Anda di halaman 1dari 5

MERAIH IMPIAN

Di suatu perdesaan, tinggallah seorang anak yang bernama Alvin ibrahim, orang-orang sekitar biasa
memanggilnya vin. Ia adalah seorang anak lelaki yang ramah nan baik hati. Ayahnya bekerja sebagai
pegawai dinas dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kehidupan sehari-harinya teratur mulai dari
sekolah, berkebun, belajar, bermain, membantu orang tua, dll.

Hidup di desa membuat dirinya menjadi seorang anak yang mandiri dengan keadaan ekonomi yang
pas-pasan. Tak jarang ia iri melihat kehidupan anak-anak saudara yang serba berkecukupan. Hingga
suatu hari, guru SMP Alvin menghampirinya ketika hendak berjalan keluar kelas untuk pulang.

“vin, sini sebentar”

*Alvin berjalan mendekat dengan tangan memegang tas punggungnya.*

“Ada apa Bu?”

*Ibu guru tersebut menjulurkan suatu buku berjudul Negeri 5 Menara.*

“Untuk kamu, bacalah di waktu luang.”

Alvin menerima buku tersebut dengan sungkan, lantaran luarnya yang masih terlihat bagus dan dapat
ia perkirakan harganya yang mahal. Alvin membalik buku tersebut dan membaca sinopsisnya. Sebuah
buku motivasi ternyata, Alvin memang sering meminjam buku di perpustakaan karena hobi
membacanya. Sayang, perpustakaan di sekolah desa ini tak lengkap.

“terima kasih Bu.”

*Ucap Alvin penuh girang lalu berbalik pulang.*

Ia memasukkan buku tersebut ke dalam tas dengan perasaan gembira. Begitu Alvin kembali ke
rumah, kedatangannya disambut oleh sang ibu yang tengah menyiapkan makanan siang. Setelah
memberi salam, ia berjalan ke kamar dan melepas baju. Kemudian ia mengeluarkan buku tersebut dan
membacanya. Baru terhabiskan lima lembar seseorang membuka pintunya, sang ibunda ternyata.

“Alvin cepat makan kemudian bantulah bersih-bersih di ladang”

*Bibirnya melengkung turun melihat reaksi sang ibu.*

“Tidak bisakah aku tidak berkebun hari ini bu? Ada buku yang sangat ingin ku baca. ”
Ibunya dengan cepat menolak dan memaksa Alvin untuk pergi ke kebun, karena memang itu lah
rutinitas sehari-harinya. Ia mengambil buku tersebut dan meletakkannya di atas meja. Tangannya
terangkat membangunkan sang anak kemudian mengajaknya ke dapur.

“Buat apa baca buku seperti itu? Anak desa besarnya paling jadi petani atau pedagang kecil.”

Alvin terdiam dalam makannya, apa Tuhan juga berpikiran seperti itu. Apa ia tak punya sedikit pun
kemungkinan melewati batas yang orang-orang bentuk. Dan lalu Ia ingin mengunyah makanan dan
sambil menonton TV, Alvin pun melihat salah satu siaran TV yang memperlihatkan orang yang begitu
sukses dan terkenal.

“apakah aku akan sukses juga Seperti orang² yang ada di TV sana?”. Tanya Alvin dalam hati nya

Lain seperti yang terpampang dalam TV. Ia ingin kehidupan keluarga mereka membaik. Alvin mau
menjadi sukses, meski ia belum tahu apa mimpinya. Ia ingin membantu sang ayah, agar tak selalu
pulang dengan punggung membungkuk kelelahan. Begitu sampai di ladang, dengan telaten Alvin
membersihkan rumput liar dan pekerjaan lainnya.

Selain Alvin, ada dua anak desa yaitu sahabat Alvin yang juga bergabung. Sebisa mungkin Alvin
bergerak cepat agar ia bisa segera membaca buku itu kembali. Tak sampai dua jam, pekerjaan Alvin
habis dan ia memilih berteduh di bawah pohon pisang dengan lembaran buku yang terbuka.

“vin pekerjaan mu sudah selesai?

*Alvin mengangguk.*

“Sudah.”

”Cepat sekali.” Celoteh salah satu temannya yang bernama arfa.

*Kedua teman tersebut berjalan mendekat, melihat apa yang tengah Alvin lakukan. Lalu arfa
menunjuk buku yang Alvin pegang.*

“Ngapain baca buku?”

Enggak usah mimpi tinggi-tinggi vin, besar-besar paling kerja di kebun juga. Alvin hanya tersenyum
singkat mendengarnya. Kenapa semua kalangan usia selalu meremehkan tekad yang ia punya.

* Lalu Seorang anak gadis duduk yang bernama tadano di samping Alvin.*

“Kalau di desa susah vin, di kota baru semuanya gampang.”

Sarannya memberi tahu. Alvin pulang ke rumah ketika langit berubah oranye dengan lesu. Apa ia
harus membuang semua impian dan tekadnya. Semua perkataan orang membuat pendiriannya
menjadi goyah. Ketika membuka pintu rumah, Alvin melihat orang tuanya tengah bercengkerama di
kursi kayu. Alvin berjalan mendekat untuk bersalim tangan.

Wajah ayahnya terlihat semringah hingga Alvin dibuat penasaran dengan percakapan mereka.
di detik selanjutnya Alvin melompat-lompat ke udara mendengar kabar bahwa ayahnya dipindah
tugaskan ke kota. Sungguh apa ini yang namanya mukjizat Tuhan. Di titik ini Alvin merasa satu
langkah lebih dekat dengan mimpinya.

Alvin berkutat di dalam kamar semalaman menghabiskan semua lembar buku tersebut. Kelima tokoh
di dalamnya berhasil mencapai mimpi mereka, meski banyak rintangan yang menghadang. Alvin tahu
apa yang diinginkannya. Ia ingin menjadi seniman, melukis dengan pena memberi motivasi semua
anak desa seperti dirinya bahwa kita bisa sampai di tujuan yang tinggi.

Begitu banyak temannya yang berpikir pendek, tapi itu tak boleh dibiarkan terus terjadi. Meski
dirinya masih mengenakan seragam, mulai detik ini akan ia susun mimpi-mimpinya hingga tercapai
suatu hari nanti. Di hari kepindahannya ke kota, semua berjalan baik. Rumah yang mereka tempati
lebih bagus dari yang sebelumnya.

Dengan berat hati, ia meninggalkan semua teman, guru, dan orang-orang tersayang di desa. Alvin
pikir semuanya akan menjadi mudah, tetapi ia salah. Ketika sampai di sekolah baru, ia menerima
banyak cacian, hinaan, dan buli hanya karena ia berasal dari desa dengan kulit yang gelap. Bahkan
ketika ia menyampaikan cita-citanya di depan kelas, semua murid menertawainyakah mengatakan
bahwa itu hanya angan-angan.

Konflik batin dan fisik ini membuat Alvin menangis bahkan setiap malam. “Tuhan, Alvin lelah, Alvin
Cuma pingin kehidupan yang baik, kehidupan yang bisa mendukung mimpi Alvin.” Keluhnya dengan
suara kecil agar tak membangunkan orang tuanya di kamar sebelah. Keesokan paginya, ketika Alvin
berjalan menuju sekolah tak ada yang mau berangkat bersamanya.

*Ia melangkah sendiri dengan wajah yang ditekuk.*

“Ini yang katanya anak desa mau jadi Seniman, mimpi aja kali ya.”

“Nggak tahu diri tuh, sok-sokan padahal miskin.”

Caci maki tersebut berusaha tak Alvin hiraukan. Disaat-saat seperti ini, Alvin sangat merindukan
kehidupan di desa. Meski mereka sama meragukan mimpi Alvin, tapi setidaknya mereka tetap
berteman dan tak menjauhi Anan. Seorang kakak perempuan sangat cantik yang bernama komi
datang menghampiri Alvin dan berjalan di sampingnya.

“Kamu anak desa yang mimpi jadi Seniman ya?”

*Tannya kak komi tersebut. Alvin mengangguk dengan terpesona.*


“Iya kak komi.”

*Kak komi tersebut mengambil tangan Alvin dan menurunkan badan.*

“Kamu enggak usah dengerin omongan seperti itu. Meskipun kamu dari desa mimpilah setinggi-
tingginya dan wujudkan itu.”

*Tangan kakak tersebut masuk ke dalam tasnya, merogoh sesuatu.*

“Ambil ini, kamu bisa belajar cara-cara menjadi seniman yang hebat. Kamu tidak tahu kalau di masa
depan mungkin tulisan kamu nantinya bisa menyelamatkan anak-anak desa yang lain. ”

*Alvin mengambil buku tersebut dengan pandangan yang berbinar.*

“Terima kasih kak.”

“Sama-sama.”

Di setiap waktu, Alvin akan pergi ke warnet lalu menuliskan kisah hidupnya di setiap lembar kertas
digital. Hal itu terus ia lakukan setiap hari tanpa lelah. Sampai suatu hari sang ibu menyadari
perbuatan Anan dan mencegat anaknya.

Kamu kenapa ke warnet terus?

Kamu kira masuk warnet enggak bayar?

*Anan menggeleng.*

“Bu, Alvin bayar pake uang bantu jualan dagangannya Tante shouuko kok.”

*Ibunya mengambil sapu.*

“Sekarang kamu masuk kamar, nggak ada ke warnet-warnet lagi. Nggak usah berharap tinggi, kamu
sendiri yang sakit kalo itu nggak kesampaian.”

Alvin mengunci kamarnya dan mengurung diri di balik selimut. Badannya bergetar dengan air mata
yang terus mengalir.

“Hiks…hiks…”

Tangsinya tak terbendung lagi bahkan diiringi sesenggukan. Tapi Alvin teringat oleh perkataan kak
komi tersebut. Dengan cepat ia mengusap air dan membangkitkan semangat. Alvin mengambil
flashdisk yang berisi tulisannya dan melompat dari jendela. Ia berlari menuju warnet dan mengupload
semua tulisannya ke dalam satu blok yang bisa dilihat siapa saja, dengan harapan tulisan tersebut bisa
berguna. Siapa sangka dalam hitungan bulanan, tulisannya dibaca ratusan ribu kali. Dengan semua
jerih payahnya, sebuah perusahaan penerbitan mengirim email menawarkan untuk menerbitkan
tulisan Alvin. Sungguh suatu kebanggaan, ternyata tidak salah ia mimpi setinggi itu. Ia bisa menjadi
salah satu penulis termuda dengan kasah kehidupannya yang inspiratif. Sekarang Anan berdiri
dimenaranya sendiri, menara yang ia susuh dengan penuh dedikasi. Nyatanya masih banyak orang di
luar sana yang peduli dengan mimpi anak-anak.

“terima kasih Tuhan, semua mimpiku tercapai berkat bantuanmu”

*Alvin sambil terharu gembira*

Anda mungkin juga menyukai