0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan15 halaman
Cerpen ini menceritakan tentang Kanindia yang merasa kesepian di rumahnya sendiri setelah orang tuanya bercerai. Ia sering menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Senja. Suatu hari, ayah Kanindia yang jarang pulang tiba-tiba datang ke rumah.
Cerpen ini menceritakan tentang Kanindia yang merasa kesepian di rumahnya sendiri setelah orang tuanya bercerai. Ia sering menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Senja. Suatu hari, ayah Kanindia yang jarang pulang tiba-tiba datang ke rumah.
Cerpen ini menceritakan tentang Kanindia yang merasa kesepian di rumahnya sendiri setelah orang tuanya bercerai. Ia sering menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Senja. Suatu hari, ayah Kanindia yang jarang pulang tiba-tiba datang ke rumah.
Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya Kau yang singgah tapi tak sungguh Kau yang singgah tapi tak sungguh Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan Yang memintamu untuk pulang Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan Yang memintamu untuk pulang Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Kau bukan rumah Data Cerpen
Tema : Slice Of Life, Eligi, Romance
Judul : Rumah Singgah dan Pelabuhan Alur : Campuran Tokoh : Kanindia, Linggara, Senja, Tito, Zara, dan teman-temannya Latar : Rumah, Sekolah, Halte Sudut pandang : Orang ketiga Pesan moral : Perihal kecewa memang bukanlah suatu hal yang salah. Namun, sangat tidak bijak. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mencoba untuk memperbaikinya agar menjadi lebih baik lagi, bukannya menyalahkan diri sendiri. Malam ini, kota Bandung sangatlah meriah. Gemerlapnya lampu-lampu bangunan yang menjulang tinggi, para pedagang yang menjual berbagai macam makanan, dan para pengamen yang penuh semangat mengisi pundi-pundi uang sekaligus ikut meramaikan suasana Jalan Braga. Semua orang tampak berbahagia dan antusias menikmati semua yang ada disana. Begitu banyak para pedagang berseru ria menawarkan dagangannya kepada pengunjung disana. Namun, lain halnya dengan dua sosok gadis yang sedang berjalan ditengah keramaian para pengunjung yang datang. Yang satu berjalan dengan tatapan kosongnya, dan satu lagi berbicara panjang lebar sepanjang mereka berjalan. Kanindia Ayunda atau kerap disapa Kanindia, gadis itu hanya diam sedari tadi mendengar celotehan gadis yang berada disampingnya, sesekali ia juga merespon pembicaraan temannya, Senja Asmaraloka. “Nin, mulut gue pegel nih, ngomong terus. Lo ngomong atau cerita apa gitu, ini gue bawel banget dari tadi,” keluh Senja. Kanindia merotasikan kedua bola matanya saat mendengar keluhan Senja. “Perasaan gue nggak nyuruh lo ngomong, deh?” jawabnya. “Ya, masa diem terus? Kaku banget, gak bisa gue, Nin.” “Gue nggak tau mau ngomong apa, Ja. Pusing banget nih,” ungkap Kanindia membuat Senja kebingungan, “Lo lagi ada masalah?” tanya Senja pelan. Kanindia menggeleng sebagai jawabannya, “nggak ada, Ja.” Bohong. Senja tau itu, namun kali ini gadis itu tidak akan memaksa Kanindia untuk bercerita kepadanya, biarlah nanti Kanindia sendiri yang menceritakannya. Kanindia menghentikan langkahnya dan menatap Senja, “Eh, lo mau beli makanan buat dirumah gitu? Mumpung gak jauh lagi dari rumah lo, barangkali mau beli.” Senja menggelengkan kepalannya,“Nggak usah, deh.” Kanindia mengangguk dan melanjutkan jalannya hingga sampai didepan perkarangan rumah Senja.“Ja, gue gak mampir lagi ya, titip salam buat tante Lin. Gue pulang dulu, makasih udah nemenin gue malam ini.” Senja mengangguk dan tersenyum kepada Kanindia. “Hati-hati ya, Nin!” ucapnya dan dibalas anggukan oleh gadis itu. Setelah Kanindia benar-benar sudah hilang dari pandangannya, barulah ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya rapat-rapat. Setelah mengantarkan Senja pulang tadi, gadis itu kini tengah melangkahkan kakinya menuju rumahnya yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Senja. Gadis itu berjalan dengan pelan seraya menatap langit malam yang dihiasi gemerlapnya bintang-bintang itu. Kanindia tersenyum tipis hanya sekedar menatap langit malam saja. Bagi dirinya, langit malam mempunyai keunikan tersendiri sehingga membuat langit malam di matanya terlihat begitu menarik. Langkah gadis itu terhenti tepat didepan pagar rumahnya, ia menatap rumah bertingkat dua itu dengan helaan napas berat. Rumahnya begitu sepi dan sunyi, bak rumah yang tanpa berpenghuni. Bagi Kanindia sendiri, buat apa memiliki rumah besar namun kalau ia harus tinggal sendiri. Kanindia menepis semua pikirannya itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Kanindia memasuki kamarnya yang terletak dilantai dua itu. Gadis itu menaruh tasnya di atas meja belajar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur besar miliknya. Kanindia memejamkan matanya hingga gadis itu tertidur dengan pakain yang belum ia ganti. Keesokan harinya… Matahari kembali menampakkan dirinya dari ufuk timur, menggantikan posisi bulan untuk menyinari bumi. Bahkan sinarnya menembus kamar Kanindia yang masih bergulung dengan selimut, gaadis itu enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanindia mengeliat kecil saat dering ponselnya berbunyi, gadis itu mendudukkan dirinya di atas kasur, lalu diambilnya ponsel yang berbunyi itu di meja nakas samping ranjangnya. Tertara nama ‘Senja’ disana, dengan malas gadis itu mengangkat sambungan telponnya. “Halo, Nin?” “Kenapa, Ja?” tanya Kanindia dengan suara khas bangun tidur. “Idih, baru bangun? Anak gadis bangunnya kok jam segini?” canda Senja seraya tertawa kecil. “Bacot deh, lo! Kayak lo bangun pagi buta aja!” cibir Kanindia. Terdengar oleh Kanindia bahwa Senja tengah terbahak diseberang sana.“Eh, Nin. Lo udah sarapan belum? Kalo belum sini ke rumah gue, bunda masak banyak nih,” ajak Senja. Kanindia tampak berpikir sejenak, “emm… boleh deh, bentar ya, gue mau siap-siap dulu, bye, Ja!” ucapnya dan mematikan sambungan teleponnya. Kanindia menaruh kembali ponselnya di atas meja nakas dan beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Lima belas menit gadis itu didalam kamar mandi, akhirnya Kanindia keluar dengan baju kaus putih lengan pendek dan training berwarna hitam. Gadis itu menatap dirinya di pantulan cermin, ia mengambil sebuah ikat rambut dan mencepol asal rambutnya. Kanindia mengambil ponselnya yang berada di atas meja nakas, lalu bergegas turun. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir, ia melihat kursi ruang makan yang dulunya berantakan karna ada yang menduduki, kini sangat rapi. Yang dulunya sebuah ruangan yang penuh canda tawa yang hangat, kini senyap. Kanindia menggelengkan kepalanya pelan dan berjalan keluar dari perkarangan rumahnya. Pagi ini begitu cerah, Kanindia menikmati perjalanannya menuju rumah Senja dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah cantiknya. Sesekali gadis itu menyapa orang yang berpapasan dengannya seraya melemparkan senyum manisnya. Kanindia menghentikan langkahnya didepan rumah Senja dan membuka pintu pagar rumah gadis itu, lalu memasukinya. Kanindia melihat Senja yang tengah menyiram tanaman bunga milik Lin, ibunya Senja. Kanindia berjalan mendekati Senja yang masih belum mengetahui keberadaanya. “Anak gadis rajin banget ya,” ucapnya seraya tersenyum jahil. Senja refleks menoleh kearah Kanindia yang berdiri dibelakangnya. “Oh iya dong. Kalau anak gadis ini gimana? Rajin banget ya… sangking rajinnya, pasti ke rumah gue nggak mandi, cuma cuci muka doang,” balas Senja juga ikut menyindir Kanindia. Lalu, keduanya tertawa puas setelah menyindir satu sama lain. Senja mematikan keran airnya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya bersama Kanindia. “MAA! ADA ANAK GADIS, NIH!” ucapnya sedikit mengeraskan suaranya. Kanindia memukul pelan lengan Senja, “suara lo. kayak toa masjid!” Lin, ibunya Senja datang dari arah dapur dengan membawa piring dan menaruhnya di atas meja makan. “Eh, Kanindia. Ayo sini, sarapan dulu, tante tadi masaknya banyak,” ajak Lin. Kanindia mengangguk dan mengikuti Senja yang duduk di kursi meja makan. Lalu, Lin kembali dari dapur dan ikut duduk didepan Kanindia. “Ayo makan, pokoknya harus makan yang banyak!” perintah Lin seraya menuangkan kuah sup yang ia buat di atas nasi Kanindia dan Senja. Disela-sela makan, baik Lin maupun Senja membuka topik agar tidak hening. “Jadi Nin, kamu udah ada rencana mau lanjut kuliah dimana?” tanya Lin. Kanindia menatap raut keseriusan wajah Lin, “rencananya UI tan, cuma kalau nggak lewat, aku bakal kuliah di sini,” balasnya. Lin menganggukkan kepalanya, lalu beralih menatap Senja, anaknya. “Kalau kamu?” Senja tampak berpikir sejenak, “emm… ITB kali ya, Ma?” tanya Senja kepada Lin. Lin menghela napas panjang mendengar jawaban dari putrinya itu. “Pilih sesuai kemampuan kamu, mama nggak masalah kamu kuliah dimana aja, asal nggak jadi pengangguran,” balas Lin membuat Senja mengangguk paham. “Ini berlaku juga buat kamu ya, Kanin. Jangan pernah ikut standar kemampuan orang lain, selagi itu nggak membebani kamu, silahkan pilih menurut keputusan sendiri,” ucap Lin memberikan masukan kepada dua anak gadis itu. Kanindia mengangguk seraya tersenyum kepada Lin, “iya tante, makasih banyak atas masukannya.” Setelah berbincang-bincang sebentar tadi bersama Lin, akhirnya Kanindia pamit untuk pulang ke rumah. Kanindia berjalan seraya bernyanyi kecil lagu kesukaannya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter dari rumahnya. Gadis itu menyeringit heran dengan mobil putih yang begitu familiar terparkir disamping rumahnya. Kanindia berjalan mendekat ke arah mobil itu terpakir dan melihatnya secara detail. ‘Mobil papa, tumben pulang?’ tanya gadis itu dalam hatinya. Tak ingin berpikir panjang, gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pria paruh baya yang bernama Tito berdiri didepan Kanindia, menatap putrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Pasti belum mandi? Jorok banget kamu ya, apa nggak malu?” tanya Tito kepada Kanindia, sedangkan gadis itu mengangkat bahunya acuh. “Aku tadi cuma ke rumah Senja sebentar, ini mau mandi juga,” balas gadis itu. “Ya sudah kalau begitu. Oh ya, papa tadi baru belikan kamu buku soal-soal terbaru untuk kamu ikut tes kuliah. Usahakan nilai kamu jangan turun dari seratus ya, biar bisa kuliah di Harvard University. Temen-temen papa anaknya semua masuk ke sana,” ujar Tito seraya melenggang pergi dari hadapan Kanindia. Gadis itu menghela napas pasrah dan berlalu ke kamarnya. Setelah berada di kamarnya, gadis itu segera membersihkan dirinya. Malam ini, Kanindia tengah berkutat didepan laptopnya serta jejeran buku soal-soal disampingnya. Sesekali gadis itu menguap, rasa kantuknya hampir menguasai dirinya, ia juga sudah bolak-balik ke dalam kamar mandi sekedar mencuci mukanya. Kanindia menatap puluhan soal yang ada di buku pemberian papanya, gadis itu membolak-balikkan lembaran yang berisi materi dan soal-soal itu secara berulang kali. Karna tak kunjung mendapat jawaban dari satu soal itu, Kanindia lantas menutup buku tebal itu dengan kasar dan menjauhkan buku itu dari dirinya. Ia beranjak dari meja belajarnya menuju balkon kamar. Saat membuka pintu balkon kamarnya, angin malam itu berbondong-bondong menusuk permukaan kulit Kanindia. Gadis itu mendudukkan dirinya di kursi yang ada di sana seraya meemjamkan matanya menikmati angin malam yang berhembus tidak terlalu kencang. Ia hanya ingin merileks kan pikirannya yang sudah terkuras banyak. Hari yang cukup melelahkan. Hari-hari seperti ini sudah biasa Kanindia lalui. Belajar mati-matian hanya untuk memenuhi ekspetasi sang ayah cukup membuat dirinya tertekan. Di saat anak-anak seusianya sibuk menghabiskan masa mudanya dengan santai bersama teman-temanya, namun lain halnya dengan Kanindia yang sibuk memenuhi segala permintaan dari papanya. Setiap Kanindia ingin melangkah dengan keptusannya sendiri, Tito alias papanya selalu membantah apa yang ingin dirinya lakukan. Kanindia selalu dituntut untuk menjadi yang paling sempurna. Segala hal yang Tito inginkan wajib dipenuhi oleh Kanindia. Terkadang gadis itu kewalahan harus hidup berada dibawah kendali papanya. Dua puluh menit sudah Kanindia duduk di sana. Gadis itu akhirnya beranjak kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu balkonnya. Ia melirik kearah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh. Kanindia mencuci kakinya dan bergegas untuk tidur. Pagi-pagi sekali, Kanindia sudah berada di sekolahnya, kini gadis itu tengah duduk di kelasnya. Sembari menunggu kedatangan Senja, gadis itu menyempatkan dirinya untuk membaca materi yang akan ia pelajari hari ini. “YUHUU KANINDIA!!!” suara cempreng milik Senja menggelegar diseluruh penjuru ruangan. Kanindia meringis seraya mengusap kupingnya, gadis itu menatap Senja yang tengah berjalan kearahnya seraya menyengir lebar. “Suara lo kayak kuda lumping! Setan ya, kuping gue sakit,” sambar Kanindia saat Senja telah mendudukkan dirinya di bangku. Sang pelaku hanya senyam- senyum sendiri bak orang setres. “Lo udah gila?” tanya Kanindia kepada gadis disampingnya itu. Sedangkan Senja, gadis itu menepuk pelan lengan Kanindia yang menanyakan dirinya seperti itu. “Lo ngomong yang iya, dong! Najis banget, masa gue dibilang gila?” sungut Senja dengan raut wajah yang kesal. Kanindia yang melihat perubahan raut wajah Senja pun terbahak, “gue bercanda Ja, abis lo nya senyam-senyum sendiri kayak orang setres.” Senja hanya memutar bola matanya malas, karena malas menanggapinya lagi, akhirnya gadis itu membuka tasnya dan mengambil buku yang sama seperti Kanindia. “Eh, kita hari ini ada ulangan, ya?” tanya Senja yang hanya dibalas anggukan oleh Kanindia. Senja menghela napas panjang melihat begitu banyak materi yang harus ia pelajari. “Demi, gue males belajar…” Kanindia menatap Senja yang menelungkupkan kepalanya di atas meja, “jangan gitu Ja, katanya mau masuk ITB? Mana boleh lo males-males kayak gini,” peringatnya membuat Senja mengangkat kepalanya dan ikut menatap Kanindia. “Banyak banget materinya serius!!!” Kanindia hanya menepuk pelan bahu Senja seraya berkata, “nggak apa-apa, pelan-pelan aja, Ja.” Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Baik Kanindia maupun Senja telah meninggalkan kelasnya untuk mengisi kembali perut mereka yang kosong. Senja menyantap nasi goreng nya dengan sangat lahap. Sedangkan Kanindia, gadis itu hanya membeli sebungkus roti dan susu strawberry kesukaannya. Di sela-sela makan mereka, suara yang menggelegar hingga seluruh sekolah Madelangga yang berasal dari aula itu menghentikan aktivitas makan mereka dan para murid lain. “…dikarnakan adanya sosialisasi dari mahasiswa Universitas Indonesia, diharapkan untuk seluruh siswa-siswi kelas dua belas untuk segera berkumpul di aula, sekian terima kasih…” Senja yang mendengar pengumuman tersebut menggerutu kesal, “makanan gue belum habis! Please deh, ya…” Kanindia yang mendengar nama Universitas impiannya disebut, membuat gadis itu segera bangkit dari duduknya dengan wajah yang sumringah. “JA, AYO JA! ITU SOSIALISASI DARI UI! IMPIAN GUEE!!!” jerit Kanindia seraya menarik tangan Senja untuk meninggalkan arena kantin. Senja yang tangannya di tarik oleh Kanindia itu susah payah menyeimbangkan tubuhnya. “Pelan-pelan bego! Lo kayak nyeret gue!” sungut gadis itu kesal. Sesampai di aula, dengan cepat Kanindia menarik tangan Senja untuk mengisi bangku dibarisan terdepan. “Buset, Nin! Nggak paling depan juga kali, barisan kedua atau ketiga gitu,” ucap Senja yang dibalas gelengan oleh Kanindia, “nggak mau, gue duduk dibarisan depan juga biar di notice sama kating!” balasnya yang membuat Senja mendengus kesal. Saat aula sudah terisi dengan murid kelas dua belas, barulah salah satu pria yang mengenakan almamater berwarna kuning yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia itu maju satu langkah di atas panggung dan mulai berbicara didepan seluruh murid Madelangga dengan penuh percaya diri. Setiap kalimat yang terlontar dari mulut pria itu di dengar dengan saksama oleh Kanindia, binar di mata gadis itu membuat dirinya semakin ingin untuk berkuliah di sana dan bertemu orang-orang keren lainnya. Saat pria yang berdiri di atas panggung itu menjelaskan mengenai event yang diselenggarakan oleh universitas itu, mahasiswa lainnya pun membagikan poster kepada seluruh murid yang berada di aula itu. Salah satu cowok dengan almamater kuningnya itu mendekat kearah Kanindia dan memberikan secarik lembar poster itu seraya tersenyum kepada gadis itu, pria itu juga sedikit melirik name tag milik Kanindia.”Hai, dari tadi gue perhatiin lo kayaknya excited banget ya? Kalau gitu, jangan lupa ikut event nya ya, good luck Kanindia Ayunda!” Setelah mengucapkan itu kepada Kanindia, pria itu melenggang pergi dari hadapan Kanindia dan kembali berkumpul bersama teman-temannya disamping panggung. Kanindia membaca secara rinci setiap kata yang ada di poster itu. Gadis itu menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. Senja yang melihat gelagat Kanindia itu menepuk bahu gadis itu. “Heh! Sadar lo! Ngapain senyam-senyum gitu?” Kanindia menatap Senja dengan penuh makna, “ikut yuk, Ja?” ajaknya. Senja yang mendengar ajakan gadis disampingnya itu tampak berpikir sejenak dan kembali menatap poster yang berisi perlombaan yang diadakan. Perlahan gadis itu mengangguk, “ayo ikut, tapi gue maunya ikut Teenager’s Scientific paper. Jadi, kita bisa ikut penelitiannya berdua, gimana Nin?” tanyanya seraya menatap serius wajah Kanindia. Gadis yang berada disampingnya itu pun mengangguk antusias, “ayo, Ja!” Sepulang dari sekolah, Kanindia langsung memberi kabar kepada Tito mengenai perelombaan yang akan ia ikuti itu bersama Senja. Gadis itu menelpon Tito yang sore ini masih berada di kantor. “Halo, pa?” Saat hendak melanjutkan perkataannya, Tito langsung menyambar Kanindia dengan intonasi sedikit tinggi. “Kamu ngapain, sih, telpon papa? Kalau nggak penting nggak usah telpon. Papa banyak kerjaan, nggak ada waktu buat telponan sama kamu.” Kanindia yang mendengar hal tersebut langsung menyela. “nggak pa, ini penting kok! Aku cuma mau bilang ke papa, kalau aku sama Senja mau ikut event dari UI pa. Tapi, buat biaya sama syarat pendaftarannya butuh tanda tangan orang tua gitu buat ikut lombanya, boleh kan, Pa?” tanya Kanindia seraya menunggu balasan Tito. “Nggak usah ikut yang begituan, nggak penting Kanindia. Udah lebih baik kamu fokus belajar aja biar bisa tes di universitas Harvard. Udah ya, papa sibuk.” Sambungan telpon itu dimatikan oleh Tito. Jawaban dari Tito itu membuat Kanindia mengepalkan tangannya kuat-kuat, gadis itu sudah sangat muak diperlakukan seperti ini oleh papanya. Dering ponsel Kanindia berbunyi, dengan malas gadis itu mengangkat panggilan dari Senja. “Halo, Nin. Gimana? Papa lo izinin?” pertanyaan yang dilontarkan Senja itu sukses membuat Kanindia murung. Mood gadis itu sedang hancur. “Nggak tau, males gue, nggak usah di bahas,” balas Kanindia membuat Senja bingung. “Lo kenapa deh, Nin? Ada masalah?” Kanindia hanya menghela napas berat, “udah dulu ya Ja, gue lagi nggak mood, lo kalau mau telpon buat bahas ginian nanti aja, gue matiin ya.” Kanindia membanting ponselnya di atas kasur dan bergegas mengganti bajunya. Gadis itu mengenakan celana training abu-abu dan kaus oblong berwana hitam, tak lupa rambutnya yang ia cepol asal. Kanindia berencana untuk pergi ke mini market sebentar untuk membeli cemilan untuk menemaninya belajar. Gadis itu lebih memilih berjalan kaki, toh, minimarket nya hanya beberapa meter dari rumahnya, masih sanggup ia tempuh dengan berjalan kaki. Sesampai di minimarket, gadis itu mengambil beberapa makanan ringan dan minuman kaleng, dirasa sudah cukup ia langsung menuju ke kasir untuk membayar. Bruk! Karna keasikan dengan barang-barangnya, Kanindia tidak sengaja menabrak punggung sosok cowok didepannya yang hendak mengambil minuman didalam kulkas. “Duh, maaf ya, Kak. Gue nggak liat, maaf banget ya,” ucapnya seraya membungkuk. Cowok itu menatap intens Kanindia, “kayaknya lo yang tadi di Madelangga?” tanyanya saat melihat wajah familiar milik Kanindia. Kanindia mendongak hingga kedua netra mereka bertemu. “Eh, iya, Kak. Kok tau?” Cowok bersetelan hoodie hijau dan celana jeans berwarna hitam itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum kepada Kanindia, “gue Linggara Atmaja, just call me, Linggara. Kanindia Ayunda that’s your name, right?” Kanindia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu menerima uluran tangan pria yang bernama Linggara itu. “Iya itu nama gue,” balas Kanindia singkat membuat pria itu mengangguk. “Nggak sengaja ketemu, anyway, gimana? Lo bakal ikut event nya?” tanya Linggara membuat raut wajah Kanindia kembali murung. Melihat perubahan raut wajah Kanindia membuat Linggara kembali bersuara, “hey, what’s wrong? Lo nggak bisa ikut event nya?” Kanindia menghela napas berat dan mengangguk. “Gue awalnya emang excited banget buat ikut event itu bareng temen gue, Kak. Cuma papa gue nggak setuju gue buat ikut,” jelas Kanindia membuat kerutan di dahi cowok itu, “kenapa papa lo nggak bolehin? Bukannya itu hak lo?” tanya Linggara yang hanya dibalas gelengan oleh gadis itu. “Udah dulu ya, Kak. Gue mau pulang, sorry buat yang tadi, duluan ya,” pamit Kanindia dan segera berlalu dari hadapan Linggara. Linggara menatap punggung belakang gadis yang sempat berbincang dengannya sebentar hingga hilang dari pandangannya. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyuman tipis. She’s attractive. Pikirnya. Kanindia memasuki rumahnya kembali dengan menenteng bungkusan plastik yang berisi makanan ringan. Saat hendak menaiki tangga, suara wanita paruh baya dibelakangnya membuat Kanindia berbalik. “Darimana kamu?” tanya wanita itu. Kanindia menatap sosok wanita didepannya itu dengan tangan yang terkepal kuat. “Mama ngapain balik? Ada urusan apa?” tanya Kanindia dingin. Lantas wanita dengan nama Zara itu menaikkan sebelah alisnya seraya bersedekap dada didepan Kanindia. “Kenapa? Ini juga rumah saya, terserah saya dong mau balik kesini sesuka hati saya,” balasan dari Zara membuat Kanindia berjalan mendekat kearah wanita itu. Kanindia menatap wajah Zara tanpa ekspresi sedikit pun, “mending gak usah balik lagi, tinggal aja sana sama keluarga baru mama,” ucapnya membuat Zara terkekeh pelan. Wanita paruh baya itu menepuk pundak Kanindia berulang kali, “mama masih ada hak buat nginjakin kaki di rumah ini, buat ngusir kamu dari sini aja mama masih ada hak. Toh, papa kamu nggak mau ceraikan mama, padahal mama nunggu banget.” Kanindia menggeram kesal melihat tingkah laku ibunya yang seperti anak-anak. Tak ingin memperpanjang, gadis itu meninggalkan Zara yang kembali duduk santai di atas sofa ruang tengah. “Orang sinting!” sungut Kanindia kesal seraya menaiki anak tangga dan masuk kedalam kamarnya. Gadis itu menaruh bungkusan plastik itu dengan kasar di atas meja nakas. Saat Zara berkata seperti itu, ingin sekali ia menampol mulut Zara. Namun, Kanindia masih mempunyai kewarasan untuk tidak melakukan hal tersebut kepada ibunya. Dulu, sewaktu Kanindia masih berusia enam tahun, Tito dan Zara sering sekali berselisih perihal Tito yang terkadang tidak sengaja melihat Zara yang berpergian dengan pria lain yang tidak diketahui oleh Tito sendiri. Awalnya Tito mengira bahwa Zara hanya pergi bersama rekan kerjanya. Namun, semakin lama, Zara sering bertemu dengan pria itu membuat Tito tidak mempercayai lagi omong kosong Zara. Saat itu Tito sering menuduh Zara hingga membuat wanita itu marah dan pergi meninggalkan rumah. Setiap hari yang Kanindia rasakan adalah keributan yang berasal dari kedua orang tuanya. Kanindia yang selalu tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya hanya terpaku dengan Lin, ibunya Senja. Bahkan dulu, Kanindia lebih dekat dengan Lin daripada sang ibu. Dan disaat Tito mengetahui bahwa Zara telah menikah dengan pria itu secara diam-diam sukses membuat Tito terkena stroke ringan, untung saat itu keadaan Tito dengan cepat diketahui oleh asisten rumah tangganya dan segera dibawa kerumah sakit. Berhari-hari Tito dirawat inap dirumah sakit, selama itulah Zara menghilang seakan- seakan buta akan keadaan dan tanggung jawabnya. Semakin lama, Kanindia juga merasa amat sangat tertekan dengan Tito yang mulai mengekang atau menuntut dirinya, bahkan jika Kanindia membantah, Tito tak akan segan-segan bermain fisik dengan Kanindia. Tito seperti itu sebab dirinya merasa tidak adil diperlakukan seperti itu oleh wanita yang sangat ia cintai, Zara. Dan setelah dua tahun lamanya hidup dengan keadaan yang sama, tepat saat Kanindia menginjakkan umur delapan tahun, Zara kembali dengan sejuta sandiwaranya. Wanita itu memanipulasi Tito yang saat itu masih dibutakan oleh cinta. Zara kembali menginjakkan kakinya dirumah Tito dengan deraian air mata, wanita itu mengatakan bahwa pria yang dua tahun lalu yang ia nikahi tidak menafkahi dirinya, dengan bodohnya Tito, pria itu menerima kembali Zara. Namun, tidak bertahan lama, Zara kembali seperti dulu, setelah ia mendapatkan apa yang ia inginkan, lalu pergi dengan keadaan buta. Dan seteleh beberapa kali Zara melakukan itu kepada Tito, pria itu tetap tidak menceraikan Zara yang bahkan menunggu Tito menggugat cerai dirinya. Tito terlalu dibutakan dengan cinta. Bahkan hingga Kanindia menginjakkan usia enam belas tahun, selama itu juga Tito belum menggugat cerai Zara. Kanindia merebahkan dirinya di atas kasur seraya bermain ponsel miliknya, ia ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Di rasa cukup setelah bermain ponsel selama dua jam, gadis itu beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Saat hendak membuka buku, terjadi keributan yang berasal dari ruang tengah, suara pria dan wanita yang saling sahut-menyahut dengan intonasi yang tinggi membuat Kanindia lagi-lagi menghela napas berat, kejadian itu terulang lagi. Gadis itu mengambil earphone nya dan memasangkan ke telinganya. “Gue capek…” gumamnya. Keesokan harinya… Matahari kembali bersinar menyinari bumi, bahkan sinarnya menyelinap masuk melalu celah-celah gorden yang sedikit terbuka. Kanindia kini berdiri didepan cermin dengan seragam sekolahnya, ia sedikit merapikan rambutnya yang berantakan. Setelah di rasa penampilannya sudah bagus, gadis itu mengambil tasnya dan menyampirkan ke punggungnya. Tak lupa gadis itu membuka gorden kamarnya, membiarkan sinar matahari sepenuhnya masuk menyinari kamarnya. Kemudian, gadis itu bergegas turun. Kanindia melihat keadaan rumahnya yang sudah seperti kapal pecah akibat keributan yang terjadi semalam. Sebelum Kanindia berangkat ke sekolah, gadis itu mengabari asisten rumah tangganya untuk membereskan rumahnya yang berantakan. Setelah itu, barulah gadis itu pergi ke sekolahnya. Kanindia pergi menggunakan angkutan umum, tidak menggunakan mobil ataupun sepeda motor. Sebab, Tito tidak memfasilitasi dirinya menggunakan alat transportasi tersebut. Kanindia benar-benar hidup dengan seadanya. Kanindia turun dari angkutan umum yang ia naiki dan membayarnya. Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki perkarangan sekolah Madelangga. Langkah Kanindia terhenti saat nama gadis itu terpanggil. Kanindia menoleh ke arah suara tersebut. Dapat dilihat Senja yang tengah berlarian seraya memanggil namanya. Saat gadis itu telah berada didepannya, Kanindia sedikit memukul pelan lengan gadis itu. “Ngapain sih, lari-lari? Gue kan, gak bakal ngilang kali, Ja.” Senja tak menghiraukan perkataan Kanindia, gadis itu sibuk mengatur deru napasnya tak beraturan, sesekali ia juga memukul pelan dadanya. Setelah dirasa napasnya telah beraturan, barulah gadis itu mengeluarkan suaranya.“Ya, lo gue panggil harusnya berhenti jalan! Dasar bolot, lo!” ejek Senja membuat Kanindia terbahak. Lalu, Kanindia mengulurkan tangannya kearah Senja. “Sini, jalan bareng sama artis,” ajak Kanindia seraya tersenyum jahil. Senja yang mendengar hal tersebut lantas memutar kedua bola matanya malas, “Sok banget, najis!” dengus Senja. Kemudian keduanya pun tertawa, lalu berjalan kembali menuju kelas. Saat sudah berada di kelas, Kanindia meletakkan tasnya di atas meja dan menduduki bangkunya. Begitu juga dengan Senja yang ikut duduk di bangkunya, lalu menghadap kearah Kanindia. “Nin, gimana sama event nya? Lo jadi ikut kan?” tanya Senja. Kanindia yang hanya mengangkat bahunya, “lo tau kan, Ja. Papa gue mana pernah izinin gue buat ikutan kayak gitu? Katanya enggak penting,” ucapnya seraya tertawa hambar. “Kenapa gue harus hidup dibawah tekanan orang lain ya, Ja?” pertanyaan Kanindia membuat Senja memegang kedua pundak gadis itu, “Nin, gue yakin lo kuat buat hadapi ini, bertahan ya, Nin. Gue yakin, ini semua bakal berakhir,” ucap Senja yang hanya dibalas senyum tipis oleh Kanindia. Kapan berakhirnya, Ja? Gue udah nggak kuat. Batinnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, Kanindia kini masih di kelasnya dengan tumpukan kertas di atas mejanya. Tadi, saat mata pelajaran bu Titin alias guru biologi itu meminta bantuan Kanindia untuk memeriksa lembaran soal ulangan kelas lain, jadilah gadis itu masih setia duduk di bangku kelasnya yang sudah sepi. Tadinya, Senja memaksa untuk ikut menemani dirinya, namun Kanindia menolak dan menyuruh gadis itu untuk pulang agar tante Lin tidak kelipungan mencari keberadaan gadis itu. Kanindia menolehkan kepalanya kearah jendela, langit yang tadinya biru kini semkin lama semakin dipenuhi dengan awan hitam. Tersisa lima belas kertas lagi yang belum ia periksa, dengan segera gadis itu menyelesaikannya sebelum hujan turun. Kanindia berlari dengan cepat setelah menghantarkan kertas-kertas tadi ke ruangan bu Titin, di tengah larinya, gadis itu menatap langit yang membendung air itu sebentar lagi akan turun. Karna tidak melihat jalan, alhasil Kanindia tersandung dengan kakinya sendiri membuat gadis itu jatuh terduduk dengan luka dibagian lututnya. Aws… ringis Kanindia saat berusaha berdiri. Gadis itu berusaha berjalan kedepan sekolahnya untuk mencari angkutan umum. “Ya Allah, jangan hujan dulu…” pinta Kanindia hampir menangis. Gadis itu bisa-bisa bermalam di sekolah jika hujan turun. Namun, sekarang semesta sedang tidak berpihak dengannya. Rintikan hujan mulai berjatuhan, dari yang tadinya gerimis berubah menjadi lebat. Kanindia merosotkan bahunya disalah satu bangku yang terletak di halte bus. “Ya Allah ini gimana gue pulangnya please…” bibir Kanindia perlahan melengkung kebawah dengan mata yang berkaca- kaca, hendak menangis. “Ini sih, gara-gara bu Titin! Coba aja suruhnya nggak pas di jam pulang, harusnya ini gue udah dirumah rebahan, ngemil, nonton youtube, ini kenapa gue harus sial banget sih, hari ini?” omel Kanindia seraya menghentakkan kakinya kesal. Sudah tiga puluh menit Kanindia duduk di sana, selama itu juga belum ada angkot ataupun bus yang melewati area sekolahnya. Gadis itu sudah tidak berselera menangis lagi, toh, tak ada gunanya juga ia mau menangis meraung-raung kalau angkutan umum tetap tidak ada yang lewat. Kanindia tadinya hendak menelpon Senja, sialnya, ponsel gadis itu mati kehabisan baterai. “Tolong dong, siapa gitu dateng, jemput gue…” Akhirnya, semesta kembali berpihak padanya, selang lima menit saat gadis itu berkata seperti itu, sosok pria dengan motornya melintasi halte bus itu dan menepikan motornya, Kanindia menyipitkan matanya guna melihat dengan jelas sosok cowok yang menurutnya familiar. Cowok itu hendak memasangkan mantel, namun, dengan gesit Kanindia mengeluarkan suaranya. “KAK LINGGARA!” panggil Kanindia sedikit mengeraskan suaranya. Lantas, cowok itu mengurungkan niatnya memakai mantel dan berjalan menghampiri Kanindia yang tengah duduk di kursi halte bus seraya melambaikan tangannya. “Kanin? Nggak pulang?” tanya Linggara saat berada dihadapan gadis itu. Kanindia menggeleng, “hujan, Kak. Tadinya gue emang mau pulang,” balasnya membuat cowok itu mengangguk. Linggara mendudukkan dirinya disamping Kanindia, “gue tungguin lo dijemput ya, Nin.” Kanindia menoleh dan menggelengkan kepalanya. “Gue nggak dijemput kak, gue biasnya naik angkutan umum,” jawab Kanindia. “I see, gimana kalau pulang bareng gue?” tawar Linggara membuat Kanindia langsung mengangguk antusias, iya tidak memperdulikan rasa gengsinya, gadis itu ingin pulang sekarang juga. Linggara yang mendapati anggukan antusias dari gadis disampingnya itu hanya terkekeh kecil. “Tunggu hujannya reda dikit ya, abis itu gue anterin pulang.” Linggara dan Kanindia sama-sama mengatupkan bibirnya, enggan mengeluarkan suara. Kanindia yang hanya menatap jalanan yang basah, dan Linggara yang menyenderkan punggung seraya memejamkan matanya sejenak, tubuh cowok itu ingin lepas akibat rasa pegal yang menguasai tubuhnya. Kanindia sedikit melirik cowok disampingnya itu melalui ekor matanya. Namun, siapa sangka kalau Linggara mengetahui bahwa Kanindia tengah curi-curi pandang terhadap dirinya. “Kenapa, Nin?” tanya Linggara. Kanindia menoleh sepenuhnya kearah cowok itu, “anu, Kak. Buat event nya, kalau tanpa tanda tangan orang tua boleh, nggak?” tanyanya. Linggara membalasnya dengan mengangguk, “ya, boleh aja, sih. Emang orang tua lo nggak mau tanda tanganin?” Kanindia yang mendengarnya hanya menggeleng, membuat tanda tanya di benak Linggara. “Gue nggak dikasih ikut sebenarnya, Kak. Jujur, padahal gue pengen buat ikut kayak gitu, bukan cuma di UI aja, tapi di tempat lainnya gue juga pengen ikut. Tapi, disetiap gue mencoba buat ikut yang kayak gitu, papa gue selalu nolak dan nggak izinin gue buat ikutan event kayak gitu, dengan alasan kalau itu nggak penting. Padahal, bagi gue itu penting banget, bisa dihitung buat bahan untuk tes kuliah,” ujar Kanindia panjang lebar. Linggara yang mendengar kalimat yang dilontarkan gadis itu kini menatap intens Kanindia, “do you want to talk? Berhubung gue kuliah di fakultas kedokteran prodi psikolog, mungkin gue bisa bantu lo cari solusi, atau seenggaknya bisa bikin diri lo lebih lega dari sebelumnya.” Kanindia yang mendengar tawaran dari Linggara menatap cowok itu penuh ragu. Linggara yang melihat keraguan di mata gadis itu kembali mengeluarkan suaranya. “It’s okay, Nin. Trust me.” Kanindia akhirnya mengangguk, gadis itu sedikit membenarkan posisi duduknya agar terlihat nyaman saat menceritakan masalah yang selama ini ia tanggung kepada sosok cowok yang baru beberapa hari ini ia kenal. Kanindia percaya bahwa ia tidak menceritakan hal ini kepada orang yang salah. Gadis itu menghela napas berat sebelum mengeluarkan suaranya. “Kalau boleh jujur gue capek, Kak. Gue benci sama keadaan gue yang kayak gini, gue kecewa sama takdir yang sama sekali nggak sesuai dengan harapan gue, ya, gue tau kalau takdir itu udah ada yang atur, cuma terkadang gue merasa nggak adil, Kak, kenapa gue harus nanggung beban ini semua?” Kanindia menginterupsi sejenak, menarik napas dengan dalam. “Gue lahir dalam keadaan keluarga gue yang hampir hancur, mama gue yang selingkuh, jarang pulang buat sekedar ngelihat keadaan gue, dan berakhir ribut sama papa karna ketahuan selingkuh. Semenjak mama ketahuan sama papa kalau dia selingkuh, mama justru ninggalin papa dan gue buat pergi sama laki-laki yang lain. Padahal papa sayang banget sama mama, tapi mama tega kayak git uke papa. Dan semenjak sama papa, gue sering banget di marahin sama hal-hal sepele. Ya, gue yang masih terlalu kecil itu, cuma taunya nangis sampe papa gue kesel liat gue yang terus-terusan nangis. Karna ya, gue emang se cengeng itu,” Kanindia terkekeh geli ketika ia yang dulu sering menangis hingga membuat Tito kesal. “Beberapa bulan mama menghilang tanpa kabar, ternyata… mama nikah lagi tanpa sepengetahuan kita berdua. Mama nikah sama laki-laki lain dalam keadaan masih jadi istri papa gue. Dan di saat papa gue tau, papa gue shock, dan berakhir kena stroke ringan. Gue benci banget sama mama, Kak. Dari situ, papa bener-bener bikin gue tersiksa. Gue setiap saat harus turuti semua kemauan papa, bahkan kalau gue nolak, papa mukul gue, atau maki-maki gue. Papa terus-terusan kasih gue tekanan yang buat gue capek secara fisik maupun batin. Asal lo tau, Kak. Gue nggak pernah, tuh, ngerasain gimana kasih sayang dari mama ataupun papa, bahkan kalau gue liat orang lain yang punya hubungan manis dengan keluarganya bikin gue iri.” Kanindia tertawa hambar meratapi nasibnya yang seperti ini. “Gue sendirian…” Kanindia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga kuku jarinya memutih, mata gadis itu mulai berkaca-kaca, namun sekuat tenaga ia menahan. Ia menghirup napas dalam- dalam guna menenangkan dirinya. “Gue sendirian, Kak. Punya keluarga berasa nggak punya, hidup dibawah kendali orang, gue capek! Kenapa gue harus terus-terusan buat memenuhi ekspetasi orang-orang?! Ini hidup gue… tapi kenapa gue harus kayak gini? Hidup gue hancur karna keluarga gue sendiri, gue tumbuh besar tanpa rasa kasih sayang. Kenapa dunia harus sejahat itu sama gue?! KENAPA?!” intonasi gadis itu semakin lama semakin meninggi, Kanindia mulai dikuasai emosinya. Hatinya terlalu sakit. Perlahan, gadis itu mulai terisak. Sedangkan Linggara, cowok itu diam dengan telinga yang terus terpasang untuk mendengar keluhan Kanindia. Bukannya Linggara tidak peduli dengan Kanindia yang mulai terisak itu, tapi ia membiarkan gadis itu mengeluarkan semua yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun itu. Kanindia meremas kuat tangannya dan menunduk dalam. Tubuhnya bergetar dengan isakan yang terus keluar tanpa henti. “G-gue capek, Kak!” Linggara menggeser posisi duduknya, menepis jarak diantara Kanindia. Dengan pelan, cowok itu membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Linggara mendekap tubuh Kanindia, menyalurkan rasa ketenangan pada gadis itu, sesekali ia juga mengelus pelan punggung belakang gadis itu. Cowok itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya diam dan terus memberikan ketenangan kepada Kanindia yang masih terisak. Sudah tiga puluh menit mereka duduk di sana dan hujan pun sudah berhenti. Kanindia telah menceritakan semuanya kepada Linggara, gadis itu merasa lebih lega setelah mengeluarkan semuanya dan menangis. Linggara juga memberikan masukan kepada gadis itu dan tentunya membuat Kanindia sedikit lebih tenang dengan kata-kata yang diberikan cowok itu kepadanya. Kanindia sangat bersyukur, setidaknya masih ada yang peduli terhadap dirinya. “Kak, pandangan lo terhadap orang yang punya trust issue gimana? Lo tau kan, gue punya trust issue dengan keluarga gue, mau itu mama atau papa gue, jadi gue takut lo kayak ngerasa jangan temenan sama gue yang punya trust issue,” papar Kanindia seraya menunduk dalam. Linggara yang mendengar hal tersebut dari Kanindia lantas menaikkan sebelah alisnya, “kenapa ngomong gitu, Nin? Temenan sama orang yang punya trust issue emang suatu masalah yang besar? Nggak kan?" tanyanya membuat Kanindia mengatupkan bibirnya. “Ya, tapi kan ada aja orang kayak gitu...” cicit Kanindia membuat Linggara tampak menghela napas sejenak, "denger ya Nin, persepsi orang-orang itu beda-beda, disaat lo bertemu orang lain, berteman sama orang lain, berkomunikasi sama orang lain, itu bakal menggabungkan dua ekspetasi, jelas aja bakal timbul perbedaan dan pendapat dari situ. Temenan sama mereka yang punya trust issue bukan masalah besar kok, cuma perbedaan persepsi aja. Mungkin gue bisa terima lo, tapi belum tentu orang lain kayak gitu. Jadi, dengan adanya hal kayak gitu, gue minta lo jangan langsung down dengan persepsi mereka yang kayak gitu ya,” ujar Linggara membuat Kanindia mengembangkan senyumnya. “Kak, thank you banget yaa…” Linggara mengangguk dan membalas senyuman Kanindia. “My pleasure, prettiest,” balas Linggara membuat Kanindia tertawa pelan. Linggara bangkit dari duduknya, “ayo pulang, udah sore banget,” ajaknya dan diikuti oleh Kanindia yang mengekornya dari belakang. Saat dirinya dan Kanindia sudah menaiki motornya, barulah ia menancap gas motornya membelah padatnya kota Bandung. Linggara mengendarai motornya dengan kecepatan normal. Kanindia menikmati angin sore sehabis hujan yang jauh lebih segar, angin yang menerpa wajahnya dan membuat rambutnya berterbangan itu membuat kadar kecantikan gadis itu semakin bertambah. Linggara melirik gadis yang dibelakangnya itu melalui kaca spion motornya dan tersenyum tipis. Kanindia membuka matanya dan mendekatkan wajahnya di bahu Linggara, “Kak, wajar nggak sih, kalau gue kecewa sama hal apapun itu?” tanya Kanindia yang dibalas anggukan oleh cowok itu. “Wajar kok kita kecewa sama suatu hal. Karna rasa kecewa itu datang disaat ekspetasi atau hal yang kita inginkan nggak sesuai sama yang kita harapin. Rasa kecewa juga datang saat kita merasa gagal buat raih sesuatu. Dan sebenarnya, rasa kecewa itulah yang buat seseorang itu jadi melemah. Memang bukan hal yang salah kok kecewa itu. Cuma kurang baik aja, harusnya saat kita kecewa akan sesuatu itu coba buat memperbaikinya agar lebih baik lagi, bukannya malah menyalahkan diri sendiri,” jelas Linggara panjang lebar membuat Kanindia semakin kagum dengan alur pemikiran cowok itu. “Lo dewasa banget ya, Kak. Keren banget pemikirannya, gue suka,” puji Kanindia yang hanya cowok itu balas dengan kekehan kecil. Sore itu, Kanindia menemukan jati dirinya, gadis yang sedari kecil yang tidak memiliki tujuan hidup itu, kini memiliki pencerahan yang menemukan tujuan hidupnya. Dimana ia harus memperbaiki semuanya secara perlahan. Dan pertemuan singkat dirinya dengan Linggara merupakan suatu takdir indah yang direncanakan Tuhan. Gadis itu, jatuh hati pada sosok Linggara yang telah membantu Kanindia keluar dari keadaan terpuruknya.