facebook
twitter
google+
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..."
Ibnu berujar hati-hati.
Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai
ke sana. Mungkinkah?
Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi,
gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah
melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini
adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa
membayangkannya.
Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah,
ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung
menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad
tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.
Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah
serta hilangnya nafsu makan tapi juga karena beban pikiran. Sikap Ibnu yang semakin
perhatian menambah perasaan bersalah Elena namun ia tak berani mengakui dosa-
dosanya.
Ibnu melihat metamorfosa Elena sebagai bentuk tobat yang jujur. Apalagi setelah rutin
menghadiri majelis ilmu, ahlak dan kepribadian Elena berubah menjadi lebih indah. Ia
juga semakin dekat dengan Maryam. Bukan hanya itu, Elena sekarang sudah nyaman
mengenakan gamis dan kerudung yang menutup dada dan bagian belakangnya.
Bahkan selalu berkaos kaki keluar rumah, meski hanya ke warung tetangga.
Safitri benar, Ibnu mulai jatuh cinta pada sosok Elena. Hanya saja ada satu hal yang
mengganggu pikiran Ibnu, sejak menyadari kehamilannya Elena berubah menjadi lebih
pendiam dan sering terlihat murung. Setiap kali ditanya, ia selalu menjawab bahwa
semua baik-baik saja. Tapi ia tahu, Elena menyembunyikan sesuatu.
Elena sedang duduk di teras depan rumahnya, menikmati sore berdua dengan Maryam.
Bercengkrama sambil menikmati coklat hangat dan roti bakar buatan Elena.
"Ummi selalu menyempatkan waktu berdua bersamaku, seperti kita sekarang ini.
Sambil menyisir rambutku, ia akan memberi nasehat panjaaaaaaaaaaaaang sekali.
Tapi aku tak pernah bosan mendengarnya."
"Ya kata ummi, perempuan itu cuma punya dua pilihan. Menjadi sebaik-baik perhiasan
atau seburuk-buruk fitnah," ujar Maryam sambil memainkan ujung kerudung Elena.
"Memangnya kau mengerti maksud nasehat ummi tadi?" tanya Elena penasaran.
Baca Juga
"Awalnya tidak tapi kemudian ummi menjelaskan bahwa Islam sudah mengangkat
kemuliaan perempuan jadi jangan malah merusaknya sendiri. Ummi bilang perempuan
itu istimewa dan cantik karenanya Islam mewajibkan untuk menutup aurat supaya
terjaga, menjadi sebaik-baik perhiasan. Kalau tidak menutup aurat sama seperti
merusak dirinya sendiri dan menjadi ujian buat orang lain," tutur Maryam panjang.
'Masyaa Allaah ... gadis sekecil ini sudah paham batasan aurat, sementara ia baru saja
mulai belajar taat', desah Elena dalam hati malu.
"Sayaaaaaaang."
"Baiklah, maukah kau mengajarkan padaku apa-apa saja yang ummi nasehatkan
padamu?"
***
Tengah malam Elena terbangun, merasakan basah di bagian bawah perutnya sebelum
akhirnya rasa mulas itu datang semakin menjadi-jadi. Ia terkejut, nampaknya air
ketuban sudah pecah membasahi tempat tidurnya.
"Mas ..." Elena menyentuh pipi Ibnu membangunkannya tetap berusaha tenang.
Ibnu tipe suami siaga, sekali usapan lembut sudah membuatnya terjaga.
"Ya ya, apa sudah waktunya? Ya Allah, air ketubannya sudah pecah, Elena!" seru Ibnu
mulai panik.
Elena mengangguk lemah, dahinya berpeluh menahan rasa mulas yang datang dan
pergi yang semakin sering.
Dengan sigap diraihnya tas berisikan perlengkapan melahirkan yang sudah siap sedia
di dekat tempat tidur. Lalu ia membopong Elena hati-hati masuk ke dalam mobil. Ibnu
kembali lagi ke rumah, kali ini ia keluar menggendong Maryam yang masih tertidur dan
meletakkannya di bangku tengah.
"Sabar ya, tahan ... istighfar yang banyak," Ibnu mengucapkan itu berkali-kali. Satu
tangannya menyetir mobil sedang satu tangan lainnya memegang gawai (hp)berusaha
menghubungi seseorang.
"Assalamualaykum, Abah? Ini aku, Ibnu. Elena sudah waktunya melahirkan, kami
sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Bisakah Abah dan Ummi menjemput Maryam
dan menemaninya sementara waktu? Baik, baik. Terima kasih banyak.
Assalamualaykum," Ibnu menutup pembicaraannya dan memasukkan gawainya ke
saku kemejanya.
Elena mengerang, sebelah tangan Ibnu sigap meraih tangan Elena dan
menggenggamnya seolah ingin mentransfer sebagian kekuatan untuknya. Elena
meremas jemari Ibnu setiap kontraksi itu datang.
Tiba di rumah sakit, pegawai medis dengan sigap menyambut Elena. Hanya selang
beberapa menit kemudian, abah dan ummi datang tergopoh-gopoh. Ibnu langsung
mengoper Maryam ke dalam gendongan Abah. Matanya memohon restu kepada kedua
orang itu, abah menepuk-nepuk pundak Ibnu.
Tepat adzan shubuh, setelah berjuang berjam-jam akhirnya Elena melahirkan seorang
bayi laki-laki. Ibnu mengucap syukur dan tak kuasa membendung buliran bening dari
matanya. Dihujaninya Elena dengan kecupan di kepalanya dan ucapan terima kasih.
Elena ikut menangis terharu.
Seorang suster menyodorkan bayi merah yang terbungkus selimut kepada Ibnu. Bayi
itu menangis keras dengan mata terpejam. Dengan hati-hati Ibnu menerimanya,
menciumnya kemudian memperdengarkan adzan di telinganya. Ia menimangnya
perlahan dan membisikkan doa-doa. Tangis bayi di pelukannya sedikit demi sedikit
mereda, seperti menikmati suara merdu Ibnu. Kemudian matanya terbuka dan sosok
Ibnu yang pertama kali dilihatnya.
Ibnu memperhatikan sosok mungil itu sambil tersenyum, kulitnya putih bersih, pipinya
bulat, badannya montok, hidungnya mancung. Senyum Ibnu berangsur surut ketika ia
melihat bola matanya ... coklat kebiruan.