Anda di halaman 1dari 2

Terik sinar matahari seakan membakar kulit.

Remaja laki-laki yang kini sibuk dengan


petikan gitarnya tidak peduli dengan panasnya siang yang mencekam. Lantunan lagu yang tak
pernah selesai hingga akhir, terdengar dari satu kaca mobil ke kaca yang lain.

Seribu.. dua ribu.. tiga ribu.. ucap remaja itu menghitung hasil jerih payahnya siang ini.
Tak banyak yang ia peroleh, namun ia harus mensyukuri itu semua.

Wildan kini menikmati angin membelai lembut wajah yang terpahat tanda kelelahan di
bawah pohon yang rindang. Ya, ia telah selesai mencari uang untuk menyangga kehidupan
bersama ibunya yang kini berjuang seorang diri membesarkannya. Banyak Wil? tanya Reza,
salah satu sahabatnya yang juga telah selesai mengamen. Alhamdulillah kata Wildan dengan
segaris senyum di wajahnya. Wildan tidak pernah mengeluh atas rezeki yang ia peroleh. Dia
selalu yakin bahwa Tuhan telah bersikap adil kepada seluruh umat-Nya. Walaupun kini ia masih
berusia 13 tahun, namun dia sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian ayah nya
2 tahun lalu.

Jam menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya Wildan harus pulang ke rumahnya. Ia
bergegas pulang ke rumah dengan mengayuh sepeda biru pemberian ayahnya dulu. Setiba di
rumah, suara batuk memenuhi ruangan. Ia lalu pergi mencari ibu yang ia miliki satu-satunya.
Ibu kenapa? Sudah minum obat? tanya Wildan lirih. Wildan, kau sudah pulang nak? Iya, ibu
sudah minum obat. kata ibu Wildan yang tengah berbohong. Obat yang ia miliki sudah habis,
namun ia tidak tega menambah beban anaknya yang telah bekerja keras sepanjang hari untuk
membiayai obat dari penyakitnya yang tidak kunjung sembuh.

Wildan pulang ke rumah hanya ingin melihat kondisi ibunya dan mematiskan obatnya
telah diminum. Setelah memastikan kondisi ibunya, Wildan kembali bergegas mengayuh
sepedanya menuju tempat yang sering ia kunjungi setiap sorenya. Tempat itu terletak di tengah-
tengah kota yang dapat diakses oleh semua penduduk tanpa terkecuali. Perpustakaan Kota
memang sudah menjadi tempat langganan Wildan sejak ia berumur 10 tahun. Ayahnya sering
membawa Wildan ke sana dahulu dan berkata bahwa dengan membaca kita dapat menjadi orang
yang berguna di kehidupan. Ayahnya membiasakan Wildan gemar membaca, walaupun mereka
ialah keluarga yang serba berkekurangan, namun ilmu yang diperoleh dari buku yang mereka
baca di Perpustakan Kota tidak dipungut biaya sedikit pun. Ya, di sanalah Wildan dapat
memperoleh ilmu bermanfaat yang kini ia tidak bisa peroleh melalui bangku sekolah.

Ayah dan ibu Wildan mendidiknya dengan sebaik mungkin. Sehingga, Wildan kini
tumbuh menjadi anak yang mandiri serta dapat diandalkan. Sekarang, ia telah sampai di tempat
yang memberikan banyak kenangan bersama ayahnya. Nasihat demi nasihat ayahnya kembali
terngiang di telinga Wildan. Dulu, setiap sore ia habiskan bersama ayahnya mulai dari
Perpustakaan Kota hingga menikmati sore di Taman Kota. Terkadang di Taman Kota, ada
pertunjukan seni daerah yang dapat ditonton oleh masyarakat. Mulai dari pertunjukan tari
tradisional, musik tradisional, dan karya seni daerah lainnya. Ayahnya pun memberi pengajaran
mengenai betapa pentingnya melestarikan budaya daerah dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kecintaan terhadap kearifan lokal. Wildan sangat menikmati sore-sore nya dahulu

Kini ia harus menikmati sorenya seorang diri, mengulas kembali kenangan yang telah
lalu. Bukan hanya kenangan yang indah terlintas, namun kenangan akan mimpi buruk senantiasa
menghantam benaknya. Ia selalu ingin terbangun dari mimpi buruk itu, tapi ia harus menelan
kenyataan yang menyesakkan. Dua tahun lalu, ayahnya terenggut maut dengan cara yang
memilukan. Tempat ini menjadi saksi bisu kepergian pahlawannya itu. Sore yang mereka lalui
begitu mengasyikkan hingga akhirnya

Anda mungkin juga menyukai