Anda di halaman 1dari 7

Leni Sang Mentari

Oleh : Winda Efanur FS

Jogja, April 2014..

Langit murung. Rintik gerimis mengguyur bumi. Mencipta genangan air di permukaan tanah.
Lalu lalang wisudawan menginjak genangan air. Ujung baju toga mereka terciprat air kotor.
Mereka tahu itu, namun tak mereka hiraukan. Mereka tumpah ruah berfoto, menangis, dan
pelukan satu sama lain. Salah satu dari wisudawati, Leni. Dia tak henti-hentinya menangis.

Dia memeluk sahabat-sahabatnya dengan air mata. Di samping Leni, berdiri wanita usia lima
puluh tahunan. Wanita itu turut menangis. Air mata membasahi kedua pipinya yang mulai
keriput. Leni tidak larut dengan teman-temannya. Dia ijin undur diri, berjalan menuntun
neneknya itu. Di pojok ruangan fakultas. Mereka duduk sembari berteduh dari gerimis.
Neneknya duduk istirahat. Leni mengambil ponsel dalam tasnya. Dia menekan nomor dengan
area luar negeri. Leni menunggu panggilannnya diterima seseorang di ujung sana.

" Hallo".

Terdengar suara seseorang menyapa.

" Ibuuuuuu"! Leni berseru.

Leni menelpon ibunya yang menjadi TKW di Hongkong. Leni terbata-bata mengucapkan kata-
kata. Isak tangisnya semakim deras. Nenek menepuk pundak Leni. Selang lima menit kalimat
demi kalimat terlontar. Leni meluapkan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia karena dia
lulus cumlaude dan sedih karena ibu tercinta tak berada di sisinya.

Sepeninggal ayahnya sewaktu SMP, ibu Leni merantau ke Hongkong. Leni kecil hidup prihatin
tanpa kasih sayang ibu dan ayah. Nenek Leni- pengganti orang tua kasih sayangnya tetaplah
beda. Karena kasih sayang orang tua tak dapat tergantikan. Namun neneknya telah menjadi
belahan jiwa Leni. Bersama nenek, dia melewati masa suka dan duka. Nenek pahlawan bagi
Leni. Dengan kardus dan botol bekas nenek mengantarkan Leni menjemput mimpinya.

xxx
Jogja, 14 Februari 2010..

Leni menatap dua lembar brosur perguruan tinggi di atas meja. Air matanya menetes. Dia
masukan brosur itu ke dalam laci. Perhatian teralihkan pada jarum jam, pukul 16.00 sore. Dia
bersiap ganti baju. Setelah selesai dia keluar rumah. Nenek Leni sudah menanti. Mereka masing-
masing membawa karung bekas. Biasanya patroli sore mereka berpencar, Nenek ke kampung A
dan Leni ke kampung B. Tapi karena Nenek Leni sedang sakit. Leni ikut nenek ke kampung A.
Sejak awal Leni melarang neneknya mulung. Tapi dia tetap memaksa. Itung-itung bisa buat
tambahan biaya berobat nenek.

Leni dan nenek menyusuri perumahan elit, kawasan rumah tembok batu bata. Di komplek rumah
yang ditempati Leni masih terbuat dari bambu atau kayu. Termasuk rumah nenek Leni.

Sudah menjadi rutinitas sepulang sekolah dan libur sekolah Leni ikut mulung dengan nenek.
Sebenarnya Leni kali ini bolos sekolah demi membantu nenek mulung. Leni terpaksa berbohong,
sekolah libur agar diijinkan nenek untuk mulung. Padahal sore hari waktu di bulan itu, kelas tiga
lagi sibuk-sibuknya les tambahan persiapan ujian nasional.

xxx

Leni dan nenek memungut botol air mineral, kardus-kardus di tempat sampah warga, sekolahan
dasar dan perumahan. Tidak jarang mereka memberi sampah botol dan kardus kepada mereka.
Ada juga yang mereka beli.

" Ini beratnya satu kilo kardus Rp 2.000 rupiah ?"

Nenek Leni menimbang kardus dari warga kampung.

" Murah banget ya? Di pemulung lain tuh, saya jual dapat Rp 3000/ Kg".

Ibu itu protes sambil memungut kardus seolah tak jadi dijual ke Nenek Leni.

" Ibu gak jadi jual?" Tanya Leni

" Cuma Rp. 2000 rugilah, dijual ke kalian".

Leni menatap haru ke Nenek. Dia mengambil dompet dalam saku bajunya. Di dalam dompet
hanya ada empat lembaran Pattimura.
Leni menggeleng tidak setuju. Nenek mengangguk. Dia menyodorkan tiga lembar Pattimura
kepada ibu itu.

Leni menunduk menutupi air mata yang terlanjur menetes. Dia berjongkok mengambil kardus
itu. Sembari menutup mata menahan air matanya tak jatuh lagi.

Setelah itu mereka pergi. Hari menunjukan semakin sore. Leni memaksa pulang. Dia melihat
langkah nenek semakin lambat. Suara batuk tak henti-henti menyerang paru-paru nenek.

" Istirahat dulu nek, nenek kecapean".

" Tidak usah Len, sebentar lagi sampai rumah".

" Uhuk..uhuk..!"

Batuk nenek semakin menjadi-jadi. Nenek terkulai lemas. Leni menjatuhkan karung plastiknya.
Bergegas mencari air. Tak ada air di pekarangan sepi, jauh dari rumah warga. Leni kebingungan
bisa saja dia balik ke rumah ibu tadi untuk meminta air. Tapi terlalu jauh. Dia khawatir dengan
keadaan nenek. Leni kebingungan, dia mencari air kesana kemari. Dia mengeluarkan isi
karungnya. Dia mencari sisa air bekas botol minuman. Di sampingnya nenek semakin parah. Dia
bingung. Dia berlari membawa air setengah botol. Dan meminumkannya kepada nenek.
Alhamdulilah batuk nenek sedikit reda. Nenek belum bisa berjalan. Tubuh nenek sangat lemas.
Dia panik. Nenek pun pingsan.

Leni menangis. Gadis belasan tahun itu berlari ke rumah warga mencari pertolongan. Beberapa
orang keluar dari rumah mereka. Hanya menganggapnya angin lalu.

" Hey bocah kecil, makanya jangan bawa orang sakit kerja". Kata mereka.

Leni berpaling dari mereka. Dia berjalan lunglai sembari mengusap air mata dengan tangannya.
Leni tak putus asa. Dia terus mencari akal. Dia melihat gerobak bekas. Diambil gerobak bekas
itu. Dia tidak peduli milik siapa gerobak itu. Dia berjalan cepat mendorong gerobak. Saking
paniknya dia terpleset jatuh. Kulit lututnya sobek, keluar darah. Dia menggigit bibir menahan
perih. Bayangan neneknya membuatnya bangkit. Dia mendorong gerobak dengan tertatih-tatih.

Sesampainya di lokasi. Neneknya tak sadarkan diri. Dengan susah payah dia menaikan neneknya
ke dalam gerobak. Di samping nenek, dia meletakan dua karungnya.
Gerobak berjalan pelan. Dengan terpincang- pincang dia mendorong gerobak. Dia menyusuri
jalan kampung yang sepi. Di ufuk Barat matahari mulai tenggelam. Derit-derit roda gerobak
berbunyi. Sedang isaknya mengalir tanpa bunyi.

xxx

Sesampainya di rumah. Leni minta tolong warga sekitar. Tetangga Leni datang, mereka
membawa Nenek Leni ke rumah sakit. Sementara biaya rumah sakit diambil dari menjual
sebagian tanah rumah nenek.

Sebelum pergi ke rumah sakit dia meminjam buku-buku Rizka teman sekelasnya. Di rumah sakit
Leni menyalin materi pelajaran sekolah dan Materi les sore yang tertinggal. Leni membaca,
menulis dan menyalin pelajaran di rumah sakit. Bahkan Leni belajar hingga tengah malam.

Setelah siuman nenek menyuruh Leni sekolah. Dengan berat hati, Leni menuruti nenek.

Hari itu, Hari ujian nasional SMA sederajat. Mata Leni masih merah. Dia hanya tidur tak lebih
dari tiga jam. Berbekal doa dan semangat Leni mengerjakan soal ujian. Dia juga menelpon Ibu
Leni di luar negeri. Sayang telepon itu tidak diangkat ibunya. Dia mengira ibunya masih kerja
pada jam itu.

Masa-masa ujian telah usai. Terganti masa bebas bagi siswa. Teman-teman Leni sibuk tes ujian
masuk kuliah di kota. Hati Leni, sangat tertarik untuk ikut. Ironi, Leni lahir dan tumbuh besar di
kota pelajar. Tapi dia tidak bisa kuliah. Dia harus menanggung biaya hidupnya dan nenek.
Sepulang dari rumah sakit. Leni menjadi tulang punggung keluarga. Kesehariaan Leni
memulung untuk membiayai hidup. Sementara Nenek Leni harus istirahat total. Leni dan nenek
tidak mengandalkan kiriman dari Ibu Leni. Kabarnya Ibu Leni terlibat masalah hutang dengan
agen TKI.

xxx

Meski tak ada jalan kuliah. Leni tetap semangat belajar dalam hatinya masih menyala semangat
untuk kuliah. Dia utarakan niat pada neneknya. Neneknya menggguk pelan.

" Kita boleh hidup miskin, tapi jangan jadi orang bodoh. Kamu tahu hidup kita sering
diremehkan orang. Pemulung di mata mereka tak lebih dari gelandangan. Len, kamu anak rajin,
teruskan mimpimu jadilah anak pandai. Kalau kamu pintar, kelak anak cucumu juga pintar.
Kamu tak lagi dihina orang lain".

" Iya nek, tapi Leni tidak bisa meninggalkan nenek. Nenek sedang sakit".
Leni mulai terbata-bata.

" Jangan khawatirkan nenek, ada Bibi Imah dan Paman Anto. Mereka akan merawat nenek.

Aku menggangguk ragu. Selama ini mereka tinggal di Jogja kota jarang menjenguk nenek.
Bahkan nenek di bawa ke rumah sakit mereka tidak datang menjenguk.

Seolah membaca kebimbangan Leni. Nenek yang sedari tadi terbaring di dipan bambu berusaha
duduk. Leni memegangi punggung nenek. Nenek memeluk Leni. Keduanya menangis.

Nenek menyuruh Leni menelpon keluarga Bibi Imah. Dengan memimjam telepon tetangga Leni
menelpon mereka. Leni mengabarkan kondisi sakit nenek.

Di luar dugaan, keluarga Bibi Imah panik. Mereka mengabarkan akan segera menjenguk nenek.

Seminggu kemudian..

Leni dan nenek diboyong tinggal di rumah Bibi Imah. Atmosfer Jogja kota melangitkan mimpi
Leni. Leni mencari info beasiswa ke kampus-kampus Jogja. Dia sempat konsultasi ke Guru BK
SMA, dia meminta rekomendasi beasiswa. Sang guru mengurus segala administrasi pendaftaran
beasiswa. Waktu penerimaan berkas tinggal tiga hari. Leni pulang pergi dari rumah Bibi Imah ke
sekolahan. Dia berangkat menaiki bis. Dia menempuh jarak 10 Kilometer. Karena saking
lelahnya, Leni ketiduran di bis. Tanpa sepengetahuan Leni, seorang lelaki mengambil tas yang
berisi berkas penting. Seluruh penumpang bis tak ada yang curiga. Pencopet itu turun ketika bis
terhenti.

Bis melaju sampai daerah berliku. Tiba-riba sopir bis mengerem mendadak. Kepala Leni
terpentok bangku depan. Leni terbangun. Dia mengelus jidatnya, meringis kesakitan. Dia amati
sekeliling. Bis sepi, banyak penumpang turun. Dia melihar tas gendongnya tidak ada. Leni panik.

" Tasku hilang!"

" Tas apa mba ?"

Seorang penumpang bertanya padanya.

" Tas hitam yang tadi saya taruh di sini. Pas saya tidur tas itu masih ada, sekarang gak ada. Di
dalam tas itu ada dokumen penting buat daftar kuliah?"

Leni menangis. Dia menyapu air mata yang mengalir dari pipinya.
Seorang penumpang ibu-ibu, coba menenangkan Leni. Dia sempat melihat penumpang lelaki
turun menggendong tas hitam. Ibu itu mengingat-ingat lelaki itu turun dari bis.

Para penumpang menyarankan Leni mengurus ulang berkas itu. Leni bersikeras turun berusaha
memburu jejak pencopet itu. Semua penumpang trenyuh dengan tekad Leni. Seorang ibu
memberilan uang seratud ribuan, ongkos Leni putar balik. Leni sangat berterima kasih dengan
ibu itu.

Akhirnya Leni turun dari bis. Dia diturunkan dekat pangkalan ojek. Leni minta diantar tukang
ojek ke daerah yang ditunjuk ibu itu. Sepeda motor melaju pelan. Si tukang ojek, mencibir Leni.

" Mba percuma memburu copet. Udah hilang, mending mba urus berkas lagi. Namanya juga
musibah, datangnya gak ada yang tahu".

" Gak pak. Saya yakin copet itu belum jauh. Berkas gak bisa diurus, pendaftaran sudah mau
tutup. Saya gak mau ngulang tahun depan".

Empat puluh menit kemudian..

Leni sampai di daerah yang ditunjuk ibu itu. Leni turun dari ojek. Dia berjalan sendiri menyusuri
jalan raya. Tanpa arah dan tanpa tujuan mencari jejak pencopet itu. Leni terus berjalan. Hari
semakin terik. Dia menggigit bibir menahan tangis. Kali ini dia ingin lebih kuat dari air mata.
Setelah lama berjalan dia melihat tempat pembuangan sampah di pinggir jalan. Bayangan
teringat masa kemarin saat dia dan nenek bersusah payah memulung. Tiba-tiba mata Leni
terbelalak. Dia melihat tas hitam. Dia berlari ke pembungan sampah. Dia memungut tas hitam
itu. Dicek dan teliti isi tas itu.

" Alhamdulilah, Ya Allah terima kasih tasku Engkau kembalikan". Leni sujud syukur.

Seketika air mata kesedihan berubah kebahagiaan. Dia mencari bis pulang ke rumah Bibi Imah.

Keesokan harinya Leni menyerahkan berkas beasiswa ke kampus impiannya di Jogja. Semua
berjalan lancar. Sebulan kemudian Leni dinyatakan lolos seleksi. Berkat doa dan kerja keras, dia
sah menjabat titel mahasiswi.

Selesai.

Cilacap, 16 November 2017


Winda Efanur FS, seorang penulis lepas. Mencintai dunia literasi, dan penyuka fotografi.
Terlibat aktif dalam komunitas online Forum Inspirasi Literasi Cilacap dan Komunitas Taklim
Jurnalistik Email : efanurw@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai