot satu potong bolu. Elena langsung menggigitnya kuat.

Emmh. Tekstur lembut dan manis langsung terasa dilidahnya. Mamanya ini,
kalau soal masak memasak memang tidak ada duanya. Apalagi tentang
membuat kue, slalu bisa dan terasa luar biasa. Bisa memanjakan lidah
pastinya.
"Cerita apa sih ma?" Tanya Elena kalem.

Setelah selesai menelan bolu di mulutnya habis, Elena langsung melirik ke


arah wajah mamanya yang menatapnya lurus. Dia ingin tau, apa yang
sedang mamanya pikirkan saat ini, perasaan dari tadi senyum-senyum gak
jelas menatapnya. Pasti ada banyak maunya ini.

"Itu loh, kamu semalam belum cerita ke mama. Kenapa Dipta. Si adiknya
Hanum itu gak jadi nikah?" Tanya Laras.

Semalam Elena marah- marah karna Laras memaksanya cerita. Sangking


penasarannya, Laras sampai tidak bisa tidur nyenyak karna penasaran
kelanjutan cerita putrinya itu. Tingkat ke kepoan Laras kan sudah masuk
ketahap kronis saat ini.

Tuh kan bener. Pikir Elena.

"Mama jangan cerita siapa-siapa tapi ya?" Ucapan Elena memperingati.

"Aman!" Jawab Laras sambil berlagak mengunci mulutnya.

"Tunangannya kabur." Celetuk Elena jujur.

Elena yakin kalau dia tidak jujur, mamanya tidak akan berhenti untuk
mengejarnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat kepala
Elena ingin pecah saat itu juga. Dan itu semua sangat menyebalkan bagi
Elena.

"Loh kok bisa?" Tanya Laras penasaran.

"Mana Lena tau." Jawab Elena cuek sambil mencomot satu potong bolu
lagi.

"Sayang banget ya? Padahal kan keluarga Isa itu kaya Len. Apa jangan-
jangan anak Isa yang cowok itu jelek?"

"Kaya, kalau gak cinta buat apa ma?"


Laras mendengus pelan mendengar jawaban anaknya.
"Cinta itu bakal hadir seiring berjalannya waktu. Tapi anak Isa ganteng gak
sih Len?"

"Menurut Lena sih ganteng. Pakek banget malah." Jawab Elena sambil
menyilang kan kaki di atas sofa.

"Tu. Apa yang kurang coba, keluarga konglomerat? Iya. Tampang? Ok.
Kira-kira apa yang buat dia kabur ya Len?"

"Mana mama tau mama." Jawab Elena gemas.

Laras mendengus kuat mendengar jawaban Elena yang di rasa kurang


akurat. "Kamu gak pengen deketin anaknya Isa, Len?"

"Kenapa harus deketin?" Jawab Elena dengan santainya.

"Ya kan kamu jomblo Len." Kata Laras dengan raut wajah meledek. "Kali
aja nyoba peruntungan, dari pada kamu jomblo. Coba aja pepet dia! Mama
sih gak masalah punya menantu konglomerat."

"Mama sih gak masalah. Tapi dia yang masalah. Mau gak sama Lena?"

"Ya kamu kejar dia lah. Usaha! Jangan cuman diam ngengkrem di kamar,
kayak ayam mau nelor aja." Omel Laras. Yang tak habis fikir dengan cara
berfikir anak gadisnya.

"Emang mama kira dia angkot Lena kejar? Lagian gengsi dong ma. Masak
cwek ngejar cowok. Gak keren banget tau."

"Heleh gak papa lah. Kesempatan itu kan gak datang dua kali."

"Gak ah. Gini-gini juga Lena


punya harga diri!"

"Terus kalau kayak gitu mau sampai kapan kamu bakal dapat jodoh? Kamu
gak liat sepupu-sepupu kamu, udah pada nikah. Bahkan ada yang udah
gendong anak."
"Ya sabar kali ma. Orang Lena juga kan lagi usaha. Umur juga belum tua-
tua amat."

"Umur dua puluh lima itu udah waktu yang pas buat nikah Lena. Kamu
mau nikah umur berapa? Tiga puluh?"

"Mama Ih. Do'anya jelek banget."

"Ya udah. Buruan, cariin mama calon mantu!"

"Ya kan gak segampang itu mama." Sahut Elena gemas. Mamanya ini,
dikira cari mantu semudah ubek-ubek baju di pasar apa? Cocok, sikat.

"Heleh. Ngeles mulu kamu kayak bajai."

"Udah ah, Lena mau ke rumah sakit. Di rumah mama ngomel mulu pusing
Elena." Ucapnya sambil berdiri dan menyalami mamanya.
"Asslamu'allaikum."

"Wa'allaikum salam."

*****

Setibanya Elena di rumah sakit. Dia langsung menuju ke ruang inap


mamanya Hanum. Sambil bertukar pesan dengan Hanum, mengabarkan
kalau dia sudah sampai.

Tadi, sebenarnya Hanum yang menyuruhnya ke sini. Katanya sih, ada hal
penting yang akan disampaikan Hanum padanya.

Saat ditanya tantang apa. Hanum dengan sok misteriusnya mengatakan


akan memberitahunya kalau dia sudah sampai di rumah sakit. Cih buat dia
penasaran saja.

Setelah sampai di depan ruang rawat mama Hanum. Elena mengetuk pintu
lebih dulu sebelum masuk.

Setelah dapat balasan dari dalam, Elena langsung membuka pintu pelan lalu
masuk.
Hal pertama yang Elena rasakan adalah malu. Bagaimana tidak, jika semua
pasang mata langsung menatap ke arahnya. Ada Isa, mama Hanum, Dipta
yang duduk di sofa samping suami Hanum, Dewa. Hanum yang duduk
menemani mamanya di samping ranjang, langsung berdiri begitu dia
melihat Elena nampak kikuk.

"Sini Len." Panggil Hanum.

"Siang tante, gimana keadaannya hari ini?" Tanya Elena basa-basi setelah
berdiri di samping Hanum.

"Alhamdulillah udah mendingan nak Lena. Makasih ya, karna semalam


udah repot-repot nemenin Hanum nungguin tante." Balas Isa dengan
tersenyum hangat.

Yg dibalas dengan anggukan oleh Elena. Bingung harus jawab apa.

"Lo sama siapa ke sini?" Tanya Hanum.

"Ya sendiri lah, mau sama siapa lagi?" Jawab Elena enteng.

"Gak kaget sih. Lo kan jomblo ilegal, mau sama siapa ke sini kalau gk
sendiri." Balas Hanum cuek.

Hanum kampreeeeetttt..

Harus banget ya nyebut-nyebut status? kalau tau begini mah, Elena gak
bakal mau ke sini. Bikin malu plus kesel aja.

"Oh nak Lena masih single?" Tanya Isa.

"Hehehh.. Iya tante." Jawab Elena salah tingkah. Malu sebenarnya.

"Gimana ma?" Tanya Hanum gak nyambung. itu sih pikir Elena, tidak tau
saja obrolan apa yang Hanum bahas sebelum dia masuk ke ruangan ini.

"Mama sih gak masalah, anaknya keliatan baik." Balas Isa sambil
memandang Elena lekat.
"Tapi masalahnya, apa anaknya mau gak sama adik kamu? Yang kakunya
ngalahin tembok?" Tanya Isa yang semakin membuat kerutan di dahi Elena
semakin banyak.

Ini lagi pada ngobrolin apa sih. Kok gue berasa di kacangin? Batin Elena.

"Tenang ma, Elena gak bakal nolak. Toh dia jomblo juga." Jawab Hanum
tanpa pikir panjang. "Iya gak Len?" Sambung Hanum minta persetujuan.

Elena yang ditanya begitu hanya manggut-manggut saja, karna belum tau
ke mana arah pembicaraannya.

"Jadi nak Lena mau?" Tanya Isa dengan binar mata bahagia.

"Mau apa tan?" Balik tanya Elena terlampau polos.

Sangking polosnya, sampai buat Hanum tertawa geli melihat muka Elena
yang terlihat lucu di matanya.

Elena ini walau anaknya pecicilan dan ajib, tapi Hanum tau kalau Elena itu
anaknya baik dan apa adanya.

"Nikah sama anak tante, Dipta?"

"HUH?" Blank itu lah yang Elena pikirkan sekarang.


Loh kok gue?

"Mbak Hanum. Ini maksudnya apa sih?" Tanya Elena Kesal.

Setelah kejadian di ruangan tadi. Yang membuat spot jantung Elena naik
turun gara-gara diajak nikah dadakan. Elena langsung menarik Hanum
keluar dari ruang rawat Isa. Setelah Isa dirasa sudah akan istirahat.

Lah dikira nikah itu masalah sepele kali ya? Kalau pacaran sih masih
mending, lah ini nikah? Walau dia jomblo, tapi gak gini-gini amat kali.
Mau-mau aja gitu diajak nikah dadakan.

Se'enggaknya dia juga punya kriteria calon suami. Yah, walau gak jauh-jauh
dari Dipta. Tapi tetep dong ini menyangkut masa depan Elena, plus harkat
dan martabatnya.

Lalu di sinilah Elena, duduk di kantin rumah sakit dengan Hanum yang
cengar-cengir merasa tidak bersalah. Bosnya ini, minta ditampol memang.

"Kan lo Len, yang ngasih ide gue buat cari pengganti." Jawab Hanum
beralasan. Tidak mau di salahkan begitu saja. Cari aman bos.

"Ya, tapi gak gue juga kali mbak yang jadi penggantinya." Ketus Elena
kelewat kesal. Di kepalanya sekarang, berasa ada yang menyembul. Entah
itu asap ataupun api emosi.

"Len, lo kan tau, cuman lo yang gue percaya saat ini. Dan gue yakin lo gak
bakal ngecewain gue. Ok deh anggep aja gue egois karna nyodorin lo
sebagai kandidat. Tapi waktu gue gak banyak Mbambang." Ucap Hanum
frustasi.

"Enam Hari, Len. Enam hari. Sedangkan Dipta, dia udah kayak mayat
hidup. Mikirin jalan keluar buat masalah ini. Bahkan nyokap gue gak mau
ngobrol sama dia kalau masalah ini belum selesai!" Sambungnya kian
frustasi.

" Gini aja deh, lo gak perlu jawab sekarang. Lo bisa pikirin matang-matang
buat tawaran gue. Nah, setelah lo rasa udah punya jawabannya. Lo bisa
hubungi gue. Gimana?" Ucap Hanum panjang lebar.

"Mbak, ini itu nikah mbak! Nikah! Bukan cuman masalah dua orang yang
bakal tinggal satu rumah. Tapi masalah masa depan. Mau jadi apa masa
depan gue, kalau nikah aja sama orang yang bahkan gak gue kenal? Apa
lagi gak tau gimana sifatnya. Bisa-bisa entar gue jadi janda muda lagi. Dih
amit-amit pokoknya." Jawab Elena tak mau kalah.

Dia masih normal ya, yah walaupun calonnya buihhh, sempurna. Sekali
lihat saja udah langsung buat sreg. Tapi tetap aja dia masih cukup waras.
Tunangannya yang cantiknya kayak putri solo aja bisa kabur. Melarikan diri
dari dia. Gimana dia yang tampang pas-pasan?

Dan semua itu pasti ada sesuatu yang terselubung di dalamnya. Kalau adik
bosnya tidak ada iya-iya nya, tunangannya gak akan kabur kan?

"Lo tenang aja deh Len. Dipta itu orangnya gak aneh-aneh kok. Dia tipe
cowok setia, pekerja keras. Gue jamin lo gak bakal nyesel kalau nikah sama
adek gue."

"Tau ah mbak, pusing pala gue!" Omel Elena.

"Tapi jujur deh Len. Kriteria cowok lo yang gimana sih?" Tanya Hanum
penasaran.

"Ya. Yang jelas cinta sama gue lah mbak." Sahutnya enteng.

"Salah satunya ganteng gak?" Pancing Hanum.

"Iya dong biar enak dipandang. Biar bisa merubah keturunan juga."

"Suka yang pendek atau tinggi?"

"Tinggi lah."
"Pekerja keras atau pengangguran?"

Elena mendelik mendengar pertanyaan abstrak Hanum."Ya pekerja keras


dong mbak, masa pengangguran. Mau dikasih makan apa gue entar?"

"NAHHH." Teriak Hanum heboh.

Sampai membuat Elena tersentak kaget.


"Apa sih mbak. Ngagetin aja lo?"

"Yang lo sebutin itu semua masuk kriteria adik gue. Apa lagi yang kurang
coba dari dia?"

Elena memutar bola mata malas.

"Cinta." Jawabnya kalem.

Hanum berdecak. "Alasan." Cibir Hanum. "Cinta itu bisa tumbuh kali Len,
seiring berjalannya waktu." Sambung Hanum.

Elena terkekeh, merasa lucu dengan obrolan mereka.

"Tapi ngomong-ngomong, Dipta tau ide gila mbak ini?" Tanya Elena
berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tau lah." Jawab Hanum enteng. Berhasil membuat Elena melongo


mendengar jawabannya.

Et buset. Ni orang santai banget sih jawabnya.

Tersenyum sinis. "Jangan bilang lo gak percaya sama gue?"

Elena menggeleng panik. "Percaya kok. Percaya." Jawabnya cepat. Kalau


sudah mode sinis begini, biasanya bosnya akan melakukan apa pun yang
ada di otaknya. Salah satunya pekerjaan Elena yang jadi taruhannya.

"Terus kenapa lo liatin gue begitu?"


"Aneh lah liat mbak ngomong santai gitu. Sedangkan mbak kan tau gue
sama Dipta aja gak saling kenal." Jelas Elena meringis kaku.

Hanum mendengus kesal mendengar jawaban Elena. Mengambil ponsel di


dalam tas. Hanum mengotak atik ponselnya sebentar, dan menghubungi
seseorang.

"Kekantin sekarang." Ucap Hanum datar pada orang disebrang telpon.

Elena hanya diam memperhatikan Hanum yang berbicara dengan orang


disebrang telponnya.

"Sekarang gue berani bertaruh. Kalau lo." Ucap Hanum menunjuk K


Elena dengan jari tengahnya. "Gak akan bisa nolak." Sambung Hanum
santai.

***

Elena berulang kali menipiskan bibirnya. Menahan diri agar tidak


menyupah serapahi Hanum. Mendengus Kesal karna melihat senyum tipis
dibibir bosnya.

Bosnya ini benar-benar menguji kesabarannya ternyata.

"Jadi kalian belum pernah Kenalan secara resmikan" Ucap Hanum.


Memandang Dipta dan Elena bergantian.

"Revan Pradipta." Ucap Dipta sambil meyodarkan tangan kananya ke arah


Elena.

Tanpa senyuman sedikit pun.

Oh Astaga. Ni orang pelit banget sama senyum. Senyum kek dikit buat
perkenalan. Model begini yang bakal nikah sama gue? Bahkan mukanya aja
lempeng udah kayak papan seluncur. Ogah.

"Elena Hayunda." Ucap Elena mebalas uluran tangan pria di depannya.


"Oh. ya Dipta, Elena udah mau pamit pulang nih. Gih kamu anter dia
pulang!" Ucapan Hanum sontak mambuat Elena langsung menoleh
padanya.

Bos kampret. Ini kapan gue ngomong mau balik coba? Wah lama-lama
mbak Hanum gue ruqiah juga ini.

"Kayaknya gue balik sendiri deh mbak. Gue bawa mobil soalnya." Ucap
Elena. Menunjukkan kunci mobilnya.

"No, no, no." Jawab Hanum menggoyangkan jari tengahnya di depan


wajah. "Lo mending dianter Dipta. Dipta gak masalah kok kalau pulang
naik taksi."

"Ribet kali mbak. Udah ah gue balik sendiri aja." Tolak Elena kekeh.

"Gue gak mau denger penolakan." Ketus Hanum.

Buset dah. Ni mbak Hanum ngebet banget sih. Mana yang disuruh nganter
model laki begini, bisa mati kutu gue di dalam mobil ma ni orang.

"Ayo. Saya antar pulang." Ajak Dipta. Tanpa menunggu jawaban dari
Elena, dia pun berjalan labih dulu keluar kantin.

Ck. Ni cowok gak ada manis-manisnya yak?

"Kampret lo mbak." Sembur Elena berapi-api.

Tawa Hanum pecah seketika. Melihat wajah kesal Elena Belum apa-apa
bahkan bawahannya itu sudah di buat tak berkutik di depan adiknya.
Sepertinya ide untuk menjadikan Elena calon adik iparnya, bukan ide yang
buruk.

***

Canggung. Itulah yang dirasakan Elena saat ini. Bagaimana tidak, Dipta
yang duduk di sampingnya bahkan terlihat lebih menyeramkan
dibandingkan kuburan dimalam jum'at.
Kenapa gue jadi bisa diam gini ya, kalau duduk samping ni orang?
Kayaknya, bisa deh ni orang gue jadiin pawang biar gue keliatan anggun.
Tapi mulut gue gatel ni pengen ngomong.

"Ehm." Dehem Elena.

Dipta melirik Elena dengan ujung matanya sekilas. Hanya melirik tanpa
mau mengajaknya mengobrol.

"Lo tau tentang ide gila mbak Hanum?" Tanya Elena hati-hati.

"Hm."

"Tentang lo disuruh nikah sama gue?" Tanyanya lagi, mencoba tetap sabar
lantaran tanggapan singkat Dipta.

Dipta meliriknya sekilas tak berkomentar sedikit pun.

Et, buset! ini gue dikacangin?

Perjalanan tiga puluh menit berasa tiga puluh tahun untuk Elena. Tidak ada
obrolan bahkan untuk bergerak pun Elena takut. Lirikan Elena itu loh,
serem banget. Lebih serem dari pada tanah kuburan yang masih basah.

Mengerutkan kening heran. Elena memandang heran ke arah halaman


rumahnya yang dipenuhi dengan mobil.

Di rumah gue ada hajatan ya, perasaan tadi pas gue keluar mama gak
ngomong apa-apa. Kenapa banyak banget mobil? Batin Elena heran

"Thank, Ya. Udah nganter gue balik." Ucap Elena bersiap turun.

"Kamu gak nawarin saya masuk?" Tanya Dipta. Menghentikan gerakan


tangan Elena yang bersiap turun.

"Kenapa gue harus nawarin lo masuk?" Balas Elena heran.

Dipta mengangkat bahu cuek. "Setidaknya saya sudah mengantar kamu


pulang."
Ni orang ikhlas gak sih ngantar gue balik? Kok jadi kesannya tadi gue yang
minta anter.

"Lo gak liat rumah gue lagi rame?" Tanya Elena. Menunjuk jejeran mobil
yang terparkir di depan rumah.

"Kamu ingin saya mampir ke rumah kamu, saat rumah kamu sepi?" Balik
tanya Dipta.

"Bu---bukan gitu." Gagap Elena salah tingkah. "Ah, ya udah deh. Ayuk
masuk." Ajak Elena ketus.

"Lena, Sama siapa?" Tanya Laras sok kaget yang baru keluar dari pintu
utama rumanya.

Mampus gue.
Loh, kok jadi gini sih?

"Lena, sama siapa?" Tanya Laras sok kaget yang baru keluar dari pintu
utama rumahnya.

Mampus gue.

"Hallo, Tante." Sapa Dipta ramah. Kelewat ramah malah.

Mendengar nada ramah pria di sampingnya, Elena langsung menoleh cepat


ke arahnya.

Ni orang bisa ramah juga?

"Hallo. Siapanya Lena? Ayo-ayo masuk. Kita ngobrol di dalam." Ajak


Laras semangat. Terlalu semangat sampai Laras berani menggandeng
sebelah tangan Dipta. Layaknya mereka sudah mengenal lama.

Merasa diabaikan Laras, Elena langsung mencak-mencak karna gemes liat


mamanya mulai kepo.

"Ras sama siapa?" Tanya Tuti. Kakak ipar Laras, yang kebetulan sedang
berkunjung ke rumahnya.

Melihat Laras menggandeng pria muda tampan membuat Tuti penasaran.

"Calonnya Elena." Celetuk Laras asal.

Bukan apa-apa, Tuti ini orangnya ngeselin. Selalu saja bisa buat Laras
mengelus dada kalau sudah ngomong. Belum lagi dengan semua
kesombongannya itu loh, bikin Laras gemes pengen ngetok kepalanya.
Selalu saja pengen menang sendiri.
Laras sampai heran, kok bisa sih suaminya yang kalem ini punya saudara
model begini. Berkunjung kalau ada maunya, atau mau pamer sesuatu.

Pokoknya gak boleh ada yang lebih baik dari apa yang dia punya. Kadang
buat Laras gemes, karna omongannya yang setinggi langit.

Contohnya hari ini, ngomongnya cuman berkunjung nanyain kabar Laras


dan keluarga. Padahal Laras tau, kalau Tuti mau pamer pacar anak
sulungnya. Yang baru direkrut menjadi maneger perusahaan besar
ditempatnya bekerja.

"Nak Dipta mau minum apa?" Tanya Laras.

"Gak usah repot-repot tan." Jawab Dipta sopan.

"Ah gak repot kok." Balas Laras hangat. "Lena sana buatkan nak Dipta
minum!" Sambung Laras menyuruh Elena saat melihat putrinya baru masuk
ke dalam rumah.

"Ma-" Belum sempat Elena ngomong. Sudah mendapat pelotottan garang


dari mamanya. Mau tidak mau membuat dia pun berjalan ke arah dapur.
Dari pada di giles habis oleh mamanya. Lebih baik dia nurut kan? Cari
aman.

Berjalan ke dapur. Dilihatnya Dimas, anak dari sepupunya Yuni sedang


makan bolu di ruang tv. Seakan lupa dengan tujuan awal, Elena pun
langsung berbelok ke arah tv.

"YUHU. Dimas ponakan onti Lena yang paling ganteng ngalahin aliando."
Teriak heboh Elena. Sampai membuat Yuni mengelus dada karna kaget.

Diciuminya bocah tiga tahun itu sampai terkikik geli dan berusaha menjauh
dari Elena.

"Lo bisa gak sih Len. Waras dikit jadi orang?" Omel Yuli.

"Apa sih mbak, ngomel mulu lo kayak emak gue."

"Gue laporin tante Laras lo!" Ancam Yuli.


"Bodo."

"Jangan cium-cium anak gue lo." Kesal Yuli.

"Itu di depan mobil siapa sih mbak, rame banget?" Tanya Elena
mengalihkan pembicaraan.

"Tante Tuti sama para kaumnya." Asal Yuli.

Yuli ini anak dari adik Laras, jadi dia lumayan dekat dengan Laras mau pun
Elena. Tidak heran jika dia berada di rumah Elena sudah seperti rumahnya
sendiri.

"Mau apa mereka ke sini?" Tanya Elena lagi.

"Katanya sih berkunjung. Siap-siap deh lo Len."

Sebelah alis Elena terangkat. "Siap-siap apa?"

"Dia kan ke sini bawa calon Siska. Katanya maneger perusahaan besar."

"Lah, hubungannya sama gue apa?"

"Kan lo jomblo. Siap-siap aja lo dapat nyinyiran tante Laras soal mantu."

Seolah tersadar, Elena menepuk jidat. "Mampus gue." Ucapnya, buru-buru


berdiri dari duduknya.

"Kenapa?" Tanya Yuni.

"Gue disuruh buat minum sama mama."

"Buat siapa?" Tanya Yuni.

"Buat temen gue, di depan."

"Cewek apa cowok?"

"Cowok." Jawab Elena sambil berjalan ke arah dapur.


"Pacar lo?"

"Kepo lo mbak."

***

Di ruang tamu.

"Cowok ini, beneran calon Lena, Ras?" Tanya Tuti yang sudah duduk di
samping sisi kiri Laras. Sedang Dipta di sisi kanannya.

Yang hanya dijawab dengan senyuman oleh Laras."Nak Dipta, kata Lena
mamanya lagi sakit? Gimana keadaannya sekarang?" Tanya Laras.
Mengabaikan wajah kepo kakak iparnya.

"Baik tante. Alhamdulillah sudah lebih baik." Jawab Dipta kalem.

Udah ganteng, ramah, tajir lagi. Cocok ini jadi mantu. Pikir Laras.

"Nak Dipta kerja di mana? Tadi ke sini naik mobilnya Lena ya?" Tanya Tuti
mulai kepo.

Dipta mengangguk khidmat. "Saya kerja di perusahaan VMC Group tante."

"Oh sebagai apa? Kenalkan, ini Bram. Pacar anak tante. Dia manager
marketing di VMC Group loh." Tunjuk Tuti pada pria yang duduk di sofa
ujung dekat wanita cantik yang memakai dress sedikit ketat dan dandanan
sedikit berlebihan.

Dipta tidak menjawab hanya mengangguk sopan sebagai tanggapan.

"Nak Dipta sudah makan? Sekalian saja makan malam di sini." Ucap
Herman.

"Terima kasih Om."

Lena masuk ruang tamu. Membawa beberapa minuman dan cemilan.


"Lama banget sih Len cuman buat minuman juga? Kasian nak Dipta udah
nunggu lama." Ucap Laras.

"Nak Dipta kenal di mana sama Lena?" Tanya Tuti.

Ni orang kepo banget sih. Batin Laras.

"Dipta ini adik bosnya Lena mbak." Bukan Dipta tapi Laras yang menjawab
lebih dulu.

"Oh adik bos to." Celetuk Tuti. "Soalnya tante itu, tau gimana Lena.
Anaknya susah bergaul, udah gitu pecicilan juga sih. Jadi aneh aja kok bisa
kenal sama cowok ganteng kayak nak Dipta." Sambung Tuti tak
berperasaan.

Sedang Elena, jangan tanya bagaimana raut wajahnya saat ini. Sudah merah
seperti kepiting rebus, karna menahan kesal dan malu. Enak aja menjelek-
jelekkan dirinya di depan Dipta dan pacar sepupunya. Elena kan jadi malu.

Kalau Tuti bukan kakak ayahnya. Elena yakin, dia pasti sudah mencerca
habis-habisan wanita paruh baya ini, dengan kata-kata pedasnya plus
kalimat-kalimat merconnya yang mematikan.

"Yah maklum mbak, Elena itu kan cari suami bukan sebatas pacar. Kalau
bisa langsung minggu depan nikah, gak perlu acara tunangan-tunangan
segala. Jadi wajar kalau dia mau cari yang pasti-pasti dan serius." Ucap
Laras kalem melirik putrinya. Seolah mengatakan lewat sorot matanya jika
dia tidak akan tinggal diam jika putrinya di jelek-jelekan.

"Lagian walau anaknya pecicilan tapi Elena itu gak pernah aneh-aneh dan
nurut." Sambung Laras santai.

Ada yang bilang, jika ibu adalah malaikat tanpa sayap. Dan seorang ibu,
akan selalu membela anaknya. Seburuk apa pun anaknya, seorang ibu tidak
akan peduli yang terpenting mereka akan selalu menyayangi dan mencintai
sepenuh hati. Dan Elena mempercayai itu sekarang.
Walau dia jarang akur dengan mamanya. Tapi Elena tau jika Laras sangat
menyayanginya. Begitupun sebaliknya.

Dipta tidak tau harus menanggapi seperti apa. Karna situasi seperti ini tidak
pernah dia hadapi. Dia juga belum begitu mengenal dekat Elena. Jadi,
bingung harus bersikap bagaimana.

Tapi Dipta tau, Elena sepertinya gadis yang baik. Terbukti kakaknya,
Hanum adalah orang yang jarang akrab dengan orang lain. Terutama orang-
orang baru bisa begitu akrab dengan Elena, kakaknya itu terlihat nyaman-
nyaman saja berteman dengan bawahannya itu.

"Mbak tadi katanya gak bisa lama?" Ucap Laras mengusir halus Tuti. Sudah
malas untuk menanggapi kakak iparnya lebih lama.

"Ah, kayaknya aku mau ikut acara makan malam di sini. Kan udah lama
kita jarang kumpul, terus makan malam rame-rame." Jawab Tuti.

"Alasan." Pikir gumam Elena kelewat pelan.

"Ya udah ayuk bantu aku masak-masak di dapur mbak." Tarik Laras.

"Gak Elena aja?" Ucap Tuti sedikit enggan.

"Lena ada temennya. Kasian temennya kalau ditinggal. Pa tolong potongin


ayamnya ya? Mama mau masak semur buat calon mantu." Celetuk Laras
sambil melirik Elena dengan senyum misterius.

Mama ih. Malu-malu in aja sih.


Entar apa coba yang dipikirin Dipta tentang gue? Entar dikira gue ngebet
minta kawin lagi sama dia.

"Nak Dipta tante tinggal ke dapur dulu ya?" Ucap Laras berdiri dari
duduknya.

Dipta mengangguk khidmat. "Iya tante." Serunya.

Setelah para tetua pergi meninggalkan ruang tamu. Hanya tinggal anak
muda yang duduk diam di kursi masing-masing. Sibuk dengan pikiran-
pikiran masing-masing.

"Emang bener Len ini calon lo?" Tanya Siska memulai obrolan.

Ni orang ya. Gak anak, gak emak kok sama aja sih. Sama-sama kepo.

"Benar, saya calonnya Elena." Jawab Dipta di luar dugaan. Berhasil


menarik perhatian semua pasang mata yang berada di ruangan itu.

Loh, yang ditanya siapa yang jawab siapa? gimana sih ini?
Itu sih maunya mama.

Setelah acara makan malam kemarin. Elena belum juga menghubungi


Hanum. Dan pagi ini, dia akan bersikap masa bodoh dengan tawaran gila
bosnya itu. Toh kemarin Dipta juga tidak membahas apa-apa dengan dia.
Jadi, anggap saja kemarin Elena sedang bermimpi buruk. Karna berkenalan
dengan cowok model papan seluncur seperti Dipta.

"Lena, anak mama yang paling cantik. Sini sayang." Seru Laras dari meja
makan.

Elena mengernyit. Menatap mamanya tak mengerti. "Apa sih ma?"


Tanyanya malas.

Mulai deh mamanya ini. Dari semalam mamanya bersikap aneh. Bahkan
Elena diperlakukan berbeda oleh mamanya. Layaknya dia seorang putri
solo.

"Kamu mau sarapan apa sayang?" Tanya Laras masih dengan panggilan
sayangnya pada Elena.

Membuat Elena kian menatap mamanya horor. Jika sudah baik begini pasti
ada sesuatu di balik bakwan. Dia dia harus hati-hati.

"Mama sakit ya?" Tanyanya. Tak lagi bisa membendung rasa herannya.

Sampai Herman yang duduk di tengah antara istri dan putrinya pun tertawa
geli melihat interaksi istri dan anaknya. Merasa lucu dan gemas sendiri
dibuatnya.

"Kamu itu dibaikin salah, di omelin ngeluh. Maunya apa sih kamu, Elena?"
Delik Laras kesal.
"Ya mama itu aneh banget tau gak?"

"Gak"

"Mama ihh. Serius tau." Rengek Elena. "Pa?" Sambung memanggil


Herman.

Yang hanya dibalas gumaman oleh papanya itu.

"Papa tau gak, kenapa mama aneh?"

Laras mendelik tidak suka. "Aneh-aneh gundul mu."Sahutnya kesal.

Elena langsung cemberut mendengar sahutan mamanya. Mamanya ini kalau


sudah kumat pasti omongannya se'enak jidat. Sama persis seperti dirinya.

Tapi hanya butuh waktu sepersekian detik, tiba-tiba wajah Laras berubah
penuh binar.

"Elena, nanti nak Dipta diajak mampir makan malam ke sini lagi ya?"
Serunya terdengar begitu senang.

Nah. Nah kan bener. Pasti ada maunya ini. Mangkanya gue dari semalam
dibaik-baiki terus. Batin Elena.

"Gak ah ma. Orang Lena kemarin gak sengaja ketemu dia." Jawabnya.
"Lagian mama jangan aneh-aneh deh. Ngaku-ngaku Dipta calon Lena.
Nanti kalau didenger malaikat gimana?" Sambungnya kesal

Laras mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Ya bagus." Celetuknya asal.

"Kok bagus sih?"

"Ya bagus! Biar kamu cepet nikah. Lagian Dipta itu, bibit unggul yang gak
boleh di sia-sia'in Len. Kapan lagi kamu bisa dapat bibit begitu?"

"Dikira Jagung kali bibit unggul."


Laras melotot. Dengan kesal dia pun memukul lengan putrinya yang masih
bisa dia jangkau. "Kamu itu, kalau dikasih tau orang tua ngejawab mulu."
Omelnya kesal.

"Iya-iya ma. Maaf."

"Lagian mama sama papa setuju kok kalau kamu nikah sama Dipta. Pakai
banget malah." Tutur Laras lagi. Seolah-olah Elena tengah meminta ijin
padanya untuk segera menikah.

Elena mendesah. "Kasian Lena dong ma, kalau harus nikah sama papan
seluncur."

"Papan seluncur gimana?" Tanya Herman yang sedari tadi hanya diam
mendengarkan obrolan ngarol-ngidul istri dan putrinya.

"Iya. Dipta kan kayak papan seluncur. Mukanya datar gitu. Gak ada
senyum-senyumnya." Jawab Elena
menjelaskan.

Herma tergelak. Menggeleng kan kepalanya geli. Ada-ada saja bahasa


putrinya ini.

"Yang ada itu, malah mama kasiannya sama Dipta kalau mau sama kamu.
Masa cowok sempurna begitu dapat istri model begini." Balas Laras tanpa
perasaan. Yang kembali disambut tawa renyah oleh Herman.

Meski istri dan anaknya jarang akur. Tapi Herman merasa mendapat
hiburan tersendiri dari mereka jika sudah begini.

Anak dan istrinya ini, akan sangat lucu kalau sedang berdebat atau
merebutkan sesuatu. Tidak pernah ada yang mau ngalah pokoknya.

Elena meradang mendengar ucapan sadis mamanya. "Sebenernya anak


mama itu siapa sih? Elena apa dia?" Decaknya kesal.

"Lagian kamu aneh, bukannya bersyukur dapat calon kayak Dipta. Malah
sok jual mahal. Dijual murah aja belum tentu laku."
"Bukannya sok jual mahal mama." Bela Elena tak mau kalah. Ya ampun,
dosa apa sih dia punya mama model begini?

Laras mencibir. "Terus apa namanya kalau bukan jual mahal, Elena?"

Elena mengerucutkan bibirnya sebal. "Ya, emang mama gak kasian sama
Lena kalau nikah cuman buat pengganti?"

Satu alis Laras terangkat tinggi. "Kata siapa?" Tanyanya.

"Kata Mbak Hanum lah. Orang dia nawarin Lena buat nikah sama adiknya.
Gantiin tunangannya yang kabur." Jelasnya begitu saja.

Laras menggelengkan kepala tak percaya dengan cara berfikir putrinya.


Anak gadisnya ini benar-benar polos apa bodoh sih?

"Lena denger mama. Mama dan papa itu sayang sama kamu. Kami ingin
yang terbaik buat kamu. Dan melihat bagaimana Dipta kemarin ke sini, dan
dia minta ijin ke mama dan papa. Buat nikah sama kamu, sejujurnya mama
kaget karna dia datang tiba-tiba langsung meminta ijin seperti itu. Tapi dari
kesungguhan dia. Dia janji gak bakal ngecewain kamu, atau bahkan sampai
sakitin kamu. Perasaan seorang ibu itu tidak bisa berbohong nak. Dia
terlihat tulus juga laki-laki yang bertanggung jawab. Mama percaya kamu
bisa bahagia sama dia." Ucap Laras dengan nada yang lebih halus dan
lembut. Berharap putrinya akan mengerti.

Kemarin memang Elena sempat membersihkan diri. Dan meninggalkan


Dipta untuk mengobrol dengan kedua orang tuanya. Tapi dia tidak tau, jika
obrolan mereka menjurus kehal-hal serius seperti itu.

"Papa juga awalnya marah waktu dengar dia nikahi kamu, karna
tunangannya kabur. Tapi saat dia berjanji tidak akan pernah meninggalkan
kamu dan menerima semua sifat baik mau pun buruk kamu. Papa tidak
begitu saja percaya dengan dia. Tapi dia terus meyakinkan papa dan mama
untuk bisa menikahi kamu. Dan berjanji untuk selalu menjaga kamu
sekarang, nanti atau bahkan selamanya. Di saat papa dan mama gak akan
bisa menjaga kamu lagi." Sambung Herman menambahkan.
Laras mengangguk membenarkan.

"Sekarang semua terserah kamu. Mama sama papa gak akan paksa kamu
untuk menerima, karna nanti yang akan menjalani hubungan ini kan kalian.
Bukan mama atau papa. Tapi ada baiknya kamu pikirkan baik-baik soal
ini." Nasehat Laras.

Elena menggigit ujung bibirnya kuat, memandang papa dan mamanya


bergantian. Ada rasa yang sulit dia artikan ketika mendengar ucapan kedua
orang tuanya.

Menghela nafas pasrah. Elena hanya bisa mengangguk mengerti. "Elena


akan pertimbangin lagi ma." Putusnya pada akhirnya. Yang langsung
membuat senyum Laras mengembang tanpa di minta.

"Akan lebih baik kalau kamu terima Len. Jarang-jarang loh, ada cowok
seganteng Dipta mau sama kamu, mana baik, bertanggung jawab. Sampai
mau berbicara seserius itu sama papa dan mama. Mana buat perempuan
model kamu begini lagi. Mimpi apa dia semalam kalau sampai nikah sama
kamu Len." Celetuk Laras asal. Membuat Herman menggelengkan
kepalanya.

Elena menarik nafas. Terserahlah mamanya mau ngomong apa. Sekarang


ini otaknya sedang pusing. Jadi, terlalu malas meladeni ocehan mamanya
yang bakal buat naik darah.

***

"Loh Len. Lo kerja?" Tanya Yuli yang berdiri di depan meja kasir.

Saat melihat Elena yang malah duduk di meja bar caffe. Bukanya dia
katanya diliburkan?

Elena mengangkat bahu cuek. "Menurut lo." Ketusnya.

"Lagi PMS lo, pagi-pagi udah marah-marah aja."

"Butek gue lama-lama liat muka lo." Sahut Elena sadis.


Yuli mendelik. "Najis mulut lo Len, lama-lama gue lakban juga itu mulut."
Cerca Yuli.

Merasa tak mendapat jawaban dari atasannya. Yuli pun semakin penasaran.
Kenapa sih sekretaris bosnya ini? Tumben-tumbenan dia anteng.

"Len lo gak papa?"Tanya Yuli.

Elena hanya bergumam sebagai balasan. "Hm."

"Gue yakin ni, pasti ada apa-apa?"

"Mbak Hanum udah datang belum sih Yul?" Tanya Elena.

"Katanya sih hari ini gak masuk. Gue kira lagi janjian sama lo. Soalnya lo
juga dikasih ijin seminggu." Jawab Yuli. Yang sontak membuat mata Elena
melotot lebar.

"Gue dikasih cuti seminggu?" Tanyanya tak percaya.

"Gue kira lo udah tau, mangkannya gue tanya. Kenpa lo kerja hari ini."
Ucap Yuli.

"Tapi ngomong-ngomong, dalam rangka apa sih lo ambil cuti Len?"


Sambung Yuli penasaran.

"Kepo lo ah. Ya udah deh gue balik." Balas Elena beranjak bangun dari
duduknya.

"Dasar aneh." Gumam Yuli.

Belum sempat keluar Caffe Elena sudah dikejutkan dengan kehadiran Dipta
yang tiba-tiba muncul di depannya. Pria itu nampak buru-buru melangkah
dari luar. Dengan pakaian rapi plus wajah gantengnya.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Dipta. Yang sudah berdiri di depan
Elena.
Elena mengerjab. Terkejut dengan jarak mereka yang begitu dekat. "Mau
ngomong apa?" Tanyanya balik.

"Saya akan kasih tau, kalau kamu setuju bicara dengan saya." Jawab Dipta.

"Tapi gue lagi gak ada waktu, lagi sibuk." Alasan Elena mencoba
menghindar. Belum siap jika harus berinteraksi dengan cowok cakep di
depannya.

Dipta menarik nafas dalam. Tahu jika wanita di depannya menghindarinya.


"Saya tau kamu hari ini lagi free."

Kedua mata Elena terbelalak lebar. Mbak Hanum kampret. Pasti dia ini
yang ngasih tau jadwal gue.

Menarik nafas kesal. Sepertinya Elena tidak punya pilihan lain selain
menurut. "Ok." Putusnya pada akhirnya.

Senyum samar terbit di bibir tampan Dipta. "Ikut saya!" Ajak tanpa
menunggu persetujuan dari Elena.

Tidak punya pilihan. Elena hanya bisa mengikuti Dipta dari belakang. Saat
melihat Dipta masuk dalam mobil, dia pun ikut masuk ke sini lain mobil
pria itu.

"Mau ke mana?" Tanya Elena saat Dipta mulai menghidupka mesin


mobilnya. Dia kira mereka akan bicara di dalam mobil.

"Cari tempat yang lebih privasi."

"Tapi gue bawa mobil." Jawab Elena kaget.

Dipta hanya meliriknya sekilas. "Nanti saya akan suruh orang antar mobil
kamu ke rumah kamu."

Ni cowok auranya dingin banget sih. Bikin merinding aja. Gak bisa
bayangin gue kalau sampai punya suami model begini. Beneran mati kutu
gue. Batin Elena.
Setuju

Memperhatikan bangunan megah di depan matanya. Elena berulang kali


berdecak kagum dibuatnya.

Sekarang dia sedang berada di depan perusahaan Dipta. Berjalan masuk


untuk menunggu Dipta di lobi. Tadi memang Dipta ingin mengajaknya ke
rentorant yang menyediakan tempat-tempat privasi. Tapi, karna tiba-tiba
Dipta mendapat telpon penting dari sekertarisnya yang akhirnya membuat
Dipta harus membatalkan niat mereka.

Akhirnya pria itu pun mengajaknya keperusahaan tempatnya bekerja. Untuk


membicarakan hal penting yang dia maksud.

Karna Dipta harus berbicara dengan beberapa orang berjas di caffe depan
kantornya. Akhirnya Dipta menyuruhnya untuk menunggu di lobi, nanti
akan ada orang yang menjemputnya, dan Elena bisa menunggu di dalam
ruangan Dipta. Agar dia tidak merasa bosan dan jenuh menunggu Dipta.

Melangkah masuk lebih dalam kelobi. Mata Elena melotot horor saat
menemukan Siska, sepupunya juga sedang duduk di sofa lobi. Sepertinya
juga sedang menunggu seseorang.

"Elena?" Panggil Siska. "Ngapain lo di sini?" Ucap Siska yang juga


menyadari kehadiran Elena. Dia nampak terkejut menemukan sepupunya
itu bisa berada di perusahaan besar seperti ini. Padahal setahunya,
sepupunya itu tidak pernah mengenal orang-orang besar. Lalu apa yang dia
lakukan di sini?

"Oh, gue lagi nunggu temen." Jawab Elena sekenanya.

Bingung sih mau jawab gimana. Lagian, ngapain sih ini sepupu Elena di
sini. Malas banget dia jika harus meladeni sepupunya ini.
Dia memang tidak pernah akur dengan sepupunya. Karna sepupunya ini
sangat menyebalkan menurut Elena.

"Lo sendiri? Lo kerja di sini?" Tanya Elena gantian.

"Gak. Gue lagi nunggu Bram, cowok gue. Bram manager marketing di
perusahaan ini." Jelas Siska tanpa ditanya.

Gue gak nanya apa kerjaan cowok lo. Batin Elena.

"Lo nunggu temen apa calon lo yang kemarin?" Tanya Siska mulai
melancarkan aksi keponya.

Kepo banget sih ni nenek lampir. Gak emak, gak anak kok sama aj. Batik
Elena.

"Sayang udah lama?"

Elena bernafas lega begitu orang yang di tunggu Siska muncul.

Syukur deh biar cepet cabut ni nenek lampir. Malas banget gue ngeladenin
pertanya'annya.

"Siang buk Elena," Merasa namanya dipanggil, Elena pun langsung


menoleh ke arah samping. Dilihatnya, wanita kisaran berumur tiga puluh
tahun tersenyum sopan padanya.

Ini siapa lagi?

"Siang." Jawab Elena canggung. Merasa aneh dipanggil ibu. Maklum dia
kan belum setua itu.

Memperhatikan wanita di depannya dengan seksama. Elena yakin jika dia


tidak mengenal wanita ini. "Mbak kenal saya?"

Kayaknya Elena yakin gak merasa punya kenalan yang kerja di sini deh.

" Saya Frida. Sekretaris pak Revan. Saya diperintahkan pak Revan untuk
mengantar bu Elena keruangan beliau. Sementara beliau, sedang ada
meeting dengan klien." Jelas Frida lembut dan sopan. Khas seorang
bawahan yang begitu sopan.

Elena melirik Siska, sepupunya ini terlihat syok saat melihat Elena dijemput
sekertaris Dipta. Boda amat lah paling sebentar lagi dia akan jadi gosip
hangat keluarga besarnya.

"Gue duluan Sis." Ucap Elena cuek.

"Lewat sini bu." Tunjuk Frida ke arah lift khusus direksi.

"Jangan panggil bu deh mbak, panggil Elena aja, biar lebih akrab. Lagian
kayaknya lebih tuaan mbak kok." Ucap Elena salah tingkah. Grogi kalau
harus berdekatan dengan wanita-wanita karir seperti sekertaris Dipta.

Apalagi dia merasa aneh mendengar orang memanggilnya bu, mana orang
lebih tua lagi yang manggilnya begitu.

Frida tersenyum sopan. "Gak enak sama pak Revan bu."

Ya terserah lah, Elena sedang malas berdebat saat ini. Masa bodo dengan
panggilan, toh gak merugikan dia. Tapi kok aneh ya kenapa di sini nama
Dipta menjadi Revan? Ingatkan Elena untuk bertanya soal ini pada Hanum
nanti.

Elena mengikuti Frida dari belakang begitu mereka keluar dari lift.

"Silahka masuk bu." Ucap Frida membuka pintu ruangan Dipta lebar-lebar.
Mempersilahkan Elena untuk masuk ke sana.

Ruangan itu sangat mewah tapi elegant. Dilengkapi dengan dinding kaca
transparan yang bisa membuat kita menikmati keindahan kota dari atas
gedung ini.

Elena bahkan dibuat melongo dengan interior ruangan yang mewah tapi
elegant. Sampai-sampai dia tidak berhenti berdecak kagum dibuatnya.
Maklum, ini kali pertama dia masuk keruangan mewah seperti ini.
Seberapa kaya sih sebenarnya Dipta ini? Kenapa ruangannya sebagus ini?
Lalu kenapa pas makan malam di rumahnya, dia hanya diam saja ketika
tante Tuti menyombongkan pacar Siska?

Kenapa dia tidak mengatakan kalau dia juga bekerja di sini? Malah punya
sekertaris lagi. Apa jangan-jangan dia merendah untuk meroket. Jika begitu,
haruskah Elena sekarang senang karna itu?

Dih, kenapa gue yang seneng coba?

"Bu Elena mau minum apa?" Tanya Frida membuyarkan lamunan konyol
Elena.

Dia langsung menoleh ke arah Frida yang kini ternyata tengah


memperhatikannya. "Gak usah repot-repot mbak, Dipta emang masih lama
ya?" Tanyanya.

"Mengkin sebentar lagi bu. Kalau begitu, saya permisi. Kalau bu Elena
butuh sesuatu, bisa panggil saya. Saya ada di depan ruangan ini." Jawab
Frida begitu sopan.

Elena hanya mengangguk mengerti. Sekertaris Dipta ini benar-benar sopan,


buat Elena kikuk saja.

Hampir tiga puluh menit Elena memperhatikan ruangan Dipta. Lama-lama,


rasa bosen dan jenuh mulai datang dalam diri Elena.

Berjalan ke arah sofa, Elena duduk di sofa panjang sambil memainkan


ponselnya. Membuka-buka sosmed yang bisa sedikt membuang rasa bosan
dan jenuhnya.

Lama- kelamaan rasa kantuk menyerang. Membuat dia berkali-kali


menguap.

Gak papa deh gue tiduran dulu. Dipta juga masih lama kali ya.

▪▪▪▪
Merenggangkan otot yang terasa kaku. Elena memperhatika ruang
sekitarnya. Ruangan yang mendominan warna abu-abu ini terasa asing
baginya. Ada ranjang berukuran king size yang ditidurin Elena, lemari
besar yang berjejer rapi di sisi ruangan. Membuat dia semakin bingung di
mana dia saat ini.

Mengerjap pelan, rasa panik langsung melanda ketika pikiran buruk mulai
datang dalam otaknya. Elena menghembuhkan nafas lega, saat pakaian
yang dia gunakan masih sama seperti pagi tadi. Berarti apa yang ada
dipikirannya tidak terjadi.

Gue di mana?

Bukannya tadi dia tiduran di sofa ruangan Dipta. Lalu, ini di mana?

Berjalan ke arah pintu di ujung ruang. Pelan-pelan Elena membuka pintu


yang berwarna hitam itu.

"Sudah bangun." Teguran Dipta yang duduk di sofa tempat Elena tadi
sempat tiduran. Membuat Elena mejengit kaget.

Ni cowok udah auranya dingin kayak kuburan. Eh. Suka banget nongol
tiba-tiba kayak jin. Mau bikin gue mata muda kali ya?

Mengelus dadanya pelan. Elena melangkah mendekat. "Jam berapa ini?" .

"Jam dua."

Elena meringis. Lama sekali dia tidur. "Sory. Gue lama banget ya
tidurnya?" Ucapnya sambil berjalan ke arah sofa tunggal yang tidak jauh
dari Dipta. Duduk di sana. Memperhatikan Dipta yang terlihat sibuk dengan
berkas-berkasnya.

"Gak masalah! Kamu laper? Saya sudah pesan makanan, mungkin sebentar
lagi datang."

Elena tak berkomentar apa pun. Toh perutnya juga belum diisi dari siang
tadi. Lumayan dapat makanan gratis.
"Lo bilang, ada yang mau lo omongin. Apa?" Tanyanya memulai obrolan.

Dipta merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja di depannya.


Menumpuknya menjadi satu dan menggesernya sedikit menjauh.

"Kata kak Hanum. Kamu keberatan dengan tawaran dia?" Tanya Dipta
langsung, memandang lurus ke arah Elena.

"Tawaran yang mana?" Tanya Elena pura-pura tidak tau. Padahal dalam hati
berdebar-debar layaknya mau copot jantungnya.

"Pernikahan."

Elena mengerjab terkejut. Buru-buru dia berdehem guna menetralkan


suaranya agar tidak gugup. "Oh yang itu." Serunya.

Dipta mengangguk. "Hm."

"Gak ada alasan buat gue terima tawaran itu juga." Jawab Elena sekenanya.
"Lagian kan cewek lo kabur. Bukan meninggal. So, masih ada
kemungkinan buat dia balik lagi. Jadi kenapa gue harus mau nikah sama
lo?"

Nafas kasar langsung keluar dari mulut Dipta. Terlihat jelas jika ada beban
berat di pundaknya. "Dia sudah menikah." Ucapnya santai, berbanding
terbalik dengan wajahnya yang terlihat lelah, juga frustasi.

Elena melotot. Menatap Dipta horor. Mata Elena sampai melotot besar
sangking syoknya.

Amazing benget ni cowok, tau tunangannya udah nikah masih bisa bersikap
santai begini? Wah gak beres ini.

"Lo tau dari mana kalau dia udah nikah?" Tanya Elena tidak bisa menutupi
rasa penasarannya.

Dipta hanya mengangkat bahu cuek. Sama sekali tidak menjawab


pertanyaan Elena. Lebih tepatnya tak tertarik.
Elena menggeleng cepat. "Lo tau dia udah nikah. Dan lo diam aja kayak
gini?" Tanyanya takjub.

Gila. Ni cowok sehat gak sih, santai banget tau tunangannya udah nikah?
Masih sanggup kerja lagi. Kalau itu Elena. Jamin deh dia kayak zombi.

"Lalu saya harus bagaimana?"

"Ya elah, Ya lo datengin lah. Labrak kek, atau gimana kek, lo kan cowok.
Masa diem aja sih." Sungut Elena berapi -api. Kok jadi dia yang kesal ya?

Dipta hanya diam. Namun dia tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk
tertarik ke atas. Mendengar ucapan Elena yang berapi-api. Membuat Dipta
merasa lucu. Kenpa jadi dia yang kesal di sini? Seharusnyakan Dipta yang
kesal kan?

"Buat saya, jika dia bisa bertahan dengan saya di sini. Maka akan saya
pertahanannya. Tapi jika tidak" Dipta mengangkat bahu acuh. "Saya tidak
akan memaksanya untuk tetap tinggal.'' Tuturnya terlampau cuek tapi terasa
dingin di telinga Elena.

Sumpah merinding gue denger dia ngomong.

"Lo cinta sama dia?" Cicit Elena setelah cukup lama diam. Memperhatikan
wajah Dipta yang begitu serius.

"Itu tidak penting. Yang penting di sini, kamu mau menikah dengan saya
atau tidak?" Jawab Dipta tegas.

"Ya penting lah buat gue. Ya kali gue nikah sama orang yang gak bisa move
on dari mantan." Decak Elena pelan. Meski begitu terdengar menyindir di
telinga Dipta.

Dipta menghela nafas berat. "Saat dia memilih pergi dengan pria lain. Saat
itu juga, cinta saya sudah hilang di bawa pergi."

Setelah Dipta mengucapkan kata-kata itu, suasana berubah canggung. Elena


hanya diam dengan perasaan bingung, bingung ingin memulai dari mana.
"Ok. Apa yang gue dapat kalau gue mau nikah sama lo?" Ucap Elena pada
akhirnya.

Dipta diam. Memperbaiki wanita di depannya lebih seksama. Dia pun


bingung harus mengatakan apa. Dia tidak biasa untuk berucap manis atau
berkata-kata penuh rayuan. Itu bukan gayanya.

"Kesetiaan." Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulut Dipta.

Ditatapnya bola mata Elena dengan sorot mata hitam pekatnya.

Di sana, di bola mata Dipta, Elena bisa melihat ada luka tak kasat mata
yang membuat sedikit hatinya tersentil. Dan tidak nyaman. Haruskah Elena
percaya dengan sorot mata itu? Atau mengabaikan semua masalah yang ada
di depan matanya?

"Kamu bisa mendapatkan apa pun dari saya. Apa pun yang kamu mau.
Termasuk kesetiaan dan kemewahan yang saya miliki sekarang. Karena
saya jamin, setelah kamu memilih saya. Mungkin saja kamu tidak bisa
lepas. Atau kamu akan terikat dengan saya seumur hidup. Begitu pun
sebaliknya. Saya ingin kamu setia di samping saya sampai tua."

Elena diam cukup lama, menimbang apa yang harus dia katakan. Bingung
dan merasa aneh. Kenapa Dipta hanya menawarkan kesetiaan, dan harta?
Kenapa bukan hati?

Haruskah Elena hidup dengan pria yang tidak mencintainya seumur hidup?

Karna di sini bukan hanya soal kesetiaan dan harta. Melainkan hati juga
ikut berperan.

Bagaimana jika Elena jatuh hati pada Dipta nanti? Haruskah dia hidup
dalam cinta sepihak atau lebih parahnya, bertepuk sebelah tangan?

Elena tidak bisa membayangkan, seperti apa jadinya. Hidupnya yang terang
benderang sekarang harus diisi denga drama murahan soal cinta.

Dih lebay benget sih gue. Tapi jarang-jarang loh, cowok tajir model begini
mau sama gue? Kikiknya dalam hati.
"Gimana soal hati? Kita gak mungkin hidup tanpa cinta kan?"

Dipta diam. "Saya tidak akan menjanjikan apa pun pada kamu, Elena. Tapi
selama kita menikah. Saya akan berusaha memperlakukan kamu sebagai
mana saya memperlakukan wanita yang saya cintai." Ucap Dipta yang
semakin membuat Elena meradang.

Duh, ni cowok kok gak ada minusnya sih di mata gue?

Menggigit ujung bibirnya sebagai respon pertama. Elena menatap Dipta


kian serius. "Tapi, gimana ... Kalau lo nemu perempuan yang bisa buat lo
cinta setelah kita udah menikah nanti?"

"Saya akan berusaha membuka hati saya. Dan kamu bisa pegang kata-kata
saya. Kalau saya tidak akan melirik wanita lain selain istri sah saya." Tegas,
lugas juga penuh penekanan. Itulah yang keluar dari mulut Dipta.

"Kalau cuman omongan mah gampang. Bisa aja lo lupa, atau yah, ingkar
gitu. Gak bakal ada jaminan buat ke depannya gimana."

Dipta mendengus dingin. "Saya bukan tipe orang yang suka ingkar. Kamu
bisa meminta apa pun kalau saya sampai ingkar." Serunya tegas.

"Bagaimana dengan kontrak? Apa ada kontrak di pernikahan di sini?"

"Ya." Jawab Dipta ambigu.

Elena terbelalak lebar. "Jadi pernikahan kita ini adalah pernikahan


kontrak?" Teriak Elena tanpa sadar.

Dipta menyeringai lebar. "Kotrak seumur hidup lebih tepatnya." Sambung


Dipta memperjelas.

Elena yang mendengar jawaban Dipta, tanpa sadar menghela nafas lega.
Hampir saja dia kena serangan jantung karna jawaban ambigu pria itu.

"Ok. Gue terima tawaran lo."Jawab Elena tanpa pikir panjang.


Dipta tersentak. Tanpa sadar dia mengerjab terkejut. "Kamu ... Tahu? Kamu
tidak akan bisa mundur setelah ini." Serunya memandang lurus ke arah satu
titik. Kedua mata Elena.

Setelah ini. Tidak tau harus menyesal atau tidak, tapi Elena bisa melihat ada
senyum tipis di bibir Dipta. Sampai membuat dia lupa bagaimana caranya
berkedip.

Emakkkkkk tolong, Elena. Hati Elena lemahhh liat senyum mas ganteng.
Kalau begini mah gue gak nyesel bakal nikah besok juga.

****
Nikah

HUAA..

Gue nerves, terus deg degan juga.. Sumpah ... Demi apa ... Gue bakal nikah
hari ini.

Ya Allah. Gue masih gak percaya kalau akhirnya, gue nikah juga. Ini bukan
mimpi kan ya, kok gue berasa aneh sih ya? Daa gue masih gak percaya
kalau bakal nikah hari ini.

Walau sama cowok yang gak gue cinta.


Tapi tetep aja bakal jadi laki gue.
Duh Duh, kok gue jadi nerves ya. Gara-gara cowok model Dipta ini pasti,
bibit unggul kata mama.

Ck, Elena terkikik geli dengan isi kepalanya.

"Woy Len, lo ke sambet ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri." Ucap


Hanum menatap Elena horor.

"Sadar woy. Sadar." Ucap Hanum sambil menyentil jidat Elena pelan.

Astagfirullah, nasib punya kakak ipar sange nih. Bikin gue selalu naik
darah.

Elena mendelik tidak suka. Menatap kesal pada Hanum yang berdiri di
depannya dengan wajah tanpa dosa. "Iss. Apa'an sih lo mbak. Ganggu aja."
Omelnya kesal.

"Ya lagian dari tadi lo ngelamun. Mana sambil senyum-senyum sendiri lagi.
Bikin gue ngeri bego." Ucap Hanum sinis.
"Ya namanya juga lagi bahagia mbak. Mbak tau enggak, gue itu lagi jadi
pengantin yang bahagia. Pe-ngan-tin ba-ru." Ucap Elena mengeja setiap
kata yang keluar dari bibirnya lengkap alis naik-turun menggoda Hanum.

Hanum mendengu, tanpa perasaan menonyor kepala Elena pelan. "Norak."


Serunya penuh cibiran.

Elena berteriak heboh mendapat perlakuan tak senonoh dari Hanum. Dan
langsung mengecek dandananya di depan cermin kecil ditanganya.
Membuat Hanum langsung mencibirnya habis-habisan.

"Bukan Norak. Tapi emang dasar mbak aja gak bisa liat gue seneng." Ketus
Elena. "Eh, tapi ini acaranya kapan dimulai sih mbak? Kok lama banget.
Gue udah gak sabar nih.."

"Loe serius?" Tanya Hanum dengan mata melotot horor ke arah Elena.

Mengerutkan kening bingung. Elena mengangguk khidmat.

"Parah lo Len. Hobi ngelamun lo udah kronis kayaknya." Ucap Hanum


sambil menatap Elena dramatis. Lengkap gelengan kepala berlebihan.

"Maksudnya gimana sih mbak?" Tanya Elena semakin bingung.

"Denger-"

"Saya terima nikah dan kawinnya Elena Hayunda Binti Herman Wijaksono
dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"BAGAIMANA PARA SAKSI. SAH."

SAH

Alhamdulillah.

"Nah itu. Udah SAH!." Sambung Hanum enteng.

Elena melongo.
SAH?

Apanya yang sah?


Kapan acaranya dimulai, kok gue gak denger apa-apa sih?

Kok udah sah aja? Ini gue beneran udah sah nikah samaa Dipta? Cuman
gini aja? Gak ada drama gitu? Kok pernikahan gue kesannya datar-datar aja
sih? Gak mengharukan banget?

"Len, lo kenapa?" Tanya Hanum khawatir yang melihat wajah syok Elena.

"Mbak ini beneran udah sah? Kok gue gak sadar ya?" Ucap Elena berkaca-
kaca.

"Ya iya lah, orang dari tadi lo ngelamun." Jawab Hanum enteng.

"Mbak gue kehilangan momen berharga dalam dihidup gue?" Ucap Elena
semakin menjadi-jadi.

Hanum mengangkat alis heran "Maksud lo?"

"Masa gue gak ada nangis-nangisnya mbak! Minimal mewek dikit gitu.
Terharu. Masak udah gini aja sih.."

"Gak usah drama." Cibir Hanum. Melipat kedua tangannya di depan dada.
Menatap malas pada Elena di depannya.

"Udah ayuk keluar. Lama-lama pusing gue denger ocehan lo." Sambung
Hanum lagi.

Elena menggeleng. Masih tidak percaya jika pernikahannya akan berakhir


seperti ini.

"Mbak ini serius gak sih?" Ucapnya. "Bisa diulang gak acaranya? Di replay
gitu." Sambungnya mengusap hidungnya.

"Lebay lo Len. Udah ayuk berdiri! Gak usah drama deh. Lo kira nikah itu
kayak nonton drama, bisa lo stop terus replay sesuka hati. " Ucap Hanum
sambil membantu Elena berdiri.
"Gue cantik gak sih mbak?" Tanya Elena setelah berdiri. Meski dalam hati
berdebar-debar layaknya rollercoaster, tapi sebisa mungkin dia terlihat
tenang.

"Cantik. Bahkan mimi peri aja kalah sama pesona lo." Ucap Hanum
terkikik mendengar ucapannya. Yang membuat Elena memukul lengan
Hanum pelan saat mendengar ucapan ngelantur kakak iparnya itu.

Dihapit Hanum dan Yuni, Elena berjalan pelan keluar kamar. Menuju
tempat ijab kobul.

"Akhirnya, lo nikah juga ya Len." Ucap Yuni. Sedikit berbisik.

"Selama ini, gak nyangka gue kalau lo diam-diam punya cowok. Gue kira
lo itu jomblo ilegal. Terus bakal nikah pas udah tuwir. Eh ternyata gue
salah." Sambung Yuni terkikik geli .

Elena mendelik. "Enak aja lo mbak." Ketusnya. "Gue kan orangnya selow
tapi pasti." Sambungnya bangga.

"Heleh kemarin aja nolak. Giliran sekarang, sok banget lo Len." Cibir
Hanum. Mengingat bagaimana kemarin Elena menolak menikah dengan
adiknya.

Yang dibalas cengiran lebar oleh Elena. Merasa malu saat menolak tawaran
Hanum untuk menikah dengan Dipta, adiknya.

Hari ini, Elena nampak anggun dibalut dengan kebaya putih gading, yang
nampak pas ditubuhnya. Karna jarang menggunakan make up, dia nampak
begitu cantik dan anggun saat ini. Tidak menor tapi terlihat elegant dan
mewah. Jika seperti ini, tidak akan ada yang tau bagaimana ajaibnya
tingkah Elena. Namanya saja anggun, begitu pun wajahnya. Tapi aslinya dia
pecicilan plus ajaib. Ada saja tingkahnya yang kadang membuat beberapa
orang yang mengenalnya geleng kepala.

Sedangkan Dipta, dia nampak gagah dengan jas putih yang membalut
tubuhnya.
Tidak heran jika banyak yang bedecak kagum karna merasa Elena dan
Dipta adalah pasangan yang nampak begitu serasi.

Karna acara digelar di rumah Elena, jadi akad hanya dihadiri keluarga besar
dan orang-orang terdekat saja.

Eh, vuset, laki gue ganteng banget sih.

"Len. Awas air iler lo tumpah." Bisik Hanum yang berdiri disisi kiri Elena.
Sedang sisi kanannya, ada Yuni yang sudah terkekeh geli melihat tampang
mumpeng sepupunya. Merasa lucu melihat wajah Elena yang melongo
memadang Dipta, suaminya.

"Tau nih malu-maluin aja. Kan gak lucu kalau pengantin wanitanya ngences
gara-gara liat mempelai pria." Ucap Yuni pelan.

Elena mendesis. "Berisik lo mbak." Celetuknya kesal.

Semakin Elena berjalan ke arahnya Dipta. Dia semakin merasa detak


jantungnya berdetak kuat. Membuat dia berulang kali menelan ludah gugup.
Setelah sampai di samping suaminya.

Elena dengan jelas melihat ada senyum hangat di bibir pria itu. Ini adalah
senyuman hangat pertama Dipta yang dilihat Elena untuk pertama kalinya.

Gak salah gue milih laki. Senyumnya bikin awet muda.

"Ayo nak Elena cium tangan suaminya dulu." Ucap Pak penghulu memberi
intruksi.

Dengan kikuk Elena meraih tangan Dipta dan menciumnya.

Uhh bau surga, ck,

Saat mendongak Dipta langsung mengusap kepala Elena pelan diikuti


kecupan mesra dikeningnya lama. Yang langsung mendapat sorakan dari
panara tamu undangan.
Ya Allah, baru di kecup, udah pengen pingsan aja. Gimana kalau dienak-
enakin?

"Terima kasih Elena." Ucap Dipta lembut masih dengan senyum dibibirnya.

Selesai acara akad, malamnya langsung disusul dengan acara resepsi.

Elena tidak menyangkan, tamu yang datang akan sebanyak ini. Bahkan
kakinya sudah terasa pegal karna berdiri berjam-jam memakai heels.
Bibirnya juga sudah sangat kaku karna dipaksa untuk terus tersenyum ke
arah tamu undangan.

Kapan habisnya sih ini tamu. Gak tau apa gue udah gempor? Batin Elena.

"Kamu capek?" Tanya Dipta. Yang melihat gelagat aneh istrinya.

Elena hanya mengangguk. Rasa-rasanya, dia sudah tidak punya tenaga


untuk sekedar berbicara atau menjawab. Tubuhnya benar-benar lelah
sekarang.

"Kamu duduk aja, sebentar lagi juga selesai." Ucap Dipta menuntun istrinya
untuk duduk.

"Elena kenapa?" Tanya Hanum yang baru naik kepelaminan, rencananya


Hanum ingin mengajak pengantin baru itu berfoto. Tapi saat melihat wajah
Elena yang pucat dan keringat dingin membanjiri keningnya membuat
Hanum tidak tega dan membatalkan niatnya.

Hanum tidak setega itu untuk memaksa adik iparnya untuk berfoto dalam
kondisi seperti ini.

"Capek." Jawab Dipta cuek. Sambil berjongkok di depan istrinya dan


meluruskan kaki Elena yang kelihatan mulai bengkak.

"Jangan ditekuk kakinya!" Perintah Dipta menatap wajah istrinya sekilas.


Elena menurut tidak protes sedikit pun.

"Mending kamu bawa masuk aja deh Dip, kasian Elena, kayak capek
banget. Sampai pucet tuh mukanya." Ucap Dewa suami Hanum. Merasa
kasian dengan adik iparnya yang terlihat seperti mayat hidup.

Dipta hanya mengangguk setuju. "Ayo!" Ajakny berdiri.

Elena mendongak.

Ini suami gue gak peka banget sih. Di tuntun kek gue biar romantis dikit.

"Elena." Panggil Dipta saat istrinya malah bengong, tidak bergerak sedikit
pun.

Memutar bola mata malas. "Ini bini lo Dip, manis dikit kek ngajaknya.
Minimal gendong gitu. Elenanya udah gak kuat berdiri itu." Omel Hanum
kesal melihat ketidak pekaan adiknya.

Dipta menarik tangan istrinya pelan."Di gandeng aja ya?" Ucapnya lembut.

Hanum dan Dewa hanya menggelengkan kepala tak habis pikir, saat melihat
Dipta yang pergi menjauh sambil menggandeng tangan istrinya.

Terkekeh geli. Dewa merasa lucu dengan pasangan baru itu. "Dasar gak
peka itu adik kamu." Celetuknya asal.

"Kayak yang ngomong peka aja." Jawab Hanum berlalu pergi.

Suami Hanum ini, butuh dibelikan cermin besar sepertinya. Gak sadar apa,
kalau dia dan Dipta itu sebelas, dua belas. Sama-sama gak peka.

"Sayang." Panggil Dewa menyusul Hanum.

Melihat Hanum, istrinya pergi tanpa mengajaknya. Membuat Dewa panik


bukan main. Dia tau istrinya sedang kesal padanya saat ini. Karna itu
secepat kilat Dewa langsung menyusul.

Dewa secepat kilat berlari menyusul Hanum istrinya. Jangan sampai


istrinya marah. Bisa berabe dia kalau istrinya sampai marah. Hanum itu
kalau sudah marah, akan mendiaminya sepanjang malam. Dan itu semua
sangat menyiksa untuknya.
Belum apa-apa udah buat darah
tinggi.

Elena berjalan malas ke arah kamar mandi. Rasanya badannya remuk karna
berdiri berjam-jam tadi.

Badanya benar-benar butuh istrahat saat ini.

Mandi secepat yang dia bisa agar bisa langsung istirahat. Elena tidak peduli
lagi dengan apa pun selain ingin cepat istirahat.

Melihat kasur empuk yang serasa memanggil- manggilnya membuat dia


tidak sabar untuk membaringkan tubuhnya.

Berbaring di atas kasur dengan tak sabaran. "Ahhhh. Akhirnya gue bisa
lurusin badan juga." Ucapnya terdengar senang.

Kasur ini benar-benar empuk. Pelan-pelan mata Elena bahkan terasa berat,
dia sudah siap berlayar ke alam mimpi indahnya. Sama sekali tak peduli
dengan pria yang kini menatapnya dari sofa, menggeleng-gelengkan
kepalanya geli.

**

Mengerjap-ngerjapkan mata pelan. Pipi Elena terasa di toel-toel sesuatu.

Emak gue gak bisa apa, gak ganggu hidup gue sebentar aja. Heran deh
punya emak gini amat sih. Batin Elena kesal.

"Mama ih. Lena itu masih ngantuk tau. Masih capek badanya." Gumamnya
kesal. Tanpa menoleh ke siapa pelakunya. Seolah lupa di mana dia saat ini.
"Lena, ini udah siang, ayo bangun. Keluarga kamu mau pamit pulang."
Ucap Dipta pelan. Terus berusaha membangunkan istrinya yang masih
memejamkan mata.

Dipta tau Elena masih capek pasti, mengingat acara semalam sangat
melelahkan. Tapi tadi Laras, mama mertuanya memberitahu. Jika keluarga
besar istrinya mau pamit pulang. Semua keluarga besar Dipta dan Elena
memang menginap dihotel ini. Sengaja dia siapkan, agar keluarga bisa
langsung istirhat saat selesai acara.

Kok suara mama beda.

Membuka mata pelan. Mata Elena langsung melotot begitu melihat Dipta di
sampingnya yang membungkuk ke arahnya, berusaha membangunkan nya.
Bukan Laras, mamanya seperti biasa.

Membuka mulut. Elena siap meluncurkan teriakannya.

"Jangan teriak, kita udah nikah" Potong Dipta cepat sambil menunjukkan
jari manisnya yang terdapat cincin pernikahan mereka. Begitu melihat
Elena akan berteriak.

Serius gue udah nikah?

"Aaaaa...." Teriak Elena kuat.

Dipta langsung membekap mulut Elena begitu mendengar teriakan kuat


istrinya.

"Saya bilang jangan teriak Elena! Kenapa teriak?" Decak Dipta kesal.

Melepaskan tangan Dipta dari mulutnya secara paksa. Elen menatap serius
ke arah pria itu. "Semalam bukan mimpi?" Tanyanya terdengar heran.

Dipta mendengus kuat mendengar pertanyaan aneh istrinya, tak habis fikir
dengan jalan fikiran istrinya.

"Sana mandi, siap-siap! Keluarga besar kamu mau pamit pulang."


"Pulang tinggal pulang aja, kenapa repot banget sih. Segala pakai pamit
lagi. Tumben amat." Gerutu Elena pelan. Yang masih bisa di dengar oleh
Dipta. Pria itu langsung menoleh ke arahnya penuh peringatan.

"Elena Cepet!" Perintahnya yang mendengar gerutuan istrinya.

Meski dengan wajah kesal, Elena langsung turun dari kasur. "Iya- iya gue
mandi ni." Ketusnya sedikit tidak ikhlas.

***

Eliana memandang telapak tangannya prihati.

Kalau pengantin barukan, biasanya kalau keluar kamar gandengan.

Setelah itu memandang punggung Dipta yang menjauh, berjalan lebih dulu
meninggalkannya.

Lah gue. Jangankan gandengan, jalan bareng aja enggak. Miris banget sih
hidup lo, Len.

Elena menyusul Dipta yang terlihat duduk dan mengobrol dengan keluarga
besarnya.

"Nah. Ini nih, pengantin baru. Baru keliatan batang hidungnya." Canda
Hanum. Yang langsung disambut gelak tawa dari para keluarga.

Hanum kampret. Seneng banget lo bikin malu gue.

Elema berjalan ke arah Laras, menarik kursi. Dan bersiap duduk. Tapi
belum juga pantat cantiknya menyentuh kursi, sudah langsung ditahan oleh
Laras.

"Mau ngapain?" Tanyanya menahan lengan Elena.

"Ya duduk lah ma." Sahut Elena gemes. Mamanya ini, apa tidak lihat kalau
Elena mau duduk?
"Duduknya deket suami kamu sana! Jangan duduk di sini." Omel Laras. Me
dorong lengan Elena untuk menjauh.

"Sama aja kali ma, di sini sama di sana. Sama-sama duduk di atas kursi."
Jawab Elena kesal. Dan langsung mendapat pelototan galak dari mamanya.

Yang langsung membuat nyali Elena menciut. Berjalan ke arah kursi


kosong di dekat Dipta. Dengan kesal dia pun mendaratkan pantatnya di
sana. Lengkap dengan bibir mencebik kesal.

"Nah gitu dong Len. Kalau pengantin baru itu gak boleh jauh-jauh. Entar
kesambet, masih bau wangi soalnya." Celetuk Hanum asal. Nampak paus
dengan wajah keki adik iparnya.

"Dasar netijen." Sindir Elena sarkas. "Mana yang lain katanya mau pamit
pulang?" Sambungnya melihat sekeliling yang hanya diisi keluarga intinya
saja.

"Nunggu kamu keluar kamar keburu telat om-om kamu berangkat kerja
Len. Jam segini baru nongol." Jawab Laras.

"Iya mama. Maaf."

"Udah gak papa Ras, maklum pengantin baru." Ucap Isa yang sedari tadi
hanya diam melihat interaksi ibu dan anak itu. Yang tidak jauh berbeda
dengan dirinya dan putrinya.

Elena tersenyum cangguk pada mama mertuanya, Isa. Malu, baru jadi
mantu sehari udah buat imege baiknya luntur, runtuh tak tersisa. Gimana
nanti ke depannya? Apa Isa juga bakal suka ngomel seperti Laras,
mamanya?

Kepala Elena mendadak pusing memikirkannya. Punya satu mama model


Laras saja sudah buat dia sering naik darah. Apa lagi dua. Bisa cepat mati
Elena.

"Elena mau pesan makan apa sayang?" Tanya Isa lembut. "Kamu pasti lapar
kan?" Sambungny lagi. Seolah tidak ingin menantunya kelaparan. Dan
semua cacing-cacing di perutnya melakukan demo besar-besaran.

"Tadi udah sarapan ma, di kamar." Jawabnya malu.

Tadi sebelum turun memang Elena sempat sarapan. Dipta yang memesan,
suaminya itu seolah tau jika istrinya pasti kelaparan karna dari semalam dia
belum sempat makan. Tapi langsung tidur.

Alhasil selesai mandi, dia langsung makan tanpa disuruh dua kali. Selesai
sarapan, baru lah dia bersiap-siap untuk turun.

"Wihhhh enak banget ya Len, bangun tidur udah disediain makan. Nasib
pengantin baru." Celetuk Hanum. Yang langsung mendapat teguran dari Isa.

Yang langsung disambut senyuman mengejek dari Elena.

Sukurin. Cari gara-gara sih sama gue. Belum tahu aja sekarang gue punya
sekutu.

"Dipta, kamu ada rencana mau ajak Elena bulan madu ke mana?" Tanya Isa
menoleh ke arah Dipta

"Dipta terserah Elena ma." Jawab Dipta melirik ke arah istrinya.

"Tapi gue lagi sibuk banget, lagi banyak kerjaan." Ucap Elena.

"Elena, biasaain aku-kamu, jangan lo-gue, gak sopan." Tegur Laras.

Elena mendesah pasrah. "Iya ma!" Cicitnya.

Mamanya ini hobi banget sih ngomel. Perasaan salah mulu gue dimatanya.

"Gak papa Ras, Elena belum terbiasa. Hanum juga suka gitu kok!" Bela Isa
pada menantu barunya.

Uhhh. Mama mertua gue emang top markotop. Kalau gini mah gak nyesel
gue nikah sama Dipta.
"Ya udah kalau gitu. Kalian bisa bahas nanti soal bulan madu." Ucap Isa
akhirnya. "Mama gak bisa lama-lama. Ada a janji soalnya. Mama pamit
ya." Sambung Isa sambil berdiri.

Disusul Laras berdiri. "Ya udah Sa. Aku juga mau pamit." Ucap Laras ikut
berdiri.

Elena pun ikut bangun dari duduknya. Menghampiri Isa, mencium pipi kiri
kanan. Sebagai salam perpisahan. Elena sudah mulai tidak canggung lagi.

"Hubungi mama ya, kalau butuh sesuatu." Pesan Isa pada menantunya.

Elena mengangguk mengerti. "Iya ma." Balasnya sopan.

"Jangan yang aneh-aneh Len." Pesan Laras, begitu Elena mendekat ke arah
mamanya itu.

"Is, Mama mah negatif mulu sama Lena." Cebik nya kesal. setelah
melakukan hal serupa yang dia lakukan tadi pada Isa.

"Pokoknya jangan buat malu. Awas aja kalau besok tiba-tiba Dipta ke
rumah balikin kamu." Ucap Laras mengancam.

"Ya gak lah ma!" Jawab Elena tegas.

Mengabaikan jawaban putrinya, Laras langsung menoleh pada Dipta."Nak


Dipta, mama pulang dulu ya. Nitip Elena, kalau dia aneh-aneh omelin aja."
Pesan Laras serius.

Dipta maju menyalami Laras dan Herman bergantian. "Iya ma. Hati-hati
dijalan." Pesannya kalem.

"Giliran sama mantunya aja, manis banget. Coba sama anaknya, ngomel
mulu." Gerutu Elena kesal.

"Ngomong apa kamu, Elena?" Tanya Laras galak.

"Gak. Gak ma. Lena gak ngomong apa-apa." Jawab Elena sedikit panik.
"Jagain mantu mama. Jangan sampai kabur. Awas aja kalau kabur." Bisik
Laras pada Elena penuh peringatan.

Dikira peliharaan kali yak kabur. Emak gue emang luar biasa kalau mikir.

"Iya ma." Jawab Elena cari aman.

Iyain aja dah biar cepet. Lama-lama otak gue pusing diomelin mulu.

Setelah seluruh keluarga pergi. Kini cuman tinggal Hanum, Dewa, Elena
dan Dipta.

Dewa dan Dipta tampak asik membahas masalah pekerjaan. Sedang Hanum
dengan ponselnya dan Elena sendiri dia mulai sibuk dengan cemilan di atas
meja.

Hanum melirik adik iparnya yang nampak asik dengan makanannya.


Hanum menggeser duduknya mendekat Elena yang terlihat asik, mencicipi
kue-kue di atas meja. Mendadak ide jail keluar dari kepalanya.

"Len." Panggil Hanum.

Melirik Hanum, Elena hanya menggumam menjawab pertanyaannya.

"Lo semalam kuat berapa lama?" Tanya Hanum berbisik.

Mengangkat alis heran.

Kuat apa?

"Kuat apa?" Tanya Elena balik.

Hanum mengangkat dua jarinya. Memberi kode tanda kutip pada adik
iparnya.

Sebelah alis Elena kian terangkat tinggi. Belum paham ke mana arah
pembicaraannya. "Apa'an sih kode-kodean?" Tanyanya yang belum
nyambung.
"Gak usah pura-pura bego deh lo." Cibir Hanum gemas.

"Terserah deh. Ditanya malah balik nanya." Balasnya cuek sambil terus
mencomot kue-kue di atas meja.

Emang ya, makanan orang kaya itu beda, enak banget. Bikin nagih.

"Sini gue bisikin." Ucap Hanum menyuruh Elena mendekatkan telinganya.

Elena menurut mendekatkan telinganya ke arah Hanum. Bersiap


mendengarkan apa yang akan Hanum katakan.

"MBAK HANUM STRESSS. OTAKNYA ISINYA KOK NGERES


SEMUA" Teriak Elena kuat setelah mendengar bisikan Hanum.

Yang langsung disambut gelak tawa oleh Hanum dan pandangan heran dua
pria yang kini memprhatikan Elena dan Hanum bergantian.
Kampungan

Elena mengikuti Dipta dari belakang, mereka menuju apartement Dipta saat
ini. Tadi, saat sepulangnya dari hotel, Dipta sempat bertanya padanya mau
tinggal di apartement atau rumah? Jika Elena menginginkan tinggal di
rumah, dia bisa memilih rumah yang menurutnya bagus atau rumah impian
mereka.

Karna selama ini Dipta tinggal di apartement jadi dia sama sekali belum
menyiapkan rumah untuk istrinya kelak. Dia ingin istrinya yang memilih
rumah yang akan mereka ditinggali kelak.

Duh, manisnya. Jadi pengen peluk.

Tapi ajaibnya, Elena tidak mempermasalahkan akan tinggal di mana. Mau


apartement atau rumah toh sama saja. Lagi pula mereka hanya tinggal
berdua, akan lebih baik untuk saat ini mereka tinggal di apartement Dipta
saja. Agar lebih mengirit waktu untuk membersihkanya. Bilang saja Elena
malas. Ck,

Sebelum pulang ke apartement, tadinya Elena ingin pulang ke rumahnya


lebih dulu. Untuk mengambil barang-barangnya dan semua keperluannya.
Tapi saat diperjalanan pulang, sekertaris Dipta menelpon dan menanyakan
berkas penting padanya. Alhasil, sekarang mereka akan mampir ke
apartement Dipta untuk mengambil berkas itu. Setelah itu baru pulang ke
rumah Elena.

Dari lobi gedung apartemant sampai masuk ke dalam apartement, Elena


tidak berhenti menggerutu kesal. Karna suaminya itu selalu
meninggalkannya di belakang. Bagaimana tidak, Dipta yang tinggi
jangkung membuat Elena sulit menyamai langkahnya. Alhasil, sia selalu
tertinggal di belakang.
Sekarang Elena menyesal kenapa dulu dia menjadi gadis yang pendek, atau
setidaknya kenapa dulu dia tidak meminum vitamin peninggi badan agar
tubuhnya tidak pendek-pendek banget seperti sekarang.

Sumpah ni orang jalannya cepet banget sih. Gue dari tadi ditinggalin mulu.
Gerutu Elena dalam hati.

"Elena. Ayo?" Panggil Dipta yang sudah berjarak dua meter dari Elena.
Tanpa menunggu jawaban Elena, Dipta langsung berbalik dan meneruskan
langkahnya.

Efek gak pernah olah raga kayaknya gue, masa jalan segini doang gue
udah ngos-ngosan sih.

Elena memangdang punggung Dipta tajam, seakan pandangan tajamnya


bisa mencabik-cabik punggung Dipta hingha hancur lebur. Saat melihat
Dipta dengan santainya memasuki sebuah pintu, semakin menambah
kekesalan Elena. Dengan berjalan pelan sambil menghentak-hentakkan
kakinya kesal, akhirnya dia bisa menyusul Dipta sampai di dalam
apartemant.

"WAH." Kata itu lah yang pertama kali keluar dari bibir Elena saat
memasuki apartemen suaminya.

Apartement mewah yang berkali-kali membuat mata Elena memandangnya


takjub. Maklum, ini adalah pertama kalinya dia memasuki apartemen
mewah. Melangkah lebih dalam, mata cantik Elena semakin melotot takjub
melihat indahnya interior apartement ini.

Pertama masuk dia sudah di manjakan dengan enterior menggunakan


furnitur besar dan mewah bergaya eropa. Cat dinding yang berwarna putih,
krem dan coklat memberi kesan elegantdan simple di sini.

Bahkan ornamen-ornamen yang digunakan juga terlihat pas dengan warna


cat dinding. Di sudut dinding terdapat tirai motif polos berwarna gray yang
menggantung dari plafon hingga lantai. Apartement ini juga sangat bersih
dan rapi, terlihat sekali jika suaminya itu mewaratnya dengan baik.
Kalau apartementnya model begini mah, gue mau-mau aja tinggal di sini,
mana keren banget lagi. Sumpah gue betah kayaknya tinggal di sini. Gak
sia-sia gue nikah dadakan begini, kalau ujung-ujungnya hidup gue makmur.
Ckk

Sampai di dapur, Elena hanya bisa geleng-geleng kepala karna tak habis
fikir. Dapur di apartement Dipta ini, bahkan dua kali lipat lebih besar dari
dapur di rumahnya. Belum lagi barang-barang yang memenuhi dapur,
semua nampak mahal dan berkelas.

Bener-bener tajir laki gue kayaknya.

Dapur yang berwarna hitam gabungan putih membuat suasana terlihat


misterius dan elegant. Belum lagi perabot yang berwarna putih, dan juga
peralatan dan alat dapur yang terbuat dari staenless steel jadi terlihat sangat
stunning. Benar-benar apartement mahal tentunya.

Membuka kulkas, lagi-lagi kata WAH yang keluar dari bibir Elena.

Isi kulkas aja selengkap ini, apa lagi isi dompet. Ck,

Mengambil air mineral, Elena langsung menandaskan setengah isi dari


botol mineral itu, untuk menghilangakan haus di dahaganya. Dia benar-
benar haus sepertinya.

Terlalu larut memperhatikan apartement Dipta, sepertinya membuat dia


lupa dengan tenggorokanya yang sudah sangat kering ini. Menutup kulkas,
Elena pun langsung berbalik, kedua matanya melotot, dia terlonjak kaget
karna pria yang duduk santai di kursi depan mini bar.

"ASTAGFIRULLAH." Teriak Elena kaget. Saat melihat Dipta, suaminya


dengan santai duduk di meja mini bar di belakangnya. Memperhatikannya
dalam diam.

Kapan nongolnya coba, kok suara langkahnya sama sekali gak ke


dengeran? Jangan-jangan pas gue bersikap kampungan, dia udah ada di
sini lagi.
"Ngagetin aja sih." Ketus Elena. Mengelus dadanya yang hampir kena spot
jantung.

Berjalan mendekat, Elena melihat Dipta yang sudah berganti baju dengan
pakaian santai. Tadi pas pulang dari hotel, Dipta memang memakai kemeja
navy panjang yang digulung setengah siku dan celana bahan berwarna
hitam.

Laki gue pakai baju kaos celana pendek aja masih ganteng, gimana kalau
dia gak pakek apa-apa.

Elena tertawa cekikikan membayangkan apa yang ada di pikiranya.

Tuhan, gue mulai gila kayaknya. Efek punya kaki ganteng ini. Ckk,

Dipta memandang heran Istrinya ya tertawa-tawa sendiri. " Kenapa?"


Tanyanya heran.

Elena mengangkat bahu cuek mengabaikan pertanyaan Dipta. "Lo udah


lama duduk di situ?" Balik tanya Elena.

"Dari kamu membuka kulkas." Ucap Dipta terlampau santai.

Mata Elena langsung melotot begitu mendengar jawaban santai suaminya.

Jadi tadi dia denger pas gue berkali- kali bilang Wah. Najis, malu-maluin
banget sih lo Len, gimana kalau dia mikir lo katrok dan kampungan banget.
Tapi kan, emang gue gak pernah liat apartement segede ini.

"Gak usah melotot." Tegur Dipta.. "Masih mau meliat-liat apartementnya


lagi?" Sambungnya beranjak bangkit dari duduknya.

Elena langsung menggeleng mendengar pertanyaan suaminya.

Udah cukup hari ini, gue mempermalukan diri gue sendiri di depan ini
orang. Jangan sampe, gue tambah bikin diri gue sendiri berlipat-lipat
tambah bikin malu. Mau ditaro di mana coba muka gue entar? Ember?
Dipta mengangguk sekilas. "Ya udah ayo!" Ajaknya sambil berjalan lebih
dulu.

Elena memandang telapak tangannya dan punggung Dipta secara


bergantian.

Apes banget, nasib pengantin baru dadakan ini, tanganya gak pernah
digandeng. Boro-boro digandeng, ditungguin aja kagak. Sabar ya Elena,
tangan lo puasa dulu sekarang.

Elena buru-buru menyusul Dipta ketika mendengar suaminya itu


berterteriak memanggil namanya. Menyuruhnya cepat.
Primadona

Elena melangkah dengan semangat ke dalam rumahnya. Sedang Dipta


hanya mengekor di belakang. Membuntuti ke mana pun istrinya.

"YUU ... HU. Mama ... Elena datang...." Teriak Elena masuk ke dalam
rumah.

"Astagfirulloh Lena. Kamu itu bisa gak sih, masuk ke rumah kayak orang
normal, pakek salam. Bukannya malah teriak-teriak kayak di hutan." Omel
Laras sambil berkacak pinggang di depan pintu masuk utama. Menatap
putranya dengan tatapan mata kesal.

Elena yang mendapat omelan dari mamanya, hanya cengengesan


menunjukan deretan giginya saat mendapat. Tadi karna terlalu semangat,
sampai membaut dia lupa mengucap salam.

"Iya ma. Iya maaf." Cicitnya pelan. "Mama hobi banget sih ngomel."
Sambungnya sambil melirik-lirik takut ke arah Laras. Yang kian membuat
Laras menatapnya garang.

"Mangkannya kalau gak mau diomelin itu, kelakuannya dirubah, Lena.


Lebih waras."

Elena mendelik. Menatap mamanya tak percaya. "Emang mama kira Lena
gila? Gak waras?" Tanyanya mengerucutkan bibir sebal.

"Ngejawab mulu kalau dibilangin. Lama-lama mama yang bisa gila liat
kelakuan kamu, Lena." Ucap Laras melotot.

Tadi ceritanya, Laras baru selesai membuang sampah, begitu mau masuk.
Laras langsung dikejutkan dengan teriakan heboh putrinya. Iya kalau
suaranya merdu, lah ini udah cempreng, ngalahin toak menjid lagi. Ckk,
Membuat kepala Laras terasa nyeri seketika. Lama-lama Laras bisa gila
kalau melihat kelakuan anak gadisnya. Laras kira, setelah menikah,
putrinya akan berubah menjadi lebih baik. Tapi nyatanya perubahannya
bukan membaik, tapi malah makin stress dan gak waras.

Mendengar ucapan mamanya Elena hanya diam menunduk dengan bibir


melengkung kebawah.

"Assalamu'allaikum ma." Sapa Dipta yang ada di belakang istrinya.


Mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Laras.

Elena bergeser tubuhnya, memberi jalan pada Dipta untuk mendekat ke


arah Laras.

Mendengar suara menantunya, wajah Laras yang tadinya kusut penuh


emosi, langsung berubah cerah. Bahkan saat Dipta mencium tanganya
sopan, Laras langsung manarik tangan Dipta untuk diajak masuk.
Mengabaikan tatapan kesal putrinya di belakangnya.

Iiiiis pilih kasih banget sih mama. Giliran sama mantunya aja senyum,
ramah. Giliran sama anaknya aja, udah kayak emak tiri yang gak dikasih
jatah bulanan. Apes banget hidup gue punya emak model begitu.

Dengan perasaan dongkol dia pun menghentak-hentakan kakinya menyusul


Laras dan Dipta yang sudah masuk ke dalam rumah.

***

Elena mengerang frustasi. Menatap jengkel dua orang yang sedang asik
mengobrol.

Kampret gue dikacangin.

Setelah masuk ke dalam rumah, mamanya dan Dipta malah asik mengobrol
sambil makan siang tanpa mengikut sertakan Elena di dalamnya. Dan,
dengan tidak tau malunya, dia malah bergabung ikut makan.

Bodo ah gue dikacangin yang penting pokoknya gue mau makan. Laper
gue, karna pura-pura bahagia itu butuh tenaga. Eak
"Nak Dipta mau nambah, mama ambilin ya?" Tanya Laras.

Laras terlihat senang karna menantunya yang satu ini tidak pemilih soal
makanan, malahan Dipta terlihat lahap dengan semua masakan Laras.
Padahalkan ini hanya masakan biasa, bukan makanan ala-ala restoran
mewah. Tapi, membuat menantunya itu terlihat biasa-biasa saja. Malah
terlihat luwes dan bernafsu.

Elena memutar bola matanya malas, mendengar nada manis mamanya.


Mamanya ini sangat berlebihan.

"Ma. Papa ke mana sih?" Tanya Elena yang sedari tadi hanya menjadi anti
nyamuk antara mamanya dan suaminya.

Laras yang sedang mengambilkan ayam untuk Dipta menoleh sebentar.


"Lagi pergi ke rumah tante Tuti."

Kening Elena mengeryit bingung.


"Ngapain papa ke sana?" Tanyanya penasaran.

"Mana mama tau."

"Tumben mama gak ikut?"

"Tadinya sih mau ikut. Tapi kata papa kamu, takutnya kamu pulang ambil
barang terus entar gak ada orang lagi. Dan ternyata bener kamu pulang."
Jawab Laras menjelaskan.

Elena hanya mengangguk mengerti.

Selesai makan Dipta pamit sholat ashar dan masuk ke dalam kamar Elena.
Sedang Elena, sedang membantu mamanya mencuci piring.

"Ma." Panggil Elena yang hanya dibalas gumaman oleh Laras.

"Keluarga kita ada yang nanya aneh-aneh gak sih ma, tentang pernikahan
Lena?" Tanya Elena melirik Laras yang terlihat sibuk menyusun piring
sedang dia bagian mengelap piringnya.
"Nanya aneh-aneh gimana?"

"Ya aneh-aneh gitu. Kan biasanya mereka suka komen tentang hidup Lena.
Belum lagi tante Tuti tu, perasaan Lena gak pernah buat salah deh sama dia.
Tapi keliatan banget ma, dia gak suka sama Lena. Apa lagi pas tau tiba-tiba
Lena nikah gini. Ya aneh aja kalau dia gak nanya-nanya atau kepo?"

"Gak usah seuzon deh Len jadi orang!"

"Ihhh Lena gak seuzon mama. Coba aja inget-inget pas dulu Lena pertama
kali kerja sama mbak Hanum. Gimana tante Tuti yang teriak-teriak gak
terima, karna si Siska belum dapat kerja. Sedang Lena udah. Bahkan tante
Tuti sampai jelek-jelekin Lena di depan mbak Hanum. Terus bagus-bagusin
anaknya. Lena suka kesel tau kalau masih inget itu.." seru Elena sedikit
menggebu-gebu. Teringat di mana dulu dia di permalukan.

"Tau ah mama gak mau pusing mikirin masa lalu. Mikirin kamu yang
model begini aja mama udah hampir gila. Apa lagi disuruh mikirin mereka.
Lagian ya Len, kayak kamu baru kenal tante kamu aja. Yang pentingkan
kita gak begitu."

Elena meringis. Tumben sekali mamanya ini lurus.

"Uhh mama gak salah makan kan ya?"

"Kenapa?"

"Tumben mama mikir gitu. Biasanya juga papa yang bakal kena amukan
mama kalau tante Tuti berulah." Jelas Elena.

"Ya orang kan bisa berubah Len. Lagian kasian papa kamu gak tau apa-apa
mama omelin mulu."

"Ya iya lah, mama baru sadar. Lagian papa kok bisa sih betah sama mama."
Ceplos Elena tanpa sadar.

Laras langsung menghadap putrinya sambil melotot. "Maksud kamu apa?"


Tersadar. Elena langsung panik begitu sadar jika dia salah bicara. "Hehehe
... Maaf ma, gak sengaja."

"Gak sengaja-gak sengaja. Gitu-gitu papa kamu itu cinta mati ya sama
mama. Mana bisa papa kamu itu berpaling dari mama. Papa kamu itu udah
kronis jatuh cintanya sama mama."

Elena hanya menggelengkan kepala tak habis pikir dengan cara berfikir
mamanya.

Et dah Buset, emak gue tingkat kePDannya udah meprihatinkan ini


kayanya.

"Belum tau kan kamu, kalau dulu papa kamu itu yang ngejar-ngejar mama?
Yang ngemis-ngemis cinta mama." Ucap Laras dengan raut wajah meledek.

Elena menautkan alisnya tak percaya. "Boong banget mama, gak mungkin
banget papa yang kalem begitu ngejar mama yang model begini."

"Model begini gimana? Sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lagian


kalau kamu gak percaya kamu bisa tanya papa kamu. Itu Papa kamu masih
hidup."

"Masa sih ma?" Tanya Elena yang masih tidak percaya.

"Apa sih yang gak mungkin di dunia ini Len?." Ucap Laras santai.

"Serius ma?"

"Serius, Yuli aja udah tau."

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah, kamu aja yang belum tau.." Ucap Laras sambil berjalan ke
arah meja makan, menarik kursi. Duduk sambil mengupas buah jeruk yang
dia ambil di dalam kulkas.

"Kok bisa papa yang ngejar mama?" Tanya Elena penasaran, sambil
berjalan menyusul mamanya yang duduk di meja makan.
"Ya bisalah, namanya juga cinta." Kata Laras yang membuat Elena
melongo.

Ini beneran gak sih bapak gue yang suka duluan sama emak gue. Kok gak
meyakinkan banget ya.

"Elena kira dulu mama yang ngejar papa."

"Enak aja. Gini-gini juga mama dulu primadona sekolah. Harus jual mahal
dong."

Elena merongis. Lalu dengan gaya santainya dia mengibaskan rambutnya


ke belakang. "Sama dong kayak Lena. Suka jual mahal." Serunya bangga.

"Jual mahal dari hongkong. Orang diajak Dipta nikah sekali aja langsung
mau." Cetus Laras sontak membuat Elena mendelik kaget.

"Mama tau dari mana?"

"Ya tau lah." Sahut Laras enteng.

"Mama punya indra keenam?"

"Gak perlu indra keenam kali Len, kalau sekali diajak jalan besoknya
langsung nikah." Jawab Laras begitu entengnya. Tidak tau saja, ucapannya
itu sontak membuat Elena mengelus dada sabar.

"Untung sayang."

Laras hanya mendengus pelan medengar ucapan putrinya. Terlalu malas


meladeni anaknya yang satu ini.
Malu

Canggung, itu lah yang Elena rasakan saat ini. Duduk di atas ranjang hanya
berdua dengan Dipta membuat dia nampak kikuk. Berbeda dengan Dipta
yang nampak biasa saja karna sibuk dengan gedgetnya.

Hari ini, Elena dan Dipta menginap di rumah orang tua Elena, karna Laras
mamanya memaksa mereka untuk menginap.

Elena sih awalnya ok-ok aja, tapi setelah sadar dia akan satu kamar dengan
Dipta, membuat dia merutuki kecerobohanya itu. Mana ranjang kamarnya
berukuran double bad lagi, membuat dia nyaris bersentuhan dengan badan
kekar suaminya. Dan itu semua, membuat jantungnya semakin jingkrak-
jingkarak tidak jelas.

Tanpa sadar, Elena sering menahan nafas karna aroma parfum Dipta yang
tercium oleh indra penciumannya. Belum lagi, pria itu yang malam ini
terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya. Membuat dia berulang
kali menahan nafas. Dengan baju tidur berwarna hitam yang didapat Elena
meminjam dari papanya, membuat kadar pesona Dipta menguap ke mana-
mana.

Anjrit otak gue jadi ngeres ini, gara-gara sering dicokolin mbak Hanum
video mesum.

Berusaha mengalihkan perhatian ke sembarang arah. Elena berusaha


mengabaikan pemandangan menggiurkan di depan matanya. Dipta yang
berganti posisi berbaring menyamping ke arahnya, berulang kali melirik
istrinya yang tidak mau diam, terus bergerak di sampingnya.

Ini kenapa gue yang kayak cacing kepanasan sih. Bukannya seharusnya
cowok ya yang begini. Lah ini kenapa jadi gue. Ahhhh mama tolongin
Elena, sumpah grogi gue seranjang ama ini orang.

Lama-lama Dipta pun terusik dengan pergerakan istrinya yang tidak mau
diam.

Mengangkat alis heran. "Kenapa?" Tanyanya heran.

"Hah?" Tanya Elena yang gagal fokus. Keningnya nampak berkerut samar.

"Ada masalah? Dari tadi kamu kayak gak nyaman gitu. Gerak terus gak
mau diam? Kenapa?"

"Oh itu, gue kepanasan. Iya. Hehe iya cuman kepanasan." Cengirnya salah
tingkah. Ditatap begitu intens oleh Dipta membuat dia salah tingkah sendiri.

Mengangkat sebelah alisnya, Dipta memperhatikan penampilan istrinya dari


atas sampai bawah. Baju tidur panjang berwarna pink dengan gambar
pororo besar di depannya. Benar-benar lucu di matanya.

Merasa diperhatikan sebegitu lekat oleh Dipta, membuat Elena menggaruk


pipinya yang tidak gatal.

"Kamu bisa nurunin suhu AC." Datar. Itulah ucap Dipta.

"Gue keluar aja deh cari angin." Jawab Elena mencari aman.

Membuka selimut yang menutup kakinya sebatas pinggang, dia pun


langsung turun dari ranjang dengan cepat dan melangkah keluar kamarnya.

Gue gak bakal kuat lama-lama duduk di sampingnya. Di liatin doang aja
bikin jantung gue jingkrak-jingkrak, gimana kalau dia peluk gue, bisa
rontok ini jantung dari tempatnya.

Melangkah keluar, pandangan Elena langsung tertuju pada pintu depan


yang terbuka lebar. Melirik jam dinding di samping kiri Elena. Jam sudah
menunjukan jam 9 malam.

Siapa yang buka pintu jam segini. Pikir Elena.


Menuruti rasa penasaran, dia pun melangkah ke arah pintu keluar. Di sana,
Herman papanya sedang duduk di kursi teras dengan gadget di tangannya.

"Papa belum tidur?" Tanya Elena berjalan mendekat ke arah papanya.

Herman mendongak, anak gadisnya, ah ralat anak perempuannya sedang


berjalan ke arahnya. "Belum bisa tidur. Kenapa?"

Menarik kursi, Elena ikut duduk di sebrang meja Herman. "Sama, Elena
juga gak bisa tidur."

"Kenapa? ditinggal suami tidur duluan?" Goda Herman dengan senyuman


jail. Yang dibalas Elena mengangkat bahu cuek.

Hening. Elena memperhatikan pria hebat di depannya yang terlihat tidak


muda lagi. Bahkan banyak keriput disekitar wajahnya. Bahkan papanya
harus menggunakan kaca mata untuk memperjelas penglihatannya.

Papanya ini, pria pertama yang mengajarkan banyak hal pada Elena,
tentang kehidupan, kasih sayang kemandirian, pilihan, dan masih banyak
lagi.

"Bagus ini, papa mau beli ikan lagi." Ucap Herman menskrol layar
gadgetnya.

Herman ini, papa Elena memang hobi memelihara ikan hias. mulai dari
Cupang, Discus, Candy Basslet, Koi dan masih banyak lagi.

Bahkan harga ikan hias papanya ini, bisa membuat Elena ngelus dada karna
takjub. Bahkan Laras, mamanya sering ngomel jika tau suaminya, Herman
ketauan membeli ikan lagi.

"Buat apa sih pa. Papa kan udah punya banyak. Gak takut kena omelan
mama emang?" Tanya Elena sambil mencomot kue di depan mejanya.

"Ya jangan bilang-bilang biar gak tau." Jawab Herman enteng.

"Gimana gak tau, kalau ujung-ujungnya papa bawa pulang?" Gelengnya tak
habis pikir dengan jalan pikiran papanya.
Herman terkekeh. " Iya, ya."

"Pa. Elena boleh nanya gak?"

"Nanya apa?" Jawab Herman sambil membenarkan letak kaca matanya.

"Papa kok bisa sih nikah sama mama?"

"Ya bisalah, namanya jodoh Len. Pertanyaan kamu kok aneh banget sih."

"Isss. Bukan gitu maksud Lena papa." Gemas Elena. "Maksud Lena itu,
Papa kok bisa dulu suka gitu sama mama." Sambungnya memperjelas.

"Ya bisa lah, kan dulu mama kamu itu langka, unik terus lucu." Ucap
Herman disela-sela senyumnya seperti mengenang masa lalu.

Lucu mana sama ikan hias papa. Seru Elena di dalam hati.

"Terus mama langsung mau sama papa?"

"Ya mau lah, Kan papa ganteng."

Elena yg mendengar ucapan papanya hanya meringis pelan.

Demi apa? Ternyata bapak gue diam-diam..

"Kata mama dulu papa yang ngejar-ngejar mama?"

"Mama kamu udah cerita?" Tanya Herman santai, tidak terganggu sedikit
pun dengan pertanyaan putrinya.

"Udah. Kok bisa sih pah?" Tanyanya penasaran.

"Ya bisa lah. Apa sih yang gak bisa di dunia ini Len." Jawaban Herman
membuat Elena takjub.

Emang ya kalau namanya jodoh, dari segi jawaban aja bisa sama.
"Iya, kenapa harus mama papa? Emang gak ada perempuan lain yang papa
suka selain mama?" Tanya Elena sambil melirik-lirik takut ke arah pintu.
Takut-takut mamanya nongol tiba-tiba aja, bisa digorok habis dia malam
ini.

"Ya namanya suka Len. Apa lagi, kita gak bisa ngontrol hati. Harus suka
sama siapa."Jelas Herman. "Mama kamu itu dulu beda dari yang lainnya.
Mandiri, apa adanya. Walau cerewet tapi sebenernya hatinya baik, gak suka
neko-neko. Papa suka aja liatnya." Cerita Herman mendadak mengenang
cerita masa lalunya dengan istrinya.

"Dulu papa cinta gak sama mama?" Tanya Elena seraya membentuk jarinya
seperti hati.

"Ya cinta lah, kalau gak cinta gak mungkin dinikah, sampai ada kamu lagi
Len." Ujar Herman enteng.

Uhhhh manisnya bapak gue.

"Ini gak bapak, gak anak sama aja. Udah tau. Udah malam, malah asik
ngobrol disini. Kamu lagi Lena. Suami malah ditinggal ngobrol di sini.
Sana balik ke kamar." Omel Laras yang tiba-tiba muncul dari pintu.

Elena yang medapat omelan hanya memutar bola matanya malas. Sedang
Herman, hanya terkekeh pelan mendengar omelan istrinya.

"Iya-iya Elena tidur ma." Gerutunya sambil melangkah pergi.

Sesampainya di dalam kamar, Elena melihat Dipta yang sudah tertidur.


Melangkah sepelan mungkin, dia pun langsung naik ke atas ranjang.
Dipandanginya wajah tampan suaminya yang tidur miring ke arahnya.

Sempurna banget laki gue.

Mengulurkan tangan, Elena mengabsen setiap wajah suaminya. Dari alis


tebal yang hampir menyatu milik suaminya hingga turun kehidung
mancungnya, dan bibir tipis suaminya semua nampak indah di mata Elena.
Tidak sadar karna perbuatanya mengusik tidur lelap suaminya.
Pelan-pelan mata Dipta terbuka, Elena yang melihat suaminya membuka
mata langsung mematung kaku. Bahkan tangannya belum turun dari bibir
tipis Dipta.

Mati gue.

Dipta menarik turun tangan Elena. Menggenggamnya dengan lembut.


"Kamu belum tidur." Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

Elena menelan ludah gugup, bingung, malu jadi satu. Suaranya seperti
tercekat ditenggorokan. Mencari aman, Elena hanya menggeleng pelan.

Masih mengenggam tangan Elena, Dipta menatap intens mata istrinya.


Pelan-pelan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Elena.

Elena yg melihat wajah Dipta terus mendekat pelan-pelan menutup matanya


dan.

CUP

Merasa keningnya dicium Elena langsung membuka mata melotot.

Gue kira dia bakal nyium bibir gue. Astaga otak gue. Harus di ruqiyah ini.

"Jangan melotot." Ucap Dipta tersenyum tipis.


Elena yang merasa dipermainkan suaminya langsung menarik tangannya
dan berbalik memunggungi Dipta.

Maluuuuuu...

"Len." Panggil Dipta.

"Jangan ngomong, aku ngantuk mau tidur." Ketus Elena.


Aneh-Aneh

Elena bangun lebih pagi dari biasanya. Melirik ke arah suaminya, Elena
bernafas lega karna suaminya masih tertidur pulas.

Jangan harap gue bakal ngobrol sama lo.

Masih kesal karna kejadian semalam, sebisa mungkin dia akan menghidar
dari suaminya hari ini. Turun dari ranjang, Elena langsung melangkah
keluar, masih pukul lima pagi ternyata.

Elena tersenyum lebar karna mengingat ini kali pertama dia bangun sepagi
ini.

Mama pasti syok ini liat gue bangun jam segini.

Berencana mengagetkan mamanya di dapur, Elena melangkah sepelan


mungkin menuju dapur. Tapi, nyatanya tidak ada satu orang pun di dapur,
membuat bulu kuduknya berdiri seketika. Berencana kembali ke kamar
secepatnya Elena langsung berbalik ke belakang tanpa kaca sepion. Alhasil
tubuhnya hampir menabrak sesuatu di belakangnya.

"ASTAGFIRULLAH." Teriak Elena.

Laras yang berdiri di belakang Elena karna kaget dengan teriakan putrinya,
langsung berkacak pinggang dan siap murka. Tidak sadar jika, masker
wajah berwarna puting Laras membuat mata Elena semakin melotot karna
takut.

Tidak sadar jika itu mamanya, Elena langsung ngacir dengan wajah panik
dan takut.
Mengabaikan panggilan orang yang dikira setan, Elena terus lari sekuat
tenaga yang dia bisa menuju kamar. Setelah sampai kamar, Elena langsung
menutup pintu dengan kuat, hingga membuat seseorang yang sedang tidur
nyenyak di kamarnya langsung tersentak kaget.

Dipta hampir ingin berteriak kesal saat tau siapa lagi yang mengusik tidur
nyenyaknya. Tapi, melihat istrinya memegang gagang pintu dengan nafas
memburu, membuat kerutan di dahi Dipta kian membanyak.

"Len, kenapa?" Tanyanya sambil menggeliat, beranjak bangun.

Elena menoleh, melupakan tujuan utama ingin menghindar dari suaminya.


Elena malah melangkah mendekat dan kembali ke tempat tidur. Duduk di
atas ranjang dengan kaki ditekuk di bawah, di duduki menghadap
suaminya.

"Gue ngeliat setan tadi." Ceritanya masih dengan sisa-sisa nafas ngos-
ngosan sambil menumpuk kedua tangannya di dadanya.

"Setan?" Ulang Dipta tak percaya.

Elena mengangguk. "Iya setan." Serunya gemas.

"Di mana?"

"Di dapur. Sumpah ya, gue gak bakal bangun jam segini lagi, kalau ujung-
ujungnya bakal bikin spot jantung."

"Kamu yakin itu setan?" Tanya Dipta lagi dengan nada malas.

Mengangguk patuh dengan wajah polos, Elena merubah letak duduknya


menjadi bersila.

"Yakin seratus persen. Sumpah serem banget."

Mengabaikan jawaban istrinya, Dipta beranjak turun dari atas kasur, buat
Elena yang duduk dari Dipta langsung berteriakan heboh.

"Mau ke mana?" Teriaknya reflek memegang ujung baju tidur suaminya.


"Ke toilet." Jawab Dipta malas.

"Gue ikut ya?" Serunya spontan.

Kedua mata Dipta terbelalak. "Kamu gila?" Serunya kaget.

"Please. Gue iseng di sini."

"Ya tuhan Elena, gak akan ada setan jam segini." Ucap Dipta kesal.

"Sumpah, tadi gue ngeliat setan. Gak percaya banget sih lo sama gue.
Mukanya serem banget tau." Terangmya sambil menggoyang-goyangkan
baju tidur Dipta.

Dipta mengendus kuat, melepaskan pegangan tangan Elena dibajunya. Dia


pun tetap beranjak turun membuat Elena mengikutinya turun dari ranjang.
Seperti anak unggas mengikuti induknya, Elena mengekor Dipta di
belakangnya.

Memegang gagang pintu toilet. Dipta menoleh "Kamu sengaja ngikuti saya,
biar bisa lihat saya mandi di kamar mandi kan?" Tuduh Dipta cuek.

Elena langsung melotot mendengar ucapan suaminya. "Lo gila." Teriaknya


tanpa sadar.

"Terus apa namanya sekarang, kalau kamu terus mengikuti saya sampai ke
kamar mandi?" Ucapnya santai sambil berbalik menghadap ke arah istrinya.

Mendengar nada santai suaminya yang buat emosi. Elen mendengus kesal.
"Najis. Otak lo isinya apasih?" Ucapnya sedikit berteriak karna kesal.

Mengabaikan wajah heran suaminya, Elena langsung berbalik ke arah


ranjang sambil menendang-nendangkan kakinya keudara karna kesal.

Dipta hanya menggeleng, berbalik masuk kekamar mandi meneruskan


tujuan awalnya alih-alih marah dengan ucapan istrinya.

Sumpah tu papan seluncur mulutnya pedes banget sih kayak sop janda.
rutuk Elena di dalam hati.
****

Elena makan dengan wajah ditekuk, masih kesal dengan ucapan suaminya.
Bahkan Elena mengabaikan wajah kepo Laras yang sedari tadi bertanya
'Kenapa?' Dengan menaik turunkan kedua alisnya. Jelas sekali niatnya
menggoda Elena.

Sedang sang pelaku yang membuat mood Elena hancur pagi ini, malah
makan dengan tenang, tanpa tersinggung sedikit pun dengan wajah masam
istrinya dan kekepoan mertuanya.

Merasa dongkol karna sang suami tidak peka. Dengan tega Elena
memotong tempe dengan sadis tanpa perasaan dipiringnya.

"Itu tempe ngenes banget sih jadi pelapiasan." Seru Laras menahan senyum
melihat Elena melampiaskan kekesalannya melalu tempe sedang matanya
tertuju kepada Dipta.

Apa Dipta gak kasih jatah pagi ini sampai buat Elena kesal. Asumsi Laras.

Elena hanya menanggapi Laras dengan lirikan malas, moodnya sedang


tidak baik pagi ini. Apa lagi untuk meladeni ledekan mamanya.

Sedang Dipta tetap cuek dan makan dengan tenang tanpa terganggu dengan
ucapan mertua atau tingkah aneh istrinya. Sepertinya, Dipta mulai terbiasa
dengan keajaiban tingkah istrinya. Buktinya baru dua hari menikah, Dipta
tetap tenang dan kalem dengan kelakuan Elena. Tidak ada tanda-tanda risih,
terusik, bahkan kaget karna sifat Elena itu sedikit menyebalkan dan aneh.

Sedikit banyak membuat Laras bernafas lega, karna tau menantunya tidak
masalah dengan tingkah ajaib anak perempuanya. Coba kalau Dipta jengah
atau bahkan kesal dengan tingkah ajaib Elena, bisa dijamin Laras juga rugi.
Rugi karna pasti gak akan ada lagi yg mau sama anak perempuanya. Yg
model cuek, kalem tapi dingin aja, gak kuat apa lagi yang biasa-biasa saja,
bisa berakhir menjanda Elena.

Mit amit Seru Laras.


"Nak Dipta libur sampai kapan?" Tanya Laras dengan senyuman lebar.

"Sampai besok ma." Jawab Dipta.

"Kalau Elena cuman tinggal hari ini, besok udah mulai kerja." Jelas Elena
tanpa ditanya.

"Gak ada yang nanya." Ucap Laras kalem tapi terasa sadis untuk Elena
sampai membuat bibir Herman berkedut menahan senyum melihat wajah
kesal putrinya dan jawaban kalem istrinya.

Pagi-pagi udah dapat hiburan. Batinya.

Elena yang mendapat jawaban tak enak dari mamanya hanya


mengerucurkan bibir.

Kesellllll.

"Jadi hari ini rencananya langsung pulang?" Tanya Laras.

Dipta mengalihkan pandanganya dari piring ke arah mertuanya bersamaan


dengan Elena yang menunduk malas.

"Dipta berencana mengajak Elena ke rumah mama Isa ma." Jelas Dipta
yang langsung mendapat tatapan mematikan dari Elena.

"Kenapa, kamu gak suka diajak suami ke rumah mertua?" Jutek. Bukan
Dipta yang bertanya melainkan Laras yang dengan juteknya bertanya pada
Elena saat melihat wajah kesal putrinya.

Merasa tidak mendapat respon dari anak perempuanya. " Elena." Tegur
Laras.

"Gak mama." Jawab Elena sekananya.

Kenapa sih hari ini perasaan semua orang ngeselin. Bikin gue bad mood
aja, mana papan seluncur mau ngajak ke mertua gak ngomong-ngomong
lagi. Kan gue belum ada persiapan. Kalau gue salah langkah terus bikin
malu gimana,? Bisa runtuh gelar image menantu baik gue nanti.
"Inget gak usah aneh-aneh Len." Tegur Laras memperingati.

"Iss. Elena mah dari dulu gak pernah aneh-aneh ma, kalau aneh-aneh udah
punya cucu mama dari dulu." Ucapnya enteng.

"Nah kalau gitu sekarang mama tarik deh kata-kata mama. Mumpung udah
punya suami, Elena gak papa mau aneh-aneh sama suami." Bisik Laras.

Yang langsung membuat Dipta tesedak dan batuk-batuk kecil, Elena reflek
langsung mengulurkan air minum dan langsung tandas sekali teguk oleh
suaminya.

Elena memandang suaminya aneh dengan wajah memerah. Sedang mama,


dan papanya malah menahan senyum geli.

Apa yang salah sih sama ucapan mamanya?

****
Perkara pisang

Duduk berdua di dalam mobil dengan Dipta membuat Elena nampak kikuk.
Apa lagi mengingat kejadian pagi tadi seperti membuat urat malunya benar-
benar putus. Bagaimana mungkin Elena bisa bersikap memalukan seperti
itu.

"Apa mama Isa tau kalau hari ini kita akan berkunjung?" Tanya Elena
memecahkan keheningan di mobil. Bibirnya benar-benar terasa gatal karna
tidak ada obrolan yg keluar sedari tadi. Suami nya ini benar-benar, gak bisa
apa dia sebagai laki-laki peka sedikit. Diajak ngobrol kek, becanda kek.
Bukan malah diam-diaman kayak orang marahan.

"Hm." Gumma Dipta cuek.

Apa bibirnya sariawan sampe bilang iya aja susah? Lama-lama gue
karungi juga ni orang. Batin Elena kesal.

"Apa ini masih jauh?"

Dipta melirik Elena sebentar. "Lumayan."

Elena mendengus pelan. Jawaban suaminya benar-benar menguji


kesabaranya.

"Kenapa?" Dipta bertanya saat mobil berhenti dilampu merah.

"Lo lagi sariawan?" Tanya Elena gemas.

"Apa itu pertanyaan yang perlu saya jawab?"

"TER-SE-RAH." Elena menjawab dengan menekan setiap kata.


Duduk menghadap ke arah Dipta. " Kenapa diam?" Tanya Elena.

"Bukannya tadi kamu bilang terserah, mau saya jawab apa?"

Akhirnya Elena hanya mendesah panjang.

*****

Rumah dengan pagar hitam tinggi di depan Elena benar-benar seperti


istana, bukan hanya itu pancuran besar di depan rumah saja sudah membuat
dia menggelengkan kepala tak hapis pikir. Berapa banyak uang yang habis
digunakan untuk membangun rumah sebesar ini?

Elena menggaruk pipinya yg tidak gatal saat melihat mertuanya nampak


heboh dengan ke datangan mereka.

Perasaan kemarin mertua gue kalem, kemana pergi sikap kalemnya. Heran
Elena.

Sepertinya sekarang dia tahu mirip siapa sifat bar-bar Hanum. Dari mama
Isa, mama mertua Elena.

Waktu pertama kali dia turun dari mobil Dipta, Elena sudah dikejutkan
dengan teriakan heboh mama mertuanya dari teras. Sangking hebohnya
sampai membuat Dipta berdecak kesal pada mamanya.

"Ya ampun ... Ya ampun. Menantu mama, sini-sini sayang kita masuk."
Ajak Isa masuk ke dalam rumah. Setelah memeluk Elena lebih dulu dan
menciumnya. Sebagai sambutan selamat datang. Bahkan mengabaikan
tangan Dipta yang menggantung ingin mencium tanganya.

Elena yang diajak Isa masuk langsung melongo melihat ruang tamu super
besar milik mertuanya. Dengan nuansa putih dan golf dengan ubin coklat
bermotif ruang tamu ini terlihat sangat luas dan mewah. Dilengkapi sofa
putih panjang menyerong yang mewah dengan bantal sofa berwarna merah.
Meja untuk sofa dipilih berbentuk lingkaran yang bening berbahan kaca,
sangat sesuai dengan model sofa dan ruangan. Jika baru masuk akan
langsung disuguhkan foto besar keluarga yang langsung menghadap pintu
masuk.

Dan sebagai kombinasi indahnya ruangan banyak jendela-jendela kaca yang


menyuguhkan pemandangan luar ruangan.

Bener-bener tajir mertua gue. Pikir Elena takjub.

Isa terus menuntun Elena masuk lebih dalam, mengabikan tatapan takjub
menantunya yang baru pertama kali masuk ke dalam rumah super
mewahnya.

Elena hanya berkedip-kedip memperhatiakan rumah mewah mertuanya,


akhirnya Isa berhenti disebuah ruangan bernuansa putih bercampur
ke'emasan. Ruang keluarga di rumah ini. Hampir semua dinding berwarna
putih dengan sofa di tengah ruangan berwarna coklat tua, ada juga beberapa
kursi singel yang warnanya senada dengan sofa.

Di depan sofa, terdapat tv super besar dengan dinding belakangnya


berwarna emas bermotif, tidak lupa juga ada lemari panjang di sisi kiri
kanan tv dengan warna senada dengan sofa dan karpet mahal yang berada
di bawah sofa. Foto-foto kecil bejejer rapi di atas dinding dan ada pohon
bonsai besar di sisi pojok kiri ruangan.

Lampu hias besar juga menghiasi ruangan ini, benar-benar mewah dan
berkelas. Khas rumah konglomerat masa kini.

"Elena udah sarapan, sayang?" Tanya Isa basa-basi. Dia nampak begitu
semangat menyambut kedatangan menantu barunya.

Elena mengangguk sopan. "Udah ma."

"Gimana keluarga di rumah, sehat?" Tanya Isa basa-basi.

"Alhamdulillah sehat." Jawab Elena tak bisa menghilangkan nada gugup


sedikit pun. Takut-takut jika dia akan dicap menjadi menantu buruk jika
salah bicara.
"Woy, Elena,." Teriak Hanum dari arah dalam. "Adek ipar gue, akhirnya lo
datang juga." Sambung Hanum sambil berlari memeluk Elena setelah itu
duduk di sisi kiri adik iparnya sedang Isa di sisi kanan.

"Lo di sini juga mbak?" Tanya Elena heran.

Mendapat pertanyaan bodoh dari adik iparnya langsung membuat Hanum


tertawa lucu. "Ya iyalah, udah dari kemaren gue nginep di sini." Jawab
Hanum yg dibalas dengan anggukan kepala mengerti.

"Gimana Len, Dipta memperlakukan kamu dengan baik kan?" Tanya Isa
mengalihkan perhatian dua perempuan di depannya.

"Iya. Baik, ma."

"Kalau dia macem-macem sama kamu bilang mama, ya?" Ucap Isa kembali
membuat Elena kembali mengangguk setuju.

"Lo nginep di sini?" Tanya Hanum.

"Gue sih terserah ama Dipta mbak."

"Cie yang udah nikah, romanya pasrah-pasrah aja nih. Tapi menurut gue ya,
Len, lo jangan pasrah-pasrah aja ma laki lo, kan entar gak ada tantanganya."
Ucap Hanum jail.

Elena langsung mengalihkan pandangannya ke arah Isa mama mertuanya.


Terlalu malas meladeni kakak iparnya yang sedikit kurang waras.

"Mama udah sarapan?" Tanya Elena tanpa menjawab Hanum.

"Kampret gue dikacangin." Gerutu Hanum kesal.

"Udah, mama tadi lagi bikin kue. Kamu juga hobi buat kue kata Hanum."

"Sedikit, ma. Mama buat kue apa?"

"Banana Bun."
"WAHHH." Teriak Elena tanpa sadar. Begitu sadar dia langsung
mengatupkan bibirnya. Membuat Isa maupun Hanum tertawa geli.

Elena memang menyukai pisang. Apa lagi semua makanan yang pisang
salah satu bahan dasarnya membuat dia sangat menggilainya.

"Mama buatkan spesial buat kamu, kata Hanum kamu suka pisang
soalnya." Jelas Isa.

"Iya ma suka banget." Jawab Elena semangat dengan mata berbinar


bahagia.

"Ayuk kita ke dapur." Ajak Isa. Setelah tertawa renyah melihat respon
menantunya.

Hanum hanya mengekor di belakang, mengikuti ke mana Isa membawa


Elena.

Kalau Dipta jangan tanya, suami Elena itu langsung pergi begitu Elena
bersama mamanya. Paling juga semedi di dalam kamar, apa lagi kalau
sudah masuk kamar, bisa-bisa besok pagi dia baru keluar.

"Enak gak, Len?" Tanya Hanum begitu Elena duduk dan menyantap
Banana bun buatan mama mertuanya.

Dengan mulut penuh Elena mengacungkan dua jempolnya sekaligus.

"Enakan mana sama punya Dipta?" Tanya Hanum dengan mengedipkan


sebelah matanya.

Yang langsung membuat Elena tersedak, dan batuk-batuk. Tawa Hanum


pecah melihat Elena berusaha meredakan batuknya sampai wajahnya
memerah.

Melihat Hanum yang berhasil menjaili menantunya, Isa langsung


mengomeli Hanum dengan mata melotot galak. Mendapat omelan dari Isa
mamanya Hanum langsung diam, dan melihat Isa yang terlihat memberi air
pada menantunya dan menepuk-nepuk pelan pundak Elena. Dan melihat
Elena tidak berhenti batuk membuat Hanum sedikit merasa bersalah.
Mbak Hanum kamprettt. Gara-gara dia gue keselek pisang. Batinnya kesal.
Pasrah

Elena makan dengan lahap kali ini. Di rumah mertuanya benar- benar
mewah, menunya saja ala-ala restoran berkelas. Tidak mempedulikan
tatapan mengejek Hanum kakak iparnya, Elena tetap makan dengan tenang
meski sedikit merasa aneh dengan perlakuan mertuanya yang benar-benar
memperlakukannya dengan baik. Dia bahkan dilayani seperti seorang putri.

Sedang Dipta sedari dia sampai di rumah ini pagi menjelang siang tadi,
tidak pernah mengeluar suaranya. Dia bahkan sampai heran kok betah sih ni
cowok diam aja, gak gatel gitu mulutnya diam aja gak ngomong? Apa
jangan-jangan lagi puasa ngomong. Bukan cuman diam bahkan Dipta juga
melewatkan jam makan siangnya.

Saat Elena masuk ke dalam kamarnya dan mengajak makan siang bersama.
Elena malah dicuekin dan dianggap radio rusak yang ngoceh tanpa
mendapat tanggapan. Akhirnya karna kesal, dia pun keluar kamar dan
kembali bergabung dengan Hanum dan Isa yang makan tanpa Dipta.

Baru di situ mama Isa cerita kalau Dipta memang agak susah makan. Apa
lagi kalau sudah bekerja dia bisa betah, kadang sampai dua hari tidak
makan.

Gila tu cowok betah amat dua hari gak makan, apa diperutnya ada stok
makanan? Lah kayak unta dong. Gue aja pagi gak sarapan siangnya udah
kayak cacing kepanasan karna kelaperan, lah ini dua hari bisa mati
kelaparan gue.

Bahkan dulu Hanum pernah menemukan Dipta di apartement tidak


sadarkan diri karna dehidrasi dan gastritis kronis, atau sering disebut juga
mag kronis. Untung dokter mengatakan Dipta cepat dilarikan ke rumah
sakit, jadi tidak berakibat fatal.
Selesai makan Elena berencana masuk ke kamar badanya berasa capek dan
pegal-pegal. Entah karna sudah lama tidak bekerja, jadi badanya tidak
dibuat gerak atau memang lelah karna seharian di dapur membantu mama
mertuanya.

Elena masuk ke kamar. Dipandanginya lekat-lekat kamar suaminya ini. Dia


baru sadar di kamar ini suasananya begitu dingin dan menyeramkan.

Cat dinding yang berwarna hitam dipadupadankan dengan warna abu-abu


dan coklat. Ada kamar tidur di tengah-tengah kamar dengan ukuran king
size dengan hiasan cahaya diatas kepala ranjang membuat kamar ini elegant
tapi modern. Bahkan di bawah ranjang ada karpet bulu berwarna senada
dengan sperai yaitu abu-abu. Belum lagi terai putih yang menjulang tinggi
di sisi kanan ruangan tempat tidur benar-benar membuat aura kaku ruangan
ini menguar. Cahaya tamaran redup membuat kamar Dipta ini terlihat horor
untuk Elena.

Gue sebenernya nikah sama cowok yang gimana sih, masa kamar aja udah
kayak kuburan baru. Udah serem lampunya remang-remang lagi mana bisa
tidur gue kalau begini. Isss kalau tau model begini kamarnya mending gue
tidur di kamar tamu. Atau sama mama Isa.

Elena memang sempat masuk tadi, tapi tidak sempat memperhatikan kamar
Dipta lebih detail.

Elena memutar tumit kaki dan hendak keluar kamar. Tapi sebelum keluar
kamar dia dikejutkan dengan Dipta yang baru keluar dari kamar mandi
hanya dengan menggunakan handuk sebatas pinggang. Dada bidang dan
roti sobek sudah terpampang jelas di depan mata. Bahkan rambut basahnya
membuat pria itu nampak berkali-kali lipat terlihat seksi. Membuat Elena
tanpa sadar menelan ludah gugup.

Menelan ludah gugup, kaki Elena terasa kaku hanya untuk sekedar
melangkah. Matanya terus melotot menikmati pemandangan menggiurkan
di depan mata. Dengan santainya Dipta terus berjalan masuk lebih dalam ke
dalam kamar. Semakin membuat Elena dengan jelas lihat bentuk tubuh
Dipta
Sumpah itu badan kenapa ngalahin oppa-oppa korea sih. Jadi pengenn
pegang gue, boleh gak? Peluk deh kalau gak boleh pegang..

"Menikmati pemandangan eh?" Ucap Dipta dingin.

Ucapan dingin Dipta membuat Elena tersadar dan segera mengalihkan


pandangannya ke sembarang arah. Asal bukan tubuh suaminya.

"Siapa juga yang liatin badan lo. PD banget sih." Jawab Elena kelewat
ketus.

Berdiri jarak dua meter dari istrinya, Dipta mengangkat sebelah alisnya.
"Saya tidak bilang kalau kamu liat badan saya." Jawabnya cuek.

"Yang barusan lo bilang itu apa kalau gak nuduh gue gitu, intinya sama aja,
kan?"

"Jadi kamu tersinggung dengan kata-kata saya? Dan merasa dituduh?"


Tanya Dipta dengan melangkah mendekat ke arah Elena.

Tau jika Dipta berjalan mendekat ke arahnya, Elena langsung kelabakan


dan berjalan mundur.

"Kenapa? Kamu takut?" Tanya Dipta dengan nada mengejek.

"Siapa yang takut?" Tantang Elena sambil mengangkat dagunya tinggi-


tinggi. Menantang laki-laki yang terus mendekat dengan senyuman tipis
tapi mematikan bagi kinerja jantung Elena.

Jantung sialan. Bisa gak sih lo diam? Jangan buat gue tambah nerves.

Elena jelas mencium aroma sabun Dipta yang memabukan setelah pria itu
ada pas di depan matanya.

Tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Elena tidak bisa melihat itu. "Jadi
kamu tidak takut?" Tanyanya berbisik sambil mengangkat sebelah tanganya
untuk mengelus sebelah kanan pipi Elena.
Elena yang merasakan sentuhan tangan Dipta untuk pertama kalinya hanya
bisa diam kaku sambil pelan-pelan memejamkan matanya. Tangannya
bahkan sudah terkepal kuat di sisi kiri kanan tubuhnya. Bukan cuman itu
jantungnya bahkan sudah hampir keluar karna berdetak dengan cepat dan
gila.

Gue gak boleh lemah. Cuman gara-gara begini.. inget dia cuman
mempermainkan lo, Len. Bisikan hati yang meyakinkan diri Elena.

"Buka mata kamu!" Ucap Dipta dengan suara serak.

Elena membuka matanya, berkedip-kedip pelan, hingga matanya bertemu


dengan mata pekat Dipta. Dia bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata
pria itu. Begitu pekat, begitu memabukkan. Ini pertama kalinya dia
berdekatan dengan pria sedekat ini. Tapi Elena juga tidak berbohong jika
dia juga suka dengan jarak mereka sedekat ini.

Mengabaikan suara hatinya Elena hanya diam kaku tanpa melawan.


Bukankah dia sudah melupakan kejadian semalam yang membuatnya malu
karna menutup mata dan mengulanginya tadi.

Pelan-pelan Dipta memiringkan wajahnya dan mendekat ke arah wajah


Elena.

Elena yang merasakan nafas Dipta yang menerpa wajahnya semakin dekat.
Tanpa sadar menahan nafas. Bibir lembut Dipta menempel di bibir tipis
Elena, hanya menempel dengan tangan Dipta yang masih di pipi kanan
Elena.

Tubuh Elena semakin kaku dengan bibir Dipta yang menempel semakin
dalam di bibirnya. Bahkan otaknya sampai blank karna tidak bisa berfikir
lagi. Jantungnya juga mungkin sudah keluar karna Elena tidak merasakan
detaknya lagi.

Dia hampir terjatuh ke lantai kalau Dipta tidak menariknya mendekat.


Memeluknya erat, tangan kanan Dipta bahkan sudah berpindah ke belakang
kepala Elena, menekannya semakin dekat dan dalampadanya.
Tubuh Elena yang berada dipelukan Dipta terasa tak bertulang lagi karna
sensasi yang baru pertama kali dia rasakan. Tangan Elena bahkan sudah
melingkar indah dipinggang Dipta.

Semua jam, waktu seakan berhenti berdetak. Begitu pun jantung mereka
yang seakan lupa untuk berdetak.
Obralan di malam hari

Elena menggeliat dalam tidurnya. Badanya terasa sakit seperti ditimpa


beban yang berat. Bahkan menggerakan badanya saja terasa sangat sulit.

Membuka mata yabg masih terasa lengket. Akhirnya dia bisa membuka
matanya dan menyesuaikan cahaya di kamarnya. Melirik ke arah perut,
Elena menahan nafas ketika tau tangan kokoh Dipta lah yang berada di
sana. Suaminya ini pagi-pagi sudah buat spot jantung saja.

Pelan-pelan Elena memindahkan tangan Dipta dari perutnya. Tapi setiap dia
berusaha memindahkan tangan Dipta, pria itu selalu menggeliat tidak
nyaman. Karna posisi tidurnya yang telungkup dan wajahnya menghadap
Elena sedikit sulit memindahkan tangan besar Dipta.

Tangan berotot itu sangat berat dan kaku seperti expresi wajahnya. Sambil
mengangkat tangan Dipta, Elena menggeser tubuh langsingnya ke samping.
Cuman itu satu-satunya cara agar Dipta tidak terusik sama sekali.

Elena baru bisa bernafas lega ketika dia bisa menyingkir dari pelukan ah-
ralat dekapan tangan besar Dipta. Melirik jam di atas meja nakas, mata
Elena melotot begitu tau jam menunjuk kan pukul 9 pagi.

Sial. Gue telat lagi.

Pelan-pelan Elena melangkah ke kamar mandi, sebisa mungkin tidak


menimbulkan suara. Takut-takut Dipta akan terbangun jika dia
menimbulkan kehebohan.

Selesai mandi, Elena bersiap-siap akan ke caffe. Untung semlam dia sempat
membawa ganti untuk berjaga-jaga kalau mereka harus menginap. Jadi
tidak perlu repot untuk masalah ganti, karna dia itu tipe perempuan yang
tidak mau ribet soal pakaian. Misalnya saja sekarang dengan kemeja satin
panjang berwarna biru dongker dengan kerah v dan sedikit hiasan ditengah
kemeja tidak lupa juga blejer hitam senada dengan celana bahan panjang
sudah membuat Elena nampak rapi dan cantik.

Melirik Dipta yang masih asik bergulung dibalik selimut tebalnya. Sedikit
mengusik perasaan Elena.

Gue bangunin jangan ya? Pikir Elena.

Semalam.

Dipta terus menekan belakang kepala Elena, memperdalam ciuman mereka.


Sedang Elena hanya diam pasrah karna badanya terasa seperti jelly tak
bertulang.

Mungkin jika Dipta tidak menahan berat tubuhnya, sudah dipastikan jika
dia akan jatuh luruh ke lantai. Ini adalah ciuman kali pertama untuk Elena,
tidak ada ciuman panas seperti di tv-tv hanya ciuman biasa tapi terasa
memabukan untuk Elena.

Menarik kepalanya menjauh, nafas memburu Dipta menerpa wajah Elena.


Istrinya itu bahkan hampir kehabisan nafas karna begitu lama mereka
berciuman.

Masih dengan memeluk Elena. "Kita perlu bicara." Bisik Dipta disela-sela
nafas memburunya.

"Y--A." .

Melepaskan Elena dari pelukanya. "Bisa lepaskan tangan kamu dari


pinggang ku? Aku ingin berganti baju."

"Oh--O Ma---af. Maaf.." Ucap Elena gugup sambil melepaskan tangannya


dari pinggang Dipta.

Dasar tangan gak punya akhlak...


Selesai berganti baju Dipta melirik Elena yang berbaring di atas ranjang.
Terlihat tidak nyaman karna sedari tadi terus bergerak.

Elena merasa diperhatikan menoleh ke arah Dipta yang berjalan ke arah


sisi ranjang. Dengan kaos abu-abu panjang dan celana trening hitam
panjang.

Naik ke atas ranjang." Bisa kita bicara sekarang?" Tanyanya sambil duduk
bersandar di kepala ranjang.

Epana ikut duduk dan bersandar di kepala ranjang seperti Dipta. "Mau
bicara apa?"

Jangan bilang soal ciuman tadi, kan yang nyium gue dia. Awas aja kalau
samapi dia nyalahin gue. Dan bilang gue yang godain dia duluan. Gue gak
bakalan terima. Awas aja gue babat habis itu pisang, eh kok pisang sih?
Hubunganya apa coba. Isss Elena fokus.. fokus..

Menyentil kening Elena. "Jangan mikir yang bukan-bukan. " Tegurny cuek.

"Isss enak aja. Siapa juga yang mikir yang bukan-bukan." Elak Elena
sambil mengusap keningnya.

"Muka kamu itu sudah menjelaskan."

"Sok tau." Ketus Elena yang dijawab decakan oleh Dipta.

"Terserahlah."

"Jadi mau ngomongin apa?" Tanya Elena.

"Kamu tau pernikahan kita bukan main-mainkan?" Tanya Dipta dengan


menyilangkan kaki panjangnya dan melipat tanganya di depan dada.

Mendengar pertanyaan Dipta kepala Elena langsung menoleh cepat ke


arahnya.

"Maksudnya?"
"Saya tidak akan buat perjanjian pernikahan seperti yang aku jelaskan saat
di kantor. Jadi--" Menoleh ke arah Elena. "Di sini kita menjalani
pernikahan sungguhan seperti pasangan pada umumnya. Saya akan
bertanggung jawab sebagaimana janji saya sebagai suami, tapi saya ingin
kamu juga melakukan sama halnya seperti saya. Melakukan kewajiban
kamu sebagai istri."

Apa maksudnya kami juga bakal memproduksi bayi kayak pasangan lai?
Ck, Elena fokus.

"Hmm ok." Jawab Elena sambil mengangguk setuju.

"Saya tidak perlu menjelaskan apa saja tugas kamu kan?" Tanya Dipta
mengangkat sebelah alisnya tinggi.

Elena mengangguk.

"Ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Apa gue boleh ikut campur urusan pribadi lo?" Tanya Elena melirik takut-
takut Dipta.

"Bukankah saya sudah katankan jika kamu istri saya? Apa yang menurut
kamu tidak nyaman kamu bisa membicarakannya dengan saya." Jawab
Dipta yang membuat senyum di bibir Elena terbit.

"Dan."

"Dan?" Elena membeo.

"Saya risih kamu pakai lo-gue. Harus dibiasakan aku-kamu!!" Jelas Dipta.

"Lo aja pakek saya." Elak Elena tak mau kalah.

"Tadi kan saya udah pakek aku-kamu." .

"Kapan?"

"Waktu tadi kita selesai ciuman." Jawab Dipta terlampau cuek.


Elena langsung memutar kepalanya memandang Dipta.

Ni cowok santai banget sih ngomongnya. Gak tau apa omonganya itu bikin
gue malu.

Merasa tidak mendapat respon, Dipta menoleh ke arah Elena. "Kenpa?"

"Enggak." Ketus Elena berbalik, berniat tidur.

Lama-lama ketidak peka'an Dipta bikin jengkel juga.

Tubuh Elena langsung kaku saat merasakan tangan kekar melingkar di


perutnya. Saat Elena ingin berbalik.

"Sstttt. Udah tidur."

"Tapi tangan lo-"

"Kamu." Potong Dipta dingin. Terdengar tak ingin di bantah.

Elena langsung diam mendengar nada dingin dari Dipta, Suaminya ini
sudah susah senyum, ngomongnya kalau gak dingin, datar, cueknya minta
ampun. Elena bahkan sanksi jika Dipta bisa tertawa. Bisa-bisa gigi Dipta
rontok kali ya kalau tertawa?

Sekarang.

Membayangkan semalam membuat Elena tanpa sadar menyentuh bibirnya.


Gak usah gue bangunin deh, biarin aja tidur. Lagian masih malu gue gara-
gara semalam.

Akhirnya Elena memutuskan keluar kamar tanpa membangunkan tidur


nyenyak Dipta.

"Suittt Suitttt, Adek iper gue. Udah rapi aja." Goda Hanum yang sedang
duduk di ruang tengah.

Memutar bola mata malas. Elena menatap malas Hanum. "Teraserah lo deh
mbak. Mama Isa ke mana?" Tanya Elena.
"Udah pergi dari jam 7 tadi. Ada arisan." Jawab Hanum santai. "Lo mau ke
mana?" Sambung Hanum sambil memperhatikan penampilan Elena yang
sudah nampak rapi.

"Ke caffe lah mbak." Jawab Elena gemes.

"Lo kan masih ada cuti?"

"Gue masuk aja deh kasian Yuli kayaknya repot banget gue tinggal."

"Lo udah ngomong sama Dipta kalau lo tetap kerja?"

"Belum sih, tapi kayaknya dia gak masalah. Lagian dia gak masalah kok
denger gue masuk kerja hari ini." Jelas Elena panjang lebar sambil
melangkah keluar.

"Lo naik apa ke caffe? Dipta mana kok gak dianter dia?"

"Dia masih tidur."

"Serius? Demi apa?" Tanya Hanum tidak percaya.

"Ya serius lah. Lo kalau gak percaya liat aja sendiri."

"Lo buat adek gue gempor? Emang berapa ronde kalian main?" Tanya
Hanum takjub.

"Otak lo, isinya apa sih mbak? Kok jadi ngeres mulu bawaannya. Sini gue
bersihin, biar sedikit warah lo" Ketus Elena kesal.

Hanum langsung cengengesan tidak jelas. " Habis gue kaget aja gitu Len,
Dipta itu anaknya disiplin banget. Secapek apa pun dia, dia pasti bisa
bangun pagi walaupun itu hari libur. Karna dia itu anaknya juga susah tidur
sih. Mangkannya gue sempet heran pas tau jam segini dia belum bangun."
Jelas Hanum panjang lebar.

"Terserah lo deh mbak. Naik darah gue lama-lama ngobrol sama lo." Jawab
Elena ketus yang langsung mendapat cibiran dari Hanum.
"Ya udah gue jalan dulu ya."

"Eh Len tunggu gue anterin.," Teriak Hanum sambil berlari menyusul
Elena.
Malu setengah hidup

Tersenyumlah sebagai mana semestinya. Dan menangislah sewajarnya.


Jangan terlalu memaksakan sesuatu yang bisa saja menyulitkan mu.

***

Elena duduk santai dengan berkas-berkas di depannya. Menjadi manager


tidak selalu membuat dia bisa berleha-leha dan bersantai. Contohnya hari
ini, karna sudah hampir satu minggu mengambil cuti. Akhirnya tugas dia
menumpuk dan butuh perhatian penuh. Bahkan waktu sudah menunjukan
jam pulang pun, dia tidak ada tanda-tanda akan beranjak pulang.

Karna Elena menikah tidak memberi tahu satupun anak-anak caffe. Banyak
yang penasaran dengan cuti yang diambil Elena. Termaksud salah satunya
Yuli.

Dari pertama Elena menginjakan kaki di caffe Yuli sudah seperti wartawan
yang banyak pertanyaan, tingkat keponya bahkan sudah meraja lela.
Beruntung dia diselamat kan dengan kehadiran Hanum.

Karna tidak lama Hanum masuk menyusulnya, dan membuat Yuli langsung
melarikan diri karna takut kena omelan Hanum, bosnya. Bosnya itu kalau
lagi marah kayak singa betina yang kehilangan anaknya, nyeremin ples
nakutin.

Di jam istirahat juga Yuli selalu mencuri-curi kesempatan untuk mengorek


informasi padanya. Benar-benar tingkat penasaran anak itu sudah kronis
sepertinya. Bahkan Yuli tidak gentar dengan tatapan kesal Elena, yang ada
bocah itu malah terus bertanya ini, itu yang tambah membuat kepala Elena
serasa mau pecah mendengarnya.
Dengan perasaan dongkol setengah hidup, dia langsung mengomeli Yuli
dengan kata-kata pedasnya. Dan Elena bersyukur karna semua itu berhasil,
Yuli langsung ngacir lari dari ruangan Elena dan tidak kembali lagi.

"Woy. Sok sibuk banget sih lo." Teriak Hanum yang mengintip lewat selah
pintu yang dibuka sedikit, hanya kepalanya yang masuk sedang badanya
ada di luar.

Mendongak sebentar, Elena kembali menunduk memeriksa berkas-berkas


begitu tau Hanum yang bertanya. Sama sekali tidak ada niatan untuk
meladeni.

Gak bawahan, gak bos sama aja. Seneng banget gangguin hidup orang.

"Najisss. Gue dicakangin." Ucap Hanum sambil masuk lebih dalam


keruangan Elena.

"Berisil lo, mbak."

"Ck. Kalau bukan karna ancaman adek gue, ogah gue masuk keruangan lo.
Mana suruh nganter lo pulang." Dumel Hanum yang masih didengar Elena.

"Lo ngomong apa mbak?" Tanya Elena.

"Gak usah pura-pura gak denger deh lo, Len!"

"Ck, ya udah terserah."

"Buruan deh Len, lo siap-siap. Gue anter balik!" Ucap Hanum sambil
berjalan ke arah sofa, duduk dengan santai.

"Gue bisa balik naik taksi, lo balik duluan deh mbak. Masih banyak solanya
kerjaan gue." Tolak Elena tanpa mengalihkan perhatianya dari berkas-
berkas. Kerjaannya benar-benar banyak sekarang. Walau dia tingkahnya
ajaib dan kadang nyeleneh tapi dia adalah sosok yang bertanggung jawab
kalau masalah kerjaan. Hanum selalu puas dengan hasil kerjanya. Bukan
karna mereka akrab ya. Tapi karna bawaan Elena yang selalu bisa
diandalkan oleh Hanum.
"Emang lo udah tau alamat apartemant Dipta?" Tanya Hanum sanksi. Karna
adiknya tadi berpesan untuk mengantar Elena pulang, karna wanita itu
belum tau jalan arah apartemant. Bisa saja Hanum memberi alamat
apartemant Dipta tapi saat mendengar Dipta tidak setuju dan menyuruh
Hanum yang mengantarnya membuat ide jail Hanum langsung keluar.

Eh iya ya gue sampe lupa. Mana gue gak punya nomor hpnya Dipta lagi,
mau pulang ke mana coba gue? Kalau ke rumah mama Laras udah jelas
bakal dapat sidang panjang lebar gue. Belum omelan yang bikin pengeng
kuping. Kalau ke mama Isa lebih gak mungkin bisa mikir yang aneh-aneh
dia. Batin Elena sambil menepuk kening dengan sebelah tangan.

"Oh iya ya gue lupa, mbak. Ya udah deh gue beres-beres dulu."

"GAK PAKEK LA-MA." Ucap Hanum menekan setiap kata.

"Bawel lo mbak."

Membereskan semua berkas-berkas di atas meja. Elena langsung bersiap-


siap untuk pulang.

***

Jam tujuh malam Elena baru sampai di depan apartemant Dipta, Hanum
tidak bisa mengantar sampai dalam karna ada janji makan malam dengan
suaminya.

Walau sudah diberi tau oleh Hanum apartement Dipta berada di lantai
berapa dan Unit berapa. Tidak membuat Elena langsung tenang, karna ini
kedua kalinya dia masuk ke gedung ini. Bagamana jika sekuriti atau
penjaga apartemant bertanya aneh-aneh padanya? Maklum ini adalah
apatemant kelas atas jadi bukan sembarang orang bisa keluar masuk.

Saat baru sampai di lobi, senyum Elena langsung mengembang saat


matanya menangkap sosok Dipta yang berdiri di lobi.

Apa Dipta nunggu gue?


Melangkah dengan langkah lebar, senyum Elena tidak luntur sedikit pun.
Saat mendapati suaminya juga sedang menatap ke arahnya.

"Hai." Sapa Elena ringan setelah sampai di depan Dipta.

Dipta langsung melengos begitu Elena berdiri di depannya. Bahkan tidak


membalas sapaan Elena sama sekali.

Elena melongo melihat Dipta yang pergi tanpa membalas sapaannya.

Kampret gue dicueki. Ini orang gak ada manis-manisnya sih. Senyum dikit
kek buat balas sapaan gue.

Menggelengkan kepala dramatis, Elena mengikuti Dipta dari belakang.


Tidak ada obrolan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Bahkan
sampai lift pun Dipta masih bungkam, tanpa mau repot-repot membuka
mulut untuk mengajak Elena mengobrol.

Elena yangg masih sedikit dongkol karna sapaannya dicuekin memilih


diam.

Malas banget gue ngajak ngobrol papan seluncur, bukan ditanggepi yang
ada gue dikira radio rusak lagi ngoceh gak jelas.

Keluar lift Elena langsung jalan lebih dulu dari Dipta. Bahkan langkahnya
dibuat selebar mungkin agar pria itu tidak bisa mengejarnya.

Bodo amat bakal gue bales lo. Dulu pernah ninggalin gue.

"Len." Panggil Dipta yang sama sekali tidak Elena gubris atau jawab, boro-
boro jawab ngeliat aja Elena udah malas.

"Elena?" Ulang Dipta lebih kuat.

Panggil aja deh terus sampe mulut lo berbusa jangan harap gue bakal
berbalik dan nunggu lo. Mimpi. Teriak Elena dalam hati sambil menahan
senyum.

"Elena?" Panggil Dipta lebih lembut.


Elena hampir jatuh tersandung kakinya saat mendengar Dipta
memanggilnya lebih lembut. Itu tadi yang manggil gue Dipta bukan sih?
Menetralkan raut wajah sebisa mungkin Elena menahan senyum di
bibirnya. Merasa menang karna berhasil balas dendam pada suaminya.
Berbalik menghadap Dipta.

"Apa?" Tanya Elena terdengar galak.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Dipta. Dengan sebelah alis terangkat tinggi.

Mengerutkan alis bingung. Jawaban Dipta lewat telunjuk langsung


membuat Elena malu setengah mati.

"Apartemant kita di sini." Ucap Dipta memperjelas.

Ember, mana ember? Please gue butuh ember sekarang. Muka gue butuh
ember sekarang. Mama Elena maluuuuuu. Gue butuh ember buat nutupin
muka gue.

Sangking malunya rasa-rasanya Elena ingin guling-guling. Nasib punya IQ


jongkok ini susah banget mengingat sesuatu.

Tidak menunggu reaksi Elena lebih lama. Dipta langsung masuk lebih dulu
ke dalam apartement. Mengabaikan wajah merah istrinya dan pandangan
Elena yang siap menguliti Dipta detik ini juga.

Elena yang melihat suaminya meninggalkannya untuk kesekian kalinya


ditambah dengan perasaan malu setengah hidup cuman bisa kembang-
kempis menahan emosi. Semua amarah yang bergejolak seakan hilang
digantikan rasa malu yang luar biasa menggunung. Ditambah suaminya
terlihat tidak perduli sama sekali membuat Elena cuman bisa menghentak-
hentakan kakinya kesel.

Ada gak sih tempat buat tuker tambah suami, gue mau tuker kalau ada?

👇
Gimana babnya? Ringan banget gak sih? Boleh kan tinggalkan
jejaknya di sini
Judulnya tentukan sendiri

Elena sedang sibuk memasak di dapur apartementnya. Untung isi kulkas di


apartement Dipta sangat lengkap hingga dia tidak perlu pusing untuk
masalah memasak menu makan malam mereka malam ini.

Sambil memutar lagu lewat ponselnya, Elena tampak asik sambil sesekali
bersenandung ketika tau lirik lagu yang didengar. Sedang Dipta jangan
tanya suami papan seluncur Elena itu.

Dipta masuk ke dalam sebuah ruangan saat mereka pertama kali masuk
apartement tadi, dan belum keluar sampai sekarang. Dipta juga tidak
masalah, selain dia masih malu juga Elena butuh waktu untuk
mempersiapkan diri jika nanti bertemu Dipta.

Daaasar kau keong racunnnn

Baru kenal eh ngajak tidur

Ngomong gak sopan santun

Kau anggap aku ayam kampung..

Kau rayu diri ku

Kau goda diriku

Kau colek diriku

Hei kau tak tau malu

Tanpa basa basi kau aajak hapy hapyyy


Yuuhuuuuuuuiuu tarik manggggg

Lagu itulah yang keluar dari mukut Elena. Dia terus bernyanyi sambil
teriak-teriak heboh. Kalau di rumah gue pasti diomelin sama mama ini.
Nyanyi kayak begini, untung gue diapartement elite jadi mau teriak kayak
gimana pun pasti gak ada yang denger. Kedap suara ini pasti ruanganya.
Kiren terkikik geli membayangkan asumsi yang ada di dalam pemikiranya
sendiri.

Gak nyesel deh gue nikah sama papan seluncur model begitu. Kalau bisa
buat gue bebas dari omelan mama.

"Apa kamu tidak ada kerjaan lain selain teriak-teriak tidak jelas, Elena?"
Suara dingin Dipta mengagetkannya, yang sedang menyusun ayam goreng
dipiring. Untung reflek Elena sangat cepat hingga bisa menahan piring yang
hampir jatuh.

Astaga. Apa orang satu ini gak bisa liat hidup gue tenang sebentar aja.
Kenapa sih selalu bikin gue kaget. Untung jantung gue udah mulai terbiasa
sekarang, coba kalau gak bisa copot mendadak kan.

"Apa sih. Ganggu aja." Ketus Elena masih dalam mode ngambek.

Berjalan ke maja bar, dan meletakan sepiring ayam goreng di sana.


Bergabung dengan masakan yang lain. Tersenyum cerah, Elena memandang
bahagia hasil masakanya. Ada ayam goreng, tumis brokoli dengan hati juga
ada sambal tempe favoritnya.

Dipta mendengus keras mendengar jawaban istrinya. Istrinya itu benar-


benar hebat dalam menguji kesabarannya, belum genap seminggu mereka
menikah tapi lihat sudah berapa kali Istrinya ini bertingkah nyeleneh dan
menyebalkan. Membuat dia harus sering-sering menarik nafas untuk
bersabar.

"Ayo kita makan." Ajak Elena dengan suara ringan ketara sekali dia sedang
bahagia. Seolah melupakan kekesalannya.
Dipta menurut menarik kursi di samping istrinya dan duduk dengan
nyaman. Dia terus memperhatikan Elena yang terlihat luwes menyiapkan
makanan dipiringnya. Tidak sadar karna perbuatan sederhana istrinya itu,
sudut bibir Dipta terangkat tipis, sangat tipis malah.

Elena makan dengan tenang sesekali matanya melirik suaminya, Dipta.


Menerka-nerka apakah kira-kira dia menyukai masakanya atau tidak. Tapi
nyatanya expresi wajah Dipta tidak berubah sedikit pun. Masih tetap sama
datar, hanya saja bedanya makanya terlihat lebih santai dibandingkan di
rumah mama Isa kemarin, terlihat kaku yang kesanya dipaksakan.

"Gimana? Enak gak?" Tanya Elena setelah menggeser piringnya yang


sudah tandas habis, alias kosong.

"Hm." Gumam Dipta.

"Isss. Ditanya juga. Orang itu kalau nanya dihargai gitu loh, jangan cuman
ham hem ham hem doang." Omel Elena kesal.

"Selagi masih bisa dimakan dan makanannya habis kenapa harus


dipermasalahkan lagi sih?" Jawab Dipta malas-malasan. Terlalu malas
meladeni omongan ajaib istrinya.

Turun dari Kursi. "Ckk. Emang susah ya ngobrol sama papan seluncur,
bawaanya tensi mulu." Gerutu Elena.

Dipta tak berkomentar sedikitpun mendengar gerutu istrinya, hanya diam


memperhatikan Elena yang mulai sibuk dengan piring-piring kotor sambil
sesekali bersenandung. Tidak berniat sedikit pun untuk membantu.

Hampir sepuluh menit Dipta hanya diam, lama-lama dia berjalan kerah
Elena.

Elena yang mendengar suara kursi yang bergeser langsung menoleh


mencari sumbar suara. Nafasnya tercekat begitu melihat Dipta berjalan ke
arahnya dengan langkah lebar.
Menggeser tubuhnya ke samping hingga sampai pojok kitchen set dapur
ketika melihat Dipta terus berjalan ke arahnya.

Menutup mata ketika tangan Dipta telulur ke samping wajahnya.

Apa Dipta mau meluk gue, atau bahkan nyium gue? Di sini?

"Telinga saya sakit dengar suara berisik musik kamu." Ucap Dipta yang
langsung membuat Elena membuka mata.

Dilihatnya Dipta mengambil gadget Elena dan mengotak-atiknya tepat di


depannya. Menoleh ke arah Elena yang tampak diam seperti patung
membuat Dipta heran. " Kenapa?"

"Lo-kamu gak bisa apa ngomong gak usah buat aku takut." Ucap Elena.

"Kamu takut? Kenapa?" Tanya Dipta mengalihkan pandanganya dari gadget


ke arah istrinya sepenuhnya.

"Ya--." Elena terlihat berfikir mencari jawaban yg tidak akan membuatnya


malu.

Gak mungkin kan gue ngomong kalau cara jalanya kayak dia mau meluk
gue?

"Apa?" Tanya Dipta mencoba menunggu jawaban Elena.

"Lo keliatan serem tau kalau jalan sama expresi kayak gitu." Cerocos Elena.

Dipta menyentil kening Elena pelan.

"Apa sih, sakit tau." Ucap Elena sambil mengelus keningnya yang disentil
Dipta.

"Kalau kamu masih terus bilang lo-gue, aku bakal terus sentil kening
kamu." Jawab Dipta datar.

"Itu KDRT namanya."


"Kalau kamu gak mau disentil biasain pakek aku-kamu."

"Hissss. Ngeselin."

"Elena!"

"Iya-iya." Ucap Elena kesal sambil meneruskan mencuci piring yang


tertunda.

Selesai cuci piring Elena berencana untuk mandi karna sepulang dari kerja
tadi, dia belum membersihkan diri. Disebelah mana lagi kamarnya.

Elena celingak-celinguk mencari di mana keberadaan Dipta. Di mana lagi


papan seluncur itu.

Gue harus manggil dia gimana coba, masa mas? dikira mas-mas tukang
bakso kali, kalau abg? geli banget gue dengernya apa lagi dia. Apa sayang
aja kali ya, biar romantis....tis....tis..tis.

Senyum Elena mengembang begitu melihat Dipta keluar dari pintu coklat di
sampingnya.

"Kenapa?" Tanya Dipta begitu melihat Elena tersenyum memandangnya.

"Kamar nya di mana? Gu- aku mau mandi udah gerah." Jawab Elena sedikit
belepotan karna tidak biasa menggunakan kata aku.

Dipta berbalik ke arah pintu di belakangnya.

"Masuk."

"Ini kamar kita?" Tanya Elena begitu masuk.

Kamarnya tidak semenyeramkan kamar di rumah mama Isa. Karna di sini


dindingnya berwarna putih susu dengan gabungan warna biru dongker.

Ranjang king size berwarna putih berada di sebelah kiri dekat dinding kaca
besar yang membuat kita bisa melihat pemandangan indah dari kamar ini.
Tidak lupa ada empat lemari besaar berjejer rapi disebelah kanan. Kamar
besar ini nampak begitu tersusun rapi dan bersih, bahkan ada rak buku
super besar ditengah-tengah ruangan dengan sofa panjang berwarna biru
dongker di depannya. Terlihat sekali jika suaminya ini hobi membaca, karna
begitu banyak buku yg memenuhi rak besar itu.

Di samping tempat tidur terdapat dua meja nakas disisi kiri dan kanannya.
Tidak ada hiasan yang mencolok bahkan foto dinding pun tak ada di kamar
ini. Seharusnyakan foto pernikahan kami di pajang di sini.

"Semua baju kamu sudah di masukan ke dalam lemari itu." Ucap Dipta
menunjuk pada dua lemari besar di dekat pintu, sepertinya pintu kamar
mandi.

"Apa kita juga bisa menikmati pemandangan matahari terbit selain bulan
dan bintang di malam hari?" Tanya Elena mengabaikan ucapan suaminya.

"Hm, pergilah bukanya kamu tadi ingin membersihkan diri?" Ucap Dipta
sambil duduk di sofa panjang tadi dan terlihat sibuk dengan buku di
tanganya.

Mengabaikan ucapan Dipta, Elena tetap berdiri di tempatnya semula tanpa


bergeser seinci pun, karna dia sedang menikmati pemandangan yang super
indah saat ini.
Tetangga

Siang ini Elena dan Yuli nampak sibuk di caffe, mempersiapkan acaran
nanti malam. Karna malam ini caffe sedang dibooking untuk acara lamaran
salah satu pengunjung. Elena akan menjadi sangat sibuk dari hari biasanya.

"Len." Panggil Yuli pada Elena yang sibuk menyuruh anak buahnya
menyusun beberapa bunga.

"Apaan?"

"Gue baru engeh kalau lo pakek cincin dijari manis sebelah kanan?" Tanya
Yuli sambil memicing kan mata curiga.

Cincin. Cincin apaa? Pikir Elena.

"Oh ini, buat gaya-gayaan aja. Iya buat gaya-gayaan aja." Jawab Elena
setelah sadar cincin pernikahan yang dimaksud Yuli.

"Bohong. Lo kemarin ambil cuti jangan-jangan, nikah lagi." Tuduh Yuli.

Elena meringis saat mendengar tuduhan Yuli. "Apa, sih lo. Ngomongnya
sembarangan! Udah buruan itu lo kelarin nyusun bunganya, awas aja entar
siang belum kelar juga, gue potong gaji lo!!" Acam Elena.

Yuli menatap jengkel Elena. Atasanya ini ancamanya pasti gak jauh-jauh
dari potong gaji. Gak tau apa gaji Yuli itu seiprit, kalau harus dipotong lagi
gimana dia bisa nyambung hidup coba.

"Iya sih ya. Lo kan jomblo! Gak mungkin banget lo mendadak nikah,
kecuali kalau lo nikah sama jin baru gue percaya."
"Sekali lagi lo buka mulut, gue bakalan potong gaji lo." Ancam Elena
langsung saja membuat Yuli panik.

"Iya, iya. Ibuk Elena yang terhormat."

Elena berdecih pelan. "Ck. Malah ngeledek lagi lo."

"Woy Elena." Teriak Hanum sambil berjalan ke arah Elena, membuat


perhatian wanita itu teralihkan.

Elena mendelik. "Lo gak bisa ya mbak normal dikit, gak usah teriak-teriak
gak jelas." Serunya kesal.

"Gue ada kabar gembira buat lo." Ucap Hanum mengabaikan teguran Elena.

"Apa'an?" Tanyanya bernada malas.

"Cus. Kita keruangan gue sekarang." Ajak Hanum semangat.

"Mau ngomong apa sih mbak?" Tanya Elena begitu sampai di ruangan
Hanum.

"Entar deh kita nunggu orangnya dulu." Ucap Hanum ambigu.

"Orang ? Siapa?"

"Entar juga lo tau." Ucap Hanum sok misterius.

Tidak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.

"Masuk." Teriak Hanum setelah mendengar suara pintu diketuk.

"Nah itu dia, Sini Dik masuk." Suruh Hanum begitu melihat pria jangkung
yang tadi sempat mangetuk pintu ruangan Hanum.

"Nah kenalin Len, ini Andika Chef baru kita di sini. Dan Dik kenalin, ini
Elena manager di sini." Ucap Hanum memperkenalkan.
Elena yang masih agak bingung, hanya menerima saja uluran tangan pria
jangkung di depannya.

"Andika." Andika mengulurkan tangannya ke Elena.

"Elena." Balas Elena menerima uluran tangan Andika singkat.

"Nah jadi Andika ini Len bakal jadi Chef menu makanan korea di sini, lo
ingetkan bulan lalu gue pernah bahas ini?"

Elena mengangguk dengan binar bahagia. "Wah berarti kita jadi keluarin
menu itu mbak?" Tanyanya semangat dengan senyum cerah di wajahnya.

Andika menoleh mendengar nada semangat Elena. Dia yang melihat


senyum cerah Elena sampai tidak berkedip.

"Yap. Dan gue udah pikir mateng-mateng buat ide ini." Jawab Hanum. "Ok
lo bisa anter Andika kenalan sama anak-anak yang lain kan Len?" Tanya
Hanum, Elena langsung mengacungkan kedua jempolnya.

"Yuk Dik." Ajak Elena.

*****

Elena hari ini pulang sedikit larut karna harus menunggu acara selesai.
Berhubung dia tadi naik taksi tidak membawa mobil alhasil sekarang dia
harus menunggu ada taksi lewat.

Gak mungkin kan Elena minta jemput Dipta, bisa hujan badai kalau pria itu
mau menjemput Elena. Jalan aja suka ditinggal apa lagi minta jemput bisa
langsung kena talak kali dia. Elena meringis membayangkan isi pikiranya
sendiri.

"Hai."

Elena menoleh mendapati Andika berdiri di sampingnya. Dengan senyuman


menghiasi wajahnya. Elena membalas senyum ramah Andika.
Cuman senyum loh gak yang aneh-aneh. Dia bakal setia kok sama suami
papan seluncurnya. Bisa digorok dia sama mamanya berani berpaling dari
mantu kesayangan Laras.

"Mau pulang?" Basa-basi Andika.

Elena mengangguk singkat.

"Mau bareng?" Tawar Andika lagi.

Mendengar tawaran Andika, Elena langsung sedikit panik. Bisa gawat kalau
Andika mengantar dia pulang, bisa terbongkar dong rahasianya. Mana dia
belum siap kalau harus memperkenalkan statusnya pada anak buahnya. iya
kalau mereka menganggapnya positif kalau negatif gimana?

Lagian siapa sih yang gak mikir aneh-aneh kalau tiba-tiba nikah, mana gak
pernah denger kabar pacaran terus tiba-tiba nikah siapa yang gak syok
coba? Belum lagi Dipta sering datang ke caffe bersama MANTAN
tunanganya, bisa dikira pelakor dia.

"Oh gak usah deh, gue mau mampir kesuatu tempat dulu soalnya."

"Gue gak masalah kok kalau nganter, lagi free juga."

Entah perasaan Elena saja atau bukan. Sedari tadi Andika selalu tersenyum
lebar jika bicara dengannya.

"Oh. Thanks deh buat tawaranya." Tolak halus Elena.

Andika tersenyum dan menganggukan kepalanya mengerti.

"Oh, itu taksi gue, gue duluan ya. Bye." Pamit Elena sambil tersenyum tipis
ke arah Andika. Terlihat sekali jika wanita itu mencoba menghindarinya.

"Oh. Ok hati-hati." Andika balas tersenyum manis pada Elena. Dia bahkan
sampai melambaikan tangannya ke arah wanita itu.

"Menarik." Gumam Andika pada dirinya sendiri.


Elena beberapa kali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir
jam sepuluh malam, sedang dia tidak mengatakan pada Dipta jika dia akan
pulang larut seperti ini. Lagiankan dia tidak punya kontak hp pria itu.

Lalu bagaimana dia mau memberi kabar suaminya? Bisa saja sih Elena
minta pada mbak Hanum tapi alasan apa yang akan dia berikan pada kakak
iparnya itu? Mana mbak Hanum itu orangnya nyebelin, bisa seharian dia di
bully.

Elena sedikit berlari ketika sudah memasuki lobi apartemen, selain buru-
bruu dia juga ngeri. Ini juga sudah larut bagi Elena, walau tidak gelap tapi
sudah agak sepi. Tau sendirikan dia itu penakutnya minta ampun.

Denting pintu lift disusul dengan pintu yang terbuka membuat Elena buru-
buru masuk. Menekan tombol angka 18, Elena menunggu tidak sabaran.

"Elena."

Elena menoleh dan matanya melotot begitu tau siapa yang berada satu lift
dengannya. Bahkan dia hampir terkena serangan jantung ketika dia melihat
orang yang baru dia tolak tawaranya beberapa jam yang lalu ada di satu lift
yang sama dengan dia saat ini.

"Andika?"

"Hai. Lo tinggal di sini?"

Untuk pertama kalinya Elena menyesal telah tinggal di apartement elite ini.
Kenapa kemarin dia gak minta rumah saja dengan Dipta, seenggaknya dia
bakal memilih rumah yang mahal agar anak caffe gak ada yang mampu
beli, dengan begitu Elena akan aman dengan rahasianya. Apa dia terlalu
jahat berfikir begitu sekarang?

"Iya." Jawab Elena gagap.

"Di lantai berapa?" Andika masih meluncurkan aksi keponya, lengkap


dengan senyuman di bibirnya. Entah sudah sejak berapa kali Andika
bertemu Elena hari ini, dengan pria itu yang selalu tersenyum lebar.
Elena meradang dalam hati. "Delapan belas." Cicitnya pelan.

"Oh ya? Wow. Kebetulan yang tak terduga macam apa ini?" Seru Andika
terdengar sangat senang.

"Maksudnya?"

"Kayaknya kita tetangga, gue juga lantai 18."

Ya tuhan. Bumi bisa tolong telan gue sekarang juga?

Setelah mendengar ucapan Andika, Elena hanya bisa diam. Semua kosa
kata yang dia miliki seakan hilang entah ke mana. Dia layaknya patung
yang hanya bisa diam.

Sampai lift membawa mereka ke lantai atas pun, Elena hanya bisa diam.
Baru ketika pintu lift terbuka, secepat kilat dia berlari dengan bibir serseru
cepat.

"Gue duluan ya, bye." Serunya terdengar tergesa. Tidak membiarkan lawan
bicaranya untuk sekedar membalas atau bahkan bertanya. Elena sudah
ngacir. Berlari ke arah apartemantnya.

Elena masuk dalam apartement dengan sedikit tergesa. Membuat Dipta


yang duduk di sofa menoleh padanya. Hanya menoleh tanpa menegur atau
sekedar berbasa-basi.

Saat melewati Dipta. Pria itu hanya melirik Elena sekilas, setelah itu sibuk
kembali dengan gedget di tangannya. Elena juga tidak menyapa atau pun
berbasa-basi taku-takut jika sapaannya akan diabaikan seperti di lobi waktu
itu. Alhasil dia hanya melengos dan masuk ke kamar.

Setelah menutup pintu Elena mendengus kesal, melihat suaminya yang


terlihat biasa-biasa saja padahal dia pulang hampir larut membuat sisi
perasaan Elena tersentil. Apa yang dia harapkan dengan suami dinginnya
itu?

Berharap Dipta akan menunggunya di lobi lagi, atau lebih tidak


mungkinnya lagi menjemputnya dengan sedikit rasa khawatir?
Cih sepertinya Elena terlalu berlebihan jika mengharapkan seperti itu.

Elena keluar dari kamar setelah mandi dan berganti pakaian menjadi baju
tidur daster bergambar lumba-lumba. Dia melirik suminya yang masih
duduk di tempat semula dengan posisi yang masih sama bemain gedget di
tanganya.

Dia udah makan malam belum ya, bingung gue mau panggil apa? Aneh gak
sih kalau gue panggil mas, marah gak ya kira-kira dia gue panggil begitu.

Elena terlihat mondar-mandir keluar masuk kamar, lama-lama membuat


Dipta risih dengan tingkah istrinya.

"Kenapa?" Tanya Dipta pada akhirnya. Meski sedikit datar.

Elena menoleh. "Em- itu. Kamu udah makan malam?"

"Ck. Dari tadi kamu mondar-mandir hanya untuk bertanya seperti itu?"
Decak Dipta sambil bersandar di sofa dan melipat tangan di dada menatap
Elena.

"Mau aku buatkan makan malam?" Tawar Elena mengabaikan pertanyaan


dan tatapan suaminya.

"Aku tidak lapar, lebih baik kamu istirahat."

"Tapi-" Ucapan Elena terputus, dia bingung mau bicara apa. Ada perasaan
yang mengganjal saat menatap mata Dipta. Apa Dipta marah padanya karna
pulang malam?

Jelas saja bodoh, suami mana yang tidak marah pada istrinya yang pulang
larut. Dan itu artinya--

Elena tersenyum senang memikirkan, jika Dipta marah padanya berarti


suaminya pedulikan padanya 'kan? Bolehkah dia berfikir begitu.

Mengabaikan Elena, Dipta beranjak bangun, masuk ke kamar. Tak ingin


ditinggalkan sendirian, Elena langsung menyusul masuk saat melihat Dipta
tidak menutup pintu kamar mereka.
Di sana Dipta tidur memunggunginya. Masih dengan senyum mengembang,
Elena berbaring di samping suaminya. Menatap punggung Dipta, selama
beberapa hari menikah dengan pria itu. Suaminya itu jika tidur selalu
menghadap ke arahnya, kadang malah memeluk erat dirinya.

Jadi terasa aneh ketika Dipta memunggunginya seperti ini. Walau pria itu
dingin tapi sikap dia kadang buat Elena senyum-senyum sendiri. Boleh gak
sih dia bilang kalau udah mulai suka Dipta?

"Mas." Panggil Elena.

Dih kok berasa adem ya gue panggil laki gue gitu. Harus sering-sering ini
biar Dipta ketularan adem, eh bukannya dia emang udah adem ya? Iya
sangkeng ademnya sampe omonganya juga adem. Adem kayak es batu.

"Mas marah?" Tanya Elena sambil mengulurkan tanganya ke punggung


Dipta. Dielusnya punggung Dipta yang nampak tegap di depannya.

Lagi-lagi keheningan yang menjawab, Elena beringsut mendekat ke arah


Dipta. Ingin tau seperti apa reaksi pria itu ketika Elena memenggilnya mas.

"Mas Dipta?"

"Ya udah deh kalau gitu." Ucap Elena menyerah karna merasa Dipta sama
sekali tidak merespon. Saat akan berbalik memunggungi pria itu,
pundaknya ditahan seseorang. Menoleh.

"Dosa tidur munggungin suami."

Elena mengerjap memandang Dipta, tersenyum. Suaminya nampak tampan


dibawah cahaya sinar bulan.

Merapikan rambut Elena yang sedikit berantakan ke arah telinga. Dipta kian
melebarkan senyumnya. "Kenapa sampai pulang malam?" Bisik Dipta,
tidak dingin tapi tidak juga terdengar ramah.

Duh gusti. Ini ngapain sih papan seluncur segala pegang-pegang rambut
gue? Bikin dag dig dug tau gak.
"Maaf."

"Aku tidak menerima kata maaf jika tidak ada alasan yang bisa diterima
dengan logis."

"Tadi di caffe rame banget, jadi gak mungkin pulang kayak jam biasa."

Menghela nafas Dipta memegang pundak Elena. "Kenapa gak bilang?"

"Aku kan gak punya nomor hp kamu." Cicit Elena.

Wajah Dipta kian berubah kaku. Lalu D


helanafas gusar terdengar dari mulutnya. "Kamu mau menjalani rumah
tangga yang seperti apa sih Len?" Tanyanya terkesan datar.

Elena mengerjapkan mata berupang kali. Expresi Dipta terlihat datar,


bahkan rahangnya mengeras dengan sorot mata yang tajam.

"Kamu gak punya mulut untuk nanya? Ada mbak Hanum di sana kan?
Kamu bisa nanya dia atau minta tolong dia buat ngabarin aku." Ucap Dipta
kian dingin. Tidak ada nada tinggi disuaranya, pria berbicara pelan tapi
terasa dingin.

"Aku minta maaf." Cicit Elena kian mengkerut.

Berdecak cukup kuat. Dipta menatap istrinya kian datar. "Bahkan saat kita
akan menikah saya udah save nomor kamu."

Elena diam dengan kepala menunduk, air matanya bahkan sudah akan turun
jika saja dia berkedip. Merasa bodoh dan menyesal secara bersamaan karna
terlalu mengikuti gengsi. Kan jadinya diomelin.

"Lain kali saya gak suka kamu pulang larut tanpa memberi kabar. Saya gak
permasalahkan kalau kamu mau kerja, karna saya tidak mau ngekang kamu.
Tapi tolong hargai saya sebagai suami kamu, karna saya juga sedang
berusaha menghargai kamu sebagai istri saya."

Bodoh kamu Elena lihat, bahkan sekarang Dipta menggunakan kata saya
seperti dulu pas belum nikah. Bisik hati kecil Elena.
"Aku minta maaf." Cicit Elena dengan mata masih berkaca-kaca.

Dipta tidak menjawab matanya memandang Elena lekat. Tidak ada satu
kata pun yang keluar dari bibirnya.

Elena beringsut mendekati Dipta meletakan kepalanya di dada bidang


suaminya dengan tangan memeluk pinggang pria itu, tidak ada balasan dari
Dipta. Tapi saat mendengar isak kecil Elena, tanganya terulur menarik
wanita itu lebih mendekat.

"Maaf." Cicit Elena lagi.

Elena menyesal, dia sendiri bingung bagaimana mengatakannya.


Pernikahanya sangat mendadak membuat dia sendiri bingung harus
bagaimana bersikap. Dipta suaminya kadang terlalu dingin, sangat sulit
untuk ditebak. Mereka juga belum cukup lama saling mengenal satu sama
lain. Jika tiba-tiba dia bersikap berlebihan seperti seorang istri bukan kah
akan terasa aneh?

Elena butuh waktu untuk mengenal. Apa lagi dia tidak tau bagaimana harus
bersikap menjadi istri yang baik versi pria itu. Suami Elena kan beda dari
yang lain.

"Ssttt. Kenapa menangis? Aku gak marah, aku hanya ingin kita bisa
bersikap lebih wajar seperti suami istri lainya."

Elena mendongak masih dengan air mata di pipinya bahkan hidungnya


sudah merah. Dipta sampai terkekeh pelan melihatnya. Istrinya nampak
lucu dengan hidung dan pipi merah karna habis menangis. Elena yang baru
pertama melihat suaminya terkekeh sampai tidak berkedip karna merasa
takjub.

Ganteng banget sih laki gue kalau ketawa gitu. Gak papa deh gue nangis
tiap malam asal bisa liat senyum ma ketawanya. Teriak hati kecil Elena
senang.

"Elena,. Apa aku bisa minta hak ku sebagai suami sekarang?" Tanya Dipta
lembut.
HAH

Hanya kata itu yg keluar dari bibir Elena dengan pikiran blank. Gimana
enggak orang habis nangis langsung dimintai jatah sama suami? Siapa yang
gak syok coba?
Gagal lagi?

Biarkan mentari pagi menghangatkan pagimu yang dingin.


Biarkan cahaya bulan menemani malammu yang gelap.
Dan biarkan aku ada di sampingmu ketika kamu kesepian.
Tak kan kubiarkan dirimu jauh dari pandangan ku.
Karna dirimu adalah tulang rusuk ku.

***

"Ssttt. Kenapa menangis? Aku gak marah, aku hanya ingin kita bisa
bersikap lebih wajar seperti suami istri lainya."

Elena mendongak masih dengan air mata di pipinya bahkan hidungnya


sudah merah sekarang. Dipta sampai terkekeh pelan melihatnya. Istrinya
benar-benar lucu jika seperti ini. Elena yang melihat suaminya terkekeh
untuk pertama kalinya sampai dibuat tidak berkedip karna takjub.

Ganteng banget sih laki gue kalau ketawa gitu. Gak papa deh gue nangis
tiap malam asal bisa liat senyum ma ketawanya. Teriak hati kecil Elena.

"Elena, Apa aku bisa minta hak ku sebagai suami sekarang?" Tanya Dipta
lembut.

HAH

Hanya kata itu yg keluar dari bibir Elena dengan pikiran blank. Gimana
enggak orang habis nangis langsung dimintai jatah sama suami? Siapa yang
gak syok coba?

Melihat Elena hanya diam membuat Dipta berfikir jika istrinya tidak
mungkin keberatan. Karna perasaanya sekarang benar-benar menginginkan
istrinya. Dipta mendekatkan wajahnya pada Elena, bersiap mencium
istrinya yang kini hanya diam menatapnya lurus. Bahkan matanya sudah
tertutup rapat. Tapi belum lama menutup mata tangan kecil terasa menutup
bibirnya rapat, membekapnya tanpa permisi. Matanya terbelalak begitu tau
tangan kecil istrinya yang menutup bibirnya.

Elena melihat Dipta yang menutup mata bersiap menciumnya terlihat panik,
dan bingung. Tangannya langsung menutup bibir Dipta yang berusaha terus
mendekat.

"Kenapa?" Tanya Dipta heran setelah menurunkan tangan Elena dari


bibirnya.

"Kamu keberatan?" Sambungya lagi. Wajahnya terlihat kecewa juga tak


terbaca.

"Ah itu ... Sebenarnya aku," Ucap Elena tersedat karna bingung bagaimana
menyusun kata-kata yang pas, biar tidak melukai harga diri suaminya. Elena
berusaha menghidari tatapan mata Dipta yang menuntut jawaban dengan
mencoba memperhatikan apa pun asal jangan mata suaminya.

Bingung sumpah.

Dipta gemas mendengar istrinya berbelit-belit. Apa istrinya menolaknya,


atau belum siap? Asumsi-asumsi buruk mulai berkeliaran difikiran pria itu.
"Apa Elena?" Tanya Dipta gemas. "Kamu belum siap?"

Elen menggeleng pelan.

"Terus?" Desak Dipta.

Elena kenapa sih, gak tau apa Dipta udah kebelet. Semua rasa udah jadi satu
karna hasrat yang menggebu-gebu pada diri Dipta, sedang istrinya malah
menolak tidak jelas alasanya. Kan buat kesel.

"Lagi ada tamu." Cicit Elena menahan malu.

Mengernyit bingung. "Tamu? Tamu apa?" Tanya Dipta yang belum


mengerti.
Tamu apa lagi ini, apa hubunganya coba tamu sama haknya. Istrinya ini
benar-benar pintar memainkan emosi Dipta.

Dengan pipi yang semakin terlihat seperti kepiting rebus, Elena menggigit
ujung bibir bingung bagaimana menyampaikannya pada Dipta.

Suaminya ini masa gitu aja gak ngerti sih? Batinya kesal.

"Tamu bulanan." Cicit Elena pelan.

Melongo, Dipta benar-benar melongo sekarang.

Ok. Fix Dipta yang sekarang syok. Dengan mata yang menatap Elena tak
percaya. Kenapa harus berbelit-belit coba, Dipta sampai gemas sendiri
dibuatnya.

"Sudah berapa lama?" Tanya Dipta pelan setelah menguasai keterkejutanya.

"Baru tadi." Cicit Elena tak kalah pelan.

Bukan cuman syok, bahkan sekarang Dipta mengumpat kesal. Elena yang
mendengar Dipta mengumpat bibirnya berkedut menahan senyum,
hidungnya pun sampai ikut berkerut gemas.

Suaminya ini, benar-benar penuh dengan kejutan.

"Kamu senang?" Tanya Dipta datar, Elena menggeleng cepat tak urung
bibirnya ikut tersenyum karna sudah tidak kuat menahan senyum.

Ihhhh suami akuh gemesin sih.

"Kamu ngetawain saya?"

"Aku." Koreksi Elena. Dipta mendengus kuat merasa menjadi bahan


ledekan istrinya.

"Siapa yang ketawa. Orang aku cuman senyum." Serunya dengan nada jail.

Dipta mendengus pelan mendengar ucapan Elena. Istrinya ini benar-benar.


"Sampai kapan?"

"Tujuh hari."

Bukan Cuman mengumpat, Dipta bahkan sekarang sudah memerah


telinganya. Entah malu atau menahan amarah, tapi yang jelas dia butuh
mandi sekarang.

"Kenapa lama sekali?" Kesal Dipta seakan tak terima.

Elena tertawa mendengar nada kesal suminya. Suaminya ini sudah seperti
laki-laki mesum yang butuh belaian. Dipta yang menyadari ucapan
bodohnya hanya mendengus dan mengalihkan pandanganya tak urung
bibirnya ikut berkedut menahan senyum, melihat istrinya tertawa lepas
karna dirinya terasa ada sesuatu yang menggelitik perutnya.

Elena menangkup kedua pipi Dipta dengan kedua tanganya, masih disela-
sela tawanya. Elena menggesek-gesekan hidung mancungnya dengan
hidung mancung pria. Mengabikan tatapn kesal suaminya.

Dipta tidak menolak dia bahkan sudah menarik bibirnya seperti bulan sabit
merasakan lembutnya hidung mancung istrinya. Apa mereka sudah
berbaikan, tapi bukankah tadi mereka tidak sedang bertengkarkan?

Lalu kenapa Dipta bisa sebahagia ini mendengar istrinya tertawa, anggap
dia sudah gila. Tapi dia tidak butuh mandi sekarang, yang dibutuhkanya
adalah memeluk istrinya dan tidur. Ya itu sudah cukup bagi Dipta.

"Mas udah gak kuat ya?" Goda Elena. Menarik turunkan alisnya.

Melepaskan tangan Elena di pipinya, Dipta mendorong kepala Elena


dengan telunjuk sebelah tanganya. "Hilangkan pikiran kotor diotak kamu."

"Siapa juga yang berpikiran kotor. Aku gak mikir apa-apa kok." Elak Elena
menggeleng kepalanya cepat.

Malu setengah hidup gaeeees.


Dipta hanya mendengus mendengar jawaban istrinya. Pintar sekali istrinya
berdalih. "Kita tidur sekarang." Ucap Dipta manarik Elena ke dalam
pelukanya.

Malam ini sepertinya menjadi malam yang tragis bagi Dipta, bahkan tadi
hasratnya sudah menggebu-gebu ingin disalurkan. Tidak bisakah tamu
bualanan Elena ditunda dulu, bahkan mereka belum melakukan malam
pengantin. Kenapa Dipta jadi kesal saat mengingatnya?

****

Elena mematut dirinya di depan cermin. Rambut ikal gelombangnya diikat


agak tinggi menjadi satu. Dengan pakaian rapi dia siap untuk berangkat ke
caffe. Melangkah keluar kamar.

"Udah mau berangkat?"

Elena tersentak dengan ucapan Dipta, suaminya duduk di sofa dengan kaki
di silang. Apa yang dilakukan suaminya di sini?

Melirik suaminya yang melangkah ke arahnya. Elena dibuat heran karna


seharusnya suaminya sudah berangkat dari tadi, lalu kenapa masih di sini
sekarang?

"Mas belum berangkat?" Tanya Elena mengabaikan pertanyaan suaminya


sebelumnya.

Dipta hanya menggeleng, tidak mau rept-repot menjawab.

"Ayo aku antar." Ucap Dipta berjalan lebih dulu dari istrinya.

"Gak usah deh mas, kita kan gak searah. Kalau mas anter aku dulu, mas jadi
muter-muter nantinya. Mending aku naik taksi aja." Tolak Elena.

"Aku gak menerima penolakan. Ayo!"

"Tapi-"

"Cepet Elena!" Perintah Dipta terdengar otoriter.


Elena mendengus kemudian mengikuti langkah Dipta yang lebih dulu
keluar.

Selalu deh gue ditinggalin. Kapan sih dia mau gandeng tangan gue. Kesel

****

"Mas tumben sih kamu mau nganter aku kerja?" Tanya Elena dengan siku
yang bertengger di atas dashbroad mobil lalu telapak tanganya menopang
dagunya.

Dipta nampak terganggu dengan Elena, bukan pertanyaannya tapi cara


wanita itu memandang dia terang-terangan membuat Dipta salah tingkah
sendiri. Dia yang kaku dan cuek sedang istrinya yang blak-blakan membuat
Dipta merasa aneh.

"Kamu bisa gak sih lihatnya biasa aja, jangan begitu." Kata Dipta sedikit
risih.

"Emang aku kenapa?" Tanya Elena tersenyum jail.

"Gak usah iseng bisa gak sih, Len?" Ketus Dipta, dia sedang nyetir dan
Elena memandangnya seperti itu. Bisa gagal fokus dia karna jantungnya
mulai berdetak tidak dengan semestinya.

Anjirrrr. Gue diketusin.

Elena menarik nafas dan bersandar di sandaran mobil, tapi dengan


pandangan masih ke arah Dipta.

"Mas tinggal jawab kenapa sih, kenapa ribet banget?"

"Kamu mau aku jawab gimana?" Tanya Dipta saat mobilnya berhenti di
lampu merah.

"Iya. Kemarin-kemarin kenapa gak nganter aku, kenapa baru sekarang?"


Tuntun Elena kesal.
"Aku baru tau kalau mobil kamu masuk bengkel kemarin, waktu mama
Laras nelpon katanya mobil kamu udah ada di rumah." Terang Dipta
menjelaskan.

"Mama punya nomor mas?" Tanya Elena tak habis pikir.

Sejauh mana sih dia tertinggal, sampai mamanya lebih percaya pada
menantunya dibandingkan dirinya. Yang notabenya anak kandungnya
sendiri.

Hello mama Laras yang terhormat, ini Elena anaknya lo.

"Kenapa?" Tanya Dipta kembali menjalankan mobilnya.

"Kok bisa mama punya nomor mas?" Tanya Elena agak panik.

"Kenapa memangnya? Emang apa salahnya mertua punya nomor ponsel


menantunya? Yang aneh itu kalau istri tidak punya nomor suaminya."
Sindir Dipta terang-terangan.

Elen yang merasa kena sindir, matanya langsung melotot galak.

"Mas nyindir aku?" Tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri dengan


telunjuk tanganya. Wajahnya ketara sekali sedang kesal.

"Kamu merasa tersindir?" Balik tanya Dipta melirik Elena menahan


senyum. Ternyata menjaili istrinya tidak buruk juga, mungkin sekarang dia
akan punya hobi baru yang bisa membuat moodnya sedikit baik yaitu
menjaili istrinya. Melihat istrinya kesal membuat dia merasa lucu dan
gemas secara bersamaan.

"Menurut mas." Ketus Elena kesal.

Dipta membuang muka ke arah samping kaca mobilnya, tersenyum. Wajah


jutek Elena benar-benar menghibur dia saat ini.

"Mas udah-udah turun di sini aja." Reflek Elena saat melihat caffe
tempatnya bekerja tidak jauh dari mobil suaminya, membuat Dipta
mengerut kening heran.
"Kenapa? Bukanya caffe kak Hanum masih lurus?" Tanyanya heran.

Elena yg sudah bersiap turun menoleh ke arah Dipta.

"Anak caffe kan gak ada yang tau kalau aku udah nikah sama mas."

Mengangkat sebelah alis "Terus?" Tanya Dipta yang belum paham.

"Aneh aja kalau tiba-tiba aku turun dari mobil mas, anak-anak pasti udah
kenal mobil mas kan?"

"Emang kenapa kalau mereka melihat kamu turun dari mobil aku?" Tanya
Dipta kelewat datar.

"Nanti dikira aku pelakor lagi." Jelas Elena sambil terkekeh pelan.

Elena memang bicaranya nampak biasa saja, cuman ada sedikit perasaan
tak nyaman ketika mengucapkanya. Sedikit nyeri dan ngilu tapi dia
berusaha menepisnya. Gak mungkinkan dia tiba-tiba langsung memiliki
perasaan lebih pada suaminya. Itu akan terasa aneh didengar.

Dipta langsung menoleh mendengar Elena berbicara. Sedikit tidak terima


jika ada yang berfikir jelek tentang istrinya. Apa pernikahan selucu ini,
hingga dia harus merasa tak nyaman dengan prasangka buruk tentang
istrinya.

Tapi dulu saat dia bertunangan dengan Citra, Dipta biasa-biasa saja ketika
Citra mengadu tentang pandangan buruk orang terhadapnya. Bahkan dia
terkesan cuek dan masa bodo. Lalu kenapa sekarang berbeda?

Dasar bodoh, tentu saja berbeda pertunangan dan menikah itu adalah dua
hal yang berbeda bodoh. Kata hati Dipta berkomentar.

Akhirnya Dipta diam tak berkomentar.

"Ok, aku turun ya? Terima kasih untuk tumpanganya mas Dipta." Ucap
Elena berusaha biasa saja dan sedikit menggoda Dipta. Tapi Dipta hanya
membalasnya dengan wajah datar alias super lempeng.
Merasa tidak mendapat respon tangannya sudah siap mendorong pintu tapi
tangan Dipta lebih dulu menahan lengan Elena yang bersiap turun.

"Kenapa?" Tanya Elena heran.

Dipta menyodorkan amplop putih kearah Elena yang di ambilnya dari laci
dasbor mobil.

"Apa ini?" Tanya Elena heran pasalnya Dipta tidak mengatakan apa pun,
dan tiba-tiba menyodorkan amplop.

Ini bukan surat ceraikan ya? Masa iya sih gue godain sebentar langsung
disodorin surat cerai. Mana gue nikah baru seminggu masa udah dicerai
aja. Mama ... anak gadis mu bentar lagi menjada.

Dipta menyentil kening Elena pelan. "Gak usah mikir yang aneh-aneh."

"Apa si Siapa juga yang mikir aneh-aneh?" Ucap Elena sambil membuka
amplop putih di tanganya. Matanya langsung melotot begitu tau isi di dalam
amplop itu.

Kartu hitam mengkilap, karna terlalu mengkilap hingga mata Elena terasa
silau. Anggap dia berlebihan. Tapi Elena bukan tidak tau kartu apa ini,
Elena sering melihat kartu seperti ini milik Hanum.

Anjiiiir. Ini gue dikasih kartu begini. Nyata gak sih?

"Mas ini?" Tanya Elena linglung.

"Kamu bisa gunakan kartu itu untuk membeli apa pun kebutuhan kamu dan
juga kebutuhan pokok. Jangan membeli apa pun menggunakan uang kamu
apalagi untuk kebutuhan kamu, karna sekarang kamu tanggung jawab mas."

Yes. Gue gak jadi menjanda. Mama, Elena gak jadi menjanda. Anak
gadismu gak jadi menjada. Teriak hati kecil Elena senang.

"Serius?" Tanya Elena terdengar senang.


Dipta mengangguk. "Kalau ada apa-apa kamu tau kan mulai sekarang harus
menghubungi siapa?" Balik tanya Dipta.

"Eh. Iya lupa. Aku kan belum punya nomor hp mas."

Dipta langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan


menghubungi seseorang setelah terdengar nada sambung bersamaan dengan
itu ponsel Elena ikut berdering.

"Kamu bisa save."

Duh duh laki gue baik bener sih ya. Bakal nyesel lo mbak yang udah
ninggalin. Mana cakep lagi. Tajir melipir.

"Ok makasih ya paksu. Siap-siap tagihan mas membengkak bulan depan."


Celetuk Elena asal sambil memasukan amplop putih ke dalam tas hitam
yang dia gunakan. Yang langsung membuat Dipta menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tingakah istrinya memang luar biasa ajaib.

Mengulurkan tangan ke arah Dipta, Elena terlihat seperti seorang anak ingin
meminta uang jajan.

Dipta memandang istrinya heran. "Apa lagi? kamu mau minta uang jajan?"
Tanyanya.

Elen tertawa lucu.

Suaminya benar-benar lucu. Sumpah. Elena gak boong.

Menarik tangan kanan Dipta, elena menciumnya pelan. "Lihat aku istri
yang baik, kan?" Ucapnya dengan suara yang kasat akan kepercayaan diri.

Dipta menggeleng kepala tak percaya, istrinya ini benar-benar unik.

"Bye. Paksu, Muaaaaaach." Teriak Elena yang sudah berada di luar mobil
dengan mencium telapak tangannya dan di arahkan ke arah Dipta. Melihat
Dipta hanya tersenyum mengejek ke arahnya, Elena langsung sedikit berlari
menjauh dari mobil Dipta.
Malu makkkk.

Dipta tersenyum melihat Elena yang berlari menjauh. Tidak salah dia
membatalkan meeting pagi ini demi mengantar istrinya. Karna sekarang
moodnya benar-benar baik. Dia bahkan hampir lupa sudah berapa kali pagi
ini dia tersenyum melihat tingkah pola istrinya. Sepertinya menghabiskan
sisa umurnya dengan gadis seperti Elena benar-benar tidak buruk.

Walau mereka belum lama mengenal tapi Dipta terlihat nyaman ada
didekatnya. Malah sekarang

Dia ingin ada didekat gadis itu terus. Hidup nya terasa sedikit berwarna
karna kehadir Elena. Istrinya.
Drama murahan

Elena duduk di meja bar dengan senyum yang terus terukir di bibirnya. Dia
benar-benar bahagia hari ini, pernikahanya pun terasa begitu manis akhir-
akhir ini. Gak salah dia nikah dengan anak konglomerat kalau ujung-
ujungnya dia dapat merasakan kemewahanya juga. Anggap saja dia mata
duitan atau matre tapi yang jelas perempuan mana sih yang gak bakal
bahagia kalau punya suami yang guantengg bingitzzz sampai buat mata
silau karna kegantenganya.

Dih kok gue jadi lebay sih.

Ah rasa-rasanya Elena sudah tidak sabar membayangkan akan setampan


apa anaknya nanti. Apa anaknya nanti akan mirip denganya atau mirip
suaminya. Tapi yang jelas anaknya pasti luar biasa sempurna nantinya.
Memipiki mama yang cantik seperti Elena, papa tampan seperti Dipta, plus
kaya raya. Bahkan sampai tujuh turunan pun tidak akan habis-habis.
Wow,perpaduan yang sempurna bukan?

"Sehat lo mbak. Dari tadi gue perhatiin senyum-senyum sendiri?" Sindir


Yuli yang baru selesai mangantar pesanan pelanggan.

Elena mendelik. "Lo ngatain gue?"

"Eh.. Bukan gitu mbak maksud gue." Panik Yuli. "Ngeri aja gitu liat lo
mbak dari tadi senyam-senyum gak jelas, takut lo ketempelan jin aja.
Sumpah." Sambung Yuli mengangkat jari telunjuk dan jari tengah seperti
huruf V.

"Jin pala lo botak." Ketus Elena.

Yuli yang mendengar nada ketus atasanya malah cekikikan tidak jelas.
"Mbak lo udah denger gosip terhangat belum?" Tanya Yuli mengalihkan
pembicaraan.

"Gue gak tertarik sama gosip-gosip gak berbobot yang keluar dari mulu
orang-orang kayak lo. Gak ada faedahnya juga gue dengernya." Ucap Elena
sambil memainkan ponsel di tangannya sambil sesekali melirik Yuli malas.

"Elah sombong amat. Serius ya mbak, ini itu beneran, lagi panas juga
soalnya. Anak-anak juga lagi pada ngomongin kalau adeknya mbak
Hanum-" Yuli sengaja menggantungkan kata-katanya ingin melihat
bagaimana reaksi atasanya begitu mendengar Yuli membahas adik bosnya
yang ganteng habis. Yuli tau atasanya ini kan penggila laki-laki tampan.

Mendengar Yuli menggantung kata-katanya membuat Elena menoleh cepat


ke arahnya. "Apa?" Tanyanya penasaran.

Tawa Yuli pecah mendengar nada kepo atasanya. Tadi aja sok jual mahal
menolak eh waktu denger cowok cakep langsung aja gercep.

"Upss. Mbak kan tadi gak tertarik ya, yaudah lah gue kebelakang aja gosip
sama anak-anak."

"Lo berani jalan selangkah aja dari sini, gaji lo gue potong setengah!"
Ancam Elena.

"Iss apa sih mbak dikit-dikit potong gaji."

"Mangkanya buruan cerita. Tanggung jawab lo, gue udah penasaran juga
mau main kabur aja." Omelnya kesal.

"Iya-iya."

Mendekat ke arah Elena, Yuli berbicara sedikit lebih menurunkan volume


suaranya.

"Adeknya mbak Hanum udah nikah mbak. Tapi nikahnya bukan sama
cewek yang sering dibawa ke sini."

Elena tersentak kaget.


"Lo tau dari siapa?"

"Dari sumber terpercaya lah."

Elena meringis. Sialan memang yang menyebarkan gosip murahan itu.

"Lo tau dia nikah sama siapa?" Tanya Elena sedikit was-was.

"Enggak." Jawaban Yuli sontak membuat Elena bernafas lega.

"Gue sih gak penasaran kenapa tu cowok gak jadi nikah sama tu cewek
mbak, cuman gue penasaran gimana muka istrinya sekarang lebih cantik
apa lebih burik. Kan sayang aja cowok secakep itu dapet istri yang burik."
Sambungnya.

"Burik-burik pala lo."

"Lah ngapa mbak yang sewot. Selow kali mbak. Emang mbak gak sakit hati
kalau adeknya bos kita dapet istri jelek, burik lagi. Apalagi biasanya kan
mbak, cowok kalau pacar atau tunangannya cantik dan gagal nikah pasti
istrinya jauh dari mantan-mantanya."

Suee. Yuli ngatain muka gue burik. Gue lakban juga entar muka ni orang.
Gak tau apa kalau gue ini bininya Dipta. Awas aja kalau status gue udah
terbongkar gue bejek-bejek ni orang.

Mata Elena langsung melotot begitu mendengar ucapan Yuli.

"Kalau menurut lo, gue pantes gak Yul, nikah ma cowok cakep begitu?"
Tanya Elena manarik turunkan alisnya.

Yuli nampak berfikir. "Gak ada pantes-pantesnya mbak."

"Iya lah gak pantes, orang gue cantik kayak bidadari gini, disandingin sama
papan seluncur model datar gitu. Ya gak pantes."

"Bidadari Comberan." Ledek Yuli.


"Terserah lo deh Yul, malas gue denger ocehan lo yang bikin sakit kepala."
Ucap Elena sambil mengusir Yuli menggunakan tanganya. "Udah sono lo
balik kerja butek otak gue liat muka lo lama-lama." Yuli langsung mencibir
mendengar kata-kata atasanya, tadi saja dia kepo giliran sudah tau ngusir.

*****

Elena memutarkan kepalanya ke kiri-kekanan mencari mobil Dipta. Setelah


pulang dari caffe dia berencana mengambil mobilnya. Tapi berhubung ingat
pesan suaminya yang menyuruhnya untuk meminta ijin jika akan pulang
terlambat. Maka dia meminta ijin dengan mengirim pesan. Tetapi emang
dasar suami tampan Elena yang selalu luar biasa dalam hal mengejutkan
jantung. Dengan santainya dia mengatakan akan mengantar Elena ke rumah
mamanya.

Elena sih senang-senang saja, toh dia jadi tidak pusing mencari-cari alasan
nanti kalau mamanya bertanya-tanya tentang Dipta. Suaminya.

Suara klakson mobil di belakang Elena membuat Elena tersentak kaget.


Melirik kesal sang pengemudi. Elena mendengus kesal karna tau suaminya
lah sang pelaku yang membuatnya terkejut.

Di sana Dipta duduk di belakang kemudi dengan santainya. Wajah kusut


dan lelah Dipta membuat Elena yang ingin marah karna kesal luntur sudah
tertelan di dalam tenggorokan. Mana berani dia marah-marah disaat mood
suaminya sedang tidak baik, bukanya suaminya yang takut yang ada, nanti
Elena yang berubah kisut.

Berjalan ke arah kursi penumpang di samping Dipta, Elena masuk tanpa


berkomentar. Perasaan kesal dan gondok Elena semakin bertambah ketika
suaminya terlihat cuek dan dingin tanpa bersalah karna sudah membuatnya
terkejut.

Dasar suami gak peka.

Dipta menjalankan mobilnya dengan cuek, tanpa mau repot-repot


memikirkan wajah kesal istrinya.
Hening sepanjang perjalanan tidak ada satupun yang membuka suara, Elena
yang sedari tadi mencoba mencuri-curi pandang suaminya pun. Lama-lama
kesal karna suaminya tidak mau mencoba berbasa-basi atau sekedar
meliriknya.

"Ekhm." Dehem Elena.

"Ekhhm Ekhmm."

"Itu mulut gak kesel apa dari tadi mingkem mulu." Gerutu Elena pelan,
bibirnya terasa gatal karna sedari tadi diam aja tau begini mending nebeng
Hanum.

Dipta yang tau jika istrinya sedari tadi mencoba melirik-liriknya pun tetap
cuek, dan masa bodo. Moodnya sedang kurang baik sekarang, apa lagi
badanya terasa lelah sekarang. Ditambah perutnya sudah demo minta di isi,
karna mulutnya sedang tak berselera alhasil Dipta hanya diam sambil
mendengarkan gerutu istrinya sedari tadi. Tapi Dipta tidak berbohong jika
perasaanya sedikit lebih baik ketika melihat Dipta ada di sampingnya.
Walau berisiki setidaknya dia sedikit terhibur.

****

Elena dan Dipta sampai di rumah Laras pukul tujuh malam. Elena langsung
berlari masuk begitu melihat pintu rumah mamanya terbuka lebar.

Apa ada tamu. Pikir Elena.

Elena berjalan ke arah dapur setelah mendengar suara mamanya dari sana.

"Ma."

Mamanya langsung menengok ketika mendengar suara Elena. Di sana


mamanya sedang terlihat sibuk memasak di depan kompor, sedang di meja
makan ada papanya duduk dengan tante Tuti dan anak gadisnya, Siska.
Mereka serempak menoleh ketika di belakang begitu Elena, dan Dipta
mengucap salam.
"Eh mantu mama." Teriak Laras sambil melangkah ke arah Elena, lebih
tepatnya Dipta. Karna Dipta sedang berdiri di belakang Elena.

"Sehat ma?" Ucap Dipta setelah mencium punggung tangan Laras.

"Alhamdulillah." Jawab Laras tersenyum cerah.

Elena yang berdiri di depan Dipta hanya melongo ketika mamanya lebih
memilih memberikan tangannya pada Dipta ketimbang dirinya yang berdiri
di depan Dipta.

Ini anaknya siapa sih.

"Kamu gak cium tangan mama?" Tanya Laras mengerutkan alis heran.

Elena langsung memutar bola matanya malas, tak urung menerima tangan
mamanya untuk dicium.

"Pah." Ucap Dipta ikut menyalami Herman yang duduk di meja makan
begitu pun Tuti, tante istrinya. Sedang Siska, Dipta hanya mengangguk
sopan. Yang dibalas senyum lebar Siska, tak urung tatapanya terlihat begitu
terpesona melihat Dipta yang begitu tampan malam ini.

"Lihat Len, suami kamu sopan banget beda banget sama kamu, datang
bukanya menyapa papa sama tante di sini malah angobrol sama Laras. Gak
cocok banget Len sama kamu." Cibir Tuti terang-terangan.

Elena yang mendengar tantenya mencibirnya hanya diam, sambil berjalan


ke arah papanya dan juga tantenya.

Wajahnya terlihat kesal bercampur malu, tapi tetap mencium punggung


tangan kedua orang tua itu yang duduk di meja makan. Sedang dengan
sepupu perempuanya Elena tidak mau capek-capek berbasa-basi. Melirik
pun Elena tidak, dia langsung berjalan ke arah mamanya.

"Mama masak apa?" Tanya Elena berusaha bersikap biasa saja. Cuek.

"Kamu lihat anak mu Man, gak ada sedikit pun basa-basinya." Tanya Tuti
meminta persetujuan Herman, papa Elena.
Sedang Herman diam tanpa mu repot-repot meladeni.

"Ya maklum lah mbak, Elena kan udah punya suami jadi jarang ke sini.
Maklum dia begitu, dia kangen sama masakan ibunya. Lagian kan Elena
baru pulang kerja, masih capek. Bukan pengangguran yang diam di rumah."
Balas Laras santai sambil berjalan ke arah kompor mengecek masakanya.

Elena mendengar Laras membelanya, hanya diam tak berkomentar tapi


tatapanya jelas menunjukan rasa lega. Karna mamanya tidak pernah tinggal
diam ketika keluarga papanya terus memojokannya.

"Jangan dibela terus Ras, nanti malah ngelunjak." Ucap Tuti.

"Nak Dipta gimana kerjaanya lancar?" Ucap Herman kepada Dipta yang
tidak memperdulikan ucapan Tuti, kakaknya.

"Alhamdulillah pa, sejauh ini lancar." Jawab Dipta yang duduk di samping
kanan Herman sedang Tuti duduk di depan Herman, dan Siska disamping
Tuti berhadapan langsung dengan Dipta.

"Nak Dipta di perusahaanya masih ada lowongan, ini lo Siska, anak tante
belum kerja. Anaknya pintar kok, rajin juga mana cantik kan. Dulu dia
pernah jadi sekertaris pokoknya gak akan malu-maluin apa lagi ngecewain."
Ucap Tuti manis.

"Kalau pinter kenapa gak nyuruh nyoba ngelamar sendiri mbak. Kenapa
harus pakek orang dalem, Elena aja dulu ngelamar sendiri ikuti semua
prosedurnya. Malah dia dari bawah memulai kariernya." Jawab Laras
sedikit ketus.

"Apa salahnya bantu saudara Ras, lagian gak mungkin perusahaan sebesar
nak Dipta gak ada lowongan. Siska ini bukan gak mau ngelamar sendiri
cuman anaknya sedikit pemalu." Tutur Tuti tak kalah ketus.

Pemalu dari hongkong yang ada mah malu-mluin kelessss. Cibir Elena
dalam hati.
"Nak Dipta baru pulang kerjakan gih istirahat dulu. Elena, antar nak Dipta
ke kamar biar istirahat." Ucap Herman melirik Elena.

Elena tersenyum terima kasih kepada ayahnya. Berjalan ke arah Dipta,


Elena menarik tangan Dipta yang berada di atas meja.

"Ayo mas." Ajakny semangat.

"Dipta istirahat dulu pah." Ucap Dipta mengikuti langkah istrinya.

Tuti yang merasa diacuhkan oleh semua orang mendumel kesal.

"Elena kamu gak pengen ngobrol dulu dengan Siska, nak Dipta juga kan
belum kenal dekat dengan sepupu kamu Siska." Ucap Tuti tak kehabisan
akal.

"Kenapa menantuku harus kenal dekat dengan Siska?" Tanya Laras tak
terima, matanya langsung melotot ke arah Elena sambil menggoyangkan
dagunya menyuruh Elena pergi membawa Dipta.

Lama-lama kesabaran Laras bisa habis jika meladeni kakak iparnya yang
sinting. Setelah Elena dan Dipta sudah melangkah pergi. Laras langsung
melirik kakak iparnya yang malah tidak tau malu menjawab dengan
santainya.

"Sebagai saudara kan harus saling mengenal." Sambung Tuti semakin


membuat Laras bertambah kesal.

"Elena, juga gak terlalu dekat dengan Siska kenapa suaminya harus dekat."

"Kamu gak suka ya Ras kalau anak ku Siska bisa masuk diperusahaan besar
seperti milik Dipta?"

"Kalau mau masuk seharusnya Siska itu mengikuti prosedur perusahaan


mbak, bukan malah menyuruh Dipta yang harus membawa Siska."

"Ya gak papa dong Dipta kan yang punya perusahaan, gampang aja bagi dia
buat masukin Siska kerja. Masa perusahaan sebesar itu gak ada lowongan."
Kekeh Tuti semakin menjadi-jadi.
"Walau ada lowongan Dipta gak akan asal memasukan orang bekerja di
perusahaanya mbak, karna perusahaan besar itu rata-rata pegawainya yang
berkopeten yang mengikuti prosedur perusahaan dari awal."

"Heleh. Toh dia gak akan rugi masukin Siska. Anak ku ini pintar, cantik,
modis, punya sopan santun dan berpendidikan tinggi. Bukan seperti anak
kamu itu bergajulan, urakan, masa jadi istri orang kaya pakaiannya gak ada
modis-modisnya. Aku kasih tau ke kamu ya Ras, jangan salahkan suaminya
jika nanti dia melirik wanita lain karna istrinya gak becus mengurus suami."

Wajah Laras sudah merah padam mendengar tutur kata kakak iparnya.
Sedang Herman sudah beranjak pergi karena telinganya panas mendengar
kakaknya selalu menjelek-jelekan anaknya. Bisa-bisa dia hilang kontrol dan
murka. Jika Laras tidak di sini Herman yakin dia pasti sudar berteriak
murka, istrinya itu walau galak dan sadis. Tapi selalu melarang Herman
berbicara kasar pada kakak kandungnya. Kata Laras, takut jika Tuti
tersinggung dan memutuskan persaudaraan mereka karna cuman Tuti
saudara tertua Herman. Jadi biarkan Laras yang mengurusnya juga
membalasnya, kalau Laras yang membalas kan setidaknya Tuti masih
berfikir jika suaminya masih menghargainya dan memihak padanya.
Dengan begitu persaudaraan mereka masih baik-baik saja.
Rindu

Dipta memandang punggung istrinya yang nampak sibuk dengan isi lemari.
Kamar sederhana milik istrinya ini nampak sepi, dan sunyi. Bukan dia
menutup mata dan telinga ketika terang-terangan saudara Elena mulai
mengolok-olok istrinya. Dia sebisa mungkin menahan amarah yang mulai
bergejolak di dalam dirinya. Tidak mungkin kan dia berteriak di depan
kedua mertuanya apalagi mengingat orang yang mengolok-olok istrinya
adalah kakak kandung ayah mertuanya.

"Nah, mas pakai baju ini mau gak?" Tanya Elena menunjuk kaos hitam
polos dengan celana pendek selutut berwarna khaki. Dipta mengangguk
sebagai jawaban. Toh baju dia tidak banyak di sini, karna waktu pertama
kali menginap di sini supir mamanya hanya mengantarkan beberapa potong
baju, tidak banyak.

"Gak papakan. Kita ikut papa sama mama makan malam dulu di sini, mas?"
Sambung Elena meminta persetujuan.

"Gak papa. Tapi kamu gak keberatan makan satu meja dengan mereka?"
Tanya Dipta mandang lekat wajah istrinya.

Elena bukan tidak tau kata mereka yang ditunjukan suaminya adalah tante
Tuti dan Siska anaknya. Mungkin, dia akan malu malam ini mengingat
bagaimana gencarnya tante Tuti tadi mencoba menyudutkannya di depan
keluarga dan suaminya. Apalagi nanti saat makan malam.

"Gak masalah sih, udah kebal juga aku sama omongan mereka." Ucap
Elena cuek sambil berjalan meletakan baju ganti Dipta di atas ranjang di
samping suaminya.
Sebenarnya tidak semuanya benar, sebagian hati kecilnya juga ngilu jika
tante Tuti selalu menyudutkannya. Berlagak jika selalu Elena yang bersikap
antagonis padahal sebaliknya. Tapi mau bagaimana lagi, akan semakin
runyam jika mereka langsung pulang tanpa ikut makan malam. Dan bisa-
bisa dipertemuan berikutnya dia benar-benar akan semakin dipermalukan.

"Ya udah gih mas bersih-bersih dulu, Elena mau keluar sebentar. Nanti
kalau mas butuh sesuatu mas bisa panggil Elena. Ok?" Kata Elena.

Elena sudah akan berbalik untuk keluar, tapi tiba-tiba Dipta menahan
lengannya. Elena menoleh. "Kenapa? Mas butuh sesuatu?" Tanyanya lagi.

"Kita keluar bareng. Kamu tunggu di sini sebentar, mas mandi gak akan
lama." Ucap Dipta mendudukkan istrinya di atas tempat tidur yang tadi di
dudukinya tadi.

Mas? Mas? Papan seluncur ini barusan panggil dirinya mas kan ya?

Duh bener gak sih ini apa gue cuman halusinasi.

Suara pintu kamar mandi yang tertutup menyadarkan Elena dari


lamunannya. Senyumnya langsung mengembang begitu sadar jika
suaminya selama ini tidak masalah jika Elena memanggilnya mas. Duh
suaminya terlihat manis kalau bersikap begitu.

Manis apa sih. Baru denger Dipta bahasain dirinya mas aja udah lebay lo
Len. Teriak setan dalam diri Elena.

Apa Elena boleh berpikir jika Dipta barusan terlihat benar-benar khawatir
padanya? Bolehkan dia berpikir begitu?

Boleh kok. Boleh banget. Siapa sih yang bakal ngelarang. Ck

Sembari menunggu suaminya yang sedang mandi, Elena berbaring miring


di atas ranjang sembari memainkan gadgetnya, menonton video di akun
Instagram miliknya. Matanya berbinar bahagia begitu video oppa-oppa
korea memenuhi layar ponselnya. Bahkan Elena sampai berubah telungkup
dengan sebelah telapak tangannya diletakan di bawah dagunya. Sebagai
penyangga.

"Ya ampun. Ya ampun. Gantengnya." Pekik Elena sendirian lalu terkikik


geli merasa gemas dan lucu sendiri.

"Siapa yang ganteng?" Tanya Dipta di samping telinga Elena dengan tangan
bertumpu di sisi kiri-kanan tubuh Elena sebagai penyangga. Bahkan Elena
sampai menahan nafas ketika melihat posisi suaminya yang terlihat seperti
memeluknya. Belum lagi aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya.

Wanginya....

"Ckk. Ternyata kamu lebih suka pria-pria cantik?" Sambung Dipta bangkit
dari atas tubuh Elena.

Setelah menguasai diri Elena ikut berdiri di samping suaminya. "Ini


ganteng ya, gak cantik." Protesnya.

"Mana ada cowok ganteng pakek bedak." Cibir Dipta tanpa perasaan.

Elena mendelik.

"Ck. Bilang aja mas cemburu. Iya kan?" Tanyanya menaik turunkan
alisnya.

Elena langsung mengaduh begitu keningnya disentil pelan oleh suaminya.


"Ngarang." Cetusnya.

"KDRT ini mananya." Sungut Elena kesal.

Mengabaikan istrinya Dipta beranjak keluar. Namun dengan itu bibirnya


ikut tersenyum tipis, merasa lucu saat melihat wajah kesal istrinya. Sedikit
banyak mengembalikan mood baik Dipta.

Di sana semua orang sudah berkumpul dimeja makan. Papa mertuanya


duduk di kursi tengah sebagai kepala rumah tangga, sedang sisi kiri ada
tante Tuti dengan anaknya di sisi sebelahnya. Sedang sebelah kanan papa
mertuanya ada ibu mertuanya Laras, Dipta berjalan ke arah sisi kosong
disebelah mama mertuanya disusul Elena istrinya duduk disisi kosong
sebelahnya. Jadi Dipta pas duduk berhadapan dengan Siska, yang sedari dia
datang sudah mulai mencuri-curi pandang padanya.

Cih dia kira Dipta akan tertarik padanya?

Elena mengisi piring Dipta dengan nasi dan beberapa lauk. Dipta tidak
berkomentar malah meletakan tangannya di atas kepalanya dan bergumam
terima kasih. Elena hanya tersenyum manis membalasnya.

"Ayo nak Dipta di makan." Ucap Herman ramah, Dipta hanya mengangguk
sopan menjawabnya.

Elena tersenyum puas begitu melihat Dipta makan dengan lahap. Tapi
senyumnya tidak bertahan lama begitu mendengar suara tantenya. "Nak
Dipta mau nambah ayam gorengnya?" Tawar Tuti.

"Siska tolong ambilkan ayam goreng buat nak Dipta." Sambung Tuti
menyuruh anaknya, Siska sudah akan berdiri ketika mendengar jawaban
Dipta.

"Terima kasih tante, tidak perlu repot-repot tapi saya lebih suka dengan
rendang mama Laras." Jawab Dipta kalem.

"Oh kalau begitu Siska-"

" Sayang bisa tolong ambilkan rendang!" Ucap Dipta memotong ucapan
Tuti membuat Siska langsung duduk dengan tatapan kesal.

Sayang..

Dipta barusan manggil gue sayang kan ya? Duh.. Duh.. jantung gue
langsung berasa mau salto denger dia manggil gue gitu. Aaaaaa mama,
Elena kan jadi seneng..

"Oh i-iya."

Elena tersenyum puas melihat wajah masam tantenya, dan lirikan sinis
sepupunya. Bodo amat dia lagi seneng sekarang.
Laras dan Herman saling lirik sambil menahan senyum.

"Nak Dipta kapan-kapan mampir ke rumah tante ya,? Nanti tante masakin
rendang spesial buat nak Dipta. Rendang tante itu gak kalah enak lo sama
masakan Laras." Ucap Tuti menyembunyikan wajah masamnya dengan
senyum manis yang terlihat dipaksakan.

"Menantuku itu mbak orangnya sibuk, jadi gak bisa keluyuran buang-buang
waktu." Kata Laras kesal.

Kakak iparnya ini memang benar-benar sinting. Mana ada orang tua yang
seperti ini, berlagak paling benar sampai-sampai menyodorkan anaknya
pada pria yang sudah ada yang punya. Kecuali kalau pria itu masih singel
itu sih tidak masalah, lah ini orang prianya sudah beristri apa bukan orang
sinting itu jika seperti itu.

"Gimana nak Dipta?" Kata Tuti mengabaikan tatapan kesal Laras.

"Dipta sih terserah Elena tante." Jawab Dipta sekenanya.

Mendengar jawaban Dipta wajah Tuti langsung merah padam. Antara kesal
dan marah.

"Nak Dipta tante kasih tau ya. Apa-apa jangan terlalu nurut sama istri, nanti
lama-lama ngelunjak istrinya."

"Ya gimana gak nurut tan orang Dipta cinta mati sama Elena." Celetuk asal
Elena.

Mengundang kekehan Dipta, dan senyum kemenangan Laras.

Melihat Dipta yang terkekeh, Elena langsung tertegun begitu pun Siska
yang duduk di depan Dipta. Tidak lama tapi cukup membuat jantung Elena
mau copot dari tempatnya.

Menoleh pada Elena. "Cinta mati ya." Goda Dipta geli.

Elena langsung menyengir bagitu digoda Dipta, tak urung pipinya tetap
bersemu merah. Maluuu.
Ternyata diam-diam suaminya bisa menggodanya juga.

Kalau biasanya perempuan digoda akan merona malu-malu. Berbeda istri


Dipta, digoda bukanya malu malah nyengir tak tau malu.

****

Gadis dengan surai panjang sepunggung berjalan santai memasuki gedung


caffe yang masih terlihat sepi. Maklum jam masih menunjukan pukul
delapan pagi, caffe masih bersiap-siap untuk buka. Karna caffe akan bukan
pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam untuk semua pegawai
bersiap-siap.

Satu bulan berlalu dan kini Elena menikmati waktunya seperti biasa. Pagi
ini wajah Elena terlihat murung, sudah dua minggu Dipta ada di luar kota
untuk perjalanan bisnis. Elena menjalani hari-harinya seperti biasa
menyibukan diri dengan pekerjaan agar sedikit melupakan suami tampanya.
Walau sebenarnya Elena mulai merindukan suara dingin Dipta.

Dua minggu ditinggal Dipta, Elena merasa kesepian. Walau mereka baru
dekat tapi Elena mulai sedikit terbiasa dengan suaminya. Meski tidak
berinteraksi seperti pasangan lain, karna suaminya yang minim expresi.
Setidaknya ada sedikit hal-hal manis yang sering pria itu lakukan untuknya.
Seperti mangantar Elena ke caffe, menunggu dia pulang, tidur berpelukan.
Dan sekarang Elena merindukan semua itu.

Walau, terkadang selesai bekerja dan istirahat di rumah, Elena


menyempatkan diri menghubungi Dipta. Dia bersyukur setidaknya
suaminya itu masing menyempatkan diri meladeni ocehan tak penting
Elena. Sesibuk apa pun suaminya tapi setiap kali dia menghubunginya,
Dipta selalu menyempatkan diri untuk mengangkat telponnya, atau
membalas chat yang Elena kirim padanya.

Jangan tanya selama Dipta keluar kota apakah pernah menghubungi Elena
atau tidak. Dan jawabanya adalah tidak. Suaminya itu tidak pernah sekali
pun menghubungi Elena. Jika mengharapkan Dipta akan menghubungimya
lebih dulu sama saja seperti mengharapkan hujan turun di gurun pasir.
Benar-benar langka.
Sekarang saja contohnya, dari kemarin Elena sibuk terus di caffe dan belum
sempat menghubungi Dipta. Maka Dipta tidak pernah ada inisiatif
menghubunginya lebih dulu. Elena sampai heran suaminya itu apa tidak
merindukannya.

Huuuuuftt.

"Pagi Len. Tumben loyo banget, kenapa?" Tegur Yuli yang sedang
merapikan meja saat Elena membuka pintu masuk caffe.

Elen tersenyum malas. "Pagi Yul, iya nih gue sibuk banget dari kemarin jadi
belum sempet minum vitamin."

Mata Yuli melebar sempurna. "Lo sekarang sering minum vitamin? Kok
gue baru tau ya kalau lo sering minum vitamin."

Elena hanya mengangkat bahu cuek menjawab Yuli. "Emang lo siapa,


sampai gue harus laporan kalau gue mau ngapa-ngapain. Teman bukan,
mama bukan, Apalagi pasangan." Ketus Elena seperti biasa.

"Najis." Kesal Yuli.

"Emang yang lo minum vitamin apa sih?" Tanya Yuli penasaran.

Vitamin suara ples-ples wajah laki gue lah.

Dengan wajah serius Elena menjawab." Lo penasaran ya?."

"Gue serius, pea."

Elena melirik ke sekelilingnya lalu mengisyaratkan Yuli mendekat. Yuli


sendiri langsung menurut mendekat ke arah Elena sangking penasaranya.

"KEPO." Bisik Elena yang langsung membuat wajah Yuli meregut kesal
karna berhasil dikerjain atasannya.

Tawa Elena pecah melihat wajah kesal Yuli. Setelah puas mengerjai Yuli,
dia berjalan ke arah ruanganya. Sepertinya menghubungi suaminya tidak
lah buruk.
Setelah menutup pintu rapat, Elena mencari ponselnya di dalam tas setelah
itu mencari-cari kontak Dipta. Begitu ketemu dia langsung menghubungi
Dipta bahkan deringan pertama langsung diangkat dan.

"Hallo." Suara dalam dan lembut itu terasa enak didengar telinga Elena.

Tukan jadi makin kangen.....

"Hallo mas."

"Iya, kenapa Len?"

His kok kenapa sih, dari kemarin gak hubungi sekalinya nelpon langsung
ditanya kenapa? Suaminya ini ngajak ribut kayaknya.

"Gak papa. Mas lagi apa?" Tanya Elena kalem dan manis sengaja
melembut-lembutkan suaranya agar Dipta tidak berfikir jika dia
merindukan suaranya setengah hidup.

Lama Dipta tidak menjawab, dia yang menunggu jawaban Dipta mengerjab
bingung. Suaminya tumben menjawab pertanyaan Elena lama, terlihat
sedang berpikir.

"Lagi dijalan ini, mau survei lokasi." Jawab Dipta pelan. Karna terlalu pelan
seperti sedang berbisik.

"Kak.."

Kening Elena mengkerut samar.

Itu suara cewek kan, ya?

"Len nanti lagi aku hubungi ya lagi sibuk soalnya." Ucap Dipta terdengar
panik.

Tanpa menunggu persetujuan Elena, Dipta langsung mematikan telpon.


Semua itu semakin membuat Elena merasa aneh. Suaminya beneran lagi
survei lokasi kan ya? Tapi kenapa perasaannya jadi gak enak.
Mungkin aja itu sekertarisnya?

Tapi sekertaris Dipta kan manggilnya bapak. Apa jangan-jangan?

Pertanyaan-pertanyaan negatif mulai berkeliaran di otak cantik Elena.

Bagaimana jika Dipta berbohong?

Bagaimana jika ternyata Dipta sedang bersama dengan wanita di sana?

Kenapa tadi Dipta terlihat sedikit panik dan buru-buru mematikan telpon?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sekarang hilir mudik di pikiran Elena,


dan sampai sekarang pertanyaan itu terasa mengganggu dirinya. Apa dia
harus percaya pada suaminya yang terlihat aneh hari ini?
Nyusul

Elena meletakan kepalanya di atas meja kerjanya, dengan posisi miring


bertumpu di atas telapak tanganya. Memandang nanar gadget yang ada di
depanya. Seharian ini ponsel Dipta tidak bisa dihubungi.

Elena terakhir menghubunginya kemarin pagi, itu pun hanya sebentar.


Padahal semalaman dia menunggu-nunggu, berharap Dipta akan
menghubunginya seperti janji pria itu sebelum menutup telepon kemarin.
Bahkan Elena sampai ketiduran menunggunya semalaman. Saat bangun
pagi pun, tidak ada satu pesan atau telepon yang berasal dari suami
tampannya itu .

Nyesek Rek..

Apa Dipta baik-baik saja?

Apa Dipta makan dengan benar?

Dipta gak lagi sakitkan ya?

Kok Dipta gak kangen gue sih?

Gimana kalau Dipta lagi sakit, terus gak ada yang ngurusin? Duh kan
kasian..

Semua pikiran-pikiran buruk berkeliaran di kepala cantik Elena. Bahkan dia


berulang kali menarik nafas dan mengeluarkanya untuk mereda perasaan
aneh di dadanya. Entah khawatir atau rindu Elena sendiri juga tidak tau.

Bener kata Dillan kangen itu berat. Bahkan lebih berat dari beban hidup
gue. Pantes Dipta kagak kangen gue, orang kangen itu berat.
"Len..." Panggil Hanum di depan pintu masuk ruangan Elena.

Seharian ini Hanum mencari-cari Elena, tapi batang hidungnya sama sekali
tidak kelihatan.

Tumben banget ni orang ngengkrem di ruangan. Pikir Hanum.

Elena hanya meliriknya sekilas tanpa mau repot-repot memandang kakak


iparnya itu lebih lama. Moodnya hari ini lagi anjlok plus tiarap, jadi Elena
lagi malas meladeni sifat sters Hanum.

Hanum melangkah mendekat ke arah Elena. "Kenapa lo?" Tanya Hanum


heran.

Pasalnya Elena yang dia kenal tidak pernah bad mood, loyo, letoy, galau
dan ngenes kayak sekarang. Melihat Elena yang seperti ini membuat
Hanum merasa aneh.

Langka loh ini, Elena bisa anteng, ayem tentrem begini. Jangan-janangan
lagi bokek ni orang?

Elena diam tidak menjawab.

"Woy, Elena." Panggil Hanum sambil menoel-noel pipi adik iparnya.

"Kenapa sih mbak?" Ucap Elena sambil menyingkirkan tangan Hanum dari
pipinya dengan kesal.

Kesel ihh ganggu aja, gak tau apa gue lagi bete, galauu, gegana karna
mala rindu yang melanda. Uhhh.

"Alhamdulillah. Gue kira lo ketempelan jin ruangan ini." Ucap Hanum.

"Berisik lo mbak. Sono ah keluar! Gue lagi malas liat muka lo." Usir Elena
pada Hanum menggunakan tanganya.

"Yeee. Ditanyain juga malah sewot." Ucap Henum. "Kenapa sih lo, Len.
Galau lo. Perasaan hari ini lo kayak gak ada gairah-gairah hidupnya. Tau
gak?"
"Enggak." Ketus Elena.

Udah tau lagi galau pakek nanya lagi.

"Kampret lo. Gue serius juga."

"Dah ah. Mood gue langsung tiarap denger suara lo mbak."

"Najis. Gini-gini suara gue kayak Luna Maya kali."

"Luna Maya. Luna Maya. Lucita Luna kali yang bener." Cibir Elena sinis.

"Lo kira gue laki jadi-jadian. Gue cewek tulen kali. Gak liat muka gue
kinclong begini." Ucap Hanum ketus.

"Muka kayak parutan kepala aja sombong." Celetuk Elena asal.

Hanum melotot.

"Mata lo katarak? Muka udah kelas artis dibilang kayak parutan kelapa."

Elena terbahak mendengar ucapan Hanum.

"Bahagia banget lo habis ngehina gue?" Sindir Hanum.

Elena lngsung mencibir Hanum kuat begitu tau jika Hanum mulai kesal.
Hanum yang mendapat cibiran Elena hanya diam, tidak membalas. Jika
Hanum balas bisa-bisa mereka akan berdebat sampai besok.

Akhirnya, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Sampai akhirnya


Elena kembali keposisi semula.

Galau...

"Len."

"Hm."
"Sakit lo? Gih pulang kalau lo sakit." Suruh Hanum menepuk punggung
Elena pelan.

Elena hanya diam tidak menjawab. Sambil terus memperhatikan ponselnya,


Hanum mendesah panjang melihat respon Elena yang hanya diam.

"Lo lagi ada masalah? Jangan-jangan lo lagi berantem lagi sama Dipta? Ayo
ngaku?" Tuduh Hanum memicingkan mata curiga.

Elena mendesis pelan melirik Hanum penuh protes. "Gimana mau berantem
kalau komunikasi aja jarang."

"Hohoho. Gue tahu sekarang. Jadi ceritanya lo lagi kangen ni ma adek


gue?" Ucap Hanum menggoda Elena dengan menaik turun kan alisnya.

Elena melirik Hanum malas. "Lama-lama gue lakban juga itu mulut lo
mbak." Ketusnya.

Mendengar nada ketus Elena Hanum langsung diam. Hanum melihat Elena
lama. Teman sekaligus adik iparnya ini sudah terlihat seperti zombi. Ada
lingkaran hitam disekitar wajahnya, bahkan make up tipis Elena tidak
terlihat, tertutup oleh wajah kusutnya.

Atau memang Elena hari ini tidak menggunakan make up? Wajah lelahnya
sangat ketara, raut wajahnya juga terlihat redup tidak secerah biasanya.
Sepertinya, adiknya Dipta berhasil membuat Elena melupakan kebiasaanya,
yaitu tetap terlihat modis dan fresh. Buktinya sekarang Elena terlihat awut-
awutan dan loyo.

"Lo gak ada niatan buat nyusulin Dipta?" Tanya Hanum.

"Lo kira dia di sana lagi liburan. Di susulin?"

"Ya Elah. Gak masalah kali. Gue aja sering susulin mas Dewa keluar negeri
kalau lagi perjalanan bisnis. Dia malah bahagia banget kalau gue susulin,
mana kita jadi bisa cinta-cintaan lagi." Cerita Hanum.

Elena diam nampak berfikir.


Apa yang bakal gue bilang ke Dipta kalau gue nyusulin dia? Dia bakal
mikir gue lebay gak sih,? Tapi kan gue kangen, lagian janjinya dua minggu
kenapa jadi lebih sih. Keselll ihh.

"Gimana? Lo mau nyusul?"

"Tapi kan gue gak tau dia di mana?" Bisik Elena pelan.

"Elah gampang itu mah." Ucap Hanum sambil mengibaskan sebelah


tanganya.

"Sekalian kita honeymoon di sana!!" Sambung Hanum semangat.

"Kita?" Tanya Elena bingung.

"Ya iyalah kita, siapa lagi?" Jawab Hanum. "Yuk siap-siap." Sambung
Hanum semangat.

"Sekarang mbak?" Tanya Elena terdengar ragu.

"Tahun depan. Ya iya lah sekarang, Elena!" Ucap Hanum gemas.

"Tapi kan-"

Hanum langsung memotong ucapan Elena, dengan menggoyang-goyangkan


jari telunjuknya di depan wajah. "Eit lo gak boleh protes. Dan, lo tenang
aja. Serahin semuanya ke gue. Dan lo cukup diam, liat dan nikmati
hasilnya." Ucap Hanum sombong.

"Terus kerjaan gue gimana dong? Gak enak kali mbak. Masa gue ijin terus."

"Lo pergi kan sama bos." Ucap Hanum menepuk dadanya bangga. "Jadi lo
gak perlu ijin, anggep aja kita kerja sambil liburan. Itung-itung kado
pernikahan lo dari gue."

"Emang bisa gitu?"

"Ya bisalah. Apa sih yang gak bisa Hanum Aindira lakukan." Ucap Hanum
bangga.
****

Elena terus melangkahkan kakinya mengikuti Hanum dari belakang.


Mengedarkan pandanganya ke sekeliling bandara.

Jujur ini kali pertama dia akan naik pesawat seumur hidupnya. Perasaan
takut, nerves, dan was-was bercampur aduk menjadi satu. Membuatnya
tidak bisa berpikir dengan jernih.

Dengan ragu Elena terus berjalan mengikuti Hanum yang berjalan santai di
depanya.

Wajah Elena langsung putih pucat begitu melihat pesawat sudah parkir
tidak jauh dari tempat berdirinya.

Sampai di ujung jalan, Elena menarik tangan Hanum yang berjalan di


depanya hingga membuat Hanum menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" Tanya Hanum bingung.

"Gue kayaknya takut naik pesawat deh mbak."

"Maksudnya?" Tanya Hanum kaget sekaligus tak percaya.

Ada ya, jaman modern begini orang masih takut naik pesawat?

"Perasaan gue gak enak mbak. Gue ta--takut sumpah." Cicit Elena pelan.
Hanum terbahak mendengar ucapan adik iparnya. Tidak menyangka Elena
yang notabennya pecicilan alias abstrak takut naik pesawat. Ini benar-benar
lucu menurutnya.

Elena cuman tersenyum kaku. "Ya udah santai aja. Gue ada obat tidur, entar
lo bisa minum pas di.dalam pesawat." Ucap Hanum menenangkan.

Semakin dekat pesawat yang akan ditumpanginya, semakin membuat Elena


merasakan tubuhnya panas dingin. Bahkan keringat dingin yang sedari tadi
membanjiri tubuhnya, semakin banyak hingga hampir sekujur tubuhnya
basah kuyup karna keringat.
"Len ayok.." Ajak Hanum yang sudah berdiri agak jauh dari Elena.

"Mbak gue takut. Serius deh. Sumpah demi apa pun, gue ngeri mbak." Ucap
Elena dengan raut wajah hampir menangis sangking takutnya.

"Santai aja kali Len. Pesawatnya gak bakal goyang, apa lagi sampai
nyungsep cuman gara-gara lo naikain. Orang ada supirnya ini. Udah ah.
Ayo buruan. Gak usah drama." Ucap Hanum santai sedikit menarik tangan
Elena untuk mengikuti langkahnya. Elena yang ditarik secara paksa oleh
Hanum hanya bisa pasrah sambil terus menggumamkan doa di dalam
hatinya.

Saat Elena dan Hanum sudah memasuki pesawat. Elena dibuat menganga
karna speechlessnya yang disuguhkan di dalam pesawat. Elena sampai
bertanya-tanya sekaya apa sebenarnya keluarga suaminya ini?

Bagaimana mungkin mereka menaiki pesawat semewah ini, bahkan hanya


ada beberapa orang saja di dalam. Itu pun kebanyakan

Hanum, bosnya ini mengenalnya dan menyapanya sopan.

Duh duh duh. Kayanya, kaya beneran laki gue.

"Len duduk sini." Ajak Hanum.

Pramugari menyuruh Elena duduk di samping Hanum. Dia hanya diam dan
menurut. Seolah Pramugari itu tahu jika ini kali pertama Elena naik
pesawat.

Apa dijidat gue tertulis BELUM PERNAH NAIK PESAWAT? Gitu banget
sih ya tatapan mbaknya.

Kemudian menerangkan prosedur saat penerbangan secara singkat, padat


dan jelas. Sedang Elena hanya manggut-manggut saja tanpa tau, otaknya
benar-benar mengerti atau tidak maksudnya. Setelah menawarkan minuman
dan beberapa makanan padanya, yang langsung Elena tolak dengan sopan,
paramugari langsung kembali ketempatnya semula.
Ya allah gini amat sih hidup gue, mau nyusulin suami aja harus pakai
taruhan nyawa. Awas aja lo papan seluncur kalau sampai ketemu, lo malah
bersikap cuek ke gue. Gue pites-pites lo kalau perlu sampai hancur lebur
kayak perkedel. Pokoknya lo harus bayar mahal pengorbanan gue. Ini gue
hampir jantungan naik pesawat. Kalau bisa mah, mending gue milih naik
mobil dari pada naik pesawat.

"Len lo gak papa? Muka lo pucet banget. Nih minum obat tidur." Ucap
Hanum menyodorkan capsul obat ke arah Elena.

Elena menerimanya dengan tangan gemetar, bahkan keringat di wajahnya


sudah sebesar biji jagung sangking takutnya. Setelah menerima capsul yang
disodorkan Hanum beserta air minum, dia langsung meminumnya tanpa
ragu. Berharap obat yang dia minum bisa membawanya ke alam mimpi.

Kan enak bangun-bangun udah bobok cantik aja di pelukan paksu. Dih
ngarep.

"Udah?" Tanya Hanum saat Elena menyodorkan gelas kosong yang tadi
disodorkan padanya.

"Udag rileks aja. Lo tidur aja entar kalau udah sampai gue bangunin." Ucap
Hanum.

Elena hanya mengangguk patuh, dan memejam kan matanya. Mungkin


obatnya sudah bereaksi karna sekarang Elena merasa matanya sangat berat
dan ngantuk luar biasa.

****

Elena menggeliat saat merasakan tepukan di pipinya.

"Len ayok bangun kita udah sampe." Ucap Hanum berusaha


membangunkan Elena.

"Kita udah sampe mbak?"

"Iya, ayo buru turun!" ketus Hanum.


Bukannya ikut turun Elena malah memeluk Hanum erat, kakinya sampai
loncat-loncat kecil saking senengnya.

"Len, apa'an sih lo? Jangan norak deh! Lepas!" Hanum dengan kesal
melepas pelukan Elena secara paksa.

Mengerucutkan bibirnya kesal, Elena menatap Hanum keki. "Gak seru lo


mba."

"Bodo." Ketus Hanum. "Ayo buru turun. Gue tinggal ni lo, gak mau turun."
Ancam Hanum melenggang pergi.

"Iya iya." Ucap Elena mengikuti langkah Hanum.

Pak su, i'm coming...


Bertemu

Elena memperhatikan pantulan dirinya dicermin. Gaun abu-abu dengan


aksen pita dipinggangnya membuat dia merasa aneh, baju kemeja dan
celana bahanya sudah berubah menjadi dress cantik berlengan pendek
berwarna abu-abu dengan aksen pita sebatas lulut. Tidak ada lagi celana
panjang yang ada hanya kaki jenjangnya tepampang jelas sekarang.
Ditambah dress itu sedikit memperlihatkn lekuk tubuhnya yang membuat
Elena sedikit malu.

Agak risih cuman saat beberapa pelayan toko mengatakan dia nampak
cantik dan anggun, membuat Elena sedikit PD.

"Nah liat, sekarang lo udah kayak upik abu yang berubah menjadi
Cinderella." Ucap Hanum menyadarkan Elena.

Setelah selesai membeli beberapa potong baju, Hanum langsung menarik


Elena ke salon. Merubah rambut lurus panjangnya menjadi sedikit
gelombang dengan warna kecoklatan. Elena sampai pangling melihat
perubahan wajahnya.

Emang duit gak pernah bohong ya, kalau cuman mau buat bikin cewek
cantik mah gampang. Batin Elena.

"Gimana udah siap ketemu Dipta?" Goda Hanum.

Elena dengan semangat langsung mengacungkan kedua jempolnya ke arah


Hanum. Membuat Hanum membalasnya dengan acungan jempol juga.

Gak sabar ni kira-kira gimana ya reaksinya paksu, liat gue yang udah
cuantekk gini. Elena cekikikan membayangkan pemikirannya sendiri.

"Yuk." Ajak Hanum menggandeng sebelah tangan Elena.


"Mbak lo yakin? Kalau dandanan gue gak aneh?" Tanya Elena sedikit was-
was.

Pasalnyakan, dia kan gak pernah dandan, mana dandanannya berlebihan


gini lagi. Ya gak berlebihan banget sih karna cuman pakai make up tipis
plus dress, tapi yang biasanya Elena pakai celana tiba-tiba harus pakai rok
kan jadi gimana gitu. Berasa aneh deh intinya.

"Tenang percaya sama gue. Kalau sampai Dipta gak terpesona sama lo,
berarti laki lo itu matanya udah mines atau yang lebih parah katarak. Gak
bisa bedain cewek cantik sama cewek burik."

"Najis, lo ngatain gue mbak?"

"Dih ngarang. Gue itu muji bukan ngatain bego."

"Lah itu burik?"

"Lah emang sekarang lo ngerasa burik?"

"Tau lah mbak, ngomong sama lo kayak ngomong sama tembok. Gak
dijawab bikin emosi kalau ngejawab malah bikin naik darah tinggi." Dumel
Elena.

"Dih gitu aja baper..."

****

Mereka tiba di hotel yang kata Hanum tempat menginap Dipta, hotel
mewah dengan gaya modern dan sedikit sentuhan klasik membuat Elena
semakin menganga takjub.

Belum lagi saat mereka baru pertama masuk, seorang pria paruh baya
langsung menghampiri Hanum.

Pak Johan, itu namanya. Seorang manager di hotel ini menyambut mereka
sopan dan ramah. Bahkan memberikan pelayanan yang menurut Elena
sangat berlebihan.
"Bagus mbak hotelnya."

"Iya dong hotel siapa dulu, laki lo." Ucap Hanum bangga.

Elena yang mendengar suaminya disebut langsung menganga tak percaya.


Ini yang salah siapa sih, suaminya yang terlalu kaya atau Hanum yang
emang udah gila? Yang punya hotel siapa, yang bangga siapa.

Duh duh gusti, sepertinya Elena mulai ikutan gila.

"Pak Jo kenal kan, ini Elena istri Dipta." Ucap Hanum memperkenalkan
setelah mereka duduk nyaman di meja bundar disalah satu restoran hotel.

Pak Johan sedikit tersentak mendengar wanita cantik yang berdiri di


depanya adalah istri atasannya. Sedikit membungkuk hormat, pak Johan
langsung memanggil beberapa pelayan untuk membawa barang-barang
yang dibawa Elena. Membuat Elena langsung merasa bingung.

"Biarkan kami yang membawa barang-barang ada nyonya." Tawar pak


Johan sopan.

Elena cuman menurut, membiarkan beberapa pelayan mengambil paper bag


yang ada di tanganya.

"Tolong antar ke kamar Dipta ya pak." Ucap Hanum yang langsung di


patuhi oleh pelayan yang membawa barang Elena.

"Lo mau keliling dulu atau istirahat di kamar?" Tanya Hanum.

"Gue keliling aja deh mbak, pengen liat-liat daerah sekitar sini juga."

"Nyonya mau saya temani keliling hotel? Hotel ini juga menghadap pada
pantai indah dengan pemandangan luar biasa nyonya. Di sini juga ada
tempat perawatan spa, kolam renang privat yang langsung terhubung
dengan lautan dan ada beberapa tempat kebugaran. Nyonya bisa
mengatakan pada saya ingin melihat-lihat yang mana?." Tawar pak Johan
ramah.

Wow. Seberapa kaya Dipta sebenarnya? Kenapa hotel ini begitu lengkap?
"Gak usah pak, saya sendiri aja." Tolak Elena halus.

"Baik lah kalau begitu saya permisi dulu nyonya. Kalau nyonya butuh
sesuatu, nyonya bisa memanggil saya langsung, atau beberapa pelayan di
sini, kami siap kapan saja melayani anda."

Duh enaknya jadi orang kaya apa-apa dilayani.

Elena mengangguk saja menjawab tawaran pak Johan di depanya.

"Mari saya permisi, nyonya Hanum, nyonya Elena."

Hanum dan Elena mangangguk kompak sebagai jawaban.

"Mbak kok bapak-bapak itu udah kenal lo sih?" Tanya Elena setelah pak
Johan pergi menjauh.

"Gue sering ke sini, kalau mas Dewa lagi dikalimantan. Dia juga kan
nginepnya di sini." Jelas Hanum.

"Suami lo juga sering ke sini mbak? Atau jangan-jangan sekarang lo mau


nagajak gue ke sini karna suami lo di sini lagi?" Tuduh Elena sambil
menyipitkan mata curiga.

Hanum hanya mengangkat bahu cuek.

Sialan, jadi maksud dia kemarin honeymoon bareng itu ini. Karna
suaminya juga di sini?

Elena langsung mendengus kesal melihat seringai Hanum, pantas saja


Hanum dari kemarin semangat sekali nyusulin Dipta. Orang suaminya juga
di sini.

"Udah gak usah kesel, lagian kalau laki gue gak di sini juga gue bakal anter
lo. Berhubung laki gue juga di sini, menyelam sambil minum air kan gak
masalah." Ucap Hanum sambil tersenyum bahagia.

"Terus mereka tau gak kalau kita ke sini?"


"Gak dong, kita buat surprise buat mereka." Ucap Hanum senang.

"Gimana kalau pelayan pak Johan tadi ngomong kalau kita ke sini?"

"Tenang masalah itu lo gak perlu khawatir. Sekarang yang terpenting lo


harus nurut sama gue biar berhasil."

"Gak yakin gue mbak sama rencana lo."

"Lo ngeremehin gue?" Tanya Hanum memicingkan mata.

Elena hanya mengangkat bahu cuek, wajah-wajah seperti Hanum ini pasti
gak meyakinkan kalau disuruh membuat surprise. Dulu saja saat mereka
ingin mengerjai anak caffe yang sedang ulang tahun, dan mereka semua
mengikuti ide Hanum, mereka malah gagal total. Bukanya berhasil dan
berjalan lancar yang ada malah mereka gagal dan terkena sial.

Elena berdiri dari duduknya. "Uda ah gue mau keliling, liat-liat sekitar
hotel." Ujarnya semangat.

"Nih." Hanum menyodorkan key card ke arah Elena. "Kalau lo capek


keliling lo bisa masuk ke kamar Dipta. Terus istirahat di sana."

Elena menerimanya dengan binar wajah bahagia. "Thanks ya mbak."


Ucapnya sambil melangkah keluar.

Waktunya memanjakan diri.

Elena terus melangkah mengelilingi hotel, angin sejuk langsung berhembus


ketika Elena sampai di jalan setapak arah ke pantai, di samping kiri kanan
dia terdapat beberapa pohon cemara, dan kelapa udara di sini benar-benar
sejuk. Pantas jika Dipta betah berlama-lama di sini tempatnya begitu
nyaman dan asri.

Elena tidak berhenti berdecak kagum bahkan pantainya begitu bersih dan
indah, suara ombak begitu merdu dan pasir putih bersih membuat dia
semakin betah berlama-lama di pinggir pantai ini.
Ketika terus berjalan menyusuri pantai, mata Elena langsung memicing tak
percaya ketika diujung pantai tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ada dua
anak manusia yang terlihat duduk di bawah pohon dengan beralaskan
karpet sedang bercengkrama layaknya sepasang kekasih yang sedang
menikmati indahnya sore di tepi pantai.

Tapi bukan masalah untuk Elena jika pria yang duduk di sana adalah pria
yang tidak dikenalnya. Dan, akan menjadi masalah besar jika pria yang
duduk di sana adalah pria yang dikenalnya. Pria yang sama, yang membuat
alasan dia jauh-jauh datang ke sini. Hingga mempertaruhkan nyawanya.

Nyawanya loh ini, yang cuman ada satu-satunya di dunia. Gak ada
serepnya. Gak ada yang memperjual belikan apa lagi sampai bergaransi.
Kan ambyar kalau sampai melayang ketika dia belum pernah merasakan
yang namanya malam pertama dan belaian mesra suami tampanya. Duh
Elena fokus.

Dengan perasaaan dongkol luar biasa dia melangkah lebar ke arah dua anak
manusia yang terlihat asik berbincang.

Berkacak pinggang."REVAN PRADIPTA." Teriak Elena menggelegar


seperti manusia yang sudah siap mencabut nyawa.

Dipta menjengit kaget saat mendengar ada yang berterik memanggil


namanya, matanya tambah melotot begitu tau siapa orang yang meneriaki
namanya.

Elena, istrinya, sedang berkacang pinggang dengan wajah merah menahan


amarah yang siap meledak kapan saja. Tapi bukan itu permasalahanya.

Bagaimana istrinya bisa sampai ke sini? Apa Dipta belum bangun pagi ini,
jadi berhalusinasi atau masih di alam mimpi?

Sentuhan lembut ditanganya menyadarkan Dipta dari keterkejutanya.


"Siapa Dip?"

Tatapan Elena benar-benar dongkol luar biasa sekarang, seakan dia siap
untuk memakan orang hidup-hidup termaksud dua sejoli yang malah asik
pegang-pegangan tangan itu.

Uhhh Elena mual rasanya melihat drama sore ini. Jadi dia jauh-jauh dari
jakarta langsung disuguhi dengan pemandangan yang meyakiti mata
seperti ini.

"Elena." Panggil Dipta, Elena mendengus kuat mendengar suara suaminya


yang memanggil namanya.

Melipat kedua tangan di depan dada, Elena memandang penuh marah pada
pria yang berusaha berdiri dan melangkah padanya.

"Sedang apa kamu di sini, Lena?" Tanya Dipta lembut. Sangking lembutnya
terasa mengalahkan angin yang berhembus di pantai ini.

"Kenapa emang aku gak boleh susulin suami aku yang lupa jalan pulang?"
Tanya Elena galak, ketara sekali jika dia sedang dalam mood yang tidak
baik.

Dipta tersenyum mendengar suara istri yang dia rindukan.

Nah kan suami Elena benar-benar ngeselin udah jelas-jelas ketauan


selingkuh, istrinya marah bukanya dibujuk malah dikasih senyuman begitu,
kan hati Elena jadi ambyar.

"Kenapa gak bilang kalau mau ke sini, hmm?"

Kalau gue ngomong, gue gak mungkin nangkep lo yang lagi mesraan kayak
gini bego.

Kalau biasanya Elena akan senang luar biasa mendengar nada lembut Dipta
berbeda sekarang. Rasa-rasanya ia ingin membabat habis siapa saja yang
memandang suaminya dengan tampang terpesona termaksud perempuan
yang sudah berdiri di belakang Dipta.

"Elena?" Panggil menyentuh menyentuh tangan Elena.

"Kenapa emangnya? Kamu gak suka kalau aku ada di sini?" Tanya Elena
ketus begitu melihat wanita yang bersama Dipta sudah berdiri disamping
suaminya.

Dipta tertawa lepas mendengar nada ketus istrinya. Bahkan perempuan


yang berdiri di sampingnya memandang takjub suaminya yang tertawa.

Woy mbak. Biasa aja dong lihatnya, situ gak pernah liat suami gue ketawa?
Najis iler lo hampir netes liat laki gue ketawa.

"Kamu marah?" Tanya Dipta disela-sela tawanya.

Elena yang melihat tawa Dipta untuk pertama kalinya, cuman melongo
bodoh.

Ihhh Dipta jangan ketawa mulu dong, gak liat itu muka temenya udah
megap-megap kayak ikan koi?

"Kamu udah makan?" Tanya Dipta setelah tawanya sudah reda.

"Dia siapa Dip?"

Elena menoleh. Menilai wanita yang berdiri di depanya, wajahnya sangat


cantik, ralat lumayan cantik untuk jajaran wanita-wanita yang sering Elena
temui, bahkan wanita seperti ini bisa bikin cowok noleh dua kali. Tapi harus
tetap ya, cantikan Elena anak mama Laras. Buktinya Dipta nikahnya sama
Elena gak mau sama yang lain. Elena tersenyum sinis melihat wanita itu
memandang penuh kagum pada suaminya.

Gue kasih pelajaran dulu ni cewek gak tau ya, kalau cowok yang lo taksir
ini udah punya bini.

"Dia istri saya." Jawab Dipta mantap.

Elena langsung menoleh cepat ke arah suaminya. Sedikit lega karna Dipta
masih memandang lurus ke arah Elena.

"Seriously?" Pekik wanita yang berdiri disamping Dipta. "Ops-Sory. Kapan


nikahnya kok beritanya gak nyampe ke aku?" Sambungnya lirih, ketara
sekali jika dia kecewa.
Woy mbak situ siapa sampai harus dikasih tau, presiden? Presiden aja gak
gue undang apa lagi lo.

"Beberapa bulan yang lalu." Ucap Dipta menoleh ke samping.

"Ehhm." Dehem Elena mencari perhatian Dipta.

Dipta menoleh. "Kenapa?"

"Aku haus." Ketus Elena.

Elena ini bukan cewek murahan ya. Walau Dipta sudah memperjelas
statusnya, tapi tetap aja gak bakal mempengaruhi rasa kesal dalam diri
Elena. Jadi perempuan itu gak boleh lemah.

Dipta mengulurkan tangan kananya ke arah Elena. "Mau balik ke hotel?"


Tawarnya lembut.

Walau masih kesal Elena tetap menerima uluran tangan suaminya.

Gak boleh nyia-nyiain rezeki kan?

Apa lagi ini yang pertama kalinya lo, suaminya mau gandeng dia. Jangan
bilang karna Dipta terpesona sama kecantika Elena yang terpendam? Jadi
dia mau gandeng Elena sekarang. Akhirnya Dipta sadar akan pesona Elena.

Duh senengnya. Besok dandan lagi deh biar bisa digandeng paksu lagi.
Ckk

Sebelum pergi, Dipta menoleh ke samping sebentar. "Jihan, maaf saya


duluan." Ucap Dipta formal.

Oh namanya Jihan to. Namanya gak secantik wajahnya- Eh sory wajahnya


gak secantik namanya

"Tapi meetting kita?" Protes Jihan terdengar tak terima.

"Kita lanjut besok, tapi kalau kamu keberatan nanti saya akan suruh
sekertaris saya untuk menggantikan saya di sini." Ucap Dipta tegas.
Em kalau Dipta begini makin cinta deh gue. Jadi pengen peluk..

"Ok deh, besok aja." Ucap Jihan lesu.

Dipta diam tidak berkomentar atau menjawab. "Yuk." Ajaknya pada Elena.

"Sampai jumpa meetting besok Dip." Seru Jihan sarat akan nada kecewa.

Elena mengangguk patuh. Mengikuti langkah lebar suaminya di depan.

Tidak ada yang membuka suara sepanjang perjalanan menuju hotel, Elena
juga masih sedikit kesal pada suaminya jadi terlalu malas jika harus
membuka obrolan. Kalau Dipta jangan tanya, sejak kapan suami tampan
Elena ini mau membuka suara kalau bukan karna mejawab atau bertanya
hal-hal yang menurutnya penting. Dipta kan gitu udah cuek, dingin lagi,
suka bikin Elena gemes-gemes cinta gimana gitu.

Elena memandang tautan tangan dirinya dan Dipta, suaminya itu terlihat
begitu erat menggenggam tangan Elena. Mau tidak mau sudut bibirnya
terangkat keatas.

"Jadi kita beneran pulang ke hotel? Atau kamu mau jalan-jalan dulu?"
Tawar Dipta.

Mauuuu gue mau jalan-jalan paksu. Tapi malu ah tadi kan gue udah bilang
haus, apa kata mbak Hanum kalau dia tau gue cuman bohong biar ngajak
kamu pergi dari klarap-klarap itu. Bisa habis diketawain gue.

"Kita bisa nyuruh pak Jo buat ngantar minuman kamu kalau kamu haus?"

Tawaran yang menggiurkan. Bisik Elena.

"Mau jalan-jalan ke mana?" Tanya Elena pelan. Tapi sarat akan rasa
bahagia yang tidak bisa ditutupi karna bibirnya mulai tertarik sedikit ke
atas.

Takut gue kalau ngomong kenceng-keceng. Takut jantung gue kaget terus
tiarap karna efek terlalu bahagia...
"Di ujung sana ada dermaga buatan, pemandanganya gak kalah bagus dari
ini. Kamu mau liat?" Tawar Dipta menunjuk ke arah utara.

Elena mengangguk patuh. "Boleh." Ucapnya semangat.

Mendengar nada semangat istrinya membuat Dipta terkekeh pelan. Elena


yang mendengar Dipta terkekeh, langsung mengtupkan bibirnya rapat.
Minder

Elena terus melangkah mengikuti langkah Dipta. Suaminya itu tidak


melepaskan tangan Elena sepanjang jalan menuju dermaga.

Sepanjang jalan pun Dipta sama sekali tidak mengajak Elena berbicara.
Seakan-akan suaminya itu terlihat sangat menikmati perjalananya.

Apa masih jauh?

"Apa tempatnya masih jauh?" Tanya Elena penasaran.

Suaminya itu kalau bukan Elena yang mengajak berbicara sudah pasti dia
tidak akan membuka mulut.

Boro-boro buka mulut narik bibirnya buat senyum aja pelitnya Nauzubillah.

"Kenapa? Kamu capek?" Tanya balik Dipta.

Kapan sih paksu kalau ditanya gak balik nanya?

"Iya." Jawab Elena kesel.

Sedari tadi mulutnya sudah gatal ingin berbicara, tapi memang suaminya ini
gak pernah peka membuat Elena harus rajin-rajin mengelus dada.

Sabar. Orang sabar pantatnya lebar Len.

"Sebentar lagi." Singkat padat itu lah jawaban Dipta.

Kalau sampai Elena bertanya, terus Dipta bisa menjawab lebih dari lima
kata. Itu adalah suatu keajaiban dari tuhan untuk Elena. Mukzijat lah
intinya.
Dan bisa dipastikan semua itu hanya akan menjadi angan-angan Elena.

"Sebentar laginya kapan?" Rengek Elena.

Biasanya kan cowok paling seneng kalau denger ceweknya ngerengek-


ngerengek manja. Kali aja suaminya Elena juga gitu.

Dipta yang mendengar rengekan Elena langsung menoleh. "Kamu salah


makan?"

"Makan?" Tanya Elena. "Maksudnya?" Sambungnya tak mengerti.

Dipta cuman mengangkat bahu cuek menjawab pertanyaan Elena. Terlalu


malas berbicara panjang lebar apa lagi harus menjelaskan.

Nah kan suami Elena beda.

Istrinya ngerengek capek dibilang salah makan, apa lagi ngerengek minta
gendong? Bisa ditinggal dia. Mau gandeng tangannya aja udah syukur, lah
ini masih ngerengek capek berharap biar digendong?

Tidur dulu yuk Len biar mimpi.

"Orang dari tadi belum juga makan." Keluh Elena.

Bohong. Elena berbohong, lah tadi yang makan di mall sambil belanja sama
Hanum siapa?

Jin jelmaan Elena?

Dipta berhenti berjalan sambil menoleh ke arah istrinya. "Kamu belum


makan?"

Denga wajah dibuat senelangsa mungkin Elena menggeleng dramatis. Biar


mendalamin peran gitu.

Dipta memandang wajah Elena lekat menimbang-nimbang apa yang akan


dia katakan setelah ini.
Elene yang dipandang lekat oleh suaminya langsung menggaruk tekuk
lehernya yang tidak gatal.

Grogi Coy....

Yes kayaknya gue bakal di gendong nih sama paksu. Gak mungkin tega kan
dia biarin istrinya jalan kaki sambil nahan perut-

"Ya udah kita balik ke hotel." Putus Dipta akhirnya.

Elena yang mendengar keputusan Dipta malah mendengus kesal.

Dasar gak peka-gak peka-gak peka.

Aaaaaa. Mama ... pengen nangis.

Dengan perasaan dongkol luar biasa Elena melepas tangan Dipta kasar.
Berjalan lebih dulu ke arah depan.

Dermaganya cuman lurus kan ya? Gue takut salah lagi. Kan malu kalau
sampai Dipta tau gue salah tujuan lagi.

"Len." Panggil Dipta mengejar Elena.

Bingung sama jalan pikiran Elena ya mas Dipta. Kamu sih gak peka. Ckk

"Kamu marah?"

"GAK."

"Kamu marah ya?"

Udah tau pake nanya lagi. Dasar suami gak ada akhlak.

Elena terus berjalan ke arah depan mengabaikan Dipta yang sudah seperti
anak unggas mengikuti induknya, ngekor terus di belakang Elena.

"Len."
Belajar dari pengalaman Len, kalau dipanggil nengok jangan jalan terus
giliran salah aja- malu. Teriak malaikat dalam diri Elena.

"APA?" Bentak Elena galak.

"Langitnya mendung. Mau balik ke hotel aja gak?" Tawar Dipta dengan
suara halus.

Tukan giliran gue marah ngomong nya halus, pakek senyum-senyum lagi
tau banget kalau gue lemah dalam hal yang satu itu. Batin Elena dongkol.

"Kamu. Kalau mau balik pergi sana, susulin selingkuhan kamu itu." Ketus
Elena bersedekap menghadap ke arah laut lepas yang kelihatan mulai
pasang.

"Selingkuhan? Emang aku punya selingkuhan?" Tanya Dipta mengangkat


sebelah alisnya.

"Jihan selingkuhan kamu kan?" Sinis Elena.

"Kamu cemburu?"

"GAK."

"Iya." Ucap Dipta kalem.

"Siapa bilang aku cemburu?" Sembur Elena kesal.

"Terus sekarang marah kenapa?"

Dosa gak sih nenggelemin orang di laut? Gue lagi pengen nenggelemin
Dipta nih.

"Tau ah." Dumel Elena berbalik melangkah ke arah hotel.

Lama-lama bersama Dipta, Elena takut Khilaf.

Dipta mengikuti Elena dalam diam, tidak berkomentar lagi. Takut-takut


membuat mood istrinya semakin buruk.
Sesampainya di hotel Elena melangkah ke arah meja tempat Hanum duduk.
Bersyukur Hanum masih duduk diam di sana, dengan gedget di tanganya
dan beberapa makanan di mejanya.

Mengerutkan kening bingung. Hanum menatap Elena penuh dengan tanda


tanya ketika melihat wajah masam adik iparnya. Ditambah ada Dipta yang
mengekorinya di belakang gadis itu.

Bukannya udah ketemu suaminya kenapa cembetut itu muka? Batin Hanum.

"Kenapa lo?" Tanya Hanum penasaran.

Elena hanya diam tidak mau repot-repot menjawab, dia malah menarik
kursi di depan kakak iparnya dan duduk dengan malas.

"Kenapa dia?" Tanya Hanum menunjuk Elena dengan dagunya, begitu


Dipta sudah berdiri di sampingnya.

"Cemburu."

"Aku gak cemburu ya!" Protes Elena kesal.

Dipta hanya terkekeh pelan mendengar protes istrinya. Merasa lucu dengan
istri cantiknya itu.

"Cemburu kenapa sih?" Tanya Hanum mengabaikan dengusan keras Elena.

Dipta mengangkat bahu cuek. "Kita ke kamar." Ajak Dipta menarik pelan
tangan istrinya.

Mendengar Dipta mengajak Elena ke kamar membuat Hanum bersiul kuat


untuk menggoda pasangan baru itu.

*****

Elena cuman bisa pasrah ketika Dipta menarik sebelah tangannya ke arah
kamar.
Kalau dilihat seperti ini, Dipta seperti suami yang cinta mati pada Elena.
Karna sepanjang jalan masuk ke kamar, Dipta sesekali menoleh ke
belakang, ke arah Elena.

Seolah memastikan Elena masih dalam jarak pandangnya, atau lebih


parahnya tidak akan lari atau kabur. Tidak lupa bibirnya ditarik ke atas
sedikit membuat Elena hampir pingsan karna jantungan melihat betapa
tampanya suaminya itu.

Belum lagi, jika beberapa pelayan melihat dirinya dan Dipta lewat di depan
mereka. Mereka selalu berhenti dan membungkuk hormat tidak lupa ada
senyum sopan yang mereka berikan ke pada Elena dan Dipta.

Mau tidak mau Elena membalas senyum itu juga, karna merasa tidak enak.
Lagian kan dia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Jadi berasa aneh dan
risih. Beda dengan Elena berbeda juga dengan Dipta, tampang suami Elena
itu selalu lurus kayak tembok bangunan baru alias lempeng, gak ada
lekukan atau belokanya. Apa lagi samapi simpang pertigaan. Bahkan muka
cuek Dipta ketara sekali meski diperlakukan seperti itu oleh bawahanya.

Sombong banget yak ni bocah.

Kecuali kalau dia sedang melihat ke arah Elena. Ada senyumannya, tapi
cuman dikiiitttt banget.

Tapi walau cuman sedikit begitu sudah mampu membuat hati Elena klepek-
klepek dan jingkrak-jingkrak. Gak senyum aja buat jantungan apa lagi
senyum, bisa keserang setroke dadakan Elena.

Dipta terus menuntun Elena masuk lebih dalam ke lorong-lorong hotel.


Hotel bergaya mewah ala eropa dengan cat dinding warna putih dan golf itu
benar-benar membuat silau mata memandang.

Elena sampai heran seberapa banyak Dipta menghabiskan uang untuk


membangun hotel ini. Belum lagi untuk lampu-lmpu hias yang menghiasi
plafon-plafon hotel. Terlihat sangat mahal dan cantik. Elena berani bertaruh
untuk membeli tetek bengek hotel ini pasti suaminya itu menghabiskan
banyak uang. Elena sampai tidak berani membayangkan seberapa panjang
dan lebar tumpukan uang Dipta jika dikumpulkan untuk membangun hotel
ini. Bisa buat Elena tidur guling-guling kali ya?

Dia pun jadi suka bertanya-tanya seberapa kaya suaminya itu? Memiliki
perusahaan besar, hotel ini juga sangat mewah. Kira-kira apa lagi yang dia
tidak tau tentang suaminya? Punya pulau kah? Atau punya bank sendiri?

"Kamu ingin makan apa?" Tanya Dipta membuyarkan lamunan konyol


Elena.

Elena mengerjap bingung kapan mereka masuk ke kamarnya, kok udah di


dalam aja?

Kamar ini bukan seperti kamar hotel, karna kamarnya sangat besar. Bahkan
kamar ini lebih mirip seperti apartement. Ada sofa set lengkap dengan tv
super besar, ada kitchen set lengkap dengan peralatan dapurnya. Dan ada
dua kamar tidur yang saling terhubung.

Kamar ini setipe king suite. Tidak heran jika Dipta bisa betah berlama-
lama di sini, kamar ini benar-benar luar biasa keren. Lagian kan hotel ini
milik Dipta terserah dia mau tidur di mana.

Boleh kah sekarang Elena merasa insecure dengan Dipta yang levelnya
berada jauh di atasnya.

"Kenapa bengong?" Tanya Dipta untuk kedua kalinya. Saat melihat istrinya
malah diam sambil memperhatikan sekeliling hotel membuat dia heran.

Dulu saat di apartement Elena malah terlihat heboh, berulang kali


mengatakan WAH kenapa sekarang seperti anak ayam yang habis masuk
got. Diam dan terkesan canggung, Dipta tidak terlalu suka melihat Elena
yang seperti ini.

"Em, Kita tidur di sini?" Tanya Elena terdengar ragu.

Sekarang Elena benar-benar merasa Dipta itu benar-benar terlalu sempurna


untuknya. Bagaimana mungkin mantan tunangannya meninggalkan calon
suami seperti Dipta ini? Sedang Dipta adalah pria yang luar biasa sempurna
kalau soal materi dan fisik. Apa perasaan mantan tunangan Dipta juga sama
seperti apa yang Elena rasakan saat ini? Minder.

Dih kok jadi mellow sih gue.

"Iya. Kenapa? Kamu ingin pindah cari kamar lain?" Tanya Dipta
melangkah ke arah kulkas.

Elena hanya diam, melangkah ke arah sofa dan duduk diam di sana.
Gambaran semua kekayaan Dipta berputar diingatannya dan semua itu
sedikit mengganggu perasaan Elena.

Apa Elena harus pergi ke paranormal untuk mengecek seberapa besar


hokinya karna bisa mendapatkan Dipta? Atau dia juga harus mengecek
seberapa hebat jimat Dipta hingga membuat kedua orang tua Elena begitu
percaya pada pria itu?

Rasa dingin di pipi Elena membuat dia mengerjab kaget, dan menoleh cepat
pada sang pelaku. Dipta berdiri di sampingnya dengan botol air meneral
dingin di tanganya yang tadi diletakan di pipi Elena.

"Minum." Perintahnya terdengar otoriter.

Elena menurut, menerima botol air meneral dan meneguknya hingga tinggal
setengah. Memikirkan kekayaan Dipta membuat tenggorokanya kering.

Rasa marah, kesal yang Elena rasakan tadi pun menguap entah ke mana.
Yang ada sekarang adalah rasa tidak nyaman, malu dan sedikit minder.

Malu, minder karna selama ini Elena bersikap memalukan di depan Dipta.
Kan kemarin-kemarin Elena belum sadar seberapa kaya suaminya ini.
Berhubung sekarang sudah sadar boleh kan dia mundur teratur?

Tapi bagaimana dengan hatinya yang mulai suka pada suaminya, lagi pula
bukanya hidup itu kejam. Elena tidak munafik sebagai wanita juga dia ingin
pasangan yang kaya dan tampan tapi kenapa harus sekaya Dipta.
Bagaimana jika sikap dingin Dipta selama ini karna dia tidak nyaman pada
Elena?
Dih kan gue jadi mikir parno, belum siap aja gitu sakit hati yang tak
berdarah gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan. Bisik hati kecil Elena
nelangsa.

Memperhatikan botol yang ada di genggaman tanganya. Elena terlalu malu


untuk memandang Dipta yang duduk di depanya sekarang.

"Kamu masih marah?" Tanya Dipta yang duduk didepan Elena.

"Huh?" Tanya Elena mendongak melihat Dipta yang memandangnya aneh.

"Kenapa dari tadi diam aja? Atau kamu gak nyaman sama kamar ini?"

"Apa?"

Dipta mendengus kuat mendengar respon istrinya.

"Lupakan! Jadi kamu mau makan apa?"

"Aku gak laper. Aku boleh numpang ke kamar mandi gak?" Tanya Elena
ragu.

Dipta memandang aneh istrinya, sejak kapan istrinya itu ingin ke kamar
mandi pakai acara ijin padanya?

"Apa kita perlu ke dokter?" Tanya Dipta serius.

"Siapa yang sakit?"

"Kamu."

"Aku? Emang aku kenapa?"

"Kamu aneh. Apa kamu sakit?"

Sekarang gantian Elena yang mendengus. Suaminya bukan cuman dingin


ternyata tapi juga aneh hari ini.

"Emang aku dari tadi ngeluh sakit?"


Mengangkat bahu cuek. "Kalau gak sakit kenapa dari tadi diam?"

Wow disepanjang pernikahan mereka, ini adalah kali pertama Dipta mau
bertanya panjang-panjang pada Elena.

Haruskah dia buat tumpeng untuk merayakan semua ini?

Elena berdiri. "Di mana kamar mandinya?" Tanyanya.

Dipta menunjuk pintu di ujung ruangan dengan dagunya, untuk menjawab


pertanyaan istrinya. Tanpa banyak tanya Elena langsung melenggang pergi.
Dia butuh mandi sekarang agar bisa menjernihkan otaknya yang mendadak
panas. Panas karna melihat kenyataan hidupnya saat ini plus kekayaan
suaminya.
Gadis Ganjen

Elena menggeliat dalam tidurnya. Cahaya mentari pagi sedikit mengusik


tidur nyenyaknya. Pelan-pelan mata dengan bulu lentiknya terbuka
sempurna.

Mengedarkan pandanganya, Elena mengernyit bingung ketika mendapati


dirinya diruangan yang tampak asing.

Gue di mana?

"Sudah bangun?"

Elena menoleh ke sumber suara. Di sana, di sofa depan lemari buku Dipta
sedang duduk santai dengan buku super tebal di atas pangkuanya.

Melihat suaminya yang sudah segar, plus tampan, Elena baru ingat jika dia
saat ini berada di Kalimantan mengikuti ide Hanum untuk menyusul Dipta
bekerja.

Yes honeymoon gue, gue jadi bisa produksi anak entar sama paksu. Kan
udah beberapa hari dia sibuk kerja. Boleh dong hari ini libur? Eh

Semalam selesai mandi Elena tidak mendapati suaminya di mana pun


alhasil dia pun membaringkan tubuhnya di tempat tidur sembari menunggu
suaminya pulang. Tapi setelah itu Elena tidak ingat apa yang terjadi, karna
dia tertidur saat menunggu Dipta.

"Ingin sarapan dulu atau mandi dulu?" Tanya Dipta yang berjalan ke
arahnya.

"Sarapan dulu boleh? Aku udah laper soalnya." Jawab Elena sedikit malu-
malu.
Heleh biasanya juga malu-maluin Len.

"Gimana gak laper kamu dari semalam belum makan. Mau sarapan apa?"
Tanya Dipta lagi sambil duduk di ujung ranjang di dekat istrinya.

"Nasi goreng." Jawab Elena.

Setelah mendengar jawaban Elena, Dipta langsung sibuk berbicara dengan


telpon di meja samping tempat tidur.

Elena hanya diam memperhatikan suaminya. Yang sedang sibuk berbicara


lewat telpon. Suaminya bahkan sudah tampan dengan kaos panjang ditarik
sampai siku dan celana trening panjag. Sedang dirinya, boro-boro mandi
nyuci muka aja belum.

Selesai memesan makanan Dipta memandang Elena intens. Elena yang


mendapat tatapan intens dari suaminya cuman menelan ludah gugup.

Kok paksu mandangnya gitu banget sih. Apa aura kecantikan gue keluar
lagi? Kan cewek kalau bangun tidur aura cantiknya keluar. Dih bener ini
terpesona kayanya dia. Du du du kan jadi pengen nyender elus-elus dada
gitu.

"Auuu." Teriak Elena meringis, setelah Dipta menyentil keningnya.

Elena mengusap keningnya pelan. "Apa sih main pukul-pukul?" ketusnya.

"Hilangkan pikiran konyol yang ada di otak kamu. Dan jangan lebay, aku
nyentil gak mukul."

"Seneng banget KDRT." Dumelnya lagi.

"Aku denger Elena."

Bodo.

Dipta sedikit merasa tega begitu melihat wajah kesal istrinya, istrinya
kembali seperti semula, bawel dan lucu. Semalaman Dipta hampir tidak
bisa tidur nyenyak ketika memikirkan sikap Elena yang sedikit aneh
beberapa hari ini. Di mana dia selalu diam dan juga nampak murung.
Beruntung sekarang istrinya telah kembali. Tidak sia-sia dia memundurkan
jadwal meetingnya pagi ini demi bisa menunggui istrinya bangun tidur.

Suara pintu diketuk membuat Dipta beranjak dari duduknya.

Elena memperhatikan Dipta yang beranjak dari duduknya setelah


mendengar pintu kamar mereka diketuk. Suaminya itu terlihat cuek dan
dingin ketika menyuruh para pelayan membawa masuk pesanan mereka.
Apa suaminya semenyeramkan itu, kenapa para pelayan terlihat takut dan
gemetaran?

"Terima kasih." Ucap Elena pada pelayan yang mendorong troli pesananya
ke samping tempat tidurnya. Para pelayang yang mendengar nada ramah
istri bosnya hanya menunduk hormat dengan senyum canggung.

Setelah para pelayan pergi. Mata Elena langsung berbinar bahagia begitu
melihat nasi goreng pesananya sudah ada di depan mata.

Turun dari kasur tak sabaran, Elena langsung akan menarik piring ketika
mendengar suara bas Dipta.

"Kamu gak mau cuci tangan dulu?" Tanya Dipta.

"Boleh nanti habis makan aja gak?" Tanya Elena memelas.

Bukan apa-apa perut Elena sudah meronta-ronta begitu indra penciumanya


mencium aroma nasi goreng yang menghiurkan di depan matanya.

"Jorok." Sindir Dipta sadis. "Sana cuci tangan dulu sekalian cuci muka."
Sambungnya enteng.

Dengan perasaan dongkol Elena melangkah secepat yang dia bisa ke arah
kamar mandi. Dengan kaki dihentak-hetakan plus mendumel kesal di
sepanjang langkahnya.

Suaminya tidak bisa apa, melihat wajah bahagia Elena sebentar saja?
Kenapa dia senang sekali cari gara-gara?
****

Elena berjalan dengan langkah lebih ringan keluar dari kamar hotel pagi ini.
Hari ini dia nampak cantik dengan balutan dres berwarna pastel pink
pendek tanpa lengan yang panjangnya selutut, dengan aksen kerah berdiri
dan hiasan lipatan-lipatan kecil dibagian dada. Dia nampak modis dan
cantik, tidak lupa dia juga mengenakan blejer rajut berwarna putih. Benar-
benar simple. Elena nampak feminim dan manis bukan.

Sedang Dipta, dia nampak rapi dengan stelan kerja, kemeja putih panjang
lengkap dengan celana bahan hitam, tidak lupa dengan jas yang warnanya
senada dengan celananya. Dipta hanya berjalan di belakang Elena
memperhatikan istrinya yang nampak bahagia hari ini.

Padahal dia hanya akan ikut Dipta meeting, dan mengecek beberapa lokasi
survei. Tapi istrinya itu nampak sangat bahagia seperti mereka akan liburan
keluar negeri saja. Dipta sedikit menyesal lantaran beberapa hari ini dia
hanya meninggalkan istrinya di dalam kamar saja. Tahu begitu kemarin dia
ajak saja istrinya itu bekerja.

Karna terlalu semangat, Elena sampai berjalan kurang hati-hati. Hampir


saja dia menabrak seorang pelayan yang berjalan dari arah yang berlawanan
dengan mereka, pelayan itu terlihat sedang berjalan terburu-buru.

Hingga saat berada di lorong hotel dia hampir menabrak istri bosnya kalau
saja Dipta tidak menarik pinggang Elena mundur. Hingga Elena menabrak
tubuh depan Dipta, Elena nampak kaget dan syok belum lagi heels yang dia
gunakan juga tidak bisa menahan berat tubuhnya. Berakhir Elena hampir
jatuh mencium lantai kalau Dipta tidak menariknya lebih dalam masuk
kepelukan pria itu.

Pelayang yang hampir menabrak Elena pun tak kalah terkejut dengan
tabrakan tak sengaja itu, bahkan wajahnya lngsung putih pucat begitu tau
jika yang hampir dia tabrak adalah istri bosnya. Membuat tatapan bosnya
terlihat dingin dan menakutkan.

Dengan badan gemetar dia berulang kali membungkuk hormat, sambil terus
mengucapkan kata maaf dari bibir pucatnya.
"Apa kamu tidak punya mata?" Ucap Dipta dingin. Dipta tidak membentak
atau berbicara dengan nada tinggi tapi ucapanya sarat akan sebuah
ancaman.

Elena yang masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutanya, hanya


mengedipkan matanya berkali-kali.

"Ma-maaf kan saya tuan. Saya tidak sengaja, saya berjanji tidak akan
mengulanginya lagi." Ucap pelayang itu sambil berulang kali membungkuk.

"Tidak sengaja kamu bilang?" Tanya Dipta berbahaya.

"Tuan, saya mohon jangan pecat saya tuan. Saya mohon maaf."

Dipta hanya mendengus kuat mendengar ucapan pelayan itu.

"Mas." Panggil Elena meminta perhatian suaminya setelah kesadaranya


kembali.

"Aku gak papa. Lagian ini salah aku juga yang gak fokus sama langkah
ku."

"Kamu belain dia?" Tunjuk Dipta pada pelayan yang sudah hampir
menangis di depanya.

"Nyonya saya mohon maaf. Tolong maaf kan saya." Ucap pelayang kepada
Elena.

"Iya. Iya. Udah mas gak papa, saya juga salah tadi. Udah gak papa mas
lanjutin aja jalannya." Ucap Elena menyuruh pelayan itu pergi, tidak ingin
membuat suaminya tambah marah jika berlama-lama berhadapan dengan
pelayan itu. Kan kalau sampai di pecat kasian.

"Elena." Panggil Dipta semakin dingin.

"Mas udah ah, tadi kan aku juga salah. Jalannya kurang hati-hati anggap aja
ini musibah, masa masalah sepele seperti ini kamu mau jadi bos gak
berperasan sih, asal pecat karyawan."
"Kamu gak sadar tadi kamu hampir nyium lantai kalau aku gak narik
kamu?"

"Yang pentingkan aku gak jadi nyium lantai, malahan aku jadi nyium dada
suami aku." Ucap Elena sambil nyengir, menunjukan deretan gigi putihnya.

Kan lumayan pagi-pagi udah dipeluk suami.

"Ckk." Decak Dipta kuat.

"Coba deh lihat aku gak papa kok." Ucap Elena sambil berputar-putar di
depan Dipta.

Dipta yang melihat istrinya berputar-putar di depanya langsung menarik


lenganya. "Gak usah banyak tingkah, kamu bisa jatuh dengan sepatu
setinggi itu."

Elena yang mendapat perhatian dadakan dari suami, langsung tersenyum


lebar.

Tukan gue jadi pengen meleleh.

"Ayo." Ajak Dipta sambil maraih telapak tangan Elena.

Gitu dong paksu, istrinya digandeng, jangan dianggurin mulu. Entar


karatan baru tau rasa..

****

Elena berulang kali mendesis melihat keakraban suaminya dengan wanita


yang tempo dia temui di pantai bersama suaminya.

Siapa ya namanya, Jina? Jenang? Jihan? Ah ya Jihan. Gak, nama itu


kebagusan kalau Jihan. Jihan? Yang cocok itu namanya Jenang, iya
Jenang, soalnya itu badan udah kayak Jenang yang suka nempel-nempel di
badan Dipta.

Emang dasar semua laki-laki ganjen, disodorin badan kurus krempeng gitu
aja mau-mau aja. Gak sadar apa dari tadi aku liatin dari sini.
Seperti itu lah teriak-teriak isi hati Elena. Dengan tatapan membunuh Elena
seakan siap menguliti siapa saja yang dipandangnya.

Elena saat ini sedang duduk di sebuah kursi di sudut ruang rapat Dipta.
Matanya terus memperhatikan suaminya yang duduk tenang dengan wanita
yang duduk di sampingnya yang terus beringsut maju, sepertinya terlihat
sengaja menempelkan gunung kembarnya yang menurut Elena datar gak
ada seksi-seksinya.

Cih seksian juga punya gue.

Kenapa juga itu Jenang nempelin suaminya, kenapa gak cowok yang lain.
Contohnya tu di samping kiri Dipta, ada cowok yang gak kalah ganteng
dengan suaminya. Tadi pas Elena baru pertama masuk keruangan ini,
bahkan cowok itu udah senyum manis ke arah Elena.

Bukan sok ke GRan ya tapi itu lah faktanya. Bahkan sedari tadi cowok itu
suka curi-curi pandang ke arahnya. Tapi tenang Elena tetap setia kok sama
paksu, buktinya Elena pura-pura gak liat dan sibuk dengan gadgetnya.

"Mbak Frida." Panggil Elena pada sekertaris Dipta yang berdiri tak jauh
darinya.

"Iya bu?" Ucap Frida berjalan ke arah Elena.

"Mas Dipta masih lama gak sih rapatnya?" Tanya Elena yang sudah berasa
bosan.

"Mungkin sebentar lagi bu, tiga puluh menitan lagi."

Nunggu sepuluh menit lagi aja gak kuat, apa lagi nunggu tiga puluh menit?
Tau gitu mending gue gak ikut dia, bobok cantik di hotel aja kan enak kayak
kemarin.

"Aku boleh keluar sebentar gak. Bosen ni nunggu di sini."

"Tapi tadi pak Dipta pesen kalau ibu gak boleh ke mana-mana."
"Aku gak bakal jauh-jauh kok, jalan-jalan sekitar sini aja, udah bosen
banget soalnya." Ucap Elena memelas, bahkan wajahnya dibuat senelangsa
mungkin.

"Nanti kalau mas Diptanya udah kelar rapatnya, mbak bisa nelpon aku.
Gimana?" Sambung Elena memberi usul.

"Tapi bu-"

"Dah gak papa. Tenang, entar aku yang tanggung jawab kalau mas Dipta
marah." Ucap Elena berdiri dari duduknya.

"Apa mau saya temeni aja buk?" Tawar Frida.

"Jangan, nanti kalau mas Dipta butuh sesuatu gimana? Malah berabe lagi
kalau mbak tinggal. Bisa malah ngamuk entar dia."

"Tapi saya lebih takut kalau ibu pergi sendiri. Di sini agak susah sinyal
soalnya bu. Apa lagi di sini sangat rawan buat orang-orang baru seperti kita,
takutnya ibu nyasar. Saya temani saja ya?" Tawarnya lagi.

"Aku kan bukan anak kecil mbak, udah deh jangan khawatir. Aku gak bakal
jauh-jauh kok. Ok?"

"Tap-"

"Mbak gak percaya sama aku?" Tanya Elena mulai sedikit kesal.

Frida langsung menggeleng panik begitu dengar Elena bertanya dengan


nada yang mulai kesal. Sangat bahaya kalau istri bosnya ini tersinggung dan
marah kan?

"Ya udah kalau gitu aku pergi ya. Bye mbak Frida." Ucap Elena santai
sambil melangkah keluar ruangan.

Frida hanya memandang punggung istri bosnya dengan tatapan nanar,


takut-takut jika terjadi sesuatu dengan istri bosnya itu.
Khawatir

Elena terus berjalan keluar gedung. Dilihat dari letak tempat gedung ini
memang terlihat lebih sepi dibandingkan di jakarta. Disekitar gedung lebih
banyak pepohonan dan banga-bunga yang membuat tempat ini nampak asri.

Bahkan di depan gedung terdapat taman yang terlihat begitu aneh karna
lebih banyak tumbuhan hias dibandingkan bunga.

Dttttt.....rrr...Drrtttttt...

Getar ponsel di dalam tas mengalihkan pandangan Elena. Merogoh tas..

IBU RATU LARAS YANG TERHORMAT

Nama itu lah yang memenuhi layar ponsel Elena.

"Hallo." Sapa Elena setelah mengangkat telpon.

"Hallo Len."

"Kenapa ma?" Tanya Elena sambil berjalan lurus.

"Nanti kamu pulang jam berapa? Mama mau mampir deh ke rumah kamu."

Elena menepuk jidatnya pelan.

Mati gue, gue lupa lagi kemarin gak ijin mama mau pergi ke sini. Bisa
habis ini gue kena omelin mama. Belum lagi dramanya. Hadeh.

"Oh-Itu ma. Elena lagi gak di jakarta."

"Gak di jakarta. Terus kamu lagi di mana? Sama siapa?"


"Elena lagi ikut mas Dipta perjalanan bisnis." Ucap Elena meringis.

Perjalanan bisnis dari hongkong, yang ada mah lo nyusul kali Len. Jerit
hati kecilnya mencemooh.

"Alhamdulillah. Akhirnya anak mama keluar juga dari kampung halaman.


Ok-ok gak papa, kapan kamu pulang Len?" Seru Laras heboh.

Elena sampai menjauhkan ponselnya dari telinga karna mendengar jeritan


mamanya yang Lebay menurut Elena.

Elena cuman melongo mendengar jawaban mamanya.

Udah gitu doang respon mamanya? Gak ngomel? Apa lagi ada drama gitu?
Ini bener mamanya bukan sih?

"Elena?"

"Eh, iya ma?"

"Kamu dengerin mama ngomong gak sih?"

"Eh iya maaf ma, tadi sinyalnya ilang-ilang jadi suara putus-putus." Ucap
Elena berbohong.

Hadeh dijamin masuk neraka ini gue bohong mulu kerjaanya.

"Gak tau, orang baru kemarin Elena sampai sini. " Sambungnya lagi.

Nyusul ke sini maksudnya ma.

"Jadi kalian mau sekalian honeymoon gak?"

"Kata mbak Hanum sih iya."

"Kok kata Hanum sih."

Elena berhenti berjalan, otaknya sedang berpikir keras untuk mencari cara
bagaimana menyampaikan kata-kata yang pas pada mamanya. Bisa habis
Elena diolok-olok mamanya kalau tau dia yang nyusul bukan diajak.

"Ah gak penting deh ma. Mama kok tumben nelpon Elena?"

"Kenapa, kamu gak suka mama telepon?" Tanya Laras galak.

Elena kembali meringis mendengar nada galak mamanya.

Duh salah lagi.

"Gak. Bukan gitu ma, aneh aja gitu maksud Lena."

"Aneh-aneh!.Kamu aja anak durhaka pergi-pergi gak pamit mama,


mentang-mentang udah nikah ya kamu, Elena."

Elena menggaruk pipinya yang tidak gatal, kenapa sih mamanya dari tadi
berbelit-belit. Batinya. Kembali meneruskan langkah kakinya.

"Ah tapi itu gak penting, yang terpenting sekarang. Nanti kalau kamu
pulang kamu harus ngabarin mama."

"Lah emang kenapa?" Tanya Elena melanjutkan langkahnya sambil duduk


dikursi kayu dipinggir jalan.

"Ya bawain mama oleh-oleh la." Seru Laras senang. "Sekalian mama mau
ngundang tante Tuti kamu ke rumah mau pamer."

"Oh iya deh entar Elena bawain makanan ciri khas sini. Elena bawain yang
banyak biar mama bisa pamerin ke tante Tutinya gak tanggung-tanggung."
Ucap Elena berdiri dan melangkahkan lagi kakinya.

"Kok makanan sih Len?"

"Lah terus apa?"

"Barang kek yang bermerek. Tas gitu misalnya apa baju gitu."

"Isss mama matre banget sih." Dumel Elena.


"Ya gak papa dong sekali-kali. Masak honeymood keluar negri mamanya
dibeliin makanan doang pelit banget kamu."

Keluar negri?? Jangan-jangan mama kira gue keluar negri lagi.

"Siapa yang keluar negri?"

"Lah emang kamu bukan keluar negri?"

Elena mendengus kuat mendengar pertanyaan mamanya. "Orang Lena


cuman ke kalimantan."

Sekarang gantian Laras yang mendengus kuat.

"Kalau cuman ke kalimantan ngapain mama pemerin ke orang, Lena?


Kamu kadang-kadang pinternya kebangetan ya?" Sembur Laras kesal.

"Kan mama gak nanya Elena dulu tadi."

"Jadi kamu nyalahin mama?" Teriak Laras tak terima.

Salah lagi. Salah lagi. Nasib jadi anak kanjeng Laras ini selalu salah.

"Iss mama mah ngomel mulu."

"Ngomel mulu-ngomel mulu. Dah ah mama mau belanja, lama-lama


ngomong sama kamu bisa buat mama naik darah."

Tut....tut....tut....

Elena melongo melihat telponya yang dimatika sepihak oleh Laras.

Ya allah untung gue sabar.

Memasukan ponselnya ke dalam tas, Elena menarik nafas dalam-dalam


bicara dengan mamanya benar-benar menguji kesabaranya ternyata.
Memperhatikan sekelilingnya kening Elena mengernyit bingung.

Gue di mana?
Disekeliling Elena sekarang hanya ada pepohonan rimbun dan jalan-jalan
setapak, bahkan jalanan setapak itu memiliki banyak simpang-simpang dan
terlihat sudah berlumut.

Jangan bilang gue nyasar? Duh efek ngobrol sama mama ini bikin gue
gagal fokus.

"Duh, ini gue nyasar?" Gumam Elena terus berjalan ke arah yang
menurutnya jalan yang tadi dia lalui.

Tapi baru lima menit berjalan Elena sudah bertemu dengan persimpangan,
jalanya masih sama hanya setapak.

Hampir lima belas menit dia berjalan tapi entah perasaanya saja atau
memang benar jalan yang dia lewati dari tadi selalu berkahir di tempat yang
sama. Dia seperti berputar-putar ditempat yang sama.

Dengan kesal dia mengeluarkan ponsel, berniat menghubungi Dipta. Tapi


entah karna dewi kebereruntungan sedang tidak berpihak padanya atau
memang nasibnya yang sedang sial, ponsel canggih Elena benar-benar tidak
memiliki signal.

Kenapa tadi gue gak dengerin mbak Frida sih kalau udah gini gue harus
gimana? Sekarang gue sadar ternyata yang selama ini mama bilang kalau
IQ gue itu udah masuk tahap level jongkok harus diralat sekarang, karna
IQ gue bukan cuman di level jongkok melainkan sudah tiarap, membumi,
dan mendasar dalam tanah. Atau bahkan udah tenggelem di dalam lautan.
Duh duh Elena malang sekali nasib kamu. Batinnya

Nafas Elena sudah ngos-ngosan, entah sudah berapa lama dia berjalan.
Yang pasti, sejauh mata memandang dan kaki melangkah. Dia tak kunjung
menemukan jalan keluar dari tempat ini. Dia jadi teringat cerita jaman dulu
mamanya, di mana ada setan yang sering membuat orang tersesat dan akan
berjalan berputar-putar dijalan yang sama.

Tanpa sadar membuat Elena bergidik ngeri dibuatnya.


Haaaaaaaa. Dipta gue nyasar... Tolonginnn gue. Gue harus gimana
sekarang? Kalau disasarin setan beneran gimana? Kita bakalan gak inget
kan ya? Tapi, kok gue gak inget-inget jalan keluar. Duh, setan mana sih
yang jailin gue, gak kasian apa gue udah capek muter-muter?

Elena sudah seperti orang gila sekarang. Hanya bisa memperhatikan


sekeliling dengan pikiran-pikiran abstraknya.

Paksu, istrimu yang unyu-unyu plus cuantek ini nyasar. Tolonginnnnnn.

****

Dipta sedang asik mengobrol dengan beberapa rekan bisnisnya. Tidak sadar
jika istrinya, Elena sudah tidak ada diruangan yang sama denganya. Seakan
lupa jika tadi dia berangkat dengan Elena. Dipta terlihat menikmati
obrolanya.

"Permisi pak." Panggil Frida sekertaris Dipta terdengar berbisik.

Dipta hanya menoleh sekilas, dengan jari telunjutnya memerintahkan


sekertarisnya untuk diam. Karna dia sedang fokus mendengarkan rekannya
yang berbicara.

Sedang sekertarisnya terlihat bingung dan gelisah. Karna istri bosnya belum
juga kembali dari satu jam yang lalu. Bahkan saat dia hubungi nomornya
tidak aktif, entah memang disengaja atau karna memang karna tidak ada
signal.

"Pak Dipta." Panggil Frida sekali lagi.

Dipta menoleh dan melirik jam dipergelangan tanganya. "Sebentar Frida."


Ucapnya.

Setelah itu Dipta kembali fokus pada pembicaraan rekanya. Walau Dipta
sedikit heran dengan sekertarisnya hari ini, karna tumben sekali dia selalu
mengganggu Dipta berbicara dengan rekanya. Biasanya juga dia diam saja
walau Dipta sedikit melenceng dijam meeting yang sudah di tentukan.
Karna ada beberapa pembahasan yang belum menemukan jalan keluarnya.
Lima menit Frida menunggu Dipta selesai berbicara tapi belum ada tanda-
tanda bosnya itu menyudahi sesi obrolanya. Apa bosnya lupa jika dia
meeting hari ini ditemani istrinya?

Frida menimbag-nimbang apa dia katakan sekarang atau tetap menunggu


bosnya berdiskusi hingga selesai. Dan akhirnya. "Pak Dipta. Bu Elena
menghilang." Ucap Frida sedikit keras.

Dan berhasil, Dipta langsung menoleh cepat padanya begitu pun beberapa
rekanya. "Apa maksud kamu Frida?" Tanyanya heran yang langsung berdiri
menghadap penuh pada sekertarisnya.

"Sudah satu jam yang lalu. Bu Elena ijin keluar sebentar pak, untuk jalan-
jalan karna bosan. Dan sampai sekarang beliau belum kembali, saya sudah
menghubunginya tapi nomornya tidak aktif. Bahkan saya sudah mencoba
mencari keluar dan mengeceknya, tapi tidak ada tanda-tanda adanya beliau
disekitar sini." Jelas Frida sedikit takut.

Mendengar penjelasan Frida, Dipta langsung menoleh ke kursi yang di


duduki istrinya tadi. Umpatan keras langsung keluar dari mulutnya. Bahkan
Dipta melupakan beberapa rekanya yang memandangnya heran.

Tidak mau repot-repot berpamitan atau sekedar basa-basi Dipta langsung


saja melenggang pergi meninggalkan rekanya yang memandangnya
semakin heran.

Melihat Dipta yang langsung keluar Frida langsung memohon maaf pada
rekan Dipta, dan mengatakan jika Dipta ada keperluan mendadak.

Dipta sudah seperti orang kesetanan yang mencari Elena. Bahkan ponsel di
tanganya terus ditempelkan di telinga berusaha menghubungi istrinya, tapi
hanya jawaban operator yang terus dia dengar.

Mengedarkan pandanganya ke penjuru arah Dipta sudah seperti singa yang


sedang mencari mangsanya.

Hampir lima belas menit Dipta berkeliling gedung, tapi benar Elena,
istrinya tidak ada di mana-mana.
"Pak Dipta." Panggil Frida.

Dipta langsung melangkah cepat ke arah sekertarisnya. "Hubungi manager


gedung ini. Sekarang!" Perintah datar.

Terlihat sekali Dipta sedang dilanda panik luar biasa, daerah gedung ini
disekelilingi pepohonan dan taman-taman. Tapi masalahnya jika kita masuk
kepepohonan itu hanya akan mengarah pada tiga tempat, sebelah utara
tempat pemukima penduduk, dan selatan perkotaan. Lalu sebelah timur ada
hutan yang sering digunakan hiking oleh beberapa pendatang atau
pengunjung di sini.

Tidak masalah jika Elena melangkah ke kota atau pemukiman penduduk. Di


sana dia bisa mencari pertolongan untuk mengantarkannya kemari atau
hotel mereka. Tapi bagaimana jika istri cantiknya itu mengarah ke hutan?
Akan meminta tolong pada siapa dia, monyet yang bergelantungan
dipohon? Atau pada hewan buas yang dia temui. Jika sudah begitu
bukannya dibantu yang ada istri cantiknya akan dilalap habis oleh mereka.

Ya tuhan bahka pikiran-pikiran buruk sudah mulai menghantui Dipta. Dia


kembali melangkah ke ruanganya tadi dengan perasaan cemas dan khawatir.

Frida datang dengan seorang pria paruh baya yang Dipta yakini bahwa dia
adalah seorang manager disini.

"Selamat siang tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" Sapanya ramah.

"Istri saya hilang, saya yakin dia masuk ke hutan-hutan sekeliling sini. Apa
di sekitar sini dilengkapi CCTV atau kemanan lain?" Tanya Dipta pelan tapi
tatapannya tidak dapat dibohongi jika dia sedang khawatir.

Mendengar istri Dipta menghilang, rekan kerja Dipta serempak menoleh


padanya. Kebetulan belum ada yang keluar dari ruangan meeting itu tadi
karna mereka berencana membahas beberapa masalah lagi tanpa Dipta.

Manager gedung itu ragu-ragu menggeleng pelan.


Melihat gelengan manager itu. Amarah Dipta pun langsung tersulut.
"Bagaimana mungkin di tempat seperti ini kalian tidak menyediakan tingkat
keamanan yang ketat? HUH?" Semburnya kehilangan kontrol.

Semua orang langsung terbelalak mendengar teriakan Dipta, tak terkecuali


sekertarisnya. Dipta yang biasanya terlihat tenang, santai dan terkendali,
sekarang terlihat begitu murka dan marah. Jika biasanya Dipta selalu
menghadapi masalahnya dengan kepala dingin, berbeda dengan kali ini dia
terlihat begitu frustasi dan kalut.

Frida yang baru pertama kali ini melihat bosnya marah ikut menunduk
takut, selama hampir lima tahun dia bekerja dengan bosnya. Baru kali ini
dia melihat bosnya marah besar dan murka. Dan semua itu karna istrinya,
apa bosnya ini begitu mencintai istrinya? Karna dulu dengan mantan
tunanganya Dipta terlihat cuek dan dingin. Frida bisa melihat itu, ketika
beberapa kali mantan tunangan bosnya itu ikut perjalanan bisnis dengan
mereka.

"Maaf tuan, tapi kami pastikan istri anda akan baik-baik saja." Ucap
manager takut-takut.

"Saya tidak mau tau. Saya ingin secepatnya kalian temukan istri saya!"
Ucapnya tegas. "Kalau tidak, saya pastikan tempat ini akan mendapat
masalah karna itu." Sambungnya berbahaya.

Mananger itu hanya mengangguk dan pamit undur diri.

"Tenang kak, jangan panik. Jihan yakin istri kakak tidak akan kenapa-
kenapa, dia kan bukan anak kecil." Ucap Jihan yang berdiri dari duduknya
dan melangkah mendekat ke arah Dipta.

Dipta hanya melirik nya sekilas tanpa mau repot-repot berkomentar, karna
tangannya sekarang sedang sibuk dengan ponsel yang terus berusaha
menghubungi istrinya.

Melihat Dipta tidak peduli padanya, Jihan langsung memerah wajahnya


menahan kesal. "Lagian kenapa istri kakak itu begitu ceroboh, bagaimana
mungkin diusia yang tidak muda masih suka membuat orang repot." Ucap
Jihan mengejek.

Begitu mendengar Jihan membicarakan istrinya. Dipta langsung menatap


tajam wanita itu.

"Beruntung lah anda seorang wanita nona. Karna jika anda seorang laki-
laki. Saya pastikan. Bahwa saya akan melempar anda keluar sekarang."
Pelan tapi mematikan. Itulah yang Dipta ucap kan sekarang.

Jihan diam mematung mendengar ucapan Dipta. Tidak menyangka jika pria
yang disukainya selama ini, bisa menatapnya begitu tajam dan berbicara
begitu mengerikan hari ini. Hanya karna dia kehilangan istrinya. Sial.

Dengan tatapan sinis, Jihan langsung melenggang pergi meninggalkan


Dipta dan beberapa rekan bisnis yang berbisik-bisik tentangnya.

"Frida." Panggil Dipta.

"Iya pak." Jawab Frida mendekat ke arah bosnya.

"Hubungi Johan sekarang! Suruh dia ke sini membawa orang-orang yang


terlatih untuk membantu kita mencari Elena."

"Baik pak."

"Saya akan mencari ke hutan lebuh dulu. Kamu menunggu Johan di sini,
setelah itu suruh mereka menyusul saya."

"Baik pak kami akan secepatnya menyusul bapak."

"Saya hanya menyuruh mereka. Kamu tetap di sini!" Perintah Dipta tak
ingin di bantah.

"Tapi Pak-"

"Saya tidak mendengar penolaka Frida. Kamu tetap di sini, berjaga-jaga


jika Elena kembali kamu bisa hubungi saya." Ucap Dipta tegas tanpa
bantahan.
"Baik pak."
Pelukan hangat

Elena berhenti di bawah salah satu pohon. Kakinya sudah tidak kuat lagi
melangkah, entah sudah berapa lama dia berjalan yang jelas kakinya sudah
sangat lelah sekarang. Sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar
melangkah, tenggorokannya pun sudah kering karna sedari tadi berjalan
terus. Bahkan heels yang dia gunakan pun sudah tergeletak mengenaskan
di samping tubuhnya. Dengan keadaan kotor karna genangan-gengan air
dan jalanan setapak yang basah.

Sumpah demi apapun, gue gak bakal mau pakai sepatu yang model begini.
Bukanya enak, yang ada malah nyiksa.

Mengecek ponsel digenggaman tangannya. Elena berulang kali


mencebikkan bibir kesal karna tidak menemukan sinyal di ponselnya.

Kenapa gak ada yang nyariin gue sih ya? Mana gak ada sinyal lagi. Apes
banget hidup gue.

Memandang pohon sekelilingnya, mata Elena langsung melotot ngeri saat


bayang-bayang film horor yang diteror oleh hantu di bioskop memenuhi
kepalanya.

"Jahat banget sih paksu gak nyariin gue, jangan-jangan dia asik berduaan
lagi sama si Jenang. Kayak di pinggir pantai itu Huuuuu." Ucap Elena
sambil memandang foto pernikahanya di ponselnya dengan kesal.

"Apa senelangsa ini ya, nikah gak pakek cinta? Tu ma, liat anakmu ini. Dia
ilang gak dicariin. Malah Diptanya enak berduaan sama perempuan lain,
coba aku bisa apa sekarang ma?" Gumam Elena berkaca-kaca memandang
ponselnya.
Dengan mata berkaca-kaca dia menundukkan wajahnya dalam, hatinya
seperti diremas paksa saat bayangan-bayangan Dipta duduk berduaan
dengan wanita lain sedang ia di sini merasa haus dan kelaparan.

Bukan hanya berkaca-kaca. Kini Elena terisak pelan, merutuki


kebodohannya karna terlalu ceroboh dan tidak bisa menahan diri untuk
bersabar. Seandainya tadi ia mendengarkan ucapan sekertaris suaminya,
kejadian seperti ini tidak akan terjadi.

"Huuuuuuuuuuu Aaaaaaaaaaaaaa Mama Elena nyasar beneran. Gak ada


yang nyariin. Sendirian di hutan .... Huaaaaaa." Tangis Elena pecah saat itu
juga, membayangkan ia akan bermalam di hutan yang msnyeramkan,
ditambah ia takut gelap. Membuat tangisnya tidak bisa dibendung.

"Gak pernah keluar dari jakarta. Sekalinya keluar cuman mentok di sini tapi
udah nyasar. Mama salah apa Elena ini? Anak mu nyasar gak ada yang
nyariin."

Elena mengusap ingusnya menggunakan ujung dresnya, bahkan karna


terlalu asik, ia tidak sadar jika ia duduk bersila di bawah pohon membuat
dresnya kotor.

"SEMANGAT ELENE." Mengepalkan kedua tangan, Elena mengangkat


tinggi kepalannya ke atas tinggi-tinggi, seolah sedang menyemangati
dirinya sendiri.

"Gue gak boleh cengeng. Gue harus kuat demi masa depan gue." Ucap
Elena menghapus kasar air matanya.

Melirik heelsnya tanpa minat, Elena meraihnya dengn malas-malasan. Dan


menentengnya, dan kembali berjalan menyusuri jalan-jalan yang dipenuhi
dedaunan ditanah. Matanya terus melirik-lirik kanan kiri. Memperhatikan
seolah-olah apa pun yang bergerak disekitarnya itu adalah bahaya. Dan
pada akhirnya bahaya itu benar-benar datang.

Ngikkkk
Mata Elena langsung terbelalak begitu seekor babi hutang sedang berlari
tidak jauh darinya. Begitu cepat dan tiba-tiba. Beruntung hewan berkaki
empat itu tidak berlari ke arahnya. Walau begitu semua itu membuat Elena
pucat pasih, ia terus berjalan mundur. Berusaha semampunya untuk tidak
menimbulkan suara yang akan membuat ia dalam bahaya.

NGIKKKKKKK.....NGIKKKKKK..

Elena langsung bergidik ngeri ketika hewan-hewan berkaki empat itu sudah
agak jauh darinya. Melihat sudah sedikit aman, Elena langsung berlari
cepat, dan melepar heelsnya sembaranganan.

Dengan tubuh gemetar karna takut, Elena terus berlari pontang panting,
mengabaikan kakinya yang tidak beralaskn apapun. Berulang kali meringis
ketika kakinya menginjak ranting pohon atau batu kerikil ditanah dengn air
mata mengalir dipipinya.

Demi apapun, Elena saat ini kapok karna tidak mendengrkan peringatan
orang yang sudah berpengalaman tingga di sini.

*****
K

arna capek Elena duduk bersandar di bawah pohon. Menekuk kedua


kakinya, dia pun memeluknya dengan kedua tanganya.

"Hiks.hikssss ini beneran gue gak dicariin? Hiksss Hiksss tega banget sih
paksu Hikssss ... Gue ilang gak dicariin. Untung itu tadi cuman babi, kalau
singa gimana? Bisa innalilahi gue Huuuuu... Mama."

Elena terus menenggelamkan wajahnya di dalam selah-selah lututnya.


Dress yang dia gunakan sudah benar-benar tak berbentuk. Diujung-ujung
dres sudah kotor dan sobek-sobek terkena ranting-ranting pohon. Bahkan
jaket rajutnya juga sudah kotor oleh tanah.

Entah tuhan sedang memberikan sebuah mukzijat atau dewi fortuna sedang
berpihak padanya. Tiba-tiba ponsel Elena bergetar di dalam genggamanya.
Membuat dia buru-buru mengangkat kepaalnya.
Seperti mendapatkan air ditengah gurun pasir yang tandus, secepat kilet
Elena melihat layar ponselnya.

Papan Seluncur

Nama itu yang langsung memenuhi layar ponselnya. Antara kesal, marah,
senang, bahagia bercampur aduk menjadi satu. Saat nama Dipta lah yang
pertama kali menghubunginya, membuat senyum haru Elena terbit seketika.

Dengan tangan gemetar, dia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Elena kamu baik-baik saja? Kamu ada di mana sekarang Elena? Apa
terjadi sesuatu?" Berondong pertanyaan Dipta kepada Elena.

Elena yang mendengar suara suaminya, langsung kembali menangis.


Bibirnya seperti terkunci hanya untuk menjawab pertanyaan Dipta, sedang
air matanya terasa tidak bisa dibendung lagi.

"Elena jawab? Ada apa? Kenapa? Kamu sakit? Atau terjadi sesuatu?
Kenapa kamu menangis?" Tanya Dipta panik karna mendengar isak istrinya
disebrang telpon.

Elena hanya menggeleng pelan menjawab pertanyaa Dipta, seakan


suaminya itu ada di depanya dan melihat gelengan kepalanya.

Mendengar Elena semakin terisak Dipta semakin dilanda panik luar biasa.

Oh hebat sekali efek tangis Elena untuk tubuh Dipta. Ini adalah pertama
kalinya REVEN PRADIPTA dilanda panik diusianya yang sudah
menginjak dua puluh tujuh tahun. Harus kah setelah ini istri cantiknya itu
mendapatkan penghargaan karna berhasil membuat mood dan emosinya
naik turun di waktu yang bersamaan.

"BERHENTI MENANGIS, ELENA! JANGAN MEMBUAT AKU


SEMAKIN PANIK. JAWAB PERTANYAAN KU SEKARANG." Teriak
Dipta kian marah.

WAW hebat sekali Dipta, entah sudah berapa kali hari ini dia berteriak
marah, dan semua itu hanya karna mengkhawatir kan satu orang wanita,
yang bahkan baru beberapa bulan dia kenal. Ke mana larinya Dipta yang
cuek dan tak begitu peduli dengan orang baru bahkan cenderung masa
bodo.

Jika kakaknya Hanum tau, sudah dipastikan Elena, istrinya langsung


mendapatkan piala world cup dunia saat ini juga. Harus kah dia bangga
akan hal itu?

Dan biasanya, se'emosi apa pun Dipta, ia tetap bisa menjaga intonasi
suaranya, ia akan tetap tenang walau amarahnya sudah sampai diubun-
ubun. Tapi, hanya karna tangisan istrinya. Ia bisa meledak-ledak dan
berteriak murka?

"HUEEEEEE Aku nyasar Dipta ... Nyasaaaarr. Gak tau ada di mana.
Adanya cuman pohon. Mana hutannya serem. Horor. Sumpah aku takut.
Gak mau nginep. Gak mau." Cerocor Elena disela-sela tangisnya.

Ok fix, Dipta cuman bengong mendengar ucapan ajaib istrinya. Secara


bersamaan, Elena berhasil membuat Dipta merasa kesal, lucu ingin tertawa,
tapi juga marah karna khawatir. Ajaib kan?

"Gimana aku bisa keluar Dipta? Gimana? Semua pohonya sama. Perut aku
laper, haus juga." Sambung Elena sambil terus menangis.

Dipta mendengus kuat mendengar ucapan istrinya. Disaat seperti ini, saat
semua orang sedang panik dan khawatir dibuatnya, dengan seenak jidat ia
malah memikirkan perutnya. Konyol sekali istrinya itu.

"Baiklah setelah aku menemukan mu, kita akan makan dihotel sepuasnya.
Jadi, sekarang hentikan tangisan mu, Elena."

"Hiks. Hiks. Gimana cara berhentiinya? Air mata aku gak mau hiksss
ber....henti..."

Dipta bedecak kuat mendengar alasan istrinya.

"Sekarang tarik nafas pelan-pelan dari hidung dan keluarkan dari mulut.
Pelan-pelan saja, agar kamu bisa tenang." Ucap Dipta memberi arahan.
Elena dengan patuh mengikuti arahan suaminya. Hidungnya ikut kembang
kempis memperaktekkan arahan Dipta. Karena terlalu banyak menangis,
membuatnya terasa mampet karna tersumbat.

"Bagaimana? Sudah?" Tanya Dipta setelah beberapa menit.

"Iya."

"Sudah merasa lebih baik?"

"Iyaaaa."

"Ok sekarang dengarkan aku. Kamu bisa serlok saat ini kan?."

"Y-a." Jawab Elena sedikit tak yakin.

Apa bisa Dipta mengikuti serlok yang dia kirim, nanti kalau tiba-tiba
sinyalnya hilang di tengah jalan, gimana? Beneran nginep Elena di sini.

"Gak usah khawatir, aku akan kirim lokasi kamu ke Frida. Agar dia juga
bisa mengecek dan mengirim beberapa orang untuk ke tempat kamu. Dan
juga dia bisa mengarahkan ku, berjaga-jaga jika sinyal di ponselku hilang.
Jadi gak usah khawatir kita akan keluar dari sini, secepatnya." Janji Dipta
dan mencoba menenangkan istrinya.

"Kamu janji?"

"Ya, Aku janji." Ucap Dipta dengan nada tegas.

"Baik lah, sekarang aku akan menunggu serlok dari kamu. Jangan nangis
lagi. kamu dengar?"

Elena mengangguk. "Iyaa.."

"Ok aku matiin telponya sekarang. Bye.."

Begitu telponya dimatikan, Elena langsung cepat-cepat mengirim lokasinya


saat ini. Perasaanya sedikit lega sekarang, apa lagi mendengar Dipta juga
mengkhawatirkanya. Dan asumsi buruk yang tadi sempat dia fikirkan,
ternyata tidak terjadi.

****

ntah sudah berapa lama Elena menunggu dibawah pohon itu. Tapi yang
jelas, dia hampir tertidur karna sejuknya angin dan asrinya suasana
membuat matanya terasa berat.

Pelan-pelan mata lentiknya hampir terpejam jika saja dia tidak mendengar
panggilan dan langkah kaki seseorang yang sedang berlari tergesa-gesa.

Apa itu paksu?

Sayup-sayup Elena mendengar namanya terus dipanggil.

Dih, bukan dedemit kan ya? Apa jangan-jangan, kaum babi tadi?.

Menelan ludah gugup, Elena semakin merapatkan tubuhnya ke arah pohon.


Berjaga-jaga jika bukan Dipta yang memanggilnya dia akan memanjat ke
atas pohon.

Mengerjapkan mata pelan, rasa gugup tadi berganti menjadi rasa takut
ketika tidak mendengar suara yang tadi memanggilnya, melainkan langkah
kaki yang semakin mendekat ke arahnya.

Memasukan wajahnya di sela-sela lututnya. Elena terus meramalkan doa


berharap itu bukan hantu yang sedang keliling menjaga hutan.

Ya tuhan lindungi Elena.

"ELENA."

Mendongak. Di depanya Dipta sedang berdiri dengan nafas memburu dan


keringat membanjiri tubuhnya. Bahkan jasnya sudah berpindah tempat ke
genggam ditanganya sebelah kanan.
Itu paksu bukan sih? Kok ganteng bangettt. Bisik dalam hati.

"Elena." Panggil Dipta lagi membuat kesadaran Elena kembali.

Dipta terus melangkah mendekat. Melihat Dipta yang melangkah mendekat,


Elena langsung bangun dan menubruk tubuh tegap suaminya. Tangisnya
pun pecah, sepecah-pecahnya.

Perasaan lega, nyaman, bahagia dan senang bercampur jadi satu. Seakan dia
ingin mengatakan pada Dipta jika dia membutuhkan pelukan ini, dan
mengadu jika rasa takut yang tadi dia rasakan hilang berganti rasa lega luar
biasa.

Mendengar istrinya menangis dipelukanya, Dipta semakin erat memeluk


istrinya seakan meyakinkan istrinya, jika semua akan baik-baik saja, Elena
sudah aman sekarang.

Sambil terus membisikan kata-kata penenang ditelinga Elena. Tidak lupa,


Dipta juga berulang kali mengecup kening Elena menyalurkan rasa lega
luar biasa di dalam hatinya. Sabagai simbol jika tadi dia juga tak kalah
khawatir padanya.

Dipta merasa lega saat mendengar tangisan Elena mulai reda, digantikan
dengan isak-isak kecil. "Sudah merasa lebih baik?" Tanya Dipta lembut.

Elena hanya mengangguk menjawab pertanyaan Dipta masih dalam


pelukan suaminya. Kemeja Dipta bahkan sudah basah oleh air mata Elena.

"Sekarang kita sudah bisa pergi?"

Elena melepas pelukanya dan mendongak, melihat wajah suami tampanya.


Menarik sudut bibirnya. "I----ya." Jawab Elena.

Begitu mendengar jawaban Elena, Dipta mengeluarkan ponsel dari saku


celanaya dan menghubungi seseorang. Setelah selesai, Dipta menatap
istrinya intens, cukup lama, karena membuat Elena merasa sedikit risih dan
malu.
Dipta sedikit menunduk, dan mengikat jasnya saat memperhatikan rok
istrinya tampak mengenaskan dan kotor. Setelahnya Dipta mengikat jasnya
diantara pinggang dan perut Dipta. Dipta langsung berbalik memunggungi
Elena.

Elena kira, Dipta akan meninggalkanya seperti biasa, namun matanya


hampir keluar karna terlalu besar melotot. Saat melihat suaminya itu
berbalik bukan untuk berjalan meninggalkanya. Tapi berbaik untuk
berjongkok di depannya.

Mulut Elena sampai menganga tidak percaya. Beneran Dipta mau


menggendongnya? Bener gak sih ini? Ini langka, beneran. Karna Dipta
bukan cuman menawarka telapak tangan untuk menuntun Elena, tapi ini
lebih extrim dari itu.

Dipta berjongkok di depanya? Iya berjongkok.

Kalian gak percaya kan? Iya sama, gue juga.

"Mas kamu?"

"Ayo naik!"

"Tapi-" "

"Cepet sebelum gelap." Potong Dipta cepat.

Dengan ragu-ragu Elena melingkarkan tanganya di leher suaminya. Melihat


keraguan istrinya, Dipta langsung menarik tangan Elena agar lebih rapat
pada tubuhnya. Dan berdiri sambil menahan berat tubuh istrinya dengan
tangan dikaitkan di belakang tubuh Elena.

Elena terpekik kuat karna kaget saat Dipta tiba-tiba berdiri. Reflek dia
langsung berpegangan erat.

"Ckkkkk. Len peganganya jangan terlalu erat." Protes Dipta.

Elena hanya menyengir menjawab protesan suaminya. "Eh iya-iya, maaf."


Elena langsung melonggakan pegangan tanganya dan meletakan dagunya di
pundak Dipta. Jika seperti ini, Elena seperti memeluk Dipta dari belakang.
Membuat senyum lebar terbit dibibirnya.

Duh nyamannya.

"Mas."

"Hmm."

"Kamu tau jalan balik ke tempat gedung tadi?"

"Aku udah ngasih tanda di setiap simpang. Jadi kita gak akan nyasar."

Elena hanya mengangguk hikmat mendengar jawaban suaminya. Gak salah


sih Dipta jadi tajir orang otaknya encer. Emang Elena, gumpel kayak
daging.
Perlakuan manis

Elena berulang kali menipiskan bibirnya, dan membenarkan letak duduknya


di dalam mobil. Sedang Dipta yang duduk di sampingnya terlihat serius
memandang ke arah luar, sama sekali tidak merasa terganggu dengan Elena
yang berulang kali bergerak mencari posisi duduk yang nyaman di
sampingnya.

Sedang Frida, sekertaris Dipta sudah seperti patung yang duduk diam di
samping supir tanpa berani bertanya atau melirik ke arah Elena.

Apa dia marah?

Di selimuti perasaan tak enak hati, Elena pun tak memiliki keberanian
hanya untuk sekedar bertanya, setelah kejadian beberapa waktu lalu.
Membuat urat malunya timbul seketika.

Saat dirinya di dalam gendongan Dipta yang tidak sadar tertidur sangking
kelelahanya. Sedang suaminya sudah seperti mayat hidup karna terus
berjalan sambil menggendong dirinya.

Membuat Elena merasa sedikit buruk, sebenarnya seberat apa tubuhnya?

Gajah bengkak? Oh jika sampai Dipta berani berpikir begitu atau


berasumsi melebihi itu, jangan salahkan Elena jika dia harus
mengeluarkan kekuatan supernya untuk membuat Dipta sadar dengan
keseksian Elena yang selama ini terpendam dalam diri.

Bukankah setiap gadis selalu sensitif dengan hal-hal yang berbau berat
badan atau bahkan lemak-lemak ditubuhnya?

Bahkan mereka bisa berubah menjadi THE POWER OF EMAK-EMAK


mengalahkan siapa saja yang membahas hal sensitif seperti itu pada
mereka.

Iya lah lampu merah aja bisa langsung berubah menjadi hijau, kalau sudah
berhadapan dengan the power of emak-emak. Apa lagi hanya orang-orang
seperti Dipta? Kecil itu mah. Pikir Elena ngelantur.

Lalu tiba-tiba saat mereka sampai di gedung dengan tak sabaran Dipta
langsung berteriak marah kepada semua orang yang ditemuinya membuat
Elena yang sedang enak-enaknya bermimpi langsung terlonjak kaget. Kan
jadi kesel.

Bahkan Frida yang tidak tau apa-apa juga kena hantam amarah Dipta yang
tidak beralasan, hanya cuman karna sedikit lelah menggendong Elena.

Dih cuman gendong gue tiga jam aja capek, gue aja yang digendong enak-
enak aja, gak komplen apa lagi marah. Masak dia marah, kayak badan gue
gendut aja? Bisik bawang merah dalam diri Elena.

Woy Elena lo kira badan lo sekecil marmut? Enak bener lo ngomong


begitu, gak liat itu kaki Dipta sampai gemeteran gara-gara gendong
bandan lo yang udah kayak buntelan lontong. Teriak bawang putih dari
dalam dirinya.

Tidak sadar, Elena mendesisi kesal memikirkan banyaknya asumsi-asumsi


aneh dalam dirinya.

Kapan sih otak gue waras?

Melirik Dipta dan Frida, dua sejoli itu malah terlihat menikmati kesunyian
di dalam mobil ini.

Gak tau apa, bibir gue udah gatel dari tadi gara-gara gak diajak ngobrol.
Mau ngajak ngobrol supir takut diomelin Dipta, ngajak Frida ngomong
malu kalau gak dijawab. Apa lagi ngajak papan seluncur ngomong, bisa
langsung dilakban bibir seksi gue sekarang.

"EHM" Dehem Elena keras.


Berharap dengan berdehem keras dapat membuat para manusia di dalam
mobil sadar jika masih ada dirinya di dalam mobil. Elena lagi-lagi dibuat
takjub dengan orang-orang di sekitarnya. Jangankan menoleh, satu pun
tidak ada yang melirik padanya.

Duh kalau seperti ini Elena merasa seperti IRON MAN.

Lelah mencari perhatian orang-orang di dalam mobil Elena pun


memutuskan bersandar dikaca pintu mobil di sampingnya. Wajahnya
memandang lurus ke arah Dipta yang hanya diam bersandar di kursi
sampingnya dengan tangan bersedekap di dada dan memandang ke arah
luar mobil. Lama-lama membuat Elena ngantuk juga karna tidak ada
kegiatan ataupun diajak berbicara.

****

Elena merasa tidur nyenyaknya terusik ketika sesuatu terasa menusuk-


nusuk pipinya.

Membuka mata yang masih terasa berat-beratnya, mata Elena langsung


melotot begitu tau, jari telunjuk Dipta menusuk-nusuk pipi mulusnya.
Memandang Dipta kesal, Elena sudah akan mengomel, jika saja dagu Dipta
tidak menunjuk ke arah kaca mobil.

"Bangun, kita udah sampai."

"Gimana sih. Bangunin istri gak ada manis-manisnya?" Dumel Elena kesal.

"Kamu ngomong sesuatu?." Tanya Dipta karna tidak terlalu mendengar


dumelan Elena.

"Enggak." Ketus Elena.

Dipta langsung berdecak kuat mendengar nada ketus istrinya. Tidak mau
repot-repot bertanya lebih, dia pun langsung melenggang turun dari dalam
mobil. Meninggalkan Elena yang menggerutu kesal dengan bibir maju
beberapa senti.

Dasar suami gak pekaaaaaa. Gaaak pekaaaaaaa.


Begitu membuka pintu, Elena mengernyit kening bingung, saat mendapati
Dipta sudah berdiri di samping mobilnya.

Dipta membuka pintu mobil samping Elena semakin lebar, setelah itu
tubuhnya membungkuk setengah dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa?" Tanya Elena bingung saat suaminya membungkuk di depnnya.

Bukan menjawab pertanyaan Elena, Dipta langsung menelusupkan kedua


tanganya diantara lipatan lutut dan leher Elena. Menggendong Elena ala
bridal style.

Elena yang tidak siap langsung menjerit kuat, begitu Dipta


menggendongnya.

"Diam Elena!." Protes Dipta saat istrinya menjerit tepat di telinganya.

"Aku kan kaget." Cicit Elena pelan.

Dipta melangkah masuk ke dalam hotel mengabaikan pertanyaan beberapa


pelayan dan tatapan heran orang-orang disekitar hotel.

Sedang Elena yang malu karna digendong oleh Dipta, semakin menyerukan
wajahnya ke dada bidang suaminya. Dengan senyum malu-malu seperti
anak ayam eh perawan.

Aroma keringat dan parfum Dipta langsung masuk ke dalam indra


penciuman Elena.

Duh wanginyaaaaaa, bikin hati gue megap-megap kayak ikan lele


kekurangan oksigen. Teriak hati kecilnya.

Elena semakin senyum-senyum sendiri ketika, Dipta tidak berkomentar saat


dirinya mengendus-endus dada bidang suaminya itu.

Mamaaaaaaaa oh maaaamaaaaa. Kan jadi pengen nyanyi.

****
Dipta mendudukan Elena di wastafel kamar mandi dengan hati-hati. "Kamu
bisa mandi sendiri kan?" Tanya Dipta.

"Dih, emang aku kenapa gak bisa mandi sendiri?" Jawab Elena sewot.

Mendengar nada sewot istrinya, membuat Dipta tersenyum sambil


mengacak pelan rambut istrinya.

"Ya udah gih mandi, aku tunggu di luar. Gak usah lama-lama main airnya,
kaki kamu luka, takut infeksi." Pesan Dipta melirik kaki Elena yang
terdapat banyak goresan-goresan kecil.

Elena ikut melirik kakinya, setelah itu mengangguk patuh. "Ya."

Setelah Dipta keluar, Elena memulai aksi mandinya. Bibirnya berulang kali
mendesis begitu merasakan perih di kakinya.

Baru sekali pergi jauh dari jakarta udah pada luka-luka, gimana kalau gue
ke luar negeri? Bisa bonyok kali muka gue. Batin Elena.

Selesai mandi dengan hati-hati Elena melangkah ke arah pintu kamar


mandi, ada perasaan ragu ketika Elena ingin membuka pintu. Karna
sekarang dia hanya menggunakan jubah kamar mandi, karna tadi dia lupa
tidak mengambil baju ganti.

Menyempulkan kepalanya diselah pintu kamar mandi yang dia buka sedikit,
Elena menghembuskan nafas lega begitu tak mendapati siapa pun di kamar
itu. Kamarnya nampak kosong, sepertinya Dipta sedang keluar. Walau
sudah menikah dengan Dipta tapi mereka belum pernah menunjukan hal-hal
intim satu sama lain.

Jadi, Yah Elena masih malu jika harus keluar kamar dalam keadaan seperti
ini. Walau tidak telanjang tapi tetap saja dia malu.

Merasa aman, pelan-pelan Elena melangkah keluar. Badanya sudah merasa


segar setelah mandi, untung tadi sebelum pulang ke hotel Dipta menyuruh
sekertarisnya memesankan makanan. Jadi dia hanya perlu istirahat
sekarang. Karna perutnya sudah kenyang.
Selesai berganti baju Elena mengambil P3K di laci samping tempat
tidurnya. Membawanya ke atas tempat tidur, dia ingin mengobati kakinya
yang terluka.

Belum juga Elena membuka kotak p3k pintu kamarnya sudah dibuka dari
luar. Dipta masuk dengan badan yang sudah segar selesai mandi.

Mandi di mana dia?

"Mas mandi di mana?" Tanya Elena penasaran.

"Di ruang kerja."

"Mas punya kantor di sini?" Tanya Elena takjub.

Dipta tidak menjawab, dia hanya berjalan terus ke arah Elena yang
berselonjor di atas kasur.

"Mas." Panggil Elena gemas karna suaminya malah mengabaikan


pertanyaanya.

Suaminya ini kapan sih ngomong gak setengah-setengah, buat dia gemas
aja. Kalau sudah gemas kan Elena suka khilaf.

"Ya." Jawab Dipta sekenaya.

Dipta duduk di dekat kaki Elena, memeriksa kaki istrinya yang terluka.
Menarik p3k yang dipegang Elena, Dipta pun membuka tutup dan bersiap
mengobati kaki Elena.

"A--aku bisa sendiri." Tolak Elena saat Dipta ingin mengobati kakinya yang
terluka.

"Diam!"

"Tap-"

Dipta langsung memandang Elena datar ketika istrinya akan protes. Melihat
tatapan suaminya yang tak bersahabat Elena pun hanya diam menurut.
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan, sampai kaki kamu penuh dengan luka
seperti ini?" Tanya Dipta pelan tapi datar.

"Aku kan lari-AWWWW sakit mas." Rengek Elena saat Dipta meneteskan
obat merah kelukanya.

"Ck. Manja." Ejek Dipta.

"Bukan manja. Kamu aja ngobatin gak pakai hati." Cibir Elena yang hanya
membuat Dipta mendengus kuat.

Elena terus memperhatikan Dipta yang dengan telaten mengobati lukanya.


Bahkan Elena bukan secara diam-diam memperhatikanya, melainkan secara
terang-terangan.

Dipta terlihat menyilaukan malam ini, dengan kaos rajut panjang yang
ditarik hingga lengan membuat dia terlihat tampan dan keren.

Biar dia gerah gue pelototin begini. Tapi kok dia sok ganteng banget sih,
Uhhh dia emang ganteng, tapi malam ini keliatan menyilaukan dimata gue,
kalau kayak gitukan gue jadi pengen nyender-nyender di dadanya plus elus-
elus dada bidangnya. Ckk, Len khayalan lo mulai gak wajar.

Elena memggeleng tak percaya dengan mata yang masih melotot ke arah
suaminya.

Ya ampun bahkan hanya dengan duduk kayak gitu aja, dia udah kayak
model profesional yang sedang memperagakan cara mengobati seseorang,
bikin air liur gue mau tumpah seketika. Dih Len jaga imez dong.

"Jangan melotot." Tegur Dipta ketus.

Elena berdecak sebal.

Orang ini benar-benar pinter menghancurkan khayalan indah gue.

Selesai mengobati luka istrinya, Dipta beranjak berdiri. "Mau ke mana?"


Tanya Elena sambil memegang ujung baju Dipta.
"Aku harus mengurus beberapa perkerjaan. Tidur lah." Seru Dipta.

"Ke mana?"

"Di kantor, di lantai bawah."

"Aku mau ditinggal sendiri?"

"Emang kamu mau ikut?"

"Emang boleh?"

"Enggak." Tolak Dipta tanpa pikir panjang.

"Iss..." Kesal Elena.

Dosa gak sih nyumpelin mulut suami pakek sepatu. Gue lagi pengen
nyumpel mulut Dipta soalnya. Sumpah. Pedes banget kata-katanya kayak
netizen.

"Nanti kalau ada setan di sini gimana?"

"Kamu setannya." Ucap Dipta mulai kesal, istrinya ini kenapa sih senang
sekali memanjing emosinya.

Muka cantik begini dikatain setan, giliran ketemu setan beneran aja dikata
cantik. Dasar laki gue rada-rada.

"Aku serius tau."

"Gak akan ada apa-apa Elena, memangnya kamu baru kali ini tidur sendiri?
Lagian kemarin-kemarin aku tinggal gak papa kan? Kalau ada apa-apa
kamu bisa telpon aku."

"Lagian kan itu kemarin, sekarang beda dong." Bela Elena tak mau kalah.
"Lagian kan aku lagi sakit. Masa ditinggal." Sambungnya memelas.

Gak papa kan akting dikit kali aja berhasil. Lumayan bisa tidur sambil
dipeluk manjahhhh..
"Yang luka itu pikiran kamu, apa kaki kamu sih?" Seru Dipta mulai
kehabisan kesabaran. Istrinya ini benar-benar. Apa tadi saat istrinya kesasar
otaknya terbentur sesuatu. Hingga membuat dia terlihat aneh dan
menyebalkan.

"Dih gitu banget sama istrinya." Protes Elena.

"Elena."

"Apa?" Tanya Elena sambil mengedip-ngedipkan matanya sok polos.

"Gak usah kekanak-kanak kan. Lepas!" Ucap Dipta penuh penekanan


sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Elena diujung bajunya.

Astagfirulloh. Kata-kata Dipta amazing, nusuk banget. Cekittttt ... Cekitttt.


Kayak habis ditusuk-tusuk jarum hati gue. Sakit cuy.

Sambil mengerucutkan bibirnya, Elena melepaskan genggaman tanganya


diujung baju Dipta. Membuat Dipta melangkah pergi. Tidak merasa
bersalah sedikit pun Dipta langsung melenggang pergi, tanpa mau repot-
repot menoleh ke arah Elena.

"Awas aja besok, gue bakal mogok ngomong sama dia." Dumel Elena kesal.

Dengan perasaan kesal Elena mengambil bantal dan memukul-mukulnya,


membayangkan jika saat ini dia sedang menghajar wajah tampan Dipta.

"DIPTA KAMPRETTTTTT KAMPRETTTT KAMPRETTTT


KESELLLLL GUE." Teriak Elena membahana diseluruh ruangan.

Mata Elena melotot begitu mendengar pintu terbuka dari luar.

Mampus gue, jangan-jangan Dipta denger lagi teriakan gue. Bisa digorok
gue entar.

Elena menghembuskan nafas lega ketika yang muncul bukan Dipta,


malainkan orang yang labih menyebalkan dari suaminya. Hanum.

"Sakit lo, Len?" Tanya Hanum melangkah mendekat.


"Gak." Ketus Elena.

"Gak suami, gak istri sama aja lo pada tukang ngibul. Pantes jodoh." Ucap
Hanum menggeleng kepala tak habis pikir. "Eh nyungsep di mana lo?"
Sambung Hanum menunjuk kaki adik iparnya.

"Nyungsep-nyungsep pala lo botak mbak, bahasa lo udah kayak bukan anak


sekolahan aja." Sewot Elena.

"Dih gitu aja ngambek."

"Ngapain lo ke sini?"

"Laki lo tu, ganggu me time gue aja. Gak tau apa gue itu capek, malah
disuruh-suruh ke sini."

"Capek ngapain lo? Ndekem di kamar aja capek."

"Lah gue kan ndekem di kamar ngumpulin pundi-pundi pahala. Emang lo,
bisanya ngumpulin dosa, nyumpah-nyumpahin laki lagi. Siap-siap deh lo
Ren, masuk neraka. Kalau gak, gih cari orang dalem, kali aja bisa masukin
lo ke surga." Sindir Hanum pedas.

"Asem lo mbak. Omongan lo udah kayak orang bener aja."

"Lah emang bener kali, lo gak tau kan. Seharian ini gue ngapain. Gue itu
habis mendesah-desah majah sama laki gue. Belum lagi bergoyang jumba
ala-ala black pink. Yang bakal buat laki gue gak bisa berpaling. Bukan
kayak lo, malah lomba lari sama para kaum babi hutan." Cibir Hanum.

Mendengar Cibiran Hanum kepala Elena pusing seketika.

Kenapa gak adek, gak kakak pinter banget sih. Buat gue stress.
Marah

Elena seharian ini benar-benar melaksanakan mode ngambeknya. Dari pagi


dia sudah kabur dari kamar hotel, walau dengan jalan yang terseok-seok
tapi tidak melunturkan sedikit pun semangat empat limanya untuk kabur.

Seakan belum cukup sampai di situ, dia juga tidak menggubris ponselnya
yang sedari pagi terus bergetar.

Bodo amat yang penting gue happy.

Hari ini biar suami Elena itu kapok, disusulin jauh-jauh dari jakarta
bukanya seneng, makasi tapi malah bikin kesel.

Kan jahat Elena kalau malah diam aja, kasian jiwa kesingelannya yang
terus meronta-ronta ingin mendapatkan haknya.

Sudah beberapa hari Elena di kalimantan, tapi tak sehari pun Dipta ambil
libur atau cuti. Jangan kan nemenin jalan-jalan nawarin aja enggak, kan
bikin kesel.

Kalian kalau punya suami yang model begitu, gimana pemirsa? Mau
dibejek-bejek jadiin perkedel, atau ditusuk-tusuk dibuat sate?

Ya sama intinya seperti itu lah pokoknya. Elena juga sama keselnya kayak
kalian jiwa para jomblo. Dengan kepercayaan diri di atas rata-rata hari ini
dia akan membuat suaminya itu kelimpungan lagi seperti kemarin.

Sama aja kali Len kemarin kelimpungan kalau ujung-ujungnya lo ditinggal


kerja lagi sama, Doi. Teriak iblis dalam diri Elena mulai beraksi.

Gak-gak Len jangan begitu, gimana kalau semalam itu emang kerjaan
Dipta penting dan gak bisa ditinggal? Buktinya dia nyuruh Hanum nemenin
kamu. Teriak malaikat lain dalam diri Elena ikut ngompori.

Elena manggut-manggut mendengarkan asumsi malaikat dalam dirinya.


Tapi kalau mengingat omongan Hanum.

Tapi kan tetep seharusnya dia peduli sama lo Len, masa iya lo sakit
ditinggal kerja. Kalau lo masih trouma terus psikis lo terganggu dan lo
mulai kehilangan akal gimana? Kompor iblis tak mau kalah.

Yah stres dong Elena kalau kehilangan akal? Kesetresan yang sekarang aja
hampir membuat mama Laras gila apa lagi nanti kalau nambah? Bisa gila
beneran mama Laras. hehehe sory ya.

Len kamu kan baik hati ayolah maafkan Dipta, jangan kekanak-kanakan.
Bujuk malaikat dalam hatinya.

Langsung membuat Elena dilama.

Ingat Len, kan kalau paksu khawatir sampai gak makan kan, kasian.
Owhhhh kaaaasiiiaaannnnnn.

Kasian ... kasian..

Nah denger Len lo dari kemarin dibilang kekanak-kanakan emang lo gak


sakit hati? Kalau gue udah lari ke laut menenggelamlan diri Len. Kompor
iblis semakin menjadi-jadi.

Elaena hanya diam sambil manggut-manggut membayang kan apa yang


terjadi pada dirinya.

Jangan terlalu mengingat keburukan Dipta Len, ingat juga gimana


manisnya dia kemarin. Kalau kemarin dia gak peduli, bisa saja dia
meninggalkan kamu, tapi buktinya enggak kan. Malahan kamu bisa
mencium aroma wangi tubuhnya. Udah maafin aja. Terus bujuk
malaikatnya.

Jangan Ren-

"DIAM." Teriak Elena tanpa sadar.


Otaknya cenat cenut memikirkan pedebatan iblis dan malaikat dalam
dirinya. Rasa-rasanya Elena ingin lari ke arah laut dan menenggelamkan
diri di sana. Tapi jika mengingat kalau nanti dia tenggelam, terus Dipta
malah bahagia, sampai buat acara syukuran tujuh hari-tujuh malam atau
bahkan 40 hari untuk acara kematianmya kan, gak Asik? Bisa-bisa rugi
bandar Elena, belum merasakan surga dunia sudah harus merasakan surga
akhirat, GAK MAU DONG ELENA.

Jadi hari ini Elena bertekat akan membuat suaminya itu sadar, sesadar-
sadarnya. Masa Elena kalah sama mbak Hanum, dia aja kemarin seharian
full bisa honeymoon alias produksi bayi.

Sedang dia, jangankan produksi bayi. Buat tanda-tanda akan memproduksi


saja masih hitam di atas abu-abu alias belum ada gambaran, alias belum
keliatan adanya tanda-tanda memulai pertempuran. Kan bisa Ambyar kalau
sampai ke duluan pelakor.

Kalau sampai itu terjadi bisa apa Elena, Netizen?? Nangis gulung-gulung di
tengah lautan dengan tarian jumba, atau dia harus terjun bebas dari gedung
kantor Dipta yang bikin silau mata kaca gedungnya? Kan gak lucu.

Bukan malah bikin mama Laras bangga dengan putrinya yang ada malah
bakal buat mama Laras ingin bakar Elena hidup-hidup.

Gak, gak mau, pokoknya gak maaaauuuu. Teriak hati kecil Elena.

*****

Pukul empat sore Elena baru kembali ke kamar hotelnya. Dengan senyum
cerah, secerah pepsodent, dia terus melangkah masuk ke dalam hotel.
Bahkan bibirnya bersenandung kecil membayang kan se'erat apa pelukan
Dipta padanya. Sampai dia bahkan akan bersujud-sujud minta maaf kepada
Elena. Membuat mood Elena naik di atas rata-rata seketika.

Duh senengnya...

Tapi keningnya mengernyit bingung ketika mendapati, Hanum mondar-


mandir di depan pintu masuk hotel.
Kenapa dia? Batin Elena mulai kepo.

"Yuuhuuu, kakak ipar ... Lagi apa lo?" Teriak Elena kelewat bahagia.

Hanum menoleh cepat ke arah Elena. "Bangsulllll. Dari mana aja lo, setan?"
Teriak Hanum menunjuk-nunjuk Elena seperti Elena adalah mahluk halus
yang tak kasat mata yang nongol di depannya.

Dih berlebihan sekali dia.

"Jalan-jalan dong, menikmati liburan." Jawab Elena enteng.

"Jalan-jalan? Jalan-jalan kenapa ponsel lo gak aktif, PEA?" Sembur Hanum


murka. Nafasnya bahkan sampai memburu lantaran kesal.

"Habis daya, kan buat foto-foto spot keren di sekitar sini." Jawab Elena
sambil melangkah mendekat ke arah Hanum bahkan senyumnya tidak
luntur sedikit pun, mendengar nada tak bersahabat dari kakak iparnya.

"Emang kenapa sih, mbak?" Sambungnya penasaran.

"Lo pergi gak pamit dodol. Udah tau lo kemarin habis nyasar, sekarang
malah ngilang gak pamit lagi. Mau jadi jailangkung lo? Datang gak
diundang pergi gak dianter." Sindir Hanum pedas.

Elena malah terkikik mendengar sindiran Hanum, membuat Hanum


mengernyit bingung dengan tingkah adik iparnya.

Aneh banget ni orang, disindir, diomelin malah cekikikan gak jelas. Habis
obat ni orang, janga-jangan dia mulai stres lagi kelamaan jauh dari
jakarta. Batin Hanum ngelantur.

"Gue kan gak goblok-goblok amat mbak, gak bakal lah gue ngulangi
kesalahan yang sama." Terang Elena dengan santainya.

"Terserah lo deh. Yang jelas lo harus mempertanggung jawabkan perbuatan


lo sekarang."

Tawa Elena reda, keningnya mengeryit samar.


"Maksudnya?"

"Noh laki lo, kayak orang kebakaran jenggot. Lo ngilang gak pamit sih.
Siap-siap aja deh lo, Len. Dibabat abis sama laki lo."Ucap Hanum terdengar
berlebihan.

"Banyak-banyak berdoa lo sama tuhan, biar selamat." Sambunya kian


berlebihan.

"Oh itu, tenang mbak. Gue udah memikirkan matang-matang soal itu. Jadi
lo gak perlu khawatir, gue bakal menghadapi itu dengan lapang dada."
Tutur Elena masih dalam mode enteng. Seakan ucapan Hanum itu sudah
Elena bayangkan sedari dia melangkah pulang ke arah hotel.

"Terserah lo deh Len. Yang penting gue udah ngingetin. Dan gue gak mu
ikut-ikutan karna udah buat Dipta murka."

"Lah, murka kenapa dia?" Tanya Elena heran. Kan bayangannya Dipta
sedih bukan murka.

"Murka ditinggal bininya ngilang gak ada kabar seharian. Jadi kurang
belaian." Jelas Hanum sok drama.

"Ah lebay lo mbak."

"Dih, dikasih tau gak percaya. Gih lo liat, ada di dalam kamar dia, seharian
ini gak ke mana-mana."

"Ngapain dia di dalam kamar? Emang dia gak kerja? Tumben dia
ngengkrem di dalam kamar?" Tanya Elena berturut-turut.

Mengangkat bahu cuek. "Ya iya lah orang dia habis mecat banyak orang
seharian ini, kalau dia masih berani keluar kamar. Gue jamin, bisa tutup
hotel ini sekarang." Ucap Hanum santai.

Kedua mata Elena melotot.

"Separah itu, mbak?" Tanyanya mulai khawatir.


Hanum hanya mengangguk polos yang dibuat sok berlebihan. "Ah gak
percaya gue." Ucap Elena ragu-ragu.

Bahkan senyuman Elena sudah hilang digantikan perasaan was-was.

Gimana kalau yang dibilang mbak Hanum beneran? Beneran dibabat habis
gak ya gue? Batin Elena mulai takut.

****

Dengan hati-hati Elena malangkah masuk ke dalam kamar, bahkan dia


membuka pintu pun sangat penuh kehati-hatian seakan pintu itu terbuat dari
kaca jika tidak berhati-hati akan pecah. Tapi dia seolah lupa, jika pertama
kali dia membuka pintu akan terdengar bunyi TING di dalam kamar. Dan
Elena melupakan itu.

Matanya langsung mengabsen setiap inci ruangan kamar ketika dia sudah
berhasil masuk, bahkan pandanganya sudah seperti seorang pemburu yang
sedang mencari mangsa.

Mendadak air ludah Elena terasa langsung berhenti ditenggorokan begitu


melihat Dipta suaminya, sedang duduk tenang di sofa dengan melipat
kakinya ke atas, bertumpu pada kaki yang lain, sambil memangku buku
yang tebalnya seperti kamus.

Udara kamar langsung terasa dingin dikulit Elena, bahkan kakinya yang
terluka tidak terasa sakit untuk melangkah sangking gugupnya.

Dipta, suaminya terlihat tenang tanpa terganggu sedikit pun dengan


kedatangannya. Tapi ibarat sebuah air yang tenang, kita tidak bisa menebak
akan sedalam apa dasarnya kan? Dan bisa saja air yang tanpak tenang itu
akan menghanyutkan kita. Itulah yang Elena pikirkan saat ini.

"Dari mana?" Tanya Dipta pelan tapi terasa dingin di telinga Elena, bahkan
Dipta tidak mau repot-repot memandang atau melirik ke arahnya sedikit
pun.
Menelan ludah gugup. "Em ... It--u aku ... tadi habis jalan-jalan sekitar
hotel. Oh, Iya sekitar hotel." Gagap Elena kikuk.

Merasa aneh kenapa yang takut Elena sekarang, bukankah seharusnya Dipta
yang merasakan kegugupan dan ketakutan ini? Lalu kenapa sekarang malah
terbalik?

Ayo Len ke mana larinya semangat empat lima lo tadi? Kenapa sekarang lo
keliatan kayak anak tikus habis kecebur got? Cemen banget tau gak. Bisik
hati kecil Elena.

Dipta mendongak memandang Elena, wajah tenang tapi menghanyutkan


miliknya memandang lurus ke arah Elena.

"Kamu yakin hanya jalan-jalan sekitar hotel?" Tanyanya pelan tapi terasa
berbahaya untuk Elena.

Bulu kuduk Elena nyaris berdiri mendengar nada suara Dipta, seakan dia
sedang menguji nyali saat ini. Konyol bukan?

"Lalu kenapa jam segini baru pulang?"

Elena menarik nafas dalam, matanya ikut terpejam mengikuti setiap tarikan
nafasnya.

Tenang Len. Tenang

Tarik nafas dalam.

Hembuskan.

Tarik nafas lagi.

Hembuskan.

Di sini yang salah Dipta bukan lo, jangan takut. Lo harus lebih nyeremin
dari Dipta. Ucap hati Elena memberi semangat.
Semua yang dilakukan Elena tak luput dari pandangan Dipta. Wajah pria itu
terlihat begitu serius memandang istrinya. Bahkan alisnya pun sampai ikut
terangkat satu mamandang heran pada Elena yang hanya diam.

"Kenapa emangnya?" Jawab Elena mulai sewot. Karna berhasil menguasai


diri.

"Kenapa?" Tanya Dipta sinis tak habis pikir dengan jawaban istrinya.

"Iya, kenapa? Aku pergi atau enggak kan gak akan berpengaruh untuk
kamu, toh aku di sini juga hanya akan menjadi pajangan cantik untuk
kamu."

Rahang Dipta mengetat mendengar suara tenang istrinya tapi sangat berefek
luar biasa bagi tubuhnya. Tubuh Dipta terasa kebakar dengan ucapan Elena,
dia seperti ingin mencekik seseorang sekarang untuk melampiaskan
emosinya. Tapi tidak mungkin istri cantiknya bukan?

Berdiri dari duduknya, Dipta langsung melangkah mendekat dengan


pandangan lurus ke arah Elena. Bahkan matanya seakan sudah siap untuk
menerkam istrinya hidup-hidup.

Elena tidak tau saja jika ucapannya berhasil memancing amarah dalam diri
Dipta yang sedari tadi hampir surut ketika dirinya melangkah masuk ke
kamar ini.

"Kamu bisa mengulangi kata-kata mu lagi, Elena?!"

"Kenapa? Kamu mau marah?" Tantang Elena tak gentar, padahal kakinya
sudah gemetar saat matanya bertatapan dengan sorot mata tajam pria itu.

Duh gusti, Dipta kesurupan kali ya? Matanya nyeremin.

Terkekeh sinis. "Marah?" Tanya Dipta seakan mencemooh ucapan Elena.

Elena diam. Kedua matanya tidak lepas menatap ke arah Dipta.

"Apa menurut kamu sedari tadi aku tidak marah? Apa lagi ketika
mendengar istri ku menghilang dari pagi tanpa kabar? Apa menurut kamu,
sedari pagi aku tidak boleh marah?" Ucap Dipta pelan tapi wajah dan
telinganya sudah memerah menahan amarah yang terasa bergejolak dalam
dirinya, sebisa mungkin dia menahannya agar tidak meledak.

Dan Dipta yakin jika Elena terus memancing amarahnya, dia bisa berteriak
murka pada wanita itu saat ini juga. Tapi sebisa mungkin dia berpikir
dengan logis, wanita ini, wanita yang sedang berdiri di depanya ini adalah
wanitanya. Istrinya. Orang yang sedari pagi dia khawatirkan.

Wanita yang akan menemani Dipta menghabiskan waktu seumur hidup.


Menemaninya di seluruh sisa hidupnya. Jika dia kehilangan kontrol dan
berteriak marah saat ini, bisa dipastikan Elena akan ketakutan padanya. Dan
Dipta tidak menginginkan hal itu.

Dia harus tetap menjaga intonasi suaranya tetap pelan meski kepalanya
sudah berdenyut nyeri akibat terus menahan amarahnya yang sudah
mencabai ubun-ubun. Apalagi, Dipta tidak ingin berbicara kasar pada
istrinya, tidak akan pernah.

"Kamu khawatir sama aku?" Tanya Elena mulai tersurut marah.

"Apa aku perlu menjawabnya saat ini?"

"Ya. Karna aku sanksi jika kamu benar-benar khawatir."

Dipta mendengus mendengar jawaban Elena. Sepertinya saat ini Dipta


benar-benar ingin berteriak murka di depan wajah istrinya, mengatakan
seberapa khawatirnya dia tadi.

Elena melangkah mendekat ke arah Dipta. "Kenapa? kamu keberatan?"


Tunjuk Elena pada dada bidang Dipta. Elena ikut kesal sekarang mengingat
suaminya yang selalu berlagak paling benar.

"Kamu yang meminta ku untuk belajar menerima pernikahan konyol ini?


Kamu juga yang menyuruh ku belajar menjadi istri yang baik. Lalu apa?
Ketika aku sudah berusaha, tapi malah mendapatkan perlakuan cuek, dan
tidak perdulian dari kamu. Begitu?" Teriaknya yang sudah mulai terpancing
amarah Dipta.
Elena menggeleng dengan tatapan putus asa. Dan semua itu tak luput dari
pandangan Dipta. Dia tersentak dengan ucapan istrinya. "Bahkan ketika
semalam kamu keluar dari ruangan ini dengan sikap acuh dan tak pedulimu,
aku sudah merasa aneh dan buruk."

"Dengar-"

"Enggak, kamu yang harus dengar aku sekarang!" Seru Elena memotong
ucapan Dipta tegas."Kamu." Tunjuk Elena pada Dipta sambil melangkah
mundur.

"Kamu yang harus dengar aku sekarang!" Ucapnya tegas.

"Aku jauh-jauh datang ke sini nyusul kamu, bahkan aku bertaruh nyawa.
Seumur hidup, aku bahkan tidak berani keluar dari jakarat. Kamu tau, aku
tidak pernah berani naik pesawat. Tidak pernah berani meninggalkan rumah
terlalu jauh. Tapi demi kamu, aku melakukan itu untuk pertama kalinya.
Karna apa?"

"Karna aku juga ingin mempertahankan rumah tangga yang konyol ini.
Rumah tangga yang sejak awal sulit aku percaya dan terima." Ucap Elena
masih dengan suara kuat, tapi tidak bisa menutupi jika suaranya mulai
bergetar sekarang. Elena ingin menangis sekarang.

Berangsur-angsur wajah kaku Dipta menyurut, bersamaan dengan langkah


kakinya yang mendekat.

"Elena?" Panggil Dipta melembut. Amarahnya sudah berganti perasaan tak


nyaman sekarang. Apa lagi mendengar suara bergetar Elena yang bergetar.

Elena mengangkat sebelah tanganya ke atas. Seakan menyuruh Dipta diam


mendengarkan semua keluh kesahnya saat ini . "Dari aku sampai di sini,
pernah kita berbicara, membahas sesuatu tentang hal-hal yang menyangkut
hubungan kita?"

Elena menggeleng dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Enggak. Kita gak


pernah membahas apa pun. Kamu hanya sibuk meeting, kerja, kerja dan
kerja. Menyelesaikan pekerjaan yang aku bahkan gak tahu sampai kapan.
Dan semua itu, selalu membuat aku yang berakhir tidur di kamar ini,
sendiri."

Dipta menggeleng ketika melihat mata Elena sudah berkaca-kaca. Tidak


menyangka jika perbuatanya malah membuat istrinya sedih separah ini.
Tapi Dipta juga punya alasan kenapa dia bersikap seperti itu.

"Elena dengar, ini bukan seperti yang kamu pikirkan ..." Serunya mencoba
ingin menjelaskan.

"Enggak. Aku gak mau denger apa pun sekarang, Dipta! Aku capek, mau
istirahat." Tolak Elena tegas. Layaknya alarm peringatan bagi Dipta.

Elena bahkan memanggil Dipta sekarang tampa mau menambah embel-


embel mas. Yang artinya dia benar-benar marah kali ini.

Anda mungkin juga menyukai