Anda di halaman 1dari 10

BERU DAYANG DAN ASAL USUL PADI DI TANAH KARO

Buah-buahan dan umbi-umbian. Semula hanya itu makanan pokok suku Karo di Tanah
Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Namun, meskipun hanya menggantungkan hidup pada
berbagai jenis buah dan umbi-umbian yang berasal dari hutan, mereka dapat hidup makmur
dan sejahtera. Apalagi pemimpin di pulau itu adalah seorang raja yang arif dan bijaksana.
Tapi cahaya kesejahteraan itu tiba-tiba redup. Tak pernah terbayangkan sebelumnya
masa kegelapan akan menaungi kehidupan suku Karo. Alkisah suatu ketika musibah besar
melanda Tanah Karo yang beribukota di Kabanjahe itu. Musim kemarau berkepanjangan tak
kunjung berakhir. Hujan seolah enggan menyapa bumi Karo. Tanah kering kerontang sehingga
pepohonan layu sebelum sempat berbuah. Akibatnya hampir seluruh penduduk di wilayah itu
pun menderita kelaparan.
Sang Raja tak tinggal diam. Ia memerintahkan rakyatnya untuk melakukan berbagai
ritual. Seperti upacara Mindo Udan (meminta hujan) dan upacara Erpangkir Ngarkari (berkemas
membersihkan diri untuk membuang sial). Namun segala upaya itu tak jua mendatangkan hasil.
Kekeringan masih terus menjangkiti seluruh daerah itu. Malapetaka tersebut semakin menjadi-
jadi sehingga tubuh para penduduk kian melemah dan kurus kering.
Konon di tengah-tengah penderitaan yang merajalela, tersebutlah seorang anak
perempuan yatim bernama Beru Dayang. Ia salah satu penduduk suku Karo yang tinggal
bersama ibunya. Pada suatu hari, Beru Dayang menangis meraung-raung di pangkuan ibunya.
Wajahnya pucat pasi, tubuhnya tinggal kulit membalut tulang.
“Ibu, aku lapar sekali…. Aku mau makan, Bu. Aku sungguh tak tahan lagi menahan perih
perutku,” rengek Beru Dayang.
Ibunya pilu mendengar tangisan Beru Dayang. Hatinya bagai tersayat pisau belati. Tapi
apa daya, ia tak memiliki makanan apa pun untuk diberikan kepada Beru Dayang. Ia hanya bisa
bisa mendekap erat-erat puteri semata wayangnya itu. Pipinya telah dibanjiri oleh air mata.
“Apalah daya Ibu, Nak?! Ibu tak punya setitik pun makanan untukmu,” isaknya. Linangan
air mata pun semakin deras mengalir.
Karena tak lantas mendapatkan makanan, kelemahan tubuh si Beru Dayang semakin
bertambah-tambah. Ia kian lemas dan tak berdaya. Sampai akhirnya Beru Dayang
mengembuskan napasnya yang terakhir. Ibunya yang mendapati Beru Dayang perlahan
berhenti menangis dan terkulai, menjerit-jerit histeris. Ia menyadari anaknya telah meninggal
dunia.
“Beru Dayang, bangun Nak! Janganlah kau tinggalkan Ibu seorang diri,” teriaknya sambil
mengoyang-goyangkan tubuh Beru Dayang. Tangisnya semakin pecah tatkala mendekap erat
tubuh kaku Beru Dayang. Ia tak percaya Beru Dayang sungguh-sungguh telah tiada. Kabar
kematian Beru Dayang membuat rakyat berduka cita. Namun mereka tiada dapat berbuat apa-
apa karena semua mengalami penderitaan yang sama. Kelaparan.
Bencana kemarau yang merenggut nyawa puterinya, membuat ibunya Beru Dayang tak
kuasa membendung kesedihannya. Ia merasa apalah artinya hidup ini tanpa Beru Dayang
berada di sisinya seperti dulu. Kesepian kerap menghujam kalbunya. Selama ini hanya puteri
satu-satunya itu obat mujarab pelipur lara dalam suka dan duka.
Di suatu malam yang sunyi kelabu, ibunya Beru Dayang terseok-seok berjalan menuju ke
sungai terdalam di ujung pedesaan. Ia terpaku di tepi sungai dengan tatapan kosong. Tak
dinyana, ia hendak berniat mengakhiri hidupnya.
“Wahai Dewata Penguasa Langit dan Bumi! Perkenankanlah Kau hilangkan derita dan
kepedihanku untuk selama-lamanya!” jerit perempuan paruh baya itu sebelum akhirnya terjun
ke sungai.
Alkisah bertutur ia menjelma menjadi seekor ikan. Tetapi tak seorang pun warga yang
mengetahui hal itu. Karena masing-masing sibuk berjibaku dengan rasa lapar yang memilin-
milin isi perut hingga menjalar ke ulu hati.
*****
Waktu terus bergulir. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan,
namun musim kemarau masih terus berlabuh di Tanah Karo. Sengatan panas mentari seolah
membakar bumi. Melegamkan tubuh yang tinggal kulit membungkus tulang. Banyak penduduk
suku Karo yang tak mampu bertahan hidup. Suasana duka dan derai air mata seakan menjadi
santapan sehari-hari di pulau itu.
Di balik kegelapan pasti ada setitik cahaya terang. Di tengah-tengah parahnya musim
panceklik, ternyata masih terdapat beberapa penduduk yang tak patah arang. Mereka terus
berusaha pergi ke hutan untuk mencari buah atau umbi-umbian. Baik orangtua maupun anak-
anak ikut serta. Mengais tanah dan tumpukan daun kering, berharap ada makanan yang
tertimbun di bawahnya. Sampai suatu ketika segelintir anak-anak menemukan sebutir buah
berwarna keemasan, berbentuk bulat, dan berukuran sangat besar di hutan. Mereka heran
sekaligus takjub melihat buah itu.
“Wah, buah apakah ini gerangan?” ucap salah seorang anak.
Anak-anak yang lain menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak tahu sambil terus
memandangi buah itu tak berkedip. Karena tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui
buah apa yang mereka temukan, salah satu dari anak-anak itu setengah berlari mendatangi
orangtuanya yang berpijak di tempat lain di hutan itu bersama orangtua lainnya. Anak itu
hendak menunjukkan penemuan buah itu.
“Bapa, Nande, lihatlah buah temuan kami!” ujarnya dengan napas tersengal-sengal.
“Buah apa yang kau maksud, Nak?” tanya ibunya.
Anak itu lantas menarik lengan ibunya menuju ke tempat buah itu berada. Langkah
mereka diiringi oleh ayahnya dan penduduk lainnya yang penasaran dengan buah yang
dimaksud anak itu. Raut wajah penuh harapan tersirat. Terbayang buah lezat yang mungkin bisa
mereka makan bersama.
“Luar biasa, ini mukjizat dari Dewata!” seru Bapa saat melihat buah itu. Ia sendiri
merasa tak pernah mengetahui buah semacam itu. Begitu pula penduduk lainnya. Mata mereka
tak beralih dari buah itu, pun mulut mereka tak berhenti mengaguminya.
Kabar tentang keberadaan buah misterius itu semakin menyebar ke seantero kampung
Tanah Karo. Tapi sayangnya, tak ada satu pun penduduk yang mengenali buah itu. Sampai
akhirnya mereka memutuskan membawa perkara ini kepada raja. Salah seorang penduduk
kampung diutus ke istana untuk menghadap Raja.
“Baiklah, bawalah aku ke tempat buah itu berada!” perintah Raja.
Raja memerintahkan semua rakyatnya berkumpul guna memecahkan misteri tentang
buah itu. Para penduduk Tanah Karo lekas berbondong-bondong ke hutan.
Lingkaran mata membesar dan seruan kekaguman membahana sesampainya mereka di
hutan melihat buah itu. Begitu pula yang terjada pada Raja. Ia terheran-heran. Raja mengusap
buah itu seraya berjalan mengitarinya. Diamatinya buah itu dengan saksama. Tatkala
keheningan menghujam karena pesona buah itu, terdengarlah suara ajaib dari angkasa yang
memecah kesunyian. Sontak semua kepala menengadah ke langit mencari sumber suara itu.
“Wahai penduduk rakyat Karo. Buah yang besar nan elok itu adalah penjelmaan dari si
Beru Dayang yang telah diturunkan ke bumi. Kalian potong-potonglah buah itu sampai halus.
Dan tanamlah setiap potongannya. Tapi satu hal yang harus kalian ingat, Beru Dayang sangat
merindukan ibunya yang telah menjelma menjadi seekor ikan di sungai terdalam di ujung
pedesaan ini. Pertemukanlah mereka. Jika tanaman ini sudah tumbuh dan berbuah, berilah dia
makanan. Jika kalian melaksanakan amanat ini dengan baik, maka terlepaslah kalian dari derita
kemarau panjang. Dan sungguh kalian tidak akan kelaparan lagi!” perintah suara misterius itu.
Setelah suara itu menghilang, spontan Raja berkata, “Itu adalah suara Dewata yang
harus kita laksanakan perintahnya dengan sebaik-baiknya. Dan, ingatlah kita semua tidak boleh
lengah dari semua pesan itu.”
Rakyat Karo mengangguk-angguk. Tanpa pikir panjang lagi, Raja memerintahkan
penduduknya untuk memotong-motong buah itu sampai halus. Ia sendiri ikut terjun langsung
membantu rakyatnya memotong-motong buah itu. Kemudian, Raja meminta semua rakyatnya
bergotong-royong untuk menanam potongan-potongan itu. Tidak boleh ada seorang pun yang
terlihat bermalas-malasan.
*****
Beberapa minggu berlalu. Tak dinyana, tanaman itu tumbuh subur dengan warna
keemasan yang sedap dipandang. Buah tanaman itu menguning dan telah siap untuk dipanen.
Rakyat di Tanah Karo bersuka cita karena ternyata potongan-potongan buah yang mereka
tanam adalah bibit padi. Tak dapat dilukiskan perasaan gembira penduduk suku Karo atas
mukjizat tersebut. Sejak saat itulah orang-orang di Tanah Karo menyebut nama tanaman padi
dengan si Beru Dayang.
Mereka pun siap bekerja keras kembali, menuai, lalu menanam bibit-bibit padi itu. Saat
pertama kali menanam bibit padi di ladang, Raja berkata, “Beru Dayang harus senantiasa
dilindungi. Tunaikanlah persembahan sirih kepada Beraspati Taneh sebagai ucapan terima kasih
kita. Dan bersihkanlah ladang sepenuh hati agar para gadis dan pemuda bersemangat
menanami ladang!” perintah Raja.
Alkisah tradisi pada zaman itu, yang bertugas menanam padi adalah anak-anak gadis
dan para pemuda. Bukanlah orangtua seperti yang terjadi di masa sekarang. Dengan bimbingan
Raja dan tetua adat, para pemuda dan gadis desa membawa air yang dicampur dengan
bermacam dedaunan yang disebut simalem-malem dan kalinjuang.
Raja juga meminta kepada masyarakat suku Karo untuk bekerja sama mengadakan
upacara Merdang (menabur benih). Upacara itu dipercaya sebagai ritual atau permohonan
kepada Beraspati Taneh (Dewa Penguasa Tanah) agar berkenan memelihara padi yang ditanam.
Sehingga padi tumbuh subur, dan siap dipanen dengan hasil melimpah ruah.
Ketika bibit padi telah disebarkan dan dimasukkan ke dalam tanah, gadis-gadis dan
pemuda-pemuda itu memercikkan air ke atasnya seraya berkata, “Wahai Beru Dayang, bangun
dan tumbuh suburlah engkau!”
Para tetua adat mengimbau kepada Raja agar membuatkan tempat tinggal untuk si Beru
Dayang sebagai anak perempuan kecil yang dihormati. Dan supaya Beru Dayang betah
bertumbuh subur di Tanah Karo. Maka dibuatkanlah tempat tinggal si Beru Dayang di
perladangan, yaitu perbenihan atau tempat persemaian.
Semua penduduk bahu membahu mempersiapan berbagai peralatan dan perlengkapan
upacara Merdang. Upacara itu dilakukan sejak pagi hari, saat nangkih matawari (saat matahari
terbit). Karena mereka percaya jika bekerja sejak pagi akan membuat rejeki juga menaik tinggi
seperti tinggi matahari. Dan diselesaikan pada sore harinya tanpa mengeluh. Pemimpin upacara
adalah ayah dalam keluarga si pemilik ladang.
Raja dan para ayah mempersiapkan daliken (tungku). Tungku itu terbuat dari dua
potong kayu nderasi dan kayu lengit. Setiap perlengkapan yang dipergunakan mengandung arti
tertentu. Seperti daliken melambangkan sistem kekerabatan kalibumbu (kelompok marga yang
sangat dihormati), senina (saudara semarga), dan ras anak beru (keluarga yang mengambil atau
yang menerima isteri. Kayu nderasi melambangkan kalibumbu dan senina. Sedangkan kayu
lengit melambangkan anak beru. Rakyat di Tanah Karo begitu menjaga sistem kekerabatan
tersebut.
Anak-anak beramai-ramai membantu menyediakan berbagai jenis tumbuhan yang
terdiri dari kayu besi sangkal sempilet, kalinjuhang, sere-sere, keciwer (kencur), dan tebu
mentah. Tak ketinggalan pula para gadis yang membantu ibu mereka menyediakan belo bujur
(seperangkat sirih sebagai ucapan terima kasih), kampil indong-indong (tempat sirih),
penggelebeng, dan benih padi terbaik secukupnya. Benih padi ini kemudian dimasukkan ke
dalam sumpit perdanaken (sumpit kecil terbuat dari pandan). Tak lupa pula dipersiapkan uis
ragi nteneng, cincin pijer, dan gelang tumbuk, semuanya itu sebagai perhiasan bagi Beru
Dayang.
Begitulah cara bekerja masyarakat Tanah Karo. Pekerjaan terasa lebih ringan karena
mereka kompak dan bergotong-royong. Raja pun ikut terjun langsung, dan tak pernah sedikit
pun lengah dari berbagai prosesi ritual tersebut. Hingga selesailah berbagai persiapan upacara
Merdang dengan sempurna.
Raja dan seluruh warga, tak terkecuali anak-anak turut serta ke ladang. Para ayah
membawa dedaunan kalinjuhang (lambang atap rumah Beru Dayang), daun besi sangkal
sembilet (lambang kekuatan roh Beru Dayang), daun keciwer (lambang penawar atau obat),
sere-sere (lambang rambut Beru Dayang), dan tebu gara (lambang mainan Beru Dayang), serta
bibit padi di dalam sumpit perdanaken).
Sesampainya di ladang, Raja memimpin sang ayah berlutut menghadap matahari terbit,
dan si ibu berada di samping mereka. Sebagai langkah awal, mereka hendak menyampaikan
persembahan kepada Beraspati Taneh. Di atas perbenihan, telah diletakkan sirih berisi kapur
dan gambir. Selang beberapa saat kemudian, mereka mengucapkan sudip (doa upacara)
dengan sepenuh hati dan perasaan mendalam.
“Sentabi kami man bandu kam desa si waluh ras wari si telu puluh ras nembahken jari-
jari sepuluh. Maka ni sembahken kami man kam Beraspati taneh sikenjahe ras sikenjulu ras ke
ku bertengna tengah enda kepe tanah enggo ngeloh-nggelohken pagena buah merik manuk,
mejuah-juah kami kerina i rumah.”
Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan persembahan kepada Beru Dayang. Uis
ragi nteneng dihamparkan di atas perbenihen, di atasnya diletakkan perhiasan-perhiasan untuk
Beru Dayang, dan di sebelahnya diletakkan bibit padi di dalam sumpit perdanaken.
Dalam keadaan masih berlutut para ibu mengunyah sirih dan sang ayah kembali
mengucapkan sudip, “Sentabi kami man bandu Beru dayang, ku enahken kam ku taneh
pelayaran. Maka ntah lit gia pagi sora kalak megang, ntah taneh na meruntuh, ntah perkasa
nduppang, ntah angina na ertiup-tiup, ntah kalak kegoncanganen dareh, ola kam mbiar beru
dayang. Sebab enda kal kam kusuanken ingan ras lape-lapendu i jenda. Ntah sekaligia kami la
tiap wari kujuma abadna wari mehulinge, sebab ijenda kucibalken erta-erta, I rumah cincin
pijer, gelang tumbuk, uis ragi nteneng, kampil indong-indong man pengaleng tendi.”
Setelah itu para ibu melakukan sembur gara dengan cara menyemburkan air sirih ke
dalam sumpit perdanaken, sebagian padi kemudian menjadi berwarna merah. Ini dimaksudkan
sebagai tawar penangkal ketakutan dari Beru Dayang.
Setelah bibit disembur, giliran sang ibu menuturkan doa, “Enda kam enggo ku semburi O
beru dayang, enda sembur si padi ras sembur ke dua, maka enda ku kataken nan bandu. Kami
nande ras bapa ndu, ras kam enggo jadi anak kami, kaipe nina kalak ola kam tek, sebab enggo
mbelin ingandu, bas jambur sendina gading, ingandu ergale-gale ras ergase gase.”
Selesai sudip terakhir itu diucapkan, sang ayah menanami perbenihan dengan dedaunan
yang telah dipersiapkan, lalu tempatnya diberi batas kayu. Dimulai dari sekitar perbenihen
karena tempat ini menjadi pusat dari ladang.
Selain melakukan jalannya upacara itu, ada pula pantangan-pantangan yang harus
dihindari masyarakat Tanah Karo selama jalannya upacara. Pantangan-pantangan tersebut
dianggap dapat merusak pertumbuhan padi.
Suku Karo menyebut padi yang berumur seminggu dengan sebutan si Beru Dayang
Merengget-engget, jika sudah berumur satu bulan dinamakan si Beru Dayang Bernis. Si Beru
Dayang Kumarkar adalah sebutan saat padi mengeluarkan buahnya, dan si Beru Dayang
Terhine-hine ketika padi mulai berisi cairan.
Sesuai dengan perintah Dewata yang menurunkan Si Beru Dayang, Raja pun
mengingatkan rakyatnya memberi makan padi itu setelah buahnya mulai mengeras.
“Rakyatku, ingatlah pesan Dewata. Berilah makanan padi itu! Jangan sampai Dewata
marah karena kelalaian kita!” serunya.
“Baik, Tuan Raja!” jawab rakyatnya.
Beramai-ramai mereka membawa tepak berisi sirih dan telur ayam yang
dipersembahkan untuk makanan padi tersebut. Di ladang, orang yang membawa tepak itu
mencabut tiga rumpun padi dan diikatkan menjadi satu dan diletakkan di atas tempat sirih. Sirih
itu dimakan orang yang membawanya.
Setelah selesai orang-orang berkata kepada padi yang tumbuh di sekeliling mereka,
“Sekarang engkau kami beri nama Si Beru Dayang Permegahken.” Wajah mereka berseri-seri.
Raja sangat senang melihat rakyatnya sebentar lagi kembali hidup sejahtera.
*****
Musim panen hampir tiba. Menjelang musim panen itu, Raja kembali mengumpulkan
penduduk Karo untuk membuat upacara memberi makan padi bersama di desa. Mereka
berjalan mengelilingi ladang sambil bersenandung, “Makanlah wahai padi, makanan untuk
kalian sudah kami sediakan. Kalian sebentar lagi siap dipanen, sekarang kalian kami namakan si
Beru Dayang Patunggungken!”
Waktu yang dinanti-nantikan pun tiba. Suku Karo beserta Raja berduyun-duyun ke
ladang. Padi telah siap untuk dipanen.
“Wahai buah padi jelmaan Beru Dayang. Telah tiba saatnya penduduk Karo menuaimu.
Kami namakan kalian sebagai si Beru Dayang Pepulungken!” ucap mereka.
Setelah kalimat itu diserukan, suku Karo beramai-ramai menuai, lalu mengirik atau
memisahkan padi itu dari tangkainya. Padi yang sudah dipisahkan dari tangainya itu kemudian
dikumpulkan untuk dijemur.
“Wahai Beru Dayang, kalian telah terkumpulkan. Bertambahlah jumlah kalian setingi-
tingginya gunung. Sekarang kalian kami namakan si Beru Dayang Petumbunen!” seru penduduk
suku Karo.
Setelah berucap demikian, serentak penduduk Karo menumbuk padi untuk memisahkan
kulitnya yang berwarna kecoklatan dengan isinya yang berwarna putih. Isinya yang berwarna
putih itu dibagi sama rata kepada masing-masing warga. Mereka pulang ke rumah masing-
masing untuk menanak isi padi itu.
Tapi Raja meminta rakyatnya bertemu kembali di tepi sungai tempat ibunya Beru
Dayang menjelma menjadi ikan. Dan, isi padi yang telah matang harus dibawa serta.
Sesampainya di rumah, suku Karo menamakan padi itu dengan sebutan si Beru Dayang
Pasinteken.
“Beru Dayang telah matang, Beru Dayang telah matang!” sorak sorai penduduk suku
Karo dengan riang gembira.
Mereka makan beramai-ramai. Dan, demi mengikuti petuah suara ajaib yang dipercaya
sebagai suara Dewata, Raja mengajak penduduknya untuk makan di tepi sungai terdalam di
ujung pedesaan, bersama ikan yang dipercaya sebagai jelmaan dari ibunya Beru Dayang.
Demikianlah riwayat si Beru Dayang kaitannya dengan asal usul padi di Tanah Karo.
Kisah ini mengandung banyak pesan moral yang bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari
rakyat Indonesia. Seperti kepemimpinan sang raja yang bekerja sama dengan rakyatnya,
kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya, pentingnya menjaga amanat, dan sifat bergotong-
royong yang harus dijaga sebagai karakter bangsa dan negara Indonesia. Selain itu, kisah ini
mengingatkan kita untuk mengembalikan identitas bangsa Indonesia pada sistem
perekonomian agraris yang berujung pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dan, ritual tradisional seperti upacara Merdang yang merupakan kekayaan budaya
mayarakat Karo, semoga menyadarkan kita semua mengenai kerja keras, usaha, dan upaya
yang begitu rupa para petani untuk menghasilkan panen padi yang berlimpah ruah dan baik.
Sebagai masyarakat agraris, tentunya kita harus lebih menghargai beras sebagai makanan
pokok rakyat Indonesia, terutama beras buatan dalam negeri. Dengan mencintai beras buatan
dalam negeri, dan membudidayakan tanaman padi, artinya kita menghargai jerih payah para
petani, dan ikut menjaga kesuburan tanah di tanah air kita, Indonesia.
Nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita:
1. Nilai Moral : nilai baiknya adalah seseorang pemimpin harus lah jadi pemimpin yang
adil dan bijaksan kepada rakyatnya , tidak tinggal diam dan bermalas malas di
singgasana saat rakyatnya kelaparan dan kesusahan
2. Nilai Sosial : kesabaran hati ibu beru dayang yang memohon dan berdoa kepada
dewata menyelamatkan rakyat dari kelaparan dan mengorbankan dirinya menjadi
ikan
3. Nilai Religi : pada masa itu rakyat meyakini dewata adalah penguasa langit dan bumi
, jadi saat nilai yang diambil adalah tuhanlah yang berkuasa atas segalanya , maka
dari itu kita harus mematuhi perintahnya dan berdoa kepadanya saat keadaan
apapun bukan mempersekutukannya
4. Nilai Budaya : dari cerita ini rakyat memiliki tradisi tradisi khusus pada saat
menanam padi maupun panen , membuat rakyat menjadi lebih bersatu karena
tradisi tradisi tersebut seperti ritual tradisional upacara Merdang yang merupakan
kekayaan budaya mayarakat Karo, semoga menyadarkan kita semua mengenai kerja
keras, usaha, dan upaya yang begitu rupa para petani untuk menghasilkan panen
padi yang berlimpah ruah dan baik
5. Nilai Pendidikan : amanah arif bijaksana sebagai pemimpin, kerja keras , berdoa ,
yakin , dan percaya kepada tuhan pemberi rezeki

Anda mungkin juga menyukai