Anda di halaman 1dari 15

Cerpen

Rumah singgah dan Pelabuhan

Oleh
Geverhan Nashwa
IX-8

MTsN 1 Banda Aceh


2022
Syair lagu

Kukira Kau Rumah


(Amigdala)

Kau datang tak kala sinar senjaku telah redup


Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya
Kau yang singgah tapi tak sungguh
Kau yang singgah tapi tak sungguh
Kukira kau rumah
Nyatanya kau cuma aku sewa
Dari tubuh seorang perempuan
Yang memintamu untuk pulang
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kukira kau rumah
Nyatanya kau cuma aku sewa
Dari tubuh seorang perempuan
Yang memintamu untuk pulang
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Kau bukan rumah
Data Cerpen

Tema : Slice Of Life, Eligi, Romance


Judul : Rumah Singgah dan Pelabuhan
Alur : Campuran
Tokoh : Kanindia, Linggara, Senja, Tito, Zara, dan teman-temannya
Latar : Rumah, Sekolah, Halte
Sudut pandang : Orang ketiga
Pesan moral : Perihal kecewa memang bukanlah suatu hal yang salah. Namun, sangat
tidak bijak. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mencoba untuk
memperbaikinya agar menjadi lebih baik lagi, bukannya menyalahkan
diri sendiri.
Malam ini, kota Bandung sangatlah meriah. Gemerlapnya lampu-lampu bangunan yang
menjulang tinggi, para pedagang yang menjual berbagai macam makanan, dan para pengamen
yang penuh semangat mengisi pundi-pundi uang sekaligus ikut meramaikan suasana Jalan Braga.
Semua orang tampak berbahagia dan antusias menikmati semua yang ada disana. Begitu banyak
para pedagang berseru ria menawarkan dagangannya kepada pengunjung disana.
Namun, lain halnya dengan dua sosok gadis yang sedang berjalan ditengah keramaian
para pengunjung yang datang. Yang satu berjalan dengan tatapan kosongnya, dan satu lagi
berbicara panjang lebar sepanjang mereka berjalan. Kanindia Ayunda atau kerap disapa
Kanindia, gadis itu hanya diam sedari tadi mendengar celotehan gadis yang berada
disampingnya, sesekali ia juga merespon pembicaraan temannya, Senja Asmaraloka. “Nin, mulut
gue pegel nih, ngomong terus. Lo ngomong atau cerita apa gitu, ini gue bawel banget dari tadi,”
keluh Senja. Kanindia merotasikan kedua bola matanya saat mendengar keluhan Senja.
“Perasaan gue nggak nyuruh lo ngomong, deh?” jawabnya.
“Ya, masa diem terus? Kaku banget, gak bisa gue, Nin.”
“Gue nggak tau mau ngomong apa, Ja. Pusing banget nih,” ungkap Kanindia membuat Senja
kebingungan, “Lo lagi ada masalah?” tanya Senja pelan. Kanindia menggeleng sebagai
jawabannya, “nggak ada, Ja.”
Bohong. Senja tau itu, namun kali ini gadis itu tidak akan memaksa Kanindia untuk
bercerita kepadanya, biarlah nanti Kanindia sendiri yang menceritakannya. Kanindia
menghentikan langkahnya dan menatap Senja, “Eh, lo mau beli makanan buat dirumah gitu?
Mumpung gak jauh lagi dari rumah lo, barangkali mau beli.” Senja menggelengkan
kepalannya,“Nggak usah, deh.”
Kanindia mengangguk dan melanjutkan jalannya hingga sampai didepan perkarangan
rumah Senja.“Ja, gue gak mampir lagi ya, titip salam buat tante Lin. Gue pulang dulu, makasih
udah nemenin gue malam ini.”
Senja mengangguk dan tersenyum kepada Kanindia. “Hati-hati ya, Nin!” ucapnya dan
dibalas anggukan oleh gadis itu. Setelah Kanindia benar-benar sudah hilang dari pandangannya,
barulah ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya rapat-rapat.
Setelah mengantarkan Senja pulang tadi, gadis itu kini tengah melangkahkan kakinya
menuju rumahnya yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Senja. Gadis itu berjalan dengan
pelan seraya menatap langit malam yang dihiasi gemerlapnya bintang-bintang itu. Kanindia
tersenyum tipis hanya sekedar menatap langit malam saja. Bagi dirinya, langit malam
mempunyai keunikan tersendiri sehingga membuat langit malam di matanya terlihat begitu
menarik. Langkah gadis itu terhenti tepat didepan pagar rumahnya, ia menatap rumah bertingkat
dua itu dengan helaan napas berat. Rumahnya begitu sepi dan sunyi, bak rumah yang tanpa
berpenghuni. Bagi Kanindia sendiri, buat apa memiliki rumah besar namun kalau ia harus tinggal
sendiri. Kanindia menepis semua pikirannya itu dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Kanindia memasuki kamarnya yang terletak dilantai dua itu. Gadis itu menaruh tasnya di atas
meja belajar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur besar miliknya. Kanindia memejamkan
matanya hingga gadis itu tertidur dengan pakain yang belum ia ganti.
Keesokan harinya…
Matahari kembali menampakkan dirinya dari ufuk timur, menggantikan posisi bulan
untuk menyinari bumi. Bahkan sinarnya menembus kamar Kanindia yang masih bergulung
dengan selimut, gaadis itu enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanindia mengeliat kecil saat
dering ponselnya berbunyi, gadis itu mendudukkan dirinya di atas kasur, lalu diambilnya ponsel
yang berbunyi itu di meja nakas samping ranjangnya. Tertara nama ‘Senja’ disana, dengan malas
gadis itu mengangkat sambungan telponnya.
“Halo, Nin?”
“Kenapa, Ja?” tanya Kanindia dengan suara khas bangun tidur.
“Idih, baru bangun? Anak gadis bangunnya kok jam segini?” canda Senja seraya tertawa kecil.
“Bacot deh, lo! Kayak lo bangun pagi buta aja!” cibir Kanindia. Terdengar oleh Kanindia bahwa
Senja tengah terbahak diseberang sana.“Eh, Nin. Lo udah sarapan belum? Kalo belum sini ke
rumah gue, bunda masak banyak nih,” ajak Senja.
Kanindia tampak berpikir sejenak, “emm… boleh deh, bentar ya, gue mau siap-siap dulu,
bye, Ja!” ucapnya dan mematikan sambungan teleponnya.
Kanindia menaruh kembali ponselnya di atas meja nakas dan beranjak dari kasurnya menuju
kamar mandi untuk mencuci mukanya. Lima belas menit gadis itu didalam kamar mandi,
akhirnya Kanindia keluar dengan baju kaus putih lengan pendek dan training berwarna hitam.
Gadis itu menatap dirinya di pantulan cermin, ia mengambil sebuah ikat rambut dan mencepol
asal rambutnya. Kanindia mengambil ponselnya yang berada di atas meja nakas, lalu bergegas
turun. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir, ia melihat kursi ruang makan yang dulunya
berantakan karna ada yang menduduki, kini sangat rapi. Yang dulunya sebuah ruangan yang
penuh canda tawa yang hangat, kini senyap. Kanindia menggelengkan kepalanya pelan dan
berjalan keluar dari perkarangan rumahnya.
Pagi ini begitu cerah, Kanindia menikmati perjalanannya menuju rumah Senja dengan
angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah cantiknya. Sesekali gadis itu menyapa orang yang
berpapasan dengannya seraya melemparkan senyum manisnya. Kanindia menghentikan
langkahnya didepan rumah Senja dan membuka pintu pagar rumah gadis itu, lalu memasukinya.
Kanindia melihat Senja yang tengah menyiram tanaman bunga milik Lin, ibunya Senja.
Kanindia berjalan mendekati Senja yang masih belum mengetahui keberadaanya. “Anak
gadis rajin banget ya,” ucapnya seraya tersenyum jahil. Senja refleks menoleh kearah Kanindia
yang berdiri dibelakangnya. “Oh iya dong. Kalau anak gadis ini gimana? Rajin banget ya…
sangking rajinnya, pasti ke rumah gue nggak mandi, cuma cuci muka doang,” balas Senja juga
ikut menyindir Kanindia.
Lalu, keduanya tertawa puas setelah menyindir satu sama lain. Senja mematikan keran
airnya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya bersama Kanindia. “MAA! ADA ANAK GADIS,
NIH!” ucapnya sedikit mengeraskan suaranya. Kanindia memukul pelan lengan Senja, “suara lo.
kayak toa masjid!”
Lin, ibunya Senja datang dari arah dapur dengan membawa piring dan menaruhnya di
atas meja makan. “Eh, Kanindia. Ayo sini, sarapan dulu, tante tadi masaknya banyak,” ajak Lin.
Kanindia mengangguk dan mengikuti Senja yang duduk di kursi meja makan. Lalu, Lin
kembali dari dapur dan ikut duduk didepan Kanindia. “Ayo makan, pokoknya harus makan yang
banyak!” perintah Lin seraya menuangkan kuah sup yang ia buat di atas nasi Kanindia dan Senja.
Disela-sela makan, baik Lin maupun Senja membuka topik agar tidak hening. “Jadi Nin, kamu
udah ada rencana mau lanjut kuliah dimana?” tanya Lin.
Kanindia menatap raut keseriusan wajah Lin, “rencananya UI tan, cuma kalau nggak
lewat, aku bakal kuliah di sini,” balasnya. Lin menganggukkan kepalanya, lalu beralih menatap
Senja, anaknya. “Kalau kamu?”
Senja tampak berpikir sejenak, “emm… ITB kali ya, Ma?” tanya Senja kepada Lin. Lin
menghela napas panjang mendengar jawaban dari putrinya itu. “Pilih sesuai kemampuan kamu,
mama nggak masalah kamu kuliah dimana aja, asal nggak jadi pengangguran,” balas Lin
membuat Senja mengangguk paham.
“Ini berlaku juga buat kamu ya, Kanin. Jangan pernah ikut standar kemampuan orang lain, selagi
itu nggak membebani kamu, silahkan pilih menurut keputusan sendiri,” ucap Lin memberikan
masukan kepada dua anak gadis itu. Kanindia mengangguk seraya tersenyum kepada Lin, “iya
tante, makasih banyak atas masukannya.”
Setelah berbincang-bincang sebentar tadi bersama Lin, akhirnya Kanindia pamit untuk
pulang ke rumah. Kanindia berjalan seraya bernyanyi kecil lagu kesukaannya. Namun,
langkahnya terhenti beberapa meter dari rumahnya. Gadis itu menyeringit heran dengan mobil
putih yang begitu familiar terparkir disamping rumahnya. Kanindia berjalan mendekat ke arah
mobil itu terpakir dan melihatnya secara detail. ‘Mobil papa, tumben pulang?’ tanya gadis itu
dalam hatinya. Tak ingin berpikir panjang, gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pria
paruh baya yang bernama Tito berdiri didepan Kanindia, menatap putrinya dari ujung kepala
hingga ujung kaki.
“Pasti belum mandi? Jorok banget kamu ya, apa nggak malu?” tanya Tito kepada Kanindia,
sedangkan gadis itu mengangkat bahunya acuh. “Aku tadi cuma ke rumah Senja sebentar, ini
mau mandi juga,” balas gadis itu.
“Ya sudah kalau begitu. Oh ya, papa tadi baru belikan kamu buku soal-soal terbaru untuk kamu
ikut tes kuliah. Usahakan nilai kamu jangan turun dari seratus ya, biar bisa kuliah di Harvard
University. Temen-temen papa anaknya semua masuk ke sana,” ujar Tito seraya melenggang
pergi dari hadapan Kanindia. Gadis itu menghela napas pasrah dan berlalu ke kamarnya. Setelah
berada di kamarnya, gadis itu segera membersihkan dirinya.
Malam ini, Kanindia tengah berkutat didepan laptopnya serta jejeran buku soal-soal
disampingnya. Sesekali gadis itu menguap, rasa kantuknya hampir menguasai dirinya, ia juga
sudah bolak-balik ke dalam kamar mandi sekedar mencuci mukanya. Kanindia menatap puluhan
soal yang ada di buku pemberian papanya, gadis itu membolak-balikkan lembaran yang berisi
materi dan soal-soal itu secara berulang kali. Karna tak kunjung mendapat jawaban dari satu soal
itu, Kanindia lantas menutup buku tebal itu dengan kasar dan menjauhkan buku itu dari dirinya.
Ia beranjak dari meja belajarnya menuju balkon kamar. Saat membuka pintu balkon kamarnya,
angin malam itu berbondong-bondong menusuk permukaan kulit Kanindia. Gadis itu
mendudukkan dirinya di kursi yang ada di sana seraya meemjamkan matanya menikmati angin
malam yang berhembus tidak terlalu kencang. Ia hanya ingin merileks kan pikirannya yang
sudah terkuras banyak. Hari yang cukup melelahkan.
Hari-hari seperti ini sudah biasa Kanindia lalui. Belajar mati-matian hanya untuk
memenuhi ekspetasi sang ayah cukup membuat dirinya tertekan. Di saat anak-anak seusianya
sibuk menghabiskan masa mudanya dengan santai bersama teman-temanya, namun lain halnya
dengan Kanindia yang sibuk memenuhi segala permintaan dari papanya. Setiap Kanindia ingin
melangkah dengan keptusannya sendiri, Tito alias papanya selalu membantah apa yang ingin
dirinya lakukan. Kanindia selalu dituntut untuk menjadi yang paling sempurna. Segala hal yang
Tito inginkan wajib dipenuhi oleh Kanindia. Terkadang gadis itu kewalahan harus hidup berada
dibawah kendali papanya.
Dua puluh menit sudah Kanindia duduk di sana. Gadis itu akhirnya beranjak kembali
masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu balkonnya. Ia melirik kearah jam dinding yang
sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh. Kanindia mencuci kakinya dan bergegas untuk
tidur.
Pagi-pagi sekali, Kanindia sudah berada di sekolahnya, kini gadis itu tengah duduk di
kelasnya. Sembari menunggu kedatangan Senja, gadis itu menyempatkan dirinya untuk
membaca materi yang akan ia pelajari hari ini.
“YUHUU KANINDIA!!!” suara cempreng milik Senja menggelegar diseluruh penjuru ruangan.
Kanindia meringis seraya mengusap kupingnya, gadis itu menatap Senja yang tengah berjalan
kearahnya seraya menyengir lebar. “Suara lo kayak kuda lumping! Setan ya, kuping gue sakit,”
sambar Kanindia saat Senja telah mendudukkan dirinya di bangku. Sang pelaku hanya senyam-
senyum sendiri bak orang setres.
“Lo udah gila?” tanya Kanindia kepada gadis disampingnya itu. Sedangkan Senja, gadis itu
menepuk pelan lengan Kanindia yang menanyakan dirinya seperti itu. “Lo ngomong yang iya,
dong! Najis banget, masa gue dibilang gila?” sungut Senja dengan raut wajah yang kesal.
Kanindia yang melihat perubahan raut wajah Senja pun terbahak, “gue bercanda Ja, abis
lo nya senyam-senyum sendiri kayak orang setres.”
Senja hanya memutar bola matanya malas, karena malas menanggapinya lagi, akhirnya
gadis itu membuka tasnya dan mengambil buku yang sama seperti Kanindia. “Eh, kita hari ini
ada ulangan, ya?” tanya Senja yang hanya dibalas anggukan oleh Kanindia. Senja menghela
napas panjang melihat begitu banyak materi yang harus ia pelajari. “Demi, gue males belajar…”
Kanindia menatap Senja yang menelungkupkan kepalanya di atas meja, “jangan gitu Ja,
katanya mau masuk ITB? Mana boleh lo males-males kayak gini,” peringatnya membuat Senja
mengangkat kepalanya dan ikut menatap Kanindia. “Banyak banget materinya serius!!!”
Kanindia hanya menepuk pelan bahu Senja seraya berkata, “nggak apa-apa, pelan-pelan aja, Ja.”
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Baik Kanindia maupun Senja
telah meninggalkan kelasnya untuk mengisi kembali perut mereka yang kosong. Senja
menyantap nasi goreng nya dengan sangat lahap. Sedangkan Kanindia, gadis itu hanya membeli
sebungkus roti dan susu strawberry kesukaannya. Di sela-sela makan mereka, suara yang
menggelegar hingga seluruh sekolah Madelangga yang berasal dari aula itu menghentikan
aktivitas makan mereka dan para murid lain.
“…dikarnakan adanya sosialisasi dari mahasiswa Universitas Indonesia, diharapkan untuk
seluruh siswa-siswi kelas dua belas untuk segera berkumpul di aula, sekian terima kasih…”
Senja yang mendengar pengumuman tersebut menggerutu kesal, “makanan gue belum
habis! Please deh, ya…”
Kanindia yang mendengar nama Universitas impiannya disebut, membuat gadis itu
segera bangkit dari duduknya dengan wajah yang sumringah. “JA, AYO JA! ITU SOSIALISASI
DARI UI! IMPIAN GUEE!!!” jerit Kanindia seraya menarik tangan Senja untuk meninggalkan
arena kantin. Senja yang tangannya di tarik oleh Kanindia itu susah payah menyeimbangkan
tubuhnya. “Pelan-pelan bego! Lo kayak nyeret gue!” sungut gadis itu kesal.
Sesampai di aula, dengan cepat Kanindia menarik tangan Senja untuk mengisi bangku
dibarisan terdepan. “Buset, Nin! Nggak paling depan juga kali, barisan kedua atau ketiga gitu,”
ucap Senja yang dibalas gelengan oleh Kanindia, “nggak mau, gue duduk dibarisan depan juga
biar di notice sama kating!” balasnya yang membuat Senja mendengus kesal.
Saat aula sudah terisi dengan murid kelas dua belas, barulah salah satu pria yang
mengenakan almamater berwarna kuning yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia itu
maju satu langkah di atas panggung dan mulai berbicara didepan seluruh murid Madelangga
dengan penuh percaya diri. Setiap kalimat yang terlontar dari mulut pria itu di dengar dengan
saksama oleh Kanindia, binar di mata gadis itu membuat dirinya semakin ingin untuk berkuliah
di sana dan bertemu orang-orang keren lainnya. Saat pria yang berdiri di atas panggung itu
menjelaskan mengenai event yang diselenggarakan oleh universitas itu, mahasiswa lainnya pun
membagikan poster kepada seluruh murid yang berada di aula itu.
Salah satu cowok dengan almamater kuningnya itu mendekat kearah Kanindia dan
memberikan secarik lembar poster itu seraya tersenyum kepada gadis itu, pria itu juga sedikit
melirik name tag milik Kanindia.”Hai, dari tadi gue perhatiin lo kayaknya excited banget ya?
Kalau gitu, jangan lupa ikut event nya ya, good luck Kanindia Ayunda!” Setelah mengucapkan
itu kepada Kanindia, pria itu melenggang pergi dari hadapan Kanindia dan kembali berkumpul
bersama teman-temannya disamping panggung. Kanindia membaca secara rinci setiap kata yang
ada di poster itu. Gadis itu menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis.
Senja yang melihat gelagat Kanindia itu menepuk bahu gadis itu. “Heh! Sadar lo!
Ngapain senyam-senyum gitu?” Kanindia menatap Senja dengan penuh makna, “ikut yuk, Ja?”
ajaknya. Senja yang mendengar ajakan gadis disampingnya itu tampak berpikir sejenak dan
kembali menatap poster yang berisi perlombaan yang diadakan. Perlahan gadis itu mengangguk,
“ayo ikut, tapi gue maunya ikut Teenager’s Scientific paper. Jadi, kita bisa ikut penelitiannya
berdua, gimana Nin?” tanyanya seraya menatap serius wajah Kanindia. Gadis yang berada
disampingnya itu pun mengangguk antusias, “ayo, Ja!”
Sepulang dari sekolah, Kanindia langsung memberi kabar kepada Tito mengenai
perelombaan yang akan ia ikuti itu bersama Senja. Gadis itu menelpon Tito yang sore ini masih
berada di kantor. “Halo, pa?” Saat hendak melanjutkan perkataannya, Tito langsung menyambar
Kanindia dengan intonasi sedikit tinggi. “Kamu ngapain, sih, telpon papa? Kalau nggak penting
nggak usah telpon. Papa banyak kerjaan, nggak ada waktu buat telponan sama kamu.” Kanindia
yang mendengar hal tersebut langsung menyela. “nggak pa, ini penting kok! Aku cuma mau
bilang ke papa, kalau aku sama Senja mau ikut event dari UI pa. Tapi, buat biaya sama syarat
pendaftarannya butuh tanda tangan orang tua gitu buat ikut lombanya, boleh kan, Pa?” tanya
Kanindia seraya menunggu balasan Tito. “Nggak usah ikut yang begituan, nggak penting
Kanindia. Udah lebih baik kamu fokus belajar aja biar bisa tes di universitas Harvard. Udah ya,
papa sibuk.”
Sambungan telpon itu dimatikan oleh Tito. Jawaban dari Tito itu membuat Kanindia
mengepalkan tangannya kuat-kuat, gadis itu sudah sangat muak diperlakukan seperti ini oleh
papanya. Dering ponsel Kanindia berbunyi, dengan malas gadis itu mengangkat panggilan dari
Senja. “Halo, Nin. Gimana? Papa lo izinin?” pertanyaan yang dilontarkan Senja itu sukses
membuat Kanindia murung. Mood gadis itu sedang hancur. “Nggak tau, males gue, nggak usah
di bahas,” balas Kanindia membuat Senja bingung. “Lo kenapa deh, Nin? Ada masalah?”
Kanindia hanya menghela napas berat, “udah dulu ya Ja, gue lagi nggak mood, lo kalau mau
telpon buat bahas ginian nanti aja, gue matiin ya.”
Kanindia membanting ponselnya di atas kasur dan bergegas mengganti bajunya. Gadis itu
mengenakan celana training abu-abu dan kaus oblong berwana hitam, tak lupa rambutnya yang
ia cepol asal. Kanindia berencana untuk pergi ke mini market sebentar untuk membeli cemilan
untuk menemaninya belajar. Gadis itu lebih memilih berjalan kaki, toh, minimarket nya hanya
beberapa meter dari rumahnya, masih sanggup ia tempuh dengan berjalan kaki. Sesampai di
minimarket, gadis itu mengambil beberapa makanan ringan dan minuman kaleng, dirasa sudah
cukup ia langsung menuju ke kasir untuk membayar.
Bruk!
Karna keasikan dengan barang-barangnya, Kanindia tidak sengaja menabrak punggung sosok
cowok didepannya yang hendak mengambil minuman didalam kulkas. “Duh, maaf ya, Kak. Gue
nggak liat, maaf banget ya,” ucapnya seraya membungkuk. Cowok itu menatap intens Kanindia,
“kayaknya lo yang tadi di Madelangga?” tanyanya saat melihat wajah familiar milik Kanindia.
Kanindia mendongak hingga kedua netra mereka bertemu. “Eh, iya, Kak. Kok tau?” Cowok
bersetelan hoodie hijau dan celana jeans berwarna hitam itu mengulurkan tangannya seraya
tersenyum kepada Kanindia, “gue Linggara Atmaja, just call me, Linggara. Kanindia Ayunda
that’s your name, right?” Kanindia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu menerima uluran
tangan pria yang bernama Linggara itu. “Iya itu nama gue,” balas Kanindia singkat membuat pria
itu mengangguk.
“Nggak sengaja ketemu, anyway, gimana? Lo bakal ikut event nya?” tanya Linggara membuat
raut wajah Kanindia kembali murung. Melihat perubahan raut wajah Kanindia membuat
Linggara kembali bersuara, “hey, what’s wrong? Lo nggak bisa ikut event nya?” Kanindia
menghela napas berat dan mengangguk. “Gue awalnya emang excited banget buat ikut event itu
bareng temen gue, Kak. Cuma papa gue nggak setuju gue buat ikut,” jelas Kanindia membuat
kerutan di dahi cowok itu, “kenapa papa lo nggak bolehin? Bukannya itu hak lo?” tanya
Linggara yang hanya dibalas gelengan oleh gadis itu. “Udah dulu ya, Kak. Gue mau pulang,
sorry buat yang tadi, duluan ya,” pamit Kanindia dan segera berlalu dari hadapan Linggara.
Linggara menatap punggung belakang gadis yang sempat berbincang dengannya sebentar
hingga hilang dari pandangannya. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk
senyuman tipis. She’s attractive. Pikirnya.
Kanindia memasuki rumahnya kembali dengan menenteng bungkusan plastik yang berisi
makanan ringan. Saat hendak menaiki tangga, suara wanita paruh baya dibelakangnya membuat
Kanindia berbalik. “Darimana kamu?” tanya wanita itu. Kanindia menatap sosok wanita
didepannya itu dengan tangan yang terkepal kuat. “Mama ngapain balik? Ada urusan apa?” tanya
Kanindia dingin. Lantas wanita dengan nama Zara itu menaikkan sebelah alisnya seraya
bersedekap dada didepan Kanindia. “Kenapa? Ini juga rumah saya, terserah saya dong mau balik
kesini sesuka hati saya,” balasan dari Zara membuat Kanindia berjalan mendekat kearah wanita
itu. Kanindia menatap wajah Zara tanpa ekspresi sedikit pun, “mending gak usah balik lagi,
tinggal aja sana sama keluarga baru mama,” ucapnya membuat Zara terkekeh pelan. Wanita
paruh baya itu menepuk pundak Kanindia berulang kali, “mama masih ada hak buat nginjakin
kaki di rumah ini, buat ngusir kamu dari sini aja mama masih ada hak. Toh, papa kamu nggak
mau ceraikan mama, padahal mama nunggu banget.”
Kanindia menggeram kesal melihat tingkah laku ibunya yang seperti anak-anak. Tak
ingin memperpanjang, gadis itu meninggalkan Zara yang kembali duduk santai di atas sofa ruang
tengah. “Orang sinting!” sungut Kanindia kesal seraya menaiki anak tangga dan masuk kedalam
kamarnya. Gadis itu menaruh bungkusan plastik itu dengan kasar di atas meja nakas. Saat Zara
berkata seperti itu, ingin sekali ia menampol mulut Zara. Namun, Kanindia masih mempunyai
kewarasan untuk tidak melakukan hal tersebut kepada ibunya.
Dulu, sewaktu Kanindia masih berusia enam tahun, Tito dan Zara sering sekali berselisih
perihal Tito yang terkadang tidak sengaja melihat Zara yang berpergian dengan pria lain yang
tidak diketahui oleh Tito sendiri. Awalnya Tito mengira bahwa Zara hanya pergi bersama rekan
kerjanya. Namun, semakin lama, Zara sering bertemu dengan pria itu membuat Tito tidak
mempercayai lagi omong kosong Zara. Saat itu Tito sering menuduh Zara hingga membuat
wanita itu marah dan pergi meninggalkan rumah. Setiap hari yang Kanindia rasakan adalah
keributan yang berasal dari kedua orang tuanya. Kanindia yang selalu tidak mendapatkan kasih
sayang dari orang tuanya hanya terpaku dengan Lin, ibunya Senja. Bahkan dulu, Kanindia lebih
dekat dengan Lin daripada sang ibu. Dan disaat Tito mengetahui bahwa Zara telah menikah
dengan pria itu secara diam-diam sukses membuat Tito terkena stroke ringan, untung saat itu
keadaan Tito dengan cepat diketahui oleh asisten rumah tangganya dan segera dibawa kerumah
sakit. Berhari-hari Tito dirawat inap dirumah sakit, selama itulah Zara menghilang seakan-
seakan buta akan keadaan dan tanggung jawabnya. Semakin lama, Kanindia juga merasa amat
sangat tertekan dengan Tito yang mulai mengekang atau menuntut dirinya, bahkan jika Kanindia
membantah, Tito tak akan segan-segan bermain fisik dengan Kanindia. Tito seperti itu sebab
dirinya merasa tidak adil diperlakukan seperti itu oleh wanita yang sangat ia cintai, Zara.
Dan setelah dua tahun lamanya hidup dengan keadaan yang sama, tepat saat Kanindia
menginjakkan umur delapan tahun, Zara kembali dengan sejuta sandiwaranya. Wanita itu
memanipulasi Tito yang saat itu masih dibutakan oleh cinta. Zara kembali menginjakkan kakinya
dirumah Tito dengan deraian air mata, wanita itu mengatakan bahwa pria yang dua tahun lalu
yang ia nikahi tidak menafkahi dirinya, dengan bodohnya Tito, pria itu menerima kembali Zara.
Namun, tidak bertahan lama, Zara kembali seperti dulu, setelah ia mendapatkan apa yang ia
inginkan, lalu pergi dengan keadaan buta. Dan seteleh beberapa kali Zara melakukan itu kepada
Tito, pria itu tetap tidak menceraikan Zara yang bahkan menunggu Tito menggugat cerai dirinya.
Tito terlalu dibutakan dengan cinta. Bahkan hingga Kanindia menginjakkan usia enam belas
tahun, selama itu juga Tito belum menggugat cerai Zara.
Kanindia merebahkan dirinya di atas kasur seraya bermain ponsel miliknya, ia ingin
mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Di rasa cukup setelah bermain ponsel selama dua jam, gadis
itu beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Saat hendak membuka buku, terjadi
keributan yang berasal dari ruang tengah, suara pria dan wanita yang saling sahut-menyahut
dengan intonasi yang tinggi membuat Kanindia lagi-lagi menghela napas berat, kejadian itu
terulang lagi. Gadis itu mengambil earphone nya dan memasangkan ke telinganya. “Gue
capek…” gumamnya.
Keesokan harinya…
Matahari kembali bersinar menyinari bumi, bahkan sinarnya menyelinap masuk melalu
celah-celah gorden yang sedikit terbuka. Kanindia kini berdiri didepan cermin dengan seragam
sekolahnya, ia sedikit merapikan rambutnya yang berantakan. Setelah di rasa penampilannya
sudah bagus, gadis itu mengambil tasnya dan menyampirkan ke punggungnya. Tak lupa gadis itu
membuka gorden kamarnya, membiarkan sinar matahari sepenuhnya masuk menyinari
kamarnya. Kemudian, gadis itu bergegas turun. Kanindia melihat keadaan rumahnya yang sudah
seperti kapal pecah akibat keributan yang terjadi semalam.
Sebelum Kanindia berangkat ke sekolah, gadis itu mengabari asisten rumah tangganya
untuk membereskan rumahnya yang berantakan. Setelah itu, barulah gadis itu pergi ke
sekolahnya. Kanindia pergi menggunakan angkutan umum, tidak menggunakan mobil ataupun
sepeda motor. Sebab, Tito tidak memfasilitasi dirinya menggunakan alat transportasi tersebut.
Kanindia benar-benar hidup dengan seadanya.
Kanindia turun dari angkutan umum yang ia naiki dan membayarnya. Gadis itu
melangkahkan kakinya memasuki perkarangan sekolah Madelangga. Langkah Kanindia terhenti
saat nama gadis itu terpanggil. Kanindia menoleh ke arah suara tersebut. Dapat dilihat Senja
yang tengah berlarian seraya memanggil namanya. Saat gadis itu telah berada didepannya,
Kanindia sedikit memukul pelan lengan gadis itu. “Ngapain sih, lari-lari? Gue kan, gak bakal
ngilang kali, Ja.” Senja tak menghiraukan perkataan Kanindia, gadis itu sibuk mengatur deru
napasnya tak beraturan, sesekali ia juga memukul pelan dadanya. Setelah dirasa napasnya telah
beraturan, barulah gadis itu mengeluarkan suaranya.“Ya, lo gue panggil harusnya berhenti jalan!
Dasar bolot, lo!” ejek Senja membuat Kanindia terbahak. Lalu, Kanindia mengulurkan
tangannya kearah Senja. “Sini, jalan bareng sama artis,” ajak Kanindia seraya tersenyum jahil.
Senja yang mendengar hal tersebut lantas memutar kedua bola matanya malas, “Sok banget,
najis!” dengus Senja. Kemudian keduanya pun tertawa, lalu berjalan kembali menuju kelas.
Saat sudah berada di kelas, Kanindia meletakkan tasnya di atas meja dan menduduki
bangkunya. Begitu juga dengan Senja yang ikut duduk di bangkunya, lalu menghadap kearah
Kanindia. “Nin, gimana sama event nya? Lo jadi ikut kan?” tanya Senja.
Kanindia yang hanya mengangkat bahunya, “lo tau kan, Ja. Papa gue mana pernah izinin
gue buat ikutan kayak gitu? Katanya enggak penting,” ucapnya seraya tertawa hambar. “Kenapa
gue harus hidup dibawah tekanan orang lain ya, Ja?” pertanyaan Kanindia membuat Senja
memegang kedua pundak gadis itu, “Nin, gue yakin lo kuat buat hadapi ini, bertahan ya, Nin.
Gue yakin, ini semua bakal berakhir,” ucap Senja yang hanya dibalas senyum tipis oleh
Kanindia. Kapan berakhirnya, Ja? Gue udah nggak kuat. Batinnya.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, Kanindia kini masih
di kelasnya dengan tumpukan kertas di atas mejanya. Tadi, saat mata pelajaran bu Titin alias
guru biologi itu meminta bantuan Kanindia untuk memeriksa lembaran soal ulangan kelas lain,
jadilah gadis itu masih setia duduk di bangku kelasnya yang sudah sepi. Tadinya, Senja memaksa
untuk ikut menemani dirinya, namun Kanindia menolak dan menyuruh gadis itu untuk pulang
agar tante Lin tidak kelipungan mencari keberadaan gadis itu. Kanindia menolehkan kepalanya
kearah jendela, langit yang tadinya biru kini semkin lama semakin dipenuhi dengan awan hitam.
Tersisa lima belas kertas lagi yang belum ia periksa, dengan segera gadis itu menyelesaikannya
sebelum hujan turun.
Kanindia berlari dengan cepat setelah menghantarkan kertas-kertas tadi ke ruangan bu
Titin, di tengah larinya, gadis itu menatap langit yang membendung air itu sebentar lagi akan
turun. Karna tidak melihat jalan, alhasil Kanindia tersandung dengan kakinya sendiri membuat
gadis itu jatuh terduduk dengan luka dibagian lututnya. Aws… ringis Kanindia saat berusaha
berdiri. Gadis itu berusaha berjalan kedepan sekolahnya untuk mencari angkutan umum.
“Ya Allah, jangan hujan dulu…” pinta Kanindia hampir menangis. Gadis itu bisa-bisa bermalam
di sekolah jika hujan turun. Namun, sekarang semesta sedang tidak berpihak dengannya.
Rintikan hujan mulai berjatuhan, dari yang tadinya gerimis berubah menjadi lebat. Kanindia
merosotkan bahunya disalah satu bangku yang terletak di halte bus. “Ya Allah ini gimana gue
pulangnya please…” bibir Kanindia perlahan melengkung kebawah dengan mata yang berkaca-
kaca, hendak menangis. “Ini sih, gara-gara bu Titin! Coba aja suruhnya nggak pas di jam pulang,
harusnya ini gue udah dirumah rebahan, ngemil, nonton youtube, ini kenapa gue harus sial
banget sih, hari ini?” omel Kanindia seraya menghentakkan kakinya kesal.
Sudah tiga puluh menit Kanindia duduk di sana, selama itu juga belum ada angkot
ataupun bus yang melewati area sekolahnya. Gadis itu sudah tidak berselera menangis lagi, toh,
tak ada gunanya juga ia mau menangis meraung-raung kalau angkutan umum tetap tidak ada
yang lewat. Kanindia tadinya hendak menelpon Senja, sialnya, ponsel gadis itu mati kehabisan
baterai. “Tolong dong, siapa gitu dateng, jemput gue…”
Akhirnya, semesta kembali berpihak padanya, selang lima menit saat gadis itu berkata seperti itu,
sosok pria dengan motornya melintasi halte bus itu dan menepikan motornya, Kanindia
menyipitkan matanya guna melihat dengan jelas sosok cowok yang menurutnya familiar. Cowok
itu hendak memasangkan mantel, namun, dengan gesit Kanindia mengeluarkan suaranya. “KAK
LINGGARA!” panggil Kanindia sedikit mengeraskan suaranya. Lantas, cowok itu
mengurungkan niatnya memakai mantel dan berjalan menghampiri Kanindia yang tengah duduk
di kursi halte bus seraya melambaikan tangannya. “Kanin? Nggak pulang?” tanya Linggara saat
berada dihadapan gadis itu. Kanindia menggeleng, “hujan, Kak. Tadinya gue emang mau
pulang,” balasnya membuat cowok itu mengangguk.
Linggara mendudukkan dirinya disamping Kanindia, “gue tungguin lo dijemput ya, Nin.”
Kanindia menoleh dan menggelengkan kepalanya. “Gue nggak dijemput kak, gue biasnya naik
angkutan umum,” jawab Kanindia.
“I see, gimana kalau pulang bareng gue?” tawar Linggara membuat Kanindia langsung
mengangguk antusias, iya tidak memperdulikan rasa gengsinya, gadis itu ingin pulang sekarang
juga. Linggara yang mendapati anggukan antusias dari gadis disampingnya itu hanya terkekeh
kecil. “Tunggu hujannya reda dikit ya, abis itu gue anterin pulang.”
Linggara dan Kanindia sama-sama mengatupkan bibirnya, enggan mengeluarkan suara.
Kanindia yang hanya menatap jalanan yang basah, dan Linggara yang menyenderkan punggung
seraya memejamkan matanya sejenak, tubuh cowok itu ingin lepas akibat rasa pegal yang
menguasai tubuhnya. Kanindia sedikit melirik cowok disampingnya itu melalui ekor matanya.
Namun, siapa sangka kalau Linggara mengetahui bahwa Kanindia tengah curi-curi pandang
terhadap dirinya. “Kenapa, Nin?” tanya Linggara.
Kanindia menoleh sepenuhnya kearah cowok itu, “anu, Kak. Buat event nya, kalau tanpa
tanda tangan orang tua boleh, nggak?” tanyanya. Linggara membalasnya dengan mengangguk,
“ya, boleh aja, sih. Emang orang tua lo nggak mau tanda tanganin?” Kanindia yang
mendengarnya hanya menggeleng, membuat tanda tanya di benak Linggara.
“Gue nggak dikasih ikut sebenarnya, Kak. Jujur, padahal gue pengen buat ikut kayak gitu, bukan
cuma di UI aja, tapi di tempat lainnya gue juga pengen ikut. Tapi, disetiap gue mencoba buat ikut
yang kayak gitu, papa gue selalu nolak dan nggak izinin gue buat ikutan event kayak gitu,
dengan alasan kalau itu nggak penting. Padahal, bagi gue itu penting banget, bisa dihitung buat
bahan untuk tes kuliah,” ujar Kanindia panjang lebar.
Linggara yang mendengar kalimat yang dilontarkan gadis itu kini menatap intens
Kanindia, “do you want to talk? Berhubung gue kuliah di fakultas kedokteran prodi psikolog,
mungkin gue bisa bantu lo cari solusi, atau seenggaknya bisa bikin diri lo lebih lega dari
sebelumnya.” Kanindia yang mendengar tawaran dari Linggara menatap cowok itu penuh ragu.
Linggara yang melihat keraguan di mata gadis itu kembali mengeluarkan suaranya. “It’s okay,
Nin. Trust me.”
Kanindia akhirnya mengangguk, gadis itu sedikit membenarkan posisi duduknya agar
terlihat nyaman saat menceritakan masalah yang selama ini ia tanggung kepada sosok cowok
yang baru beberapa hari ini ia kenal. Kanindia percaya bahwa ia tidak menceritakan hal ini
kepada orang yang salah. Gadis itu menghela napas berat sebelum mengeluarkan suaranya.
“Kalau boleh jujur gue capek, Kak. Gue benci sama keadaan gue yang kayak gini, gue kecewa
sama takdir yang sama sekali nggak sesuai dengan harapan gue, ya, gue tau kalau takdir itu udah
ada yang atur, cuma terkadang gue merasa nggak adil, Kak, kenapa gue harus nanggung beban
ini semua?” Kanindia menginterupsi sejenak, menarik napas dengan dalam. “Gue lahir dalam
keadaan keluarga gue yang hampir hancur, mama gue yang selingkuh, jarang pulang buat
sekedar ngelihat keadaan gue, dan berakhir ribut sama papa karna ketahuan selingkuh. Semenjak
mama ketahuan sama papa kalau dia selingkuh, mama justru ninggalin papa dan gue buat pergi
sama laki-laki yang lain. Padahal papa sayang banget sama mama, tapi mama tega kayak git uke
papa. Dan semenjak sama papa, gue sering banget di marahin sama hal-hal sepele. Ya, gue yang
masih terlalu kecil itu, cuma taunya nangis sampe papa gue kesel liat gue yang terus-terusan
nangis. Karna ya, gue emang se cengeng itu,” Kanindia terkekeh geli ketika ia yang dulu sering
menangis hingga membuat Tito kesal.
“Beberapa bulan mama menghilang tanpa kabar, ternyata… mama nikah lagi tanpa
sepengetahuan kita berdua. Mama nikah sama laki-laki lain dalam keadaan masih jadi istri papa
gue. Dan di saat papa gue tau, papa gue shock, dan berakhir kena stroke ringan. Gue benci
banget sama mama, Kak. Dari situ, papa bener-bener bikin gue tersiksa. Gue setiap saat harus
turuti semua kemauan papa, bahkan kalau gue nolak, papa mukul gue, atau maki-maki gue. Papa
terus-terusan kasih gue tekanan yang buat gue capek secara fisik maupun batin. Asal lo tau, Kak.
Gue nggak pernah, tuh, ngerasain gimana kasih sayang dari mama ataupun papa, bahkan kalau
gue liat orang lain yang punya hubungan manis dengan keluarganya bikin gue iri.” Kanindia
tertawa hambar meratapi nasibnya yang seperti ini.
“Gue sendirian…” Kanindia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga kuku jarinya memutih,
mata gadis itu mulai berkaca-kaca, namun sekuat tenaga ia menahan. Ia menghirup napas dalam-
dalam guna menenangkan dirinya. “Gue sendirian, Kak. Punya keluarga berasa nggak punya,
hidup dibawah kendali orang, gue capek! Kenapa gue harus terus-terusan buat memenuhi
ekspetasi orang-orang?! Ini hidup gue… tapi kenapa gue harus kayak gini? Hidup gue hancur
karna keluarga gue sendiri, gue tumbuh besar tanpa rasa kasih sayang. Kenapa dunia harus
sejahat itu sama gue?! KENAPA?!” intonasi gadis itu semakin lama semakin meninggi,
Kanindia mulai dikuasai emosinya. Hatinya terlalu sakit. Perlahan, gadis itu mulai terisak.
Sedangkan Linggara, cowok itu diam dengan telinga yang terus terpasang untuk mendengar
keluhan Kanindia. Bukannya Linggara tidak peduli dengan Kanindia yang mulai terisak itu, tapi
ia membiarkan gadis itu mengeluarkan semua yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun itu.
Kanindia meremas kuat tangannya dan menunduk dalam. Tubuhnya bergetar dengan
isakan yang terus keluar tanpa henti. “G-gue capek, Kak!”
Linggara menggeser posisi duduknya, menepis jarak diantara Kanindia. Dengan pelan,
cowok itu membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Linggara mendekap tubuh Kanindia,
menyalurkan rasa ketenangan pada gadis itu, sesekali ia juga mengelus pelan punggung belakang
gadis itu. Cowok itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya diam dan terus memberikan
ketenangan kepada Kanindia yang masih terisak.
Sudah tiga puluh menit mereka duduk di sana dan hujan pun sudah berhenti. Kanindia
telah menceritakan semuanya kepada Linggara, gadis itu merasa lebih lega setelah mengeluarkan
semuanya dan menangis. Linggara juga memberikan masukan kepada gadis itu dan tentunya
membuat Kanindia sedikit lebih tenang dengan kata-kata yang diberikan cowok itu kepadanya.
Kanindia sangat bersyukur, setidaknya masih ada yang peduli terhadap dirinya.
“Kak, pandangan lo terhadap orang yang punya trust issue gimana? Lo tau kan, gue punya trust
issue dengan keluarga gue, mau itu mama atau papa gue, jadi gue takut lo kayak ngerasa jangan
temenan sama gue yang punya trust issue,” papar Kanindia seraya menunduk dalam.
Linggara yang mendengar hal tersebut dari Kanindia lantas menaikkan sebelah alisnya,
“kenapa ngomong gitu, Nin? Temenan sama orang yang punya trust issue emang suatu masalah
yang besar? Nggak kan?" tanyanya membuat Kanindia mengatupkan bibirnya.
“Ya, tapi kan ada aja orang kayak gitu...” cicit Kanindia membuat Linggara tampak menghela
napas sejenak, "denger ya Nin, persepsi orang-orang itu beda-beda, disaat lo bertemu orang lain,
berteman sama orang lain, berkomunikasi sama orang lain, itu bakal menggabungkan dua
ekspetasi, jelas aja bakal timbul perbedaan dan pendapat dari situ. Temenan sama mereka yang
punya trust issue bukan masalah besar kok, cuma perbedaan persepsi aja. Mungkin gue bisa
terima lo, tapi belum tentu orang lain kayak gitu. Jadi, dengan adanya hal kayak gitu, gue minta
lo jangan langsung down dengan persepsi mereka yang kayak gitu ya,” ujar Linggara membuat
Kanindia mengembangkan senyumnya. “Kak, thank you banget yaa…”
Linggara mengangguk dan membalas senyuman Kanindia. “My pleasure, prettiest,” balas
Linggara membuat Kanindia tertawa pelan. Linggara bangkit dari duduknya, “ayo pulang, udah
sore banget,” ajaknya dan diikuti oleh Kanindia yang mengekornya dari belakang. Saat dirinya
dan Kanindia sudah menaiki motornya, barulah ia menancap gas motornya membelah padatnya
kota Bandung. Linggara mengendarai motornya dengan kecepatan normal. Kanindia menikmati
angin sore sehabis hujan yang jauh lebih segar, angin yang menerpa wajahnya dan membuat
rambutnya berterbangan itu membuat kadar kecantikan gadis itu semakin bertambah.
Linggara melirik gadis yang dibelakangnya itu melalui kaca spion motornya dan
tersenyum tipis. Kanindia membuka matanya dan mendekatkan wajahnya di bahu Linggara,
“Kak, wajar nggak sih, kalau gue kecewa sama hal apapun itu?” tanya Kanindia yang dibalas
anggukan oleh cowok itu. “Wajar kok kita kecewa sama suatu hal. Karna rasa kecewa itu datang
disaat ekspetasi atau hal yang kita inginkan nggak sesuai sama yang kita harapin. Rasa kecewa
juga datang saat kita merasa gagal buat raih sesuatu. Dan sebenarnya, rasa kecewa itulah yang
buat seseorang itu jadi melemah. Memang bukan hal yang salah kok kecewa itu. Cuma kurang
baik aja, harusnya saat kita kecewa akan sesuatu itu coba buat memperbaikinya agar lebih baik
lagi, bukannya malah menyalahkan diri sendiri,” jelas Linggara panjang lebar membuat Kanindia
semakin kagum dengan alur pemikiran cowok itu. “Lo dewasa banget ya, Kak. Keren banget
pemikirannya, gue suka,” puji Kanindia yang hanya cowok itu balas dengan kekehan kecil.
Sore itu, Kanindia menemukan jati dirinya, gadis yang sedari kecil yang tidak memiliki
tujuan hidup itu, kini memiliki pencerahan yang menemukan tujuan hidupnya. Dimana ia harus
memperbaiki semuanya secara perlahan. Dan pertemuan singkat dirinya dengan Linggara
merupakan suatu takdir indah yang direncanakan Tuhan. Gadis itu, jatuh hati pada sosok
Linggara yang telah membantu Kanindia keluar dari keadaan terpuruknya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai