PENDAHULUAN
Tugas dari obat adalah untuk menjaga dan mengembalikan kesehatan pasien
atau meminimalisir penederitaan pasien. Untuk mencapa tujuan tersebut,
pengetahuan mengenai nyeri harus diketahui secara menyeluruh sebagai penunjuk
penyakit dan memberikan petunjuk kepada pemeriksa. Nyeri didapatkan dari
ebragai situasi. Penyebab paling besar adalah kerusakan. Nyeri selalu bersifat
subjektiv dan semua individu menggunakan istilah ini melalui pengalamannya yang
dihubungkan dengan kerusakan. 17 Pada bab selanjutnya akan lebih dijelaskan lebih
juas mengenai nyeri, macam-macam nyeri, mekanisme nyeri dan juga manajemen
terapi yang tepat untuk nyeri
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.1
Menurut North American Nursng Diagnosis Association, nyeri adalah suatu
keadaan, yang merupakan pengalaman individu dan menunjukkan rasa
ketidaknyamanan atau sensasi yang tidak nyaman yang ditunjukkan melalui
komunikais verbal secar langsung atau melalui perilaku.Nyeri adalah perasaan
tidak senang yang dikonversi pada otak melalui saraf sensori. Sinyal ini muncul
saat ketidaknyamanan atau adanya keruskan di jaringan pada tubuh.
Bagaimanapun, nyeri lebih dari sekedar sensasi atau bentuk kesiagaan fisik dar
tubuh, itu juga merupakan persepsi dan interpersepsi subjektif dari
ketidaknyamanan. Persepsi ini memberikan informasi pada lokasi nyeri,
intensitas, dan mengenai asalnya. Bermacam respon secara sadar maupun tidak
sadar pada sensasi dan persepsi, termasuk respon emosional. 2,3
B. Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri akut dan nyeri kronik
Nyeri berdasarkan durasi wkatu individu mengalaminya dibedakan
menjadi dua yaitu acute pain (nyeri akut) dan chronic pain (nyeri kronis).
a. Nyeri akut adalah pengalaman nyeri sementara yang menimbulka
ketidaknyamana pada individu selama kurang dari enam bulan. Saat
indivisu yang merasakan nyeri akut biasanya ia akan memiliki tingkat
kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan normal. Namun saat
kondisinya membaik, tingkat ditress nya pun akan menurun.4
2
b. Nyeri kronis adalah pengalaman nyeri yang terus-menerus terjadi
selama enam bulan atau lebih. Penderita nyeri kronis biasanya akan
memiliki kecemasan yang tinggi dan cenderung mengembangkan
peerasaan putus asa dan tidak berdaya. Hal ini karena ia merasa
berbagai pengobatan yang dijalaninya tidak dapat menurunkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Contohnya, migraine, chronic low
back pain, rheumatoid arthritis, dan kanker. 4
2. Nosiseptif dan nyeri neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan
kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi
pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang
nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik
opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang
meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan
dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri
neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik
opioid. 5,6
3. Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan
tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama
dengan asal nyeri. Dalam diagnosis klinik, rasa nyeri yang berasal dari
macam-macam organ visera dalam abdomen dan dada merupakan salah
satu kriteria yang dapat dipakai untuk mendiagnosa peradangan visera,
penyakit infeksi visera dan kelainan visera lain. 7
Salah satu perbedaan paling penting antara rasa nyeri permukaan
dan rasa nyeri visceral adalah, walaupun organ visera mengalami
kerusakan yag berat jarang mencetuskan rasa nyeri yang hebat.
Sebaliknya, setiap stimulus yang menimbulkan perangsangan difus pada
3
ujung serabut nyeri melalui organ visera (viskus) akan menimbulkan rasa
nyeri yang hebat.
Contoh nyeri viseral yang dapat menimbulkan nyeri, sebagai berikut :
a. Iskemia
Iskemia menyebabkan nyeri viseral dengan cara yang tepat sama
seprti timbulnya rasa nyeri di jaringan lain, keadaan ini mungkin
disebabkan oleh oleh terbentuknya produk akhir metabolik asam atau
produk yang dihasilkan oleh jaringan degenerative, seperti bradikiin,
enzim proteolitik atau bahan lain yang merangsan ujung serabut
nyeri.7
b. Stimulus kimia
Jika bahan-bahan yang ruska keluar dari traktus gastrointestinal
masuk ke dalam rongga peritoneum. Contohnya, asam proteolitik
getah lambung keluar karena adanya ulkus, sehingga merangsang
daerah serabut nyeri yang luas, rasa yang timbul biasanya sangat
hebat.7
c. Spasme viskus berongga
Spasme pada bagian usus, kandung empedu, saluran empedu, ureter,
atau setiap viskus berongga dapat menimbulkan rasa nyeri, mungkin
karena terangsangnya serabut nyeri atau spasme yang terjadi mungkin
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otot yang membawa
nutrisiuntuk metabolism. Nyeri yang biasa timbul dicetuskan dalam
bentuk kram, dengan rasa nyeri yang hebat kemudian menghilang.7
d. Distensi berlebihan pada viskus berongga
Keadaan ini dapat disebabkan karena isi yang terlalu berlebihan. 7
e. Visera yang tidak sensitive
Sebagaian kecil daerah organ visera ada yang hamper sama sekali
tak peka terhadap setiap macam nyeri. Daerah ini meliputi daerah
parenkim hati dan alveoli paru. 7
4
4. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,
mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,
jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan
peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding
parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus
spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana
dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.5,8,9
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi
dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang
sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi
melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu
ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan,
rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi
apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus
spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk
berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran
kanan bawah. 8,9
C. Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus
noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan
mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks
serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan
5
bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu
perbaikan jaringan yang rusak.
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor terdiri dari serabut saraf Aδ dan
serabut saraf C. Terdapat juga serabut saraf aferen primer yang lain yaitu Aβ
yang membawa rangsangan non-noxious. Terdapat perbedaan diantara serabut
aferen primer tersebut, masing-masing dari serabut saraf tersebut memiliki
karateristik yang berbeda-beda pada proses transmisi informasi sensori.
1. Aβ fibers memiliki myelin dan berdiameter besar, sehingga mampu
mengantarkan sinyal dengan cepat. Serabut ini memiliki aktivasi
permulaan yang lambat dan biasanya berspon terhadap sentuhan
rongan dan rangsangan non-noksius.
2. Aδ fibers adalah memiliki myelin yang halus dengan diameter yang
lebih kecil, dan mengantarkan sinyal lebih lambat daripada Aβ fibers.
Serabut ini merespon pada rangsangan mekanik dan suhu.
Rangsanngannya tajam nyeri tajam, cept dan terlokalisir.
3. C fibers adalah serabut saraf yang tidak memiliki myelin dan juga
serabut yang paling kecil. Oleh sebab itu, serabut ini lambat dalam
mengantarkan konduksi. C fibers berpong terhadap kimia, mekanik,
dan suhu. Memiliki sifat nyeri yang tumpul dan difus.
Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus
noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan
mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya
stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas
stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining
fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri. 10,18
1. Perjalanan nyeri (nociceptive pathway)5
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang
merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi,
6
transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)
a. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada
ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-
reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti
histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan
ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
b. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer
ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama
membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral
serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan
emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri..
c. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf
pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis
7
merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik
endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana
kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah
yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
d. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik. 5
8
D. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri dilakukan untuk menetukan terapi yang tepat dan efektif.
Skla penilaian nyeri dan keterangan pasien digunkan untuk menilai derajat
nyeri. Banyak skala yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat nyeri.
5,6,11
9
4. Visual Analogue Scale (VAS)
10
dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat
yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (nosiseptif).5,9
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini
menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang
diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa
lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan
fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral. 5,9
F. Penanganan nyeri
Efektevitas pengobatan nyeri postoperasi terdiri dari beberapa factor,
meliputi perawatn yang baik, teknik nonfarmakologi, seperti distraksi, dan
keseimbangan kombinasi analgesi untuk meredakan nyeri yang adekuat
dengan kombinasi obat yang optimal menggunkan dosis efektif yang paling
rendah.
11
1. Farmakologis
Terdapat empat golongan besar obat-obatan analgesic yang
digunakan utnuk manajemen nyeri postoperasi pada table dibawah :
Tabel 1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri 6
12
diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah, dapat digunakan sebagai
tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.
a. Analgesi Multimodal
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik
yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek
analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping
dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja.6
Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara
berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni 5,6,11,12
• Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS :
• Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
• Peningkatan proses modulasi dengan opioid
Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan
dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan
opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri
13
pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat
sedang sampai berat.6
b. Opioid
Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang meghasilkan
efek seperti morfin. Istilah opiate dicadangkan untuk obat-obatan
seperti morfin dan kodein, yang didapat dari sari buah popi opium.
Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor
opioid spesifik pada susunan saraf pusat (SSP) untuk menghasilkan
efek yang meniru efek neurotransmitter peptide endogen, opiopeptin
(misalnya, endorfin dan enkefalin).
Analgesik opioid, karena sifat analgesiknya sangat kuat, sering
dipakai untuk respon terhadap tindakan manipulasi operasi atau untuk
menumpulkan respon terhadap tindakan manipulasi saluran napas
seperti intubasi. 18
Karena cara kerja opioid adalah dengan terikat pada reseptor opioid
dalam berbagai tingkatan (yaitu reseptor mu, kappa, delta, dan sigma),
efek samping yang ditimbulkan pun beragam. Secara umum efek
samping yang muncul berupa nausea, pruritus, dan sedasi. 18
Walaupun opioid mempunyai daerah efek yang luas, penggunaan
utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas
yang menyertainya, baik karena operasi atau sebagai akibat luka atau
suatu penyakit, seperti kanker. 13
1) Morfin
Morfin enyebabkan analgesia (menghilangkan nyeri tanpa
hilangnya kesadaran). Opioid menghilangkan nyeri dengan
meningkatkan ambang rasa nyeri pada tingkat medulla spinalis, dan
yang lebih penting lagi, dengan mengubah persepdi otak terhadap
nyeri.13
Efek pernapasan menyebabkan depresi pernapasan dengan
pengurangan sensitivitas neuron pusat pernapasan terhadap karbon
14
dioksida. Ini terjadi dengan dosis biasa morfin dan diperkuat jika
dosis ditingkatkan sampai akhirnya pernapasan berhenti. Efek
samping lain adalah muntah, disforia, dan alergi yang
meningkatkan efek hipotensi.13
Dosis morfin, bolus 1-2 mg, subkutan: 0.1-0.15 mg/kg 4-6
jam, berdasarkan skor nyeri, laju sedasi dan repirasi.
2) Fentanil
Fentanil yang secara kimia berhubungan dengan meperidin,
mempunyai analgesic 80 kali dari morfin, dan digunakan untuk
anestesi. Mempunyai mula kerja cepat dan masa kerja singkat (15
samapi 30 menit). 13
3) Meperidin
Meperidin digunakan untuk nyeri akut, meperidin
menyebabkan depresi pernapasan sama seperti morfin, tetapi tidak
ada efek yang bermakna terhadap kardiovaskuler bila obat
diberikan perioral. Pada pemberian intravena, meperidin
menghasilkan suatu penurunan resistensi perifer dan peningkatan
aliran darah dan dapat menyebakan peningkatan denyut jantung.
Meperidin mempunyai sifat yang unik yaitu menurunkan shivering
pasien pada dosis 25 mg secara intravena.
Meperidin menimbulkan analgesia untuk semua tipe nyeri
berat. 13
Morfin 20 menit
4 jam
Meperidin 15 menit
Waktu sampai efek puncak
2 jam
Lama kerja
Fentanil 5 menit
45 menit
15
4) Kodein
Kodein mempunyai analgesik yang kurang poten daripada morfin,
tetapi mempunyai kemanjuranper-oral yang lebh tinggi. Kodein
sering digunakan dalam kombinasi dengana spirin atau
asetamonifen. Pengunaan oral, dosis 3 mg/kg/hari dikobinasikan
dengan parasetamol.
c. Non-opioid
1) Parasetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan
antipiretik, dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat
digunakan untuk penanganan nyeri berat paska pembedahan dan
terapi paliatif pada pasien-pasien penderita kanker. Onset
analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena,
efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia
4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit.
Parasetamol termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan
termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (masih
ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti
inflamasi yang sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya.
Akan tetapi parasetamol bekerja dengan mekanisme yang sama
dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa prostaglandin).
Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan
obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam
lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan
yang memanjang 14,15,16
Asetaminofen bekerja dengan jalan menhambat sintesis
prostaglandin pada SSP.
2) NSAIDs
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid merupakan suattu grup obat
yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas
antipiretik, analgesic, dan anti-inflamasinya. Obat-obat ini
16
terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim siklo-
oksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase. Efek anlgesik
NSAIDs , prostgalndin E2 (PGE2) diduga mensensitisasi ujung
saraf terhadap efek bradikinin, histamine, dan mediator kimiawi
lainnya yang dielpaskan secara local oleh proses inflamasi. Jadi,
dengan menurunkan sintesis PGE2, aspirin dan NSAIDs lainnya
menekan sensasi rasa sakit. Salisilat digunakan terutama untuk
menanggulangi rasa sakit intensitas ringan sampai sedang yang
timbul dari struktur integument daripada yang berasal dari
visera. 6,13
Dosis obat NSAIDs konvensional,
- Ketorolac : 3 x 30-40 mg/hari (IV)
- Diklofenak : 2 x 75 mg/hari
- Ketoprofen : 4 x 50 mg/hari
- Meloxicam : 15 mg/hari
- COX-2 inhibitors sekarang dibolehkan untuk anajemen nyeri
postoperasi, dan sama efisin dengan ketorolac tapi dapat
menyebabkan efek samping gastrointestinal.
Parecoxib : 40 mg, 1-2 x 40 mg/hari (IV)
Celecoxib : 200 mg/hari
d. Adjuvan
Pemberian obat analgesic NSAIDs atau paracetamol, opioid lemah,
dan non opioid diberikan pada nyeri yang sedang sampai berat.
Begitupula dengan ketamine dan klonidin. Klonidin dapat diberikan
secara oral, intravena atau secara perineural dengan dikombinasikan
dengan local anestesi. Bagaimanapun, efek sampingnya dapat
menjadi penting untuk diperhatikan. Efek samping yang paling
penting diperhatikan adalah hypotensi dan sedasi. Ketamine dapat
17
diberikan secara oral, intramuscular atau intravena. Ketamine juga
memiliki efek samping yang penting.6
2. Non-farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan
untuk membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti
menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme
otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri
kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah
laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord
Stimulation, Intracerebral Stimulation).5,11
18
Tabel 4. Dosis dan cara pemberian opioid 18
19
BAB IV
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Available in https://www.iasp-pain.org/Taxonomy
2. Miller‑Keane M. Miller‑Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine,
Nursing, and Allied Health. 7th ed. Philadelphia, PA: Saunders, An Imprint
of Elsevier, Inc.; 2003.
3. Definition of Pain of Medical Dictionary. Available from:
http://www.medicaldictionary.thefreedictionary.com.
4. Hanum, L. 2012. Tesis: Manajemen Nyeri untuk Mningkatkan Penerimaan
Nyeri Kronis pada Lansia Inetrvensi Multi-komponen Kelompok Cognitive
Behavior Therapy (CBT). Universitas Indonesia
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.2006 . Pain Managament. In : Morgan
GE, editor. Clinical Anesthesiology, 4th. Lange Medical Books/McGraw-
Hill.
6. Rawal N, Fischer HBJ, Ivani G, Andreas JD, Mogensen T, Narchi P, et al.
2008. Post operative pain management – good clinical practice. European
Society of Regional Anaesthesia. Sweden,
7. Guyton AC, Hall JE. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit: EGC.
Jakarta.
8. Bonica JJ, Loeser JD. History of pain concepts and therapies. In : Loeser
JD, editor. The Management of Pain, 3rd editin. Lippincot Willian Wilkins.
9. Abraham SE, Schlicht CR. Chronic Pain Management. In : Barash PG,
Cullen BF, Stoleting RK, editors. Clinical Anesthesia,
10. Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain
Medicine. In : Acute Pain Management : Scientific Evidence. Australian
Government. National Health and Medical Research Council. 2010
11. Tanra AH. Pengelolaan Nyeri Paska Bedah. Pertemuan Ilmiah Berkala
(PIB) IX IDSAI. Medan ; 2002
12. Umar N. Acute pain : management strategies that work. Pertemuan Ilmiah
Berkala (PIB) IX IDSAI. Medan ; 2002
21
13. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar
Edisi 2. Penerbit : Widya Medika. Jakarta
14. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Scotland :
National Health Service (NHS). Available from :
http://www.sign.ac.uk/pdf/SIGN106.pdf.
15. Bertolini A, Ferrari A, Ottani A, Guerzoni S, Tacchi R, Leone S.
Paracetamol : New vistas of an old drug 51. . CNS drug reviews. 2006 ;
12(3–4) : 250–75.
16. Medication and Drugs. MedicineNet : 1996-2010
17. Elavarasi P, Kumar K H. 2016. Definiton of Pain and Classification of Pain
Disorders. Journal of Advanced Clinical & Reserch Insight, 3, 87-89.
18. Pramono A. 2017. Buku Kuliah : Anestesi. Penerbit: EGC. Jakarta
19.Tintinalli and Harwood & Nuss, World Health Organization 3-Step
Analgesia Ladder for Cancer & Washington Manual Intership Survival
Guide, 2008
22