Anda di halaman 1dari 6

Kesalahpahaman

Di sebuah kota kecil, tinggal dua sahabat yang sudah bersahabat dari kecil bernama Olivia
dan Lydia. Keluarga Olivia dan keluarga Lydia tinggal bersebelahan. Rumah yang
bersebelahan ini menjadi saksi betapa eratnya persahabatan yang mereka jalani. Mereka
bukan hanya sekedar sahabat, tetapi sudah seperti kakak adik yang salin menjaga dan
memahami satu sama lain. Mereka bersekolah di sekolah yang sama dari taman kanak –
kanak hingga sekarang. Saat ini mereka duduk di kelas XIII Sekolah Harapan Baru.

Pada saat bersekolah di taman kanak-kanak, mereka berangkat dan pulang sekolah diantar
oleh orang tua secara bergantian. Setelah pulang ke rumah masing – masing untuk makan
siang dan istirahat, mereka selalu bermain bersama di taman dekat rumah. Di taman,
mereka bermain dengan anak – anak lain dengan penuh kegembiraan. Apabila ada anak
yang mengganggu Lydia, Olivia akan segera membantu. Olivia akan membela Lydia dengan
penuh keberanian.

Pada saat bersekolah di sekolah dasar, mereka juga bersekolah di sekolah yang sama dan
berada dalam satu kelas yang sama. Olivia dan Lydia sama – sama merupakan anak yang
pintar dalam belajar dan bergaul dengan teman – teman yang lain. Mereka sering belajar
bersama apabila ada pelajaran yang sulit dipahami dan dimengerti. Mereka juga tidak segan
untuk membantu memberikan penjelasan kepada teman yang lain yang tidak mengerti. Hal
ini membuat mereka sangat disukai oleh teman sekolah. Semu aini berlanjut hingga mereka
bersekolah di Sekolah Harapan Baru kelas XIII.

Suatu hari, Olivia memberitahu kepada Lydia bahwa ia dan keluarganya akan pindah ke kota
lain pada saat pergantian semester.

“ Pagi Lydia, aku mau memberitahu sesuatu.” kata Olivia dengan wajah yang cukup serius.

Lydia menjawab dengan penuh rasa penasaran, “Ada apa Olivia? Kenapa wajahmu begitu
serius? Ada masalah apa?”

Olivia berkata dengan sangat hati – hati, “ Pada saat pergantian semester bulan Januari
tahun depan, aku dan keluargaku akan pindah ke Semarang. Ayahku pindah kerja ke
Semarang, sehingga aku dan ibuku akan ikut pindah juga.”

Lydia mencerna kata – kata yang diucapkan sahabat karibnya itu dengan perasaan campur
aduk. Dia menatap Olivia dan dengan mata yang berkaca – kaca, ia berkata “Bagaimana
dengan persahabatan kita dan semua teman – teman kita di sekolah ini?”

Pada saat Olivia akan menjawab, bel sekolah berbunyi. Pembicaraan mereka pun terhenti.
Mereka masuk ke kelas dengan perasaan yang campur aduk. Olivia merasa lega karena
sudah memberitahu Lydia mengenai kepindahannya ke Semarang. Ia berharap semakin
cepat Lydia tahu, mereka akan bisa menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi dengan
melakukan hal-hal yang menyenangkan. Lydia merasa sangat sedih karena harus kehilangan
sahabat sejatinya, walaupun hanya pindah ke kota lain. Lydia membutuhkan waktu untuk
memikirkan apa yang akan terjadi pada saat kepindahan Olivia ke Semarang.
Bel istirahat sekolah berbunyi. Olivia mengajak Lydia ke kantin bersama – sama. Selama di
kantin, Lydia tidak banyak bicara. Olivia berusaha untuk mengajak Lydia berbicara dengan
menceritakan kejadian – kejadian lucu yang mereka pernah alami bersama. Lydia hanya
tersenyum tipis. Olivia tidak pernah membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini.

Tiba-tiba Lydia berkata, “Liv, maafkan saya. Berikan saya waktu untuk memikirkan hal yang
baru tadi pagi kamu katakan. Aku mengerti kalau kamu harus mengikuti ayahmu yang
pindah kerja. Aku tidak boleh egois. Aku butuh waktu untuk bisa menerima kalau di
semester akan datang, kamu sudah tidak disini lagi.”

Olivia hanya bisa terdiam. Mereka bertatapan dan tidak sadar air mata mulai mengalir di
kedua wajah mereka. Biasanya pada saat istrirahat, mereka akan membeli makanan kecil
dan minuman ringan untuk dimakan bersama. Tetapi hari ini, mereka melanjutkan
pembicaraan tadi pagi dan terdiam sampai bel istirahat selesai berbunyi.

Mereka tetap pulang bersama ke rumah. Pada sore hari, Lydia mendatangi rumah Olivia.
Lydia mengetuk pintu dan Ibu Olivia yang membukakan pintu.

Lydia berkata,” Sore Tante, apa Olivia ada?”

Ibu Olivia menyambut dengan sangat ramah dan berkata, “Ada, Olivia ada di dalam
kamarnya. Ia lagi belajar. Kamu bisa langsung ke atas.”

Lydia bergegas segera ke kamar Olivia. Karena sudah berteman dari kecil, Lydia sudah
mengetahui ruangan – ruangan yang ada di rumah Olivia. Pada saat Lydia ke atas, pintu
kamar Olivia tidak tertutup rapat. Lydia bisa melihat kalau sahabat karibnya itu sedang
duduk di depan meja belajar dan melamun. Pandangan matanya tertuju jauh ke depan
jendela. Dia tidak membaca buku yang ada di atas mejanya.

Lydia mengetuk pintu kamar sahabat karibnya itu dengan perlahan. Olivia menoleh ke arah
pintu dan terkejut dengan kehadiran Lydia. Olivia berpikir kalau Lydia akan membutuhkan
waktu yang lama untuk bisa meneriman kepindahannya ke kota lain. Olivia menyuruh Lydia
masuk dan ia segera beranjak dari kursi. Mereka berdua duduk di lantai samping tempat
tidur Olivia.

Lydia berkata dengan mata berkaca- kaca,

”Maafkan aku Olivia.”

Lydia menangis tersedu-sedu seperti menumpahkan semua yang ia rasakan dari pagi. Olivia
segera memeluk sahabat karibnya itu dan menepuk pundaknya dengan lembut. Setelah
tangisan Lydia mereda, Olivia berkata,

”Kita harus lebih sering menghabiskan waktu bersama sebelum aku pindah ke Semarang.
Kita bisa pergi ke taman bermain, taman bunga, dan melakukan kegiatan – kegiatan lain
apabila ada waktu luang.”
Lydia menghapus air matanya dan mengangguk setuju.

Akhirnya sore itu mereka berdua merencanakan kegiatan apa saja yang akan mereka
lakukan untuk mengisi waktu luang. Mereka berbicara dengan sangat senang karena
membayangkan kegiatan – kegiatan menyenangkan yang akan mereka lakukan. Mereka
juag berencana untuk mengambil gambar atau merekam kegiatan agar bisa disimpan
sebagai memori persahabatan yang begitu akrab.

Di minggu yang cerah, mereka memutuskan untuk pergi ke taman bermain. Mereka
ditemani oleh ibu mereka. Pada saat Olivia dan Lydia bermain wahana permainan, ibu
mereka mengobrol dengan sangat akrab. Kedua ibu mereka juga sudah berteman dalam
waktu yang cukup lama.

Mereka bermain dari satu wahana ke ka wahana yang lain dengan semangat. Pada saat
makan siang, mereka berempat duduk di kafe yang ada di dalam wahana permainan.

Ibu Lydia berkata,

”Kami pasti akan merindukan kalian, terutama Lydia,” sambal menepuk pundak Lydia
dengan perlahan. Lydia tersipu malu. Ibu Olivia berkata,

“Apabila ada liburan sekolah, Lydia bisa mengunjungi Olivia di Semarang. Lydia bisa
menghabiskan waktu liburan sekolah disana dan Olivia juga akan merasa senang”

Mereka mengangguk setuju dan tertawa bersama – sama. Hari minggu ini dihabiskan
dengan penuh kenangan.

Selain pergi ke taman bermain, mereka juga pergi ke taman bunga dengan teman sekolah
yang lain. Disana mereka menghabiskan waktu dengan melihat keindahan bunga – bunga
dan foto bersama dengan teman sekolah. Bahkan teman sekolah memberikan kenang-
kenangan kepada Olivia. Ia merasa sangat terharu dengan pemberian temannya. Mereka
menikmati senja bersama di tepi danau dekat taman bunga, menciptakan kenangan yang
senantiasa akan ada dalam hati dan ingatan mereka. Guru – guru di sekolah juga
memberikan kenang-kenangan kepada Olivia. Ia merasa sangat terharu dengan semua yang
dilakukan oleh teman dan guru di sekolahnya.

Di suatu sore yang mendung, Olivia dan Lydia duduk di bawah pohon tua di taman kecil yang
selalu menjadi saksi bisu perjalanan mereka. Angin sepoi-sepoi menerpa, membawa aroma
bunga dan kenangan. Mereka saling berbagi cerita, tertawa, dan terkadang menangis. Senja
yang melambangkan akhir, namun kebersamaan yang penuh makna membuatnya tampak
lebih seperti awal yang baru.

Dua minggu menjelang kepindahan Olivia, Lydia tidak masuk sekolah. Sudah 3 hari Lydia
tidak masuk sekolah. Rumah Lydia juga tampak sepi dan tidak ada mobil ayah Lydia yang
terparkir di garasi rumah. Suatu sore, ada mobil yang terparkir di depan rumah Lydia. Olivia
memutuskan untuk kesana dan berharap bisa menemui Lydia di rumahnya. Rumah kecil itu
terlihat tenang dari luar, tapi hati Olivia berdebar ketika dia mengetuk pintu. Ternyata yang
membukakan pintu adalah Lydia. Wajah Lydia tampak sangat lelah.

“Apa yang terjadi Lydia? Kenapa sudah 3 hari kamu tidak pergi ke sekolah?” Olivia berkata
dengan terburu-buru di depan pintu.

Lydia segera menyuruh Olivia untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Dalam kediaman yang
hangat itu, Lydia berusaha untuk menceritakan hal yang baru saja ia alami.

“Nenekku baru saja meninggal karena sakit parah.” Lydia berkata dengan sangat pelan dan
mulai menangis. Olivia terdiam dan terpaku tidak tahu harus berkata apa-apa. Olivia segera
memeluk Lydia.

Di dalam pikiran Olivia, sahabatnya tengah menjalani cobaan berat. Neneknya, sosok yang
selalu menjadi sumber kebahagiaan dan kasih sayangnya, telah meninggalkan dunia ini. Ia
membayangkan kepedihan yang dirasakan oleh sahabatnya ini. Olivia berpikir, apa artinya
kehilangan sahabat karena pindah sekolah dibandingkan dengan kehilangan orang yang
dicintai. Olivia tahu betapa rapuh dan sakit Lydia saat ini, walupun Lydia berusaha sekuat
tenaga untuk tetap kuat dan semangat. Keduanya duduk di ruang tamu, berbagi air mata
dan kenangan tentang nenek Lydia.

Minggu ini adalah minggu yang berat untuk kedua sahabat ini. Olivia dan keluarganya
sedang mempersiapakan kepindahan mereka ke Semarang. Lydia dan keluarganya diliputi
rasa duka yang cukup mendalam karena kepergian nenek yang sangat mereka kasihi. Olivia
dan Lydia berusaha untuk menjalani minggu terakhir sebelum keberangkatan Olivia ke
Semarang. Mereka yakin bahwa ini bukan akhir dari kisah persahabatan mereka, tetapi
justru menjadi awal baru yang membuat mereka semakin dewasa.

Sehari sebelum keberangkatan Olivia ke Semarang, Lydia datang ke rumah Olivia dengan
membawa sebuah kotak kecil.

"Ini untukmu, Liv," kata Lydia dengan senyum khasnya yang terasa lembut. Olivia menerima
kotak tersebut dan segera membukanya. Di dalam kotak tersebut, terdapat kalung liontin
yang berbentuk hati.

“Aku membeli perhiasan ini dua buah, satu untuk aku dan satunya lagi untuk kamu. Kita bisa
memakai ini sebagai bentuk persahabatan kita yang akan terus berlanjut. Ini akan menjadi
kenang-kenangan kita bersama walaupun jarak memisahkan kita” kata Lydia sambal
mengeluarkan kotak lainnya yang membuat Olivia semakin terharu.

“Mari Lidya, aku pakaikan kalung ini.” Kata Olivia sambil mengambil kalung liontin dengan
sangat hati-hati dan memakaikannya di leher Lydia. Lydia juga melakukan hal yang sama.
Perhiasan ini adalah perhiasan yang mereka lihat di toko pada saat mereka berjalan di kota.
Kemudian mereka berdua mengambil foto selfie dengan berbagai macam gaya dan
menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang apa yang akan mereka lakukan ke
depannya.
Olivia dan Lydia menyadari bahwa persahabatan sejati tidak terbatas oleh jarak dan kondisi
apapun. Meski kondisi saat ini membawa mereka ke kehidupan masing-masing, mereka
yakin persahabatan ini akan tetap berjalan. Mereka tetap akan saling mendukung satu sama
lain.

Keesokan harinya, Olivia dan keluarga pergi dari rumah yang telah ia tempati sejak kecil.
Rumah yang penuh dengan kenangan baik suka maupun duka. Kenangan yang dihabiskan
bersama dengan sahabat sejatinya sedari mereka kecil hingga saat ini. Saat ini, ayah dan ibu
Olivia sedang memasukkan beberapa koper ke dalam mobil. Lydia mengantar Olivia dengan
penuh haru.

“Liv, tetap semangat di sana. Ingat, kamu harus mencari teman di sana.” Kata Lydia.

“Terima kasih Lydia. Selama ini telah menjadi sahabat yang baik. Maafkan aku, kalau ada
kata-kata ataupun tindakanku yang menyakiti perasaaanmu.” balas Olivia dengan mata
berkaca – kaca.

Lydia membalas, ”Sama-sama Liv. Maafkan aku juga.”

Mereka berpelukan untuk waktu yang cukup lama. Kedia orang tua mereka tersenyum haru
melihat apa yang mereka lakukan. Mereka berjanji untuk selalu berhubungan walaupun
terpisah oleh jarak. Olivia dan keluarganya meninggalkan kota kecil ini dengan Langkah yang
berat. Seketika, Lydia langsung merasakan kekosongan yang cukup besar di dalam hatinya.
Lydia berdiri menatap langit yang terasa lebih luas dan kosong seperti yang ia rasakan saat
ini.

Mereka berjanji untuk selalu berhubungan, meskipun berpisah. Mereka tahu bahwa
persahabatan mereka tidak akan pernah pudar, karena mereka saling mengerti dan
mendukung. Mereka adalah sahabat bahagia.

Di sekolah baru, Olivia mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Wajah-
wajah yang asing mengelilinginya, tetapi bayangan Lydia selalu membayangi pikirannya.
Setiap langkah yang diambilnya membawanya pada pertanyaan tentang apa yang sedang
terjadi di kota kecil itu, dan bagaimana Lydia sedang menghadapi hari-haranya tanpanya.

Lydia, di sisi lain, mencoba menyusun kehidupan tanpa Olivia. Tawa dan keceriaan yang dulu
selalu mereka bagi kini menjadi kenangan yang dikenang dengan hangat. Namun, Lydia
menemukan kekuatan baru dalam dirinya untuk menjalani hidup, dan neneknya yang telah
tiada menjadi sumber inspirasi.

Walaupun jarak memisahkan mereka, persahabatan Olivia dan Lydia tetap hidup dalam
suratan takdir masing-masing. Mereka terus saling mengirim surat dan berbagi cerita
melalui teknologi modern yang menghubungkan mereka. Meskipun terpisah oleh ruang dan
waktu, mereka belajar bahwa cinta dan persahabatan mampu melewati batas-batas itu.
Cerita tentang Olivia dan Lydia menjadi kisah tentang perpisahan, kekuatan persahabatan,
dan keteguhan di saat-saat sulit. Kehidupan terus berlanjut, tetapi kenangan akan dua
sahabat bahagia ini akan selalu bersinar dalam hati mereka, menjaga api persahabatan yang
tak tergoyahkan. Meskipun keduanya mengarungi lautan waktu dan ruang yang berbeda,
satu hal yang pasti, persahabatan mereka akan terus berkembang, menghiasi lembaran
hidup masing-masing dengan warna yang indah.

Anda mungkin juga menyukai