Anda di halaman 1dari 4

Pukul 17:00 WIB, 78 menit sebelum waktu berbuka puasa-

“Ndri, tolong beliin es batu di warung..!!” Teriak ibunya dari dapur.

Sebenarnya ia mendengar dengan jelas suara ibunya yang memanggilnya barusan, tapi seolah tak peduli
dia kembali fokus pada gadgetnya. Hingga beberapa saat kemudian, ibunya tiba di kamar gadis itu.

“Ndri, ini tolong belikan ibu es batu, bentar lagi udah mau buka puasa.” Kata ibunya begitu lembut.
Namun sepertinya gadis itu tetap tak ingin pergi.

“Ah ibu, Indri kan puasa, capek bu..” kata gadis itu malas.

Mendengar jawaban anaknya si ibu lantas keluar kamar dan membiarkan anaknya beristirahat. Gadis itu
hanya menatap kosong melirik belakang ibunya yang perlahan menghilang seiring pergi keluar kembali
menuju dapur.

Kamar itu kembali sunyi, lantaran gadis itu tampak mengantuk dan terlihat merebahkan diri ke atas
tempat tidurnya. Hawa panas begitu terasa meskipun hari telah menjelang senja. Memaksa gadis yang
akrab disapa Indri itu menghidupkan pendingin ruangan hingga suhu terendah. Hingga tak lama
kemudian ia terlarut dalam lelap dan melupakan kegerahan yang tadinya terasa.

Menit berlalu tak disangka, bedug maghrib penanda usainya ibadah puasa hari itu hanya tinggal
menunggu menit terakhir. Gadis itu pergi ke luar kamarnya, berlari kecil menuju dapur. Matanya melirik
ke semua arah, mencari seseorang yang tadi memintanya membantunya. Ibu.

“Bu..” panggilnya. Kemudian duduk di meja makan.

Tampak olehnya tudung nasi yang sudah rapi di atas meja itu. Tapi, tak dijumpainya sang ibu. Hatinya
mulai resah, itu terlihat saat ia menompang dagunya. Seperti berpikir dan menerka kemungkinan di
mana ibu sekarang berada.

“Apa ibu pergi ke warung?.” Tanyanya dalam hati. “Ah, sebaiknya aku susul aja deh.” Lanjutnya
kemudian.

Tak butuh waktu lama, ia sudah sampai di warung dekat rumah. Namun, dari kejauhan tidak ada sosok
yang ia cari. Tapi gadis itu tetap mendekat memastikan.

“Bu, apa tadi ibu saya kemari?.” Tanya Indri pada ibu-ibu pemilik warung.
“Iya ndri, tadi ibu kamu ke sini, dia beli es batu. Terus langsung pulang.” Jelas si pemilik warung.

Tampak gadis itu menunduk tak senang mendengar jawaban barusan karena jelas-jelas ibunya tidak ada
di rumah. Ia kembali memikirkan tempat yang mungkin sekarang ibunya berada.

“Baiklah, kalau begitu. Indri pulang ya bu. Terima kasih.” Katanya sopan kepada ibu pemilik warung itu.
Dan si pemilik warung hanya tersenyum membalasnya.

Bertambah risau hatinya, berjalan agak goyah pulang ke rumah. Ia tau kalau ibunya tidak ada di rumah
bahkan saat ia tiba nanti. Ke mana lagi harus ia cari. Sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Gadis itu
pulang sendirian menyusuri sepanjang jalan pulang sambil sesekali melirik ke arah rumah tetangga,
barangkali ibunya masih mengobrol dengan para ibu tetangga. Tapi, tak ada.

Pukul 18:03 WIB, 15 menit sebelum berbuka puasa

Diliriknya arloji di tangannya, terlihat semburat senyum di sana. Tampaknya itu bukan jam tangan biasa,
ya memang bukan. Itu adalah hadiah pemberian ibunya saat ulang tahunnya yang ke-17 minggu lalu,
tepatnya hari ke 3 puasa. Ya, gadis bernama lengkap Indri Ramadhania itu lahir bertepatan dengan hari-
hari berat sang ibu yang tengah berpuasa. Matanya memerah sekarang, kemudian gadis itu berlari
pulang ke rumah.

Berjarak 3 buah rumah dari tempatnya berdiri sekarang, dilihatnya rumahnya ramai orang. Aneh.
Perasaan apa ini? Takut. Seketika itu buyarlah pikiran gadis itu, bayangan negatif yang sedari tadi
berusaha dijauhkannya dari kepala sekarang berkumpul menakuti gadis itu. Ada apa ini?! Teriaknya
dalam hati. Matanya membelalak. Perasaan cemas dan hawa yang dingin suasana senja dan rumah yang
didatangi para tetangga. Jangan-jangan?!. Ia mematung di depan pintu, saat seorang bibi dari ibunya
memeluknya. Pecah tangis gadis itu. Orang-orang hanya dapat melihat, seolah tak ada yang dapat
membantu menenangkannya. Lalu sang bibi dengan nada bicara yang hampir tak terdengar mencoba
memberitahukan Indri perihal semuanya.

“Ndri, ini bibimu, ibu kedua kamu. Bibi sayang kamu sama seperti anak bibi sendiri. Mulai sekarang,
kamu mau minta apaaa aja, bilang sama bibi ya?” ujar bibinya lirih.

Namun gadis itu tampak bingung dengan tatapan kosong, hingga kemudian bibinya menemani gadis itu
masuk ke dalam rumah. Tak dapat dielak lagi, kembali pecah tangis gadis itu. Memekik ia kuat. Lemas
tubuhnya seketika, terjatuh di samping tubuh sang ibu yang terbaring kaku. Dekapnya tubuh hampa itu
kuat-kuat, diguncangnya bak membangunkan orang yang tengah tertidur. Tetapi, bukan tidur. Benar
hanyalah jasad yang tertinggal itu. Sang ibu telah tiada. Mati rasa sekujur tubuh gadis itu. Memucat
wajahnya, sang bibi yang duduk di sampingnya sebagai penguat hanya dapat melihat tanpa berkomentar.
Hingga benar saja, tak lama kemudian tubuh yang lunglai sejak tadi itu terenyuh, jatuh ke lantai. Untung
sang bibi sigap menangkapnya. Ditepuknya pipi gadis itu mencoba menyadarkannya.

“Ndri.. Ndri.. heii.. nak.. bangun..” panggil bibinya.

Namun tak ada reaksi, begitu sedihnya dan hancurnya perasaan gadis itu. Bibinya mengetahui itu.

“Ndri.. Indrii… bangun..” teriak bibinya lagi.

Tetap saja belum ada reaksi. Hingga tiba-tiba, gadis itu membuka mata. Dan..

“Ibuu…!!!!!.” pekiknya tersadar.

“A..apa.. apa ini?!!. Cuma mimpi?!.” Katanya begitu tersadar dari tidur. Gadis itu tampak sangat
kebingungan. Apa yang baru saja terjadi? Benarkah ibu.. ibu.. ibu? Oh iya, ibu. Teriaknya dalam hati lalu
melompat dari tempat tidur dan berlari ke dapur.

“Ibuu..” teriak gadis itu.

“Iya, ada apa?.” Balas sebuah suara dari dapur.

Terbelalak matanya, memerah menampung air mata. Berlari dan dipeluknya ibunya saat itu juga. Sang
ibu yang tidak mengerti hal yang terjadi kebingungan.

“Eh, eh.. ada apa ini??” tanya ibunya.

“Indri sayang ibu.” Jawab gadis itu singkat.

Berdua itu lalu duduk di kursi meja makan, dengan mata yang masih berair, Indri meminta maaf pada
ibunya.

“Bu, maafin Indri ya, Indri udah nakal gak mau nurutin kata-kata ibu tadi buat bantuin ibu beliin es batu.
Indri benar-benar minta maaf bu.” Ujar gadis itu.

Mendengar itu, lapanglah dada sang ibu. Meskipun tak tau persis yang terjadi, ibunya senang anaknya
sekarang sudah tak gengsi meminta maaf atas kesalahannya pada orangtuanya sendiri.

“Indri janji gak bakal nakal lagi, Indri minta maaf bu.” Lanjutnya seraya menunduk.

Tampak ibunya bangun dari kursi, dan memeluk Indri erat.


Gadis itu sekarang tersadar dan banyak belajar dari mimpinya yang tadi. Entah seberapa beratnya
halangan saat seorang ibu memintamu melakukan sesuatu, janganlah menolak dan berkata tak mau.
Bersyukurlah saat masih ada orang yang hendak meminta bantuanmu, itu artinya dirimu dan hidupmu
masih berarti. Hingga tak ada yang memintamu lagi, saat itulah hidupmu hampa. Kosong. Setidaknya
begitulah yang Indri sadari, dan syukuri bahwa ini bukanlah puasa terakhirnya, bersama orang
terkasihnya.

Anda mungkin juga menyukai